• Tidak ada hasil yang ditemukan

REFERAT JIWA gangguan obsesif kompulsif (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "REFERAT JIWA gangguan obsesif kompulsif (1)"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

REFERAT JIWA

TERAPI KONVERSI DALAM MENGUBAH ORIENTASI

SEKSUAL PADA HOMOSEKSUAL

Disusun Oleh :

Adiyaty Yunita Perdana 1102011008

Aditya Wicaksono

1102012007

Devi Nurfadila Fani

1102012058

Iqbal Hakkiki

1102012132

Pembimbing :

dr. Suponco Eddi Wahyono. Sp.KJ, MARS

Disusun Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik

Bagian Jiwa RSU SUBANG CIERENG

(2)

B A B I

PEN D A HU LU A

N

1.1 Latar B e l akang

Sejak abad ke-19, permasalahan mengenai variasi orientasi seksual, baik itu homoseksualitas maupun biseksualitas sudah menjadi suatu topik hangat untuk diperdebatkan. Pada abad ke-19, Sigmund Freud pesimis tentang upaya untuk mengkonversi homoseksualitas. Pada tahun 1920 ia menulis, "upaya melakukan konversi homoseksual menjadi sepenuhnya heteroseksual tidak memberikan prospek yang baik".

Teori Freud tentang "pertumbuhan terhambat," atau yang disebut dengan "teori ketidakdewasaan", sering dicampur adukkan dengan penyakit, atau teori patologi. Namun menjelang akhir hidupnya, Freud mempertahankan bahwa homoseksualitas "bukan sesuatu yang memalukan, bukan merupakan suatu degradasi, dan tidak dapat digolongkan sebagai suatu penyakit. Homoseksual dianggap sebagai variasi fungsi seksual, sebagai hasil dari perkembangan seksual ".

Pada pertengahan abad ke-20, Sandor Rado melakukan psikoanalisis tentang "teori adaptasi" dan memberi dampak yang signifikan terhadap perkembangan psikiatri. Rado mengklaim tidak ada istilah "biseksualitas bawaan" atau “homoseksualitas bawaan”. Heteroseksual merupakan normal secara biologis dan homoseksualitas merupakan akibat dari pola asuh yang tidak memadai. Oleh karena itu, psikiater menarik kesimpulan bahwa homoseksualitas merupakan variasi normal ekspresi seksual manusia.

Pada tahun 1992, dibentuklah Asosiasi Nasional untuk Riset dan Terapi

(3)

Bieber dkk melaporkan bahwa 73% dari 106 pasien homoseksual yang mendapatkan pengobatan psikoanalitik tidak berubah orientasi seksualnya. Socarides melaporkan bahwa 65% dari pasien yang dirawat selama sepuluh tahun tidak berubah orientasi seksualnya. Nicolosi mengakui bahwa terapi konversi bukan obat dalam arti menghapus semua perasaan homoseksual.

Pada tahun 2000, Asosiasi Psikiatri Amerika (APA) merekomendasikan:

1. Penegasan bahwa homoseksualitas bukanlah gangguan mental.

2. Praktisi etis menahan diri dari upaya untuk mengubah orientasi seksual seseorang, mengingat diktum medis pertama, tidak membahayakan.

(4)

B A B II

TIN JA U A N PU S TA

KA

2.1 Te rapi Ko nv e rs i 2.1.1 D e f i ni s i

American Psychological Association mendefinisikan terapi konversi atau disebut juga terapi reparatif, sebagai terapi yang bertujuan mengubah orientasi seksual dari homoseksual atau biseksual menjadi heteroseksual. Organisasi utama advokasi bentuk sekuler terapi konversi adalah Asosiasi Nasional untuk Penelitian & Terapi Homoseksualitas (NARTH).

2.1.2 Ko ntro v e rs i

The American Psychiatric Association tidak menyetujui perawatan kejiwaan yang didasarkan pada asumsi bahwa homoseksualitas adalah gangguan mental, dan asumsi bahwa pasien harus mengubah orientasi homoseksualnya. Psikolog Douglas Haldeman menulis bahwa terapi konversi terdiri dari upaya profesional kesehatan mental dan penyedia pelayanan pastoral untuk mengkonversi homoseksual menjadi heteroseksualitas dengan teknik-teknik seperti penerapan sengatan listrik ke tangan dan/atau alat kelamin, atau pemberian obat perangsang mual, yang diberikan secara bersamaan dengan stimulus homoerotik, rekondisi masturbasi, visualisasi, pelatihan ketrampilan sosial, terapi psikoanalitik, dan intervensi spiritual. Terapi ini bertujuan untuk mengubah orientasi seksual agar sesuai dengan identitas gender biologisnya.

Organisasi Medis dan Ilmiah Mainstream Amerika telah menyatakan keprihatinan atas terapi konversi dan menganggapnya berpotensi membahayakan. Kemajuan terapi konversi dapat menyebabkan kerusakan sosial dengan memberikan penjelasan yang tidak akurat terhadap orientasi seksual kepada masyarakat.

