Mohammad Nabiel, Historiografi Blasphemy… 29 HISTORIOGRAFI BLASPHEMY:
PENISTAAN FIGUR-FIGUR SUCI DALAM TIGA AGAMA SAMA<WI<
Mohammad Nabiel* al_madanie@yahoo.com
Abstract
Setiap ajaran, dogma, doktrin suatu agama atau pemikiran tertentu tentunya tidak akan lepas dari adanya penyelewengan dan penistaan baik oleh penganut intern maupun ekstern ajaran tersebut. Dalam tradisi agama samawi, komunitas akademik dari masing-masing agama tersebut memiliki konsep dan ruang lingkup yang berbeda dalam mendefinisikan penistaan agama (blasphemy). Yahudi memandang bahwa sebuah pernyataan dianggap sebagai penistaan jika orang yang bersangkutan menghina kehormatan nama Tuhan. Sedangkan Kristen memiliki cakupan yang lebih luas dari Yahudi. Dalam tradisi Kristen, sebuah pernyataan dianggap penistaan jika mengandung unsur penghinaan terhadap kehormatan Yesus, kitab suci, dan setiap pandangan keagamaan yang menyeleweng jauh dari ajaran Gereja.
Seperti halnya Kristen, Islam pun memiliki konsep dan ruang lingkup yang luas terkait dengan penistaan agama. Penistaan menurut Islam, tidak hanya terbatas pada penistasan Tuhan dan simbol-simbol keagamaan (seperti figur-figur suci seperti nabi, malaikat dan kitab suci al-Quran) namun juga segenap pemikiran yang menyeleweng dari ajaran yang disepakati oleh komunitas akademik Islam itu sendiri. Hukuman bagi penista agama pun berbeda-beda.
Keywords : blasphemy, penistaan, agama, figur
Pendahuluan
Pembahasan kali ini paling tidak, kita bisa menggali lebih jauh mengenai ruang
lingkup blasphemy dalam agama samawi>
serta mempertanyakan sikap atau
pemahaman fragmen ilahy yang berkaitan
dengan penistaan agama. Untuk seterusnya
penulis akan menggunakan kata blasphemy
untuk merujuk segenap pernyataan yang mengandung penghinaan terhadap Tuhan dan juga penistaan terhadap simbol-simbol
keagamaan.1 Saya akan mencoba
menjelaskan kata tersebut dari pengertian yang diberikan agama-agama samawi, Yahudi-Kristen dan Islam dan saya juga
akan memaparkan ruang lingkup
* Dosen tetap STAI Badrus Sholeh Kediri
1 Yang dimaksud dengan simbol-simbol keagamaan
di sini ialah segenap figur-figur suci (Misalnya Jesus, Muh}ammad atau Musa), jejaring teks pewahyuan sakral (seperti al-Quran, Injil, Taurat dan lain-lain), dan seperangkat keyakinan yang ma‘lu>m min al-di>n bi al-d}aru>rah dan sudah disepakati di komunitas akademik dari masing-masing agama bersangkutan.
blasphemy pada masing-masing agama
tersebut.2 Selanjutnya pembahasan akan
difokuskan pada pandangan-pandangan tokoh-tokoh Yahudi-Kristen dan Islam
yang melakukan semacam blasphemy
terhadap Nabi SAW.
Kata blasphemy berasal dari bahasa
Yunani Kuno yang artinya “speaking evil”,
dalam tradisi Yahudi-Kristen kata tersebut
menunjuk pada ungkapan-ungkapan
verbal yang menentang atau menghina nilai-nilai atau kepercayaan yang sakral.
Konsep blasphemy sebenarnya belum
menjadi pengertian yang baku. Konsep ini berkembang dari pengertian tradisi Yahudi-Kristen yang didefinisikan sebagai ungkapan-ungkapan bernada menghina
Tuhan sampai pada
2 Pembatasan pada tiga agama ini bukan berarti
bahwa blasphemy hanya monopoli ketiga agama besar saja tapi juga terjadi pada agama-agama lain.
Blasphemy tidak hanya terbatas pada kasus
30 Jurnal al–Hikmah vol. 5 no. 1 Maret 2017 29~40
pernyataan yang dapat menyulut
sensibilitas emosi masyarakat agama
tertentu. Konsep blasphemy itu beragam
tergantung pada masyarakat yang
memberikan pemaknaan terhadapnya.3
Dalam konteks Yahudi, blasphemy
adalah penghinaan terhadap Tuhan,
kebalikan dari birkat ha-shem (memuji
nama Tuhan). Menurut Leviticus 24. 10-23 hukuman menghina Tuhan ialah hukuman
mati.4 Hukuman diberikan untuk
memberikan efek jera tarhadap para
pelaku blasphemy ini. Tujuannya ialah:
“Punishing the blasphemer may serve any one of several social purposes in addition to setting an example to warn others. Punishment is also supposed to propitiate the offended deities by avenging their honor, thereby averting their wrath in the shape of earthquakes, infertility, lost battles, floods, plagues or crop failures”5
(Memberikan hukuman terhadap pelaku blasphemy memiliki beberapa tujuan sosial tertentu disamping sebagai contoh bagi yang lain. Hukuman juga bertujuan untuk menjaga kehormatan Tuhan agar tidak mengutuk makhluknya dalam bentuk gempa bumi, kemandulan, kekalahan perang, banjir atau bahkan kegagalan akibat blasphemy yang dibiarkan.)
Dalam tradisi Yahudi, objek
blasphemy hanya terkait pada Tuhan saja dan tidak dengan yang lain. Artinya, jika
ungkapan-ungkapan verbal tersebut
bernada menghina simbol-simbol agama selain Tuhan tidak dapat dikatakan sebagai
bentuk blasphemy, “Reviling sacred
customs, beliefs, and institutions, whether of Judaism itself, the Temple, the sacerdotal hierarchy, particular rituals, or holy dogmas did not constitute blasphemy.” 6 Jadi dalam
3 The Encyclopedia of Religion (New York:
Macmillan Library Reference USA, 1986), vol. II, hlm. 239
4 L. W. Leary, Treason Against God: A history, (New
York:Macmillan Library Reference USA, 1981), hlm 56
5 Mircea Eliade et.al, The Encyclopedia of Religion,
(New York: Macmillan Library Reference USA, 1986) vol. II, hlm. 238
6Ibid, vol. I, hlm. 239
konsep di atas Blasphemy dalam tradisi
Yahudi terbatas pada penghinaan terhadap Tuhan.
