• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penyelesaian Sengketawali Adhal Dan Kaitannya Dengan Keabsahan Perkawinan (Studi Terhadap Penetapan No. 215/PDT.P/2011/P.A.Jakarta Selatan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penyelesaian Sengketawali Adhal Dan Kaitannya Dengan Keabsahan Perkawinan (Studi Terhadap Penetapan No. 215/PDT.P/2011/P.A.Jakarta Selatan)"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

A. Latar Belakang

Manusia yang hidup di dunia ini tidak ada seorangpun yang sempurna, karena

kesempurnaan itu hanyalah milik Allah SWT semata. Oleh karena

ketidaksempurnaannya tersebut membuat manusia membutuhkan manusia lainnya

untuk saling melengkapi dalam menjalankan hidup ini. Dalam menjalankan hidupnya

manusia membutuhkan pergaulan dan hidup bersama sebagai sarana dalam

pemenuhan kebutuhan hidupnya tersebut. Kebutuhan hidup manusia itu sangat

banyak dan tidak akan ada habisnya, apabila satu kebutuhan telah terpenuhi maka

akan muncul kebutuhan lainnya.

Sejak dilahirkan manusia telah dilengkapi dengan naluri untuk senantiasa

hidup bersama dengan orang lain. Naluri untuk hidup bersama dengan orang lain

mengikatkan hasrat yang kuat untuk hidup teratur. Naluri untuk hidup bersama ini

dapat diwujudkan dengan perkawinan, di mana perkawinan merupakan salah satu

aktivitas individu yang umumnya terkait dengan suatu tujuan yang ingin dicapai oleh

individu yang bersangkutan. Perkawinan sebagai aktivitas dari suatu pasangan, maka

sudah selayaknya merekapun juga mempunyai suatu tujuan tertentu. Tetapi karena

perkawinan itu terdiri dari dua individu, maka adanya kemungkinan bahwa tujuan itu

(2)

Gatot Supramono mendefinisikan perkawinan sebagai ikatan lahir batin antara

seorang pria dengan seorang wanita, ini artinya kedua orang yang berlainan jenis

selain terikat secara lahir, atau secara fisik, tetapi juga batinnya terikat. Oleh karena

dalam perkawinan mereka sebagai pasangan suami isteri.1 Dengan demikian, dalam

perkawinan adanya ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita

sebagai suami isteri. Dengan ini jelas bahwa yang diikat dalam perkawinan sebagai

suami isteri adalah seorang wanita dan seorang pria. Ini berarti kalau ada seorang

wanita ataupun seorang pria yang ingin diikat sebagai suami isteri haruslah melalui

perkawinan.

Berdasarkan hal di atas, dapat dikemukakan bahwa maksud dilaksanakannya

perkawinan adalah untuk hidup dalam pergaulan yang sempurna yang merupakan

jalan yang amat mulia untuk mengatur rumah tangga dan anak-anak yang akan

dilahirkan sebagai satu pertalian yang amat teguh guna memperkokoh pertalian

persaudaraan antara kaum kerabat suami dengan kaum kerabat isteri yang pertalian

itu akan menjadi suatu jalan yang membawa kepada saling menolong antara satu

kaum dengan yang lain dan akhirnya rumah tangga tersebut menjadi sendi dasar dari

susunan masyarakat.

Peraturan mengenai perkawinan telah ada sejak masyarakat sederhana yang

dipertahankan anggota masyarakat dan pemuka agama. Peraturan ini mengalami

perkembangan sesuai dengan perkembangan dalam masyarakat, diantaranya

dipengaruhi oleh pengetahuan,kepercayaan dan keagamaan yang dianut dalam

1

(3)

masyarakat yang bersangkutan. Peraturan hukum yang mengatur perkawinan di

Indonesia sebelum Tahun 1974 bersifat pluralistik karena didasarkan pembedaan

penduduk Indonesia, yaitu :2

1. Bagi orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku hukum agama yang telah diresepsi kedalam hukum adat. Pada umumnya bagi orang Indonesia asli yang beragama Islam jika melaksanakan perkawinan berlaku ijab kabul antara mempelai wanita, sebagaimana diatur dalam hukum Islam.

2. Bagi orang-orang Indonesia lainnya berlaku hukum adat.

3. Bagi orang Indonesia asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijks Ordonnantie ChristenIndonesia (HOCI) S.1933 Nomor 74.

4. Bagi orang Timur Asing Cina dan warga negara Indonesia keturunan Cina berlaku ketentuan-ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata 5. Bagi orang Timur Asing lainnya dan warga negara Indonesia keturunan asing

lainnya berlaku hukum adat mereka.

6. Bagi orang Eropa dan warga negara Indonesia keturunan Eropa dan yang dipersamakan dengan mereka, berlaku Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Peraturan dan budaya dalam perkawinan yang berlaku dalam masyarakat tidak

terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan dimana masyarakat itu berada.

