• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN POTENSI LIKUIFAKSI DI DAERAH PANT (2)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KAJIAN POTENSI LIKUIFAKSI DI DAERAH PANT (2)"

Copied!
126
0
0

Teks penuh

(1)

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS GADJAH MADA

PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS TEKNIK PROGRAM STUDI S-2 TEKNIK GEOLOGI

TESIS

Kajian Potensi Likuifaksi

di Daerah Pantai Pandansimo, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta

Oleh:

Restu Tandirerung 12/337537/PTK/08155

(2)
(3)
(4)

iv PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena limpahan berkat, kesempatan, dan kesehatan yang prima sehingga tesis dengan

judul “Kajian Potensi Likuifaksi di Daerah Pantai Pandansimo, Bantul, DIY” ini terselesaikan dengan baik.

Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Wahyu Wilopo dan Bapak Teuku Faisal Fathani sebagai pembimbing selama penulis melakukan penelitian dan menulis tesis ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada Bapak Subagyo Pramumijoyo dan Bapak Doni Prakasa Eka Putra selaku dosen penguji dalam ujian pendadaran tesis. Tak lupa, terima kasih disampaikan kepada semua pihak dan keluarga, baik yang secara langsung dan tidak langsung telah membantu proses tesis ini.

Penulis sangat berharap tesis ini sekurangnya dapat bermanfaat dalam upaya mitigasi bahaya likuifaksi dan kiranya memberi wawasan, juga pengetahuan terkait dampak bencana gempabumi dan bagaimana meminimalisir kerugian yang ditimbulkan di masa depan.

Penulis menyadari tesis ini tidak luput dari kekurangan dan masih jauh dari kata sempurna. Oleh karenanya kritik dan saran demi perbaikan tesis ini di masa akan datang akan sangat membantu memperbaiki kualitasnya.

Semoga informasi dan kajian ilmiah dalam tesis ini dapat dipahami oleh semua pihak, khususnya bagi para pembaca. Penulis mohon maaf jika dalam penulisan terdapat tutur tulis yang kurang berkenan.

Yogyakarta, 6 Juni 2017

Penulis

Restu Tandirerung

(5)

v

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

PERNYATAAN ... iii

PRAKATA ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN ... xii

(6)

vi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... .9

2.1 Geologi Regional ... .9

2.1.1 Stratigrafi Regional ... 9

2.1.2 Struktur Geologi Regional ... 9

2.2 Seismisitas dan Sejarah Kegempaan ... 11

2.3 Konsep dan Batasan Fasies ... 13

2.4 Karakter fasies sungai, dataran banjir, pantai, gumuk pasir, dan estuari ... 15

2.5 Likuifaksi ... 16

2.5.1 Studi Laboratorium ... 16

2.5.2 Faktor Pengontrol Likuifaksi ... 17

2.5.2.1 Intensitas dan durasi gempabumi ... 18

2.5.2.2 Umur geologi endapan ... 16

2.5.2.3 Kondisi muka airtanah ... 19

2.5.2.4 Faktor lain ... 20

2.5.3 Deformasi Setelah Likuifaksi... 21

2.5.4 Prediksi Potensi Likuifaksi Berdasarkan Uji Standard Penetration Test (SPT) ... 22

2.5.5 Sejarah singkat perkembangan metode ... 23

2.5.6 Unified Soil Classification System(USCS) ... 24

2.6 Hipotesis ... 26

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 27

3.1 Alat dan Bahan Penelitian ... 27

(7)

vii

3.1.2 Bahan ... 27

3.2 Rancangan Penelitian ... 27

3.3 Jenis Penelitian ... 28

3.4 Tahapan Penelitian ... 28

3.4.1 Tahap Pendahuluan ... 28

3.4.2 Tahap Pengumpulan Data ... 28

3.4.2.1 Pemetaan geologi kuarter ... 28

3.4.2.2 Pemboran inti dan tes SPT... 29

3.4.2.3 Pengukuran kedalaman muka airtanah ... 30

3.4.3 Tahap Analisis ... 30

3.4.3.1 Analisis fasies sedimen ... 30

3.4.3.2 Analisis mekanika tanah ... 30

3.4.3.3 Analisis pemicu likuifaksi ... 31

3.4.4 Tahap Penulisan Laporan ... 35

BAB IV PENGUTARAAN DATA ... 37

4.1 Lokasi Pengamatan untuk Pemetaan Geologi Kuarter... 37

4.2 Log Stratigrafi ... 39

4.2.1 Log Stratigrafi BH-2 ... 39

4.2.2 Log Stratigrafi BH-3 ... 41

4.2.3 Log Stratigrafi BH-4 ... 44

4.3 Pemboran Geoteknik dan Investigasi Geologi ... 46

4.4 Kedalaman Muka Airtanah ... 50

(8)

viii

4.5.1 Ukuran Butir ... 50

4.5.1.1 Ukuran butir BH-2 ... 51

4.5.1.2 Ukuran butir BH-3 ... 54

4.5.1.3 Ukuran butir BH-4 ... 56

4.6 Data PGA Yogyakarta... 59

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 60

5.1 Geologi Daerah Penelitian ... 60

5.2 Fasies dan Sedimentasi Endapan ... 62

5.3 Analisis Pemicu Likuifaksi ... 69

5.4 Potensi Deformasi Tanah dan Mitigasi ... 89

5.4.1 Potensi Deformasi ... 89

5.4.2 Mitigasi Bahaya Likuifaksi ... 92

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 98

6.1 Kesimpulan ... 98

6.2 Saran Penelitian ... 99

DAFTAR PUSTAKA ...100 LAMPIRAN

Lampiran 1. Data Uji SPT BH-2

Lampiran 2. Data Uji SPT BH-3

Lampiran 3. Data Uji SPT BH-4

Lampiran 4. Rangkuman Uji Laboratorium BH-2

Lampiran 5. Rangkuman Uji Laboratorium BH-3

(9)

ix

Lampiran 7. Tabel Analisis Pemicu Likuifaksi BH-2

Lampiran 8. Tabel Analisis Pemicu Likuifaksi BH-3

Lampiran 9. Tabel Analisis Pemicu Likuifaksi BH-4

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Indikasi terjadinya likuifaksi saat gempa bumi Yogyakarta

27 Mei 2006 (foto: Konagai dkk., 2007) ... 2

Gambar 2. Lokasi daerah penelitian (liniasi warna merah) dalam peta RBI Lembar Brosot (Bakosurtanal, 1998) ... 6

Gambar 3. Peta Geologi Regional Yogyakarta (Rahardjo dkk., 1995) ... 10

Gambar 4. Distribusi sejarah kegempaan di Pulau Jawa (Karnawati dkk., 2008)... 13

Gambar 5. Klasifikasi tanah menurut USCS ... 24

Gambar 6. Bagan Alir Penelitian ... 36

Gambar 7. Peta Lintasan Pengamatan ... 38

Gambar 8. Log BH2 ... 40

Gambar 14. Diagram Distribusi Ukuran Butir BH-2 ... 53

(10)

x

Gambar 16. Diagram Distribusi Ukuran Butir BH-4 ... 58

Gambar 17. Peta percepatan puncak (PGA) di batuan dasar untuk proba- bilitas terlampaui 10% dalam 50 tahun (Irsyam dkk., 2010) ... 59

Gambar 18. Peta Geologi Kuarter Daerah Penelitian ... 61

Gambar 19. Peta Lokasi Cross Section antar titik bor ... 65

Gambar 20. Korelasi fasies antara BH-3 dengan BH-2 ... 66

Gambar 21. Korelasi fasies antara BH-4 dengan BH-2 ... 67

Gambar 22. Korelasi fasies antara BH-3 dengan BH-4 ... 68

Gambar 23. Peta Kedalaman Muka airtanah di daerah penelitian ... 70

Gambar 24. Peta Kerentanan Likuifaksi di Daerah Penelitian ... 72

Gambar 25. Analisis pemicu likuifaksi pada BH2 untuk skenario 6,3 Mw dan 0,40g ... 75

Gambar 26. Analisis pemicu likuifaksi pada BH3 untuk skenario 6,3 Mw dan 0,40g ... 76

Gambar 27. Analisis pemicu likuifaksi pada BH4 untuk skenario 6,3 Mw dan 0,40g ... 77

Gambar 28. Kesebandingan analisis pemicu likuifaksi dengan fasies BH-2 ... 82

Gambar 29. Kesebandingan analisis pemicu likuifaksi dengan fasies BH-3 ... 83

Gambar 30. Kesebandingan analisis pemicu likuifaksi dengan fasies BH-4 ... 84

Gambar 31. Korelasi Zona Lemah antara BH3 dengan BH2... 85

Gambar 32. Korelasi Zona Lemah antara BH4 dengan BH2... 86

Gambar 33. Korelasi Zona Lemah antara BH3 dengan BH4... 87

(11)

xi

Gambar 35. Chart untuk estimasi penurunan muka tanah

(Tokimatsu dan Seed, 1987 ... 91

Gambar 36. Alternatif metode improvement (Mitchell, 2008) ... 93

Gambar 37. (N1)60 pada masing-masing titik bor ... 94

Gambar 38. Rentang ukuran butir dan zona potensi terlikuifaksi ... 97

DAFTAR TABEL Tabel 1. Sejarah Kegempaan di daerah Pulau Jawa dan sekitarnya (Elnashai dkk, 2006) ... 12

