• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBANDINGAN EFISIENSI DAN EFEKTIFITAS J

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERBANDINGAN EFISIENSI DAN EFEKTIFITAS J"

Copied!
164
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

ABSTRAK

PERBANDINGAN EFISIENSI DAN EFEKTIFITAS JARINGAN JALAN PERDESAAN YANG BERORIENTASI PADA KETERHUBUNGAN

DENGAN PASAR DAN YANG BERORIENTASI PADA KETERHUBUNGAN DALAM KLASTER

oleh

Banar Suharjanto NIM: 25412069

(Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota)

(3)

dengan mengaplikasikan kedua model untuk membentuk jaringan-jaringan jalan ayng melayani klaster-klaster pertumbuhan di beberapa kabupaten di Indonesia. Pengaplikasian kedua model dilakukan dengan memperhatikan beberapa variable yaitu variable keterhubungan terhadap pasar, keterhubungan dalam wilayah, minimalisasi biaya konstruksi dan minimalisasi biaya perjalanan. Menggunakan uji statistik maka signifikansi perbedaan di antara jaringan-jaringan yang terbentuk diidentifikasi dan selanjutnya dilakukan uji tambahan menggunakan metode analisa multi-kriteria untuk melihat secara lebih detail perbedaan-perbedaan yang terjadi. Perbandingan karakteristik kedua model yang digunakan juga dilakukan untuk mengamati lebih jauh hasil uji statistik. Dengan melihat hasil dari pengujian-pengujian tersebut maka mana di antara kedua model yang digunakan yang lebih menghasilkan jaringan jalan perdesaan yang efisien sekaligus efektif dapat diidentifikasi.

(4)

ABSTRACT

THE COMPARISON OF EFFICIENCY AND EFFECTIVITY OF THE RURAL ROAD NETWORK WITH MARKET-CONNECTIVITY AND

WITHIN-CLUSTER-CONNECTIVITY ORIENTATIONS

by

Banar Suharjanto NIM: 25412069

(Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota)

(5)

identified and afterward the further examination using multi-criteria analysis is conduct to examine the detailed differences. The characteristic comparison between the two models is also carried out to further examine the statistical tests results. By observing the results of those examinations, model that provides more efficient as well as effective rural road network could be identified.

(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ...iii

PEDOMAN PENGGUNAAN TESIS ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

UCAPAN TERIMA KASIH ... vii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR LAMPIRAN... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR TABEL... xvi

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG... xvii

DAFTAR ISTILAH ... xx

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Deskripsi Topik ... 5

1.3 Permasalahan yang Dikaji... 6

1.4 Tujuan dan Sasaran... 7

1.5 Lingkup Permasalahan... 8

1.6 Pendekatan dan Metode Yang Digunakan ... 8

1.7 Sistematika Thesis ... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 12

2.1 Efek Ekonomi dan Spasial dari Infrastruktur Jalan... 12

(7)

2.2 Penyediaan Jaringan Jalan Desa... 16

2.2.1 Jaringan Jalan Desa yang Efisien dan Efektif... 16

2.2.2 Keterhubungan... 16

2.3 Orientasi dalam Jaringan Jalan Perdesaan ... 22

2.4 Biaya Konstruksi (Construction Costs) dan Biaya Perjalanan (Travel Costs) ... 24

2.4.1 Biaya Konstruksi... 24

2.4.2 Biaya Perjalanan ... 25

BAB III METODE PENELITIAN ... 27

3.1 Gambaran Umum ... 27

3.2 Pencarian Jalur Terpendek dengan Menggunakan Algoritma Dijkstra dan Faktor Percepatan ... 28

3.2.1 Algoritma Dijkstra ... 28

3.2.2 Faktor Percepatan... 29

3.3 Uji Kruskal-Wallis... 33

3.4 Uji Mann-Whitney... 36

3.5 Analisa Multi-Kriteria MenggunakanSoftwareDefinite 3.1 ... 38

3.5 Pengamatan terhadap Karakteristik Model ... 40

BAB IV STUDI KASUS... 41

4.1 Gambaran Umum ... 41

4.2 Pendekatan yang Digunakan dalam Perencanaan Jaringan Jalan di Indonesia ... 42

4.2.1 Pembentukan Klaster-klaster Pertumbuhan Strategi Pengembangan Wilayah di Indonesia ... 42

(8)

4.4 Studi Kasus 2: Kabupaten Temanggung, Provinsi Jawa Tengah... 53

4.5 Studi Kasus 3: Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan ... 57

BAB V ANALISA ... 61

5.1 Gambaran Umum ... 61

5.2 Pengujian Menggunakan Metode Kruskal-Wallis terhadap Kasus-kasus Studi... 62

5.3 Pengujian Menggunakan Metode Mann-Whitney terhadap Kasus-kasus Studi... 65

5.4 Tinjauan terhadap Hasil-hasil Pengujian Kasus-kasus Studi... 68

5.4.1 Analisa Multi-Kriteria ... 69

5.4.2 Perbandingan Karakteristik Jaringan ... 77

BAB VI PENUTUP ... 79

6.1 Temuan ... 79

6.2 Kesimpulan ... 80

6.3 Rekomendasi ... 81

6.4 Saran Penelitian Lebih Lanjut ... 82

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Karakteristik jaringan jalan perdesaan (rural road network) berbeda dengan karakteristik jaringan jalan perkotaan (urban road network). Jika jaringan jalan perkotaan berurusan dengan antara lain penyaluran arus lalu lintas (traffic assignmanet) (Janson, 1991), pengaturan persimpangan jalan (Zhaoyang dan Xunchu, 2001) dan pembatasan arus lalu lintas dengan road pricing (Tretvik, 2003) maka jaringan jalan perdesaan lebih menekankan pada terpenuhinya akses menuju pusat-pusat pelayanan (aspek sosial) dan minimalisasi biaya transportasi (aspek ekonomi) (Makarachi dan Tillotson, 1991; Meng dan Yang, 2002; Shresta et al., 2014), peningkatan kualitas jalan untuk menghindari kecelakaan akibat tidak mampu menahan beban dari kendaraan yang melintasinya (overloading) (Jaarsma, 1997), peningkatan aksesibilitas bagi desa-desa sehingga dapat membantu mengurangi kemiskinan (Donnges et al., 2007) dan efisiensi rute (Scaparra dan Church, 2005). Lebih lanjut, Scaparra dan Church (2005) menyatakan bahwa penyediaan aksesibilitas tersebut bukan sekedar menyediakan jalur jalan yang menghubungkan satu desa dengan desa-desa lainnya melainkan harus mampu menyediakan jalur jalan yang memiliki jenis perkerasan yang dapat dilalui dalam segala cuaca. Hal ini berarti bahwa penyediaan jaringan jalan perdesaan selain bertujuan menyediakan akses bagi tiap desa, akses tersebut harus memiliki kualitas tertentu yang bertujuan menyediakan kelancaran serta kontinuitas sistem transportasi sehingga dapat mendukung peningkatan kegiatan ekonomi yang akhirnya berakibat pada berkembangnya wilayah perdesaan.

(10)

menggunakan algoritma ini, jalur terpendek dari satu titik awal ke titik destinasi dapat diidentifikasi sehingga suatu jaringan yang saling menghubungkan antar desa dalam satu wilayah namun memiliki panjang jalur yang pendek dapat dibentuk.

Namun algoritma Dijkstra masih berfokus pada penyediaan jalur terpendek dari sudut pandang biaya konstruksi, yang artinya adalah bahwa penentuan jalur terpendek adalah panjang jalan secara fisik yang berpengaruh pada modal yang dikeluarkan untuk mengadakan jalur tersebut. Bharali dan Baruah (2013) memasukkan suatu faktor percepatan dalam algoritma tersebut sehingga kepadatan suatu jalur yang berpengaruh terhadap waktu tempuh dapat diperhitungkan. Ini berarti bahwa penambahan faktor percepatan tersebut memperhatikan panjang efektif suatu jalur, yaitu panjang jalur berdasarkan proporsi waktu tempuh yang diluangkan untuk melalui jalur tersebut. Dalam hal ini yang diutamakan bukan lagi biaya konstruksi (construction cost) melainkan biaya perjalanan (travel cost) yang dikeluarkan oleh pengguna jaringan jalan tersebut.

(11)

aktifitas kegiatan ekonomi, dibanding jika menghubungkan daerah yang isomorfis, yaitu daerah yang memiliki karakteristik yang relatif sama dalam hal kegiatan ekonomi. Sebagai contoh, suatu desa akan lebih berkembang jika memiliki keterhubungan dengan daerah perkotaan atau pusat kegiatan ekonomi lainnya dibanding jika desa tersebut dihubungkan dengan desa lain yang berkarakteristik sama.

Dengan demikian, terdapat suatu model alternatif bagi pembentukan jaringan jalan perdesaan, yaitu model yang berorientasi pada keterhubungan dengan pusat kegiatan ekonomi, di samping model tradisional yang bertujuan sekedar menghubungkan satu desa dengan desa-desa lainnya. Untuk melihat efektifitas serta efisiensi model alternatif tersebut, maka perlu dilakukan pengujian dengan menerapkannya pada kasus-kasus studi. Sebagai pembanding efektifitas tentu diperlukan suatu model pembanding. Untuk hal tersebut, maka diturunkan suatu model alternatif lain yang berasal dari panduan-panduan nasional di Indonesia yang berhubungan dengan perencanaan jaringan jalan perdesaan di kabupaten-kabupaten di Indonesia.

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (Kementrian Pekerjaan Umum, 2009) dan Undang-undang (UU) 38 tahun 2004 tentang Jalan. Pasal 9 ayat (4) UU 38/2004 menyatakan:

(12)

Dalam Bab II bagian 2.1.2 tentang sistem prasarana utama dinyatakan:

“(iii) Jaringan jalan kabupaten yang terdiri atas: jalan kolektor

primer yang tidak termasuk dalam jalan nasional dan provinsi; jalan lokal primer yang menghubungkan ibukota kabupaten dengan ibukota kecamatan, ibukota kabupaten dengan pusat desa, antaribukota kecamatan, ibukota kecamatan dengan desa, dan antardesa; jalan sekunder; dan jalan strategis kabupaten.”

