A. Latar Belakang
Manusia yang hidup di dunia ini tidak ada seorangpun yang sempurna, karena
kesempurnaan itu hanyalah milik Allah SWT semata. Oleh karena
ketidaksempurnaannya tersebut membuat manusia membutuhkan manusia lainnya
untuk saling melengkapi dalam menjalankan hidup ini. Dalam menjalankan hidupnya
manusia membutuhkan pergaulan dan hidup bersama sebagai sarana dalam
pemenuhan kebutuhan hidupnya tersebut. Kebutuhan hidup manusia itu sangat
banyak dan tidak akan ada habisnya, apabila satu kebutuhan telah terpenuhi maka
akan muncul kebutuhan lainnya.
Sejak dilahirkan manusia telah dilengkapi dengan naluri untuk senantiasa
hidup bersama dengan orang lain. Naluri untuk hidup bersama dengan orang lain
mengikatkan hasrat yang kuat untuk hidup teratur. Naluri untuk hidup bersama ini
dapat diwujudkan dengan perkawinan, di mana perkawinan merupakan salah satu
aktivitas individu yang umumnya terkait dengan suatu tujuan yang ingin dicapai oleh
individu yang bersangkutan. Perkawinan sebagai aktivitas dari suatu pasangan, maka
sudah selayaknya merekapun juga mempunyai suatu tujuan tertentu. Tetapi karena
perkawinan itu terdiri dari dua individu, maka adanya kemungkinan bahwa tujuan itu
Gatot Supramono mendefinisikan perkawinan sebagai ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita, ini artinya kedua orang yang berlainan jenis
selain terikat secara lahir, atau secara fisik, tetapi juga batinnya terikat. Oleh karena
dalam perkawinan mereka sebagai pasangan suami isteri.1 Dengan demikian, dalam
perkawinan adanya ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri. Dengan ini jelas bahwa yang diikat dalam perkawinan sebagai
suami isteri adalah seorang wanita dan seorang pria. Ini berarti kalau ada seorang
wanita ataupun seorang pria yang ingin diikat sebagai suami isteri haruslah melalui
perkawinan.
Berdasarkan hal di atas, dapat dikemukakan bahwa maksud dilaksanakannya
perkawinan adalah untuk hidup dalam pergaulan yang sempurna yang merupakan
jalan yang amat mulia untuk mengatur rumah tangga dan anak-anak yang akan
dilahirkan sebagai satu pertalian yang amat teguh guna memperkokoh pertalian
persaudaraan antara kaum kerabat suami dengan kaum kerabat isteri yang pertalian
itu akan menjadi suatu jalan yang membawa kepada saling menolong antara satu
kaum dengan yang lain dan akhirnya rumah tangga tersebut menjadi sendi dasar dari
susunan masyarakat.
Peraturan mengenai perkawinan telah ada sejak masyarakat sederhana yang
dipertahankan anggota masyarakat dan pemuka agama. Peraturan ini mengalami
perkembangan sesuai dengan perkembangan dalam masyarakat, diantaranya
dipengaruhi oleh pengetahuan,kepercayaan dan keagamaan yang dianut dalam
1
masyarakat yang bersangkutan. Peraturan hukum yang mengatur perkawinan di
Indonesia sebelum Tahun 1974 bersifat pluralistik karena didasarkan pembedaan
penduduk Indonesia, yaitu :2
1. Bagi orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku hukum agama yang telah diresepsi kedalam hukum adat. Pada umumnya bagi orang Indonesia asli yang beragama Islam jika melaksanakan perkawinan berlaku ijab kabul antara mempelai wanita, sebagaimana diatur dalam hukum Islam.
2. Bagi orang-orang Indonesia lainnya berlaku hukum adat.
3. Bagi orang Indonesia asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijks Ordonnantie ChristenIndonesia (HOCI) S.1933 Nomor 74.
4. Bagi orang Timur Asing Cina dan warga negara Indonesia keturunan Cina berlaku ketentuan-ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata 5. Bagi orang Timur Asing lainnya dan warga negara Indonesia keturunan asing
lainnya berlaku hukum adat mereka.
6. Bagi orang Eropa dan warga negara Indonesia keturunan Eropa dan yang dipersamakan dengan mereka, berlaku Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Peraturan dan budaya dalam perkawinan yang berlaku dalam masyarakat tidak
terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan dimana masyarakat itu berada.
Indonesia yang terdiri dari beragam suku bangsa dan agama membutuhkan suatu
aturan sebagai realisasi cita-cita bangsa untuk memiliki Undang-undang yang bersifat
nasional dan sesuai dengan falsafah Pancasila.