Tabel 2. Estimasi tingkat kerentanan likuifaksi endapan berdasarkan umur geologi dan lingkungan pengendapan (Youd dan Perkins, 1978) ... 19

Tabel 3. Hubungan Kedalaman Muka Airtanah dengan Kerentanan Likuifaksi (Youd dkk., 1979) ... 20

Tabel 4. Jenis-jenis deformasi tanah (Castro, 1987) ... 22

(12)

xii

ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN

Simbol Definisi

amax Percepatan puncak muka tanah

CB Koreksi diameter lubang bor uji SPT

CE Faktor koreksi rasio energi uji SPT

CN Faktor koreksi untuk menghitung tekanan overburden SPT

CR Koreksi panjang stang bor uji SPT

CS Faktor koreksi untuk sampler liners uji SPT

CRR Rasio tahanan siklik

CRRM Rasio tahanan siklik pada magnitude gempabumi tertentu

CSR Rasio tegangan siklik gempa

DR Densitas relatif

ER Nilai energi rasio terukur uji SPT

FC Konten butir halus

FS Faktor keamanan

FSliq Faktor keamanan terhadap pemicu likuifaksi

H Kedalaman ke lapisan yang terlikuifaksi

Kσ Koreksi faktor tekanan overburden

M Magnitude gempa

MSF Faktor skala magnitude gempabumi

N Angka pukulan

(N1)60 Koreksi jumlah pukulan uji SPT terhadap ER = 60% dan tegangan efektif overburden 1 atm

(N1)60cs Penyetaraan (N1)60 pasir untuk menghitung CRR

rd Koefisien pengurangan shear stress

z Kedalaman

σvc Tegangan total vertikal

σ’vc Tegangan efektif vertikal

γb Berat volume basah

(13)

xiii Intisari

Pada 27 Mei 2006, gempabumi dengan kekuatan 6,3 Mw menjadi gempa paling merusak yang pernah terjadi di Bantul. Menyadari ancaman bahaya gempabumi di masa yang akan datang, perlu dilakukan kajian potensi likuifaksi sebagai upaya mitigasi bencana pada daerah Pantai Pandansimo. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakter geologi daerah penelitian, mengetahui korelasi antara fasies sedimen dengan potensi likuifaksi, dan untuk memetakan potensi likuifaksi dan alternatif mitigasi yang bisa digunakan.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kombinasi pemetaan geologi kuarter, analisis fasies sedimen, modifikasi simplified procedures (Idriss dan Boulanger, 2008) dan uji laboratorium. Data yang digunakan, terbagi atas data primer, meliputi pemetaan geologi permukaan, data pemboran inti, uji

standar penetration test (SPT), ukuran butir dan sifat fisik sedimen. Sedangkan data sekunder berupa peta percepatan puncak muka tanah (PGA) Yogyakarta.

Hasil dari pemetaan geologi menjelaskan daerah penelitian merupakan kombinasi proses sedimentasi fluvial, estuari, alluvial, pantai, dan eolian. Berdasarkan pemetaan geologi permukaan yang menghasilkan peta geologi Kuarter, daerah penelitian geologi daerah penelitian terbagi atas endapan dataran banjir dan alluvial, endapan bendung sungai, endapan pantai, dan endapan gumuk pasir. Analisis geologi bahwa permukaan menunjukkan adanya perubahan fasies sedimentasi, baik lateral maupun vertikal. Berdasarkan perhitungan modifikasi

simplified procedures diperoleh hasil fasies endapan di daerah penelitian yang dianalisis dan dikorelasi antara titik bor mempengaruhi potensi likuifaksi. Potensi likuifaksi paling tinggi terestimasi pada fasies fluvial, fasies eolian, dan fasies estuari. Pada BH2, zona lemah terdapat pada kedalaman 13 hingga 12 meter. BH3 memiliki 3 segmen zona lemah, pertama pada kedalaman 3 hingga 6 meter, kedua 11 hingga 14, dan ketiga 25 hingga 30 meter. Sementara BH4 terestimasi memiliki zona lemah pada kedalaman 12 hingga 20 meter. Dan dari hasil estimasi penurunan muka tanah diketahui potensi deformasi tanah berupa penurunan muka tanah pada BH2 adalah 0,13 meter. Pada BH3, potensi penurunan muka tanah adalah 0,19 meter. Sedangkan pada BH4, potensi penurunan muka tanah terestimasi sekitar 0,12 meter. Metode mitigasi vibrocampaction merupakan metode yang relatif sesuai dengan kondisi di daerah penelitian.

(14)

xiv Abstract

On May 27, 2006, the earthquake with magnitude of 6.3 Mw became the most destructive earthquake ever occurred in Bantul. Recognizing the threat of earthquake hazard in the future, it is necessary to study the potential of liquefaction as a disaster mitigation effort in Pandansimo Beach area. This study aims to determine the geological character of the research area, to know the correlation between sediment facies with liquefaction potential, and to map potential liquefaction and mitigation alternatives that can be used.

The method used in this study is a combination of quarterly geological mapping, sediment facies analysis, modification of simplified procedures (Idriss and Boulanger, 2008) and laboratory tests. The data used, divided into primary data, includes surface geological mapping, core drilling data, standard penetration test (SPT) test, grain size and physical properties of sediment. While the secondary data is the peak ground acceleration (PGA) of Yogyakarta.

The result of geological mapping explaining the research area is a combination of fluvial, estuary, alluvial, beach, and eolian sedimentation processes. Based on the surface geological mapping that generates the Quaternary geological map, the geological research area of the study area is divided into sediment floodplains and alluvials, river basin deposits, coastal sediments, and sand dune deposits. Geological analysis that the surface indicates a change in sedimentation facies, both lateral and vertical. Based on the calculation of modification of simplified procedures, the result of the sediment facies in the research area analyzed and correlated between the drill points affects the liquefaction potential. The highest liquefaction potential is estimated in fluvial facies, eolian facies, and estuary facies. At BH2, the weak zone is at a depth of 13 to 12 meters. BH3 has 3 weak zone segments, first at a depth of 3 to 6 meters, both 11 to 14, and third 25 to 30 meters. While BH4 is estimated to have a weak zone at a depth of 12 to 20 meters. And from the estimation of the decrease in the face of the ground is known the potential for soil deformation in the form of soil surface decrease in BH2 is 0.13 meters. At BH3, the potential for land subsidence is 0.19 meters. While at BH4, the potential for land subsidence is estimated to be about 0.12 meters. Vibrocampaction mitigation method is a method that is relatively in accordance with the conditions in the study area.

(15)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan bagian bumi dengan konfigurasi tektonik cincin api

yang sering mengalami gempabumi. Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah

Istimewa Yogyakarta adalah bagian wilayah Indonesia yang rentan

gempabumi. Menyadari kondisi geologi, seismisitas, dan konsekuensinya,

perencanaan pembangunan dan upaya pengembangan wilayah perlu

mempertimbangkan dan memperhitungkan risiko dengan melakukan upaya

mitigasi, salah satunya dengan mengkaji potensi bahaya likuifaksi. Penurunan

(settlement) konstruksi bangunan merupakan konsekuensi fenomena

likuifaksi. Pemicu likuifaksi adalah kombinasi gempabumi yang kuat dan

berdurasi lama, kondisi geologi, kondisi lapisan jenuh airtanah, dan aspek

bangunan di suatu daerah tertentu.

Pada 27 Mei 2006, Kabupaten Bantul dan bahkan Yogyakarta dan

sekitarnya dikejutkan dengan gempabumi berkekuatan 6,3 Mw (Karnawati

dkk., 2008). Gempabumi ini telah mendatangkan masalah serius karena

guncangan gelombang gempa yang mampu meruntuhkan bangunan-bangunan

yang ada, meski tidak semua daerah mengalami kerusakan yang sama. Tim

geoteknik gabungan dari Jepang dan Indonesia (Konagai dkk., 2007), yang

melakukan investigasi usai gempabumi Yogyakarta menemukan dan

mencurigai perilaku pada sumur warga usai gempa tersebut dan

(16)

2 sumur yang bengkok dan naik 70 cm dan air sumur keruh yang meluap naik

1,3 m dari sumur.

Gambar 1. Indikasi terjadinya likuifaksi saat gempa bumi Yogyakarta 27 Mei 2006 (foto: Konagai dkk., 2007)

Likuifaksi selama terjadinya gempabumi berpeluang terjadi pada lapisan

sedimen yang berumur geologi Kuarter (Youd dan Perkins, 1978). Secara

geologi, permukaan daerah pesisir Pantai Pandansimo, Bantul ditutupi oleh

sedimen berumur Holosen (Rahardjo dkk., 1995). Jika beban konstruksi di

daerah ini sangat besar maka potensi likuifaksi penting untuk dievaluasi

sebagai respons mitigasi terhadap kemungkinan perulangan gempabumi.

Sebagai langkah mitigasi, maka perlu dilakukan kajian potensi likuifaksi

(17)

3 rentan. Sejumlah metode evaluasi likuifaksi sedimen telah dikembangkan.