Indonesia yang terdiri dari beragam suku bangsa dan agama membutuhkan suatu

aturan sebagai realisasi cita-cita bangsa untuk memiliki Undang-undang yang bersifat

nasional dan sesuai dengan falsafah Pancasila.

Unifikasi hukum perkawinan telah ada dengan berlakunya Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU No. 1 Tahun

1974). Undang-undang Perkawinan dibentuk dengan tujuan agar terdapat

keseragaman dalam penyelenggaraan perkawinan dan hal-hal yang berkaitan dengan

itu dengan tetap menampung kenyataan-kenyataan yang hidup dalam masyarakat.

2Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat,

(4)

Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir

dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan

tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Perkawinan dalam Islam tidaklah semata-mata sebagai hubungan atau kontrak

keperdataan biasa, akan tetapi mempunyai nilai ibadah.3Oleh karena itu, suami isteri

dalam suatu perkawinan mempunyai pertanggungjawaban secara vertikal kepada

Tuhan Yang Maha Esa di samping mempunyai hak dan kewajiban secara timbal balik

suami dan isteri serta anak-anak yang lahir dalam perkawinan.

Selanjutnya dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga mengatur bahwa

perkawinan dalam ajaran agama Islam mempunyai nilai ibadah, sehingga Pasal 2

Kompilasi Hukum Islam (KHI) menegaskan perkawinan adalah akad yang sangat

kuat (mitsaqaan ghalidhan) untuk mentaati perintah Allah, dan melaksanakannya

merupakan ibadah. Perkawinan merupakan salah satu perintah agama kepada yang

mampu untuk segera melaksanakannya. Karena perkawinan dapat mengurangi

kemaksiatan, baik dalam bentuk penglihatan maupun dalam bentuk perzinaan.4

Perkawinan bukan untuk keperluan sesaat tetapi untuk seumur hidup karena

perkawinan mengandung nilai luhur. Dengan adanya ikatan lahir batin antara pria dan

wanita yang dibangun di atas nilai-nilai sakral karena berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa yang merupakan sila pertama Pancasila. Maksudnya adalah bahwa

3

Ahmad Rofiq,Hukum Islam di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hal. 69. 4

(5)

perkawinan tidak cukup hanya dengan ikatan lahir saja atau ikatan bathin saja tetapi

harus kedua-duanya, terjalinnya ikatan lahir bathin merupakan fondasi dalam

membentuk keluarga bahagia dan kekal.5

Iman Jauhari mengemukakan bahwa :

Suatu perkawinan tidak hanya didasarkan pada ikatan lahir saja atau ikatan batin saja, tetapi merupakan perwujudan ikatan lahir dan batin antara suami isteri. Ikatan lahir tercermin adanya akad nikah, sedangkan ikatan batin adanya perasaan saling mencintai dari kedua belah pihak.6

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menganut

asas-asas atau prinsip-prinsip sebagai berikut :

1. Perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum agama dan

kepercayaannya itu.

2. Perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundangan.

3. Perkawinan berasas monogami.

4. Calon suami isteri harus sudah masak jiwa raganya untuk melangsungkan

perkawinan.

5. Batas umur perkawinan adalah bagi pria 19 tahun dan bagi wanita 16 tahun.

6. Perceraian dipersulit dan harus dilakukan di muka pengadilan.

7. Hak dan kedudukan suami isteri adalah seimbang.7

5K Wantjik Saleh,Hukum Perkawinan Indonesia,Balai Pustaka, Jakarta, 1996, hal. 15. 6Imam Jauhari, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Keluarga Poligami, Penerbit

Pustaka Bangsa, Jakarta, 2003.hal. 3

(6)

Perkawinan merupakan peristiwa penting dalam kehidupan manusia yang

menimbulkan akibat hukum baik terhadap hubungan antara pihak yang

melangsungkan perkawinan itu sendiri, maupun dengan pihak lain yang mempunyai

kepentingan tertentu. Apabila dari perkawinan tersebut lahir anak-anak, maka timbul

hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya.

Perkawinan amat penting bagi kehidupan manusia, baik perseorangan ataupun

kelompok dengan jalinan perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan

terjadi secara terhormat sesuai kedudukan manusia sebagai akhluk yang

berkehormatan di antara makhluk tuhan lainya. Allah SWT telah menetapkan

cara-cara tersendiri dalam menjalani hidup dengan berpasang-pasangan. cara-cara-cara-cara tersebut

diatur dalam lembaga perkawinan. Hal ini sesuai dengan keberadaan Islam sebagai

Agama fitrah yang datang bukan untuk membunuh kecenderungan-kecenderungan

manusia, melainkan untuk membimbing dan mengarahkan sesuai kehendak sang

pencipta.8

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan maka suatu

perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya

dan kepercayaannya itu, hal ini dapat dipakai sebagai dasar hukum berlakunya hukum

perkawinan Islam di Indonesia sebagai peraturan khusus di samping peraturan umum

yang di atur dalam Undang-undang perkawinan untuk warga negara Indonesia yang

beragama Islam, yang kebanyakan menganut ajaran dari mazhab Syafi'i.

