• Tidak ada hasil yang ditemukan

Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan Jl.Pakuan Ciheuleut PO BOX 105 Bogor Telp.Fax : (0251) 8327768

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan Jl.Pakuan Ciheuleut PO BOX 105 Bogor Telp.Fax : (0251) 8327768"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

Penyusun :

Naning Yuniarti

Penyusun :

Naning Yuniarti

Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan

ISBN 978-979-3539-24-9

Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan

Publ ikasi

Khus us

Sept embe

(2)

Publikasi Khusus

ISBN 978-979-3539-24-9

SERI

Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan

SAWOKECIK

(

Manilkara kauki

L.Dubard)

Penyusun :

Naning Yuniarti

BALAI PENELITIAN TEKNOLOGI PERBENIHAN TANAMAN HUTAN

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN

KEMENTERIAN KEHUTANAN

(3)

Seri Teknologi Perbenihan

Tanaman Hutan

SAWOKECIK

(4)

Seri Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan :

Sawokecik (Manilkara kauki L.Dubard)

Penyusun :

Naning Yuniarti

Penanggung Jawab:

Ir.Syahrul Donie, M.Si

Koordinator :

Surati, S.Hut

Desain dan Tata Letak :

Ida Saidah, S.Kom

ISBN : 978-979-3539-24-9

Dipublikasikan :

Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan

Jl. Pakuan Ciheuleut PO BOX 105 Bogor 16001

(5)

KATA PENGANTAR

Tanaman Sawokecik (Manilkara kauki L.Dubard) merupakan salah satu jenis tanaman

unggulan Propinsi Bali yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan telah banyak digunakan

terutama untuk industri ukiran, bangunan dan perabot rumah tangga. Namun saat ini

keberadaannya sudah semakin langka dan jumlah populasinya semakin menurun.

Upaya penanaman dan pelestarian jenis ini perlu didukung dengan ketersediaan benih yang

berkualitas dan dalam jumlah yang cukup serta penguasaan teknologi perbenihan yang tepat.

Sehubungan dengan hal tersebut Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan

merasa perlu untuk menerbitkan informasi teknik perbenihan tanaman sawokecik dalam

bentuk Seri Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan.

Buku ini disusun secara ringkas namun cukup mengandung informasi yang dibutuhkan untuk

meningkatkan keberhasilan penanaman sawokecik mulai dari deskripsi tanaman, informasi

penyebaran dan tempat tumbuh, serta penanganan benih.

Semoga bermanfaat.

Plt. Kepala Balai,

Ir.Syahrul Donie, M.Si

(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR GAMBAR ... iii

RINGKASAN iv I. PENDAHULUAN ... 1

II. PENYEBARAN DAN KOMPOSISI TEGAKAN SAWOKECIK... 2

III. BIOLOGI SAWOKECIK... 3

IV. KARAKTERISTIK KAYU SAWOKECIK DAN KEGUNAANNYA... 5

V. PERSYARATAN TUMBUH TANAMAN SAWOKECIK... 6

VI. PROSES KELANGKAAN SAWOKECIK... 7

VII. PENANGANGAN BENIH SAWOKECIK... 8

VIII. PENUTUP... 10

(7)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Tanaman Sawokecik (Manilkara kauki L.Dubard)………... 3

Gambar 2. Buah Sawokecik (Manilkara kauki L.Dubard)……….. 4

Gambar 3. Benih dalam buah Sawokecik (Manilkara kauki L.Dubard)…………. 8

(8)

RINGKASAN

Tanaman sawokecik (Manilkara kauki L. Dubard) sangat potensial untuk dikembangkan karena memiliki nilai komersial yang tinggi. Tanaman ini sudah dinyatakan sebagai tanaman yang jarang ditemukan (endangered species) dan untuk mencegah dari kepunahan diperlukan suatu upaya pelestarian yaitu dengan menggalakkan program penanaman jenis ini. Untuk menunjang keberhasilan penanaman sawokecik diperlukan penguasaan teknologi penanganan benihnya, mulai dari benih dihasilkan sampai benih disimpan. Musim berbuah pohon sawokecik adalah sepanjang tahun. Buah mencapai masak fisiologis dicirikan dengan warna kulit buah berwarna kuning, oranye sampai kemerahan, benihnya termasuk ke dalam tipe benih ortodoks, tahan lama disimpan dalam wadah yang kedap udara, dan disimpan di ruang berpendingin dengan suhu 180C. Perlakuan pendahuluan sebelum benih dikecambahkan adalah dengan merendam dalam air dingin selama 4 x 24 jam. Media perkecambahan yang paling sesuai adalah dengan menggunakan media campuran tanah topsoil dan pasir dengan perbandingan 1 : 1/v:v.