Penelitian ini melakukan pendekatan dengan metode kualitatif dan metode

kuantitatif. Metode kualitatif berdasar atas analisis dan interpretasi distribusi

fasies sedimen (site) mengikuti deskripsi fisik data pemboran inti dan uji

(Strandar Penetration Test) SPT serta pemetaan Geologi Kuarter. Sedangkan

metode kuantitatif dengan perhitungan parameter indeks berdasarkan data

pengukuran SPT, data seismik, dan hasil analisis laboratorium.

1.2 Perumusan Masalah

1. Berdasarkan informasi geologi regional, endapan alluvial di daerah

penelitian termasuk dalam kategori yang rentan mengalami likuifaksi.

Namun secara spesifik belum diketahui faktor-faktor apa saja yang

mengontrol kerentanan dan pemicu likuifaksi.

2. Jika terjadi perulangan gempabumi, di kedalaman berapa batas pengaruh

likuifaksi yang diakibatkan oleh guncangan gempabumi dan bagaimana

angka faktor keamanannya (factor of safety) masih memerlukan kajian.

1.3 Maksud dan Tujuan

1.3.1 Maksud

Maksud penelitian ini adalah mengetahui kemampuan geologi teknik

dan menganalisis tebal lapisan yang berpotensi terlikuifaksi dengan

menggunakan data pemboran inti dan uji SPT, sifat-sifat keteknikan

(18)

4 sejarah kegempaan di daerah Yogyakarta dan sekitarnya. Serta

menemukan hubungan kondisi geologi dengan potensi likuifaksi.

1.3.2 Tujuan

1. Mengetahui karakter geologi daerah penelitian.

2. Mengetahui korelasi antara distribusi endapan sedimen dengan potensi

likuifaksi di daerah penelitian.

3. Melakukan pemetaan dan kajian potensi likuifaksi di daerah penelitian

dan pilihan mitigasinya.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi geoteknik dan

situasi geologi berupa nilai faktor keamanan dan informasi hubungan antara

situasi geologi dengan potensi likuifaksi. Hasil kajian diharapkan dapat

bermanfaat sebagai acuan dalam rencana tata ruang, pengembangan wilayah,

dan rekayasa konstruksi bangunan sipil di Pantai Pandansimo, Kabupaten

Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian akan mencakup beberapa hal yaitu:

1. Studi pustaka dan literatur yang berkaitan dengan penelitian.

2. Pengumpulan data sekunder.

3. Pengumpulan data lapangan.

4. Uji laboratorium.

(19)

5

6. Menganalisis hubungan antara situasi geologi dengan potensi likuifaksi.

1.6 Batasan Penelitian

Untuk memfokuskan penelitian, maka permasalahan dibatasi pada hal-hal

berikut:

1. Likuifaksi yang terjadi diasumsikan hanya akibat gempabumi tektonik.

2. Magnitud minimum gempabumi dibatasi pada skala 5 Mw.

3. Data berasal dari data test SPT, sifat-sifat keteknikan endapan, dan analisis

ukuran butir dan data sekunder.

4. Daerah penelitian hanya pada daerah pesisir Pantai Pandansimo.

5. Evaluasi likuifaksi yang dilakukan untuk menghitung nilai faktor

keamanan hingga kedalaman 30 meter, lateral spreading, dan settlement.

6. Pembuatan Peta Geologi Kuarter dengan metode pemetaan geologi

permukaan di daerah penelitian.

1.7 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian di daerah pesisir Pantai Pandansimo, Kabupaten

Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

(20)

6

Gambar 2. Lokasi daerah penelitian (liniasi warna merah) dalam peta RBI Lembar Brosot (Bakosurtanal, 1998)

1.8. Peneliti Terdahulu

Penelitian tentang likuifaksi dan geologi regional yang pernah dilakukan

di daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan terpublikasi hingga

tahun 2013 antara lain:

1. Rahardjo dkk., (1995), memetakan lembar Yogyakarta dan secara

geologi daerah penelitian termasuk dalam endapan berumur Kuarter

berupa endapan lepas (loose) sampai terkompaksi lemah dengan

rentang ukuran butir lempung hingga kerakal.

2. Hasmar, H.A.H., (2007), melakukan studi eksperimental di

laboratorium dengan menggunakan meja getar terhadap sampel pasir

(21)

7 bahwa pasir Kali Krasak tidak berpotensi untuk likuifaksi jika

mendapat beban dinamik 10 siklik atau setara dengan gempa tektonik

pada skala 6 skala Richter.

3. Hatmoko, T. J., dan Lulie, Y., (2008), melakukan penelitian likuifaksi

di bagian Timur Yogyakarta. Penelitian ini berkesimpulan bahwa

pada musim hujan kondisi kedalaman airtanah cukup tinggi berkisar

3,00 sampai dengan 4,50 meter. Sampai kedalaman 4 meter nilai

N-SPT cukup rendah yaitu 11 sampai dengan 18. Berdasarkan

pengujian laboratorium jenis pasir di semua kedalaman bergradasi

jelek (SP). Dengan menggunakan prediksi 100 tahunan, zona-zona

likuifaksi terjadi pada kedalaman 0,00 hingga 13,00 meter.

4. Soebowo dkk., (2009), melakukan penelitian di daerah Patalan,

Bantul, DIY. Penelitian ini menunjukkan bahwa hampir semua titik

uji mengindikasikan terjadinya likuifaksi dan penurunan. Zona

likuifaksi terkonsentrasi di bagian tengah daerah studi pada kisaran

kedalaman 0,2 – 12,8 meter dengan ketebalan antara 0,2 – 5,2 meter,

serta penurunan antara 0,12 hingga 12,98 cm.

5. Hatmoko, T. J., dan Suryadharma, H., (2013), melakukan prediksi

likuifaksi dengan menggunakan pemboran inti dan uji SPT pada

endapan pasir dari 7 titik di Yogyakarta. Penelitian ini berkesimpulan

bahwa jika menggunakan data gempa Yogyakarta pada 27 Mei 2006

dengan M = 6 dan R = 37 km diperoleh amax = 0,09 g. Dengan amax

(22)

8 0,057, sedangkan nilai CRR rata-rata lebih besar dari 0,1. Oleh sebab

itu pada gempabumi 27 Mei 2006 di wilayah Utara Yogyakarta tidak

terjadi likuifaksi. Namun jika terjadi gempa dengan nilai amax lebih

besar dari 0,15 g akan terjadi likuifaksi meski kondisi kedalaman

muka airtanah relatif dalam yaitu antara 7 hingga 20 m.

6. Hartantyo dkk., (2013), mencari korelasi kedalaman muka airtanah

dangkal dengan kejadian likuifaksi gempa Yogyakarta Mei 2006

pada endapan volkanik-klastik bagian Selatan area Yogyakarta.

Kesimpulan penelitian ini adalah daerah Yogyakarta yang didominasi

Merapi Muda berukur Kuarter menyebabkan adanya lapisan pasir

sebagai akuifer dangkal. Akuifer dangkal ini sangat berpengaruh

terhadap kejadian likuifaksi akibat gempa 2006. Hampir 90 persen

daerah penelitian berpotensi mengalami likuifaksi dengan kedalaman

muka airtanah mencapai 5,3 m.

7. Sarah dan Soebowo, (2013), melakukan studi likuifaksi akibat

gempabumi Yogyakarta, 27 Mei 2006 dengan menggunakan data uji

CPT. Penelitian ini mengkonfirmasi kejadian likuifaksi di lapangan

berupa sand boil, lateral spreading dan penurunan pada situasi

kedalaman muka airtanah berkisar 0,6 sampai 5 m. Zona likuifaksi

mengokupasi lapisan pasir longgar (loose sand) pada kedalaman

berkisar antara 0,2 hingga 12,8 meter dengan variasi potensi

ketebalan lapisan yang terlikufaksi antara 0,2 hingga 5,2 meter serta

(23)

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Geologi Regional

2.1.1 Stratigrafi Regional

Menurut Rahardjo dkk., (1995), daerah penelitian terpetakan dalam

satuan endapan permukaan berumur Kuarter (Qa) (<1,8 juta tahun).

Endapan permukaan ini sebagai hasil dari rombakan batuan yang lebih tua

yang berumur Tersier yang terdiri dari material lepas sampai terkompaksi

lemah, berbutir lempung hingga kerakal.

Endapan Alluvium ini terdiri dari kerakal, pasir, lanau, dan lempung

yang diendapkan oleh aktivitas sungai (fluvial) dan proses geologi pantai.

2.1.2 Struktur Geologi Regional

Struktur yang terpetakan dalam skala regional oleh Rahardjo dkk.,

(1995) merupakan produk tektonik resen. Di sebelah timur lembar

Yogyakarta, terpetakan sesar-sesar geser dengan arah relatif Tenggara-Barat

Laut, semakin ke utara mulai muncul sesar normal dan sesar naik yang

umumnya menyayat batuan produk volkanik Merapi dengan arah relatif

Timur Laut-Barat Daya. Di sebelah barat, berkembang lipatan-lipatan pada

formasi batuan sedimen dengan arah sumbu lipatan relatif Timur Laut-Barat

(24)

10

(25)

11

2.2 Seismisitas dan Sejarah Kegempaan

Secara regional, daerah Yogyakarta dilewati oleh sesar aktif Opak berarah

N231º E, dip 87 º, dan slip 3 º yang hingga saat ini diyakini sebagai sesar

normal yang memiliki komponen geser. Peta geologi regional Yogyakarta,

Rahardjo dkk., (1995) mengungkapkan informasi sesar Opak berupa garis

putus-putus yang berarti sesar ini diperkirakan karena kemungkinan bukti

sesar yang sesungguhnya terkubur oleh endapan Merapi muda.

