• Tidak ada hasil yang ditemukan

CERPEN BUNGA YANG BARU TIDAK SELALU BEGI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "CERPEN BUNGA YANG BARU TIDAK SELALU BEGI"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

YANG BARU TIDAK SELALU BEGITU

"Wawa..!!!", teriak seseorang dari belakang.

Tidak, aku tidak akan menghiraukan siapapun yang memanggilku, aku berlari, terus berlari. Seakan-akan tidak ada penghalang apapun dihadapanku. Kenapa? Kenapa aku harus berlari sekencang ini. Tubuhku yang mungil ini terasa melayang-layang tinggi di udara. Jauh, jauh, sangat jauh aku berlari, sampai-sampai aku tak ingat lagi kapan harus menapakkan kedua kakiku ke tanah.

Tapi, kali ini aku harus berhenti. Ya, ini sudah saatnya untuk berhenti, tepat di depan rumahku. Huh, aku tersenyum melihat sepasang sandal yang aku kenakan. Mungkin saat ini mereka merasa lega, setelah berpetualang sangat jauh. Aku pun demikian, kutarik napas panjang, lalu kukeluarkan semua sisa pernapasanku, sekaligus kukeluarkan segala penderitaan dari dalam diriku.

“Darr!!!”, teriak seseorang mengagetkanku.

Jantungku yang baru saja dinetralkan, kembali mencapai titik maksimal. Jika aku berada diposisi jantung, mungkin aku sudah melarikan diri dari tempat kerjaku. Kenyataannya, jantungku ini bukan jantung biasa. Ia masih tetap bertahan pada posisinya, dan mengerjakan tugasnya dengan baik. Orang itu benar-benar sukses mengagetkanku. Bukan hanya sekali ini saja, tapi sudah berulang-ulang kali. Dan tetap saja aku kaget!

“Bapakkk!!! Udah dibilang jangan ngagetin! Masih aja ngagetin terus! Wawa tu gak suka dikagetin!!!”, teriakku dengan muka masam.

“Makanya jangan keseringan melamun. Masih kecil kerjaannya melamun terus, gimana besarnya nanti? Ngayal apa sih emangnya? Mau jadi pemain sinetron?”, celoteh bapakku panjang.

(2)

berwarna pink kuning yang ada di genggaman Bapakku. Sepertinya aku pernah melihat boneka itu, tapi aku tak tahu kapan aku melihatnya. Boneka itu tak asing lagi dipikiranku. Saat ini aku merasa otak yang di dalam kepalaku ini sedang berputar-putar mencari tahu memori tentang boneka beruang pink kuning itu.

“Pak itu boneka Wawa bukan?”, tanyaku.

“Hah? Gak tau ni. Bapak tadi nemu digudang, siapa tau ada yang mau, makanya bapak ambil.”, jawab bapakku sambil menoleh ke belakang.

“Coba Wawa liat.”, seruku.

Aku berlari menghampirinya dan menyomot boneka yang digenggamannya itu.

“Ya! Aku ingat sekarang. Boneka ini, boneka pemberian Jojo saat hari ulang tahunku yang ke 10 tahun dulu. Sekarang, siapa sangka umurku sudah 15 tahun? Jadi, itu sudah 5 tahun silam? Cukup lama ternyata.”, gumamku dalam hati sambil terus memandangi boneka itu.

Tiba-tiba aku tertawa, untuk pertama kalinya aku tertawa lepas ditahun ini. Aku tertawa seperti orang yang baru saja kehilangan beban dalam hidupnya. Aku kembali mengingat kejadian-kejadian sekitar 5 tahun silam yang sudah hampir atau bahkan terlupakan. Aku baru ingat, ada sesuatu dibalik boneka itu. Aku mencarinya, terus mencarinya, sampai akhirnya kutemukan sebuah kertas lusuh dari dalam kantong boneka itu. Perlahan-lahan kubaca isinya.

“Jangan nakal lagi ya…

TTD.