Pasal 1 pada nomor 11, Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 03/PRT/M/2012 menyatakan:

“Jalan Lokal Primer yang selanjutnya disingkat JLP adalah jalan yang menghubungkan secara berdaya guna pusat kegiatan nasional dengan pusat kegiatan lingkungan, pusat kegiatan wilayah dengan pusat kegiatan lingkungan, antarpusat kegiatan lokal, atau pusat kegiatan lokal dengan pusat kegiatan lingkungan, serta antarpusat kegiatan lingkungan.”

Sesuai dengan panduan tersebut maka jaringan jalan kabupaten bertujuan melayani klaster-klaster pertumbuhan yang ada dengan spesifikasi sesuai yang dinyatakan di pasal 15 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan:

“Jalan lokal primer didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 20 (dua puluh) kilometer per jam dengan lebar badan jalan paling sedikit 7,5 (tujuh koma lima) meter.”

(13)

jalan. Pengamatan dilakukan melalui perbandingan dua model, yaitu model yang dikembangkan oleh Makarachi dan Tillotson (1991) dan model yang diturunkan dari panduan-panduan nasional yang berhubungan dengan perencanaan jaringan jalan.

1.2 Deskripsi Topik

Penelitian dalam tesis ini difokuskan pada pencarian model yang dapat menyediakan dasar bagi perencanaan jaringan jalan perdesaan yang efisien sekaligus efektif. Efisiensi jaringan diukur dari terbentuknya jalur terpendek pada jaringan jalan sedangkan efektifitas jaringan diukur dari efek jaringan terhadap pertumbuhan wilayah. Lebih lanjut, dengan memperhatikan hasil penelitian berbagai peneliti (Makarachi dan Tillotson, 1991; Oosterhaven dan Knaap, 2003; Laird et al., 2005 dan Harrison, 2010) maka dalam tesis ini efek terhadap pertumbuhan wilayah diukur dari tingkat keterhubungan jaringan dengan pasar. Semakin suatu jaringan terhubung secara langsung dengan pasar maka semakin efektif peran jaringan tersebut bagi pertumbuhan wilayah.

Dalam upaya mencari model yang dapat menyediakan dasar bagi perencanaan jaringan jalan yang efisien sekaligus efektif tersebut dilakukan perbandingan jaringan-jaringan jalan dalam kasus-kasus studi yang terbentuk dari dua model jaringan jalan. Model pertama dikembangkan oleh Makarachi dan Tillotson (1991) yang berorientasi pada hubungan dengan pasar dan model kedua diturunkan dari panduan-panduan nasional yang berhubungan dengan jaringan jalan yaitu model yang berorientasi pada keterhubungan dalam klaster.

(14)

jaringan-jaringan yang terbentuk dari model-model tersebut berdasarkan beberapa aspek tertentu.

Melalui pengujian-pengujian tersebut, maka dapat diidentifikasi mana dari kedua model yang dibandingkan yang dapat lebih menyediakan suatu jaringan jalan yang efisien sekaligus efektif.

1.3 Permasalahan yang Dikaji

Pengajian yang dilakukan dalam tesis ini adalah perbandingan antara dua model jaringan jalan untuk dengan memperhatikan efisiensi dan efektifitas jaringan jalan yang terbentuk dari dua model tersebut. Dengan demikian perlu dilakukan penerapan kedua model ke dalam kasus-kasus studi untuk diamati efisiensi dan efektifitas jaringan-jaringan tersebut. Efisiensi jaringan diamati menggunakan penerapan algoritma Dijkstra untuk mencari jalur terpendek serta uji statistik Kruskal-Wallis dengan post-hoc uji Mann-Whitney untuk mengidentifikasi apakah terdapat perbedaan yang signifikan antara jaringan-jaringan tersebut. Efektifitas jaringan diamati menggunakan analisa multi-kriteria dengan memperhatikan beberapa aspek yaitu aspek keterhubungan dengan pasar, aspek keterhubungan dalam klaster, efek terhadap pertumbuhan wilayah serta efek terhadap terbentuknya jaringan jalan terpendek. Dengan memperhatikan efek-efek tersebut dapat disusun peringkat jaringan-jaringan yang terbentuk.

Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas, maka dapat dinyatakan satu permasalahan utama yaitu “Model mana yang dapat menghasilkan jaringan jalan yang paling efektif dan efisien”. Untuk menjawab permasalahan utama tersebut maka diajukan pertanyaan-pertanyaan antara yaitu:

1. Model-model alternatif bagi model tradisional jaringan jalan perdesaan mana yang akan diuji efektifitas dan efisiensinya?

2. Bagaimana efektifitas dan efisiensi jaringan jalan perdesaan diukur? 3. Bagaimana penerapan model-model alternatif tersebut ke dalam studi

(15)

5. Apakah uji statistik cukup untuk melihat perbedaan di antara model-model tersebut?

1.4 Tujuan dan Sasaran

Tujuan dilakukannya penelitian dalam tesis ini adalah untuk mengidentifikasi model mana di antara dua model jaringan jalan, yaitu model Makarachi dan Tillotson (1991) dan model yang diturunkan dari panduan nasional yang berhubungan dengan perencanaan jaringan jalan, yang lebih efisien sekaligus efektif. Secara akademik hasil penelitian ini dapat mendukung teori kedua peneliti Makarachi dan Tillotson (1991) atau sebaliknya menyajikan suatu negasi terhadap metode yang dikembangkan oleh kedua peneliti. Secara praktis, dengan mengidentifikasi model mana yang lebih menyajikan jaringan jalan yang efisien sekaligus efektif, maka model tersebut dapat dijadikan dasar bagi perencanaan jalan perdesaan.

Untuk mencapai tujuan di atas, maka ditentukan sasaran-sasaran yang berguna untuk membantu menjawab permasalahan utama tersebut di atas. Sasaran-sasaran tersebut adalah:

1. Mengidentifikasi model-model alternatif bagi model tradisional jaringan jalan perdesaan;

2. Menentukan batasan bagi pengukuran efektifitas dan efisiensi jaringan jalan perdesaan;

3. Mengaplikasikan model-model alternatif tersebut ke dalam studi kasus sehingga dapat dibandingkan;

4. Melakukan uji statistik terhadap model-model tersebut untuk melihat signifikansi perbedaannya;

5. Melakukan uji lanjutan jika uji statistik tidak cukup menunjukkan perbedaan di antara model-model tersebut;

(16)

1.5 Lingkup Permasalahan

Lingkup permasalahan dalam tesis ini adalah pengujian secara statistik serta pengujian lanjutan menggunakan metode analisa multi-kriteria dan analisa perbandingan karakteristik untuk mengamati sejauh mana perbedaan yang terjadi dalam jaringan-jaringan jalan yang terbentuk berdasarkan kedua model yang telah disebutkan sebelumnya. Pengujian statistik dilakukan untuk mengamati signifikansi perbedaan yang ada sedangkan analisa perbandingan karakteristik jaringan dilakukan untuk mengamati mengapa terjadi perbedaan dengan tingkat signifikansi yang dihasilkan oleh uji statistik. Pengujian lanjutan menggunakan analisa multi-kriteria dilakukan untuk mengamati secara lebih detail perbedaan-perbadaan yang ada pada jaringan-jaringan yang terbentuk. Analisa multi-kriteria dilakukan karena uji statistik hanya mampu menyajikan sejauh mana signifikansi perbedaan yang ada tanpa dapat melihat lebih detail di mana saja perbedaan tersebut terjadi.

1.6 Pendekatan dan Metode Yang Digunakan

(17)

tersebut. Pembentukan jalur terpendek berdasar aspek-aspek tersebut dilakukan menggunakan algoritma Dijkstra dengan memasukkan faktor percepatan yang dikembangkan oleh Bharali dan Baruah (2013). Pembahasan mengenai algoritma Dijkstra beserta faktor percepatan ini disajikan secara lebih lengkap di Bab III.

Setelah jaringan-jaringan terpendek berdasar kedua model dengan memperhatikan empat aspek tersebut terbentuk, maka dilakukan uji statistik untuk mengidentifikasi apakah terdapat perbedaan yang signifikan di antara jaringan-jaringan jalan yang terbentuk. Pengujian dilakukan menggunakan uji Kruskal-Wallis untuk menguji perbedaan di antara banyak grup serta ditindaklanjuti dengan pengujianpost-hoc menggunakan uji Mann-Whitney yang berguna untuk menguji satu grup jaringan dengan satu grup jaringan lainnya sehingga mendukung hasil yang didapatkan dari uji Kruskal-Wallis yang membandingkan sekaligus banyak grup.

Karena uji statitstik hanya mampu mengidentifikasi secara umum apakah terdapat perbedaan yang signifikan di antara grup-grup tersebut tanpa memberikan penjelasan yang mendetail tentang perbedaan-perbedaan yang terjadi, maka dilakukan uji lanjutan menggunakan metode analisa multi-kriteria. Tujuan analisa ini adalah untuk melakukan pemeringkatan terhadap jaringan-jaringan yang terbentuk berdasarkan kriteria-kriteria yang telah ditentukan yaitu terbentuknya jaringan dengan jalur terpendek, pengaruh jaringan terhadap pertumbuhan wilayah, keterhubungan dalam klaster serta keterhubungan dengan pasar. Pemeringkatan melalui analisa multi-kriteria dilakukan menggunakan software Definite 3.1 yang dikembangkan oleh Universitas Amsterdam, Belanda.