Menurut catatan USGS (2007), pada 27 Mei 2007 sesar Opak telah

memicu terjadinya gempabumi dengan hypocenter pada kedalaman 10 km

dengan magnitude 6,3 Mw. Analisis mekanisme sumber yang dikeluarkan

USGS memberi solusi sinistral strike slip (sesar geser mengiri).

Elnashai (2006), mencatat 17 aktivitas seismik pernah terjadi di

Yogyakarta dan sekitarnya. Rekaman data tersebut (Tabel. 2 dan Gambar. 4)

memberi informasi tentang sebaran geografis dan magnitude gempabumi

sejak tahun 1840 hingga 2006. Gempabumi Yogyakarta, tanggal 27 Mei

2006, dengan kedalaman pusat gempa 10 km, hingga penelitian ini dilakukan,

(26)

12

Tabel 1. Sejarah Kegempaan di Yogyakarta (Elnashai dkk, 2006)

(27)

13

Gambar 4. Distribusi sejarah kegempaan di Pulau Jawa (Karnawati dkk., 2008)

2.3 Konsep dan Batasan Fasies

Terminologi fasies adalah istilah umum dalam geologi, terutama dalam

studi sedimentologi yang merupakan hasil dari determinasi karakteristik suatu

unit sedimen (Middleton, 1973 dan Nichols, 2009). Karakteristik sedimen

yang dimaksud meliputi, dimensi, struktur sedimen, ukuran butir dan tipe

sedimen, warna dan organik konten pada sedimen. Penamaan fasies

mempertimbangkan sejumlah aspek sesuai dengan tujuan analisis. Misalnya,

fasies batupasir fluvial, bila proses dan mekanisme pengendapan pada

lingkungan fluvial dan ukuran butir dianggap lebih penting dari karakter lain

seperti warna maupun mineraloginya. Bila deskripsi terbatas pada fisik dan

(28)

14 fokus mengkaji konsentrasi biota pada sedimen maka disebut biofasies dan

bila fokus untuk menemukan fosil sejak pada sedimen maka disebut

ichnofasies (Nichols, 2009).

Prosedur dan teknik dalam analisis fasies sangat obyektif pada kondisi

yang dapat teramati pada sedimen (Anderton, 1985). Karakter lithofasies

dideterminasi dari deskripsi fisik dan proses kimia yang terjadi pada tahap

transport dan pengendapan sedimen. Sedangkan karakter biofasies dan

ichnofasies akan memberi informasi tentang paleoekologi sebelum dan

setelah pengendapan. Dengan menginterpretasi kondisi sedimen melalui

karakter fisik, kimia, serta kondisi ekologi saat pengendapan terjadi, maka

sangat mungkin untuk merekonstruksi lingkungan pengendapan di masa lalu.

Rekonstruksi lingkungan pengendapan melalui analisis fasies dapat dengan

mudah dilakukan secara langsung, bila syarat atau petunjuk spesifik

lingkungan pengendapan tertentu dapat dikenali, misalnya kehadiran biota

dan koloni terumbu pada sedimen, dapat mengindikasikan lingkungan

pengendapan laut dangkal pada situasi ekologi iklim hangat. Namun, proses

rekonstruksi akan menjadi kompleks bila petunjuk spesifik lingkungan

pengedapan tidak mudah dibedakan secara makro, misalnya ukuran butir

yang relatif sama pada suksesi log sedimen (Nichols, 2009).

Dimensi fasies yang hanya mencakup skala beberapa meter, akan sulit

diterapkan pada rekonstruksi lingkungan pengendapan pada suksesi log

sedimen dengan tebal puluhan meter. Selain itu, kombinasi proses

(29)

15

didekati dengan cakupan skala yang lebih luas. Pendekatan “asosiasi fasies”

merupakan strategi analisis fasies yang bisa aplikasi untuk mengatasi problem

skala rekonstruksi lingkungan pengedapan secara spasial (Walker dan James,

1992 dan Nichols, 2009).

Penggunaan fasies dan asosiasi fasies dalam penelitian ini lebih

terfokus dan terbatas pada kontribusi fasies secara spesifik terhadap derajat

konsolidasi sedimen. Kombinasi kondisi empiris seperti ukuran butir, bentuk

butir, dan komposisi mineral merupakan fitur fasies yang menjadi dasar

interpretasi mekanisme internal dan dampaknya terhadap kapasitas

konsolidasinya dalam konteks likuifaksi.

2.4 Karakter fasies sungai, dataran banjir, pantai, gumuk pasir, dan estuari.

Fasies sungai (fluvial) dan dataran banjir merupakan bagian dari sistem

pengendapan alluvial yang terendapkan pada daerah dengan gradien lereng

relatif datar atau kurang dari 5 derajat (Walker dan James, 1992 dan Nichols

2009). Sementara fasies pematang pantai dan gumuk pasir merupakan bagian

dari proses lingkungan pantai yang terakumulasi pada lingkungan

pengendapan energi tinggi. Endapan pematang pantai umumnya merupakan

hasil kerja ulang erosi endapan laut dan pengendapan material asal sungai.

Intensitas dan pengaruh pasang-surut turut mempengaruhi tekstur endapan

pematang pantai (Walker dan James, 1992). Estuari merupakan zona di mana

proses fluvial dan proses pantai bertemu dan menghasilkan endapan dengan

(30)

16 Secara deskriptif, fasies sungai dikenali dengan karakter: ukuran butir

relatif lebih halus (pada rentang pasir sedang – pasir sangat halus), bentuk

butir membundar tanggung – membundar, dengan suksesi vertikal menghalus

ke atas (Walker dan James, 1992). Fasies pematang pantai memiliki karakter:

ukuran butir lebih kasar dari fasies fluvial (pada rentang pasir sedang – pasir

kasar), bentuk butir menyudut tanggung - membulat tanggung, suksesi

vertikal mengkasar ke atas (Walker dan James, 1992). Fasies estuari

umumnya, dikenali memiliki karakter: ukuran butir lebih halus (pada rentang

pasir sedang – lempung), bentuk butir membundar tanggung – membundar,

suksesi vertikal aggradisional (Nichols, 2009).

Friedmann (1961), dengan metode statistik membedakan endapan pasir

pantai, gumuk pasir (dune), dan pasir sungai (fluvial) berdasarkan momen

ketiga (skewness) yang sensitif terhadap lingkungan pengendapan. Friedman

berkesimpulan, variasi ukuran butir pada gumuk pasir dominan berbutir lebih

halus (positive-skewed) dari pasir pantai (negative-skewed) dan tidak

terpengaruh oleh komposisi mineralnya. Pasir endapan sungai, sama seperti

gumuk pasir, cenderung dominan berbutir halus. Namun tingkat keseragaman

butir (sortasi) pasir pantai lebih baik dari pasir sungai.

2.5 Likuifaksi

2.5.1 Studi Laboratorium

Terminologi likuifaksi dalam konteks mekanika tanah telah

didefinisikan oleh sejumlah peneliti, antara lain Casagrande, 1976 dan

(31)

17 pengertian likuifaksi dirumuskan sebagai proses transformasi tanah jenuh

air dari kondisi padat menjadi kondisi cair akibat naiknya tekanan pori yang

mengakibatkan menurunnya tegangan efektif. Berkurangnya tegangan

efektif yang diikuti hilangnya kekuatan dan kekompakan dalam massa tanah

berkontribusi terhadap deformasi tanah (Idriss dan Boulanger, 2008).

Beberapa kasus menyebut keruntuhan (failure) tanah akibat gempa dengan

istilah mobilitas siklik (cyclic mobility), dalam situasi ini deformasi yang

terjadi relatif kecil tanpa disertai mekanisme transformasi pencairan tanah.

Karena hal tersebut, definisi likuifaksi masih terus menjadi objek

perdebatan di kalangan peneliti dan profesional geoteknik. Sejumlah peneliti

dengan tegas mendefinisikan likuifaksi dan cyclic mobility secara berbeda.

Casagrande (1976), membedakan likuifaksi digunakan untuk

mendeskripsikan semua mekanisme keruntuhan tanah yang dipicu oleh

naiknya tekanan pori selama kondisi tanah jenuh air menjadi obyek

tegangan siklik di lapangan. Sedangkan cyclic mobility adalah penamaan

yang diberikan pada percobaan mekanisme likuifaksi di laboratorium.

Ishihara (1985) lewat percobaan laboratoriumnya, menjelaskan potensi

likuifaksi semakin tinggi jika ukuran butir pasir yang menyusun suatu

endapan semakin halus.