Konsep blasphemy dalam tradisi
Kristen menemukan basis legitimasinya dari nasehat Musa di surat exodus yang
berbunyi “You shall not revil God”.7 Bentuk
hukuman yang akan diberikan
berdasarkan pada surat Leviticus 24:26 yang menyatakan bahwa seseorang yang menghina Tuhan maka harus dihukum
mati (lempar batu).8
Blasphemy pada tahap selanjutnya sering digunakan dalam tradisi Kristen sementara pada tradisi Yahudi agak mengalami penyempitan ruang lingkup.
Dalam kamus The Oxford of World
Religious, blasphemy - dalam konteks
Kristen - didefinisikan sebagai “Impious or
profane talk, especially against God: and in many legal systems, the offence of reviling God or Jesus Christ or an established church.”9 Objek blasphemy pada definisi ini
ialah pada penistaan atau penghinaan terhadap Tuhan, Yesus Kristus atau Gereja Resmi. Sebuah pernyataan dianggap
sebagai blasphemy jika bertujuan untuk
memberikan rasa kaget atau untuk
menghancurkan institusi moral
masyarakat tertentu dan menyulut
sensibilitas masa.10
Misalnya seperti yang terjadi di Inggris pada tahun 1977, Editor Gay News dituduh sebagai orang yang telah melakukan penistaan terhadap agama Kristen karena mempublikasikan puisi yang menggambarkan Yesus sebagai sosok yang melakukan homoseksual. Kejadian ini
dianggap sebagai persekusi blasphemy
paling sukses sejak tahun 1922, dan ini menunjukan betapa susahnya menerapkan definisi yang sesuai dengan undang-undang untuk menghukumi sebuah
7Ibid, vol. I, hlm. 239 8Ibid, vol 2, hlm. 239
9 John Bowker, The Oxford of Religious World, (New
York: Oxford University Press, 2000), hlm. 152
10 Mircea Eliade et.al, The Encyclopedia of Religion,
Mohammad Nabiel, Historiografi Blasphemy… 31 pernyataan itu dianggap sebagai bentuk
penistaan atau bukan.11
Dalam pemikiran Kristen, cakupan
konsep blasphemy sangatlah luas.
Mengutuk, menantang, menolak dan
menghina Yesus termasuk blasphemy.
Mengatribusikan sifat buruk terhadap setiap ciptaan Tuhan atau Ruh Kudus yang
menggerakkan jiwa Yesus bisa
dikategorikan sebagai blasphemy. Menolak
inkarnasi Yesus atau menganggap Yesus sebagai manusia biasa juga termasuk
blasphemy. Blasphemy menjadi konsep paling sering digunakan oleh Kristen terutama sebagai alat untuk menyerang kelompok lain dalam satu agama. Pada empat abad perkembangannya, Kristen mencoba mendefinisikan dirinya sendiri
dan mengembangkan konsep
keimanannya.
Pada tahap perkembangan
selanjutnya, blasphemy dalam
Deutero-Pauline 2 clement menjadi implisit
maknanya, yaitu segala hal yang “you do
not do what I desire” dan karena itu segala ajaran yang tidak sesuai dengan Gereja Resmi. Gagasan ini menjadi baku dalam tradisi Kristen. Setiap ajaran yang bertentangan dengan kebijakan Gereja
dianggap sebagai blasphemy, semacam
heresy, bahkan doktrin trinitas menjadi kontroversial.
Para teolog Kristen yang
mendiskusikan blasphemy pada masa Bede,
Gratian, Aquinas, Bernard Gui dan Bellarmine tidak jauh berbeda dengan konsep yang didengungkan oleh Augustine.
Aquinas mendefinisikan blasphemy sebagai
pernyataan atau pemikiran yang keliru mengenai Tuhan. Aquinas memahami
blasphemy sebagai konsep ketidak-percayaan yang berakhir pada hukuman mati. Bahkan Ia menganggap semua varian
heresy12 sebagai blasphemy, dan para
11 John Bowker, The Oxford of Religious World, hlm.
153
12 “Seideal apapun ajaran atau doktrin sebuah
madzhab pemikiran, ia akan selalu rentan untuk diselewengkan.” Demikian seperti dikatakan dalam jagad pemikiran. Pepatah ini menemu pijakannya
pembid’ah (heretics) harus dihukum
karena melakukan kejahatan yang lebih parah ketimbang pembunuhan karena penghinaan mereka terhadap Tuhan.
Menurut Aquinas, para pembid‘ah telah
menghina Tuhan dengan cara mengikuti keimanan yang keliru.
Dalam tradisi Kristen Protestan,
konsep blasphemy juga muncul sebagai
bahasa lain dari heresy. Dalam hal ini
heresy sering dikaitkan dengan tuduhan
yang dilekatkan Katolik terhadap
Protestan. Agar berbeda dengan Katolik, Protestan menggunakan istilah lain namun masih dalam pengertian yang sama, yaitu,
blasphemy. Blasphemy ialah klaim negatif dari Protestan terhadap segala bentuk pemikiran yang tidak sesuai dengan pandangan-pandangan ajaran Protestan. Misalnya, Martin Luther menganggap Anabaptisme, Arianisme, Katolikisme, Yahudi dan Islam sebagai sekte atau
kelompok agama yang melakukan
blasphemy karena tidak sesuai dengan ajaran atau doktrin agama yang ia ajarkan.
Karena itu, dalam pandangan Protestan, setiap ajaran yang bertentangan dengan protestan dianggap sebagai bentuk
blasphemy. Semua bentuk penolakan atau ketidakpercayaan pada ajaran kristiani
versi Luther dianggap blasphemy.