(7)

Dalam pelaksanaan perkawinan tentunya tidak terlepas dari adanya berbagai

persyaratan yang harus dipenuhi oleh para pihak yang terkait di dalamnya. Pasal 6

Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 menentukan bahwa :

1. Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.

2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

3. Dalam hal seorang dari kedua orang tua meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin yang dimaksud ayat (2) Pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan menyatakan kehendaknya.

5. Dalam hal ada perbedaan antara orang-orang yang dimaksud dalam ayat (2), (3) dan (4) Pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan ijin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang yang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) dalam Pasal ini.

6. Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) Pasal ini berlaku sepanjang hukun masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Berdasarkan ketentuan tersebut tersirat adanya persyaratan untuk melakukan

perkawinan dengan adanya izin wali baik orang tua maupun izin pengadilan untuk

dapat melaksanakan suatu perkawinan.

Menurut hukum Islam, perkawinan antara mempelai laki-laki dengan

mempelai perempuan dilakukan di depan dua orang saksi laki-laki dengan

menggunakan kata-kata ijab kabul. Ijab diucapkan oleh pihak perempuan yang

(8)

kabul adalah pernyataan menerima dari pihak laki-laki. Hal ini tergambar

dari adanya rukun perkawinan,untuk melaksanakan perkawinan harus ada:

1. Calon suami

2. Calon isteri

3. Wali nikah

4. Dua orang saksi dan

5. Ijab dan kabul9

Wali nikah adalah merupakan salah satu rukun nikah, Rasulullah Saw

mengatakan “Tidak ada nikah tanpa wali” artinya perkawinan tidak sah apabila tidak

disetujui oleh walinya (WaliAkrobatau WaliAb’ad). Keharusan adanya seorang wali

dalam pernikahan menjadi rukun dalam perkawinan Islam, meskipun ada pendapat

yang tidak mengharuskannya. Kedudukan wali dalam perkawinan menurut sebagian

ulama menyebutkannya sebagai rukun dan sebagian lagi menyebutkannya sebagai

syarat. Perwalian hanya dijabat oleh keluarga laki-laki dari pengantin wanita.

Ada beberapa pendapat mengenai pentingnya wali sebagai syarat untuk

sahnya nikah menurut Hukum Islam. Hal ini sudah lama menjadi bahan diskusi para

ahli ilmu fiqh sejak lahirnya mazhab Syafi`i dan mazhab Hanafi. Mazhab Syafi`i

mengatakan bahwa wali adalah salah satu syarat untuk sahnya nikah, sedangkan

mazhab Hanafi mengatakan bahwa wali adalah sunnah hukumnya, seperti yang

terdapat dalam Firman Allah SWT Surat Al Baqarah ayat 234, dikatakan bahwa akad

nikah yang dilakukan oleh wanita dan segala sesuatu yang dikerjakannya tanpa

(9)

menggantungkannya kepada wali atau izinnya adalah sah. Berdasarkan ayat tersebut

Hanafi memberikan hak sepenuhnya kepada wanita mengenai urusan dirinya dengan

meniadakan campur tangan orang lain dalam hal ini adalah campur tangan seorang

wali berkenaan dengan masalah perkawinan. Pertimbangan rasional logis inilah yang

membuat Hanafi mengatakan tidak wajibnya wali nikah bagi wanita yang hendak

menikah.10

Namun pada umumnya umat Islam di Indonesia menganut paham mazhab

Syafi`i. Menurut mazhab Syafi`i wali merupakan masalah penting sekali dalam

pembahasan nikah karena tidak ada nikah tanpa wali, dan wali menjadi rukun bagi

sahnya suatu nikah. Alasan pendapat ini diantaranya yaitu hadist Nabi riwayat

Turmudzi dari Aisyah yang menyatakan bahwa “Perempuan yang menikah tanpa izin

walinya maka nikahnya batal (sampai tiga kali Nabi mengatakan nikahnya batal)”.

Selain itu, ijab menurut lazimya dalam suatu akad nikah diucapkan oleh wanita, jadi

mempelai wanitalah yang menawarkan dirinya untuk dinikahkan dengan seorang

pria. Oleh karena wanita fitrahnya adalah pemalu, maka ia harus diwakili oleh orang

tuanya atau wakilnya yang bertindak sebagai wali nikahnya.