- Jojo -”

(3)

******

Aku melihat diriku bersama dengan teman-temanku di dalam file itu. Di dalam, ya di dalam. Lebih tepatnya di dalam kelas itu, kelas yang 5 tahun lalu aku tempati, kelas yang selalu menerimaku apa adanya.

“Eh, katanya mau ada guru baru ya Wa?”, tanya Widia penasaran. “Meneketehe, tumerejane, manaku tau.”, jawabku singkat.

Widia yang tidak puas dengan jawabanku langsung pergi dari hadapanku dengan muka masam. Ia kembali melontarkan pertanyaan yang sama kepada Wida. Tapi, ia juga mendapat jawaban yang sama seperti jawabanku tadi,

“Ah kalian mah, aku tanya juga, jawabnya gitu-gitu mulu. Kan sebel!”,ungkap Widia kesal.

“Iya Wid, tadi aku liat di kantor ada ibu guru baru.”, jawab Jojo.

Akhirnya, rasa penasaran widia bisa terobati dengan jawaban sang pujaan hatinya itu. Ia tersipu malu seketika itu juga melihat Jojo ada disebelahnya dan menjawab pertanyaannya itu. Jantungnya berdegup dua kali lebih kencang dari sebelumnya. Seketika seisi kelas pun rusuh. Aku, Wida, Yuli, dan yang lainnya bersorak sorai melihat dua insan yang sedang tersipu malu karena semua pandangan tertuju kepada mereka. Ya, beginilah keadaan anak-anak yang mulai beranjak remaja, sudah mulai bertingkah. Apalagi tidak lama lagi, kami akan keluar dari sini dan menempuh hidup baru, berkenalan dengan masa putih biru.

“Cie.. Widia.. cuit, cuit. Jojo juga cie, cie.”, gangguku. ******

(4)

“Wa, kalo bener ada guru baru, terus ngajar kita, kita mau ngapain? Gak suka deh ada yang baru-baru, pasti gak enak. Kayak si Ade, anak baru yang nyebelin itu, akhirnya dia pindah kan.”, ucap Wida panjang lebar, sambil terus menyeruput kuah tekwannya.

“Kita kerjain aja kali ya? Atau kita gangguin aja biar dia gak betah, terus jadinya pindah, hahaha.”, jawabku nyeleneh.

“Emang kamu kira kalo dikerjain atau digangguin guru barunya bakal pindah? kan dia digaji wa.”, jawab wida.

“Oh ya? Terus? Kita yang pindah?”, tanyaku.

“Ini masalahnya guru Wa, bukan siswa. Kan takut, kalo entar kita dimarah sama Bu Tuti, kepala sekolah kita tercinta.”, Wida kembali menjawab.

“Santai aja Wid. Tinggal kabur kan beres, kalo gak mau ketemu guru barunya. Gitu aja kok repot.”, jawabku tenang.

“Kamu kalo disuruh ngasih ide tentang yang beginian aja, langsung encer otaknya.”, puji wida.

“Iya dong, Wawa Sang Petualang dilawan.”, seruku bangga.

Wida menghela napas panjang dan kembali memakan pentol tekwannya yang tinggal satu itu. Setelah puas makan tekwan, kami pun kembali ke kelas. Sebenarnya didalam hati, aku masih memikirkan perkataan wida tadi, aku baru sadar kalau perkataannya itu ada benarnya juga. Aku sangat-sangat tidak ingin ada guru baru yang mengajar di kelas kami. Sudah cukup si Desi, Latif, Ira, dan terakhir si Ade saja yang tidak betah dan keluar gara-gara ulah kami. Entah kenapa aku? tidak, bukan aku saja, tapi semua teman-temanku, tidak suka dengan sesuatu yang baru. Kami menganggap itu, seperti penyeludup yang tiba-tiba masuk menyelinap ke rombongan kami yang sudah sangat klop ini.

(5)

“Oh, ok ton. Siapa yang bilang itu? Terus kita harus apa? Sambut pake Tari Persembahan gitu?”, tanyaku sok tenang.

