• Tidak ada hasil yang ditemukan

WAHHABI DI ARUS RADIKALISME ISLAM DI IND

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "WAHHABI DI ARUS RADIKALISME ISLAM DI IND"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

WAHHABI DI ARUS RADIKALISME ISLAM DI INDONESIA Oleh Rimbun Natamarga

Kemunculan kelompok-kelompok Islam radikal memaksa kubu tradisionalis dan modernis akhirnya berdialog sekaligus melupakan pertikaian mereka di masa lalu. Alih-alih berkonfik lagi, kalangan tradisionalis dan modernis kemudian sepakat bekerjasama membangun pemahaman baru dalam menyikapi kelompok-kelompok Islam radikal. Mereka sadar bahwa kelompok-kelompok radikal itu, meski minoritas dalam jumlah dan berdiri sendiri serta sering berkonfik antar sesama, ternyata sangat potensial membahayakan kesatuan umat dan kesatuan bangsa.

Berhadapan seperti itu, kubu tradisionalis dan modernis kemudian menyebut front yang mereka bangun bersama itu sebagai Islam wasathiyah

—yang dalam bahasa Indonesia mereka artikan sebagai kubu muslim moderat. Siapa saja mereka? Dalam pengantar yang diberikan untuk Mereka Memalsukan Kitab-Kitab Karya Ulama Klasik: Episode Kebohongan Publik Sekte Salafi Wahabi, Azyumardi Azra menyebutkan beberapa. “Indonesia sangat beruntung,” tulis Azra,

“karena Islam yang dominan dan terus berkembang adalah Islam wasathiyah seperti diwakili NU, Muhammadiyah, al-Washliyah, Mathla’ul Anwar, Persis, PUI, Nahdlatul Wathan, al-Khairat, dan banyak lagi. Meski ada tantangan Salaf radikal dan juga wahabisme yang bersifat trans-nasional dalam beberapa tahun terakhir—masa pasca Soeharto—tapi Islam wasathiyah tidak tergoyahkan. Walaupun demikian, penguatan dan pemberdayaan Islam wasathiyah Indonesia tetap diperlukan.”1

1

(2)

Mereka yang ditabalkan sebagai Islam radikal dikenal karena radikalisme yang dimiliki masing-masing. Istilah radikalisme sendiri dalam studi ilmu sosial dimengerti sebagai sebuah pandangan yang ingin melakukan perubahan mendasar sesuai penafsiran yang dimiliki terhadap realitas sosial atau ideologi yang dianut.

Pada kata itu an sich, radikal dan radikalisme adalah konsep yang netral dan tidak bersifat peyoratif atau rendah dan pantas dilecehkan. Artinya, sudah dari sononya kata radikal dan radikalisme itu sebenarnya tidak jelek atau tercela sama sekali.

Karena itu, jika dikaitkan dengan sebuah gerakan perubahan, perubahan yang radikal sebenarnya bisa dicapai lewat cara-cara damai dan persuasif. Yang paling penting dari itu, sebuah gagasan atau gerakan massa dapat dikatakan radikal, ketika menginginkan sebuah perubahan mendasar, jauh ke akar. Jadi, tidak melulu kasar atau keras, meskipun perubahan radikal sangat mudah—dan seringnya—menggunakan kekerasan.

Yang amat disayangkan, banyak pihak yang pagi-pagi sudah menilai

radikal dan radikalisme sebagai dua hal yang negatif. Akibatnya, dari yang semula netral, dua kata itu akhirnya diparalelkan dengan ekstrem, militan,

garis keras dan sudah pasti: fundamentalis. Berlakulah kemudian apa yang

(3)

disebut budaya stereotif: menyamaratakan berbagai hal yang berbeda hanya karena ada keseragaman yang bersifat partikular.