Menurut Abdullah Kelib, wali di dalam perkawinan adalah orang yang

bertanggung jawab atas perkawinan yang dilaksanakan dibawah perwaliannya,

sehingga perkawinan tidak dianggap sah apabila tidak terdapat wali yang

menyerahkan mempelai wanita kepada mempelai pria.11Jadi wali nikah dalam suatu

(10)

perkawinan merupakan unsur yang penting bagi mempelai wanita yang akan

bertindak untuk menikahkannya. Dengan kata lain, wali nikah merupakan unsur yang

penting bagi mempelai wanita yang akan bertindak untuk menikahkannya. Adapun

yang menjadi wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat menurut

hukum Islam, yakni muslim, aqil, dan baligh.

Wali nikah tersebut terdiri dari wali nasab dan wali hakim. Wali nasab artinya

pria beragama Islam yang mempunyai hubungan darah dengan calon pengantin

perempuan dari pihak ayah. Sedangkan wali hakim ialah wali yang ditauliah oleh

Menteri Agama untuk bertindak sebagai wali nikah. Pejabat negara yang ditunjuk,

dalam kaitan ini biasanya dilakukan oleh kepala kantor departemen agama sebagai

Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dapat menjadi wali pengganti atau wali hakim, jika

wali nasabnya berhalangan, wali nasabnya berlaku adhal atau tidak ada wali

nasabnya.

Ditetapkannya wali nikah sebagai rukun perkawinan karena untuk melindungi

kepentingan wanita itu sendiri, melindungi integritas moralnya serta memungkinkan

terciptanya perkawinan yang berhasil. Di samping itu, perwalian termasuk wali nikah

merupakan hak alamiah (natural) dari orang tua dan keluarga dekat, dan dalam

keadaan tertentu dapat melompat kepadauli ''l-amr(pemegang kekuasaan sosial atau

(11)

berlaku adhal (menolak untuk menjadi wali dalam perkawinan yang dibenarkan

menurut hukum dan wajar dilangsungkan).12

Selanjutnya Pegawai Pencatat Nikah (PPN) di tingkat Kecamatan di samping

mempunyai tugas untuk melakukan pencatatan nikah, juga dituntut untuk dapat

meyelesaikan permasalahan yang timbul mengenai perkara-perkara yang

berhubungan dengan keabsahan pernikahan, baik itu menyangkut permasalahan wali,

calon pengantin maupun syarat-syarat lain. Pegawai Pencatat Nikah (PPN) adalah

pegawai pada Kantor Urusan Agama Kecamatan. PPN juga yang harus segera

menyelesaikan dan mencarikan jalan keluar apabila timbul sengketa antara

pihak-pihak yang berkaitan dengan sahnya pernikahan seperti adanya sengketa waliAdhal.

Wali Adhal adalah wali calon pengantin wanita, (ayah, kakek, saudara

laki-laki atau kelompok wali akrob) yang tidak berkenan untuk menikahkan calon

pengantin perempuan karena alasan-alasan tertentu seperti, tidak setuju dengan calon

mempelai, tidak sekufu, beda agama dan lain sebagainya. Adakalanya perkawinan

yang telah disepakati atau disetujui oleh calon suami maupun calon isteri tetapi

ternyata ada pihak lain yang keberatan, pihak lain dapat dipaham, yaitu wali nikah.

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut maka ditelaah lebih lanjut

penyelesaian perselisihan akibat adanya wali nasab yang menolak untuk menjadi wali

dalam perkawinan dikaitankan dengan keabsahan perkawinan. Penelaahan ini

nantinya akan dilakukan melalui suatu penelitian dengan judul “Penyelesaian

12Nasrul Azwar,Pengertian Wali Al-Amr dan Problematika, http://id.shvoong.com/, diakses

(12)

Sengketa Wali Adhal dan Kaitannya dengan Keabsahan Perkawinan (Studi Analisis

Terhadap Penetapan Nomor 215/Pdt.P/2011/Pengadilan Agama Jakarta Selatan)”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dikemukakan beberapa

permasalahan yang akan dikaji lebih lanjut antara lain sebagai berikut:

1. Apakah yang menjadi faktor penyebab terjadinya waliAdhal ?

2. Bagaimana keabsahan perkawinan jika terjadi wali adhal berdasarkan

penetapan No. 215/Pdt.P/2011/Pengadilan Agama Jakarta Selatan ?

3. Bagaimana status perkawinan yang timbul dari perkawinan waliadhal ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan yang hendak dicapai

dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui yang menjadi faktor penyebab terjadinya waliAdhal

2. Untuk mengetahui keabsahan perkawinan jika terjadi wali adhal berdasarkan

penetapan No. 215/Pdt.P/2011/Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

3. Untuk mengetahui status perkawinan yang timbul dari perkawinan waliadhal.

D. Manfaat Penelitian

Pelaksanaan penelitian ini diharapkan memberi manfaat baik secara teoritis

maupun secara praktis, seperti dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut:

(13)

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam ilmu pengetahuan

hukum pada umumnya, dan khususnya hukum perkawinan , terutama

mengenai masalah penyelesaian sengketa wali Adhal dalam pelaksanaan

perkawinan.

2. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada masyarakat,

khususnya kepada pasangan yang akan melaksanakan perkawinan, agar lebih

mengetahui tentang persyaratan yang hasrus dipenuhi, hak dan kewajibannya

dalam perkawinan dan penyelesaian sengketa wali Adhal dalam pelaksanaan

perkawinan.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran dan pemeriksaan yang telah dilakukan baik di

kepustakaan penulisan karya ilmiah Magister Hukum, maupun di Magister

Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, ditemukan dua judul penelitian yang

berkaitan dengan penelitian ini, yaitu :

1. Penelitian oleh Parimpunan Matondang, Nim 992105060/Ilmu Hukum Tahun

2002 dengan judul “Kedudukan Wali Hakim Menurut Undang-undang No. 1

Tahun 1972 dan Penerapannya di Kota Medan, dengan permasalahan antara

lain :

a. Bagaimana kedudukan wali hakim menurut Undang-undang No. 1 Tahun

(14)

b. Bagaimana kewenangan wali hakim dalam kewaliannya sebagai wali nikah

dalam hukum Islam dan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 ?

c. Bagaimana peralihan perwalian ke tangan wali hakim menurut

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 ?

2. Penelitian yang dilakukan oleh Marahalim, Nim 057005037/MH/Tahun 2007

dengan judul “Pernikahan dengan Menggunakan Wali Hakim Tinjau dari

Fiqh Islam dan Kompilasi Hukum Islam Indonesia”, dengan permasalahan

antara lain :

a. Bagaimana pengangkatan wali hakim dalam Undang-undang No. 1 Tahun

1974 dan Hukum Islam ?

b. Bagaimana fungsi wali hakim dalam perwaliann ?

c. Bagaimana pertimbangan wali hakim dalam menikahkan seorang yang

memiliki wali nasab serta keabsahan wali hakim dalam pernikahan

tersebut ?

Dari kedua penelitian di atas dilihat dari judul dan permasalahan yang dibahas

maupun kasus yang dibahas tidak ada kesamaan dengan penelitian ini. Dengan

demikian penelitian tentang “Penyelesaian Sengketa Wali Adhal dan Kaitannya

dengan Keabsahan Perkawinan (Studi Analisis Terhadap Penetapan No.

215/Pdt.P/2011/Pengadilan Agama Jakarta Selatan)”, belum pernah dilakukan. Oleh

(15)

dapat dipertanggung jawabkan kemurniannya, karena belum ada yang melakukan

penelitian yang sama dengan judul penelitian ini.

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik

atau proses tertentu terjadi,13 dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya

pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.14 Kerangka teori

adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu

kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.15

Apabila dikaitkan dengan judul penelitian dan permasalah yang diteliti dalam

penelitian ini, maka kerangka teori yang dipilih sebagai pisau analisis dalam

penelitian ini adalah teori wali hakim. Dalam agama Islam wali adalah rukun dalam

perkawinan.

Perkawinan tidak dapat berlangsung dengan tindakan atau ucapan perempuan

itu sendiri. Sebab, perwalian merupakan syarat yang harus terpenuhi demi keabsahan

akad nikah. Dan yang mengakadkan haruslah seorang Wali yang berhak. Dasarnya

Firman Allah dalam Surat An-Nur (24) yang artinya “…dan kawinkanlah

orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang-orang-orang yang layak (berkawin) dari

hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.

13M. Hisyam,Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, FE UI, Jakarta, 1996, hal. 203. 14Ibid.,hal. 203

(16)

jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah

Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”.16

Wali dalam kaitannya dengan pelaksanaan perkawinan dibedakan menjadi

tiga (3):

a. Wali Nasab, ialah laki-laki yang beragama Islam yang berhubungan darah dengan calon mempelai wanita dari pihak ayah.

b. Wali Hakim, ialah pejabat yang di tunjuk oleh Mentri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya untuk bertindak sebagai wali nikah bagi calon mempelai perempuan yang punya wali.

c. Wali Muhakam, ialah seorang yang beragama Islam di angkat oleh kedua calon suami-isteri untuk bertindak sebagai wali dalam akad nikah.17

Kedudukan wali sangat penting sebagaimana diketahui bahwa yang berhak

menjadi wali nikah terhadap seorang wanita adalah hak bagi wali nasab apabila wali

nasab tidak ada dan wali ghaib juga tidak ada maka perwalian pindah ke tangan wali

hakim. Dalam hal seorang wanita tidak mempunyai wali sama sekali, para fuqaha

telah sepakat tentang kebolehanya menggunakan wali hakim, tetapi hal perkawinan

dengan wali hakim yang disebabkan oleh faktor yang lain, ternyata masih terdapat

perbedaan pendapat.18

Berdasarkan teori di atas, jelaslah bahwa hukum mengatur perilaku manusia

dalam setiap hubungan hukum yang dilakukannya. Tata hukum bertitik tolak dari

pemahaman tentang tanggung jawab manusia dan perlindungan hak-hak manusia

sebagai subjek hukum. Sejak seorang anak dilahirkan hidup adalah subjek hukum.

