2.1. Sistem Biometrika
2.1.1. Pengertian Sistem Biometrika
Biometrik berasal dari bahasa Yunani bios yang artinya hidup dan metron yang
artinya mengukur adalah studi tentang metode otomatis untuk mengenali manusia
berdasarkan satu atau lebih bagian tubuh manusia atau kelakuan dari manusia itu
sendiri yang memiliki keunikan. Dalam dunia teknologi informasi, biometrik relevan
dengan teknologi yang digunakan utnuk menganalisa fisik dan kelakuan manusia
untuk autentifikasi (Putra, 2010). Contohnya dalam pengenalan fisik manusia yaitu
dengan pengenalan sidik jari, retina, iris, pola dari wajah (facial patterns), tanda tangan dan cara mengetik (typing patterns). Dengan suara adalah kombinasi dari dua yaitu pengenalan fisik dan kelakuannya Dalam teknologi terkini ditawarkan adanya
beberapa kemudahan, seperti akses, pelayanan, dan sistem informasi. Kemudahan
tersebut dapat dirasakan seperti pada mekanisme pengambilan uang melalui ATM
(Anjungan Tunai Mandiri), mekanisme memperoleh sistem informasi (internet).
Mekanisme tersebut diperlukan adanya jaminan kerahasiaan sehingga tidak dapat
ditiru oleh user yang bukan berhak. Salah satu alat untuk menjamin bahwa yang
berhak mendapatkan layanan itu harus memberikan data identifikasi. Sistem
identifikasi tersebut bersifat otomatis dengan memberikan inputan identifikasi
personal. Saat ini terdapat beragam jenis aplikasi sistem keamanan yang dapat
mengindentifikasi dan memverifikasi individu dengan baik. Dua pendekatan
tradisional untuk pengenalan individu yang dikenal selama ini adalah pendekatan
seperti kartu magnetik untuk masuk ke dalam sistem keamanan. Kedua pendekatan di
atas memiliki kelemahan, diantaranya : individu yang bersangkutan seringkali lupa
dengan kata kuncinya atau kartu magnetik yang menjadi kunci masuk ke dalam sistem
keamanan hilang atau dicuri orang. Pengenalan Biometrik merupakan alternatif
pengenalan individu selain pendekatan tradisional di atas, atribut biometrik yang
diturunkan oleh seorang individu tidak mungkin terlupakan atau hilang dicuri. Wajah,
sidik jari, telapak tangan, iris atau retina mata merupakan contoh karakteristik
fisiologis yang menjadi penanda atau ciri individu.
Pengertian pengenalan secara otomatis pada definisi biometrik adalah dengan
menggunakan teknologi (computer), pengenalan terhadap identitas seseorang dapat dilakukan secara waktu nyata (realtime), tidak membutuhkan waktu berjam-jam atau berhari-hari untuk proses pengenalan tersebut (Sutoyo, 2009). Sistem akan mencari
dan mencocokkan identitas seseorang dengan suatu basis data, acuan yang telah
disiapkan sebelumnya melalui proses pendaftaran. Contohnya sistem absensi
menggunakan sidik jari. Sistem biometrika akan melakukan pengenalan secara
otomatis atas identitas seseorang berdasarkan suatu ciri biometrika yang telah
disimpan dalam database.
Secara umum terdapat dua model sistem biometrika, yaitu:
1) Sistem Verifikasi
Sistem verifikasi bertujuan untuk menerima atau menolak identitas yang telah
diklaim oleh seseorang.
2) Sistem Identifikasi
Sistem identifikasi bertujuan untuk memecahkan identitas seseorang.
Pengguna tidak dapat memberikan klaim atau memberikan klaim negatif untuk
identitas yang telah terdaftar.
Penggunaan biometrik untuk sistem pengenalan memiliki beberapa
keunggulan dibanding sistem konvensional (penggunaan password, PIN, kartu, dan kunci), di antaranya (Putra, 2010):
1) Non-repudation: suatu sistem yang menggunakan teknologi biometrik untuk melakukan suatu akses, penggunaanya tidak akan menyangkal bahwa bukan
password atau PIN. Pengguna masih dapat menyangkal atas transaksi yang dilakukanya, karena PIN atau password bisa dipakai bersama-sama.
2) Keamanan (security): sistem berbasis password dapat diserang menggunakan metode atau algoritma brute force, sedangkan sistem biometrik tidak dapat diserang dengan cara ini, karena sistem biometrika membutuhkan kehadiran
pengguna secara langsung pada proses pengenalan.
3) Penyaringan (screening) : proses penyaringan untuk mengatasi seseorang yang menggunakan banyak identitas, seperti teroris yang dapat menggunakan lebih
dari satu paspor untuk memasuki satu negara. Sebelum menambahkan identitas
seseorang ke sistem, perlu dipastikan terlebih dahulu bahwa identitas orang
tersebut belum terdaftar sebelumnya. Untuk mengatasi masalah tersebut maka
diperlukan proses penyaringan identitas yang mana sistem konvensional tidak
dapat melakukanya. Biometrika mampu menghasilkan atau menyaring
beberapa informasi sidik jari atau wajah yang mirip dengan sidik jari atau
wajah yang dicari.