Unifikasi hukum perkawinan telah ada dengan berlakunya Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU No. 1 Tahun
1974). Undang-undang Perkawinan dibentuk dengan tujuan agar terdapat
keseragaman dalam penyelenggaraan perkawinan dan hal-hal yang berkaitan dengan
itu dengan tetap menampung kenyataan-kenyataan yang hidup dalam masyarakat.
2Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat,
Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir
dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Perkawinan dalam Islam tidaklah semata-mata sebagai hubungan atau kontrak
keperdataan biasa, akan tetapi mempunyai nilai ibadah.3Oleh karena itu, suami isteri
dalam suatu perkawinan mempunyai pertanggungjawaban secara vertikal kepada
Tuhan Yang Maha Esa di samping mempunyai hak dan kewajiban secara timbal balik
suami dan isteri serta anak-anak yang lahir dalam perkawinan.
Selanjutnya dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga mengatur bahwa
perkawinan dalam ajaran agama Islam mempunyai nilai ibadah, sehingga Pasal 2
Kompilasi Hukum Islam (KHI) menegaskan perkawinan adalah akad yang sangat
kuat (mitsaqaan ghalidhan) untuk mentaati perintah Allah, dan melaksanakannya
merupakan ibadah. Perkawinan merupakan salah satu perintah agama kepada yang
mampu untuk segera melaksanakannya. Karena perkawinan dapat mengurangi
kemaksiatan, baik dalam bentuk penglihatan maupun dalam bentuk perzinaan.4
Perkawinan bukan untuk keperluan sesaat tetapi untuk seumur hidup karena
perkawinan mengandung nilai luhur. Dengan adanya ikatan lahir batin antara pria dan
wanita yang dibangun di atas nilai-nilai sakral karena berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa yang merupakan sila pertama Pancasila. Maksudnya adalah bahwa
3
Ahmad Rofiq,Hukum Islam di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hal. 69. 4
perkawinan tidak cukup hanya dengan ikatan lahir saja atau ikatan bathin saja tetapi
harus kedua-duanya, terjalinnya ikatan lahir bathin merupakan fondasi dalam
membentuk keluarga bahagia dan kekal.5
Iman Jauhari mengemukakan bahwa :
Suatu perkawinan tidak hanya didasarkan pada ikatan lahir saja atau ikatan batin saja, tetapi merupakan perwujudan ikatan lahir dan batin antara suami isteri. Ikatan lahir tercermin adanya akad nikah, sedangkan ikatan batin adanya perasaan saling mencintai dari kedua belah pihak.6
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menganut
asas-asas atau prinsip-prinsip sebagai berikut :
1. Perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum agama dan
kepercayaannya itu.
2. Perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundangan.
3. Perkawinan berasas monogami.
4. Calon suami isteri harus sudah masak jiwa raganya untuk melangsungkan
perkawinan.
5. Batas umur perkawinan adalah bagi pria 19 tahun dan bagi wanita 16 tahun.
6. Perceraian dipersulit dan harus dilakukan di muka pengadilan.
7. Hak dan kedudukan suami isteri adalah seimbang.7
5K Wantjik Saleh,Hukum Perkawinan Indonesia,Balai Pustaka, Jakarta, 1996, hal. 15. 6Imam Jauhari, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Keluarga Poligami, Penerbit
Pustaka Bangsa, Jakarta, 2003.hal. 3
Perkawinan merupakan peristiwa penting dalam kehidupan manusia yang
menimbulkan akibat hukum baik terhadap hubungan antara pihak yang
melangsungkan perkawinan itu sendiri, maupun dengan pihak lain yang mempunyai
kepentingan tertentu. Apabila dari perkawinan tersebut lahir anak-anak, maka timbul
hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya.
Perkawinan amat penting bagi kehidupan manusia, baik perseorangan ataupun
kelompok dengan jalinan perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan
terjadi secara terhormat sesuai kedudukan manusia sebagai akhluk yang
berkehormatan di antara makhluk tuhan lainya. Allah SWT telah menetapkan
cara-cara tersendiri dalam menjalani hidup dengan berpasang-pasangan. cara-cara-cara-cara tersebut
diatur dalam lembaga perkawinan. Hal ini sesuai dengan keberadaan Islam sebagai
Agama fitrah yang datang bukan untuk membunuh kecenderungan-kecenderungan
manusia, melainkan untuk membimbing dan mengarahkan sesuai kehendak sang
pencipta.8
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan maka suatu
perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu, hal ini dapat dipakai sebagai dasar hukum berlakunya hukum
perkawinan Islam di Indonesia sebagai peraturan khusus di samping peraturan umum
yang di atur dalam Undang-undang perkawinan untuk warga negara Indonesia yang
beragama Islam, yang kebanyakan menganut ajaran dari mazhab Syafi'i.
