BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dilute Magnetic Semiconductor (DMS) dan Perkembanganya
Kemampuan untuk menghasilkan fasa tunggal yang berkualitas sebagai bahan
Delute Magnetic Semiconductor (DMS) adalah faktor utama untuk mempelajari
DMS untuk aplikasi spintronic. Penelitian tentang semikonduktor magnetik
dengan susunan atom-atom secara priodik, seperti semiconducting spinels,
dimulai tahun 1960. Beberapa kemajuan telah dicapai, struktur kristal
semikonduktor tersebut berbeda dengan semikonduktor biasa. (Ohno, 1998). Pada
penelitian selanjutnya difokuskan pada semikonduktor non-magnetik dengan
fraksi kecil dari unsur nonmagnetik diganti oleh ion magnetik, umumnya logam
transisi. Ion magnetik, berperan sebagai pengotor, memberikan momen magnetik
spin dari elektron yang dimilikinya. Campuran (alloy) antara semikonduktor non
magnetik sebagai induk dan ion magnetik ini dikenal dengan istilah Dilute
Magnetic Semiconductor (DMS). Istilah dilute digunakan dalam bahan tersebut
karena kosentrasi ion magnetiknya relatif kecil. Perbedaan atara semikonduktor
biasa, semikonduktor magnetik, dan DMS diperlihatkan pada Gambar 2.1
Gambar 2.1 (A) Semikonduktor Biasa, (B) Semikonduktor Magnetik, dan (C) Dilute Magnetic Semiconductor (Ohno, 1998)
Pada umumnya semikonduktor akan mengalami perubahan sifat jika
ditambah dengan pengotor, yaitu menjadi semikonduktor tipe-n atau tipe-p.
dapat mengubah semikonduktor menjadi bersifat magnetik (paramagnetik,
antiferromagnetik, dan ferromagnetik). Sifat-sifat magnetik ini tidak dimiliki oleh
bahan semikonduktor biasa (Pearton et al., 2003).
2.2 Senyawa ZnO
Seng oksida merupakan senyawa anorganik dengan rumus ZnO (Zinc oxide).
Gambar 2.2 menampilkan serbuk ZnO murni yang sudah ZnO merupakan bubuk
putih yang tidak larut dalam air, dan secara luas digunakan sebagai aditif dalam
berbagai bahan.
Gambar 2.2 Serbuk ZnO Murni
Dalam ilmu material Zinc oxide (ZnO) merupakan bahan semikonduktor
paduan golongan II-VI antara logam oksida. Selain sebagai bahan semikonduktor
Zinc oxide juga merupakan bahan piezoelektrik, fotokonduktif, dan bahan
pemandu gelombang optik. Zinc oxide mempunyai energi gap minimum 3,37 eV
pada suhu ruang (Gao et al., 2004). Zinc oxide juga mempunyai struktur kristal
heksagonal dengan tipe kristal wurtize, Struktur kristal ZnO ditunjukkan pada
Gambar 2.3. ZnO telah diprediksi dapat mempertahankan sifat feromagnetik pada
suhu kamar dengan doping dari berbagai logam transisi (minsalnya Cr, Co, Ni,
Tabel 2.1 Karakterisasi ZnO Karakterisasi
Rumus molekul ZnO
Penampilan Putih solid
Bau Tanpa bau
Titik lebur(melting point) 19750C (terurai) Titik didih (boiling point) 23600C
Band gap 3,37 eV
2.2.1 Struktur kristal
Struktur wurtzite memiliki unit sel heksagonal dengan 2 parameter kisi a dan
c dengan rasio c/a = 8/3 = 1,633 ditampilkan pada Gambar 2.3 yang terdiri dari
dua struktur heksagonal yang saling upsepacked (hcp) sublattices masing-masing
terdiri dari 2 jenis atom kehilangan tempat terhadap satu sama lain sepanjang tiga
kali lipat c-axis dengan jumlah V= 3/8 = 0,375 (dalam struktur wurtzite yang
cocok) dalam koordinat bertingkat. Parameter kisi ZnO untuk struktur wurtzite
pada temperatur 300 K adalah a = 3,2495 Å dan c = 5,2069 Å. ZnO murni tanpa
doping adalah semikonduktor tipe-n.