2.2. Metode Viola – Jones
Metode Viola-Jones merupakan metode pendeteksian obyek yang memiliki tingkat keakuratan yang cukup tinggi yaitu sekitar 93,7 % dengan kecepatan 15 kali lebih
cepat daripada detektor Rowley Baluja-Kanade dan kurang lebih 600 kali lebih cepat
daripada detektor Schneiderman-Kanade. Metode ini, diusulkan oleh Paul Viola dan
Michael Jones pada tahun 2001 (Viola, 2004). Metode Viola-Jones menggabungkan empat kunci utama yaitu Haar Like Feature, Integral Image, Adaboost learning dan
Cascade classifier. Haar Like Feature yaitu selisih dari jumlah piksel dari daerah di dalam persegi panjang. Contoh Haar Like Feature disajikan dalam Gambar 2.1.
Nilai Haar Like Feature diperoleh dari selisih jumlah nilai piksel daerah gelap dengan jumlah nilai piksel daerah terang:
F Harr = ∑ F white - ∑ F Black (2.1)
F Harr = Nilai fitur total
∑ F white = Nilai fitur pada daerah terang
∑ F Black = Nilai fitur pada daerah gelap
Setiap Haar-Like Feature terdiri dari gabungan kotak-kotak hitam dan putih.
Ada tiga tipe kotak feature dalam Haar:
a. Tipe two-rectangle feature (horizontal, vertikal) b. Tipe three-rectanglefeature
c. Tipe four-rectanglefeature
Gambar 2.2. Variasi Fitur pada Haar (LienHart et al, 2002)
Integral Image yaitu suatu teknik untuk menghitung nilai fitur secara cepat dengan mengubah nilai dari setiap piksel menjadi suatu representasi citra baru, sebagaimana
disajikan dalam Gambar 2.3.
Gambar 2.3. Integral image (x,y) (Viola, 2004)
Berdasarkan Gambar 2.3, citra integral pada titik (x,y) (ii(x,y)) dapat dicari
menggunakan persamaan (2.2):
ii(x,y) =∑x’ ≤ x, y’ ≤ yi(x’,y’) (2.2) Keterangan
ii(x,y) = Citra integral pada lokasi x,y
i(x’,y’)= nilai piksel pada citra asli
Perhitungan nilai dari suatu fitur dapat dilakukan secara cepat dengan menghitung
nilai citra integral pada empat buah titik sebagaimana disajikan dalam Gambar 2.4.
Gambar 2.4. Perhitungan Nilai Fitur (Viola, 2004)
Jika nilai integral image titik 1 adalah A, titik 2 adalah A+B, titik 3 adalah A+C, dan di titik 4 adalah A+B+C+D, maka jumlah piksel di daerah D dapat diketahui dengan
cara 4+1 – (2+3).
Algoritma Adaboost learning, digunakan untuk meningkatkan kinerja klasifikasi dengan pembelajaran sederhana untuk menggabungkan banyak classifier lemah menjadi satu classifier kuat. Classifier lemah adalah suatu jawaban benar dengan tingkat kebenaran yang kurang akurat. Sebuah classifier lemah dinyatakan:
Hj (x) = {1,𝑗𝑖𝑘𝑎 𝑝𝑗𝑓𝑗(𝑥)<𝑝𝑗0𝑗(𝑥)
0,𝑙𝑎𝑖𝑛𝑛𝑦𝑎 (2.3)
Keterangan :
Hj(x) = adalah klasifikasi lemah
pj = adalah parity ke j
qj = adalah threshold ke j
Langkah-langkah untuk mendapatkan sebuah classifier kuat dinyatakan dalam suatu algoritma sebagai berikut :
1. Diberikan contoh gambar (x1,y1), … (xn,yn) dimana yi= 0 untuk contoh positif
dan yi= 1 untuk contoh negatif
2. Inisialisasi bobot yi,1 = 1 𝑚′
1
2𝑙;m dan l adalah jumlah negatif dan positif
3. Untuk t=1,…,T
Menormalkan bobot sehingga wt adalah distribusi probabilitas
Wt,I
𝑤𝑡,𝑖
∑ =1𝑛𝑗 𝑤𝑡,𝑖
(2.4)
Untuk setiap fitur, j melatih classifier hj, untuk setiap fitur tunggal
Kesalahan (єj) dievaluasi dengan bobot wt
Є
j =∑ 𝑤
𝑖 𝑖|ℎ𝑗 (𝑥𝑖) − 𝑦𝑖|
(2.5) Pilih classifier ht dengan eror terkecil dimanaei = 0 untuk xi adalah klasifikasi
benar, dan ei= 1 untuk yang lain.
Perbaharui bobot :
Wt+1,i =Wt,i𝛽𝑡1−𝑒𝑖 (2.6)
Dimana βt = є𝑡
1−є𝑡
(2.7)
Didapatkan sebuah Classifier kuat yaitu
Hj (x) = {1,∑ ∝𝑡ℎ𝑡(𝑥)≥ 1 2∑𝑇𝑡=1∝𝑡 𝑇
𝑡=1
𝑙𝑎𝑖𝑛𝑛𝑦𝑎 (2.8)
dimana αt = log 𝛽𝑡1
Cascade classifier adalah sebuah metode untuk mengkombinasikan classifier yang kompleks dalam sebuah struktur bertingkat yang dapat meningkatkan kecepatan
pendeteksian obyek dengan memfokuskan pada daerah citra yang berpeluang saja.
True True True
….