16Muhammad bagir,Fiqih Praktis Menurut Al-Quran As-Sunah Pendapat Para Ulama,Mizan

Media Utama, Bandung, 2002, hal.57.

17Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, Yogyakarta,

Liberty, 1982, hal. 46.

18Badan Penasehat Perkawinan, Perselisihan dan Perceraian (BP4), Buku Pintar Keluarga

(17)

Anak dilahirkan karena adanya perkawinan orang tuanya oleh karena itu dalam

pelaksanaan perkawinan seorang anak juga membutuhkan adanya orang tua yang

bertindak sebagai walinya.

Di dalam masyarakat adat, perkawinan adalah suatu rangkaian upacara yang

merubah status laki-laki menjadi suami dan dari seorang perempuan menjadi isteri.

Di kalangan masyarakat adat yang masih kuat prinsip kekerabatannya berdasarkan

ikatan keturunan, mempertahankan silsilah dan kedudukan sosial yang bersangkutan.

Di samping itu ada kalanya suatu perkawinan merupakan sarana untuk memperbaiki

hubungan kekerabatan yang telah menjauh atau retak, atau merupakan sarana

pendekatan dan perdamaian kerabat.19

Suatu perkawinan dapat dilaksanakan jika memenuhi beberapa persyaratan

yang berupa syarat material dan formal. Syarat materil/subyektif yaitu syarat-syarat

yang melekat pada pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan, yang diatur dalam

Pasal 6 sampai dengan Pasal 11 UU Perkawinan, terdiri dari :

1. Harus didasarkan atas persetujuan kedua belah pihak.

2. Harus mendapat ijin orang tua, apabila calon pengantin belum berumur 21 tahun.

3. Harus sudah mencapai umur 19 (sembilanbelas) tahun bagi pria dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enambelas) tahun.

4. Tidak ada larangan perkawinan.

5. Tidak masih terikat dalam suatu perkawinan kecuali bagi mereka yang agamanya mengijinkan untuk berpoligami.

6. Tidak bercerai untuk kedua kalinya dengan suami atau isteri yang hendak dikawini.

7. Harus telah lewat waktu tunggu/masaiddahbagi janda.

19Soebakti Poesponoto, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta,

(18)

Syarat-syarat formal/obyektif adalah syarat tentang tata cara atau prosedur

melangsungkan perkawinan menurut hukum agama dan Undang-undang. Tata cara

melangsungkan perkawinan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun

1975 tentang Ketentuan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan.

Perkawinan dilakukan setelah adanya kesepakatan antara pihak pria dan pihak

wanita untuk melangsungkan perkawinan. Kemudian keinginan tersebut didaftarkan

dan diumumkan oleh pihak Pegawai Pencatat Nikah dan jika tidak ada keberatan dari

pihak-pihak yang terkait dengan rencana dimaksud, perkawinan dapat dilangsungkan.

Ada tidaknya keberatan dari para pihak terkait keberadaan wali dalam suatu

pernikahan ditunjukkan dengan adanya wali nikah yang hadir guna menikahkan

pasangan dalam suatu perkawinan. Wali dalam pernikahan merupakan unsur penting

dalam suatu perkawinan khususnya bagi mempelai wanita yang akan bertindak untuk

menikahkannya. Hal ini disebabkan karena wali nikah adalah pihak yang bertanggung

jawab atas perkawinan yang dilaksanakan dibawah perwaliannya. Suatu perkawinan

tidak dianggap sah apabila tidak ada wali yang menyerahkan mempelai wanita

kepada mempelai pria dalam proses ijab qabul.20

Jadi ijab dalam perkawinan menurut Hukum Islam adalah wewenang wali

semata-mata, sehingga karena peranan wali yang sangat penting dan apabila wanita

itu tidak mempunyai wali nasab atau wali nasab enggan untuk menikahkan (adhal)

(19)

dapat digantikan kedudukannya oleh wali hakim. Hal ini sebagaimana ditentukan

dalam Pasal 20 Kompilasi hukum Islam yang menentukan bahwa:

(1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakin muslim,aqil dan baligh.

(2) Wali nikah terdiri dari: a. Wali nasab

b. Wali hakim

Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok

yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan

kekerabatan dengan calon mempelai wanita.

1. Kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas yakni ayah, kakek dari pihak

ayah dan seterusnya.

2. Kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah dan

keturunan laki-laki mereka.

3. Kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara

seayah dan keturunan laki-laki mereka.

4. Kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek

dan keturunan laki-laki mereka.

Pelaksanaan perkawinan mengikuti ketentuan dan tata caranya diatur dalam

Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai berikut :

1) Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak perkawinan oleh Pegawai Pencatat.

(20)

3) Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilangsungkan di hadapan Pengawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang tua.

Apabila perkawinan akan dilangsungkan oleh kedua belah pihak, Pegawai

Pencatat menyiapkan Akta Nikah dan salinannya dan telah diisi mengenai hal-hal

yang diperlukannya. Hal ini merupakan implementasi dari ketentuan Pasal 12 UU

Perkawinan, yaitu :

1) Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan diwajibkan memberitahukan kehendaknya itu kepada pegawai pencatat perkawinan. 2) Perkawinan dilangsungkan sepuluh hari sejak pengumuman kehendak

perkawinan tersebut.

3) Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum agama atau kepercayaannya. 4) Perkawinan dilakukan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua

orang saksi.

5) Sesaat setelah perkawinan dilangsungkan kedua mempelai menandatangani akta perkawinan. Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh kedua mempelai kemudian ditandatangani oleh dua orang saksi dan pegawai pencatat.

Lebih lanjut ketentuan ini diatur dalam Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor

9 Tahun 1975. Akta nikah atau akta perkawinan memuat hal-hal sebagai berikut :

1) Nama, tanggal, tempat lahir, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman suami isteri. Apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama isteri atau suami tedahulu.

2) Nama, agama/kepercayaan, dan tempat kediaman orang tua mereka. 3) Izin kawin.

4) Dispensasi. 5) Izin Pengadilan. 6) Persetujuan

7) Izin pejabat yang ditunjuk oleh Menhankam/Pangab bagi angkatan bersenjata. 8) Perjanjian perkawinan apabila ada

9) Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, dan tempat kediaman para saksi dan wali nikah bagi yang beragama Islam.

(21)

Dengan demikian, Akta Nikah menjadi bukti otentik dari suatu pelaksanaan

perkawinan sehingga dapat menjadi “jaminan hukum” bila terjadi salah seorang

suami atau isteri melakukan suatu tindakan yang menyimpang. Suami tidak

memberikan nafkah yang menjadi kewajibannya, sementara kenyataannya ia mampu

atau suami melanggar ketentuan taklik talak yang telah dibaca dan disetujuinya pada

saat melangsukan pernikahan, maka pihak isteri yang dirugikan dapat mengadu dan

mengajukan gugatan perkaranya ke Pengadilan Agama. Demikian pula halnya dalam

hal pelaksanaan perkawinan tidak dapat dilaksanakan akibat keenggaan dari wali

pihak yang berkepentingan dapat dapat mengajukannya ke Pengadilan Agama.

2. Konsepsi

Konsepsi merupakan definisi operasional dari intisari objek penelitian yang

akan dilaksanakan. Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan

perbedaan pengertian dan penafsiran dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu

dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian ini. Oleh

karena itu, dalam penelitian ini, dirumuskan serangkaian kerangka konspsi atau

definisi operasional sebagai berikut :

1. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita

sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga

yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.21

2. Wali nikah adalah wali yang dalam hal pelaksanaan nikah bertindak sebagai

wali yang menikahkan mempelai wanita.

3. WaliAdhaladalah wali yang enggan mengawinkan perempuan yang berada di

bawah perwaliannya.22Yaitu mereka yang mempunyai wewenang yang sangat

jelas menjadi wali tidak mau melaksanakan tugasnya sebagai wali nikah.

(22)

4. Wali hakim adalah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat

yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak

sebagai wali nikah.23

5. Pegawai Pencatat Akta Nikah adalah pegawai pemerintah yang diwajibkan

mencatat akta nikah dengan memenuhi ketentuan batasan umur dan

kedewasaan dalam melakukan perkawinan.

6. Keabsahan Perkawinan adalah suatu keadaan dimana pelaksanaan suatu

perkawinan sah oleh hukum dengan memenuhi segala ketentuan menurut

Undang-undang No. 1 Tahun 1974.

7. Sahnya suatu perkawinan menurut Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974

ialah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya itu.

8. Penyelesaian adalah proses, cara, perbuatan, menyelesaikan atau pemecahan.24

9. Pengadilan Agama adalah badan peradilan khusus untuk orang yang beragama

Islam yang memeriksa dan memutus perkara perdata tertentu sesuai dengan

peraturan perUndang-undangan yang berlaku.25

G. Metode Penelitian 1. Sifat Penelitian

Penelitian ini dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten.