(5)
(6)

2.1.3 Te kni k

Modifikasi Perilaku

Douglas Haldeman menulis dalam "Terapi Konversi Orientasi Seksual untuk Homoseksual" bahwa awal terapi konversi modifikasi perilaku terutama

menggunakan aversive conditioning techniques, yang melibatkan kejutan listrik dan

obat perangsang mual selama pemberian rangsangan homoerotik. Penghentian

aversive conditioning techniques itu biasanya disertai dengan pemberian rangsangan heteroerotik, dengan tujuan untuk memperkuat perasaan heteroseksual. Haldeman juga membahas metode sensitisasi rahasia, yang menginstruksikan pasien untuk membayangkan muntah atau menerima sengatan listrik. Haldeman menyimpulkan bahwa pengkondisian perilaku cenderung menurunkan perasaan homoseksual, namun tidak meningkatkan perasaan heteroseksual. Pasien justru menjadi cenderung malu, dan merasa takut tentang perasaan homoseksual mereka. Haldeman juga menambahkan bahwa metode tersebut jika diterapkan pada siapa pun kecuali orang-orang gay akan disebut penyiksaan. Metode lain yang dapat dilakukan ialah masturbasi rekondisi, visualisasi, dan sosial pelatihan keterampilan. Semua metode ini didasarkan pada gagasan bahwa homoseksualitas adalah perilaku yang dipelajari yang dapat

menyatakan bahwa ex-gay ministry dan terapi konversi adalah metode yang berbeda

untuk mengkonversi homoseksualitas menjadi heteroseksualitas. Exodus International mempercayai bahwa terapi reparatif dapat menjadi alat yang menguntungkan, sedangkan Evergreen International menyatakan bahwa terapi tersebut tidak dapat menghapus semua perasaan homoseksual, dan tidak mendukung segala bentuk terapi. P

s i k o ana l i s i s

(7)

Re

pa r a t i v e Th e r ap y ( T e r ap i K o n v e r s i )

Teori psikoanalitik Nicolosi menunjukkan bahwa homoseksualitas adalah bentuk perkembangan psikoseksual akibat dari sebuah ikatan dan identifikasi yang tidak lengkap dengan induk yang berjenis kelamin sama, yang kemudian secara simbolis diperbaiki dalam psikoterapi. Rencana intervensi Nicolosi ini mengkondisikan seorang pria supaya berperan sesuai gender tradisional maskulin. Dia harus.

1. berpartisipasi dalam kegiatan olahraga

2. menghindari kegiatan yang dianggap menarik bagi kaum homoseksual, seperti museum, seni, opera, simfoni

3. menghindari wanita kecuali untuk kontak romantis

4. peningkatan waktu dihabiskan dengan laki-laki heteroseksual untuk belajar untuk meniru cara laki-laki heteroseksual berjalan, berbicara, dan berinteraksi dengan laki-laki heteroseksual lainnya

5. Menghadiri acara kelompok pria

6. menghadiri kelompok terapi reparatif untuk mendiskusikan kemajuan, atau akan jatuh kembali ke dalam homoseksualitas

7. menjadi lebih percaya diri dengan perempuan melalui menggoda dan kencan

8. mulai kencan heteroseksual

9. melakukan hubungan heteroseksual

10. masuk ke dalam pernikahan heteroseksual, dan menjadi seorang ayah dari anak-anak yang dihasilkan

(8)

dukungan yang tepat, mereka semua dapat dikembangkan dalam konteks kedewasaan heteroseksual yang normal. Sebagian besar pakar profesional kesehatan mental menganggap terapi reparatif didiskreditkan, tetapi beberapa masih dipraktekkan oleh sebagian orang atau organisasi. Bahkan, mantan presiden American Psychological Association Robert Perloff dan Nicholas Cummings mereka keduanya telah menjadi pembicara utama pada konferensi NARTH baru-baru ini dan sangat mengecam upaya asosiasi profesional kesehatan mental utama tersebut.

S

e x Th e r ap y

Masters and Johnson melihat homoseksualitas sebagai sebuah bloking dari suatu proses pembelajaran sehingga menghambat respon heteroseksual yang sepantasnya dimiliki. Dari studi 54 pria homoseksual yang tidak puas dengan orientasi seksual mereka, 19 pria tidak kooperatif sehingga tidak dapat diubah orientasi seksualnya.

Menurut Masters dan Johnson perbedaan antara “konversi” (membantu pria homoseksual tanpa adanya pengalaman heteroseksual sebelumnya) dan “reversi” (membatu pria homoseksual dimana sebelumnya memiliki pengalaman heteroseksual) tidak bisa ditemukan. Dari penelitian ini hanya dapat disimpulkan bahwa lebih mudah membuat orang biseksual menjadi heteroseksual, daripada homoseksual menjadi heteroseksual.

2.2 Ori e ntas i S e ks ual

Perilaku seksual ditentukan oleh interaksi berbagai faktor yang kompleks, seperti hubungan dengan orang lain, lingkungan dan kultur dimana seseorang tinggal. Seksualitas seseorang dipengaruhi oleh faktor kepribadian, susunan biologis, dan

(9)

berbagai bentuk stimulasi seksual terhadap organ selain organ seksual primer mungkin masih masuk ke dalam batas normal, tergantung pada konteks keseluruhan.

2.2.1 Ps i ko s e ks ual i tas

Seksualitas seseorang dan kepribadian secara keseluruhan terjalin sehingga tidak mungkin untuk membicarakan seksualitas sebagai bagian yang terpisah. Dengan demikian istilah “Psikoseksualitas” digunakan untuk mengesankan perkembangan dan fungsi kepribadian sebagai sesuatu yang dipengaruhi oleh seksualitas seseorang. “psikolseksualitas” jelas bukan terbatas pada perasaan dan perilaku seksual, demikian juga tidak sama dengan libido dalam pandangan freud.