(18)

Secara skematis pendekatan serta metode yang digunakan dalam tesis ini ditampilkan dalam gambar 1.1, sedangkan uraian yang lebih lengkap tentang metode penelitian yang digunakan dalam tesis ini disajikan pada Bab III.

1.7 Sistematika Thesis

Untuk mencapai tujuan tersebut di atas, maka tesis ini disusun dengan pertama memberikan pada Bab I latar belakang permasalahan yang disorot dalam tesis ini. Kedua, tinjauan terhadap teori-teori yang digunakan untuk menganalisa permasalahan diberikan pada Bab II. Pada bab ini diberikan pula gambaran tentang perkembangan keilmuan mengenai perencanaan jaringan jalan perdesaan. Selanjutnya pada Bab III diberikan uraian tentang metode yang digunakan untuk melakukan penelitian dalam tesis ini. Dalam Bab IV, studi-studi kasus tentang penerapan model-model jaringan jalan tersebut ke dalam wilayah studi yaitu beberapa kabupaten di Indonesia disajikan. Analisa terhadap hasil dari studi-studi kasus diberikan di Bab V. Dan akhirnya, beberapa kesimpulan disampaikan di Bab VI berserta kemungkinan penelitian lanjutan yang berkenaan dengan perencanaan jaringan perdesaan.

Secara skematik, gambar 1.1 memberikan gambaran tentang langkah-langkah yang dilakukan dalam melakukan penelitian dalam tesis ini, sedangkan susunan bab-bab dalam tesis ini adalah sebagai berikut:

(19)
(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Efek Ekonomi dan Spasial dari Infrastruktur Jalan

Identifikasi efek dari infrastruktur jalan masih menjadi masalah utama bagi penelitian-penelitian terkini (Oosterhaven dan Knaap, 2003). Yang menjadi permasalahan utama adalah bagaimana menentukan bahwa suatu pertumbuhan ekonomi dapat tetap terjadi tanpa bantuan penyediaan infrastruktur baru. Namun, pengembangan infrastruktur tetap diidentifikasi memiliki hubungan yang positif dengan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah (Linneker dan Spence, 1996; Calderon dan Serven, 2004) maupun pertumbuhan spasialnya (Holtz-Eakin dan Schwartz, 1995; Holl, 2004). Tinjauan literatur berikut ini mengamati bagaimana infrastruktur jalan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi dan spasial suatu wilayah.

2.1.1 Efek Ekonomi dari Infrastruktur Jalan

Oosterhaven dan Knaap (2003) berpendapat bahwa sementara pengembangan infrastruktur jalan menyediakan dampak positif bagi pengembangan ekonomi dan spasial dalam suatu area, adalah sulit untuk mengidentifikasi apa saja efek-efek tersebut. Kesulitan ini karena pertumbuhan tersebut mungkin terjadi karena aspek lain dan bukan karena pengembangan infrastruktur tersebut.

Maka, untuk mengamati apakah infrastruktur baru memberikan efek positif terhadap suatu area, Oosterhaven dan Knaap (2003) menyusun suatu kerangka kerja untuk mengamati dampak ekonomi dari suatu infrastruktur baru dalam suatu wilayah. Kedua peneliti menetapkan enam parameter yaitu efek langsung dan tak langsung, permanen dan temporer serta pasar dan non pasar. Parameter ini digunakan sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 2.1.

(21)

sebagainya. Efek tak langsung temporer dapat berupa berkurangnya modal akibat pembangunan infrastruktur. Contoh lain efek tak langsung temporer adalah kepadatan spasial akibat aglomerasi pekerja dalam lokasi dekat proyek.

Efek langsung permanen dapat diamati dari perubahan biaya yang dikeluarkan oleh komunitas akibat pembangunan infrastruktur. Efek tak langsung permanen diamati melalui efek pendapatan pada lingkungan sekitar proyek dan juga melalui berubahnya pola transportasi akibat proyek tersebut.

Tabel 2.1: Jenis-jenis Efek Ekonomi dari Suatu Penyediaan Infrastruktur Jalan Sumber: Oosterhaven dan Knaap, 2003

(22)

ekonomi dari suatu pengembangan infrastruktur transportasi menurut Rodrigue et

(23)

Pola yang berbeda muncul jika kedua area bersifat isomorfis atau memiliki karakteristik yang berbeda. Gambar 2.1 (b) menunjukkan perbedaan di mana area A berlokasi dekat pusat aglomerasi ekonomi sedangkan area B berada pada area yang relatif kurang memiliki daya tarik. Pola spasial yang muncul berbeda dengan pola pada gambar (a) karena pada gambar (b) area B menerima keuntungan yang lebih besar dibanding area A karena area B memiliki akses baru ke pusat pertumbuhan. Dengan demikian efek spasial area B akan lebih luas dibanding area A sebagaimana ditunjukkan pada gambar 2.1 (b).

Dalam infrastruktur berpola titik sebagaimana diilustrasikan pada gambar 2.1 (c) dan (d), pola serupa dengan gambar (a) dan (b) juga muncul sesuai dengan karakteristik daerah yang saling terhubung. Jika infrastruktur titik dilokasikan di area yang relatif merata daya tariknya maka efek spasialnya akan berbentuk melingkar di mana area terluar dari lingkaran memiliki efek yang paling kecil. Seperti dalam infrastruktur linear, pola pertumbuhan juga mengalami perubahan jika infrastruktur titik diletakkan dekat dengan pusat kegiatan ekonomi area aglomerasi ekonomi.

(24)

2.2 Penyediaan Jaringan Jalan Desa

2.2.1 Jaringan Jalan Desa yang Efisien dan Efektif

Secara tradisional, jaringan jalan desa yang berupa jalan tanah bertujuan menghubungkan satu desa dengan desa lainnya (Van de Walle dan Cratty, 2002; Shrestha et al., 2014). Tujuan penghubungan antar desa ini ada berbagai macam antara lain untuk perdagangan (Linneker dan Spence, 1996), untuk upacara adat (Wickramasinghe dan Hopper, 2005) dan untuk mencapai pusat-pusat kegiatan baik ekonomi ataupun sosial (Makarachi dan Tillotson, 1991; Meng dan Yang, 2002; Shresta et al., 2014). O’Sullivan (2003) menyatakan bahwa suatu wilayah akan membuat sarana transportasi menuju wilayah lain jika dapat terjadi perdagangan yang menguntungkan baginya. Dengan demikian, semakin suatu wilayah dipandang menguntungkan untuk dilakukan perdagangan maka semakin banyak daerah lain yang membangun akses menuju daerah tersebut.

Lebih lanjut, Shresta (2013) dan Shrestha et al., (2014) berpendapat bahwa agar keterhubungan antar desa tersebut dapat terus terjadi sepanjang tahun, maka jalan dengan perkerasan yang dapat dilalui di segala cuaca adalah satu aspek penting dalam pengadaan jaringan jalan desa. Jaringan jalan desa tradisional yang berupa jalan tanah akan sulit dilalui jika turun hujan sehingga jaringan jalan tersebut tidak optimal dalam memberikan layanan aksesibilitas. Untuk menjaga keberlanjutan aksesibilitas antar desa maka jalan dengan perkerasan yang dapat dilalui di segala cuaca perlu diadakan.

Sepemikiran dengan Shresta (2013 dan 2014), Makarachi dan Tillotson (1991) berpendapat bahwa suatu jaringan jalan desa akan lebih efisien dan efektif jika tidak hanya bertujuan memberikan akses bagi tiap desa ke desa lainnya melainkan lebih berorientasi pada keterhubungan dengan pasar.

2.2.2 Keterhubungan

2.2.2.1 Keterhubungan dalam Jaringan Jalan

(25)

lainnya (Kansky, 1963; Morlok, 1967 dalam Patarasuk, 2013). Yang dimaksud sebagai titik adalah obyek-obyek yang direpresentasikan dalam peta (Mackaness dan Beard, 1993) dan hubungan antar titik-titik tersebut direpresentasikan dalam jalur-jalur (ibid.). Titik dapat berupa persimpangan jalan (Heinzle et al., 2005), atau desa (Scaparra dan Church, 2005) dan jalur adalah jaringan jalan yang menghubungkan titik-titik tersebut (Mackaness dan Beard, 1993).

Lebih lanjut, keterhubungan diidentifikasi sebagai suatu karakteristik penting tentang aktifitas fisik dari suatu lingkungan terbangun (Chin et al., 2008). Panduan perencanaan ruang di Indonesia tahun 2004 serta Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 (Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian, 2011) juga mengenali bahwa keterhubungan antar wilayah adalah penting bagi pertumbuhan wilayah tersebut. Rodrigue et al. (2013) berpendapat bahwa karena terdapat faktor jarak dalam hubungan antar wilayah dan adanya kebutuhan untuk mengatasi faktor tersebut, maka jaringan transportasi diperlukan untuk memindahkan manusia dan barang dari wilayah satu ke wilayah lainnya. Gambar 2.2 mengilustrasilan aspek-aspek dari sistem transportasi.