Gambar 2.3 Struktur ZnO, bola abu-abu dan hitam menunjukkan Zn dan O (Verlag & Weinheim, 2009)
Gambar 2.3 memperlihatkan struktur kristal wurtzite ZnO dimana atom O
digambarkan sebagai bola abu-abu besar dan atom Zn digambarkan sebagai bola
2.3 Doping logam besi (Fe)
Doping logam adalah salah satu teknik yang digunakan untuk menambahkan
sejumlah kecil atom pengotor ke dalam struktur kristal semikonduktor.
Penambahan atom pengotor ke dalam semikonduktor merupakan salah satu
metode yang digunakan untuk mengontrol sifat dari semikonduktor. Besi adalah
logam yang berasal dari biji besi (tambang) yang banyak digunakan dalam
kehidupan manusia sehari-hari. Dalam tabel priodik, besi mempunyai simbol Fe
dan nomor atom 26. Besi (Fe) merupakan logam feromagnetik karena memilki
empat elektron tidak berpasangan pada orbital d dan penghantar panas yang baik.
Gambar 2.4 Serbuk Besi (Fe) Tabel 2.2 Karakterisasi Logam Fe (besi)
Karakterisasi
Lambang Fe
Penampilan Metalik mengkilap keabu-abuan
Nomor atom 26
Titik lebur(melting point) 15380C Titik didih (boiling point) 28610C
2.4 Chromium (Cr)
Krom (Cr) pertama kali ditemukan pada tahun 1797 oleh Vauquelin. Logam
krom berwarna abu-abu, Chrom dilambangkan dengan Cr, yang termasuk dalam
golongan VIB periode 4. Khromium berasal dari bahasa yunani berarti warna.
tidak pernah ditemukan dalam bentuk persenyawaan padat atau mineral dengan
unsur-unsur lain. Logam ini tidak dapat teroksidasi oleh udara yang lembab
Tabel 2.3 Karakterisasi Logam Cr (Crom) Karakterisasi
Lambang Cr
Penampilan Metalik mengkilap keabu-abuan
Nomor atom 24
Titik lebur(melting point) 19070C Titik didih (boiling point) 26710C
2.5 Sifat Kemagnetan Bahan
Bahan magnetik adalah suatu bahan yang memiliki sifat kemagnetan dalam
komponen pembentuknya. Berdasarkan sifat kemagnetan bahan dapat
digolongkan menjadi 4 yaitu :
2.5.1 Bahan diamagnetik
Bahan diamagnetik merupakan bahan yang tidak memiliki momen dipol
magnet permanen. Jika bahan diamagnetik diberi medan magnet luar, maka
elektron-elektron dalam atom akan mengubah gerakannya sehingga menghasilkan
resultan medan magnet atomis yang arahnya berlawanan dengan medan magnet
luar tersebut, seperti terlihat pada Gambar (2.5). Contoh bahan diamagnetik yaitu
perak, bismut, emas, seng, dan tembaga
2.5.2 Bahan paramagnetik
Bahan paramagnetik adalah bahan yang resultan medan magnet atomik
masing-masing atomnya tidak nol, tetapi resultan medan magnet atomik total
seluruh atomnya dalam bahan nol. Hal ini disebabkan karena gerakan atomya
acak, sehingga resultan medan magnet atomik masing-masing atom saling
meniadakan. Dibawah pengaruh medan eksternal, bahan tersebut akan
mensejajarkan diri karena adanya torsi yang dihasilkan, seperti terlihat pada
Gambar (2.6). sifat paramagnet ditimbulkan oleh momen magnetik spin yang
menjadi terarah oleh medan magnet luar.
(a) (b)
Gambar 2.6 Arah domain dan kurva bahan paramagnetik (a). sebelum diberi medan magnet luar, (b). setelah diberi medan magnet luar.
Sifat paramagnetik muncul karena adanya atom, molekul, dan cacat kisi yang
memiliki jumlah elektron yang ganjil (adanya elektron yang tidak berpasangan)
sehingga menyebabkan jumlah spin tidak sama dengan nol. Atom dan ion bebas
dengan orbital yang terisi sebagian, seperti unsur transisi, unsur tanah jarang, dan
unsur-unsur aktinida memiliki elektron tidak berpasangan. Contohnya V2+, Cr2+,
Mn2+, Fe2+, Co2+, dan Ni2+ untuk logam transisi dan Gd3+ untuk logam tanah
jarang. Kurva magnetisasi M terhadap medan magnet H dalam bahan
paramagnetik menunjukkan hubungan yang linear dengan kemiringan positif dan
magnetisasi mengalami satruasi karena semua ion magnet akan memiliki momen
magnetik yang searah dengan medan magnet luar.