(9)

I. PENDAHULUAN

Sawokecik (Manilkara kauki L.Dubard) merupakan jenis pohon penghasil kayu yang

bernilai ekonomi cukup tinggi dan juga merupakan salah satu jenis kayu mewah yang banyak

digunakan oleh pengrajin kayu. Penggunaannya terutama untuk industri ukiran, bangunan dan

perabot rumah tangga. Kayu ini diminati karena sifatnya yang padat, berat, dan kuat,

serat-seratnya halus dan tergolong dalam kelas awet I dan kelas kuat I. Kebutuhan bahan baku

untuk patung di Bali sendiri meningkat menjadi sekitar 6.600 m3 tiap tahun (Prosea, 1994).

Akhir-akhir ini, jumlah kebutuhan akan kayu tersebut cenderung terus meningkat sejalan

dengan perkembangan industri perpatungan dan industri rumah tangga sejenis lainnya.

Perkembangan industri tersebut di atas berakibat langsung pada eksploitasi tegakan

alam sawokecik. Luas hutan alam sawokecik di Indonesia tidak begitu besar dan

penyebarannya sporadis, hal ini membuat semakin terbatasnya populasi sawokecik di alam.

Faktor-faktor alami yang bersifat menghambat regenerasi populasi sawokecik seperti sifat

pertumbuhannya yang lambat serta anakan dari sawokecik yang sangat disukai oleh rusa dan

babi hutan menyebabkan populasi tanaman ini semakin kecil (Sidiyasa, 1998).

Khusus di Indonesia jumlah tanaman sawokecik di alam telah mengalami kemunduran

yang mendekati titik rawan sehingga sawokecik dan ekosistemnya sudah dinyatakan langka,

yang berdasarkan kategori kelangkaan populasi tegakan sawokecik sudah termasuk dalam

kategori ” jarang” (Sidiyasa, 1998).

Upaya menjaga kepunahan suatu spesies khususnya untuk jenis sawokecik, tidak

cukup bergantung pada permudaan alami saja, tetapi harus disertai dengan permudaan buatan

yang relatif mudah diawasi dan dikendalikan. Guna mendukung keberhasilan penanaman,

pengadaan benih dan bibit dalam jumlah besar dengan kualitas baik sangat diperlukan. Benih

bermutu baik, akan dihasilkan apabila teknik penanganan benihnya dikuasai, yaitu mulai dari

proses produksi hingga penyimpanan. Guna menghasilkan bibit yang bermutu tinggi

diperlukan teknik penanganan bibit yang tepat seperti penggunaan media yang sesuai dan

pemberian pupuk yang tepat untuk pertumbuhan bibit.

Mengingat hal tersebut dalam publikasi khusus ini, penulis akan menyampaikan

informasi yang berkaitan dengan teknik penanganan benih jenis sawokecik yang dapat

(10)

II. PENYEBARAN DAN KOMPOSISI TEGAKAN SAWOKECIK

Sawokecik mempunyai daerah penyebaran yang cukup luas yaitu mulai dari Thailand,

Indochina, Burma (Myanmar) sampai Australia bagian utara. Di Indonesia daerah

penyebarannya adalah Sumatera bagian utara, Jawa, Madura, Kangean, Bali, Sulawesi,

Maluku dan Sumbawa (Sidiyasa, 1998).

Sawokecik di alam umumnya membentuk hutan yang dominan, baik secara murni

ataupun dengan jenis tanaman lainnya. Vegetasi sebagai lingkungan biotik mempunyai

peranan penting bagi keberadaan sawokecik. Pernyataan ini didasarkan atas pendapat

beberapa ahli yang menyatakan bahwa faktor vegetasi turut menentukan struktur dan kualitas

tempat tumbuh. Sebaliknya, faktor tempat tumbuh sebagai faktor yang pasif hanya mampu

menerima kehadiran suatu jenis tumbuhan. Suatu jenis akan mampu beradaptasi dengan

kondisi tempat tumbuh tergantung kepada jenis itu sendiri. Kehadiran suatu kelompok jenis

yang tumbuh bersama-sama membentuk satu komunitas mengandung kebutuhan faktor

tumbuh yang sama untuk setiap jenis tersebut (Sidiyasa, 1998).