False False False
Gambar 2.5. Cascade Clasifier (Dwiprasetyo, 2012)
Gambar 2.5 menjelaskan proses penyeleksian keberadaan obyek. Di asumsikan suatu
sub image di evaluasi oleh classifier pertama dan berhasil melewati classifier tersebut, hal ini mengindikasikan sub image berpotensi terkandung obyek dan dilanjutkan pada
classifier ke dua sampai dengan ke-n, jika berhasil melewati keseluruhan classifier,
maka disimpulkan terdapat obyek yang dideteksi. Jika tidak, proses evaluasi tidak
dilanjutkan ke classifier berikutnya dan disimpulkan tidak terdapat obyek.
2.3. OpenCV (Intel® Open Source Computer Vision Library)
OpenCV merupakan singkatan dari Intel Open Source Computer Vision Library yang sekurang-kurangnya terdiri dari 300 fungsi-fungsi C, bahkan bisa lebih. Software ini gratis, dapat digunakan dalam rangka komersil maupun non komersil, tanpa harus
membayar lisensi ke intel (Santoso H, 2013). OpenCV dapat beroperasi pada
komputer berbasis Windows ataupun Linux. Library OpenCV adalah suatu cara
penerapan bagi komunitas open source vision yang sangat membantu dalam kesempatan meng-update penerapan computer vision sejalan dengan pertumbuhan PC (personal computer) yang terus berkembang. Software ini menyediakan sejumlah fungsi-fungsi image processing, seperti halnya dengan fungsi-fungsi analisis gambar dan pola.
Beberapa contoh aplikasi dari OpenCV adalah pada Human-Computer Interaction (interaksi manusia komputer); Object Indentification (Identifikasi Objek), Segmentation (segmentasi) dan Recognition (pengenalan); Face Recognition
(pengenalan wajah); Gesture Recognition (pengenalan gerak isyarat), Motion Tracking (penjajakan gerakan), Ego Motion (gerakan ego), dan Motion Understanding
Sub Image Object
Non Object
(pemahaman gerakan); Structure From Motion (gerakan dari struktur); dan Mobile Robotics (robot-robot yang bergerak).
Pengenalan wajah pada OpenCV menggunakan metode yang disebutkan oleh
metode Viola-Jones (Viola, 2001), juga disebut sebagai Haar cascade classifier. Pendekatan ini untuk mendeteksi objek dalam gambar dengan menggabungkan empat
konsep yaitu:
a. Segi empat sederhana, disebut dengan Haar feature.
b. Sebuah Integral gambar untuk mempercepat menemukan feature. c. Metode AdaBoost machine-learning.
d. Klasifikasi bertingkat untuk menyatukan banyaknya feature secara efesien.
Bentuk yang Viola dan Jones gunakan adalah berdasarkan Haar wavelets. clasifikasi ini menggunakan gelombang segiempat tunggal (satu interval tinggi dan yang satunya interval rendah) dalam dua dimensi, gelombang persegi adalah pasangan
dari segi empat yang berdekatan satu putih yang satunya hitam seperti pada Gambar
2.6.
Gambar 2.6. Klasifikasi Haar digunakan dalam OpenCV (Santoso H, 2013)
Sebelum melakukan pengenalan, gambar wajah didapat terlebih dahulu
sebelum di proses. Hal ini memungkinkan untuk mendapatkan sebuah hasil yang
benar dalam sebuah gambar kurang dari 10%. Hal ini sangat penting dilakukan
beberapa teknik kedalam standarisasi gambar. Banyak algoritma pengenalan wajah
sangat sensitif terhadap kondisi cahaya. Sama halnya dengan model rambut,
dandanan, perputaran sudut, ukuran dan emosi yang dapat mempengaruhi proses
bekerja dengan gambar skala keabu-abuan. Langkah yang penting untuk mengambil
gambar sebelum di proses adalah sebagai berikut:
a. Gambar wajah di potong dan ukurannya disesuaikan.
b. Gambar Gambar di rubah ke skala ke abu-abuan
c. Histogram equalization
Pemrosesan gambar wajah adalah langkah berikutnya setelah gambar di
perbaiki. Hal ini menghasilkan Eigenface pada sebuah gambar. OpenCV dengan
sebuah fungsi operasi PCA, walaupun butuh sebuah database (set training) dari sebuah gambar untuk di ketahui bagaimana pengenalan setiap orang. PCA merubah
semua pembelajaran gambar kedalam kumpulan dari Eigenface yang mewakili
perbedaan antara gambar pembelajaran dan rata-rata gambar wajah (Irianto, 2010).
2.3.1. Teknik Background Subtraction dan Frame Differencing
Yang dimaksud background adalah sejumlah piksel-piksel gambar yang diam dan tidak bergerak didepan kamera. Model background yang paling sederhana meng-asumsikan bahwa seluruh kecerahan piksel background berubah-ubah secara bebas, tergantung pada distribusi normalnya. Karakteristik background dapat dihitung dengan mengakumulasi beberapa jumlah frame sehingga akan menemukan jumlah
nilai-nilai piksel dalam lokasi s (x,y) dan jumlah square-square q (x,y) yang memiliki nilai untuk setiap lokasi piksel (Triatmoko, 2014). Sedangkan foreground adalah semua objek yang ada selain background dan biasanya foreground ini ada setelah didapatkannya background. Background subtraction merupakan salah satu tugas penting yang pertama kali dikerjakan pada aplikasi computer vision. Output dari
background subtraction biasanya adalah inputan yang akan diproses pada tingkat yang lebih lanjut lagi seperti men-tracking objek yang teridentifikasi. Kualitas
background subtraction umumnya tergantung pada teknik pemodelan background yang digunakan untuk mengambil background dari suatu layar kamera. Background subtraction biasanya digunakan pada teknik segmentasi objek yang dikehendaki dari suatu layar, dan sering diaplikasikan untuk sistem pengawasan. Tujuan dari
sebagai perbedaan yang ada antara frame sekarang dan gambar background dari layar statik. Suatu piksel dikatakan sebagai foreground jika:
|Frame i–Background i | > Threshold..(1) (2.9)
2.3.2. Fitur OpenCV
Berikut ini adalah fitur-fitur pada library OpenCV (Bradski, 2008):
1. Manipulasi data gambar (alokasi memori, melepaskan memori, kopi gambar,
setting serta konversi gambar).