Gambar 2.2: Aspek-aspek Sistem Transportasi Sumber: Rodrigue et al., 2013

(26)

pola di mana tidak terdapat pemisahan wilayah dalam jaringan jalan. Sebagaimana ditunjukkan dalam gambar-gambar tersebut, volume arus dalam gambar 2.3 (a) di mana terdapat pembagian area dengan batasan tertentu lebih besar daripada arus di area di mana tidak terdapat batasan tertentu sebagaimana ditunjukkan dalam gambar 2.3 (b). Dalam hubungannya dengan kasus yang diamati di tesis ini, keadaan tersebut serupa dengan keberadaan klaster-klaster pertumbuhan serta penekanan pola jaringan transportasinya. Sesuai dengan panduan nasional tentang perencanaan tata ruang dan jalan, penekanan pola jaringan transportasi adalah pada keterhubungan antar titik dalam klaster pertumbuhan lalu keterhubungan antar klaster. Dengan pola demikian, maka terjadi semacam pola pembagian wilayah sebagaimana diilustrasikan pada gambar 2.3 (a) di mana terjadi arus lalu lintas yang relatif besar dalam klaster. Dengan demikian maka jaringan transportasi terutama jaringan jalan dalam klaster harus ditingkatkan baik kualitas maupun kuantitasnya untuk mewadahi arus yang terjadi. Pola yang sesuai dengan gambar 2.3 (b) terjadi pula dalam model yang diamati dalam studi kasus di mana pola jaringan jalan desa tipikal dimodifikasi dengan penekanan pada keterhubungan ke akses utama ke pasar. Dengan penekanan tersebut maka batasan arus sebagaimana yang terdapat pada pola dengan penekanan keterhubungan dalam klaster sebagaimana pada gambar 2.3 (a) tidak terjadi yang berakibat pada membesarnya arus lalu lintas pada jalur-jalur tertentu dengan tidak memperhatikan batasan wilayah klaster.

(27)

Gambar 2.3: Hubungan antara Jenis Jaringan dan Volume Arus Sumber: Rodrigue et al., 2013

Gambar 2.4: Matriks Keterhubungan Sumber: Rodrigue et al., 2013

2.2.2.2 Model Keterhubungan Jaringan Jalan

Untuk meninjau model keterhubungan jaringan jalan, penggunaan teori grafis sangat bermanfaat. Suatu grafik adalah suatu obyek yang terdiri dari titik-titik yang disebut vertex yang saling dihubungkan oleh garis-garis yang disebut jalur (Caldwell, 1995; West, 2001; Ruohonen, 2013). West (2001) menambahkan faktor ketiga yaitu hubungan di mana satu titik berfungsi sebagai titik awal dan titik lainnya berfungsi sebagai akhir.

(28)

berlokasi di Prussia dengan koordinat saat ini 54°42'24.7"N 20°30'33.9"E. Kota tersebut memiliki dua pulau dan pada suatu waktu terdapat tujuh jembatan yang menghubungkan kedua pulau tersebut. Para warga kota sering bertanya-tanya tentang apakah mereka dapat berangkat dari rumah mereka lalu pergi melintasi setiap jembatan tepat sekali sebelum mereka pulang kembali ke rumah (West, 2001). Peta kota saat ini sebagaimana ditunjukkan dalam gambar 2.2 memperlihatkan bahwa saat ini dua dari tujuh jembatan tersebut telah dihancurkan. Ketujuh jembatan yang menjadi bahan pertanyaan pada tahun 1700-an tersebut ditunjukk1700-an deng1700-an garis-garis hijau d1700-an merah. Garis-garis hijau menunjukkan jembatan-jembatan yang masih ada sedangkan garis-garis merah menunjukkan jembatan-jembatan yang telah dihancurkan.

West (2001) mengamati bahwa untuk masuk dan meninggalkan suatu pulau, sepasang jembatan diperlukan jika seseorang ingin melintasi jembatan yang sama hanya sekali. Dengan demikian kondisi kota Konigsberg dengan tujuh jembatannya tidak memenuhi persyaratan tersebut sehingga tidak mungkin bagi seseorang untuk berangkat dari satu titik lalu pergi melintasi setiap jembatan hanya sekali sebelum kembali lagi ke titik awal tersebut.

Pengamatan oleh West (2001) didasarkan pada metode yang dikembangkan oleh Euler (1763). Pada tahun 1763 Euler menjawab permasalahan Konigsberg dengan menyusun suatu metode yang dikenal sebagai jalur Euler (Caldwell, 1995). Euler menggunakan geometri untuk memberikan solusi bagi permasalahan tersebut. Dengan menggunakan titik dan garis, Euler membentuk model dari dua pulau di Konigsberg dengan tujuh jembatannya. Model tersebut ditunjukkan pada gambar 2.6.

(29)

keterhubungan dalam jaringan (West, 2001). Dengan menggunakan teorema tersebut, Euler menyimpulkan bahwa dalam kasus Konigsberg, tak seorangpun dapat berangkat dari satu titik lalu pergi melintasi setiap jembatan hanya sekali sebelum akhirnya kembali ke titik awal.

Penggunaan teori grafik dalam keterhubungan jaringan sebagaimana ditunjukkan dalam gambar 2.6 (b) terdiri dari beberapa bagian yang dikenal sebagai titik, jalur dan sirkuit (Caldwell, 1995). Titik adalah tempat di mana suatu jalur mulai atau berakhir. Derajad dari suatu titik adalah jumlah jalur yang terhubung dengan titik tersebut. Jalur adalah suatu sekuens dari ruas-ruas jalur atau garis dalam suatu grafis sedangkan suatu sirkuit adalah suatu jalur yang memiliki awal dan akhir pada titik yang sama. Dalam gambar 2.6 (b), A, B, C dan D adalah titik sedangkan derajad B, C dan D adalah 3 sementara A memiliki derajad 5. AB, BA, AC, CA, CD, BD dan AD adalah ruas-ruas jalur sedangkan ABACD adalah suatu contoh dari sebuah jalur sedangkan ABDCA adalah contoh dari suatu sirkuit.

(30)

(a) Peta yang Disederhanakan (b) Model Grafis

Gambar 2.6: Model dari Tujuh Jembatan di Kota Konigsberg Sumber: Caldwell, 1995

2.3 Orientasi dalam Jaringan Jalan Perdesaan

Tujuan utama dari pengadaan jaringan jalan perdesaan adalah untuk menghubungkan setiap desa (Makarachi dan Tillotson, 1991; Olsson, 2007; Shrestha, 2013; Shrestha et al., 2014). Lebih lanjut, Shrestha et al. (2014) mengamati bahwa pengadaan jalan-segala-cuaca di perdesaan juga penting karena jaringan jalan perdesaan sebagian besar didominasi oleh jalan tanah yang sulit dilalui jika hujan turun.

Namun, Makarachi dan Tillotson (1991) berpendapat bahwa tujuan dari pengadaan jaringan jalan seharusnya tidak hanya menyediakan akses bagi setiap desa. Kedua peneliti tersebut mengajukan pertimbangan baru bagi perencanaan jaringan desa yaitu orientasi jaringan. Makarachi dan Tillotson (1991) berpendapat bahwa jaringan jalan desa seharusnya diorientasikan pada wilayah pasar terdekat. Lebih lanjut, dalam memberi orientasi tersebut bagi jaringan jalan, jalur utama menuju pasar harus lebih dulu diidentifikasi. Pertimbangan selanjutnya dalam mengarahkan jaringan menuju area pasar adalah jalur mana yang harus diambil untuk mencapai akses utama menuju pasar.

(31)

konstruksi (Shrestha, 2013), maka dapat dikatakan bahwa biaya pengadaan jaringan jalan desa terdiri dari biaya konstruksi dan biaya perjalanan (Makarchi dan Tillotson, 1991; Shrestha, 2013, Shreshta et al., 2014).

Lebih lanjut, Makarchi dan Tillotson (1991) mengembangkan suatu model jaringan jalan desa dengan orientasi pada keterhubungan dengan akses utama pada area pasar. Gambar 2.7 menunjukkan perkembangan model jaringan desa menurut Makarachi dan Tillotson (1991). Dalam gambar 2.7 (a) ditunjukkan model jaringan jalan desa tipikal yang menekankan pada keterhubungan tiap desa. Model ini dikembangkan dengan memberinya orientasi pada pasar sebagaimana diilustrasikan pada gambar 2.7 (b). Dalam gambar, terdapat empat area pasar dengan daya tarik yang diasumsikan sama.

Dalam mengembangkan model jaringan jalan sebagaimana ditunjukkan pada gambar 2.7, Makarchi dan Tillotson (1991) menggunakan dua jenis biaya sebagai parameter yaitu biaya konstruksi dan biaya perjalanan. Biaya pemeliharaan dimasukkan ke dalam biaya konstruksi. Dalam pengamatannya, kedua peneliti mengamati bahwa biaya konstruksi adalah proporsional terhadap panjang jalan sedangkan biaya perjalanan proporsional terhadap jumlah orang yang terhubung dengan jalan tersebut serta panjang jalan.

(32)

(a) Model Jaringan Tipikal (b) Model Jaringan yang Dikembangkan dengan

Orientasi pada Pasar

Gambar 2.7: Model Jaringan Jalan Perdesaan yang Dikembangkan Makarachi dan Tillotson ,1991

Sumber: Makarachi dan Tillotson, 1991

2.4 Biaya Konstruksi (Construction Costs) dan Biaya Perjalanan

(Travel Costs)

Terdapat tiga biaya yang termasuk dalam biaya transportasi yaitu biaya konstruksi, biaya pemeliharaan dan biaya perjalanan (Makarachi dan Tillotson, 1991). Namun, biaya pemeliharaan dapat dimasukkan ke dalam biaya konstruksi (Shrestha, 2013) sehingga dapat dikatakan bahwa biaya yang memengaruhi biaya transportasi adalah biaya konstruksi dan biaya perjalanan. Elemen signifikan dari biaya konstruksi adalah panjang dari jalur (Kumar dan Tilloston, 1985; Shrestha, 2013; Rodrigue et al., 2013). Dalam bagian selanjutnya beberapa literatur tentang biaya konstruksi dan biaya perjalanan ditinjau.

2.4.1 Biaya Konstruksi

(33)

eskalasi harga material. Eshofonie (2008) menyusun 40 faktor yang berperan dalam biaya konstruksi dengan menekankan pada faktor-faktor yang disebabkan oleh para aktor dalam suatu pekerjaan konstruksi yaitu klien, konsultan dan kontraktor.