Meragukan keputusan Tuhan, menilai keliru ajaran Protestan (oleh Katolik), gagasan politik kaum tani, kelompok sempalan dari Protestan (Zwinglian dissent), dan semua hal yang tidak disukai
Luther termasuk dalam kategori
blasphemy. Luther menyalahgunakan
32 Jurnal al–Hikmah vol. 5 no. 1 Maret 2017 29~40
istilah tersebut sekaligus
mempopulerkannya di kalangan umat Kristiani.
Di Jenewa, Kalvin mengeksekusi mati Michael Servetus, seorang teoretis anti-trinitas pertama, karena menolak anti-trinitas sebagai fondasi keimanan kristiani. Pada abad keenambelas, kasus paling aneh juga terjadi pada Ferenc David, pimpinan Gereja Unitarian di Pensylvania. Jemaatnya, Socinians, membunuhnya karena memiliki keyakinan bahwa umat Kristiani tidak boleh menyembah Yesus.
Selama abad ketujuhbelas, blasphemy
menjadi kejahatan sekular. Negara mulai ikut campur dan mempercayakan Gereja
sebagai lembaga keagamaan yang
bertanggung jawab menginvestigasi dan melakukan persekusi mati bagi setiap
orang yang melakukan blasphemy.
Hubungan antara penistaan agama dan subversi politik dan keyakinan bahwa kesatuan agama Negara akan mendukung stabilitas Negara itu sendiri akan makin memperkuat dominasi dan intervensi Negara dalam melakukan hukuman terhadap segenap pemikiran yang menghina agama. Jadi dalam tahap ini Gereja sudah menggunakan otoritas Negara untuk menghukum para penista agama. Penista agama dianggap sama saja sebagai orang yang melawan hegemoni Negara.
Hukuman mati yang diberikan bagi
para pelaku blasphemy ini pada tahap
selanjutnya berakhir pada abad kedelapan belas ketika dominasi Gereja atas Negara
semakin berkurang dan tumbuhnya civil
society sebagai bentuk perlawanan
terhadap penyatuan Gereja dan Negara.13
Jadi dalam konteks Kristen terkadang
penggunaan kata blasphemy sering
ditukar-balikkan dengan konsep heresy.
Blasphemy digunakan untuk menyerang kelompok lain yang berbeda pandanganya dengan mainstream utama pada agama tersebut. Hal ini seperti tuduhan
Blasphemy yang disematkan oleh para
13 Mircea Eliade et.al, The Encyclopedia of Religion,
vol II, hlm. 240
pendeta Kristen terhadap kelompok
Arianisme.14 Sekte Kristen yang hidup pada
abad ke tiga masehi ini memiliki keyakinan bahwa Yesus itu hanya manusia biasa dan bukan Tuhan. Konsep trinitas juga ditolak dalam pandangan Arianisme ini. Sekte ini
dianggap melakukan heresy sekaligus
blasphemy oleh para penganut Protestan dan Katolik.
Padanan kata yang tepat untuk kata
blasphemy dalam konteks Islam ialah sabb,
menghina Tuhan. Di sini blasphemy
didefinisikan sebagai “The expression of
contempt for God, the Prophet Mohammad, the angels, or the traditional religious explications of revelation constitute the offence.” Ruang lingkup objek blasphemy
dalam Islam lebih luas. Jadi jika Tuhan, Nabi Malaikat atau Ayat-Ayat al-Quran dihina, dinistakan dapat dikategorikan
sebagai bentuk blasphemy.15 Lain halnya
dengan tradisi Yahudi seperti telah disebutkan diatas, konsep Islam mengenai
blasphemy menjangkau hal-hal yang tidak hanya terkait dengan simbol-simbol keagamaan namun juga tafsir yang
Kristen yang muncul pada abad ketiga masehi. Sekte ini dipimpin oleh seorang pendeta yang telah dibaptis Gereja, bernama Arian. Pandangan-pandangannya sangat bertentangan dengan mainstream Gereja pada umumnya sehingga sekte ini dianggap sebagai heretics (pelaku bid’ah). Jika Gereja menyakini Yesus sebagai Tuhan dalam mata rantai Trinitas, Arian menganggap sebaliknya. Yesus dalam pandangannya hanyalah manusia biasa yang tidak patut untuk disembah. Yang patut disembah hanyalah Tuhan semata, Tuhan yang Maha esa. Arianisme juga yang mengilhami gerakan anti-trinitarian pada abad-abad berikutnya dalam perkembangan sejarah pemikiran Kristen. Ben Quash, Heresies and How to Avoid Them, (Massachusets: Hendrickson Publishers, 2007) hlm. 9
15 John Bowker, The Oxford of Religious World, hlm.
152
16 Mircea Eliade et.al, The Encyclopedia of Religion,
Mohammad Nabiel, Historiografi Blasphemy… 33 Dalam bidang Teologi dan Filsafat,
al-Gaza>li> misalnya mengkategorikan kufur
(pada tahap selanjutnya disebut
blasphemy) bagi para filosof dan teolog yang menyakini doktrin bahwa: pertama, Alam ini abadi dan bukan ciptaan Tuhan, kedua, Tuhan tidak mengetahui wujud yang partikular, ketiga, Kebangkitan di hari kiamat itu bukan badan tapi ruh. Meski
al-Gaza>li> menyoroti doktrin lain, ketiga
doktrin inilah yang dapat menjerumuskan seseorang pada kekafiran. Jadi, menurut beliau, bagi siapa saja yang mengajarkan ketiga doktrin filosofis tersebut akan dianggap sebagai kafir dan harus
dibunuh.17
Blasphemy dalam konteks Tasawuf di dalam ajaran Islam terlihat misalnya dalam
paham-paham mistis seperti al-h}ulu>l,
wah}datul wuju>d dan lain-lain yang menyerupakan Tuhan dengan manusia. Pandangan-pandangan tersebut diajarkan
oleh tokoh-tokoh sekaliber al-Ḥalla>j, Ibn
‘Arabi, Ibn Sab‘in dan tokoh-tokoh lainnya.