Gambar 2.7 Grafik M vs H yang menunjukkan sifat diamagnetik, paramagnetik, dan ferromagnetik pada bahan (Morkoc & Ozgur, 2009).
2.5.3 Bahan Ferromagnetik
Bahan ferromagnetik mempunyai resultan medan magnet atomik besar, hal
ini disebabkan oleh momen magnetik spin elektron. Pada bahan ini banyak spin
elektron yang tidak berpasangan, masing-masing spin elektron yang tidak
berpasangan ini akan menimbulkan medan magnet, sehingga medan magnet total
yang dihasilkan oleh satu atom menjadi lebih besar. Medan magnet dari
masing-masing atom dalam bahan ferromagnetik sangat kuat, sehingga interaksi diantar
atom-atom tetangganya menyebabkan sebagian besar atom akan mensejajarkan
diri membentuk kelompok-kelompok, kelompok inilah yang dikenal dengan
domain, yang diperlihatkan pada Gambar (2.8)
Gambar 2.8 Arah domain dan kurva bahan Ferromagnetik
Bahan ini mempunyai sifat remanensi, artinya bahwa setelah medan magnet
luar dihilangkan, akan tetap memiliki medan magnet, karena itu bahan ini sangat
baik sebagai sumber magnet permanen. Contoh bahan ferromagnetik : besi, baja.
Sifat kemagnetan bahan ferromagnetik akan hilang pada temperatur Curie.
Temperatur Curie untuk besi lemah adalah 7700C dan untuk baja adalah 10430C.
2.5.4 Bahan Anti Ferromagnetik
Bahan anti ferromagnetik adalah suatu bahan yang memiliki suseptibilitas
positif yang kecil pada segala temperatur, tetapi perubahan suseptibilitas karena
temperatur adalah keadaan yang sangat khusus. Susunan dwi kutubnya adalah
sejajar tetapi berlawanan arah, diperlihatkan pada Gambar (2.9)
Gambar 2.9 Arah domain dan kurva bahan anti ferromagnetik, (a) sebelum diberi medan magnet luar, (b) setelah diberi medan magnet luar.
2.6 Solid State Reaction Method
Solid state reaction method adalah teknik pengolahan serbuk yang
menghasilkan starting material yang homogen dengan cara mencampur bahan
dasar. Salah satu metode untuk menghasilkan serbuk yang disintesis dengan solid
state reaction adalah mechanical milling. Mechanical milling adalah proses solid
state reaction dalam menghasilkan serbuk dengan cara welding, fracturing dan
rewelding partikel serbuk dalam high-energy ball mill (Suryanarayana, 2001).
strengthened (ODS), paduan amorf, nanokristalin dan nanokomposit
logam-oksida (Takacs, 1998).
Gambar 2.10 Rangkaian proses solid state reaction secara konvensional: (1) milling, (2) compacting, dan (3) sintering; (a) menunjukkan kondisi partikel ketika (b) menunjukkan operasi dan kerja alat selama rangkain proses preparasi (Groover, 2012)
Beberapa langkah yang dilakukan dalam preparasi serbuk dengan cara solid
state reaction secara konvensional adalah penggilingan dan pencampuran serbuk
(milling and mixing of powder), kompaksi (compaction) yaitu mencetak serbuk
dalam bentuk pellet dan pemanasan (sintering) yaitu memanaskan bahan di bawah
titik lebur yang menyebabkan terjadinya solid state bonding dari partikel dan
meningkatnya kekuatan bahan.
2.6.1 Penggilingan dan Pencampuran Serbuk (Milling and Mixing of Powder)
Milling atau dikenal juga dengan sebutan blending adalah mencampur serbuk
dengan komposisi kimia yang sama tetapi mempunyai ukuran partikel yang
berbeda. Partikel dengan ukuran partikel berbeda biasanya dimilling untuk
unsur kimia berbeda. Salah satu keuntungan dari proses milling dan mixing adalah
dapat mencapur berbagai macam logam dalam suatu paduan.
Proses milling dan mixing dilakukan secara mekanik. Beberapa cara
alternative dalam melakukan proses tersebut adalah dengan menggunakan
rotation in a drum, rotation in a double-cone container, agitation in a screw
mixer, dan stirring in a blade mixer seperti ditunjukkan pada Gambar 2.11. Untuk
menghasilkan paduan erbuk yang baik maka disarankan untuk mengisi wadah
antara 20 – 40 % dari volume wadah milling yang digunakan.