Berdasarkan pendapat tersebut dan mengingat kehadiran beberapa jenis pohon dengan

asosiasi yang erat dengan sawokecik, maka kehadiran suatu kelompok jenis dengan komposisi

yang serupa pada suatu areal dapat dijadikan satu indikator bahwa areal tersebut besar

kemungkinannya sesuai bagi pertumbuhan sawo kecik.

Beberapa jenis tumbuhan yang umumnya berasosiasi dengan sawokecik di hutan alam

antara lain : walangan (Pterosperum diversifolium), walikukun (Schoutenia ovata), malaman

(Dryepetes ovalis), Pongamia pinnata, kepuh (Sterculia foetida), dan pohon laban (Vitex

pubescens), sedangkan tumbuhan bawah biasanya adalah alang-alang (Imperata cylindrica),

(11)

III. BIOLOGI SAWOKECIK

Menurut Sidiyasa (1998), tanaman sawokecik adalah tumbuhan berupa pohon yang

dapat mencapai tinggi 30 m dan diameter batang lebih dari 100 cm, batangnya berbanir tebal

dengan tinggi banir sampai 1,5 m, serta kulit batang retak-retak dan beralur. Pohon yang

muda biasanya lurus tetapi kadang-kadang berliku dan bercabang. Pohon ini memiliki kulit

yang tipis dan warna kayu umumnya putih kekuningan. Pohon dewasa, umumnya mempunyai

percabangan rendah dengan rata-rata tinggi batang bebas cabang antara 8-10 m dengan

ketebalan kulit sekitar 0,5-2 cm dan diameter sekitar 30-100 cm.

Pohon sawokecik memiliki daun tunggal yang berkelompok di ujung ranting,

berbentuk bulat telur terbalik melebar hingga menjorok lebar, berukuran 5-15 cm x 3-8 cm.

Permukaan atas daun licin, berwarna hijau tua mengkilap, permukaan bawah berbulu halus

menyerupai beludru berwarna kelabu kecoklatan, pangkal melancip, ujungnya membundar

hingga agak bertakik. Tulang daun utama menonjol ke bawah, tulang daun sekunder

berjumlah 9-30 pasang, dengan panjang tangkai daun 1,3-3,7 cm.

(12)

Bunga terletak pada ketiak daun, mengelompok 1 hingga 3 bunga dan termasuk bunga

berkelamin dua. Kelopak bunga dalam dua karangan tiga-tiga, berbentuk segitiga atau bulat

telur meruncing, berwarna putih kekuning-kuningan dengan bintik-bintik warna merah muda,

diameter bunga sekitar 1 cm, panjangnya 4-7 cm. Tabung mahkota pendek, benang sari 6

(enam) yang tertancap pada leher. Bakal buah mempunyai ruang 1-6. Buah berbentuk bulat

telur atau elips dengan panjangnya 2-3 cm (Sidiyasa, 1998).

Buah dapat dimakan, rasanya manis agak sepat dan tidak banyak mengandung air.

Buah yang muda berwarna hijau, semakin tua warna buah berangsur-angsur menjadi kuning,

oranye sampai kemerahan. Buah mengandung biji 1-6 (umumnya 2-3), mengkilap, berukuran

sekitar 2 cm x 1 cm x 0,75 cm (Sidiyasa, 1998).

(13)

IV. KARAKTERISTIK KAYU SAWOKECIK DAN KEGUNAANNYA

Kayu sawokecik sangat awet, sangat padat, berat dan kuat, dengan kerapatan sekitar

1000 kg/m3 dan berat jenis 0,97-1,06, tergolong dalam kelas awet I dan kelas kuat I. Secara

teoritis, dengan berat jenis, kelas awet dan kelas kuat seperti tersebut di atas maka kayu

sawokecik mempunyai keteguhan lengkung mutlak lebih dari 1100 kg/cm3. Kayu sawokecik

mempunyai titik jenuh serat pada pangkal pohon 19,70-31,02%., pada tengah-tengah pohon

20,48-27,88%, rata-rata secara keseluruhan adalah 24,50%. Secara anatomis, dimensi serat

kayu sawokecik menunjukkan panjang 700-2000 m, diameter 10-24 m, tebal dinding sel

1-4 m, lebar lumen 13,4 m, dengan rungkel ratio 0,43 (Prosea, 1994).