Dalam pelaksanaan perkawinan tentunya tidak terlepas dari adanya berbagai
persyaratan yang harus dipenuhi oleh para pihak yang terkait di dalamnya. Pasal 6
Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 menentukan bahwa :
1. Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
3. Dalam hal seorang dari kedua orang tua meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin yang dimaksud ayat (2) Pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan menyatakan kehendaknya.
5. Dalam hal ada perbedaan antara orang-orang yang dimaksud dalam ayat (2), (3) dan (4) Pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan ijin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang yang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) dalam Pasal ini.
6. Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) Pasal ini berlaku sepanjang hukun masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Berdasarkan ketentuan tersebut tersirat adanya persyaratan untuk melakukan
perkawinan dengan adanya izin wali baik orang tua maupun izin pengadilan untuk
dapat melaksanakan suatu perkawinan.
Menurut hukum Islam, perkawinan antara mempelai laki-laki dengan
mempelai perempuan dilakukan di depan dua orang saksi laki-laki dengan
menggunakan kata-kata ijab kabul. Ijab diucapkan oleh pihak perempuan yang
kabul adalah pernyataan menerima dari pihak laki-laki. Hal ini tergambar
dari adanya rukun perkawinan,untuk melaksanakan perkawinan harus ada:
1. Calon suami
2. Calon isteri
3. Wali nikah
4. Dua orang saksi dan
5. Ijab dan kabul9
Wali nikah adalah merupakan salah satu rukun nikah, Rasulullah Saw
mengatakan “Tidak ada nikah tanpa wali” artinya perkawinan tidak sah apabila tidak
disetujui oleh walinya (WaliAkrobatau WaliAb’ad). Keharusan adanya seorang wali
dalam pernikahan menjadi rukun dalam perkawinan Islam, meskipun ada pendapat
yang tidak mengharuskannya. Kedudukan wali dalam perkawinan menurut sebagian
ulama menyebutkannya sebagai rukun dan sebagian lagi menyebutkannya sebagai
syarat. Perwalian hanya dijabat oleh keluarga laki-laki dari pengantin wanita.
Ada beberapa pendapat mengenai pentingnya wali sebagai syarat untuk
sahnya nikah menurut Hukum Islam. Hal ini sudah lama menjadi bahan diskusi para
ahli ilmu fiqh sejak lahirnya mazhab Syafi`i dan mazhab Hanafi. Mazhab Syafi`i
mengatakan bahwa wali adalah salah satu syarat untuk sahnya nikah, sedangkan
mazhab Hanafi mengatakan bahwa wali adalah sunnah hukumnya, seperti yang
terdapat dalam Firman Allah SWT Surat Al Baqarah ayat 234, dikatakan bahwa akad
nikah yang dilakukan oleh wanita dan segala sesuatu yang dikerjakannya tanpa
menggantungkannya kepada wali atau izinnya adalah sah. Berdasarkan ayat tersebut
Hanafi memberikan hak sepenuhnya kepada wanita mengenai urusan dirinya dengan
meniadakan campur tangan orang lain dalam hal ini adalah campur tangan seorang
wali berkenaan dengan masalah perkawinan. Pertimbangan rasional logis inilah yang
membuat Hanafi mengatakan tidak wajibnya wali nikah bagi wanita yang hendak
menikah.10
Namun pada umumnya umat Islam di Indonesia menganut paham mazhab
Syafi`i. Menurut mazhab Syafi`i wali merupakan masalah penting sekali dalam
pembahasan nikah karena tidak ada nikah tanpa wali, dan wali menjadi rukun bagi
sahnya suatu nikah. Alasan pendapat ini diantaranya yaitu hadist Nabi riwayat
Turmudzi dari Aisyah yang menyatakan bahwa “Perempuan yang menikah tanpa izin
walinya maka nikahnya batal (sampai tiga kali Nabi mengatakan nikahnya batal)”.
Selain itu, ijab menurut lazimya dalam suatu akad nikah diucapkan oleh wanita, jadi
mempelai wanitalah yang menawarkan dirinya untuk dinikahkan dengan seorang
pria. Oleh karena wanita fitrahnya adalah pemalu, maka ia harus diwakili oleh orang
tuanya atau wakilnya yang bertindak sebagai wali nikahnya.