Al-Ḥalla>j menyatakan bahwa manusia
memiliki atribut-atribut ketuhanan dan demikian juga Tuhan memiliki atribut-atribut kemanusiaan sehingga keduannya bisa dimungkinkan saling menempati. Tuhan bisa menempati salah satu tubuh makhluknya yang sudah bersih dari kotoran duniawi dan demikian bersatu
dengan Tuhan.18
Selain mengakui Tuhan telah
menempati tubuhnya, al-Ḥalla>j juga pernah
mengatakan bahwa ia dapat membuat karya yang mirip gaya bahasanya dengan
al-Quran.19 Tidak hanya itu, ia bahkan
membela Fir’aun dan Iblis dalam melakukan pembangkangan terhadap Tuhan. Dua makhluk terlaknat ini dianggap
17 Abu> H{ami>d al-Ghaza>li, Taha>fut al-Fala>sifah,
(Kairo: Daar al-Kutub al-Arabiyah, 1998), hlm. 256
18 Abdul Fatta>h} Muh}ammad Sayyid, al-Tasawwuf
Baina al-Gaza>li wa Ibn Taymiyyah (Riyaadh: Da>r al-Wafa>, 2000), hal. 153.
19 Al-Khati>b al-Bagda>di, Ta>ri>kh Bagda>d (Kairo:
Mathba’ah al-Sa’a>dah, 1349 H), vol. VII hlm. 121, dan Ibn al-Jauzi, al-Muntadzhim fi> Ta>ri>khi al-Umam wa al-Mulu>k (Kairo: Maktabah al-Anjlu> al-Mishriyyah, 1963)vol. VI, hlm. 162
al-Ḥalla>j sebagai guru dan teman
akrabnya.20 Iblis, menurutnya, ialah
penganut monoteis paling radikal di langit
sehingga ia menyatakan “tidak ada
penghuni langit yang lebih bertauhid daripada Iblis.”21
Ibn Arabi juga menyatakan hal serupa. Beliau berpandangan bahwa manusia dan Tuhan bisa bersatu dalam satu kesatuan. Ajaran ini pada tahap
selanjutnya dinamakan sebagai wah}datul
wuju>d (kesatuan eksistensial),
manunggaling kawula Gusti, penyatuan antara Tuhan dengan makhluknya. Menurutnya, manusia yang sudah suci
dengan menjalani riya>d}ah ibadah dapat
bersatu dengan Tuhan. Penyatuan Tuhan dengan makhluknya itu ibarat Matahari
yang bersatu dengan sinar-sinarnya.22
Tidak hanya itu, bahkan dalam salah satu karyanya, Ibnu Arabi menulis sebuah aforisme-aforisme yang bernada meledek dan bergurau dengan Tuhan. Hal itu dapat
kita temukan pada kitabnya yang terkenal,
Fus}u>s al-H{ikam. Berikut saya kutipkan aforisme tersebut: memuji-Nya, dan Ia menyembahku, aku pun menyembah-Nya.
Dalam keadaan lahir aku menyetujui-Nya, dan dalam keadaan hakiki aku menantang-Nya.
20 Abu> Mans}u>r Al-Hallaaj, al-Ṭawa>si>in (Kairo:
Maktabah al-Jundi, 1970), hlm. 52-52
21 Terkait dengan ini al-H{alla>j menyatakan (Annahu
ma> ka>na fi> ahli al-sama>’i muwah}h}idun mitslu Ibli>s). Lihat Abu Manshu>r al-H{allaaj, al-Ṭawa>si>in (Kairo: Maktabah al-Jundi, 1970), hlm. 42
22 Muh}ammad Abid al-Jabiri, Takwi>n al-‘Aql al-‘Arabi>,
(Markaz Dirasah Wahdah al-‘Arabiyah, 2009) hlm 287.
23 Lihat Muhyiddin Ibn al-Arabi dalam Fus}u>s}
al-Hikam, (Kairo: Daar al-Kutub al-Arabiyah, 2008) hlm
34 Jurnal al–Hikmah vol. 5 no. 1 Maret 2017 29~40
Maka Ia pun mengenaliku namun aku tak mengenalinya lalu aku pun mengenali-Nya, maka aku pun menyaksikan-Nya.
Maka mana mungkin Ia tiada perlu, padahal aku menolong-Nya dan membahagiakan-menolong-Nya?
Untuk inilah kebenaran mewujudkan aku, sebab aku mengisi ilmu-Nya dan mewujudkan-Nya.
Begitulah, sabda telah datang kepada kita, dan telah dinyatakan dalam diriku segala maksudnya.)
Dalam teks tersebut disebutkan bahwa Tuhanlah yang menyembah Ibn al-Arabi sehingga ia pun menyembahnya. Kalau kita dekati secara harfiah, kata-kata
ini mengandung blasphemy terhadap
Tuhan karena mengandaikan Tuhan itu sebagai subjek yang menyembah dan
memuji-muji Ibn al-Arabi. Tuhan
dideskripsikan dalam aforismenya itu sebagai subjek yang selalu “meladeni” keinginan Ibn al-Arabi.
Selain meledek Tuhan, Ibn al-Arabi memiliki pandangan aneh lainnya. Itu dapat kita temukan dalam master-piecenya
yang lain, Futu>h}a>t Makkiyyah. Dalam kitab
ini disebutkan bahwa menurut Ibn al-Arabi, tidak ada perbedaan yang berarti antara Nabi dan Wali. Ibn Arabi memandang sama kedudukan Nabi dan Wali. Kedua-duanya mendapatkan wahyu
dari Tuhan melalui malaikat.