Dalam pandangan Sigmund freud, semua impuls dan aktivitas yang menyenangkan akhirnya adalah seksual dan harus sangat ditandai sejak permulaan. Generalisasi tersebut telah menyebabkan kekeliruan interpretasi yang tidak habis-habisnya tentang konsep seksual menurut freud oleh kaum awam dan membingungkan satu motivasi dengan lainnya oleh dokter psikiatrik. Sebagai contoh, beberapa aktivitas oral diarahkan untuk mendapatkan makanan, sedangkan yang lainnya diarahkan untuk mencapai kepuasan seksual. Hanya karena keduanya adalah perilaku yang mencari kesenangan dan keduanya menggunakan organ yang sama, mereka tidak selalu seksual, menurut freud. Menyebutkan semua perilaku mencari kesenangan seksual menghalangi penjelasan motivasi. Seseorang mungkin menggunakan aktfitas seksual untuk memuaskan kebutuhan non seksual, seperti kebutuhan ketergantungan, agresif dan status. Walaupun impuls seksual dan non seksual mungkin bersama-sama memotivasi perilaku, analisis perilaku tergantung pada pemahaman motivasi individual dasar dan interaksinya.

2.2.2 Pe ng ajaran s e ks ual pada mas a kanak- kanak

(10)

perempuan. Laki-laki lebih mungkin disiplin secara fisik dibandingkan perempuan. Jenis kelamin anak mempengaruhi toleransi orang tua terhadap agresi dan pendorongan atau pemadaman aktivitas atau pasivitas dan minat intelektual, estetika dan atletik.

Pengamatan langsung pada anak-anak dalam berbagai situasi menemukan bahwa permainan genital pada bayi merupakan bagian dari pola perkembangan normal. Menurut harry harlow, interaksi dengan ibu dan teman sebaya adalah diperlukan untuk perkembangan perkembangan perilaku dewasa yang efektif pada kera, suatu temuan yang memiliki relevansi dengan sosialisasi normal pada anak-anak. Terdapat periode kritis dalam perkembangan diluar mana bayi mungkin menjadi kebal atau resisten terhadap jenis stimulasi tertentu tetapi selama mana mereka khususnya peka terhadap stimuli tersebut. Hubungan terinci tentang periode kritis perkembangan psikoseksual masih belum dikembangkan; kemungkinan, stadium perkembangan psikoseksual menurut freud oral, anal, falik, laten dan genital- memberikan kerangka kerja yang luas untuk perkembangan tersebut.

2.2.3 Fakto r Ps i ko s e ks ual

Seksual seseorang adalah tergantung pada empat factor-faktor yang saling berhubungan: identitas seksual, identitas jenis kelamin, orientasi seksual, dan perilaku seksual. Factor-faktor tersebut mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan, dan fungsi kepribadian dan keseluruhannya dinamakan factor psikoseksual. Seksualitas adalah sesuatu yang lebih dari jenis kelamin fisik, koitus dan nonkoitus, dan sesuatu yang kurang dari tiap aspek perilaku diarahkan untuk mendapatkan kesenangan.

2.2.4 Ide nti tas s e ks ual dan i de nti tas je ni s ke l ami n

(11)

Identitas seksual. Penelitian embriologis modern telah menunjukkan bahwa semua embrio mamalia, secara genetika laki-laki dan secara genetika perempuan adalah secara anatomis wanita selama stadium awal kehidupan janin. Diferensiasi laki-laki dari wanita disebabkan oleh kerja androgen janin; kerja tersebut dimulai kira-kira minggu keenam kehidupan embrionik dan lengkap pada akhir bulan ketiga. Penelitian terakhir telah menjelaskan efek hormone janin pada maskulinisasi dan feminisasi orang. Pada binatang, stimulasi hormonal prenatal pada otak adalah diperlukan untuk perilaku reproduktif dan kopulasi laki-laki dan wanita. Janin juga rentan terhadap androgen yang diberikan dari luar selama periode tersebut. Sebagai contoh, jika ibu yang sedang hamil menerima androgen eksogen dalam jumlah yang cukup, janin wanita yang memiliki ovarium dapat berkembang genitalia eksternal yang menyerupai genitalia laki-laki.

2.2.5 Kl as i f i kas i g ang g uan i nte rs e ks ual

Gangguan interseksual termasuk berbagai sindrom yang menghasilkan seseorang dengan aspek anatomis yang jelas atau fisiologis dari jenis kelamin berlawanan.

Identitas jenis kelamin. Pada usia 2 atau 3 tahun, hampir semua orang memiliki keyakinan yang kuat bahwa saya adalah laki-laki atau aya adalah perempuan. Kendatipun kelaki-lakian dan kewanitaan berkembang secara normal, seseorang masih memiliki tugas adaptif untuk mengembangkan rasa maskulinitas atau femininitas.

(12)

hadiah dan hukuman dan cap jenis kelamin parental, untuk menegakkan identitas jenis kelamin.

Peran jenis Kelamin. Berhubungan dengan dan sebagian didapatkan dari identitas jenis kelamin adalah perilaku peran jenis kelamin (gender role behavior). John money menggambarkan perilaku peran jenis kelamin sebagai semua hal yang dikatakan atau dilakukan seseorang untuk mengungkapkan dirinya sendiri sebagai memiliki status laki-laki atau wanita. Suatu peran jenis kelamin tidak didapatkan pada lahir tetapi dibangun secara kumulatif melalui pengalaman yang ditemukan dan dilakukan melalui pengajaran yang kebetulan dan tidak direncanakan, melalui instruksi dan penanaman yang tegas, dan dengan memasangkan secara spontan dua dan dua bersama-sama untuk membuat kadang menjadi empat dan kadang-kadang, secara salah, lima.