“Tadi Pak Saragih datang ke kelas dan bilang begitu. Ya sambut seadanya aja, gak usah pake nari segala.”, jawab anton sok mengerti ucapanku.

“Hellow? Emang siapa yang bilang mau nari anton!!!! Terima guru baru aja enggak, ini malah pake nari-nari segala, males bangettt!!!”, seruku sewot.

“Iya, iya maaf Wa.. ngomongnya gak jelas sih, kan jadi gak connect. Gak baik seperti itu Wa, kita kan belum tau gurunya seperti apa, siapa tau ibunya baik dan cantik.”, jawab Anton meluruskan.

Tapi, aku sama sekali tidak tertarik dengan kata-kata Anton yang sok bijak itu. Sampai kapan pun memang aku dan Anton tidak akan pernah bersatu. Kami selalu saja berbeda pikiran dan berdebat. Tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah, sampai akhirnya waktu yang memisahkan dan menghentikan sidang isbat kami ini.

Seperti biasa, aku, Wida dan Widia membentuk forum dibelakang, dan membicarakan tentang topik terhangat hari ini yaitu ibu guru baru. Lalu, kami mengambil kesimpulan untuk dibicarakan ke yang lain. Kami berencana untuk tidak mengikuti pelajaran ibu itu besok, dan tetap berada di luar. Siapapun yang menyuruh kami masuk, tidak akan kami dengarkan. Mau itu teman yang berkhianat kek, cleaning service kek, guru kek, bahkan kepala sekolah sekalipun tidak akan kami hiraukan. Tidak ada yang bisa meluluhkan tekad kami. Kami? tidak, mungkin cuma aku saja, yang berani menanggung konsekuensinya, walaupun konsekuensinya itu adalah harus angkat kaki dari sekolah ini. Aku tidak peduli, aku hanya tidak ingin ada yang baru disekolah ini. Kami lebih memilih belajar semua mata pelajaran dengan wali kelas kami, dibanding harus belajar dengan ibu guru baru. Walaupun wali kelasku sudah kolot dan tidak menarik lagi. Aku membayangkan guru perempuan baru itu centil, sok cantik, sok baik, dan cari perhatian. Dan pada kenyataannya, dia tidak bisa mengajar dengan baik, karena hanya memikirkan fashionnya saja. Ditambah lagi ibu guru baru itu masih muda kata Jojo.

(6)

“Kamu mau jadi pengkhianat ya Ker? Silahkan!”, bentakku sambil melotot kearah Keri. Aku tahu betul, Keri akan diam jika aku sudah menjawab. Pasalnya, dia sangat takut padaku. Aku memang sangat jahat disini, kalau aku mendapat peran di sinetron, mungkin aku yang menjadi ibu tiri bawang putih. Tapi aku tidak jahat dengan semua orang. Aku hanya akan jahat jika ada orang yang tidak sependapat padaku dan membantahku. Aku berharap setelah lulus dari Sekolah Dasar aku bisa menjadi wanita yang kalem dan lemah lembut. Tapi entahlah jika masih banyak orang yang menyebalkan, mungkin aku akan terus membasmi mereka.

Tak terasa sudah berjalan setengah hari, lonceng pulang sekolah berbunyi. Bulekku yang sedari tadi sudah menungguku di dekat gerbang memanggilku.

“Wawa cepet!”

“Iya bulek..”, teriakku.

Sesampainya di rumah, aku langsung mengganti pakaian dan makan siang. Beruntung sekali aku hari ini, ibuku memasak makanan kesukaanku, Cumi Sambel Ijo. Selesai makan, kucari posisi wenak di depan televisi. Aku sudah tidak sabar lagi menonton acara di MNCTV siang ini, seperti biasa, “Upin Ipin dan Kawan-Kawan” dilanjutkan dengan “Boboi Boy”. Hobiku memang menonton hal-hal yang berbau kekanak-kanakan. Aku merasa seperti anak berumur 4 tahunan jika menonton kartun ini. Kalau sudah begini, seketika aku bukan lagi ibu tiri bawang putih yang selalu mengamuk seperti banteng yang melihat kain merah. Tapi, kini aku seperti masha yang sangat lucu walaupun menjengkelkan.