Namun, Shrestha (2013) mendukung Kumar dan Tilloston (1985) dengan berpendapat bahwa faktor paling berpengaruh dalam biaya konstruksi adalah panjang jalan. Faktor ini adalah faktor proporsional dari biaya konstruksi yang berarti sangat berpengaruh terhadap besaran biaya konstruksi. Maka, untuk meminimalkan biaya konstruksi dari suatu pengadaan jaringan jalan, adalah penting untuk mengidentifikasi jalur mana saja yang mampu membentuk total panjang jalur terpendek dalam suatu jaringan.

Untuk mengidentifikasi panjang dari suatu jaringan jalan, teori grafis dapat digunakan. Tinjauan terhadap teori grafis disajikan dalam bagian 3.2.1.

2.4.2 Biaya Perjalanan

Biaya yang harus dibayar oleh pengguna jalan terdiri dari berbagai jenis. Biaya tersebut dapat dalam bentuk waktu yang harus diluangkan untuk perjalanan (Tsekeris dan Geroliminis, 2013), uang, kenyamanan dan keamanan (Prideaux, 2000). Rodrigue et al. (2013) mengamati bahwa ukuran paling berpengaruh bagi biaya perjalanan adalah panjang jalan serta waktu tempuh.

(34)

tertentu dapat menghemat waktu perjalanan. Makarchi dan Tillotson (1991) mengusulkan bahwa pusat perdagangan atau area pasar sebagai orientasi yang sangat menarik bagi penduduk desa sehingga jaringan jalan desa seharusnya diatur dengan orientasi menuju pada pusat-pusat perdagangan tersebut.

(35)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Gambaran Umum

Secara garis besar, penelitian dalam tesis ini bertujuan membandingkan dua model jaringan jalan dengan tujuan untuk mencari model mana yang dapat menghasilkan suatu jaringan jalan yang efisien sekaligus efektif. Perbandingan dilakukan antara model yang diturunkan dari penelitian Makarachi dan Tillotson (1991), yang berorientasi pada pasar, dengan model yang diturunkan dari panduan-panduan nasional yang berhubungan dengan perencanaan jalan di Indonesia, yang lebih berorientasi pada keterhubungan dalam klaster.

(36)

3.2 Pencarian Jalur Terpendek dengan Menggunakan Algoritma

Dijkstra dan Faktor Percepatan

Untuk mengembangkan suatu jaringan jalan yang efisien, algoritma Dijkstra serta penambahan faktor percepatan ke dalamnya dapat digunakan. Sementara algoritma Dijkstra yang orisinil dalam tujuannya untuk menemukan jalur terpendek dalam suatu jaringan menggunakan jarak aktual, penambahan faktor percepatan ikut mempertimbangkan pula faktor kepadatan lalu lintas yang mungkin muncul akibat dari nilai derajad suatu titik. Kedua konsep tersebut dibahas di bagian berikut.

3.2.1 Algoritma Dijkstra

Algoritma Dijkstra bertujuan menemukan jalur terpendek dari satu titik ke titik lain dalam suatu jaringan (Skiena, 1990). Dalam tujuannya mencari jalur terpendek tersebut, Dijkstra (1959) menggunakan satu set titik-titik dan jalur-jalur. Dalam karyanya yang orisinil, terdapat dua masalah yang ditanggapi yaitu tentang pencarian jalur total terpendek dalam jaringan serta pencarian jalur terpendek dari satu titik ke titik lain. Dalam tesis ini dicari jalur terpendek dari satu titik yaitu satu desa ke satu titik akar yaitu satu desa yang memiliki akses utama menuju pasar. Model jaringan dengan total jalur terpendek diasumsikan akan diidentifikasi jika jalur terpendek dari tiap-tiap desa ke titik akar ditemukan.

(37)

Dalam gambar 2.8 kelompok-kelompok garis dan titik ditunjukkan. Langkah pertama (a) adalah menetapkan titik sumber dalam hal ini titik A. Titik-titik terdekat yaitu yaitu titik B, C dan D dimasukkan ke dalam set B. Langkah selanjutnya adalah menemukan titik yang paling dekat dengan titik A. Titik B dan D dipilih karena keduanya berjarak 2 dari titk A. Dari pemilihan ini maka titik F, E dan G berubah menjadi set B. Dalam menuju titik H, titik E adalah titik terdekat sehingga titik D berubah menjadi kategori set A yang akhirnya berhubungan langsung dengan titik akhir H. Jalur terpendek dari titik A ke H adalah ADEH.

Gambar 3.1: Algoritma Dijkstra untuk Mencari Jalur Terpendek Sumber: Disarikan dari Dijkstra, 1959

3.2.2 Faktor Percepatan

(38)

berbeda dengan kepadatan ruas jalur AB pada gambar (b) karena A pada gambar terakhir memiliki sumber arus lalu lintas yang lebih banyak daripada B.

Gambar 3.2: Perbedaan Kepadatan Ruas Jalur antara Dua Titik dengan Kondisi yang Berbeda

Sumber: Disarikan dari Bhaarli dan Baruah, 2013

Untuk menanggapi berbagai perbedaan kondisi dari tiap titik, Bharali dan Baruah (2013) mengembangkan berbagai metode untuk menghitung suatu faktor percepatanδuntuk ditambahkan pada algoritma Dijkstra. Metode-metode tersebut adalah edge density, edge betweenness centrality and induced Markov chain. Metode-metode tersebut ditinjau lebih lanjut dalam bagian-bagian selanjutnya. Dengan penambahan faktor percepatan, pencarian terhadap jalur terpendek tidak lagi didasarkan pada panjang aktual tapi lebih pada panjang efektif. Rumusan untuk menghitung panjang efektif ditunjukkan dalam persamaan di bawah dengan duvadalah panjang aktual..

3.2.2.1 Kepadatan Ruas Jalur

(39)

adalah negative maka persamaan yang berlaku adalah 1- o(B)/o(A). Faktor percepatan δ didefinisikan sebagai 1- χAB. Gambar 3.3 (a) dan (b) menyajikan contoh penggunaan rumusan tersebut.

(a) Grafis G dengan Panjang Ruas Jalur Aktual

(b) Nilai Efektif Tiap Jalur

Gambar 3.3: Faktor Percepatan dengan Metode Kepadatan Ruas Jalur Sumber: Bharali dan Baruah, 2013

Dengan mengubah panjang aktual dalam gambar 3.3 (a) dengan panjang efektif sebagaimana ditunjukkan dalam gambar 3.3 (b), jalur terpendek dari A ke D adalah jalurABED.

3.2.2.2 Keterpusatan Jalur

Keterpusatan jalur mempertimbangkan kepadatan jalur dengan mengamati kemungkinan suatu jalur dilewati atau dengan kata lain mengamati nilai penting relatif suatu ruas jalur dalam suatu jaringan. Nilai keterpusatan jalur e (μ e) ditentukan dengan membagi jumlah total laluan yang melintasi suatu ruas jalur dengan jumlah total jalur terpendek dalam suatu jaringan. Faktor percepatan δ

(40)

grafik G dalam gambar (b) dengan panjang efektif , maka jalur terdekat dari A ke D berdasarkan panjang efektif adalah ABED.

Gambar 3.4: Faktor Percepatan dengan Metode Keterpusatan Ruas Jalur Sumber: Bharali dan Baruah, 2013

3.2.2.3Induced Markov Chain

Berbeda dengan dua metode sebelumnya, the induced Markov chain menggunakan suatu grafis berarah yang artinya kepadatan lalu lintas dari A ke B dapat saja berbeda dengan dari B ke A. Faktor percepatanδdiasumsikan memiliki nilai yang sama dengan fungi probabilitas p=1-degout(v) di mana degout(v) adalah

derajad atau jumlah jalur yang keluar dari titik v. Gambar 2.12 menggambarkan grafik G dengan panjang aktualnya sementara gambar 2.13 mengilustrasikan induced Markov chaindari grafis tersebut. Tabel 2.5 menunjukkan nilai dari jalur

(b) Grafik G dengan Panjang Aktual

(c) Nilai Efektif Tiap Jalur (a) Jalur-jalur Terpendek dari Satu Titik

(41)

Dari semua metode untuk menemukan faktor percepatan yang dikembangkan oleh Bharali dan Baruah (2013), metode kepadatan jalur adalah dasar dari kedua metode lainnya. Maka untuk melakukan riset awal dalam tesis ini digunakan metode tersebut.

Gambar 3.5: Faktor Percepatan dengan Metode Induced Markov Chain Sumber: Bharali dan Baruah, 2013

3.3 Uji Kruskal-Wallis

Uji Kruskal-Wallis adalah uji non-parametrik terhadap tiga atau lebih kondisi (Field, 2009). Uji ini serupa dengan uji Mann-Whitney yang mendasarkan pengujian pada pemeringkatan sampel. Kondisi yang sesuai untuk uji Kruskal-Wallis adalah sebagai berikut (Hole, 2011):

a) Terdapat tiga atau lebih kondisi untuk dibandingkan; b) Tiap kondisi dilakukan oleh beberapa grup yang berbeda;

c) Data yang digunakan tidak memenuhi persyaratan untuk dilakukan suatu uji parametrik, dengan kata lain data tersebut tidak terdistribusi secara normal; atau data diukur secara ordinal.

(a) Grafik G dengan Panjang Aktual

(b) Nilai Efektif Tiap Jalur

(42)

Langkah-langkah untuk melakukan uji Kruskal-Wallis adalah sebagai berikut (Hole, 2011):

Langkah 1:

Beri peringkat pada semua skor dengan mengabaikan grup-grup yang ada. Prosedur untuk melakukan peringkat adalah sebagai berikut: skor terendah memperoleh peringkat terendah. Jika terdapat dua atau lebih skor yang sama, maka mereka saling terikat. Peringkat dari masing-masing skor yang saling terikat tersebut diperoleh dengan memberi masing-masing skor peringkat normal seolah tidak terjadi persamaan skor lalu menjumlah peringkat tersebut dan membaginya dengan jumlah skor yang sama.