2. Image/video I/O (bisa menggunakan camera yang sudah didukung oleh
library ini)
3. Manipulasi matriks dan vector serta terdapat juga routines linear algebra
(products, solvers, eigenvalues, SVD)
4. Image processing dasar (filtering, edge detection, pendeteksian tepi, sampling dan interpolasi, konversi warna, operasi morfologi, histogram, image pyramida)
5. Analisis structural
6. Kalibrasi kamera
7. Pendeteksian gerak
8. Pengenalan objek
9. BasicGUI (Display gambar/video, mouse/keyboardcontrol, scrollbar) 10.Image Labelling (line, conic, polygon, test drawing)
2.4. Pengolahan Citra
2.4.1. Definisi Pengolahan Citra Digital
Citra merupakan istilah lain dari gambar, yang merupakan komponen multimedia
yang memegang peranan sangat penting sebagai bentuk informasi visual. Citra digital
adalah citra hasil digitalisasi dari citra kontinu (analog). Pengolahan citra adalah
pemrosesan citra menjadi citra yang kualitasnya lebih baik, bertujuan agar mudah
diinterpretasi oleh manusia atau mesin (komputer). Beberapa contoh operasi
7
operasi penapisan (filtering), penghasilan tepi objek, penajaman (sharpening), pemberian warna semu (pseudocoloring), dan sebagainya (Sutoyo, 2009).
Citra digital adalah citra yang dapat diolah dengan komputer. Pengolahan citra
digital merupakan sebuah disiplin ilmu yang mempelajari hal-hal yang berkaitan
dengan perbaikan kualitas gambar seperti peningkatan kontras, transformasi warna,
restorasi citra dan transformasi gambar seperti rotasi, translasi, skala, transformasi
geometri. Sebuah citra digital dapat mewakili oleh sebuah matriks yang terdiri dari M
kolom N baris, dimana perpotongan antara kolom dan baris disebut piksel ( piksel =
picture element), yaitu elemen terkecil dari sebuah citra. Piksel mempunyai dua parameter, yaitu koordinat dan intensitas atau warna. Nilai yang terdapat pada
koordinat (x,y) adalah f(x,y), yaitu besar intensitas atau warna dari piksel di titik itu. Oleh sebab itu, sebuah citra digital dapat ditulis dalam bentuk matriks berikut :
f(x,y)=[
𝑓(0,0) 𝑓(0,1) ⋯ 𝑓(0, 𝑀 − 1)
𝑓(1,0) ⋯ ⋯ 𝑓(1, 𝑀 − 1)
⋮ ⋮ ⋱ ⋮
𝑓(𝑁 − 1,0) 𝑓(𝑁 − 1,1) ⋯ 𝑓(𝑁 − 1, 𝑀 − 1)
] (2.10)
Berdasarkan gambaran tersebut, secara matematis citra digital dapat dituliskan
sebagai fungsi f(x,y), dimana harga x (baris) dan y (kolom) merupakan koordinat
posisi dan f(x,y) adalah nilai fungsi pada setiap titik (x,y) yang menyatakan besar
intensitas citra atau tingkat keabuan atau warna dari piksel di titik tersebut (Sutoyo,
2009). Berikut ini pada Gambar 2.7 nilai piksel dari citra objek manusia.
2.4.2. Jenis- Jenis Citra Digital
Berikut jenis-jenis citra digital antara lain :
a) Citra Biner
Citra biner diperoleh melalui proses pemisahan piksel-piksel berdasarkan
derajat keabuan yang dimilikinya. Piksel yang memiliki derajat keabuan lebih
kecil dari nilai batas yang ditentukan akan diberikan nilai 0, sementara piksel
yang memiliki derajat keabuan yang lebih besar dari batas akan diubah
menjadi bernilai 1. Berikut pada Gambar 2.8 contoh citra biner dalam bentuk
biner :
Gambar 2.8. Citra Biner (Andik, 2009)
b) Citra Keabuan(Graysacale)
Citra grayscale adalah citra digital yang setiap pikselnya merupakan sampel tunggal, yaitu informasi intensitas. Citra jenis ini terbentuk hanya dari warna
abu-abu pada tingkatan yang berbeda-beda, mulai dari warna hitam pada
tingkat intensitas terendah hingga warna putih pada tingkat intensitas tertinggi.
Citra ini disebut juga citra hitam putih atau citra monokromatik. Berikut pada
Gambar 2.9 contoh citra dalam bentuk Grayscale :
Gambar 2.9 Citra Keabuan (Graysacale) (Andik, 2009)
c) Citra Warna (True Color)
Setiap piksel pada citra warna mewakili warna yang merupakan kombinasi
untuk mengekspresikan resolusi layer digital, 1 piksel adalah unit terkecil dari
sebuah gambar. Berikut pada Gambar 2.10 contoh citra dalam bentuk RGB:
Gambar 2.10 Citra Warna (True Color) (Andik 2009)
Salah satu format citra digital yang lengkap yaitu citra bitmap atau sering juga
disebut dengan citra raster. Citra bitmap direpresentasikan dalam bentuk matriks atau dipetakkan dengan menggunakan bilangan biner atau sistem bilangan lain. Citra ini
memiliki kelebihan untuk memanipulasi warna, tetapi untuk mengubah objek sulit.