Perbedaannnya hanya terletak pada konten atau isi wahyu tersebut. Jika yang diwahyukan kepada Nabi dan Rasul sifatnya berupa sebuah ajaran agama, Wali mendapatkan wahyu berupa pemahaman, tafsir atau ta’wil yang mendukung ajaran dunia tidak menuai kecaman, kritikan atau bahkan hinaan. Artinya aktor tersebut
24 Muhyiddin Ibn Arabi, Futu>h}a>t Makkiyah, (Kairo:
Daar al-Kutub al-Arabiyah, 2008) vol. V, hlm. 187
sudah tentu menjadi kontroversial di masanya. Ia dihujat, dihina diancam mati dan lain sebagainya karena ide yang digulirkan. Inilah hukum sejaraḥ yang pasti. Karena sejatinya, setiap figur yang memberikan ide, pemikiran atau gagasan yang dapat mengubah dunia pasti akan selalu ditolak dan dieliminir oleh para penentangnya. Dari situ, sejaraḥlah yang akan menguji secara selektif akan kekuatan dan ketangguhan sebuah ide dan gagasan yang dibawa oleh figur tersebut.
Demikianlah yang terjadi pada diri Rasulullah SAW. Beliau adalah figur revolusioner yang mengubah wajah Arab terbelakang dari berbagai peradaban manapun menjadi peradaban yang bermartabat dan dapat menandingi dan mengimbangi peradaban lain. Di awal karirnya sebagai utusan Tuhan, hujatan
terhadap Rasulullah SAW banyak
dilakukan oleh para tokoh Kristen terkemuka, pastor Bede (673-735) menganggap Mamed sebagai seorang
manusia padang pasir yang liar (a wild man
of desert), kasar, cinta perang dan biadab, buta huruf, status sosialnya rendah, bodoh tentang dogma Kristen, tamak kuasa sehingga ia menjadi penguasa dan mengklaim dirinya sebagai seorang Rasul.
Sebutan Mamed, Mawmet, Mahound, Mahoun, Mahun, Mahomet, Mahon, Machmet, yang kesemua kata tersebut
bermakna setan (devil) dan berhala
berkumandang keras khusunya pada
zaman pertengahan. Mahound, yang
mengklaim dirinya Rasul sebenarnya adalah seorang penyembah berhala dan untuk orang-orang Arab bodoh yang
menyembah berhala. Dengan
memanfaatkan kepercayaan umum yang
beredar tentang Mahound di kalangan
Kristen, Paus Urbanus II membakar semangat tentara Salib membantai kaum muslimin ketika terjadinya perang Salib.
Mohammad Nabiel, Historiografi Blasphemy… 35 (1049-1156), seorang kepala biara Cluny
di Perancis, menegaskan bahwa Mahomet
adalah orang jahat (an evil man) dan setan
(satan) karena mengajarkan anti-kristus.25
Hujatan demi hujatan terus berlanjut. Ricoldus de Monte Crucis alias Ricoldo da Monte Croce (1243-1320), seorang biarawan Dominikus, menulis beberapa karya yang menghujat Islam. Menurut Ricoldo, yang mengarang al-Quran dan membuat Islam adalah setan. Ricoldo menyatakan:
“The author is not human but the devil who, by his own malice and by permission of God on account of human sin, has prevailed to initiate the work of Antichrist. The devil, when he SAW the Christian faith greatly increasing in the Orient and idolatry diminishing, and Chosroes the defender of idolatry overcome by Heraclius, who demolished the high tower which Chrosroes had built of gold, silver and precious stones for the worship of the idols, and when he (through a great man and one beloved of God) simply a man – a wise man and the greatest prophet. Indeed, that which was once conceived by the device of the devil, first propagated through Arius, then advanced by that satan, namely Mohammad, will be fulfilled completely, according to the diabolical plan, through the antichrist. For since the Blesse Hilary said that the origin of the antichrist arose in Arius, then what Arius began by denying that Christ was the one true Son of God and calling him a creature, the Antichrist will finally bring to its completion by asserting that he was not only God or the son of God, but not even a good man. This mock wicked Mohammed seems to have been appropriately provided and prepared by the devil as the mean between these two, so that he became both supplement, to certain extent, to Arisu, and the greatest sustenance for the Antichrist, who will allege even worst things before the minds of unbelievers. ” dikutip oleh Patrick O’hair Cate, Each
Other’s Scripture: The Muslims’ Views of the Bible and the Christians’ Views of the Qur’an (Michigan, Ph.D., Thesis at The Hartford Seminary Foundation, 1974), hlm 18, selanjutnya diringkas Each other’s Scripture.
(religion) which was halfway between the Old and New Testaments, in order to deceive the world. For this purpose he chose Muh}ammad .”
“Pengarang bukanlah manusia tetapi setan, yang dengan kejahatannya serta izin Tuhan dengan pertimbangan dosa manusia, telah berhasil untuk memulai karya anti-kristus. Setan tersebut ketika melihat iman Kristiani semakin bertambah besar di Timur dan berhala semakin berkurang, dan Heraclius, yang menghancurkan menara menjulang yang dibangun oleh Chosroes dengan emas, perak dan batu-batu permata untuk menyembah berhala-berhala, mengatasi Chosroes pembela berhala. Dan ketika setan melihat palang salib Yesus diangkat oleh Heraklius, dan tidaklah mungkin lagi untuk membela banyak Tuhan atau menyangkal hukum Musa dan Bible Kristus, yang telah menyebar ke seluruh dunia, Setan tersebut merancang sebuah bentuk hukum (agama) yang pertengahan jalan antara perjanjian lama dan perjanjian baru, dalam rangka untuk menipu dunia. Dengan maksud ini ia memilih Muh}ammad.”26
Terpengaruh dengan pemikiran Ricoldo, Martin Luther (1483-1546) berpendapat setan adalah pengarang
terakhir al-Quran (the devil is the ultimate
author of the Qur’an).27 Pendapat Luther
didasarkan kepada penafsirannya terhadap
Yohannes 8:44.28 Luther berpendapat
bahwa setan adalah seorang pembohong
dan pembunuh (a liar and muderer).
Al-Quran mengajarkan kebohongan dan pembunuhan. Oleh sebab itu, yang mengarang al-Quran (Mahomet) dikontrol oleh setan. Luther menyatakan:
26 Patrick O’Hair Cate, Each Other’s Scripture, hlm.
187.