Hasil akhir yang baku dan sehat adalah kesesuaian identitas jenis kelamin danperanan jenis kelamin. Walaupun atribut biologis adalah penting, factor utama dalam mendapatkan peranan yang sesuai dengan jenis kelamin seseorang adalah belajar. Penelitian perbedaan jenis kelamin pada perilaku anak-anak menemukan lebih banyak kemiripan psikologis dibandingkan perbedaan. Tetapi, anak perempuan ditemukan kurang rentan terhadap kemarahan setelah usia 18 bulan dibandingkan anak-anak laki, dan anak-anak laki-laki biasanya lebih agresif dibandingkan anak-anak perempuan baik secara fisik maupun verbal dari 2 tahun dan selebihnya. Anak perempuan dan laki-laki yang masih kecil adalah sama aktifnya, tetapi anak laki-laki-laki-laki lebih mudah terstimuli terhadap aktivitas yang meluap-luap jika merek berada dalam kelompok. Beberapa penelitian berpendapat bahwa, walaupun agresi adalah perilaku yang dipelajari, hormone laki-laki mungkin mensensitisasi organisasi neual anak laki- laki untuk menyerap pelajaran tersebut dengan lebih baik dibandingkan perempuan.

(13)

2.2.6 Ori e ntas i S e ks ual

Orientasi seksual digambarkan sebagai objek impuls seksual seseorang: heteroseksual (jenis kelamin berlawanan), homoseksual (jenis kelamin sama), atau biseksual (kedua jenis kelamin).

2.2.7 Pe ri l aku S e ks ual Respon fisiologis

Respons seksual adalah suatu pengalaman psikofisiologis yang sesungguhnya. Rangsangan dicetuskan oleh stimuli psikologis dan fisik, tingkat ketegangan yang dialami baik secara fisiologis dan emosional dan pada orgasme, normalnya terdapat persepsi subjektif puncak reaksi dan pelepasan fisik. Diagnostic and statistical manual of mental disorders edisi keempat. Menggambarkan 4 fase siklus respons : fase 1, hasrat/birahi (desire); fase 2 , perangsangan (excitement); fase 3: orgasme; fase 4: resolusi.

Perbedaan dalam Rangsangan Erotik

Fantasi seksual yang jelas adalah sering ditemukan pada laki-laki dan wanita. Stimuli external terhadap fantasi seringkali berbeda pada kedua jenis kelamin. Laki-laki berespons terhadap stimuli visual wanita telanjang atau berpakaian minim, yang digambarkan sebagai pembangkit nafsu dan diminati hanya dalam pemuasan fisik. Wanita berespons terhadap kisah romantic dengan pahlawan yang lembut yang mencintainya dan berjanji seumur hidup dengannya.

H

o m o s e k s ua l i t a s

(14)

adalah lebih disukai bagi semuanya; hal ini mengesankan diskriminasi dan hukuman bagi mereka yang melakukan bentuk seksualitas lainnya.

Perkiraan Perilaku Homoseksual

NEGARA SAMPEL TEMUAN

Kanada 5.514 mahasiswa tahun

pertama di bawah 25 tahun

98% heteroseksual 1% biseksual 1% homoseksual

Norwegia 6.155 orang dewasa,

usia 18-26 tahun

3,5% laki-laki dan 3% perempuan melaporkan pengalaman

homoseksual di masa lalu

(15)

homoseksual selama Times (15 April 1993) dari penelitian riset tentang perilaku homoseksual.

Masalah Teoritis

a. Faktor psikologis

Determinan untuk perilaku homoseksual adalah membingungkan. Freud memandang homoseksualitas sebagai suatu penghentian perkembangan psikoseksual. Ketakutan kastrasi pada laki-laki dan ketakutan penelanan maternal (maternal engulfment) pada fase praoedipal dari perkembangan psikoseksual disebutkan. Menurut teori psikodinamika, situasi kehidupan awal yang dapat menyebabkan perilaku homoseksual laki-laki adalah fiksasi yang kuat dengan ibu, tidak adanya pengasuhan ayah yang efektif, inhibisi perkembangan maskulin oleh orangtua, fiksasi atau regresi pada stadium narsistik dari perkembangan, dan hilangnya kompetisi dengan saudara laki-laki atau perempuan. Pandangan Freud tentang penyebab homoseksualitas wanita adalah tidak adanya resolusi kecemburuan penis (penis envy) yang disertai oleh konflik oedipal yang tidak terpecahkan.

(16)

yang efisiensinya tidak terganggu dan sungguh-sungguh diberdakan oleh perkembangan intelektual yang tinggi dan kultur etika. Dalam Letter to an American Mother, Freu menulis, homoseksualitas jelas tidak memiliki manfaat tetapi tidak memalukan, tidak buruk, tidak menyebabkan penurunan, tidak dapat diklasifikasikan sebagai penyakit; kami menganggapnya sebagai variasi fungsi seksual yang diakibatkan oleh perhentian tertentu pada perkembangan seksual.

b. Faktor psikoanalitik baru

Beberapa ahli psikoanalisis telah mengajukan Rumusan psikodinamika baru, yang berlawanan dengan teori psikoanalitik klasik. Richard Isay menggambarkan fantasi terhadap jenis kelamin sama pada anak-anak yang berusia 3 sampai 5 tahun yang dapat ditemukan dari homoseksual dan yang terjadi pada usia yang kira-kira sama saat heteroseksual memiliki fantasi terhadap jenis kelamin berlawanan.

Isay menulis bahwa, pada laki-laki homoseksual, fantasi erotic terhadap jenis kelamin sama berpusat pada ayah atau pengganti ayah.

Persepsi anak dan pemaparan dengan perasaan erotic tersebut dapat menyebabkan perilaku “atipika” tertentu sebagai bertambahnya kerahasiaan dibandingkan anak laki-laki lain, isolasi diri, dan emosionalitas yang berlebihan. Beberapa sifat “feminine” juga dapat disebabkan oleh identifikasi dengan ibu atau pengganti ibu. Karakteristik tersebut biasanya berkembang sebagai cara yang seupa dengan cara ank laki-laki heteroseksual mempolakan dirinya sendiri mengikuti ayahnya untuk mendapatkan perhatian ibu.