**********

(7)

melakukannya, mungkin aku tidak akan sampai ke sekolah. Jika aku memilih untuk berjalan kaki, itu akan memakan waktu yang sangat lama, karena jarak dari rumahku ke sekolah sekitar 3 km.

Setelah lama menunggu, akhirnya aku pun mendapat tebengan dari tetanggaku yang hendak pergi ke kebun. Sesampainya di sekolah, seperti biasa, teman-teman segengku menghapiriku.

“Bos Kecil dari mana aja? Kok lama banget datengnya, macet ya bos? Hahaha.”, goda wida.

“Iya.. jalan tolnya macet, jadi telat deh. Puas?!”, jawabku sinis. “Eh, jangan marah dong. Ntar tambah kecil.”, ledek wida.

Kali ini aku benar-benar naik darah. Bahkan alat tensi darah pun tak mampu lagi mengukur tekanan darahku yang sudah mendidih ini. Sudahlah kena omel Ibu. Eh, sekarang malah ditambah dengan lawakan pagi yang sangat-sangat tidak lucu menurutku. Hampir saja aku mengambil batu yang ada didekatku dan melemparkannya ke wajah Wida. Untung ada Jojo yang melerai. Tapi aku malah melempar batu itu kearah Jojo, tapi sial, leparanku meleset.

Pandanganku beralih ke wanita yang ada dihadapanku diseberang sana. Ya, wanita itu mengenakan pakaian formal rapi seperti guru. Tapi sepertinya, dia bukan guru di sekolahku. Aku belum pernah melihatnya sama sekali di sekolahku. Baju dan rok hijau muda yang ia kenakan, membuat pandangan semua orang tertuju padanya, termasuk aku.

“Itu dia ibu guru barunya.. cantikkan?”, seru Jojo meramaikan suasana.

“Hah? Cantik darimana Jo!? Orang belum keliatan juga mukanya. Huu…!”, jawabku sinis.

“Santai Wa.”, jawab Jojo sok asik.

(8)

Aku melirik kearah Wida. Sepertinya ia masih tidak enak denganku karena kejadian tadi. “Oke aku ikut kalian”, jawab Wida lirih.

“Biarin aja yang lain, mereka kan mau jadi pengkhianat. Biar jadi anak kesayangan terus dapet juara ngalahin aku.”, sindirku dengan menyombongkan diri.

Teng, teng, teng. Lonceng masuk berbunyi, aku, Wida, dan Widia, bergegas masuk ke kelas. Aku menyeru kepada semua teman-temanku yang ada dalam. Tapi, seperti yang sudah aku duga, pasti banyak yang berkhianat. Yang ikut denganku hanya ada 9 orang diantaranya ada Wida, Widia, Yuli, Heni, Anisa, Edi, Kiki, Tri, bahkan Jojo yang tadinya memuji pun ikut rombongan kami. Jujur, saat SD aku memang murid yang paling nakal. Tapi, walaupun nakal, aku masih tetap memikirkan prestasi. Buktinya, aku tidak pernah keluar dari peringkat 3 besar di sekolah. Aku dan 9 orang lainnya buru-buru pergi meninggalkan kelas, sebelum guru baru masuk.

“Assalamualaikum WR. WB.”, ibu guru baru masuk kelas sambil mengucapkan salam. “Walaikumsalam WR. WB.”, jawab para murid pengkhianat yang masih berada di dalam kelas.

Ibu guru baru itu masuk dengan wajah berseri-berseri. Sepatunya yang tinggi dan roknya yang sempit membuatnya agak susah untuk melangkahkan kedua kakinya. Kedua tangannya masing-masing menggenggam sebuah handphone. Dari awal aku memang sudah tidak menyukainya. Bagaimana mau mengajar? Nanti yang ada, ia malah sibuk menelepon orang lain. Aku terus mengintipnya dari jendela, untuk memastikan pembicaraan mereka.