27 Ibid, hlm. 189.
28 Disebutkan: “Iblislah yang menjadi bapamu dan
kamu ingin melakukan keinginan-keinginan bapamu. Ia adalah pembunuh manusia sejak semula dan tidak hidup dalam kebenaran, sebab di dalam dia tidak ada kebenaran. Apabila ia berkata dusta, ia berkata atas kehendaknya sendiri, sebab ia adalah pendusta dan
bapa segala dusta.” Lihat al-Kitab (Jakarta: Lembaga
36 Jurnal al–Hikmah vol. 5 no. 1 Maret 2017 29~40 “Thus when the spirit of lies had taken
possession of Muh}ammad , and the devil had murdered men’s souls with his Koran and had destroyed the faith of Christians, he had to go on and take the sword and set about to murder their bodies.”
“jadi ketika jiwa pembohong mengontrol Mahomet, dan setan telah membunuh jiwa-jiwa Mahomet dengan al-Quran dan telah menghancurkan keimanan orang-orang Kristen, setan harus terus mengambil pedang dan mulai membunuh tubuh-tubuh mereka.”29
Menurut Luther, Mahomet, al-Quran dan orang-orang Turki semuanya. Luther menyatakan: “namun sebagaimana Paus yang anti kristus, begitu juga orang-orang turki yang merupakan penjelmaan setan” (
but just as the pope is the antichrist, so the turk is the very devil incarnate).
Luther menyebut Tuhan orang-orang Turki adalah setan karena ketika orang-orang Turki berperang, mereka berteriak Allah! Allah! Ini sama halnya dengan tentara-tentara Paus ketika berperang berteriak Ecclesia! Eclesia! Bagi Luther, teriakan gereja berasal dari Setan. Luther
menegaskan, dalam peperangan
sebenarnya Tuhan orang-orang Turki yang lebih banyak bertindak dibanding orang-orang Turki sendiri. Tuhan mereka yang memberi keberanian dan trik, yang mengarahkan pedang, tangan, kuda dan
manusia.30
Luther juga menyatakan: “Mahomet
menafikan bahwa Kristus adalah anak
29 Martin Luther, “On War against Turk”, (New York:
Oxford University Press, 1987) hlm. 180
30 Luther menyatakan:”For they have been taught in
the Kuran that they shall boast constantly with these words, “there is no God but God.” All that is really a device of the devil. For what does it mean to say, “there is no God but God,” without distinguishing one God fro another? The devil, too, is a god, and they honor him with this word: there is no doubt of that. In just the same way the pope’s cry, “eclessia! Eclessia! To be sure, the devils’ eclessia! Therefore I believe that the Turks Allah does more in war than they themselves. He gives the courage and wiles; he guides
sword and fist, horse and man.” Lihat Martin Luther,
“On War against Turk”, (New York: Oxford
University Press, 1987) hlm. 183
Tuhan. Dia menafikan bahwa beliau telah wafat demi dosa-dosa kita. Dia menafikan bahwa iman kepada-Nya mengampunkan dosa serta membersihkan (dari kesalahan). Dia menafikan akan kedatangan kehidupan dan kematiannya. Mungkin ada kebangkitan orang yang mati, namun dia memercayai pengadilan oleh Tuhan. Dia menafikan Ruh Kudus dan hadiah-hadiah-Nya”.
Luther menyimpulkan Mahomet mengajarkan kebohongan, pembunuhan dan tidak menghargai perkawinan. Bohong karena menolak kematian Jesus dan ketuhanan Jesus sebagaimana yang diajarkan Bibel. Mahomet mengajarkan bahwa hukum harus ditegakkan dengan pedang dan keimanan Kristiani perlu dihancurkan, dan Turki adalah pembunuh. Dalam pandangan Luther, Mahomet membolehkan siapa saja untuk beristri sebanyak yang diinginkan. Menurutnya, merupakan kebiasaan seorang laki-laki Turki untuk memiliki sepuluh atau dua puluh istri dan meninggalkan atau menjual siapa yang dia inginkan. Sehingga wanita-wanita Turki dianggap murah yang tidak ada harganya dan dianggap rendah: mereka dibeli dan dijual seperti binatang
ternak. (it is customary among the Turks for
one man to have ten or twenty wives and to desert or sell any whom he will, so that in Turkey women are held immeasurably cheap and are despised; they are bought and sold like cattle).
Nabi Muh}ammad di Mata Umatnya: Kasus Satanic Verses Karya Salman Rushdi
Dalam konteks blasphemy yang
terjadi dalam tubuh intern Islam, saya akan menyebutkan kasus Salman Rushdi yang
menulis novel Satanic Verses yang berisi
cerita mengenai kehidupan Muh}ammad
pada masa jahiliyah, konten kisahnya
terkait dengan bagaimana sosok
Muh}ammad (dalam novel ini disebut
sebagai Mahound) ini memiliki citra
negatif.31
31 Dalam hal ini, saya hanya akan mengulas dari
data-Mohammad Nabiel, Historiografi Blasphemy… 37 Satanic Verses karya Salman Rushdi
sangatlah kontroversial karena
mengisahkan sisi gelap fiktif kehidupan
Muh}ammad. Novel ini beraliran
magis-imaginer dan cukup representatif untuk mewakili segenap bentuk penghinaan
terhadap Nabi Muh}ammad SAW. Di novel
ini, Muh}ammad (Mahound) digambarkan
sebagai figur yang tidak konsisten (inconsistent), sering dimasuki setan (Shaitan encompassed him), disebut sebagai seseorang yang arti namanya
sinonim dengan Iblis (Devil’s synonym),
pecinta seks, sosok abad pertengahan yang
paling menakutkan (the medieval
baby-frightener) bahkan karyanya “al-Quran”
adalah sekumpulan produk setan (satanic
vision). Kadang Nabi diposisikan sebagai
Iblis (Devil) dan segala sifat-sifat buruk
yang dilekatkan kepadanya.32
Dalam ayat-ayat yang diturunkan mengenai rekonsiliasi hubungan antara Mahound dan beberapa tokoh Mekkah Pagan, Nabi salah mendapatkan wahyu yang harusnya dari Gabriel (baca Jibril)
tapi dia mendapatkannya dari Setan.33 Ayat
tersebut berisi mengenai pengakuan dari
agama Muh}ammad terhadap dewa-dewa
yang disembah oleh kaum Musyrik. Ayat ini turun sebagai bentuk dari
keputusasaan Muh}ammad saat mengajak
kaum Musyrik untuk menerima ajaran
tauhid Nabi Muh}ammad SAW.34
data yang memiliki relevansinya dengan penelitian mengenai blasphemy. Tidak secara keseluruhan novel tersebut saya analisis. Hanya cuplikan-cuplikan yang saya anggap relevan terkait dengan penelitian yang akan diulas. Dengan demikian novel bab II Satanic Verses berjudul “Mahound” yang akan mendapat banyak perhatian untuk penelitian ini.