Gambar 2.11 Beberapa model alat untuk blending/milling dan mixing : (a) rotating drum (b) rotating double-cone (c) screw mixer (d) blade mixer (Groover, 2012)
Kadang-kadang serbuk logam dimilling dengan menggunakan medium cair
dan proses ini disebut sebagai wet milling. Jika tidak ada cairan yang terlibat
dalam proses milling maka disebut dry milling. Telah dilaporkan bahwa wet
milling adalah metode yang lebih baik dari pada dry milling untuk mendapatkan
produk yang lebih halus karena molekul pelarut yang teradsorpsi pada permukaan
partikel yang terbentuk dan mempunyai energi permukaan yang rendah. Selain
itu, dengan menggunakan wet milling maka dihasilkan partikel serbuk yang tak
teraglomerasi (less-agglomerated condition). Penelitian lain juga melaporkan
bahwa kecepatan amorphization terjadi lebih cepat pada wet milling jika
terjadinya kontaminasi pada serbuk karena menggunakan medium pelarut. Untuk
itu, dalam penelitian perlu adanya pemilihan medium pelarut sesuai dengan
starting material yang digunakan (Suryanarayana, 2001).
Beberapa faktor yang menentukan dalam proses milling serbuk adalah tipe
mesin milling yang digunakan, milling container yang digunakan, kecepatan
milling, lamanya waktu milling, jenis dan ukuran grinding balls yang digunakan,
perbandingan antara massa serbuk dan bola-bola, luas daerah yang kosong pada
vial/jar setelah dimasukkan serbuk dan bola-bola, atmosfer milling yang
digunakan, dan suhu milling (Suryanarayana, 2004).
2.6.2 Penekanan (compaction)
Kompaksi merupakan proses pemadatan serbuk menjadi sampel dengan
bentuk tertentu sesuai dengan cetakannya (molding). Penekanan terhadap serbuk
dilakukan agar serbuk dapat menempel satu dengan lainnya sebelum ditingkatkan
ikatannya dengan proses sintering. Ada dua macam metode yang digunakan dalam
kompaksi yaitu cold compaction dan hot compaction. Cold compaction adalah
penekanan yang dilakukan pada suhu kamar. Metode ini dipakai apabila bahan
yang digunakan mudah teroksidasi seperti aluminium murni. Hot compaction
yaitu penekanan yang dilakukan di atas suhu kamar.
Tekanan yang diberikan dalam proses kompaksi pada awalnya menghasilkan
repacking serbuk, menghilangkan “bridges” yang terbentuk selama proses filling,
mengurangi pori-pori dan meningkatkan jumlah titik kontak antar partikel. Proses
ini ditunjukkan pada Gambar 2.12. Ketika tekanan meningkat, partikel
terderformasi secara plastis, menyebabkan kontak daerah kontak antar partikel
Gambar 2.12 (a) Efek dari pemberian tekanan selama proses kompaksi (1) serbuk awal setelah filling (2) repacking, dan (3) deformasi partikel; (b) kerapatan serbuk sebagai fungsi tekanan (Groover, 2012)
2.6.3 Pemanasan (Sintering)
Sintering adalah proses pemadatan dari sekumpulan serbuk pada suhu tinggi
di bawah titik leburnya hingga terjadi perubahan struktur mikro seperti
pengurangan jumlah dan ukuran pori, pertumbuhan butir, penyusutan, dan
peningkatan densitas (Fang, 2010). Adanya perlakuan panas menyebabkan
terjadinya ikatan antarpartikel serbuk dan meningkatkan kekuatan dari produk
yang dihasilkan (Agarwal, 2016). Suhu sintering biasanya diatur antara 0,7 dan
0,9 dari titik lebur bahan (absolute scale) (Groover, 2012).
Adanya pengaruh suhu yang cukup tinggi selama proses sintering
menyebabkan menurunnya energi permukaan. Hasil dari proses kompaksi
(biasanya disebut green compact) mempunyai banyak partikel dan masing-masing
mempunyai permukaan sendiri. Hal menyebabkan proses kompaksi menyebabkan
pengaruh panas, daerah permukaan berkurang sebagai efek dari pembentukan dan
pertumbuhan ikatan antara partikel menyebabkan menurunnya energi permukaan.