Langkah 2:

Jumlahkan peringkat dalam tiap grup.

Langkah 3:

Hitung nilai H menggunakan persamaan berikut:

12 k R12

H = Σ -3(N+1)

N(N+1) i=1 ni

dengan Ri adalah jumlah peringkat pada tiap grup, N adalah total jumlah sampel danniadalah jumlah sampel dalam tiap grup.

Langkah 4:

Tentukan derajad kebebasan (degrees of freedom)kyang diperoleh dengan persamaan:

(43)

Langkah 5:

Bandingkan nilai H terhitung dengan tabel Chi-square berdasar nilai degrees of freedomuntuk mengetahui nilai signifikansi H.

Uji Kruskal-Wallis hanya menyatakan bahwa apakah terdapat perbedaan antar grup namun tidak menyatakan bagaimana dan siapa saja di antara mereka yang saling berbeda (Field, 2009).

Untuk menindaklanjuti uji Kruskal-Wallis serta untuk mengetahui bagaimana grup-grup yang diuji saling berbeda, uji lanjutan yaitu uji Mann-Whitney dilakukan.

(44)

3.4 Uji Mann-Whitney

Uji Mann-Whitney adalah pengujian terhadap perbedaan dari dua kondisi yang berbeda (Field, 2009). Pengujian dilakukan dengan membandingkan apakah terdapat perbedaan yang signifikan terhadap nilai titik tengah dari dua grup yang mewakili dua kondisi yang berbeda (Mann dan Whitney, 1947).

Langkah-langkah dalam uji Mann-Whitney serupa dengan uji Kruskal-Wallis yaitu diawali dengan memberi peringkat terhadap masing-masing skor tanpa memperhatikan grup dan kemudian membandingkan nilai U hitung dengan nilai U tabel untuk mencari nilai signifikansinya. Berikut adalah langkah-langkah melakukan uji Mann-Whitney:

Langkah 1:

Beri peringkat pada semua skor dengan mengabaikan grup-grup yang ada. Prosedur pemeringkatan serupa dengan yang dilakukan dalam uji Kruskal-Wallis yaitu: skor terendah memperoleh peringkat terendah. Jika terdapat dua atau lebih skor yang sama, maka mereka saling terikat. Peringkat dari masing-masing skor yang saling terikat tersebut diperoleh dengan memberi masing-masing skor peringkat normal seolah tidak terjadi persamaan skor lalu menjumlah peringkat tersebut dan membaginya dengan jumlah skor yang sama.

Langkah 2:

Jumlahkan peringkat dalam tiap grup.

Langkah 3:

Hitung nilai U masing-masing grup menggunakan persamaan berikut:

(45)

dengan n1 dan n2 adalah jumlah sampel pada masing-masing grup yang

dibandingkan dan R1 adalah jumlah peringkat dari grup yang diamati.

Lakukan perhitungan pada grup kedua dengan persamaan sebagai berikut:

U2=

n

2.n1+

n

2(n2+1)– Σ R2 2

Langkah 4:

Cari nilai U terendah di antara dua nilai U tersebut, lalu bandingkan dengan tabel nilai U untuk menentukan nilai signifikansi U.

(46)

3.5 Analisa Multi-Kriteria Menggunakan

Software

Definite 3.1

Analisa ini dilakukan untuk melakukan analisa lebih lanjut terhadap hasil uji statistik terhadap aspek-aspek keluaran. Karena sifat hasil uji statistik, dalam hal ini nilai signifikansi perbedaan masing-masing grup berdasar uji Kruskal-Wallis dan Mann-Whitney, yang terlalu umum, maka diperlukan analisa lanjutan untuk mengamati hasil uji statistik tersebut.

Analisa multi-kriteria menggunakansoftwareDefinite 3.1 adalah analisa terhadap beberapa alternatif dengan memperhatikan beberapa aspek untuk melakukan pemeringkatan alternatif-alternatif tersebut. Software Definite 3.1 dikembangkan oleh Universitas Amsterdam, Belanda untuk melakukan beberapa analisa, yaitu analisa multi-kriteria dan cost-benefit, terhadap beberapa alternatif dengan memperhatikan beberapa aspek. Langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut:

Langkah 1:

Tentukan alternatif-alternatif yang akan diamati. Dalam tesis ini alternatif yang diamati adalah jaringan-jaringan jalan perdesaan yang terbentuk berdasarkan pengaplikasian aspek-aspek penentu.

Langkah 2:

(47)

Langkah 3:

Tentukan nilai dari masing-masing matrik yang terbentuk berdasarkan alternatif-alternatif serta efek-efeknya, seperti yang ditampilkan dalam tabel 3.3.

Langkah 4:

Lakukan pembobotan masing-masing aspek. Pembobotan bisa dilakukan dengan berbagai metode, namun dalam tesis ini yang digunakan adalah metode pairwaise comparison yaitu dengan membandingkan bobot pasangan-pasangan aspek. Sebagai contoh, dalam tesis ini aspek pengaruh terhadap perkembangan wilayah dinilai memiliki bobot lebih daripada aspek keterhubungan dalam klaster karena tujuan penyediaan jaringan jalan dari daerah yang kurang berkembang adalah agar daerah tersebut memiliki akses pada pusat kegiatan sehingga dapat lebih berkembang (Oosterhaven dan Knaap, 2003).

Alternatif 1 Alternatif 2 Alternatif 3

Efek 1 …… …… ……

Efek 2 …… …… ……

Efek 3 …… …… ……

Tabel 3.3: Matrik Alternatif dan Efek Sumber: Definite v. 3.1

Langkah 5:

(48)

Dengan melakukan analisa multi-kriteria ini diharapkan bahwa ada atau tiadanya perbedaan yang signifikan yang diketahui melalui uji statistik dapat diamati secara lebih detail yang dalam hal ini peringkat masing-masing grup dapat teramati berdasarkan berbagai aspek.

3.5 Pengamatan terhadap Karakteristik Model

Pengamatan terhadap karakteristik model-model yang digunakan dilakukan untuk mengamati lebih lanjut hasil uji statistik yang telah dilakukan. Dengan membandingkan karakteristik-karakteristik model-model jaringan jalan yang digunakan serta menghubungkannya dengan tinjauan-tinjauan literatur tertentu maka diharapkan dapat diperoleh penjelasan mengapa uji statistik menunjukkan hasil tertentu. Tabel 3.4 menampilkan perbandingan yang dilakukan.

Karakteristik 1 Karakteristik 2 Karakteristik 3 Model 1

Model 2

(49)

BAB IV

STUDI KASUS

4.1 Gambaran Umum

Dalam studi kasus ini akan diterapkan dua model jaringan jalan untuk diamati efektifitas serta efisiensi jaringan jalan yang terbentuk akibat pengaplikasian kedua model. Model pertama adalah sesuai yang dikembangkan oleh Makarachi dan Tillotson (1991) yang memiliki orientasi terhadap keterhubungan dengan pasar, sedangkan model kedua adalah model jaringan jalan yang diturunkan dari panduan-panduan nasional yang berhubungan dengan perencanaan jaringan jalan antara lain Undang-undang No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan, Masterplan Percapatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (Kementrian

Koordinator Bidang Perekonomian, 2011) serta Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 16/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata

Ruang Wilayah Kabupaten. Model kedua ini memiliki orientasi terhadap

keterhubungan antar desa dalam satu wilayah. Masing-masing model tersebut diilustrasikan pada gambar 4.4.

(50)

4.2 Pendekatan yang Digunakan dalam Perencanaan Jaringan Jalan di

Indonesia

Perencanaan jaringan jalan di Indonesia tidak lepas dari perencanaan pengembangan wilayah. Dalam panduan penyusunan rencana tata ruang wilayah tingkat kabupaten, disyaratkan bahwa tiap-tiap jenis pusat pertumbuhan dilayani oleh jalan dengan status dan kelas tertentu. Status dan kelas jalan ini lebih lanjut diatur dalam peraturan-peraturan terkait yang berhubungan dengan perencanaan fisik jalan antara lain Undang-undang No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan, Masterplan Percapatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

(Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian, 2011) serta Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 16/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten hingga Peraturan Daerah Provinsi Jawa

Tengah Nomor 8 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Perhubungan di Provinsi

Jawa Tengah. Secara lebih lengkap pendekatan perencanaan jaringan jalan di kabupaten-kabupaten di Indonesia dijelaskan dalam bagian-bagian selanjutnya.

4.2.1 Pembentukan Klaster-klaster Pertumbuhan Strategi Pengembangan Wilayah di Indonesia

Karakter yang paling menonjol dalam strategi pengembangan spasial di Indonesia adalah penetapan klaster-klaster pertumbuhan. Pada level nasional, pusat-pusat pertumbuhan berupa Koridor Ekomoi. Terdapat enam koridor ekonomi yang di dalamnya terdiri dari sekelompok pulau-pulau. Tiap klaster disusun untuk mengembangkan beberapa produk-produk dan servis tertentu yang mendukung pengembangan ekonomi nasional. Produk-produk dan servis yang ditetapkan berdasar pada sumber daya manusia dan manusia yang paling menonjol di tiap koridor. Gambar 4.1 menunjukkan koridor-koridor ekonomi di Indonesia.

(51)

Anggota-anggota dalam kalster-klaster ini diharapkan saling mendukung satu sama lain untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dalam tiap klaster. Gambar 4.2 menunjukkan model dari klaster-klaster tersebut.

Dalam level kabupaten, kalster-klaster pertumbuhan terdiri dari desa-desa dan dibentuk selain untuk mendorong pertumbuhan desa-desa dalam klaster juga untuk mendukung pertumbuhan desa-desa sekitar klaster. Hal tersebut dilakukan dengan menetapkan pusat pertumbuhan dalam klaster dan pusat tersebut diharapkan berperan menjadi semacam contoh pertumbuhan atau sebagai coordinator bagi pertumbuhand desa-desa lain di sekelilingnya. Pengaturan ini ditetapkan sedemikian rupa karena sebagian desa di area kabupaten masih perlu dibantu perkembangannya. Pengaturan klaster-klaster pertumbuhan dalam level kabupaten ditunjukkan dalam gambar 4.2.