Sebagai bahan perhatian, sekaligus sebuah misal, sebuah kutipan panjang mesti dimuat di sini, untuk melukiskan betapa semua gerakan radikal yang dimaksud diseragamkan lalu disederhanakan ke dalam istilah

santri baru. Kutipan yang dimaksud berasal dari sebuah tulisan Al Makin, seorang intelektual muda NU, ketika menceritakan riwayat pengalaman belajarnya di negeri asing. Ia menulis,

“Di sebuah mailing list berbahasa Indonesia di Jerman, yang kategorinya tertutup, ketika Nurcholish Madjid meninggal dunia, banyak peserta mailing list yang bukannya berduka dan mendoakan, semoga kampiun pembaharuan itu diterima amal ibadahnya, misalnya, tetapi, malah menforward berita gak karu-karuan yang tentu saja mewakili trend baru, bullying, yang dilakukan oleh ‘Islam pentungan’ masa kini. Begini tepatnya: saat itu tiba-tiba di milis ada forward email bahwa muka Cak Nur itu hitam. Tanda tak beriman. Dia sudah dilaknat Tuhan, karena berkawan dengan kaum Yahudi, kaum liberal. Di email tersebut, Cak Nur, sang kampiun intelektual, disebut diabolis, dan lain-lain. Di Jerman tidak jarang ditemui para aktivis Islamisme.2 Mereka mengorganisasi banyak forum

pengajian dengan menekankan pengajian model ‘santri baru’, bukan santri lama seperti NU (Nahdlatul Ulama) dan Muhammadiyah. Para santri baru ini, dalam sejarahnya, memulai gaung aktivismenya pada era setelah Reformasi. Pada intinya, mereka tidak lagi mendasarkan ideologinya pada ‘Islam Indonesia’, pada tradisi Nusantara, yang dipenuhi dengan kitab kuning dan kebijakan lokal. Mereka berkiblat ke gerakan-gerakan semacam Ikhwan al-Muslimin, Hizbut Tahrir, dan Jamaah Islamiyah. Mereka tidak lagi menggunakan fatwa-fatwa ulama sendiri, tetapi ulama Timur Tengah. Fatwa diterima apa adanya, tanpa

2

(4)
(5)

mereka bernegatif ria, jika tidak memusuhi Barat? Kenapa dengan senang hati menerima beasiswa dan ilmunya (pergi ke laboratorium dan universitas Barat), tetapi menyudutkan yang memberi? Tentu ini sebuah paradoks dan kejanggalan, jika bukan hipokrit. Kurang menunjukkan rasa berterima kasih. Kata temanku juga, yang juga sudah jengkel, aneh sekali ‘mereka’ itu, maunya berceramah terus, tetapi tidak mau diceramahi. Berbicara terus tetapi tidak mau mendengar.”

Ketika telah banyak bermunculan organisasi-organisasi Islam radikal pasca turunnya Soeharto, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) berusaha mendata dan meneliti organisasi-organisasi itu. Bagi LIPI,

(6)

serta tidak mempunyai pola yang seragam. Ada yang sekedar memperjuangkan implementasi syariat Islam tanpa keharusan mendirikan ‘negara Islam’, namun ada pula yang memperjuangkan berdirinya ‘negara Islam Indonesia’, di samping yang memperjuangkan berdirinya ‘kekhalifahan Islam’. Pola organisasinya juga beragam mulai dari gerakan moral ideologi seperti seperti Majelis Mujahidin Indonesia dan Hizbut Tahrir Indonesia sampai kepada gaya militer seperti Laskar Jihad, Front Pembela Islam (FPI) dan Front Pemuda Islam Surakarta (FPIS). Meskipun ada perbedaan di kalangan mereka, ada kecenderungan umum dari masyarakat untuk mengkaitkan gerakan-gerakan ini dengan jaringan radikalisme Islam di luar negeri, baik dalam konteks regional maupun internasional.”

Hasil penelitian LIPI itu kemudian dibukukan dengan judul Islam dan Radikalisme di Indonesia. Dalam buku setebal 315 halaman, kelompok-kelompok yang mereka kategorikan sebagai Islam radikal terdiri kelompok-kelompok Sururi,3 Front Pembela Islam Surakarta (FPIS), Komite Persiapan Penegakan

3

(7)

Syariat Islam (KPPSI) Sulawesi Selatan, Darul Islam/Negara Islam Indonesia, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Sebagai pelengkap, para peneliti LIPI itu menyertakan Pesantren Al-Mukmin Ngruki, dan Pesantren Al-Islam yang sudah kadung

dikenal masyarakat sebagai “sarang” radikalisme.