Menurut Abdullah Kelib, wali di dalam perkawinan adalah orang yang
bertanggung jawab atas perkawinan yang dilaksanakan dibawah perwaliannya,
sehingga perkawinan tidak dianggap sah apabila tidak terdapat wali yang
menyerahkan mempelai wanita kepada mempelai pria.11Jadi wali nikah dalam suatu
perkawinan merupakan unsur yang penting bagi mempelai wanita yang akan
bertindak untuk menikahkannya. Dengan kata lain, wali nikah merupakan unsur yang
penting bagi mempelai wanita yang akan bertindak untuk menikahkannya. Adapun
yang menjadi wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat menurut
hukum Islam, yakni muslim, aqil, dan baligh.
Wali nikah tersebut terdiri dari wali nasab dan wali hakim. Wali nasab artinya
pria beragama Islam yang mempunyai hubungan darah dengan calon pengantin
perempuan dari pihak ayah. Sedangkan wali hakim ialah wali yang ditauliah oleh
Menteri Agama untuk bertindak sebagai wali nikah. Pejabat negara yang ditunjuk,
dalam kaitan ini biasanya dilakukan oleh kepala kantor departemen agama sebagai
Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dapat menjadi wali pengganti atau wali hakim, jika
wali nasabnya berhalangan, wali nasabnya berlaku adhal atau tidak ada wali
nasabnya.
Ditetapkannya wali nikah sebagai rukun perkawinan karena untuk melindungi
kepentingan wanita itu sendiri, melindungi integritas moralnya serta memungkinkan
terciptanya perkawinan yang berhasil. Di samping itu, perwalian termasuk wali nikah
merupakan hak alamiah (natural) dari orang tua dan keluarga dekat, dan dalam
keadaan tertentu dapat melompat kepadauli ''l-amr(pemegang kekuasaan sosial atau
berlaku adhal (menolak untuk menjadi wali dalam perkawinan yang dibenarkan
menurut hukum dan wajar dilangsungkan).12
Selanjutnya Pegawai Pencatat Nikah (PPN) di tingkat Kecamatan di samping
mempunyai tugas untuk melakukan pencatatan nikah, juga dituntut untuk dapat
meyelesaikan permasalahan yang timbul mengenai perkara-perkara yang
berhubungan dengan keabsahan pernikahan, baik itu menyangkut permasalahan wali,
calon pengantin maupun syarat-syarat lain. Pegawai Pencatat Nikah (PPN) adalah
pegawai pada Kantor Urusan Agama Kecamatan. PPN juga yang harus segera
menyelesaikan dan mencarikan jalan keluar apabila timbul sengketa antara
pihak-pihak yang berkaitan dengan sahnya pernikahan seperti adanya sengketa waliAdhal.
Wali Adhal adalah wali calon pengantin wanita, (ayah, kakek, saudara
laki-laki atau kelompok wali akrob) yang tidak berkenan untuk menikahkan calon
pengantin perempuan karena alasan-alasan tertentu seperti, tidak setuju dengan calon
mempelai, tidak sekufu, beda agama dan lain sebagainya. Adakalanya perkawinan
yang telah disepakati atau disetujui oleh calon suami maupun calon isteri tetapi
ternyata ada pihak lain yang keberatan, pihak lain dapat dipaham, yaitu wali nikah.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut maka ditelaah lebih lanjut
penyelesaian perselisihan akibat adanya wali nasab yang menolak untuk menjadi wali
dalam perkawinan dikaitankan dengan keabsahan perkawinan. Penelaahan ini
nantinya akan dilakukan melalui suatu penelitian dengan judul “Penyelesaian
12Nasrul Azwar,Pengertian Wali Al-Amr dan Problematika, http://id.shvoong.com/, diakses
Sengketa Wali Adhal dan Kaitannya dengan Keabsahan Perkawinan (Studi Analisis
Terhadap Penetapan Nomor 215/Pdt.P/2011/Pengadilan Agama Jakarta Selatan)”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dikemukakan beberapa
permasalahan yang akan dikaji lebih lanjut antara lain sebagai berikut:
1. Apakah yang menjadi faktor penyebab terjadinya waliAdhal ?
2. Bagaimana keabsahan perkawinan jika terjadi wali adhal berdasarkan
penetapan No. 215/Pdt.P/2011/Pengadilan Agama Jakarta Selatan ?