2.5.2 Faktor Pengontrol Likuifaksi

Ada sejumlah faktor yang mengontrol proses likuifaksi tanah di

(32)

18 juga pengamatan likuifaksi di lapangan, faktor utama yang mengontrol

likuifaksi adalah:

2.5.2.1 Intensitas dan durasi gempabumi.

Likuifaksi bisa terinisiasi bila ada guncangan yang dihasilkan

oleh gempabumi. Karakter getaran tanah, seperti percepatan dan

durasi goncangan, menentukan kuat geser yang memicu kontraksi

partikel tanah dan berkembangnya tekanan air pori berlebih yang

mengarah pada kondisi likuifaksi.

Energi yang sering memicu likuifaksi adalah energi seismik

yang dilepaskan saat terjadi gempabumi. Potensi likuifaksi semakin

tinggi bila intensitas dan durasi gempabumi semakin tinggi. Ada

kesepakatan yang sebetulnya belum menjadi standar bahwa

percepatan tanah yang mampu memicu likuifaksi adalah 0,10g

dengan magnitude 5,0 (Day, 2012).

2.5.2.2 Umur geologi endapan

Secara geologi, Youd dan Perkins (1978), mengestimasi tipe

sedimen yang rentan terlikuifaksi berhubungan dengan umur

endapan. Berdasarkan estimasi tersebut, tipe endapan terbagi

dalam tiga kelompok utama yaitu: 1) endapan kontinental, 2)

endapan zona pantai, dan 3) endapan artifisial.

Rentang umur geologi endapan yang rentan terlikuifaksi

(33)

19 Selain distribusi sedimen tidak kohesif dalam endapan, sedimen

harus berada pada situasi jenuh air (Youd dkk., 1979).

Tabel 2. Estimasi tingkat kerentanan likuifaksi berdasarkan umur geologi

dan lingkungan pengendapan (Youd dan Perkins, 1978)

2.5.2.3 Kondisi muka airtanah

Dengan mempertimbangkan kedalaman muka airtanah, maka

tingkat kerentanan likuifaksi mengikuti kriteria oleh Youd dkk.,

1979 seperti pada Tabel 3. Likuifaksi sering terjadi pada lapisan

(34)

20 meter pada situasi muka airtanah beberapa meter dari permukaan

(Youd dan Hoose, 1977).

Dampak musim hujan terhadap fluktuasi muka airtanah

menjadi pertimbangan khusus, terutama saat membuat skenario peta

muka airtanah (Tolman, 1937). Bila curah hujan mampu menaikkan

level airtanah kurang dari 10 meter, maka estimasi kualitatif Youd

dan Perkins (1978) diterapkan sesuai dengan tipe endapan

sedimennya.

Tabel 3. Hubungan Kedalaman Muka Airtanah dengan Kerentanan Likuifaksi (Youd dkk., 1979).

Ground Water Depth (m) Maximum Posible Susceptibility

< 3.0 Very high

3.0 – 9.1 High

9.1– 15.2 Low

> 15.2 Very low

2.5.2.4 Faktor lain

Faktor lain yang berkontribusi mengontrol likuifaksi adalah

tipe sedimen, densitas relatif endapan, gradasi ukuran butir,

lingkungan pengendapan, kondisi disipasi, tekanan vertikal, penuaan

dan sementasi endapan, sejarah pengendapan, dan beban bangunan.

Tipe sedimen yang rentan terlikuifaksi memiliki gradasi yang

seragam dan bentuk butir membulat, kondisi densitas sangat longgar

(35)

21 terjadi sementasi di antara partikel tanah, dan belum pernah

mengalami beban seismik (Day, 2012).

2.5.3 Deformasi Setelah Likuifaksi

Kemungkinan-kemungkinan konsekuensi dari fenomena likuifaksi,

sangat dipengaruhi oleh kondisi site, karakteristik gempabumi, dan sifat

alami dari struktur-struktur lokal. Penurunan fondasi bangunan atau

settlement merupakan dampak akibat rekonsolidasi yang terjadi pada

endapan yang terlikuifaksi.

Dalam perkembangan studi likuifaksi, kemantapan struktur bangunan

rusak oleh likuifaksi yang dipicu gempabumi, seperti pada peristiwa

gempabumi Niigata tahun 1964. Konsekuensi lain yang perlu diantisipasi

seperti hilangnya kekuatan resisten endapan seiring dengan instabilitas

karena kontrol kemiringan lereng dan pergeseran lateral (lateral spreading)

pada kondisi topografi yang relatif datar (Idriss dan Boulanger, 2008).

Castro (1987), mengklasifikasi wujud pengamatan lapangan yang

terjadi berdasarkan asosisasi mekanisme perilaku tanah (Tabel 4). Bila

kendali beban lebih besar dari pengurangan kekuatan tanah pada lapisan

yang terlikuifaksi maka hilangnya stabilitas tanah mengakibatkan kegagalan

tanah yang ekstensif. Sebaliknya, jika kendali beban lebih kecil dari

(36)

22

Tabel 4. Jenis-jenis deformasi tanah (Castro, 1987)

Kondisi Tegangan (In Situ Stress Condition)

Perilaku Tanah

 Semburan pasir ke permukaan

(Sand boils and ejection from surface fissures)

Kendali tegangan geser lebih besar dari kuat

residu (Driving shear

stresses greater than residual strength)

 Likuifaksi

(Liquefaction)

 Stabilitas hilang (Loss

of stability)

 Rayapan tanah (Flows slides)

 Bangunan berat tenggelam

(Sinking of heavy buildings)

 Bangunan ringan naik ke

permukaan (Floating of light

structures)

Kendali tegangan geser lebih kecil dari kuat residu (Driving shear stresses

 Lereng melandai (Slumping of

slopes)

 Pemisahan lateral (Lateral

spreading)

 Fondasi bangunan turun

(Settlement of buildings)

2.5.4 Prediksi Potensi Likuifaksi Berdasarkan Uji Strandard Penetration Test

(SPT)

Prediksi potensi likuifaksi berdasarkan data SPT adalah salah satu

metode evaluasi potensi likuifaksi tanah dengan pendekatan tegangan siklik

(stress-based approach). Pendekatan ini pertama kali dikembangkan oleh

Seed dan Idriss pada tahun 1967 (Boulanger dan Idriss, 2012) melalui studi

kasus manifestasi likuifaksi tanah usai episode gempa Niigata, Jepang

(1964). Hasil dari metode ini adalah hubungan empiris berupa kurva dari

observasi dan kalkulasi data lapangan yang dikombinasi dengan hasil uji

(37)

23

2.5.5 Sejarah Singkat Perkembangan Metode

Penggunaan data SPT untuk mengevaluasi seismik likuifaksi pertama

kali digunakan pada tahun 1982 oleh Seed dan Idriss (Seed dan Idriss,

1982). Metode evaluasi likuifaksi ini diawali pada tahun 1971 yang

disebut “simplified procedures” (Seed dan Idriss, 1971). Simplified

procedures adalah metode deterministik yang menggunakan parameter

beban seismik (seismic load) yang diekspresikan oleh rasio tegangan siklik

(CSR) dan densitas relatif (Dr). Dalam kurva yang dihasilkan, CSR adalah

fungsi dari Dr (CSR versus Dr curve).

Pada tahun 1982, Seed dan Idriss melakukan langkah maju pada

metode ini dengan menggunakan pendekatan in-situ test SPT untuk

memperoleh parameter indeks in-situ lalu menghitung rasio siklik resisten

CRR. Mereka juga mengembangkan koreksi pada konten butiran halus

(fines content) dalam sedimen dan mengadopsi pendekatan probabilistik

(statistik) untuk koreksi pukulan palu uji SPT pada endapan pasirlanauan.

Untuk pertama kali faktor skala kekuatan gempa (MSF) digunakan. Kurva

yang dihasilkan menunjukkan, CSR merupakan fungsi dari (N1)60 (CSR

versus (N1)60 curve).

Pada tahun 2001, melalui sebuah konsensus, National Center for

Earthquake Engineering Researh (NCEER) melakukan revisi minor pada

faktor skala kekuatan gempa (MSF) (Day, 2012). Revisi memberi sedikit

perubahan pada bentuk kurva (Youd dkk., 2001). Perkembangan

(38)

24 Boulanger pada tahun 2004 dan tahun 2008 dengan memutahirkan bentuk

kurva deterministik berdasarkan re-evaluasi terhadap sejumlah data kasus

likuifaksi. Idriss dan Boulanger juga mengembangkan pendekatan

probabilistik pada tahun 2012 untuk prosedur analisis pemicu likuifaksi

(liquefaction-triggering procedure) dan merekomendasikan kurva

probabilistik sebagai pelengkap kurva deterministik yang telah digunakan

selama kurang lebih 45 tahun (Boulanger dan Idriss, 2012).

2.5.6 Unified Soil Classification System (USCS)

Sistem ini dikembangkan oleh Casagrande pada saat Perang Dunia II

yang bertujuan untuk penilaian tanah bagi pembangunan bandara seperti

dikemukakan Coduto 1999 dan Wesley 2010. Dasar pembedaannya adalah

ukuran butir, sehingga langkah awal adalah mengklasifikasi tanah pada

kelompok butir kasar atau halus.

Gambar 5. Klasifikasi tanah menurut USCS (Wesley, 2010).

Selanjutnya, seperti pada Gambar 5, tanah yang memiliki konten

TANAH BERBUTIR HALUS TANAH BERBUTIR KASAR

Kelakuan

(39)

25 persen dikelompokkan sebagai tanah berbutir halus, sedangkan tanah yang

memiliki konten ukuran butir lebih kecil dari 0,06 mm dengan persentase

kurang dari 50 persen termasuk dalam kelompok tanah berbutir kasar.