Daftar yang dibuat LIPI itu dapat diperpanjang lagi. Dalam Islam Radikal: Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia, Khamami Zada memasukkan Front Pembela Islam (FPI), Laskar Jihad Ahlussunnah Wal Jama’ah, HAMMAS, Ikhwanul Muslimin ke dalam daftar itu, termasuk juga Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI) dan Persatuan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI).

Masing-masing kelompok, oleh para peneliti LIPI, diidentifkasi sebagai kelompok-kelompok Islam radikal karena memiliki beberapa ciri. Ciri-ciri tersebut mengemuka dalam empat upaya yang dilakukan masing-masing kelompok. Keempat upaya itu berupa:

1. Upaya untuk menemukan bentuk pemahaman terhadap ajaran-ajaran Islam yang perlu dirumuskan dan disodorkan sebagai alternatif terhadap sistem yang berlaku sekarang

2. Upaya untuk menerapkan ajaran Islam secara praktis—tidak hanya sebagai konsep-konsep yang abstrak

(8)

3. Upaya untuk meningkatkan keberagamaan masyarakat (Dapat dijelaskan bahwa kelemahan Islam dalam politik dan peminggirannya di masa Orde Baru telah menyebabkan umat Islam frustasi sehingga menjadi mayoritas yang diam [silent majority]. Karena Islam dalam politik pada 1980-an telah sampai kepada jalan buntu, beberapa intelektual Islam telah mengajukan jalan lain dengan membawa Islam ke jalan lain selain politik. Munculnya kesadaran keagamaan Islam di kampus-kampus bisa dimasukkan dalam kecenderungan ini)

4. Upaya untuk melakukan purifkasi keagamaan, mengingat bahwa Islam di Indonesia telah terdistorsi sedemikian rupa (yang dalam bahasa kelompok-kelompok tersebut: menyimpang terlalu jauh dari ajaran Islam sebenarnya)

Yang menarik adalah kecenderungan di tengah masyarakat untuk melabeli kelompok-kelompok Islam radikal itu sebagai Wahabi. Dalam logika stereotif, Wahabi menjadi satu istilah untuk menyederhanakan penamaan dan permasalahan yang ada. Ke dalam istilah itu, tidak dapat dibedakan lagi orientasi akidah, akhlak, fkih, metode dakwah, dan segala sesuatunya; masing-masing kelompok dipukul rata sebagai orang-orang yang beragama seperti apa yang diagamai Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab An-Najdi.

Beberapa orang penulis muda berusaha menjernihkan cara

pemakaian istilah Wahabi. Dengan itu, setiap kelompok Islam radikal tidak dapat disebut sebagai Wahabi. Tidak setiap mereka dapat disebut sebagai orang-orang yang terpengaruh Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab, apalagi meneruskan dakwah yang pernah diembannya sekian abad yang lalu.

Memberikan kata pengantar untuk buku Terorisme: Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam tulisan A.M. Hendropriyono, Zuhairi Misrawi, seorang anggota Nahdlatul Ulama yang menjadi ketua Moderate Muslim Society, mengetengahkan cara pandang baru dalam mengalamatkan istilah

(9)

pemetaan cara bersikap terhadap Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab di Indonesia. Sesuatu yang tidak bisa dibantah, dalam menilai Syaikh

Muhammad bin Abdil Wahhab, orang-orang di Indonesia dapat dikategorikan menjadi beberapa kelompok. Masing-masing mereka memiliki ciri khas yang membedakan satu sama lain.

Kelompok pertama adalah orang-orang yang menerima dakwah Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab, namun melakukan usaha modifkasi, baik sedikit, separuhnya, atau sebagian besarnya. Di antara mereka, bahkan, ada pula yang hanya mengambil ruh semangatnya tanpa perlu konsisten dalam menerapkan pesan dakwah tersebut.

Kelompok kedua adalah orang-orang yang merespon positif dakwah tersebut dan menerima secara bulat, secara total, tanpa berusaha memodifkasinya. Mereka menerima dakwah dan berusaha

menyebarkannya di lingkungan-lingkungan mereka.