(52)

Gambar 4.2: Klaster-klaster Pertumbuhan di Indonesia Sumber: Pengolahan Data dari Kementrian Pekerjaan Umum, 2009;

Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian, 2011

4.2.2 Manajemen Pengembangan Jalan di Indonesia 4.2.2.1 Sistem Hukum

Pertumbuhan infrastruktur jalan di Indonesia berada dalam sistem hirarkis. Level teratas dari sistem hukum tentang jalan adalah Undang-undang No. 38/2004 tentang jalan. Pada level di bawahnya terdapat Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 34/2006 tentang jalan serta Peraturan Menteri Pekerjaan Umum yang terdiri dari dua panduan yairu No. 16/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten dan No. 30/PRT/M/2012 tentang Pedoman Penetapan Fungsi Jalan dan Status Jalan. Dua panduan ini menyediakan peraturan tentang bagaimana seharusnya jaringan jalan disusun pada tingkat kabupaten. Level yang lebih bawah lagi adalah peraturan daerah yang berhubungan dengan kelas dan status jalan (Gubernur Jawa Tengah, 2013) disusul oleh level yang lebih bawah yaitu peraturan daerah dan keputusan bupati. Peraturan-peraturan pada level yang lebih bawah harus sesuai dengan peraturan pada level yang lebih atas. Gambar 4.3 mengilustrasikan hirarki sistem hukum tentang manajemen jalan di Indonesia.

4.2.2.2 Kategori Jalan

Di Indonesia, jalan diklasifikasikan dalam dua kategori utama berdasarkan jenis

Kabupaten

Kawasan Strategis

Koridor Ekonomi

Level Nasional

Level Desa (PPL) Level Kecamatan (PPK)

(53)

Republik Indonesia, 2006). Jalan khusus adalah jalan yang dibangun dan dipelihara oleh pihak tertentu untuk kepentingan mereka sendiri sedangkan jalan umum adalah jalan yang dibangun, dipelihara dan digunakan oleh masyarakat umum dengan campur tangan pemerintah. Kategori jalan umum dibagi lagi menjadi beberapa bagian berdasarkan sistem jaringan jalan, fungsi jalan, status jalan dan kelas jalan.

Sistem jaringan jalan dibagi menjadi jaringan primer dan sekunder. Sistem jaringan jalan primer secara simultan terhubung dengan pusat-pusat pertumbuhan nasional, regional, lokal dan komunal sedangkan jaringan jalan sekunder menghubungkan area dalam tingkat kabupaten hingga level rumah tangga.

Fungsi jalan dibagi menjadi empat jenis yaitu arteri, kolektor, lokal dan lingkungan. Keempat fungsi ini muncul dalam tiap sistem jaringan jalan sehingga terdapat empat yaitu arteri-primer, kolektor-primer, lokal-primer, primer, arteri-sekunder, kolektor-sekunder, lokal sekunder dan lingkungan-sekunder. Terdapat kecepatan dan lebar jalan minimum untuk tiap-tiap fungsi jalan. Tabel 4.1 menunjukkan batas minimal kecepatan dan lebar jalan untuk kedelapan fungsi jalan.

Status jalan dibagi menjadi lima yaitu jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten, jalan kota dan jalan desa (Pemerintah Republik Indonesia, 2006). Tiap-tiap status jalan berhubungan dengan satu atau lebih fungsi jalan. Hubungan tersebut ditunjukkan dalam tabel 4.2.

(54)
(55)

Status Jalan Fungsi Jalan Terkait Jalan Nasional Arteri–primer, kolektor–primer

Jalan Provinsi Kolektor–primer

Jalan Kabupaten Kolektor–primer, lokal–primer, jalan-jalan sekunder Jalan Kota Jalan-jalan sekunder

Di tingkat nasional di Indonesia, beberapa peraturan perundangan telah mengaitkan perencanaan jaringan jalan dengan pengembangan wilayah. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (Kementrian Pekerjaan Umum, 2009) dan Undang-undang 38 tahun 2004 tentang Jalan. Pasal 9 ayat (4) UU 38/2004 menyatakan:

Jalan kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jalan lokal dalam sistem jaringan jalan primer yang tidak termasuk pada ayat (2) dan ayat (3), yang menghubungkan ibukota kabupaten dengan ibukota kecamatan, antaribukota kecamatan, ibukota kabupaten dengan pusat kegiatan lokal, antarpusat kegiatan lokal, serta jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder dalam wilayah kabupaten, dan jalan strategis kabupaten.”

Tabel 4.2: Status dan Fungsi Jalan Sumber: Pemerintah Republik Indonesia, 2006

Tabel 4.3: Kelas Jalan

(56)

Dalam Bab II bagian 2.1.2 tentang sistem prasarana utama dinyatakan:

“(iii) Jaringan jalan kabupaten yang terdiri atas: jalan kolektor

primer yang tidak termasuk dalam jalan nasional dan provinsi; jalan lokal primer yang menghubungkan ibukota kabupaten dengan ibukota kecamatan, ibukota kabupaten dengan pusat desa, antaribukota kecamatan, ibukota kecamatan dengan desa, dan antardesa; jalan sekunder; dan jalan strategis kabupaten.”

Pasal 1 pada nomor 11, Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 03/PRT/M/2012 menyatakan:

“Jalan Lokal Primer yang selanjutnya disingkat JLP adalah jalan yang menghubungkan secara berdaya guna pusat kegiatan nasional dengan pusat kegiatan lingkungan, pusat kegiatan wilayah dengan pusat kegiatan lingkungan, antarpusat kegiatan lokal, atau pusat kegiatan lokal dengan pusat kegiatan lingkungan, serta antarpusat kegiatan lingkungan.”

Sesuai dengan panduan tersebut maka jaringan jalan kabupaten bertujuan melayani klaster-klaster pertumbuhan yang ada dengan spesifikasi sesuai yang dinyatakan di pasal 15 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan:

“Jalan lokal primer didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 20 (dua puluh) kilometer per jamdengan lebar badan jalan paling sedikit 7,5 (tujuh koma lima) meter.”

(57)

Di bidang penelitian terhadap perencanaan jaringan jalan, beberapa peneliti mengembangkan teori-teori dan metode-metode untuk melihat hubungan pengembangan jaringan jalan dengan pertumbuhan wilayah. Oosterhaven dan Knaap (2003) berpendapat bahwa daerah-daerah yang isomorfis, atau memiliki kemiripan dalam karakter guna lahannya, tidak akan menunjukkan pola pertumbuhan wilayah yang besar dibanding jika dihubungkan satu dengan lainnya dengan jika yang dihubungkan adalah daerah-daerah yang non-isomorfis, atau daerah yang berbeda karakteristik guna lahannya, terutama jika salah satu daerah tersebut memiliki pusat kegiatan yang lebih besar dibanding dengan daerah lainnya. Gambar 4.4 mengilustrasikan pendapat tersebut.

Gambar 4.4: Efek Spasial dari Pengadaan Infrasturktur Jalan Sumber: Oosterhaven dan Knaap, 2003

(58)

Pertumbuhan ekonomi di Indonesia dicirikan dengan pembentukan klaster-klaster pertumbuhan (Kementrian Pekerjaan Umum, 2009; Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian, 2011). Dengan memperhatikan panduan-panduan nasional yang berhubungan dengan perencanaan jaringan jalan di Indonesia yang telah disebutkan sebelumnya, maka jaringan jalan bertujuan untuk melayani pertumbuhan klaster-klaster tersebut. Dari panduan-panduan nasional tersebut maka suatu model jaringan jalan yang berorientasikan pada keterhubungan dalam klaster dapat diturunkan seperti yang ditunjukkan pada gambar 4.5 (b).

(a) Model Jaringan Jalan Perdesaan berdasar Makarachi dan Tillotson

(1991)

(b) Model Jaringan Jalan Perdesaan berdasar Panduan-panduan Nasional

Sumber: Disarikan dari Kementrian Pekerjaan Umum, 2009 dan Kementrian Koordinator Bidang

Perekonomian, 2011.

Gambar 4.5: Dua Model Alternatif bagi Perencanaan Jaringan Jalan Perdesaan

4.3 Studi Kasus 1: Kabupaten Blora, Jawa Tengah

(59)

Karena klaster-klaster tersebut dimaksudkan sebagai pusat-pusat pertumbuhan maka seharusnya klaster-klaster tersebut memiliki akses menuju titik titik akar yang terhubung dengan jalur utama ekonomi. Jaringan jalan eksisting di Kabupaten Blora yang terhubung dengan klaster-klaster pertumbuhan saat ini adalah jaringan jalan desa sedangkan peraturan Menteri Pekerjaan Umum mensyaratkan bahwa status jalan yang melayani pusat-pusat pertumbuhan di tingkat kabupaten adalah jalan kabupaten (Kementrian Pekerjaan Umum, 2012). Untuk meningkatkan keterhubungan dan aksesibilitas dari tiap desa dalam klaster-klaster tersebut dan untuk memenuhi persyaratan dari Kementrian Pekerjaan Umum maka kapasitas jalan yang menghubungkan desa-desa dalam dan antar klaster pertumbuhan di Kabupaten Blora perlu ditingkatkan menjadi jalan berstatus jalan kabupaten dengan spesifikasinya.