3. Bagaimana status perkawinan yang timbul dari perkawinan waliadhal ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan yang hendak dicapai
dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui yang menjadi faktor penyebab terjadinya waliAdhal
2. Untuk mengetahui keabsahan perkawinan jika terjadi wali adhal berdasarkan
penetapan No. 215/Pdt.P/2011/Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
3. Untuk mengetahui status perkawinan yang timbul dari perkawinan waliadhal.
D. Manfaat Penelitian
Pelaksanaan penelitian ini diharapkan memberi manfaat baik secara teoritis
maupun secara praktis, seperti dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut:
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam ilmu pengetahuan
hukum pada umumnya, dan khususnya hukum perkawinan , terutama
mengenai masalah penyelesaian sengketa wali Adhal dalam pelaksanaan
perkawinan.
2. Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada masyarakat,
khususnya kepada pasangan yang akan melaksanakan perkawinan, agar lebih
mengetahui tentang persyaratan yang hasrus dipenuhi, hak dan kewajibannya
dalam perkawinan dan penyelesaian sengketa wali Adhal dalam pelaksanaan
perkawinan.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil penelusuran dan pemeriksaan yang telah dilakukan baik di
kepustakaan penulisan karya ilmiah Magister Hukum, maupun di Magister
Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, ditemukan dua judul penelitian yang
berkaitan dengan penelitian ini, yaitu :
1. Penelitian oleh Parimpunan Matondang, Nim 992105060/Ilmu Hukum Tahun
2002 dengan judul “Kedudukan Wali Hakim Menurut Undang-undang No. 1
Tahun 1972 dan Penerapannya di Kota Medan, dengan permasalahan antara
lain :
a. Bagaimana kedudukan wali hakim menurut Undang-undang No. 1 Tahun
b. Bagaimana kewenangan wali hakim dalam kewaliannya sebagai wali nikah
dalam hukum Islam dan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 ?
c. Bagaimana peralihan perwalian ke tangan wali hakim menurut
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 ?
2. Penelitian yang dilakukan oleh Marahalim, Nim 057005037/MH/Tahun 2007
dengan judul “Pernikahan dengan Menggunakan Wali Hakim Tinjau dari
Fiqh Islam dan Kompilasi Hukum Islam Indonesia”, dengan permasalahan
antara lain :
a. Bagaimana pengangkatan wali hakim dalam Undang-undang No. 1 Tahun
1974 dan Hukum Islam ?
b. Bagaimana fungsi wali hakim dalam perwaliann ?
c. Bagaimana pertimbangan wali hakim dalam menikahkan seorang yang
memiliki wali nasab serta keabsahan wali hakim dalam pernikahan
tersebut ?
Dari kedua penelitian di atas dilihat dari judul dan permasalahan yang dibahas
maupun kasus yang dibahas tidak ada kesamaan dengan penelitian ini. Dengan
demikian penelitian tentang “Penyelesaian Sengketa Wali Adhal dan Kaitannya
dengan Keabsahan Perkawinan (Studi Analisis Terhadap Penetapan No.
215/Pdt.P/2011/Pengadilan Agama Jakarta Selatan)”, belum pernah dilakukan. Oleh
dapat dipertanggung jawabkan kemurniannya, karena belum ada yang melakukan
penelitian yang sama dengan judul penelitian ini.
F. Kerangka Teori Dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik
atau proses tertentu terjadi,13 dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya
pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.14 Kerangka teori
adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu
kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.15
Apabila dikaitkan dengan judul penelitian dan permasalah yang diteliti dalam
penelitian ini, maka kerangka teori yang dipilih sebagai pisau analisis dalam
penelitian ini adalah teori wali hakim. Dalam agama Islam wali adalah rukun dalam
perkawinan.
Perkawinan tidak dapat berlangsung dengan tindakan atau ucapan perempuan
itu sendiri. Sebab, perwalian merupakan syarat yang harus terpenuhi demi keabsahan
akad nikah. Dan yang mengakadkan haruslah seorang Wali yang berhak. Dasarnya
Firman Allah dalam Surat An-Nur (24) yang artinya “…dan kawinkanlah
orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang-orang-orang yang layak (berkawin) dari
hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.