Psikodinamika tentang homoseksualitas pada wanita mungkin serupa. Anak perempuan kecil tidak menghentikan fiksasi awalnya pada ibu sebagai objek cinta dan terus melihatnya pada masa dewasa.

c. Faktor biologis

(17)

yang abnormal pada kadar luteinizing hormone (LH) setelah penyuntikan estrogen. Tetapi kedua hasil tersebut belum direplikasi dalam penelitian yang mirip. Hormon prenatal tampaknya memainkan peranan dalam organisasi sistem saraf pusat. Adanya androgen yang efektif pada kehidupan prenatal diajukan sebagai berperan dalam orientasi seksual kea rah wanita, dan defisiensi androgen prenatal (atau ketidakpekaan jaringan terhadap hormone tersebut) dapat menyebabkan orientasi seksual kea rah laki-laki. Anak perempuan praremaja yang terpapar dengan sejumlah besar androgen sebelum kelahirannya adalah agresif dan tidak feminine, dan laki-laki yang terpapar sejumlah besar hormone wanita di dalam Rahim adalah kurang atletik, kurang tegas, dan kurang argumentative dibandingkan anak laki-laki lain. Wanita dengan hiperadrenokortikalisme menjadi biseksual atau homoseksual dalam proporsi yang lebih besar daripada yang diperkirakan dalam populasi umum.

Penelitian genetika telah menemukan insidensi kesesuaian homoseksual yang lebih tinggi di antara kembar monozigotik dibandingkan di antara kembar dizigotik, yang menyatakan suatu predisposisi genetic; tetapi penelitian kromosom tidak mampu untuk membedakan homoseksual dari heteroseksual. Homoseksual laki-laki juga menunjukkan distribusi familial; laki-laki homoseksual memiliki lebih banyak saudara laki-laki yang homoseksual dibandingkan laki-laki heteroseksual. Satu penelitian menemukan bahwa 33 sampai 40 pasangan saudara laki-laki homoseksual memiliki suatu petanda genetika pada setengah bagian bawah kromosom X. Penelitian lainnya menemukan suatu kelompok sel dalam hipotalamus yang lebih kecil pada wanita dan pada laki-laki homoseksual dibandingkan laki-laki heteroseksual. Penelitian tersebut memerlukan replikasi.

d. Pola perilaku seksual

Ciri perilaku homoseksual laki-laki dan wanita adalah bervariasi seperti heteroseksual laki-laki dan wanita. Praktek seksual yang dilaukakn oleh homoseksual adalah sama seperti heteroseksual, dengan perbedaan jelas yang menyangkut anatomis.

(18)

dan orang homoseksual lainnya biasanya hanya memiliki kontak seksual yang cepat berlalu. Walaupun terdapat hubungan laki-laki dengan laki-laki yang lebih stabil dibandingkan dengan yang sebelumnya diperkirakan, hubungan laki dengan laki-laki tampaknya kuran stabil dan lebih sering sambil lalu dibandingkan hubungan wanita dengan wanita. Jumlah promiskuitas homoseksual laki-laki dilaporkan terlah menurun sejak onset sindrom imunodefisiensi didapat (AIDS) dan penyebarannya yang cepat pada masyarakat homoseksual melalui kontak seksual. Pasangan homoseksual laki-laki adalah merupakan sasaran dari diskrimisasi sipil dan social dan tidak memiliki sistem pendukung social yang legal dalam perkawinan atau kapasitas biologis untuk membesarkan anak yang dimiliki oleh pasangan heteroseksual lain yang tidak sesuai. Pasangan wanita dengan wanita memiliki stigmatisasi social yang lebih kecil dan tampaknya memiliki lebih banyak monogamy atau hubungan primer.

e. Psikopatologi

Berbagai psikopatologi yang dapat ditermukan di antara homoseksual yang mengalami ketegangan adalah sama dengan yang ditermukan di antara hetroseksual. Ketegangan yang didapatkan hanya dari pertentangan antara homoseksual dan struktur nilai masyarakat adalah tidak diklasifikasikan sebagai suatu gangguan. Jika ketekgangan adalah cukup parah sehingga memerlukan suatu diagnosis, gangguan penyesuaian atau gangguan depresif harus dipertimbangkan. Beberapa homoseksual yang menderita gangguan depresif berat mungkin mengalami perasaan bersalah dan kebencian terhadap diri sendiri yang menjadi diarahkan kepada orientasi seksualnya; selanjutnya dorongan untuk reorientasi seksual merupakan gejala gangguan depresif satu-satunya.

f. Pengakhiran (coming out)

(19)

Kesulitan dalam mempertimbangkan pengakhiran dan pengungkapan adalah penyebab umum dari kesulitan hubungan. Untuk masing-masing indicidu, masalah dalam menyelesaikan proses pengakhiran dapat menyebabkan harga diri yang rendah yang disebabkan oleh homophobia yang diinternalisasi dan menyebabkan efek pemburukanpada kemampuan individu untuk berfungsi di dalam hubungan. Konflik juga dapat timbul di dalam hubungan jika terdapat pertentangan tentang derajat pengungkapan antara pasangan.