Kemudian setiap kelompok dibagi lagi berdasarkan ukuran butir kasar atau

halus. Untuk tanah berbutir kasar, pengelompokkan didasarkan pada

ukuran butir, sehingga terbagi menjadi dua kelompok yaitu, pasir dan

kelikil. Ukuran butir yang lebih besar dari kerikil (kerakal, berangkal, dan

bongkah) tidak dibahas dalam klasifikasi ini. Untuk tanah berbutir halus,

ukuran butir tidak lagi menjadi dasar pembagian karena perilakunya

bergantung pada kombinasi komposisi mineral dan ukuran butir atau batas

Atterberg, sehingga terbagi menjadi dua kelompok yaitu lempung dan

lanau.

Cara penaksiran komponen utama dan nama yang diberikan mengikuti

kaidah sebagai berikut. Untuk tanah berbutir kasar, misalnya pasir

bergradasi buruk (SP), adalah material yang sebagian besar (>50%) terdiri

atas ukuran butir pasir. Jika ada konten ukuran butir yang kurang dari 0,06

mm maka jumlahnya kurang dari 10 persen. Sedangkan untuk tanah

berbutir halus, misalnya lempung dengan batas cair tinggi (CH), adalah

material yang sebagian besar terdiri dari ukuran butir lempung dengan

nilai batas cair yang tinggi. USCS menggunakan huruf berikut untuk tanah

berbutir kasar; S (pasir), G (kerikil), W (bergradasi baik), P (bergradasi

buruk). Sedangkan untuk tanah berbutir halus menggunakan huruf berikut;

(40)

26

2.6 Hipotesis

Berdasarkan kajian literatur dan hasil peneliti terdahulu, peneliti

merumuskan hipotesis sebagai berikut:

1. Geologi daerah penelitian terdiri dari endapan sedimen pasir halus hingga

pasir kasar yang dihasilkan oleh proses sedimentasi aliran fluvial dan

produk endapan alluvial yang belum terkompaksi.

2. Lapisan sedimen dengan kerentanan likuifaksi sangat tinggi adalah

endapan pasir halus dan pasir kasar pada situasi jenuh air dengan muka

airtanah relatif dangkal.

3. Baik vertikal maupun lateral, distribusi endapan sedimen yang berpotensi

terlikuifaksi bervariasi mengikuti kondisi fisik dan dikontrol oleh

(41)

27 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Alat dan Bahan Penelitian 3.1.1 Alat

Pada penelitian ini, alat yang digunakan, sebagai berikut:

1. 1 unit komputer/laptop untuk pembuatan laporan

2. 1 unit kalkulator

3. 1 unit printer untuk mencetak laporan

4. Laboratorium mekanika tanah

5. 1 unit mesin bor untuk uji SPT

6. Perangkat lunak Arc Gis, Sedlog, Rock Work, Microsoft Word,

Microsoft Excel, dan Corel Draw.

3.1.2 Bahan

Penelitian ini menggunakan bahan sebagai berikut:

1. Kertas A4

2. Tinta printer Canon

3. Plastik sampel tanah

4. Spidol permanen

5. Sampel tanah terganggu pemboran inti

3.2 Rancangan Penelitian

1. Penelitian ini akan menggunakan data sekunder, data primer, dan hasil

uji laboratorium mekanika tanah. Data sekunder diperoleh dari rekaman

(42)

28 langsung di lapangan untuk mendapatkan data uji SPT dan pengambilan

sampel pada pekerjaan pemboran inti dan pemetaan geologi kuarter.

2. Analisis mekanika tanah dilakukan di Laboratorium Mekanika Tanah

Jurusan Teknik Sipil UGM.

3.3 Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam analisis data primer dan data sekunder

dengan menggunakan data hasil pemboran inti, uji SPT, analisis laboratorium

mekanika tanah, serta data gempabumi Yogyakarta.

3.4 Tahapan Penelitian

Metode penelitian dibagi menjadi lima tahapan pokok, yaitu studi pustaka,

penarikan hipotesis, pengumpulan data sekunder, data lapangan (data primer),

serta data laboratorium, lalu penulisan tesis.

3.4.1 Tahap Pendahuluan

Di tahap ini dimulai dengan mengidentifikasi masalah lalu peneliti

melakukan kajian literatur untuk mengenali lingkup, konsep, dan penelitian

terdahulu dalam studi likuifaksi. Studi pustaka dilakukan dengan membaca dan

mengkaji literatur dan laporan ilmiah mengenai likuifaksi dan geologi regional.

Berdasarkan penelitian terdahulu dan konsep likuifaksi dari literatur yang ada,

peneliti selanjutnya merumuskan hipotesis.

(43)

29 Pemetaan geologi kuarter menggunakan metode pemetaan permukaan,

di mana deskripsi pada lintasan pengamatan dilakukan secara megaskopis.

Deskripsi disesuaikan dengan kondisi endapan yang belum terkompaksi.

3.4.2.2 Pemboran inti dan tes SPT

Uji SPT merupakan in-situ test untuk mendapatkan indeks parameter

dan pengambilan sampel terganggu pada tiap interval 1,5 meter bersamaan

dengan aktivitas pemboran inti. Prosedur dengan interval tersebut mengikuti

saran uji lapangan SPT untuk analisis likuifaksi (Idriss dan Boulanger,

2008). Perhitungan dan prosedur lapangan untuk mendapatkan nilai N

mengacu pada Standar Nasional Indonesia (SNI SPT-4153-2008) untuk uji

SPT yang dipublikasi oleh Departemen Pekerjaan Umum Republik

Indonesia, di mana dari 3 kali pukulan N, nilai N terpakai adalah hasil dari

penjumlahan 2 pukulan terakhir. Nilai N pada pukulan pertama diasumsikan

sebagai dasar atau pukulan mula-mula yang nilainya masih terpengaruh oleh

kondisi permukaan.

Nilai N-SPT terukur yang akan digunakan terlebih dahulu harus

dikoreksi. Di sejumlah negara (Amerika, Argentina, Jepang, dan China)

umumnya ada 3 jenis palu yang dipakai, yakni donut hammer. safety

hammer, dan automatic hammer. Masing-masing palu memiliki spesifikasi

efisiensi energi tertentu. Penelitian ini menggunakan automatic hammer

produksi Jepang. Koreksi nilai N ini berhubungan dengan efisiensi tenaga

yang dihasilkan alat uji SPT untuk menghasilkan nilai yang lebih akurat dari

(44)

30 Dalam analisis potensi likuifaksi, nilai N60 selanjutnya dinormalisasi

menjadi (N1)60 karena hubungan korelasi perubahan tekanan efektif vertikal

(overburden) yang terjadi oleh perubahan kedalaman. Normalisasi tersebut

memperhitungkan sejumlah faktor koreksi (Skempton, 1986), antara lain:

rasio energi (CE), diameter lobang bor inti (CB), panjang batang SPT (CR),

tabung sampel (CS).

3.4.2.3 Pengukuran kedalaman muka airtanah

Pengukuran kedalaman muka airtanah dilakukan dengan dua cara,

pertama pada pemboran inti dan kedua, pengukuran kedalaman airtanah

pada sumur gali. Pengukuran kedalaman muaka airtanah dilakukan dengan

menggunakan alat meter dari permukaan tanah.

3.4.3 Tahap Analisis

3.4.3.1 Analisis fasies sedimen

Analisis fasies sedimen dilakukan dengan bantuan perangkat lunak

Rock Work dan visualisasinya dibantu perangkat lunak Corel Draw.

Keterbatasan pada pemboran inti mengakibatkan data struktur sedimen tidak

dapat dikenali secara baik. Untuk mengatasi hal itu, penentuan fasies

sedimen mempertimbangkan situasi dan proses sedimentasi yang

berlangsung di permukaan. Dengan bantuan perangkat lunak Sedlog, log

sedimen disusun secara stratigrafi kemudian dianalisis.

3.4.3.2 Analisis mekanika tanah

Analisis laboratorium mekanika tanah mengikuti prosedur standar

(45)

31 Uji mekanika tanah yang dilakukan meliputi, uji glanulometri, pengukuran

batas-batas atterberg, pengukuran nilai kadar air, dan uji kuat tekan.

3.4.3.3 Analisis pemicu likuifaksi

Prosedur analisis pemicu likuifaksi mengikuti metode semi-empiris

yang dikembangkan oleh Idriss dan Boulanger pada tahun 2004 dan 2008

untuk mengevaluasi pemicu likuifaksi tanah berdasarkan data uji SPT.

Prosedur analisis pemicu likuifaksi untuk satu lubang bor berdasarkan data

uji SPT meliputi:

1. Input nilai parameter percepatan tanah maksimum (g), magnitud

gempa bumi (Mw), muka airtanah (m), diameter lubang bor, lalu

input berat volume (γbdan γd) rata-rata.

2. Melakukan normalisasi data N-SPT terukur dan menghitung nilai

N60 dengan persamaan:

 CE = (1)

, di mana ER merupakan energi rasio pemboran uji SPT.