“Kok sedikit sekali orangnya? Bukannya ada 28 orang ya? Kemana yang lain?”, Tanyanya keheranan.

Tidak ada respon dari anak-anak, mereka semua terdiam. Begitu pula dengan sang guru. Mungkin karena dia guru baru, jadi dia tidak begitu mempermasalahkan hal itu. Buktinya, dia tidak kepo dengan pertanyaan yang belum dijawab tadi dan langsung memperkenalkan diri.

(9)

Aku tetap pada posisi awalku dan terus mengintip mereka dari jendela. Sampai-sampai aku tidak sadar, kalau diam-diam Bu Nur memperhatikanku. Ia sudah mengetahui keberadaanku. Dan betapa kagetnya aku ketika Bu Nur melangkahkan kakinya ke arahku. Aku yang sudah tertangkap basah ini langsung panik dan berencana lari. Tapi, Bu Nur mempercepat langkahnya dan langsung membuka jendela.

“Heyy…! Kalian bersepuluh kenapa tidak masuk kelas? Malah mengintip lagi!”, teriak Bu Nur yang membuat kami sangat ketakutan.

“Mau ngambil tas bu..”, jawabku ringan.

“Memangnya kalian mau kemana?”, Tanya Bu Nur.

“Mau Kabur bu.”, aku kembali menjawab dengan santai, seperti berbicara dengan teman sebaya.

“Astaghfirullahaladzim.. ada ya siswa yang seperti ini. Tidak tau sopan santun. Ibu sangat kecewa dengan kelas ini terutama kepada kalian bersepuluh, baru kali ini ibu melihat ada siswa yang seperti ini.”, jawab Bu Nur dengan muka memerah.

“Abisnya kita gak mau ada guru baru, guru baru tu ngeselin, kayak ibu. Baru masuk udah marah-marah.”, jawab Widia.

Tak bisa dibayangkan bagaimana raut wajah Bu Nur saat itu, ia mengelus dadanya berulangkali sambil terus beristighfar. Tapi entah mengapa tidak ada rasa takut sedikitpun dibenakku. Karena kami tak ingin berlama-lama berurusan dengan Bu Nur, kami bersepuluh beramai-ramai masuk kedalam kelas dan mengambil tas masing-masing, lalu pergi berlari ke luar. Bu Nur yang melihat kejadian itu semakin naik darah. Tapi, kami tetap saja berlari dan tidak menghiraukannya.

“Mau kemana kalian?!”, teriak bu Nur lagi.

(10)

tingkah kami. Bisa dilihat dari wajahnya yang seketika berubah menjadi api yang berkobar-kobar. Tapi, entah setan apa yang sudah merasuki tubuh kami. Tanpa rasa takut sedikitpun, kami bersepuluh bisa kabur dari hadapannya. Sampai akhirnya, kami bersepuluh bisa sampai di pintu gerbang sekolah dan berhasil melarikan diri. Setelah dipikir-pikir, masalahnya memang sepele, hanya tidak ingin ada guru baru. Tapi, karena kami memang punya jiwa-jiwa pemberontak, ya begini akhirnya.

Sesampainya di rumah, aku sudah tidak punya pikiran lagi untuk mengganti pakaian. Langsung kurebahkan badanku di atas kasur dan tertidur pulas sampai sore.

*****

Tak terasa malam sudah berganti pagi, matahari sudah mulai menampakkan wajahnya. Hari ini aku sangat takut sekali berangkat sekolah, akibat ulah kami kemarin. Pasalnya, itu adalah bagian dari kenakalan kami yang paling parah. Tapi, karena memang aku sudah bebal, jadi aku merasa tenang-tenang saja dan tetap berangkat sekolah seperti biasanya.