13M. Hisyam,Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, FE UI, Jakarta, 1996, hal. 203. 14Ibid.,hal. 203
jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah
Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”.16
Wali dalam kaitannya dengan pelaksanaan perkawinan dibedakan menjadi
tiga (3):
a. Wali Nasab, ialah laki-laki yang beragama Islam yang berhubungan darah dengan calon mempelai wanita dari pihak ayah.
b. Wali Hakim, ialah pejabat yang di tunjuk oleh Mentri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya untuk bertindak sebagai wali nikah bagi calon mempelai perempuan yang punya wali.
c. Wali Muhakam, ialah seorang yang beragama Islam di angkat oleh kedua calon suami-isteri untuk bertindak sebagai wali dalam akad nikah.17
Kedudukan wali sangat penting sebagaimana diketahui bahwa yang berhak
menjadi wali nikah terhadap seorang wanita adalah hak bagi wali nasab apabila wali
nasab tidak ada dan wali ghaib juga tidak ada maka perwalian pindah ke tangan wali
hakim. Dalam hal seorang wanita tidak mempunyai wali sama sekali, para fuqaha
telah sepakat tentang kebolehanya menggunakan wali hakim, tetapi hal perkawinan
dengan wali hakim yang disebabkan oleh faktor yang lain, ternyata masih terdapat
perbedaan pendapat.18
Berdasarkan teori di atas, jelaslah bahwa hukum mengatur perilaku manusia
dalam setiap hubungan hukum yang dilakukannya. Tata hukum bertitik tolak dari
pemahaman tentang tanggung jawab manusia dan perlindungan hak-hak manusia
sebagai subjek hukum. Sejak seorang anak dilahirkan hidup adalah subjek hukum.
16Muhammad bagir,Fiqih Praktis Menurut Al-Quran As-Sunah Pendapat Para Ulama,Mizan
Media Utama, Bandung, 2002, hal.57.
17Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, Yogyakarta,
Liberty, 1982, hal. 46.
18Badan Penasehat Perkawinan, Perselisihan dan Perceraian (BP4), Buku Pintar Keluarga
Anak dilahirkan karena adanya perkawinan orang tuanya oleh karena itu dalam
pelaksanaan perkawinan seorang anak juga membutuhkan adanya orang tua yang
bertindak sebagai walinya.
Di dalam masyarakat adat, perkawinan adalah suatu rangkaian upacara yang
merubah status laki-laki menjadi suami dan dari seorang perempuan menjadi isteri.
Di kalangan masyarakat adat yang masih kuat prinsip kekerabatannya berdasarkan
ikatan keturunan, mempertahankan silsilah dan kedudukan sosial yang bersangkutan.
Di samping itu ada kalanya suatu perkawinan merupakan sarana untuk memperbaiki
hubungan kekerabatan yang telah menjauh atau retak, atau merupakan sarana
pendekatan dan perdamaian kerabat.19
Suatu perkawinan dapat dilaksanakan jika memenuhi beberapa persyaratan
yang berupa syarat material dan formal. Syarat materil/subyektif yaitu syarat-syarat
yang melekat pada pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan, yang diatur dalam
Pasal 6 sampai dengan Pasal 11 UU Perkawinan, terdiri dari :
1. Harus didasarkan atas persetujuan kedua belah pihak.
2. Harus mendapat ijin orang tua, apabila calon pengantin belum berumur 21 tahun.
3. Harus sudah mencapai umur 19 (sembilanbelas) tahun bagi pria dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enambelas) tahun.
4. Tidak ada larangan perkawinan.
5. Tidak masih terikat dalam suatu perkawinan kecuali bagi mereka yang agamanya mengijinkan untuk berpoligami.
6. Tidak bercerai untuk kedua kalinya dengan suami atau isteri yang hendak dikawini.
7. Harus telah lewat waktu tunggu/masaiddahbagi janda.
19Soebakti Poesponoto, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta,
Syarat-syarat formal/obyektif adalah syarat tentang tata cara atau prosedur
melangsungkan perkawinan menurut hukum agama dan Undang-undang. Tata cara
melangsungkan perkawinan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975 tentang Ketentuan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
Perkawinan dilakukan setelah adanya kesepakatan antara pihak pria dan pihak
wanita untuk melangsungkan perkawinan. Kemudian keinginan tersebut didaftarkan
dan diumumkan oleh pihak Pegawai Pencatat Nikah dan jika tidak ada keberatan dari
pihak-pihak yang terkait dengan rencana dimaksud, perkawinan dapat dilangsungkan.
Ada tidaknya keberatan dari para pihak terkait keberadaan wali dalam suatu
pernikahan ditunjukkan dengan adanya wali nikah yang hadir guna menikahkan
pasangan dalam suatu perkawinan. Wali dalam pernikahan merupakan unsur penting
dalam suatu perkawinan khususnya bagi mempelai wanita yang akan bertindak untuk
menikahkannya. Hal ini disebabkan karena wali nikah adalah pihak yang bertanggung
jawab atas perkawinan yang dilaksanakan dibawah perwaliannya. Suatu perkawinan
tidak dianggap sah apabila tidak ada wali yang menyerahkan mempelai wanita
kepada mempelai pria dalam proses ijab qabul.20
Jadi ijab dalam perkawinan menurut Hukum Islam adalah wewenang wali
semata-mata, sehingga karena peranan wali yang sangat penting dan apabila wanita
itu tidak mempunyai wali nasab atau wali nasab enggan untuk menikahkan (adhal)
dapat digantikan kedudukannya oleh wali hakim. Hal ini sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 20 Kompilasi hukum Islam yang menentukan bahwa:
(1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakin muslim,aqil dan baligh.