Tampilan bitmap mampu menunjukkan kehalusan gradasi bayangan dan warna dari
sebuah gambar. Oleh karena itu, bitmap merupakan media elektronik yang paling
tepat untuk gambar-gambar dengan perpaduan gradasi warna yang rumit, seperti foto
dan lukisan digital. Citra bitmap biasanya diperoleh dengan cara scanner, kamera digital, video, scan fingerprint dan sebagainya (Sutoyo, 2009).
2.4.3. Elemen-Elemen Citra Digital
Berikut ini adalah elemen-elemen yang terdapat pada citra digital antara lain :
1. Kecerahan (brigthness)
Kecerahan (brigthness) merupakan intensitas cahaya yang dipancarkan piksel dari citra yang dapat ditangkap oleh sistem pengelihatan. Kecerahan pada
sebuah titik (piksel) di dalam citra merupakan intensitas rata-rata dari suatu
area yang melingkupinya.
2. Kontras (contrast)
Kontras (contrast) menyatakan sebaran terang dan gelap dalam sebuah citra. Pada citra yang baik, komposisi gelap dan terang tersebar secara merata.
3. Kontur (contour)
Kontur (contour) adalah keadaan yang ditimbulkan oleh perubahan pada intensitas pada piksel-piksel yang bertetangga. Karena adanya perubahan
4. Warna
Warna sebagai persepsi yang ditangkap sistem visual terhadap panjang
gelombang cahaya yang dipantulkan oleh objek.
5. Bentuk (shape)
Bentuk (shape) adalah properti instrinsik dari objek 3 dimensi, dengan pengertian bahwa bentuk merupakan properti instrinsik utama untuk sistem
visual manusia.
6. Tekstur (texture)
Tekstur (texture) dicirikan sebagai distribusi spasial dari derajat keabuan di dalam sekumpulan piksel-piksel yang bertetangga. Tekstur adalah sifat-sifat
atau karakteristik yang dimiliki oleh suatu daerah yang cukup besar sehingga
secara alami sifat-sifat tersebut dapat berulang. Tekstur adalah keteraturan
pola-pola tertentu yang terbentuk dari susunan piksel-piksel dalam citra digital.
2.4.4. Langkah-Langkah Pengolahan Citra Digital
Basis Pengetahuan
Gambar 2.11. Langkah-langkah pengolahan citra digital (Sutoyo, 2009)
Secara umum, langkah-langkah pengolahan citra digital sebagai berikut :
1) Akuisi citra
Akuisi citra adalah tahap awal untuk mendapatkan citra digital. Tujuan akuisi
citra adalah untuk menentukan data yang diperlukan dan memilih metode
perekaman citra digital. Tahap ini dimulai dari objek yang akan diambil
gambarnya, persiapan alat-alat sampai pada pencitraan. Pencitraan adalah
pemandangan, dan lain-lain) menjadi citra digital. Beberapa alat yang dapat
digunakan untuk pencitraan adalah :
a) Video kamera
b) Kamera digital
c) Kamera konvensional dan konverter analog to digital
d) Scanner
e) Photo sinar-x/ sinar infra merah
Hasil dari akuisi citra ini ditentukan oleh kemampuan sensor untuk
mendigitalisasi sinyal yang terkumpul pada sensor tersebut. Kemampuan
digitalisasi alat ditentukan oleh resolusi alat tersebut.
2) Pre-processing
Tahap ini digunakan untuk menjamin kelancaran pada proses berikutnya.
Hal-hal penting yang dilakukan pada tingkatan ini diantaranya adalah sebagai
berikut :
a) Peningkatan kualitas citra (kontras, brightness, dan lain-lain) b) Menghilangkan noise
c) Perbaikan citra (image restoration) d) Transformasi (image transformation)
e) Menentukan bagian citra yang akan diobeservasi
3) Segmentasi
Tahapan ini digunakan untuk mempartisi citra menjadi bagian-bagian pokok
yang mengandung informasi penting. Misalnya memisahkan antara objek
dengan latar belakang.
4) Representasi dan deskripsi
Dalam hal ini representasi merupakan suatu proses untuk merepresentasikan
suatu wilayah sebagai suatu daftar titik-titik koordinat dalam kurva tertutup,
dengan deskripsi luasan atau perimeternya. Setelah suatu wilayah dapat
direpresentasi, proses selanjutnya adalah melakukan deskripsi citra dengan
cara seleksi ciri (feature extraction and selection). Seleksi ciri bertujuan untuk memilih informasi kuantitatif dari ciri yang ada, yang dapat membedakan
kelas-kelas objek dengan baik, sedangkan ekstraksi ciri bertujuan untuk
mengukur besaran kuantitatif ciri setiap piksel, misalnya rata-rata, standar
5) Pengenalan dan interpretasi
Tahap pengenalan bertujuan untuk memberi label pada sebuah objek yang
informasinya disediakan oleh descriptor, sedangkan tahap interpretasi bertujuan untuk memberi arti atau makna kepada kelompok objek-objek yang
dikenali.