Pada PPDGJ-III

F60-f69: Gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa

F66 : Gangguan psikologis dan perilaku yang berhubungan dengan

perkembangan dan orientasi seksual

F66x0 : Gangguan maturitas seksual/ Heteroseksualitas F66x1 : Orientasi seksual egodistonik/ Homoseksualitas F66x2 : Gangguan jalinan seksual / Biseksualitas

F66x8 : Lainnya, termasuk pra-pubertas

F66x9 : Gangguan perkembangan psikoseksualitas ytt

2.3 Te rapi Ko nv e rs i D al am Me ng ubah Ori e ntas i S e ks ual

Pada tahun1990-an, sebagai organisasi pendukung dari terapi konversi seksual membawa kasus mereka ke media dan beberapa artikel mulai muncul dalam publikasi professional, yang mengangkat permasalahan mengenai efektifitas, etika dan bahaya yang mungkin timbul dalam terapi tersebut. Sampai saat ini, sedikit penelitian yang mengevaluasi efektifitas atau bahaya dari terapi konversi seksual. Namun terdapat adanya kejanggalan data ilmiah kriteria seleksi, risiko versus manfaat dari pengobatan, atau hasil jangka panjang dari pengobatan tersebut.

Namun, ketika menjangkau masyarakat tentang manfaat terapi konversi seksual, pendukung cenderung mengecilkan atau menghilangkan masalah klinis yang penting.

(20)

luas, tetapi menyimpulkan bahwa orang-orang yang mencari pengobatan adalah kandidat untuk pengobatan, mereka yang tidak mencari pengobatan tidak termasuk dalam kandidat tersebut.

Salah satu isu penting adalah bagaimana terapis konversi membangun situasi yang mengarah kepada penyalahan pasien. Daripada menekankan keterampilan terapis tertentu atau kemanjuran pengobatan, pasien sering mengatakan bahwa motivasi mereka sendiri (atau iman) adalah faktor utama menuju perubahan. Terapi ini seringkali menemui kesulitan karena adanya perlawanan pasien dalam pengubahan. Ketika pengobatan gagal (berdasarkan laporan mereka sendiri), perawatan tidak adak menimbulkan perubahan walaupun terapis tidak terang-terangan menyalahkan pasien, dalam banyak kasus pasien akan menganggap kegagalan terapi sebagai kesalahan diri sendiri. Setelah pengobatan gagal, pasien merasa lebih buruk daripada saat mereka mulai. Dalam kasus tersebut, pasien melaporkan memburuknya depresi, kecemasan dan ide bunuh diri.

Dalam upaya untuk mengubah, beberapa pasien masuk dalam pernikahan heteroseksual oleh dorongan atau desakan terapis mereka. Dalam beberapa kasus, seorang pasangan heteroseksual mungkin menyadari homoseksualitas pasangannya, meskipun tidak selalu. Seringkali pasangan memiliki anak. Sementara terapis konversi mungkin melihat pernikahan dan orang tua sebagai penanda keberhasilan terapi, kemampuan untuk menikah dan berkembang biak tidak selalu mengarah pada penghentian keinginan homoseksual. Terkadang pernikahan berantakan atau, dalam kasus di mana pasangan tidak percaya pada perceraian, keluarga-keluarga hidup dalam keadaan tragis.

(21)

Pada tahun 2000, Asosiasi American Psychiatric mengangkat kekhawatiran tentang bahaya yang mungkin timbul dalam konversi terapi, yang diungkapkan dalam pernyataan Komisi pada Psikoterapi oleh Psikiater (Copp), merekomendasikan:

1. Penegasan bahwa homoseksualitas bukanlah gangguan mental.

2. Bahwa praktisi etis menahan diri dari upaya untuk mengubah orientasi seksual seseorang.

3. Bahwa APA harus mendorong dan mendukung penelitian di Institut Nasional Kesehatan Mental dan komunitas penelitian akademis untuk lebih menentukan risiko dan manfaat terapi konversi.

Terapi Lain Dalam Mengubah Orientasi Seksual

C o g nit i v e B e h a v io r T h e r a p y

Cognitive Behavioral Therapy (CBT) adalah istilah yang digunakan untuk sekelompok perawatan psikologis yang didasarkan bukti-bukti ilmiah. Perawatan ini telah terbukti efektif dalam mengobati banyak gangguan psikologis.

Terapi kognitif dan terapi perilaku biasanya berupa perawatan jangka pendek (yaitu, antara 6-20 sesi) yang berfokus pada pengajaran keterampilan khusus pada klien. CBT berbeda dari banyak pendekatan terapi lainnya, CBT berfokus pada kognisi (yaitu, pikiran), emosi, dan perilaku seseorang, yang saling terhubung dan mempengaruhi satu sama lain. Karena emosi, pikiran, dan perilaku semua terkait, pendekatan CBT memungkinkan terapis untuk melakukan intervensi di berbagai titik dalam siklus. Dalam CBT, terapis dan klien bekerja sama untuk mencapai tujuan pribadi.

Tujuan mungkin melibatkan:

• Cara bertindak : seperti belajar bagaimana untuk mengatasi diskriminasi; • Perasaan : seperti membantu seseorang mengatasi segala macam masalah yang

mengganggu

• Cara berpikir : seperti belajar untuk mengevaluasi apakah dan bagaimana jalan keluar dari suatu masalah;

(22)

• Cara untuk mengatasi : seperti belajar teknik untuk meningkatkan hubungan dengan pasangan.

Terapi kognitif dan terapi perilaku (CBT) biasanya fokus pada situasi saat ini daripada masa lalu. CBT berkonsentrasi pada pandangan seseorang dan keyakinan tentang kehidupan mereka, bukan pada kepribadian mereka. Terapi perilaku dan kognitif dapat digunakan untuk mengobati individu, orang tua, anak, pasangan, dan seluruh keluarga. CBT membantu orang mendapatkan kontrol atas hidup mereka, menggantikan cara-cara hidup yang tidak berjalan dengan baik dengan cara hidup yang baik.

Pada pasien dengan homoseksual, CBT dapat berfungsi sebagai berikut : • membantu mempelajari keterampilan baru.