(2) Wali nikah terdiri dari: a. Wali nasab
b. Wali hakim
Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok
yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan
kekerabatan dengan calon mempelai wanita.
1. Kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas yakni ayah, kakek dari pihak
ayah dan seterusnya.
2. Kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah dan
keturunan laki-laki mereka.
3. Kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara
seayah dan keturunan laki-laki mereka.
4. Kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek
dan keturunan laki-laki mereka.
Pelaksanaan perkawinan mengikuti ketentuan dan tata caranya diatur dalam
Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai berikut :
1) Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak perkawinan oleh Pegawai Pencatat.
3) Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilangsungkan di hadapan Pengawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang tua.
Apabila perkawinan akan dilangsungkan oleh kedua belah pihak, Pegawai
Pencatat menyiapkan Akta Nikah dan salinannya dan telah diisi mengenai hal-hal
yang diperlukannya. Hal ini merupakan implementasi dari ketentuan Pasal 12 UU
Perkawinan, yaitu :
1) Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan diwajibkan memberitahukan kehendaknya itu kepada pegawai pencatat perkawinan. 2) Perkawinan dilangsungkan sepuluh hari sejak pengumuman kehendak
perkawinan tersebut.
3) Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum agama atau kepercayaannya. 4) Perkawinan dilakukan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua
orang saksi.
5) Sesaat setelah perkawinan dilangsungkan kedua mempelai menandatangani akta perkawinan. Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh kedua mempelai kemudian ditandatangani oleh dua orang saksi dan pegawai pencatat.
Lebih lanjut ketentuan ini diatur dalam Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor
9 Tahun 1975. Akta nikah atau akta perkawinan memuat hal-hal sebagai berikut :
1) Nama, tanggal, tempat lahir, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman suami isteri. Apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama isteri atau suami tedahulu.
2) Nama, agama/kepercayaan, dan tempat kediaman orang tua mereka. 3) Izin kawin.
4) Dispensasi. 5) Izin Pengadilan. 6) Persetujuan
7) Izin pejabat yang ditunjuk oleh Menhankam/Pangab bagi angkatan bersenjata. 8) Perjanjian perkawinan apabila ada
9) Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, dan tempat kediaman para saksi dan wali nikah bagi yang beragama Islam.
Dengan demikian, Akta Nikah menjadi bukti otentik dari suatu pelaksanaan
perkawinan sehingga dapat menjadi “jaminan hukum” bila terjadi salah seorang
suami atau isteri melakukan suatu tindakan yang menyimpang. Suami tidak
memberikan nafkah yang menjadi kewajibannya, sementara kenyataannya ia mampu
atau suami melanggar ketentuan taklik talak yang telah dibaca dan disetujuinya pada
saat melangsukan pernikahan, maka pihak isteri yang dirugikan dapat mengadu dan
mengajukan gugatan perkaranya ke Pengadilan Agama. Demikian pula halnya dalam
hal pelaksanaan perkawinan tidak dapat dilaksanakan akibat keenggaan dari wali
pihak yang berkepentingan dapat dapat mengajukannya ke Pengadilan Agama.
2. Konsepsi
Konsepsi merupakan definisi operasional dari intisari objek penelitian yang
akan dilaksanakan. Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan
perbedaan pengertian dan penafsiran dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu
dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian ini. Oleh
karena itu, dalam penelitian ini, dirumuskan serangkaian kerangka konspsi atau
definisi operasional sebagai berikut :
1. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.21
2. Wali nikah adalah wali yang dalam hal pelaksanaan nikah bertindak sebagai
wali yang menikahkan mempelai wanita.
3. WaliAdhaladalah wali yang enggan mengawinkan perempuan yang berada di
bawah perwaliannya.22Yaitu mereka yang mempunyai wewenang yang sangat
jelas menjadi wali tidak mau melaksanakan tugasnya sebagai wali nikah.