Kayu sawokecik tergolong kayu yang keras namun pada kayu yang baru ditebang

sering terjadi pecah hati dan pecah gelang. Kayunya sukar diawetkan karena daya serap

terhadap larutan pengawet sangat rendah yaitu kurang dari 80 kg/m3 kayu. Oleh karena itu

dolok kayu sawokecik dalam penyimpanan tidak perlu dikuliti atau diawetkan. Dolok tersebut

dapat dipakai meskipun telah tersimpan dalam waktu yang lama tanpa kerusakan yang berarti

(Prosea, 1994).

Di Jawa, kayu sawokecik secara lokal dimanfaatkan untuk konstruksi rumah mewah,

terutama untuk tiang pendopo. Di daerah Sulawesi Selatan dan Bima, kayu ini dimanfaatkan

untuk tiang rumah yang tahan hama, awet dan kuat meskipun berdiri di atas lumpur. Selain

itu, kayu ini berguna terutama sebagai bahan baku industri barang kerajinan dan perpatungan.

Kayu ini tahan gesekan, dan kekuatannya seolah-olah seperti baja yang berserat halus dan

lurus serta bertekstur halus, awet dan kuat, sehingga dapat dipergunakan untuk membuat

barang-barang bubutan dan alat-alat penggiling, alat-alat pertukangan, juga untuk membuat

kincir air, baling-baling dan lain-lain (Prosea, 1994).

Jenis pohon ini pernah diusulkan untuk dimanfaatkan sebagai tanaman reboisasi di

daerah yang kondisi tanahnya jelek, berbatu-batu, mengandung pasir, terutama di daerah

(14)

V. PERSYARATAN TUMBUH TANAMAN SAWOKECIK

Tanaman sawokecik tumbuh baik pada daerah-daerah yang memiliki tipe iklim D dan

tipe iklim E yang umumnya terdapat di hutan Purwo dan Banyuwangi (Jawa Timur) serta

daerah Bali Barat dan pada daerah dengan tipe iklim C di Blambangan dan Buton. (Hamzah,

1977). Curah hujan yang dikehendaki bervariasi antara 1286-1866 mm/th, dengan rata-rata

jumlah hari hujan adalah 86,6 hari. Sawokecik tidak membutuhkan persyaratan topografi

tertentu, dapat tumbuh baik pada dataran rendah mulai di permukaan laut sampai pada

ketinggian 300 m dpl dengan bentuk kontur yang datar, landai maupun miring, tetapi tidak

pada lereng yang curam.

Sawokecik dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, namun umumnya pohon ini

tumbuh baik pada tanah yang memiliki aerasi dan draenase yang baik serta tidak tergenang air

dengan pH tanah sekitar 6 (Alrasyid, 1971). Sawokecik umumnya dijumpai pada

daerah-daerah di dekat pantai yang kondisi tanahnya berpasir serta daerah-daerah-daerah-daerah berbatu karang dan

hutan musim (Sidiyasa, 1998).

Di Sembulung (pantai timur Banyuwangi Selatan) sawokecik dijumpai pada jenis

tanah komplek mediteran merah dan litosol dari bahan induk batu kapur (Hamzah, 1977). Di

Purwo Barat, hutan alam sawokecik dijumpai pada jenis tanah regosol kelabu dari bahan

induk endapan pasir, sedangkan di Prapat Agung (Bali Barat) sawokecik dijumpai pada jenis

(15)

VI. PROSES KELANGKAAN SAWOKECIK

Walaupun sawokecik mempunyai daerah penyebaran yang cukup luas, tetapi karena

eksploitasinya yang tidak terkendali menjadikan jenis ini populasinya semakin kecil, yang

berdasarkan kategori kelangkaan dimasukkan dalam kategori ”jarang” (Sidiyasa, 1998).

Masalah menurun dan hilangnya populasi sawokecik disebabkan oleh beberapa faktor,

yaitu :

1. Faktor penyebab kontinyu umumnya bersifat alami, antara lain :

a. Persaingan : persaingan antar jenis di dalam vegetasi hutan yang mendesak

pertumbuhan sawokecik dapat menyebabkan menurunnya populasi sawokecik,

sedangkan persaingan yang berat dapat menyebabkan punahnya jenis ini.

b. Jumlah yang sedikit : jumlah populasi sawokecik yang kecil dalam vegetasi hutan alam

terkadang dapat terdesak akibat persaingan tempat tumbuh.

c. Kerusakan habitat : kerusakan habitat merupakan salah satu penyebab penurunan

populasi sawokecik.

d. Proses penuaan yang tidak diimbangi dengan regenerasi.