32 Salman Rushdi, Satanic Verses, (New Jersey:
Pinceton University Press,1984), hlm. 97
33Ibid, hlm. 120
34 Ayat ini dalam tradisi kesarjanaan tafsir Islam
sering disebut sebagai ayat ‘al-Ghara>ni>q al-‘Ula>’. Dalam beberapa kitab Sirah Nabi yang ditulis oleh para Ulama, disebutkan asbab nuzul kisah turunnya ayat ghara>ni>q ini. Ayat tersebut merupakan bagian dari surat al-Najm yang berbunyi :”Tilka al-gara>ni>q al ‘ula>. Wa Inna syafa>’atahunna laturtaja>”, yang artinya, “Mereka itulah dewa-dewa yang maha mulia. Sungguh pertolongan mereka itu sangat
Dalam novel tersebut dikisahkan
Mahound (Baca Muh}ammad) sedang
berdakwah di kalangan kaum Musyrik. Sekian lama berdakwah namun yang mengikuti ajakan beliau hanyalah sedikit orang. Saat itu kaum Musyrik masih menganggap Nabi hanyalah penyair dan tukang sihir. Lalu kemudian berkumpullah Nabi dengan para tokoh Musyrik itu, dan dalam novel ini Abu Sufyan disebut sebagai Abu Syimbel yang beristrikan Hind. Saat berkumpul, Nabi membacakan surat yang kita kenal sebagai surat al-Najm. Berikut saya kutip langsung narasi Salman Rushdi dari kisah novel tersebut saat nabi menyampaikan 2 ayat terakhir:
“At this point, without any trace of hesitation or doubt, he recites two further verses.”
“Have you thought upon Lat and Uzza, and manat, the third, the other?”. After the first verse, Hind gets to her feet; the Grandee of Jahilia is already standing very staright. And mahound, with silenced eyes, recites: “They are the exalted birds, and their intercession is desired indeed. (cetak
tebal dari penulis-MN)”35
Pada cuplikan narasi di atas Mahound membacakan ayat-ayat tersebut dengan yakin dan tanpa ragu. Menanyakan audien yang hadir saat itu, dengan pertanyaan yang tidak perlu jawaban. “Tahukah kalian siapa Lata, Uzza dan Manat itu?”, demikian tanya si Mahound. Saat itu Hindun maju ke depan dan mendengar sang Nabi membacakan ayat selanjutnya. Mahound
dengan tenang dan menyakinkan
menjawab pertanyaanya sendiri sekaligus mempertegas sikapnya “Mereka adalah
diharapkan.” Dilihat dari referensi novel yang tertera pada pustaka acuan, terlihat adanya bukti yang ingin dikedepankan soal turunnya ayat-ayat setan ini. Barangkali Salman Rushdi terpengaruh oleh referensi tersebut dan menginspirasi lahirnya novel Satanic Verses. Terkait dengan kisah turunnya ayat tersebut, Lihat Ibn Jari>r al-Thabari, Ta>ri>kh
al-Umam wa al-Mulu>k, (Beirut: Maktabah Hamiysiyah,
2008) vol. VI, hlm. 67
35 Salman Rushdi, Satanic Verses, (New Jersey:
38 Jurnal al–Hikmah vol. 5 no. 1 Maret 2017 29~40 Tuhan-Tuhan yang Maha Agung. Sungguh
Syafa‘at mereka sangatlah diharapkan.” Ayat ini dinarasikan Salman Rushdi
sebagai bentuk ketidakkonsistenan
Muh}ammad dalam mengajarkan sikap
keberagamaan yang monotheis radikal dan bahkan mengkompromikannya dengan ajaran politeisme. Dalam novel ini juga
diceritakan Muh}ammad ditegur oleh
Gebriel soal terjadinya kekeliruan dan kesalahan Nabi saat menyampaikan ayat-ayat dari Tuhan. Akhirnya Nabi mengakui
kesalahan dan kekeliruan dalam
menyampaikan ayat dari Tuhan dan membatalkan sikap kompromi tersebut dengan kaum pagan Arab.
Salman Rushdi bahkan memposisikan Bilal sebagai pengikut Nabi yang lebih
konsisten dengan monotheismenya
ketimbang Nabi sendiri.