4. Wali hakim adalah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat
yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak
sebagai wali nikah.23
5. Pegawai Pencatat Akta Nikah adalah pegawai pemerintah yang diwajibkan
mencatat akta nikah dengan memenuhi ketentuan batasan umur dan
kedewasaan dalam melakukan perkawinan.
6. Keabsahan Perkawinan adalah suatu keadaan dimana pelaksanaan suatu
perkawinan sah oleh hukum dengan memenuhi segala ketentuan menurut
Undang-undang No. 1 Tahun 1974.
7. Sahnya suatu perkawinan menurut Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974
ialah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu.
8. Penyelesaian adalah proses, cara, perbuatan, menyelesaikan atau pemecahan.24
9. Pengadilan Agama adalah badan peradilan khusus untuk orang yang beragama
Islam yang memeriksa dan memutus perkara perdata tertentu sesuai dengan
peraturan perUndang-undangan yang berlaku.25
G. Metode Penelitian 1. Sifat Penelitian
Penelitian ini dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten.
Metodologis yang dimaksud berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu,
sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, dan konsisten berarti tidak adanya hal-hal
22
Marahalim Harahap,Pernikahan dengan Menggunakan Wali Hakim,hal. 70 23
Departemen Agama,Kompilasi Hukum Islam, hal. 6 24
yang bertentangan dengan suatu kerangka tertentu”.26Penelitian ini bersifat deskriptif
analitis, karena menggambarkan gejala-gejala, fakta, aspek-aspek serta upaya hukum
diarahkan untuk mengetahui secara lebih mendalam serta menganalisa penyelesaian
sengketa waliadhaldan kaitannya dengan keabsahan perkawinan.
2. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai penelitian dengan metode
penulisan dengan pendekatan yuridis normatif (penelitian hukum normatif), yang
dilengkapi pula dengan yuridis empiris guna melihat penerapan ketentuan yang
diteliti di lapangan yaitu dengan menganalisis salah satu penetapan pengadilan
tentang waliadhal. Pendekatan yuridis normatif disebut demikian karena penelitian
ini merupakan penelitian kepustakaan atau penelitian dokumen yang ditujukan atau
dilakukan hanya pada peraturan perUndang-undangan yang relevan dengan
permasalahan yang diteliti atau dengan perkataan lain melihat hukum dari aspek
normatif.
3. Sumber data
Sumber data primer berasal dari penelitian kepustakaan (library research)
yang diperoleh dari :
1. Bahan hukum primer, yang terdiri dari :
a. Peraturan perUndang-undangan
b. Teori hukum perkawinan dan hukum keluarga
2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang berkaitan dengan bahan
hukum primer, misalnya buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan,
tulisan para ahli, makalah, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya
yang relevan dengan peneltian ini.
3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang bersifat menunjang bahan
hukum primer dan sekunder untuk memberikan informasi tentang bahan
hukum sekunder, misalnya majalah, surat kabar, kamus hukum, kamus bahasa
Indonesia.
Sebagai data sekunder juga dilakukan penelitian lapangan (field research)
dimaksudkan untuk memperoleh data sekunder yang tidak diperoleh dalam penelitian
untuk mendukung analisis permasalahan yang telah dirumuskan. Data sekunder
tersebut diperoleh dari register perkara Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
4. Metode dan Alat Pengumpulan Data
Dalam penelitian tesis ini dipergunakan tehnik pengumpulan data sebagai
berikut :
a. Penelitian kepustakaan (library research)
Pengumpulan data dilakukan dengan cara menghimpun data yang berasal dari
kepustakaan, berupa buku-buku atau literatur, jurnal ilmiah, majalah-majalah,
peraturan perUndang-undangan yang ada hubungannya dengan masalah yang
diteliti serta tulisan-tulisan yang terkait dengan pembatalan perkawinan.
Metode yang digunakan dalam penelitian lapangan yaitu dengan menganalisis
kasus/perkara dalam penetapan pengadilan, di samping melakukan wawancara
dengan narasumber yang berkompeten dengan objek penelitian.
5. Analisis Data
Dalam analisis data dilakukan penyusunan data primer dan data sekunder
secara sistematis. Selanjutnya data primer dan data sekunder yang telah disusun
secara sistematis dianalisis dengan menggunakan metode deduktif dan induktif.
Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan
sedangkan metode induktif dilakukan dengan menterjemahkan berbagai sumber yang
berhubungan dengan permasalahan yang dibahas dalam tesis ini sehingga diperoleh
kesimpulan sesuai dengan tujuan yang telah dirumuskan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa analisis data akan dilakukan dengan
pendekatan kualitatif dengan kalimat yang sistematis untuk memperoleh kesimpulan