Kelompok ketiga adalah orang-orang yang menolak mentah-mentah dakwah tersebut. Bagi mereka, dakwah yang diserukan oleh Syaikh

Muhammad bin Abdil Wahhab itu tidak sesuai dengan karakter masyarakat Indonesia yang sudah memiliki tradisi keislaman tersendiri dari dulu. Dakwah tersebut tidak cocok, karena itu mereka tolak secara mutlak.

Nur Khalik Ridwan, juga salah satu tokoh muda NU,

mengidentifkasi kelompok jenis pertama itu dalam trilogi karyanya tentang gerakan Wahhabi. Dalam buku pertama, Doktrin Wahhabi dan Benih-Benih Radikalisme Islam (Tanah Air, 2009), ia menyinggung keberadaan kelompok ini sebagai kelompok yang terpengaruh—baik sebagian atau lebih, namun tidak semua—oleh ajaran-ajaran Muhammad bin Abdil Wahhab. Olehnya, kelompok yang seperti ini disebut sebagai neo-Wahhabi.

Menurut Ridwan, organisasi masyarakat pertama di Indonesia yang masuk dalam kategori kelompok neo-Wahabi adalah Muhammadiyah dan Persis. Kedua organisasi ini bertahan sebagai kelompok neo-Wahabi sampai muncul gelombang baru neo-Wahhabi pada tahun 1980-an.

(10)

Kemunculan mereka bermula dari ketidakpuasan terhadap keberadaan Muhammadiyah dan Persis yang kurang konsisten lagi terhadap Al-Quran dan Sunnah.

Di antara kelompok baru neo-Wahabi yang dimaksud Ridwan adalah kelompok tarbiyah yang kemudian berubah menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan HTI. PKS memiliki hubungan ideologis dengan

Ikhwanul Muslimin di Mesir, sedangkan HTI memiliki hubungan historis dengan Ikhwanul Muslimin. Baik PKS atau pun HTI, masing-masing menempuh jalur politik untuk mencapai tujuan mereka. Cita-cita mereka adalah memformalisasikan syariat Islam di dalam negara.

Termasuk yang disinggung oleh Ridwan sebagai kelompok neo-Wahabi adalah kelompok yang sering disebut sebagai kelompok jihadi atau secara salah disebut sebagian orang dengan Salaf jihadi. Mereka adalah orang-orang yang berada dalam lingkaran Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir serta murid-murid mereka berdua.

Dikenal sebagai orang-orang yang menyempal dari kelompok Negara Islam Indonesia (NII), dua orang itu menghindari tekanan pemerintah Indonesia dengan cara kabur ke Malaysia pada pertengahan 1980-an. Di Johor Bahru, mereka kemudian membangun basis dakwah baru. Usaha mereka ini ternyata berkembang seiring dengan pecahnya Perang Afganistan.

Pesantren mereka di Johor Bahru menjadi tempat transit bagi calon-calon relawan dari Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Sukoharjo dan sejumlah kader NII. Tidak hanya itu, sejumlah relawan untuk perang di Afganistan yang berasal dari Indonesia dan Malaysia ikut dalam usaha pengiriman itu. Dari arena perang di Afganistan itulah, muncul orang-orang yang kelak akan dikenal lewat sebutan alumni Afganistan.

Ternyata, tidak semua alumni Afganistan bergabung dalam

lingkaran Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir. Sebagian kecil mereka, kembali membaur dalam masyarakat. Di antara mereka yang sedikit ini, terdapat sejumlah orang yang menolak dengan tegas cara-cara berdakwah

(11)

Menurut mereka, Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir adalah orang-orang Khawarij tulen yang mengafrkan orang-orang di luar mereka —termasuk pemerintah Indonesia—dan menyebarkan kebencian terhadap pihak penguasa di Indonesia. Bahkan, dapat dikatakan, aksi-aksi terorisme di Indonesia 13 tahun belakangan ini berasal dari lingkaran Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir serta alumni-alumni Afganistan yang bergabung dengan mereka. Kurang dari 20 tahun, lingkaran itu telah merekrut anggota-anggota baru dan menebar teror di tengah masyarakat.