(60)

Gambar 4.6: Grafis Jalur Jalan Perdesaan Eksisting di Kabupaten Blora Sumber: Diolah dari RTRW Kabupaten Blora 2011-2031

Gambar 4.7: Jalur-jalur Terpendek Berdasarkan Panjang Efektif Di Kabupaten Blora

Sumber: Pengolahan Data

(61)

a. Berdasarkan Panjang

actual efective actual efective actual efective actual efective actual efective Klaster BL1 89,10 37,72 55,58 18,07 60,41 18,24 56,31 14,31 55,38 15,41 Kalster BL2 90,81 48,62 44,10 11,48 61,80 10,91 44,87 10,83 55,81 12,46 Klaster BL3 91,34 47,69 53,51 19,04 60,26 18,71 57,48 20,37 60,05 18,51 Klaster BL4 39,36 15,32 25,68 11,70 23,78 9,92 29,24 13,09 29,99 12,19

Klaster

Jenis Model

M-CC M-TC CL-CC CL-TC

Awal

b. Berdasarkan Prosentase terhadap Panjang Awal

actual efective actual efective actual efective actual efective Klaster BL1 62,38% 47,91% 67,80% 48,36% 63,20% 37,94% 62,15% 40,85% Kalster BL2 48,56% 23,61% 68,05% 22,44% 49,41% 22,27% 61,46% 25,63% Klaster BL3 58,58% 39,92% 65,97% 39,23% 62,93% 42,71% 65,74% 38,81% Klaster BL4 65,24% 76,37% 60,42% 64,75% 74,29% 85,44% 76,19% 79,57%

Klaster

Jenis Model

M-CC M-TC CL-CC CL-TC

Tabel 4.4: Perbandingan Panjang Jaringan Jalan Yang Terbentuk Berdasarkan Model Studi di Kabupaten Blora

4.4 Studi Kasus 2: Kabupaten Temanggung, Provinsi Jawa Tengah

Klaster-klaster pertumbuhan pada Kabupaten Temanggung adalah kawasan strategis. Tiap-tiap klaster berupa satu kawasan kecamatan dengan ibukota kecamatan sebagai pusat pertumbuhan (Pemerintah Kabupaten Temanggung,

Gambar 4.8: Jalur-jalur Terpendek Berdasarkan Panjang Aktual Di Kabupaten Blora

Sumber: Pengolahan Data

(62)

dengan memperkuat keterhubungan dalam dan antar klaster serta untuk menghubungkan desa-desa dalam klaster dengan jalur ekonomi utama yang melintasi kabupaten tersebut yaitu jalan nasional dan jalan provinsi. Dengan demikian, terdapat titik-titik akar yaitu desa-desa yang terlewati oleh jalur ekonomi utama tersebut.

(63)

Gambar 4.9 menunjukkan jaringan jalan eksisting serta klaster-klaster pertumbuhan yang termasuk dalam kawasan stretegis agropolitan di Kabupaten Temanggung. Dengan menggunakan algoritma Dijkstra serta faktor percepatan kepadatan ruas jalur, jalur terpendek dari tiap-tiap desa menuju titik akar tertentu dapat diidentifikasi. Dalam pencarian jalur-jalur terpendek ini, tiap titik akar diasumsikan memiliki daya tarik yang sama sehingga tiap desa diasumsikan akan berusaha mencari titik akar yang terdekat tanpa memandang ke mana jalur ekonomi utama yang melewatinya menuju. Empat parameter digunakan untuk mengidentifikasi jalur-jalur terpendek yaitu biaya konstruksi, biaya perjalanan, orientasi pada keterhubungan dalam klaster serta orientasi keterhubungan dengan pasar. Dari keempat parameter tersebut disusun empat buah model jaringan jalan. Tabel 4.5 dan gambar 4.10 serta 4.11 menunjukkan peringkat model jaringan jalan berdasar pada jalur-jalur terpendek yang terbentuk dalam jaringannya. Pendeknya jalur yang terbentuk mengindikasikan efektifitas serta efisiensi jaringan dari sisi biaya konstruksi yang harus dibayar pemerintah sebagai penyandang dana dan dari sisi biaya perjalanan yang harus dibayar pengguna jalan.

(64)

a. Berdasarkan Panjang

actual efective actual efective actual efective actual efective actual efective Klaster TM1 5,65 2,75 3,73 2,04 3,84 1,98 3,73 2,04 3,84 1,98 Klaster TM2 5,70 1,88 4,29 1,41 4,29 1,41 4,29 1,41 4,29 1,41

Klaster

Jenis Model

M-CC M-TC CL-CC CL-TC

Awal

Gambar 4.11: Jalur-jalur Terpendek Berdasarkan Panjang Aktual di Kabupaten Temanggung

Sumber: Pengolahan Data

(a) Orientasi terhadap Pasar (b) Orientasi terhadap Klaster Gambar 4.10: Jalur-jalur Terpendek Berdasarkan Panjang Efektif

di Kabupaten Temanggung Sumber: Pengolahan Data

(65)

b. Berdasarkan Prosentase terhadap Panjang Awal

actual efective actual efective actual efective actual efective Klaster TM1 66,02% 74,18% 67,96% 72,00% 66,02% 74,18% 67,96% 72,00% Klaster TM2 75,26% 75,00% 75,26% 75,00% 75,26% 75,00% 75,26% 75,00% Klaster TM3 32,78% 30,98% 32,27% 32,55% 32,78% 30,98% 32,27% 32,55% Klaster TM4 64,20% 79,70% 71,11% 67,82% 64,20% 79,70% 71,11% 67,82%

Klaster

Jenis Model

M-CC M-TC CL-CC CL-TC

Tabel 4.5

Perbandingan Panjang Jaringan Jalan Yang Terbentuk Berdasarkan Model Studi di Kabupaten Temanggung

4.5 Studi Kasus 3: Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan

Klaster pertumbuhan pada Kabupaten Kotabaru adalah Satuan Wilayah Pembangunan (SWP). Klaster-klaster ini terdiri dari desa-desa yang dimaksudkan sebagai katalisator bagi pertumbuhan desa-desa sekitarnya. Strategi pengembangan jaringan jalan di Kabupaten Kotabaru adalah dengan menguatkan keterhubungan dalam dan antar SWP serta untuk menghubungkan kabupaten dengan jalur ekonomi utama yang melintasi wilayah tersebut yaitu jalan nasional dan jalan provinsi. Dengan demikian, titik-titik yang terhubung dengan jalur-jalur utama ini menjadi titik-titik akar yaitu tujuan utama arus lalu lintas di kabupaten Kotabaru. Gambar 3.3 mengilustrasikan klaster-klaster SWP, jalur ekonomi utama serta titik-titik akar di Kabupaten Kotabaru.

(66)

Gambar 4.12 menunjukkan jaringan jalan eksisting yang melayani klaster-klaster pertumbuhan di Kabupaten Kotabaru. Dengan menggunakan algoritma Dijkstra serta faktor percepatan kepadatan ruas jalur, jalur-jalur terpendek dari tiap desa ke titik akar diidentifikasi. Dalam upaya mencari jalur terpendek, tiap titik akar diasumsikan memiliki daya tarik yang sama. Empat parameter digunakan untuk mencari jalur terpendek yaitu biaya perjalanan, biaya konstruksi, orientasi keterhubungan dengan titik akar serta orientasi keterhubungan dalam klaster. Tabel 3.3 serta gambar 4.13 dan 4.14 menunjukkan peringkat jalur-jalur dari yang paling pendek ke yang paling panjang.

Dari hasil pemodelan jalur terpendek sebagaimana ditunjukkan dalam gambar 3.8 dan 3.9 serta tabel 3.1, panjang aktual diamati dari kombinasi antara biaya konstruksi serta orientasi terhadap titik-titik akar sedangkan jalur terpendek berdasarkan panjang efektif didapat dari kombinasi biaya perjalanan serta orientasi terhadap titik akar. Hasil pemodelan tersebut didiskusikan lebih lanjut di Bab IV.

(67)

Gambar 4.13: Jalur-jalur Terpendek Berdasarkan Panjang Efektif di Kabupaten Kotabaru

Sumber: Pengolahan Data

(a) Orientasi terhadap Pasar (b) Orientasi terhadap Klaster

Gambar 4.14: Jalur-jalur Terpendek Berdasarkan Panjang Aktual di Kabupaten Kotabaru

Sumber: Pengolahan Data

Gambar

Gambar 1.1: Skema Thesis
Tabel 2.1: Jenis-jenis Efek Ekonomi dari Suatu Penyediaan Infrastruktur JalanSumber: Oosterhaven dan Knaap, 2003
Tabel 2.2: Efek Ekonomi dari Infrasturktur TransportSumber: Rodrigue et al., 2013
Gambar 2.2 mengilustrasilan aspek-aspek dari sistem transportasi.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sistem informasi E-Learning sekolah tinggi ilmu komputer dibuat untuk kalangan civitas kampus dan untuk dosen, cara menggunakan tinggal login yang sudah di

Ibid, hal.. yang ingin dicapai, hakikat siswa sebagai individu yang terlibat dalam kegiatan belajar mengajar, hakikat bahan pelajaran yang akan disampaikan pada siswa. Media

Kebijakan yang berpihak kepada masyarakat miskin atau pekerja anak untuk. mendapatkan pendidikan bermutu harus berangkat dari asumsi bahwa

Tujuan dari penelitian ini adalah menerapkan konsep Finite State Automata (FSA) pada aplikasi simulasi mesin pembuat minuman kopi otomatis dan menghasilkan suatu aplikasi

19 Abū Ḥasan al-Nadwi, Islam Membangun Peradaban Dunia, h.. Fase perjalanan hubungan Islam dengan barat yang diawali dengan invasi sebagaimana apa yang dilakukan oleh

Sebuah foto yang disajikan dalam surat kabar (media massa cetak) tidak lepas dari tujuan jurnalistik, yaitu menyebarkan berita seluas-luasnya.. Fotografi tumbuh seiring

Penyusun dokumen Amdal juga menjelaskan batas waktu kajian yang akan digunakan dalam melakukan prakiraan dan evaluasi secara holistik terhadap setiap dampak penting hipotetik yang