Memang sebenarnya di kalangan ulama terjadi perselisihan sengit terkait dengan kebenaran adanya ayat-ayat setan tersebut, perselisihan terkait juga dengan kemungkinan Nabi salah menerima wahyu dan setan bisa saja masuk dalam imaginasi
sang Nabi. Ibn Ḥajar al-Asqala>ni seperti
yang pernah disinyalir oleh Muh}ammad
al-Gaza>li> men-s}ah}i>h}-kan jalur transmisi
periwayatan hadis asba>b al-nuzu>l turunnya
ayat-ayat al-gara>ni>q al-u>la> tersebut. Ibnu
Ḥajar hanya men-s}ah}i>h}-kan jalur
periwayatanya dan tidak dengan konten hadis tersebut. Sebaliknya, Ibn Taimiyyah menolak keras status hadis ini. Dalam studi ilmu hadis terdapat cabang ilmu yang
berkaitan dengan kritik matan, hadis bisa
saja dihukumi sahih karena jalur sanad-nya
yang sahih. Tapi kesahihan sanad saja tidak
cukup untuk menjustifikasi kebenaran
matan. Dalam tradisi kritik matan jika
hadis valid ditinjau dari sanad-nya, belum
tentu s}ah}i>h} secara matan. Karena, bisa saja
terjadi kemungkinan seorang thiqat
melakukan kesalahan dan kekeliruan
dalam periwayatan hadis. Jadi ke-s}ah}i>h}-an
sanad tidak menjamin kesahihan matan.36
36 Nuruddin Itr, Manhaj al-Naqd fi> Ulu>m al-H{adi>th,
(Damaskus:Da>r al-Fikr, 1999), hlm. 276
Abdullah bin Muh}ammad bin S{iddiq
SAW. Dengan merujuk beberapa hadis dan pendapat para ulama terkait dengan
“Syatmu al-Nabi wa Sabbuhu”, beliau berkesimpulan bahwa sudah selayaknya bagi para penghina Nabi untuk dihukum mati tanpa diminta untuk tobat terlebih
dahulu.37
Kesimpulan
Blasphemy dalam konteks Islam banyak terjadi dalam kasus penghinaan, pelecehan dan penistaan terhadap
kepribadian Nabi Muh}ammad SAW. Dari
sekian banyak kutipan yang tertera dalam tulisan ini, maka saya menyimpulkan garis
besar pengertian blasphemy dalam konteks
agama samawi ini sebagai berikut:
Pertama, Blasphemy adalah bentuk
penghinaan, pelecehan dan penistaan terhadap Tuhan dan Simbol-Simbol keagamaan. Simbol-simbol keagamaan tersebut bisa Nabi atau para Malaikat.
Kedua, Blasphemy dalam pengertiannya
yang lebih luas mencakup juga pandangan-pandangan keagamaan yang menyalahi atau bertentangan dengan doktrin yang sudah disepakati secara konsensus oleh komunitas akademik agama bersangkutan. Doktrin agama yang menyeleweng tersebut dalam tradisi Kristen biasanya
disebut dengan heretic dan dalam Islam
disebut dengan bid‘ah, tah}rif, kufr, ilh}a>d,
zindiq dan istilah-istilah lainnya. Ketiga, hukuman yang diberikan bagi para pelaku
blasphemy tergantung pada tingkat
parahnya blasphemy dilakukan. Mayoritas
penganut agama menyatakan harus
dibunuh bagi para pelaku blasphemy pada
para penghina dan penista Tuhan dan juga
simbol-simbol keagamaan seperti
penghinaan terhadap figur-figur suci. Sedangkan untuk penyelewengan terhadap
37 ‘Abd Allah bin Muh}ammad bin Shiddiq, Saif
Mohammad Nabiel, Historiografi Blasphemy… 39 ajaran murni agama tersebut, komunitas
akademik dalam agama berlainan pendapat. Mayoritas memandangnya perlu dispesiikasi terlebih dahulu.
Bibliography
Arabi (al), Muhyiddin Ibn, dalam Fus}u>s} al-Hikam, (Kairo: Daar al-Kutub al-Arabiyah, 2008).
__________, Futu>h}a>t Makkiyah, (Kairo: Daar al-Kutub al-Arabiyah, 2008)
Bagda>di (al), Al-Khati>b, Ta>ri>kh Bagda>d (Kairo: Mathba’ah al-Sa’a>dah, 1349 H)
Bowker, John, The Oxford of Religious World, (New York: Oxford University Press, 2000).
Cate, Patrick O’hair, Each Other’s Scripture: The Muslims’ Views of the Bible and the
Christians’ Views of the Qur’an (Michigan, Ph.D., Thesis at The Hartford Seminary Foundation, 1974)
Ghaza>li (al), Abu> H{ami>d, Taha>fut al-Fala>sifah, (Kairo: Daar al-Kutub al-Arabiyah, 1998). H{allaaj (al), Abu> Mans}u>r, al-Ṭawa>si>in (Kairo: Maktabah al-Jundi, 1970).
Itr, Nuruddin, Manhaj al-Naqd fi> Ulu>m al-H{adi>th, (Damaskus:Da>r al-Fikr, 1999).
Jabiri (al), Muh}ammad Abid, Takwi>n al-‘Aql al-‘Arabi>, (Markaz Dirasah Wahdah
al-‘Arabiyah, 2009).
Jauzi (al), Ibn, al-Muntadzhim fi> Ta>ri>khi al-Umam wa al-Mulu>k (Kairo: Maktabah al-Anjlu>
al-Mishriyyah, 1963)
Kitab (al), (Jakarta: Lembaga alkitab Indonesia, 2000).
Leary, L. W., Treason Against God: A history, (New York:Macmillan Library Reference USA,
1981)
Luther , Martin, “On War against Turk”, (New York: Oxford University Press, 1987)
Mircea Eliade et.al, The Encyclopedia of Religion, (New York: Macmillan Library Reference
USA, 1986).
Quash, Ben, Heresies and How to Avoid Them, (Massachusets: Hendrickson Publishers,
2007)
S}iddiq, Abd Allah bin Muh}ammad bin, al-Saif al-Batta>r li Man Sab al-Nabi> al-Mukhta>r,
(Kuwait: Muassasah Tagli>f wa al-Ṭiba>’ah, 1981)
40 Jurnal al–Hikmah vol. 5 no. 1 Maret 2017 29~40
Sayyid , Abd al-Fatta>h} Muh}ammad, al-Tasawwuf Baina al-Gaza>li wa Ibn Taymiyyah
(Riyaadh: Da>r al-Wafa>, 2000).
Thabari (al), Ibn Jari>r, Ta>ri>kh al-Umam wa al-Mulu>k, (Beirut: Maktabah Hamiysiyah, 2008)
The Encyclopedia of Religion (New York: Macmillan Library Reference USA, 1986)