Selanjutnya, Ridwan memasukkan juga kelompok Sururi di Indonesia sebagai neo-Wahabi. Kelompok Sururi di Indonesia, biasanya, merujuk kepada Yayasan Al-Muntada di London berikut segala derivatnya yang didirikan oleh Muhammad bin Surur bin Nayef Zainal Abidin dan Jam'iyyah Ihya At-Turats Al-Islamiyah yang dirintis oleh Abdurrahman Abdul Khalik di Kuwait. Umum diketahui, termasuk oleh Ridwan sendiri, Muhammad bin Surur dan Abdurrahman Abdul Khalik disebut sebagai orang-orang yang menyempal dari Ikhwanul Muslimin.

Yayasan Al-Muntada memiliki cabang di Indonesia. Cabang di Jakarta bernama Yayasan As-Shafwah yang dipimpin oleh Abu Bakar M. Altway—setidaknya sampai Ridwan menulis trilogi karyanya. Ridwan kemudian menambahkan, cabang Yayasan Al-Muntada yang lain adalah Yayasan Al-Haramain. Yayasan Al-Haramain memiliki dai-dai—sekali lagi, setidaknya sampai trilogi itu ditulis—yang tersebar di sebagian besar wilayah Indonesia. Di antara mereka yang terkenal adalah Abdul Hakim Abdat di Jakarta, Yazid bin Abdil Qadir Jawwas di Bogor, Ainul Harits di Jawa Timur dan Abu Haidar di Bandung.

Di Indonesia, Jam'iyyah Ihya At-Turats Al-Islamiyah juga memiliki cabang. Mereka mendirikan pesantren-pesantren yang tersebar di Jawa, seperti Ma'had Jamilurrahman dan Islamic Centre Bin Baaz di Yogyakarta, Ma'had Al-Furqan di Gresik dan Ma'had Imam Bukhari di Solo.

(12)

Salaf yang sebenarnya. Mereka memiliki jaringan dai yang luas, media-media dakwah yang besar, dan lembaga-lembaga pendidikan yang terkenal.4

Lantas, siapa yang dimaksud dengan Wahhabi tulen di Indonesia? Dengan mengutip Abu Abdirrahman Ath-Thalibi yang menulis Dakwah Salaf Dakwah Bijak, kelompok yang diidentifkasi Ridwan sebagai kelompok Wahhabi di Indonesia adalah mereka yang disebut dengan Salaf Yamani.

Dikatakan Salaf Yamani, karena mereka merujuk kepada syaikh-syaikh Salaf yang ada di Yaman dan di Timur-Tengah. Salah seorang syaikh terkenal mereka di Yaman adalah Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi'i yang memimpin Ma'had Darul Hadits di daerah Dammaj, Sha'dah, Yaman. Banyak dai-dai Salaf Yamani di Indonesia yang pernah belajar di Ma'had Darul Hadits atau yang sedang belajar di lembaga-lembaga pendidikan milik murid-murid Syaikh Muqbil bin Hadi5 di Yaman seperti di kota Ma’bar, Syihr, Fuyusy, dan Dzammar.

Pada waktu terjadi konfik antar agama di Maluku, dai-dai Salaf di Indonesia lewat FKAWJ mengorganisasi Laskar Jihad untuk dikirim ke wilayah konfik di Ambon dan belakangan juga ke Poso, Sulawesi. Waktu itu, Laskar Jihad yang dipanglimai oleh Ja'far Umar Thalib dipulangkan setelah pembubaran FKAWJ. Pembubaran yang dimaksud didorong oleh munculnya sejumlah fatwa dari para syaikh Salaf di Arab Saudi, menyusul berbagai penyimpangan yang terjadi dalam Laskar Jihad dan pada diri

4

Dai-dai Sururi berdakwah hampir di seluruh Indonesia. Mereka menjangkau berbagai lapisan masyarakat, mulai dari instansi-instansi milik pemerintah, milik swasta sampai ke sekolah-sekolah umum. Selain nama-nama yang telah disebut, patut juga disebut di sini beberapa nama yang banyak dikenal di tengah masyarakat. Mereka itu seperti Abu Nida’ Chamsaha, Ahmas Faiz, Abu Ihsan Al-Medani, Abu Umar Baasyir, Zainal Arifn, Abu Qatadah, Abdullah Taslim, Abdullah Zein, Badrus Salam, Firanda Andirja, Muhammad Arifn Badri, Aris Munandar, dan Khalid Syamhudi. Media-media cetak mereka seperti majalah As-Sunnah, Al-Furqan, El-Fata, Nikah, Pengusaha Muslim. Belakangan, mereka juga merintis dakwah lewat stasiun Radio Rodja dan channel Rodja TV.