• membantu meningkatkan hubungan dengan pasangan, keluarga, teman dan rekan kerja. Sebagai contoh, hal ini dapat mencakup belajar cara-cara baru berkomunikasi dengan orang, berpikir tentang hubungan, mengelola perasaan, atau menangani situasi konflik.

• CBT dapat menjadi pengobatan berguna untuk masalah kesehatan mental, seperti depresi, kecemasan (termasuk kecemasan sosial), penyalahgunaan zat, dan keinginan bunuh diri.

• CBT dapat membantu mengatasi berbagai masalah hidup, baik berhubungan maupun tidak berhubungan dengan seksual atau orientasi seksual atau terkait dengan respon orang lain dengan orientasi seksual klien.

Dalam pelaksanaannya, NARTH membagi pengobatan CBT menjadi empat fase. Fase-fase ini dianggap mudah beradaptasi dan fleksibel, serta mewakili aliran umum terapi. Seperti semua terapi, syarat utama terapi ialah pasien harus memiliki motivasi untuk memahami asal-usul ketertarikan homoseksual dan harus berkomitmen penuh untuk proses terapi.

• Fase 1

(23)

Gangguan psikologis yang sering muncul antara lain berbagai tingkat narsisme, ketergantungan, histeria, kegelisahan, dan depresi. Sejarah sosial / seksual adalah harus digali selama fase ini. Pada proses penggalian sejarah seksual, pasien juga diminta perspektifnya mengenai orientasi seksual pasien dalam kehidupan sosial.

Penekanan pada fase ini adalah fungsi pasien secara global, sosial dan emosional, tidak hanya fokus pada homoseksualitas pasien. Seringkali, hal tersebut akan memberikan informasi mengenai asal-usul dan pengobatan homoseksualitas. Proses pembuatan journal dimulai pada fase ini dan digunakan selama proses pengobatan.

Journal adalah cara yang berguna untuk membantu pria homoseksual mengklarifikasi proses pemikiran mereka, melepaskan pengalaman dan perasaan mereka, serta mengeksplorasi isu-isu dalam kehidupan mereka. Hal ini dianggap lebih baik daripada membiarkan pikiran-pikiran tersebut menjadi dengungan di kepala mereka.

Awalnya, dalam proses, sebagian besar pria menggunakan journal sebagai cara untuk memantau pikiran homoseksual mereka, fantasi dan atraksi. Kesadaran ini sering mengakibatkan penurunan atraksi homoseksual. Kemudian, journal menjadi suatu bentuk pertolongan diri sendiri karena mereka mampu membuat koneksi, membuat perubahan dalam persepsi dan menghadapi distorsi.

Pasien biasanya membeli dua notebook. Penulisan jurnal yang dibuat dalam buku pertama akan diberikan kepada terapis untuk komentar. Kemudian mereka mulai menulis dalam notebook kedua yang dipertukarkan dengan terapis selama sesi berikutnya. Terapis akan membuat catatan yang cukup luas bagi mereka untuk mempertimbangkan.

(24)

• Fase 2

Tahap II ditandai dengan pendekatan perilaku yang kuat. Tujuan dari fase terapi ini adalah untuk membantu pasien mengatur dan menstabilkan kehidupan mereka, karena mayoritas pasien homoseksual berada di situasi di luar kendali. Upaya tersebut dilakukan melalui strategi perilaku untuk membantu mereka mendapatkan kendali. Dalam fase ini, kontrol perilaku dipandang sebagai prasyarat untuk perubahan perilaku. Pasien dibantu untuk menetapkan tujuan untuk meningkatkan perilaku sosial, intelektual, spiritual, emosional, fisik, dan seksual. Intervensi tertentu mungkin mencakup pemantauan,

strategi penguatan, gangguan, pemodelan, emotional tracing, respons inhibisi dan

strategi paradoks. Pembentukan kontrol, penilaian keberhasilan dan derajat stabilitas penting dalam fase pengobatan.

Tracing emosional adalah intervensi yang dirancang untuk mengidentifikasi dan menanggapi kebutuhan terutama emosional. Terapis hanya meminta pasien untuk mengeksplorasi apa yang pasien rasakan sebelum mengalami ketertarikan homoseksual. Sering kali, mereka melaporkan perasaan bosan, depresi atau kemarahan, yang terakhir paling sering menjadi reaksi untuk menyakiti, nyeri, rasa takut atau frustasi. Terapis akan membuat pasien kembali mengalami perasaan-perasaan sebelumnya, dan mengeksplorasi asal-usul mereka. Sering, proses ini membantu mereka untuk mengklarifikasi asal-usul ketertarikan homoseksual dan menghasilkan berkurangnya ketertarikan ini.

• Fase 3

Tahap III berfokus dalam mengganggu pola gairah homoseksual. Penekanan selama fase terapi adalah untuk membantu pasien mengeksplorasi, mengganggu dan akhirnya merusak proses gairah homoseksual. Selama fase pengobatan, fokus bergeser dari perilaku untuk penekanan kognitif. Intervensi kognitif seperti relaksasi dan pembentukan citra diri, digunakan untuk membantu pasien menjadi lebih sadar dan mendapatkan kontrol atas fantasi mereka dalam kognisi dan perasaan.

(25)

yang mengalami kecanduan seksual dan merasa tertekan akibat perasaan tersebut dibimbing untuk memperbaiki kepercayaannya yang salah, memberikan pilihan yang luas, menangani kecemasan dan mengembangkan gaya hidup yang kongruen dengan nilai-nilai pribadi. Pasien diajarkan bagaimana untuk meminta bantuan dan bagaimana mengembangkan diri.