Metodologis yang dimaksud berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu,

sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, dan konsisten berarti tidak adanya hal-hal

22

Marahalim Harahap,Pernikahan dengan Menggunakan Wali Hakim,hal. 70 23

Departemen Agama,Kompilasi Hukum Islam, hal. 6 24

(23)

yang bertentangan dengan suatu kerangka tertentu”.26Penelitian ini bersifat deskriptif

analitis, karena menggambarkan gejala-gejala, fakta, aspek-aspek serta upaya hukum

diarahkan untuk mengetahui secara lebih mendalam serta menganalisa penyelesaian

sengketa waliadhaldan kaitannya dengan keabsahan perkawinan.

2. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai penelitian dengan metode

penulisan dengan pendekatan yuridis normatif (penelitian hukum normatif), yang

dilengkapi pula dengan yuridis empiris guna melihat penerapan ketentuan yang

diteliti di lapangan yaitu dengan menganalisis salah satu penetapan pengadilan

tentang waliadhal. Pendekatan yuridis normatif disebut demikian karena penelitian

ini merupakan penelitian kepustakaan atau penelitian dokumen yang ditujukan atau

dilakukan hanya pada peraturan perUndang-undangan yang relevan dengan

permasalahan yang diteliti atau dengan perkataan lain melihat hukum dari aspek

normatif.

3. Sumber data

Sumber data primer berasal dari penelitian kepustakaan (library research)

yang diperoleh dari :

1. Bahan hukum primer, yang terdiri dari :

a. Peraturan perUndang-undangan

b. Teori hukum perkawinan dan hukum keluarga

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang berkaitan dengan bahan

hukum primer, misalnya buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan,

(24)

tulisan para ahli, makalah, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya

yang relevan dengan peneltian ini.

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang bersifat menunjang bahan

hukum primer dan sekunder untuk memberikan informasi tentang bahan

hukum sekunder, misalnya majalah, surat kabar, kamus hukum, kamus bahasa

Indonesia.

Sebagai data sekunder juga dilakukan penelitian lapangan (field research)

dimaksudkan untuk memperoleh data sekunder yang tidak diperoleh dalam penelitian

untuk mendukung analisis permasalahan yang telah dirumuskan. Data sekunder

tersebut diperoleh dari register perkara Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

4. Metode dan Alat Pengumpulan Data

Dalam penelitian tesis ini dipergunakan tehnik pengumpulan data sebagai

berikut :

a. Penelitian kepustakaan (library research)

Pengumpulan data dilakukan dengan cara menghimpun data yang berasal dari

kepustakaan, berupa buku-buku atau literatur, jurnal ilmiah, majalah-majalah,

peraturan perUndang-undangan yang ada hubungannya dengan masalah yang

diteliti serta tulisan-tulisan yang terkait dengan pembatalan perkawinan.

(25)

Metode yang digunakan dalam penelitian lapangan yaitu dengan menganalisis

kasus/perkara dalam penetapan pengadilan, di samping melakukan wawancara

dengan narasumber yang berkompeten dengan objek penelitian.

5. Analisis Data

Dalam analisis data dilakukan penyusunan data primer dan data sekunder

secara sistematis. Selanjutnya data primer dan data sekunder yang telah disusun

secara sistematis dianalisis dengan menggunakan metode deduktif dan induktif.

Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan

sedangkan metode induktif dilakukan dengan menterjemahkan berbagai sumber yang

berhubungan dengan permasalahan yang dibahas dalam tesis ini sehingga diperoleh

kesimpulan sesuai dengan tujuan yang telah dirumuskan.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa analisis data akan dilakukan dengan

pendekatan kualitatif dengan kalimat yang sistematis untuk memperoleh kesimpulan

Referensi

Dokumen terkait

2.. Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa semua standar keselamatan pasien bertujuan untuk tercapainya sasaran. Pertanyaan yang paling mendasar yang ingin disampaikan

Fenomena- fenoma tersebut menunjukkan masih lemahnya karakter pada diri peserta didik khususnya pada jenjang sekolah dasar sehingga memerlukan perhatian serius dan penanganan

Selain dari sisi security, Provider jadi tidak perlu menyediakan satu router khusus untuk setiap customer, keunggulannya lainnya adalah Service Provider bisa menggunakan IP Address

Peneliti membagi saran untuk penelitian sikap warga Lebak Jaya 2 A-B- C Surabaya mengenai program Corporate Social Responsibility (CSR) UBS Peduli di PT Untung Bersama

Kegunaan penelitian ini adalah untuk memperluas ilmu pengetahuan, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sumbangan ilmu untuk mendukung ilmu akuntansi, khususnya pengaruh

NO NAMA PUSKESMAS KODE PUSKESMAS PROVINSI KABUPATEN ALAMAT.. KARAKTERISTIK WILAYAH KERJA