6) Basis pengetahuan
Basis pengetahuan sebagai basis data pengetahuan berguna untuk memandu
operasi dari masing-masing modul proses dan mengkontrol interaksi antara
modul-modul tersebut. Selain itu, basis pengetahuan juga digunakan sebagai
referensi pada proses template matching atau pada pengenalan pola.
2.4.5. Sistem Pencitraan
Pencitraan adalah proses untuk mentransformasi citra analog menjadi citra digital.
Citra analog adalah citra bersifat kontinu, seperti gambar pada televisi, foto yang
tercetak pada kertas foto, hasil dari scan, gambar-gambar yang tersimpan pada kaset
dan lain sebagainya (Sutoyo, 2009). Citra analog tidak dapat direpresentasikan dalam
komputer sehingga tidak dapat diproses pada komputer secara langsung. Oleh sebab
itu, agar citra dapat diproses pada komputer, proses konversi analog ke citra digital
harus dilakukan terlebih dahulu. Dalam penelitian ini alat yang digunakan untuk
pencitraan adalah webcam. Berikut ini Gambar 2.12 contoh proses pencitraan dari
citra analog (citra sidik jari) menjadi citra digital.
Gambar 2.12. Proses Pencitraan Citra Analog Menjadi Citra Digital (Al-Fatta,
2.5. Pra-pemrosesan (Pre-processing)
Teknik pra-pemrosesan digunakan untuk mempersiapkan citra agar dapat
menghasilkan ciri yang lebih baik pada tahap pemisahan ciri terhadap proses
pengenalan pola. Teknik pra-pemrosesan sangat berkaitan dengan pengenalan pola.
Pengenalan pola secara umum merupakan suatu ilmu yang mengklasifikasikan atau
menggambarkan sesuatu berdasarkan pengukuran kuantitatif ciri atau sifat dari objek.
Pola sendiri merupakan suatu entitas yang terdefinisi dan dapat diidentifikasi dan
diberi nama. Salah satu contoh dari pola yaitu sidik jari. Pola dapat merupakan
kumpulan dari hasil pengukuran atau pemantauan dan dapat dinyatakan dalam notasi
vektor atau matriks. (Putra, 2010).
Pra-pemrosesan adalah transformasi input data mentah untuk membantu kemampuan komputasional dan pencari ciri serta untuk mengurangi kesalahan. Pada
pra-pemrosesan, citra yang ditangkap oleh sensor akan dinormalisasi agar citra
menjadi lebih siap untuk diolah pada tahap pemisahan ciri. Kualitas ciri yang
dihasilkan pada proses pemisahan ciri sangat tergantung pada hasil pra-pemrosesan.
Berikut ini merupakan tahap-tahap pra-pemrosesan antara lain :
1. Mengubah citra RGB (Red Green Blue) menjadi beraras keabuan (Grayscale). 2. Segmentasi yaitu proses memisahkan antara wilayah latar belakang dengan
wilayah latar depan.
3. Normalisasi yaitu mengurangi dampak dari derau (noise) pada sensor, yang digunakan untuk menstandarisasi nilai intensitas citra.
2.5.1. Konversi Citra RGB Menjadi Citra Grayscale
Citra RGB (Red Green Blue) / warna dapat diubah menjadi citra grayscale dengan menghitung rata-rata elemen warna Red (Merah), Green (Hijau) dan Blue (Biru) (Santi, 2011). Secara matematis perhitungan sebagai berikut:
Fo (x, y) =𝑓𝑖
𝑅(𝑥,𝑦) + 𝑓
𝑖𝐺(𝑥,𝑦) + 𝑓𝑖𝐵(𝑥,𝑦)
Berikut gambar contoh proses perhitungan konversi citra RGB menjadi grayscale.
Gambar 2.13. Proses Konversi Citra RGB Menjadi Grayscale (Santi, 2011)
2.5.2. Segmentasi
Segmentasi citra bertujuan untuk membagi wilayah-wilayah yang homogen.
Segmentasi merupakan suatu metode yang digunakan untuk mengubah citra input ke dalam citra output berdasarkan atribut yang diambil dari citra tersebut. Segmentasi membagi citra kedalam daerah intensitasnya masing-masing sehingga dapat
membedakan antara objek dengan background-nya. Pembagian ini tergantung terhadap masalah yang akan diselesaikan. Segmentasi harus dihentikan apabila
masing-masing objek telah terisolasi atau terlihat dengan jelas. Tingkat keakurasian
segmentasi tergantung pada tingkat keberhasilan prosedur analisis yang dilakukan.
Algoritma pada segmentasi citra terbagi atas dua macam (Rachmad, 2008), yaitu:
1. Diskontinuitas
Diskontinuitas merupakan pembagian citra berdasarkan perbedaan dalam
2. Similaritas
Similaritas merupakan pembagian citra berdasarkan kesamaan-kesamaan
kriteria yang dimilikinya, contohnya thresholding, region growing, region splitting, dan region merging.
(a) (b)
Gambar 2.14. Proses Pemisahan, (a) Gambar Asli, (b) Hasil Segmentasi (Rachmad, 2008)
Pada Gambar 2.14 merupakan tahap segmentasi, dimana dalam proses ini
adalah proses pemisahan antara objek (citra sidik jari) dengan backgorund-nya.