Pada sesi intervensi secara defragmentasi, terapis akan meminta pasien untuk fokus pada hubungan masa lalu dan menganalisa ketertarikan mereka. Atraksi ini sering terfokus pada sifat tertentu yang tidak familiar bagi pasien, yang mereka lihat sebagai kekurangan pada diri mereka sendiri, dan membuat mereka secara tidak sadar mengalami rasa iri yang sederhana. Pendekatan juga dilakukan untuk mengembangkan hubungan yang wajar dengan laki-laki heteroseksual yang signifikan.

• Fase 4

Selama fase IV pengobatan, pihak yang berperan antara lain adalah individu, kelompok dan keluarga. Penekanan selama fase pengobatan ditujukan untuk membantu pasien lebih memahami dan terlibat dalam menjalin hubungan yang tepat (yaitu, persahabatan, hubungan yang tidak mengarah pada keintiman seksual dengan laki-laki). Masalah dengan keintiman, harga diri, cinta terhadap diri sendiri, cinta terhadap orang lain, cinta akan Tuhan, distorsi (hubungan yang tidak setara dengan laki-laki maupun intensitas dalam hubungan), maskulinitas, rasa bersalah, rasa malu, kesepian dan ditinggalkan dieksplorasi dan diselesaikan dalam konteks terapi kelompok.

Sering, pada tahap ini, pasien diperkenalkan dengan pernikahan, dimana pasangan hidup dapat berfungsi sebagai sahabat istimewa. Hasil yang diinginkan berupa pengurangan atau penghapusan ketertarikan homoseksual, kedamaian batin, dan pengembangan hubungan heteroseksual yang nyaman dan sesuai. Intervensi spiritual (bukan religius) juga sering digunakan dalam fase ini (meskipun dapat juga digunakan dalam fase lain).

(26)

pasien menggambarkan sosok yang kejam dan menakutkan. Padahal hubungan tersebut sangat berharga dalam mengatasi masalah-masalah seperti pengampunan.

Pada intervensi spiritual, dilakukan perbaikan citra diri dengan melibatkan Tuhan sebagai seorang ayah yang penuh kasih, peduli, dan memiliki cinta tanpa syarat.

(27)

DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric Association. 2016. Statement of the American

Psychological Association. Office of Public Communications

American Psychiatric Association. 2000. Commission on Psychotherapy by

Psychiatrists (COPP): Position statement on therapies focused on attempts to change sexual orientation (Reparative or conversion therapies). American J. Psychiatry, 157:1719-1721.

Bright, Chuck. 2014. Deconstructing Reparative Therapy: An Examination of the

Processes Involved When Attempting to Change Sexual Orientation. Clinical

Social Work Journal 32 (4): 471

Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI. 1993.

Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia (PPDGJ III), cetakan pertama: Jakarta.

Drescher J. 2011, Gay and Depressed: Combined pharmacotherapy and

long-term psychodynamic psychotherapy with a depressed, gay man. In: Treatment Companion to the DSM-IV TR Casebook, eds. R.L. Spitzer, M. First, J.B.W. Williams & M. Gibbons. American Psychiatric Press, pp. 163-178.

Ford JG. 2011. Healing homosexuals: A psychologist’s journey through the ex-gay

movement and the pseudo science of reparative therapy. J Gay & Lesbian Psychotherapy, 5(3/4):69-86.

Glassgold JM, et al. 2009. Report of the American Psychological Association Task

Force on Appropriate Therapeutic Responses to Sexual Orientation, American Psychological Association.

Haldeman DC. 2011. Therapeutic antidotes: Helping gay and bisexual men recover

(28)

Kaplan H, Sadock B, Grebb J. 2013.Sinopsis Psikiatri Jilid 1 & 2. Tangerang: Binarupsa Aksara.

Nicolosi J. 2012. A Parent's guide to PReventing Homosexuality. Downers Grove,

IL, p. 48.

Rosik, Christopher. 2012. NARTH Statement on Sexual Orientation Change.

Sadock BJ, Sadock VA. 2016. Buku Ajar Psikiatri Klinis Edisi 2. Penerbit Buku

Kedokteran EGC: Jakarta

Spitzer RL. 2013. Can some gay men and lesbians change their sexual

orientation?: 200 subjects reporting a change from homosexual to heterosexual

orientation. Archives Sexual Behavior, 32(5):403-417.

Referensi

Dokumen terkait

Husfani Adhariani Putri. Gaya Pengasuhan, Interaksi Ayah-Remaja, Kelekatan, dan Kepuasan Ayah. Dibimbing oleh Diah Krisnatuti. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan

Pada kesempatan ini penulis telah berhasil menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul "Pembuatan Komposit Karet Alam- Arang Aktif Tempurung Kelapa dengan

Stress dan gangguan tidur yang dialami oleh mahasiswa skripsi juga didapatkan oleh peneliti berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan menggunakan kuesioner skala

OMSK adalah infeksi kronis di telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan sekret yang keluar dari liang telinga tengah terus-menerus atau hilang timbul..

Kredit macet apapun sebabnya, pendapatan (bagi hasil) yang seharusnya diperoleh dan/atau kredit yang seharusnya kembali ke koperasi ternyata tidak dapat ditarik oleh

Ramayana pada wayang golek purwa, mengacu kepada kisah asli; Ramayana, yang terdiri atas tujuh “kanda”. Istilah kanda yang.. digunakan dalam kisah Ramayana dapat diartikan

Yang dimaksud kegelisahan yang beralih ke hukum, bahwa orang yang merasa gelisah karena harus menanggung berbagai macam kewajiban dan beban perintah, apalagi

Setelah melihat hasil dari pengujian yang telah dilakukan dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ke enam variabel bebas yaitu ukuran perusahaan,