Gambar 2.12 menunjukkan skala mikroskois dari perubahan yang terjadi pada
serbuk logam selama proses sintering. Proses sintering melibatkan aliran massa
(massa transport) dan menyebabkan beberapa titik kontak (contact points)
berikatan membentuk ikatan partikel (particle bonding) (Gambar 2.12-1). Titik
kontak yang berikatan tersebut menghasilkan leher (necks) dan bertransformasi
pada batas butir (grain boundaries) (Gambar 2.13-2). Hal ini menyebabkan
terjadinya penyusutan (shrinkage) sehingga porositas berkurang (Gambar 2.13-3).
Proses akhir menghasilkan batas butir yang baru di antara partikel (Gambar
2.13-4)
Gambar 2.13 Proses sintering pada skala mikrokopis (Groover, 2012) Proses sintering dilakukan dalam sebuah tungku pembakaran (furnace).
Perlakuan panas selama proses sintering dalam furnace dapat dibagi pada tiga
bagian yaitu preheat yaitu menghilangkan gas-gas dan pengotor, sinter dan cool
Gambar 2.14 Perlakuan panas dalam proses sintering 2.7 X-Ray Difraction (XRD)
Tujuan pengujian difraksi sinar-X (XRD) dilakukan adalah untuk
menentukan fasa yang terbentuk setelah serbuk mengalami proses sintering. Dari
data yang dihasilkan dapat diprediksi ukuran kristal serbuk. Ukuran kristalin
ditentukan berdasarkan pelebaran puncak difraksi sinar-X yang muncul. Makin
lebar puncak yang dihasilkan, maka makin kecil ukuran kristal serbuk. Hubungan
antara ukuran kristal dengan lebar puncak difraksi sinar-X dapat dihitung dengan
menggunakan formula Debye-Schrerer pada persamaan 2.1:
dengan D adalah ukuran (Diameter) kristal, λ adalah panjang gelombang sinar-X
Untuk menghitung nilai dari konstanta kisi diperoleh dari persamaan 2.3 berikut:
disebabkan adanya penyerapan oleh material dan juga penghamburan oleh
atom-atom dalam material tersebut. Berkas sinar-X yang dihamburkan tersebut ada
yang saling menghilangkan karena fasanya berbeda dan ada juga yang saling
menguatkan karena fasanya sama. Berkas sinar-X yang saling menguatkan itulah
yang disebut sebagai berkas difraksi.
Gambar 2.15 Difraksi Bidang Atom
Gambar 2.15 menunjukkan suatu berkas sinar-X dengan panjang gelombang
λ, jatuh pada sudut θ pada sekumpulan bidang atom berjarak d, sinar yang
dipantulkan dengan sudut θ hanya dapat terlihat jika berkas dari setiap bidang
yang berdekatan saling menguatkan. Oleh sebab itu, jarak tambahan satu berkas
dihamburkan dari setiap bidang berdekatan, dan menempuh jarak sesuai dengan
perbedaan kisi yaitu sama dengan panjang gelombang n λ.
2.8 VSM ( Vibrating Sampel Magnetometer)
Karakterisasi sifat magnet menggunakan alat Vibrating Sampel
Magnetometer (VSM) yang merupakan salah satu jenis peralatan untuk
mengenai besaran-besaran sifat magnet sebagai akibat perubahan medan magnet
luar yang digambarkan dalam kurva histereis.
Momen magnet sampel dideteksi dengan menempatkan koil didekat sampel
yang bervibrasi didalam medan magnet yang diatur. Medan magnet dapat
dihasilkan dengan menggunakan bahan elektromagnetik, magnet super konduktor
atau bitter magnet.
2.9 Sifat listrik
2.9.1Resisitivitas dan Konduktivitas
Arus yang mengalir pada penghantar selalu mengalami hambatan dari
penghantar itu sendiri. Besarnya hambatan tergantung dari beberapa faktor, yang
antara lain ditentukan oleh jenis bahan. Karakteristik listrik dari
komponen-komponen elektronika dapat ditentukan dengan menggunakan sistem pengukur
arus dan tegangan (I-V meter), yang merupakan sebuah piranti ukur utama yang
digunakan dalam penelitian tentang semikonduktor dan divais semikonduktor.
Setiap material atau bahan memiliki karakteristik yang berbeda-beda.