2. Faktor penyebab diskontinyu dapat timbul oleh adanya :

a. Pemanfaatan kayu sawokecik yang berlebihan tidak diimbangi dengan budidaya

(penanaman kembali)

b. Perambahan hutan

(16)

VII. PENANGANGAN BENIH SAWOKECIK

A. Musim Buah

Bunga sawokecik berwarna putih kekuningan dengan bintik-bintik berwarna merah

muda. Pembungaan dan pembuahan terjadi hampir sepanjang tahun sedangkan buah

masak umumnya jatuh pada bulan Pebruari. Di Priangan Barat buah masak pada bulan

September – Oktober sedangkan di Banten pada bulan November dan di Banda Aceh pada

bulan Mei (Alrasyid, 1971). Sedangkan menurut Kurniaty et.al (2003), musim buah

sawokecik adalah bulan September – Oktober.

B. Pengunduhan Buah

Pengunduhan buah sawokecik biasanya dengan cara dipanjat dan dipetik dengan

tangan karena pohonnya relatif rendah dan bercabang banyak, kecuali pada pohon yang

tinggi dapat dibantu dengan galah yang pada bagian ujungnya diikatkan keranjang kecil,

sehingga buah yang diambil akan lepas dan masuk kedalam keranjang. Buah mencapai

masak fisiologis dicirikan dengan kulit buahnya berwarna kuning, oranye sampai

kemerahan.

C. Ekstraksi Benih

Ekstraksi benih adalah proses pengeluaran benih dari buah, polong, atau bahan

pembungkus benih lainnya. Cara ekstraksi benih sawokecik adalah dengan cara mengupas

buah secara manual kemudian membersihkan daging buah yang menempel pada benih

dengan menggunakan air mengalir, dan setelah itu benih diangin-anginkan dalam ruang

suhu kamar.

(17)

D. Berat 1000 Butir Benih

Perhitungan dan penentuan berat 1000 butir benih sawokecik dilakukan sesuai

dengan ketentuan ISTA (2010). Berdasarkan perhitungan diperoleh hasil bahwa berat

1000 butir benih sawo kecik adalah 655,247gr, maka satu butir benih mempunyai berat

0,655 gr dengan koefisien keragaman sebesar 1,77. Besarnya koefisien keragaman ini

sudah memenuhi persyaratan dari ISTA (2010) yang menyatakan bahwa dalam penentuan

berat 1000 butir benih, koefisien keragamannya tidak boleh melebihi 6,0 untuk benih yang

berserasah dan 4,0 untuk benih lainnya.

E. Perlakuan Pendahuluan dan Perkecambahan

Benih sawokecik memiliki dormansi kulit benih, sehingga memerlukan waktu yang

cukup lama untuk berkecambah. Kulit benih sawokecik termasuk kulit yang keras, dan

menyebabkan dormansi benih. Kondisi seperti ini sangat mengganggu dalam proses

penyediaan bibit secara masal untuk penanaman dan juga dalam kegiatan pengujian benih.

Karena itu diperlukan teknik perlakuan pendahuluan sebelum pengecambahan yang

bertujuan untuk mematahkan dormansi kulit benih tersebut.

Penelitian Kurniaty et.al (2003) menunjukkan bahwa perlakuan pendahuluan yang

tepat untuk benih sawokecik sebelum dikecambahkan adalah benih direndam dalam air

dingin selama 4 x 24 jam (96 jam). Perlakuan ini menghasilkan daya berkecambah paling

besar bila dibandingkan dengan perlakuan pendahuluan yang lain. Perlakuan perendaman

dalam air dingin selama 4 x 24 jam sangat efektif dalam mematahkan dormansi, karena

kulit benih yang semula keras menjadi lunak sehingga dapat memudahkan terjadinya

proses imbibisi yang dapat meningkatkan dan mempercepat perkecambahan benih

sawokecik.