Setiap mesin bor memiliki rasio energi yang berbeda

sesuai negara produsennya (Seed dkk., 1985). Evaluasi

potensi likuifaksi yang menggunakan mesin pemboran uji

SPT produksi Jepang mengadopsi energi rasio 78% (Seed

dkk., 1985, Skempton 1986, NCEER 1997).

 CB , ditentukan berdasarkan diameter lubang bor. Pada

penelitian ini lubang bor inti adalah 86,36 mm, maka

(46)

32

 CR , ditentukan berdasarkan spasi hitungan SPT. Spasi

pengambilan data SPT pada penelitian ini adalah setiap

1,5 m (Youd dkk., 2001).

 CS , ditentukan oleh penggunaan lapisan (liners) pada

tabung sampler. Pada penelitian ini sampler pemboran

tidak memakai liners sehingga nilai CS = 1 (Seed dkk.,

1984dalam Idriss dan Boulanger 2008).

 N60 = N CE CB CRCS (2)

Kemudian menentukan tipe sedimen berdasarkan klasifikasi

USCS.

3. Menentukan persentase sedimen berbutir halus (lolos saringan

200) untuk tiap kedalaman sedimen. Data analisis ukuran butir

berasal dari hasil uji sampel di laboratorium.

4. Menghitung nilai tegangan vertikal total (σvc) dan tegangan

vertikal efektif (σ’vc). Persamaan yang diacu merujuk pada

perubahan kondisi muka airtanah (Idriss dan Boulanger, 2008).

 Jika kedalaman yang ditinjau (z) lebih kecil dari muka

airtanah maka σvc = z . γd (3)

Bila z lebih besar dari kedalaman muka airtanah maka

σvc = (h ×γd) + [(z −h) γb] , (4)

di mana h adalah level muka airtanah.

(47)

33 di mana γw = 1 t/m3 atau 9,81 kN/m3. Bila nilai z lebih

kecil dari h maka σ’vc = σvc.

5. Menghitung faktor koreksi overburden dengan persamaan:

 CN = ��

�′��

. − . √ 6 ��

≤ 1.7 (6)

6. Menghitung nilai (N1)60 dengan persamaan N60 ×CN. (7)

Pada prosedur perhitungan Idriss and Boulanger, persamaan ini

tidak berlaku (not applicable) pada tanah lempung.

7. Menghitung ΔN untuk fraksi halus (ΔN for fines content),

dengan persamaan:

Δ (N1)60 = exp ( . + �+ .. − �+ .. ) (8)

persamaan ini tidak berlaku untuk tanah lempung.

8. Menghitung (N1)60-cs dengan persamaan:

(N1)60-cs = (N1)60+ Δ (N1)60 (9)

persamaan ini tidak berlaku untuk tanah lempung.

9. Menghitung reduksi tegangan akibat overburden (rd) dengan

(48)

34 CSR = . × ���

��× ����

� × � (13)

11.Menghitung nilai MSF (magnitude scaling factor) dengan

persamaan:

persamaan ini tidak berlaku untuk tanah lempung.

14.Menghitung CRR untuk skenario magnitude dengan persamaan:

CRRM, σ’vc = CRRM=7,5&σ’vc=1 × MSF × Kσ (18)

pada kondisi tanah tidak jenuh air, tanah lempung, dan jenis

tanah yang tak terdeteksi persamaan ini tidak berlaku (n.a).

15.Menghitung factor of safety likuifaksi (FSliq) dengan persamaan:

FSliq = � �,�′��

�,�′�� (19)

pada kondisi tanah tidak jenuh air, tanah lempung, dan jenis

(49)

35 Analisis pemicu likuifaksi dibantu perangkat lunak Microsoft Excel.

3.4.4 Tahap Penulisan Laporan

Tahap penulisan draf tesis dibantu perangkat lunak microsoft word

setelah seluruh tahapan penelitian lain selesai. Penulisan tesis menggunakan

jenis font Times New Roman dan mengacu pada standar penulisan tesis yang

(50)

36

Gambar 6. Bagan Alir Penelitian

Indentifikasi Masalah

Hubungan Antara Fasies dengan Karakteristik Fisik Sedimen Terhadap Potensi Likuifaksi dan Mitigasi

(51)

37 BAB IV

PENGUTARAAN DATA

4.1 Lokasi Pengamatan untuk Pemetaan Geologi Kuarter

Pemetaan geologi kuarter dilakukan dengan metode pemetaan

permukaan. Lintasan pengamatan dilakukan dengan melakukan pengamatan

dan deskripsi megaskopis terhadap endapan di dalam lokasi penelitian. Ada

10 lokasi pengamatan yang berhasil dikerjakan (Gambar 7) Deskripsi

endapan dilengkapi juga dengan pengamatan lingkungan pengendapan

sedimen.

Selain pengamatan terhadap endapan, peneliti juga melakukan

pengamatan kedalaman muka air sumur gali yang terdapat pada pemukiman

warga. Ada 3 data sumur gali warga yang berhasil diambil. Pengamatan muka

air sumur dilakukan pada bulan September tahun 2014.

Pemboran inti dan uji SPT dilakukan pada tiga (3) titik dengan

kedalaman maksimal 50 meter. Aktivitas pemboran inti dan uji SPT di titik

BH-2 dilakukan pada 19 Maret 2013, di Patihan, Srigadang, Bantul pada

koordinat X = 0416606 dan Y = 9116666. Pemboran inti dan uji SPT pada

titik BH-3 dikerjakan pada 24 Maret 2013, di Desa Babakan, Srandakan,

Bantul pada koordinat X = 414450 dan Y = 9118431. Sedangkan pemboran

inti dan uji SPT pada titik BH-4 dikerjakan pada 28 Maret 2014, di Pantai

Pandansimo, Skrandakan, Bantul pada koordinat X = 413312 dan Y =

9117178.

(52)

38

G

a

mb

a

r

7

.

Peta

L

in

tasan

Pen

g

am

(53)

39 4.2 Log Stratigrafi

4.2.1 Log Stratigrafi BH-2

Pengamatan dan investigasi geologi pada log bor (Gambar 8)

memberikan informasi deskriptif tentang dinamika sedimentasi, di mana

sejarah geologi endapan dimulai dengan diendapkannya asosiasi fasies

lingkungan laut dangkal (shallow sandy seas) yang dicirikan oleh kehadiran

fosil foram bentik. Suksesi vertikal endapan laut dangkal ini dicirikan oleh

endapan batupasir sedang-kasar dengan warna abu-abu gelap, belum

terkompaksi (loose), grain-supported: sortasi baik, bentuk butir membulat

tanggung - membulat, matrik berukuran butir lanau, komposisi litik, kuarsa,

dan mineral silika. Ketebalan fasies ini mencapai sekitar 10 meter.

Selanjutnya asosiasi fasies berubah menjadi lingkungan pantai. Karakter

sedimen pantai ini dicirikan oleh kehadiran fasies pasirkasar dengan warna

abu-abu, belum terkompaksi, grain-supported (clast-supported): sortasi

moderat, bentuk butir menyudut tanggung - membulat tanggung, komposisi

litik hadir dalam jumlah kecil pecahan breksi berfragmen andesit. Pada fasies

ini fosil bentik tidak berkembang, namun pecahan cangkang molussca umum

dijumpai. Suksesi fasies pantai ini sempat mengalami jeda dengan hadirnya

fasies fluvial dan sisipan fasies lagoon lalu kemudian berkembang hingga

(54)

40

(55)

41 4.2.2 Log Stratigrafi BH-3

Pengamatan geologi pada log bor (Gambar 9) diawali oleh asosiasi fasies

lingkungan laut dangkal (Shallow sandy seas) setebal 30 meter yang dicirikan

oleh endapan pasir warna abu-abu, belum terkompaksi, grain-supported:

sortasi moderat, bentuk butir menyudut tanggung - membulat tanggung,

ukuran butir pasirkasar-pasirhalus dengan matrik lanau, komposisi: litik dan

mineral silika.

Di atasnya berkembang fasies pasir pantai dengan sisipan lempung laut

dangkal. Fasies pasir pantai dicirikan oleh pasir dengan warna abu-abu,

belum terkompaksi, grain-supported: sortasi buruk, bentuk butir menyudut

tanggung-membulat tanggung, ukuran butir pasirkasar - pasirsedang dengan

matrik lanau, komposisi: liti dan mineral silika. Kemudian di atasnya

berkembang fasies pasir fluvial dengan deskripsi megaskopis warna abu-abu

gelap, belum terkompaksi, tekstur grain-supported, sortasi baik, bentuk butir

membulat tanggung - membulat, ukuran butir pasirsedang dengan matrik

lanau, komposisi: litik dan mineral silika.