Setiap bahan memiliki sifat yang berbeda-beda mulai dari sifat fisis, sifat
mekanis dan sifat kimiawi. Sifat fisis yaitu sifat yang dimiliki suatu bahan yang
dapat kita amati secara langsung, sedangkan untuk mengetahui sifat mekanik dan
kimiawinya itu tidak bisa dilihat secara langsung, maka haruslah dilakukan
percobaan untuk mengetahui sifat mekanik dan kimiawinya.
Untuk mengetahui seberapa cepat dan seberapa besar suhu yang dapat
berubah pada sebuah benda dapat menghantarkan panas seberapa besar suhu yang
dapat berubah pada bahan itu maka kita harus mengetahui konduktivitas listrik
kemampuan suatu bahan untuk menghantarkan arus listrik. Jika suatu beda
potensial listrik ditempatkan pada ujung-ujung sebuah konduktor, muatan-muatan
akan bergerak berpindah dan kemudian menghasilkan arusl istrik.
Konduktivitas listrik didefinisikan sebagai rasio dari rapat arus terhadap kuat
medan listrik. Konduktivitas suatu bahan adalah kemampuan suatu bahan untuk
menghantarkan arus listrik. Sedangkan resistivitas adalah kebalikan dari
konduktivitas, yakni kemampuan suatu bahan untuk menahan arus listrik.
Resistansi (R) adalah kemampuan bahan listrik menghambat arus listrik,
Resistivitas (ρ) adalah nilai resistansi bahan listrik pada satuan panjang (l) dan
luas penampang (A). Besarnya tahanan dapat dihitung dengan rumus :
l R.A
(2.4)
Dimana :
R : besarnya tahanan (hambatan) (Ω)
ρ : resistivitas (Ω cm)
l : dimensi tebal sample (cm)
A : luas penampang sampel (cm)
Kebalikan dari resistivitas desebut konduktivitas listrik σ. Secara sisitematis
yaitu :
1 (2.5)
Bedasarkan nilai konduktivitas, suatu material dapat dibedakan menjadi tiga
bagian yaitu konduktor, semikonduktor dan isolator (Fairchild, 2003), kisaran
Gambar 2.16 Kisaran konduktivitas untuk isolator, semikonduktor, dan konduktor. (SZE & LEE, 2012)
Kapasitansi atau kapasitans adalah ukuran jumlah muatan listrik yang
disimpan untuk sebuah potensial listrik yang telah ditentukan. Bentuk paling
umum dari piranti penyimpanan muatan adalah sebuah kapasitor dua lempeng
(Saslow, 2002). Jika muatan di lempeng Q dan V adalah tegangan listrik antar
lempeng, maka rumus kapasitans adalah:
V Q
C (2.6)
C : Kapasitansi (Farad)
Q : Muatan (Coulomb)
V : Voltase (Volt)
C-V Meter merupakan alat untuk mengukur karakteristik kapasitansi
terhadap tegangan (C-V) dari suatu divais. C-V Meter banyak digunakan untuk
meneliti struktur bahan dari semikonduktor, yaitu bagaimana kapasitansi sebuah
divais berubah terhadap tegangan bias yang diberikan. Karakteristik C-V dapat
memberikan informasi tentang komposisi, kualitas proses dan interaksi material.
Akurasi dari pengukuran CV sangat penting untuk perancangan dan pembuatan
baik (Yang,1995). Konstanta dielektrik adalah perbandingan nilai kapasitansi
kapasitor pada bahan dielektrik dengan nilai kapasitansi di ruang hampa. Konstanta
dielektrik atau permitivitas listrik relatif juga diartikan sebagai konstanta yang
melambangkan rapatnya fluks elektrostatik dalam suatu bahan bila diberi potensial
listrik. Konstanta ini merupakan perbandingan energi listrik yang tersimpan pada
bahan tersebut jika diberi sebuah potensial, relatif terhadap ruang hampa. Sifat
dielektrik merupakan sifat yang menggambarkan tingkat kemampuan suatu bahan
untuk menyimpan muatan listrik pada beda potensial yang tinggi.
Kapasitansi dari sebuah kapasitor “pelat-sejajar” yang tersusun dari dua
lempeng sejajarnya seluas A dengan tebal l adalah sebagai berikut:
A Cl
r
0
(2.7)
Dimana:
C : Kapasitansi (Farad)
A : luas setiap lempeng (m2)
εr : Konstanta Dielektrik
ε0 : Permitivitas di mana ε0 = 8.85x10-12 F/m