5

(13)

Ja'far Umar Thalib. Sejak saat itu, Ja’far Umar Thalib yang menjadi “bapak” dakwah di tengah komunitas Salaf di Indonesia membelot, memusuhi dan meninggalkan mereka.

Menanggapi pelabelan seperti itu banyak pihak yang tidak menerima. Bagaimana pun, dalam label Wahhabi terkandung makna negatif. Dengan label seperti itu, misalnya, sebagian pihak menolak karena Wahhabi di mata mereka identik dengan kekerasan dalam berdakwah. Misal yang lain, sebagian pihak menolaknya, karena dengan itu berarti dakwah mereka tidak lebih dari ajaran Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab belaka, sebagaimana isme-isme yang ada di dunia ini.

Hidayat Nur Wahid, misalnya, pernah kesal karena PKS pernah dituduh sebagai kelompok Wahhabi dan meminta kepada seluruh pihak untuk berhenti memftnah PKS sebagai Wahhabi. “Saya,” kata Hidayat, “adalah pendiri partai politik dan mengambil langkah politik untuk melakukan perubahan untuk kebaikan umat, lalu di mana kesamaannya dengan Wahabi?”.

Waktu itu, memang, beredar di tengah masyarakat sms-sms gelap yang berisi pernyataan bahwa kader-kader PKS adalah antek-antek

Wahhabi. Salah satu sms juga berisi seruan agar ahlussunnah wal jamaah dan warga NU tidak memilih PKS dan kader PKS dalam pemilu. Karuan saja, sms-sms itu disinyalir sebagai usaha pihak-pihak tertentu untuk

memengaruhi perolehan suara PKS pada pemilu yang akan berlangsung. Komunitas Salaf di Indonesia termasuk yang menolak pelabelan seperti itu. Bagi mereka, dakwah yang mereka jalani dan praktek-praktek beragama yang mereka lakukan setiap hari bukan hasil olah pikir Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab semata, tetapi lebih dari itu: sebuah cara beragama yang telah diwariskan turun-temurun dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Tidak heran, jika kemudian sejumlah dai Salaf di Indonesia menulis bantahan keras terhadap upaya melabeli seperti itu. Salah satu di antara mereka adalah Ruwaif’ bin Sulaimi, seorang dai Salaf yang pernah

(14)

artikel berjudul “Siapakah Wahhabi?” sebagai bantahan atas tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepada Salaf di Indonesia.

(15)

SIAPAKAH WAHHABI? Oleh Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc.

Selubung Makar di Balik Julukan Wahhabi

Di negeri kita bahkan hampir di seluruh dunia Islam, ada sebuah fenomena ‘timpang’ dan penilaian ‘miring’ terhadap dakwah tauhid yang dilakukan

Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimi An-Najdi rahimahullahu.6

Julukan Wahhabi pun dimunculkan, tak lain tujuannya adalah untuk menjauhkan umat darinya. Dari manakah julukan itu? Siapa pelopornya? Dan apa rahasia di balik itu semua …?

Para pembaca, dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab merupakan dakwah pembaharuan terhadap agama umat manusia. Pembaharuan, dari syirik menuju tauhid dan dari bid’ah menuju As-Sunnah. Demikianlah misi para pembaharu sejati dari masa ke masa, yang menapak titian jalan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabatnya. Fenomena ini membuat gelisah musuh-musuh Islam, sehingga berbagai macam cara pun ditempuh demi hancurnya dakwah tauhid yang diemban Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya. Musuh-musuh tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Di Najd dan sekitarnya:

- Para ulama suu` yang memandang al-haq sebagai kebatilan dan

kebatilan sebagai al-haq.