Benar dugaanku, saat jam pelajaran dimulai, wali kelasku masuk dengan muka yang berbeda, tidak seperti biasanya, yang selalu menebarkan senyuman. Kami sekelas mendapat omelan yang sangat pedas dari Pak Parjio, padahal Pak Parjio terkenal sebagai guru yang paling ramah. Aku sadar, apa yang aku perbuat memang sudah keterlaluan. Kami, sepuluh orang pembuat onar kemarin, oleh Pak Parjio disuruh menghadap Bu Nur dan meminta maaf kepadanya.

Aku dan Sembilan orang lainnya, saat jam istirahat langsung pergi ke kantor untuk menemui bu Nur. Tapi ternyata bu Nur tidak ada. Yang membuat kami sangat kaget adalah ketika guru piket mengatakan bahwa Bu Nur sakit, sehingga tidak bisa masuk. Aku yang kemarin beradu mulut dengan bu Nur sangat merasa bersalah, dan berencana sepulang sekolah nanti membeli sesuatu sebagai tanda permohonan maaf. Kami bersepuluh sepakat untuk iuran dan membelikan mainan jilbab untuk Bu Nur sebagai tanda permohonan maaf.

******

(11)

“Ibu.. kami semua minta maaf ya bu.. kami janji tidak akan mengulanginya lagi.”, kataku sambil menyalami bu Nur dan memberikan mainan jilbab yang kami beli kemarin.

“Iya, ibu maafkan.. lain kali jangan seperti itu lagi. Ibu juga minta maaf karena sudah marah-marah kemarin. Ngomong-ngomong terimakasih hadiahnya. Hehehe.”, jawab Bu Nur sambil tertawa.

Spontan kami semua yang ada disini tertawa. Kami bersepuluh, ditambah Bu Nur saling berpelukan. Akhirnya, aku sadar, bahwa tidak semua yang baru itu begitu. Aku terlalu cepat mengambil kesimpulan. Bu Nur guru yang sangat baik, dia penyayang. Dari sini aku bisa belajar untuk menerima. Menerima apapun itu.

Kini, aku sudah mulai beranjak dewasa. Jika kuingat-ingat lagi masa itu, rasanya sungguh mengharukan sekali. Siapa yang menyangka kalau saat ini Bu Nur menjadi tetanggaku?

“Darr!!!”

Bapakku kembali membuyarkan lamunanku. Untung saja semuanya sudah berakhir. Kembali kutatap boneka pemberian Jojo yang sedari tadi kubiarkan berada disampingku. Lalu, kembali kubaca tulisan di kertas lusuh itu. Dan aku pun tersenyum.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa diketahui penyelenggaraan usahatani ubi kayu di Cindai Alus Kecamatan Martapura Kota Kabupaten Banjar mendapatkan hasil yang baik

Efisiensi operasi dilakukan oleh bank dalm rangka mengetahui apakah bank dalam operasinya yang berhubungan dengan usaha pokok bank dilakukan dengan benar sesuai dengan yang

Pengertian asuhan gizi rawat jalan adalah keriatan pelayanan gizi yang berkesinambungan dimulai dari perencanaan diet, pelaksanaan konseling diet

Alat yang digunakan dan yang menunjang pelaksanaan penelitian ini adalah thermometer air raksa untuk mengukur suhu perairan, GPS yang digunakan untuk menandai lokasi

9 Dephan, naskah Akademik RUU Komponen Cadangan, th 2008.. undang nomor 3 tahun 2002 pasal 7 yang mengamanatkan bahwa sistem pertahanan negara menempatkan TNI sebagai

M eteorologi mengenal sistem skala dalam melakukan sebuah analisis. Skala global merupakan skala meteorologi yang paling luas. Skala global dapat mempengaruhi fenomena meteorologi

biopsikososial harusnya digunakan dalam melakukan penanganan LBP kronis dan pemberian latihan pada pasien merupakan rekomendasi terbaik, akan tetapi pada prakteknya

Maka secara keseluruhan faktor yang paling dominan mempengaruhi motivasi kerja pegawai pada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Pekanbaru adalah faktor pemeliharan,