2.5.2.1.Thresholding (Pengambangan)
Proses pengambangan akan menghasilkan citra biner yaitu citra yang memiliki dua
nilai tingkat keabuan yaitu hitam dan putih (Kumaseh, 2011). Secara umum proses
pengambangan citra grayscale untuk menghasilkan citra biner adalah sebagai berikut:
g(x,y) ={1 𝑗𝑖𝑘𝑎 𝑓(𝑥, 𝑦) ≥ 𝑇
0 𝑗𝑖𝑘𝑎 𝑓(𝑥, 𝑦) < 𝑇} (2.12)
Dengan g (x,y) adalah citra biner dari citra grayscale f (x,y), dan T menyatakan nilai ambang. Nilai T memegang peranan yang sangat penting dalam proses
pengambangan. Kualitas citra biner sangat tergantung terhadap nilai T yang
digunakan.
Terdapat dua jenis pengambangan antara lain pengambangan global (global thresholding) dan pengambangan secara lokal adaptif (locally adaptive thresholding). Pada pengambangan global, seluruh piksel pada citra dikonversikan menjadi hitam
global akan banyak informasi yang hilang karena hanya menggunakan satu nilai T
untuk keseluruhan piksel. Untuk mengatasi masalah ini, dapat digunakan
pengambangan secara lokal adaptif. Pada pengambangan lokal adaptif, suatu citra
dibagi menjadi blok-blok kecil dan kemudian dilakukan pengambangan lokal pada
setiap blok dengan nilai T yang berbeda.
2.5.2.2. Normalisasi
Normalisasi intensitas digunakan untuk mengurangi ketidaksempurnaan citra akibat
adanya derau (noise) maupun ketidakseragaman pencahayaan. Normalisasi juga digunakan untuk menstandarisasi nilai intensitas sebuah citra dari tingkat keabuan
pada piksel citra sidik jari. Proses normalisasi intensitas dilakukan terhadap setiap
piksel pada citra asli (Putra, 2010).
Algoritma proses normalisasi adalah sebagai berikut :
1) Hitung nilai rata-rata untuk setiap sektor pada citra sidik jari input. 2) Hitung nilai varian untuk setiap sektor pada citra sidik jari input. 3) Untuk setiap sektor pada citra sidik jari mengalami proses normalisasi.
Normalisasi dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :
𝑁𝑖(𝑥, 𝑦) =
{
𝑀0+ √𝑉0𝑥{𝐼(𝑥,𝑦)− 𝑀𝑖)
2}
𝑉𝑖 𝑗𝑖𝑘𝑎 𝐼(𝑥, 𝑦) > 𝑀𝑖
𝑀0− √𝑉0𝑥{𝐼(𝑥,𝑦)− 𝑀𝑖)
2}
𝑉𝑖 𝑗𝑖𝑘𝑎 𝐼(𝑥, 𝑦) < 𝑀𝑖
(2.22)
dimana :
Ni (x, y) = citra hasil normalisasi
I(x, y) = citra asal
M0 = varian citra hasil
Mi = varian citra asal
V0x = rata-rata citra hasil
2.6. Ekstraksi Fitur
Ekstraksi fitur (feature extraction) merupakan bagian fundamental dari analisis citra (Putra, 2010). Fitur adalah karakteristik yang unik dari suatu objek. Karakteristik dari
fitur antara lain:
1. Dapat membedakan suatu objek dengan yang lainya (discrimination).
2. Memperlihatkan kompleksitas komputasi dalam memperoleh fitur.
Kompleksitas komputai yang tinggi akan menjadi beban tersendiri dalam
menemukan suatu fitur.
3. Tidak terikat (independence) dalam arti bersifat invarian terhadap berbagai transformasi (rotasi, penskalaan, pergeseran dan sebagainya).
4. Jumlahnya sedikit, karena fitur yang jumlahnya sedikit akan dapat menghemat
waktu komputasi dan ruangan penyimpanan untuk proses selanjutnya (proses
pemanfaatan fitur).
2.6.1. Ciri Berdasarkan Blok
Sebelum menentukan arah orientasi citra sidik jari terlebih dahulu yang dilakukan
adalah membagi citra menjadi blok-blok (Putra, 2010). Terdapat dua model
pembagian blok, yaitu pembagian blok secara tumpang tindih (overlapping) dan pembagian blok yang tidak saling tumpang tindih (non-overlapping). Pada model tumpang tindih, suatu blok dengan blok lain yang saling berdampingan terdapat
sejumlah piksel yang saling tumpang tindih seperti paada Gambar 2.15(a). Pada model
pembagian blok yang tidak tumpang tindih, piksel pada suatu blok dengan blok yang
lain tidak saling tumpang tindih seperti pada Gambar 2.15(b). Dalam penelitian ini
digunakan pembagian blok yang tidak saling tumpang tindih (non-overlapping).
Vektor ciri dari blok dapat dibentuk dengan nilai rata-rata ataupun standar
deviasi dari setiap blok. Nilai standar deviasi dapat dihitung dengan rumus berikut ini:
𝜎 = (𝑀−1∑ (𝑥
𝑖 − 𝜇)2 𝑀
𝑖=1 )2 (2.23)
dimana :
μ = nilai rata-rata, yang dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :
𝜇 = 𝑀−1∑ 𝑥
𝑖 𝑀
𝑖=1 (2.24)
M = jumlah seluruh piksel dalam setiap blok.
x = nilai piksel.
Vektor fitur sidik jari dapat dibentuk dengan cara berikut :
V=(σ1, σ2, σ3 ... σN)
dimana :
σ1= nilai standar deviasi blok ke-i.
N = jumlah dari keseluruhan blok.
2.7. Konsep Pengenalan Wajah
Pengenalan wajah adalah suatu metoda pengenalan yang berorientasi pada wajah.