Setelah itu berkembang fasies pasir pantai berwarna abu-abu gelap,

belum terkompaksi, tekstur grain-supported: sortasi buruk, bentuk butir

membulat tanggung - membulat, ukuran butir: pasirkasar dengan matrik

pasirsangathalus-lanau, komposisi: litik dan mineral silika. Kemudian

berkembang lagi asosiasi fasies pasir fluvial dengan deskripsi megaskopis

(56)

42 bentuk butir membulat tanggung - membulat, ukuran butir: pasir kasar

(57)

43

(58)

44 4.2.3 Log Stratigrafi BH-4

Observasi geologi pada core pemboran (Gambar 10) menunjukkan

variasi asosiasi fasies secara vertikal. Pada bagian bawah diendapkan fasies

pasir laut dangkal (shallow sandy seas) dengan deskripsi megaskopis warna:

abu-abu gelap, belum terkompaksi, tekstur grain-supported: sortasi buruk,

bentuk butir membulat tanggung-membulat, ukuran butir: pasir sedang

dengan matrik lanau, komposisi: litik dan mineral silika. Di atasnya

diendapkan asosiasi fasies pasir pantai dengan deskripsi megaskopis warna

abu-abu, belum terkompaksi, tekstur: grain supported, sortasi sedang, bentuk

butir: membulat tanggung-membulat, ukuran butir: pasir halus hingga pasir

kasar dengan matrik lanau, komposisi: litik dan mineral silika. Di lapisan

paling atas diendapkan asosiasi fasies estuari (tidal channel system) dengan

deskripsi megaskopis warna abu-abu, belum terkompaksi, tekstur

grain-supported: sortasi moderat, bentuk butir membulat tanggung-membulat,

ukuran butir: pasir halus hingga pasir kasar, komposisi: litik dan mineral

(59)

45

(60)

46 4.3 Pemboran Geoteknik dan Investigasi Geologi

Hasil uji SPT BH-2 (Gambar 11) memberi informasi muka airtanah

(MAT) berada pada 5,5 meter di bawah permukaan dengan tren nilai N-SPT

berkisar antara 18 hingga 44. Pada test SPT BH-3 (Gambar 12), muka airtanah

berada pada kedalaman 1,5 meter dari permukaan dengan tren nilai N-SPT

lebih variatif dengan nilai N-SPT berkisar antara 17 hingga 44. Di BH-4

(Gambar 13), muka airtanah berada pada kedalaman 7 meter dari permukaan

dengan hasil test SPT memberi informasi nilai N-SPT berkisar antara 17

(61)

47

(62)

48

(63)

49

(64)

50 4.4 Kedalaman Muka Airtanah

Data kedalaman muka airtanah daerah penelitian merupakan kombinasi

dari data kedalaman muka airtanah dari uji SPT yang telah ditampilkan pada

sub bab 4.3 dan data pengamatan kedalaman muka sumur gali seperti pada

peta lintasan pengamatan di sub bab 4.1.

Kedalaman muka airtanah dari uji SPT pada BH3 adalah 1,5 meter, BH2

5,5 meter, dan BH4 adalah 7 meter dari permukaan. Sedangkan pengamatan

pada kedalaman muka air sumur gali warga terdiri dari 3 data, masing-masing

MK1 dengan kedalaman muka air sumur gali 4,5 meter, MK2 adalah 5 meter,

dan MK3 adalah 3 meter dari permukaan.

Berdasarkan kompilasi data tersebut, kedalaman muka airtanah di daerah

penelitian berkisar pada 1,5 hingga 7 meter dari permukaan tanah.

4.5 Analisis Laboratorium Mekanika Tanah 4.5.1 Ukuran Butir

Analisis ukuran butir di laboratorium mekanika tanah menggunakan

metode penyaringan butiran. Media penyaringan berupa saringan (mess)

dengan variasi ukuran diameter. Hasil analisis ukuran butir akan dipakai

untuk menentukan persentase kehadiran material halus. Material halus yang

dimaksud adalah butiran yang lolos nomor saringan 200 (0,075 mm). Butiran

halus ini umumnya hadir sebagai matrik atau semen pada sedimen atau

batuan sedimen.

Selain itu, distribusi ukuran butir yang diwakili oleh sampel pada interval

(65)

51 Selanjutnya data distribusi ukuran butir akan digunakan untuk menguji

kerentanan sedimen terhadap fenomena likuifaksi. Ukuran butir pasir dengan

persentase butiran halus tertentu memiliki risiko mengalami likuifaksi yang

lebih besar.

4.5.1.1 Ukuran butir BH-2

Analisis ukuran butir untuk BH-2 (Gambar 14) dilakukan pada sampel

bor terpilih pada kedalaman 3, 9, 15, 18 - 21, 24 - 27, 29 - 31, dan 34 - 37

meter.

Pada kedalaman 3 meter analisis menghasilkan ukuran butir dengan

persentase butir pasirhalus – pasirkasar 97,23%, ukuran butir lanau –

lempung 2,77%, dan ukuran butir kerikil 0,00%.

Pada kedalaman 9 meter, analisis menghasilkan ukuran butir pasirhalus –

pasirkasar 91,45%, ukuran butir lanau – lempung 8,55%, dan ukuran butir

kerikil 0,00%.

Kedalaman 15 meter analisis menghasilkan ukuran butir pasirhalus –

pasirkasar 98,46%, ukuran butir lanau – lempung 1,54%, dan ukuran butir

kerikil 0,00%.

Pada kedalaman 18 - 21 meter, pengambilan sampel dengan rentang

kedalaman ini karena mempertimbangkan volume inti bor yang akan dianalisis,

analisis menghasilkan ukuran butir pasirhalus – pasirkasar 98,32%, ukuran

butir lanau – lempung 1,68%, dan ukuran butir kerikil 0,00%.

Kedalaman 24 - 27 meter, analisis menghasilkan persentase ukuran butir

(66)

52 ukuran butir kerikil 0,00%. Kedalaman 29 - 31 meter, analisis menghasilkan

ukuran butir pasirhalus – pasirkasar 81,05%, ukuran butir lanau – lempung

18,95%, dan ukuran butir kerikil 0,00%.

Kedalaman 34 - 37 meter, analisis menghasilkan ukuran butir pasirhalus

– pasirkasar 97,42%, ukuran lanau – lempung 2,58%, dan ukuran butir kerikil

(67)
(68)

54 4.5.1.2 Ukuran butir BH-3

Analisis ukuran butir pada BH-3 (Gambar 15) dilakukan pada sampel bor

terpilih dengan mempertimbangkan volume inti bor, meliputi kedalaman 1,5

– 3, 6, 12, 16 – 19, 30, 36, dan 40 – 41 meter. Pada kedalaman 1,5 – 3 meter,

analisis menghasilkan ukuran butir dengan rentang pasirkasar – pasirhalus

dengan persentase butiran 99,67%, ukuran butir lanau – lempung 0,33%, dan

ukuran butir kerikil 0,00%.

Kedalaman 6 meter, pasirkasar – pasir halus 96,19%, lanau – lempung

3,81%, kerikil 0,00%.

Kedalaman 12 meter, pasirkasar – pasir halus 98,75%, lanau – lempung

1,25%, kerikil 0,00%.

Kedalaman 16 – 19 meter, pasirkasar – pasirhalus 98,16%, lanau – lempung

1,84%, kerikil 0,00%. Pada kedalaman 30 meter, pasirkasar – pasirhalus

92,15%, lanau – lempung 7,85%, kerikil 0,00%.

Kedalaman 36 meter, pasirkasar – pasirhalus 86%, lanau – lempung 14%,

kerikil 0,00%. Dan kedalaman 40 – 41 meter, pasirkasar – pasirhalus 22,48%,

(69)

Gambar

Gambar 1. Indikasi terjadinya likuifaksi saat gempa bumi Yogyakarta 27 Mei 2006 (foto: Konagai dkk., 2007)
Gambar 2. Lokasi daerah penelitian (liniasi warna merah) dalam peta RBI Lembar Brosot (Bakosurtanal, 1998)
Gambar 3. Peta Geologi Regional Lembar Yogyakarta (Rahardjo dkk., 1995)
Gambar 4. Distribusi sejarah kegempaan di Pulau Jawa (Karnawati dkk., 2008)
+7

Referensi

Dokumen terkait

ANALISA POTENSI LIKUIFAKSI PADA DAERAH PASIR JAMBAK, PADANG, SUMATERA BARAT DENGAN MENGGUNAKAN METODE SHIBATA DAN

Gempa bumi sangat erat kaitannya dengan peristiwa likuifaksi yang dapat mengakibatkan kegagalan bangunan, sehingga pada penelitian ini akan membahas mengenai potensi

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur geologi bawah permukaan pada daerah panas bumi di Panyabungan Selatan, mengetahui litologi bawah permukaan berdasarkan

Dari grafik indek keanda- lan/kemungkinan menunjukan bahwa potensi likuifaksi sudah ada pada kedalaman 4m dengan presentasi yang kecil, dan semakin dalam potensi

Kondisi tatanan lingkungan geologi yang berada pada cekungan Bantul bagian atas berupa endapan aluvium dan sedimen lahar Merapi dengan sebaran distribusi muka airtanah

Likuifaksi merupakan salah satu faktor penyumbang kerusakan bangunan pada gempabumi 27 Mei 2006 karena menunjukkan hubungan yang positif antara potensi likuifaksi

KESIMPULAN Akibat beban gempa yang diberikan, yaitu sebesar 5,5 SR titik C-36, titik S-58 dan Titik TC-32 berpotensi terjadi likuifaksi Potensi penurunan yang terjadi akibat adanya

Hasil Pengolahan dan Pemodelan Berdasarkan hasil analis dan pengolahan menggunakan model likuifaksi geospasial maka dapat dihasilkan wilayah yang berpotensi likuifaksi untuk wilayah