Teknik perkecambahan benih sawo kecik yang paling tepat adalah dengan

menyemaikan benih di bawah naungan dengan posisi benih horizontal, dan hilum berada

pada posisi di bawah. Teknik ini membutuhkan waktu 20 hari untuk memulai

berkecambah sedangkan media perkecambahan yang digunakan adalah media campuran

tanah dan pasir dengan perbandingan 1:1 (Daryono, 1983). Hasil penelitian Kurniaty et.al

(2003) juga menunjukkan bahwa media yang terbaik untuk perkecambahan benih

(18)

F. Penyimpanan Benih

Benih sawokecik termasuk ke dalam tipe benih ortodoks. Cara penyimpanan

terbaik adalah menggunakan wadah yang kedap udara, yaitu kantong plastik dan kaleng.

Kadar air benih sebelum disimpan sebaiknya berkisar antara 5-8% sedangkan ruang

simpan sebaiknya menggunakan ruang berpendingin (AC) pada suhu 180C (Anonimous,

1989).

VIII. PENUTUP

Tanaman sawokecik memiliki nilai ekonomis tinggi, namun mengalami hambatan

dalam pengembangan dan pelestariannya, hal ini disebabkan teknik penanganan benih belum

dikuasai sepenuhnya. Permasalahan utama dalam penanganan benihnya adalah teknik

perkecambahan, yaitu teknik pematahan dormansi kulit benih. Dengan diketahui teknik

(19)

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous, 1989. Diktat perbenihan. Kerjasama Pusat Pembinaan Pendidikan dan Latihan Kehutanan dengan Asosiasi Pengusahaan Hutan Indonesia. Bogor.

Alrasyid, H. 1971. Keterangan tentang silvikultur sawokecik (Manilkara kauki(L.) Dubard). Laporan No. 127. Lembaga Penelitian Hutan, Bogor.

Daryono, H. 1983. Pengaruh posisi penyemaian dan skarifikasi benih sawokecik (Manilkara kauki L. Dubard) terhadap perkecambahan dan pertumbuhan bibitnya. Laporan No. 419, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Bogor.

Hamzah, Z. 1977. Survey ekologi sawokecik di Ujung Timur Pulau Jawa. Laporan No. 252, Lembaga Penelitian Hutan, Bogor.

ISTA. 2010. International Rules for Seed Testing. Edition 2010. Zurich, Zwitzerland.

Kurniaty, K., N.Yuniarti, A. Muharam, E.R. Kartiana, E. Ismiati, H. Royani, 2003. Teknik penanganan benih jenis andalan setempat di Sulawesi Selatan, Bali, Kalimantan Barat dan Jawa Barat. Laporan Hasil Penelitian BTP No. 385, Bogor.

Prosea. 1994. Plant resources of South-East Asia No. 5. J. Dransfield and N. Manokaran (Eds). Bogor.

Setiawan, A.I. 2000. Penghijauan dengan tanaman potensial. Cetakan ke-4. Penebar Swadaya, IKAPI, Jakarta.

Gambar

Gambar 1.  Pohon Sawokecik
Gambar 2.  Buah Sawokecik
Gambar 3. Benih dalam buah sawokecik

Referensi

Dokumen terkait

Dalam ilmu sosiologi peneliti mengintrepetasikan situasi yang terjadi di Palestina menggunakan teori Konflik menurut Lewis Coser dan untuk menjelaskan atau

Pencapaian laba BUMI tersebut mencerminkan 57,6% dari target labanya tahun ini yang diperkirakan mencapai USD483,74 juta atau tumbuh sekitar 55% dari tahun lalu. Pada harga

Plasenta previa adalah plasenta yang letaknya abnormal yaitu pada segmen bawah uterus sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh pembukaan jalan lahir (FKUI, 2000)....

Waktu yang dibutuhkan sensor ultrasonik dari pengirim gelombang sampai penerimaan pantulan gelombang ultrasonic, dapat menentukan jarak antar sensor dan objek sumur

Penelitian ini dilakukan dengan maksud untuk memberikan gambaran bagaimana persepsi pelanggan Flexi Trendy mengenai bauran pemasaran yang diterapkan oleh

Tulisan ini akan membahas cara menentukan jumlah unit hidden optimal pada model NN data time series dengan menggunakan prosedur general-to-specific melalui

Laporkan hasil pemeriksaan kultur dan sensitivitas urin pada dokter yang menangani untuk dasar pemberian terapi2.

d) penolakan terhadap upaya mempengaruhi atau penyampaian informasi. e) Individu tidak bersikap sama terhadap pesan/kampanye media, melainkan memiliki berbagai pesan yang