Pengenalan ini dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu: dikenali atau tidak dikenali,
setelah dilakukan perbandingan dengan pola yang sebelumnya disimpan di dalam
database. Metoda ini juga harus mampu mengenali objek bukan wajah. Perhitungan
model pengenalan wajah memiliki beberapa masalah. Kesulitan muncul ketika wajah
direpresentasikan dalam suatu pola yang berisi informasi unik yang membedakan
dengan wajah yang lain (Robin, 2007).
Metoda pendeteksian wajah memakai dua prosedur, yaitu :
a. Pengenalan kontur wajah dengan mengenali bentuk hidung, mata dan mulut dan
bentuk korelasi diantara keduanya. Karakteristik organ tersebut kemudian
dinyatakan dalam bentuk vektor.
b. Analisis komponen yang prinsipil, berdasarkan informasi dari konsep ini, mencari
perhitungan model terbaik yang menjelaskan bentuk wajah dengan mengutip
informasi yang paling relevan yang terkandung di dalam wajah tersebut.
Dibalik kemudahan mengenali wajah, ada beberapa masalah yang mungkin timbul
a. Perubahan Skala
Citra seseorang dapat direpresentasikan berbeda diakibatkan perbedaan jarak
antara wajah dengan kamera. Semakin dekat jarak maka citra akan semakin besar.
Contoh Gambar 2.16 (b).
b. Perubahan Posisi
Citra seseorang dapat direpresentasikan berbeda diakibatkan perubahan posisi
seseorang ataupun perubahan sudut pengambilan wajah. Contoh Gambar (c).
c. Perubahan Cahaya
Citra seseorang dapat direpresentasikan berbeda diakibatkan perubahan intensitas
cahaya yang terjadi ketika pengambilan citra. Contoh Gambar (d).
d. Perubahan detail dan ekspresi
Citra seseorang dapat direpresentasikan berbeda diakibatkan perubahan detail
seperti adanya janggut, kumis, pemakaian kacamata atau perubahan gaya rambut
selain itu perubahan ekspresi wajah menjadi tertawa, tersenyum, muram,
menangis juga dapat mengakibatkan pada citra yang dapat dilihat pada Gambar
2.16 (e).
Atribut detail citra wajah yang diakibatkan oleh perubahan posisi, cahaya serta detail
dapat dilihat pada Gambar 2.16.
Gambar 2.16. Citra Wajah (Robin, 2007)
Gambar (a) Citra asli, (b) Citra akibat perubahan skala, (c) Citra akibat perubahan
posisi, (d) Citra akibat perubahan cahaya, (e) Citra akibat penambahan detail atau
2.7.1. Proses Umum Pengenalan Wajah
Proses pengenalan wajah secara umum (Robin, 2007) adalah terdiri dari :
a. Acquisition module, merupakan blok input dari proses pengenalan wajah, sumbernya dapat berasal dari kamera ataupun file citra.
b. Pre-processing module, merupakan proses penyesuaian citra input yang meliputi, normalisasi ukuran citra, histogram equalization untuk memperbaiki kualitas citra input agar memudahkan proses pengenalan tanpa menghilangkan
informasi utamanya, median filtering untuk menghilangkan noise akibat kamera
atau pergeseran frame, high pass filtering untuk menunjukan bagian tepi dari
citra, background removal untuk menghilangkan background sehingga hanya bagian wajah saja yang diproses dan normalisasi pencahayaan ketika mengambil
citra input. Bagian pre-processing ini untuk menghilangkan masalah yang akan
timbul pada proses pengenalan wajah seperti yang dijelaskan sebelumnya.
c. Feature Extraction module, module ini digunakan untuk mengutip bagian terpenting sebagai suatu vektor yang merepresentasikan wajah dan bersifat unik.
d. Classification module, pada modul ini, dengan bantuan pemisahan pola, fitur wajah yang dibandingkan dengan fitur yang telah tersimpan di database
sehingga dapat diketahui apakah citra wajah tersebut dikenali.
e. Training set, modul ini digunakan selama proses pembelajaran proses pengenalan, semakin kompleks dan sering maka proses pengenalan wajah akan
semakin baik.
2.8. Penelitian Terdahulu
Bagian ini menjelaskan beberapa penelitian terdahulu terkait dengan pendeteksian
objek manusia dengan mendeteksi wajah atau bagian tertentu dari objek manusia. Tabel
penelitian terdahulu ditunjukkan pada tabel 2.1.
Tabel 2.1. Penelitian Terdahulu
Viola-Jones Akurasi pendeteksian yang diperoleh mencapai 86,88%.
Posisi objek juga sangat
berpengaruh terhadap
keakuratan pendeteksian.
Posisi objek yang terbaik
adalah saat objek berada di
depan kamera atau
Tabel 2.2. Penelitian Terdahulu (Lanjutan)
No. Judul Nama Metode Keterangan
4 Pendeteksian
Wajah pada
Citra Digital
Santoso, Hadi.
2013
Adaboost Learning
Hasil pengujian yang di
lakukan adalah semua wajah
pada kondisi di atas terdeteksi
dengan baik.
5 Deteksi Wajah
Manusia pada
Citra Berwarna
dengan
Informasi
Warna Kulit
dan Support Vector Machines
Mayo, M. 2008 Support Vector Machines
Proses klasifikasi SVM masih
memiliki kekurangan dimana
terkadang salah melakukan
deteksi objek wajah, hal ini
dapat diminimalisir dengan
cara meningkatkan