- Orang-orang yang dikenal sebagai ulama namun tidak mengerti

tentang hakekat Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan dakwahnya.

6

(16)

- Orang-orang yang takut kehilangan kedudukan dan jabatannya.

(Lihat Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al-Wahhabiyyah, karya Dr. Muhammad bin Sa’ad Asy-Syuwai’ir hal.90-91, ringkasan keterangan Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz)

2. Di dunia secara umum: Mereka adalah kaum kafir Eropa; Inggris, Prancis dan lain-lain, Daulah Utsmaniyyah, kaum Shufi, Syi’ah Rafidhah, Hizbiyyun dan pergerakan Islam; Al-Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Al-Qaeda, dan para kaki tangannya.

Bentuk permusuhan mereka beragam. Terkadang dengan fisik (senjata) dan terkadang dengan fitnah, tuduhan dusta, isu negatif dan sejenisnya. Adapun fisik (senjata), maka banyak diperankan oleh Dinasti Utsmani yang bersekongkol dengan barat (baca: kafir Eropa) sebelum keruntuhannya. Demikian pula Syi’ah Rafidhah dan para hizbiyyun. Sedangkan fitnah, tuduhan dusta, isu negatif dan sejenisnya, banyak dimainkan oleh kafir Eropa melalui para missionarisnya, kaum sufi, dan tak ketinggalan pula Syi’ah Rafidhah dan hizbiyyun.7 Dan ternyata, memunculkan istilah ‘Wahhabi’ sebagai julukan bagi pengikut dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, merupakan trik sukses mereka untuk menghempaskan kepercayaan umat kepada dakwah tauhid tersebut. Padahal, istilah ‘Wahhabi’ itu sendiri merupakan penisbatan yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab. Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz berkata:

“Penisbatan (Wahhabi -pen) tersebut tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab. Semestinya bentuk penisbatannya adalah ‘Muhammadiyyah’, karena sang pengemban dan pelaku dakwah tersebut adalah Muhammad, bukan

ayahnya yang bernama Abdul Wahhab.” (Lihat Imam wa Amir wa Da’watun

Likullil ‘Ushur, hal. 162)

Tak cukup sampai di situ. Fitnah, tuduhan dusta, isu negatif dan sejenisnya menjadi sejoli bagi julukan keji tersebut. Tak ayal, yang lahir adalah ‘potret’ buruk dan keji tentang dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, yang tak sesuai dengan realitanya. Sehingga istilah Wahhabi nyaris menjadi momok dan monster yang mengerikan bagi umat. Fenomena timpang ini,

7

(17)

menuntut kita untuk jeli dalam menerima informasi. Terlebih ketika narasumbernya adalah orang kafir, munafik, atau ahlul bid’ah. Agar kita tidak dijadikan bulan-bulanan oleh kejamnya informasi orang-orang yang tidak bertanggung jawab itu.

Meluruskan Tuduhan Miring tentang Wahhabi

1. Tuduhan: Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah seorang yang mengaku sebagai Nabi,8 ingkar terhadap Hadits nabi,9 merendahkan posisi Nabi, dan tidak mempercayai syafaat beliau.

Bantahan:

- Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah seorang yang

sangat mencintai Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Hal ini terbukti dengan adanya karya tulis beliau tentang sirah Nabi shallallahu

'alaihi wa sallam, baik Mukhtashar Siratir Rasul, Mukhtashar Zadil

Ma’ad Fi Hadyi Khairil ‘Ibad atau pun yang terkandung dalam kitab

beliau Al-Ushul Ats-Tsalatsah.

- Beliau berkata: “Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam telah

wafat (semoga shalawat dan salamNya selalu tercurahkan kepada beliau), namun agamanya tetap kekal. Dan inilah agamanya: yang tidaklah ada kebaikan kecuali pasti beliau tunjukkan kepada umatnya, dan tidak ada kejelekan kecuali pasti beliau peringatkan. Kebaikan yang telah beliau sampaikan itu adalah tauhid dan segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah subhanahu wa ta'ala. Sedangkan kejelekan yang beliau peringatkan adalah kesyirikan dan segala sesuatu yang dibenci dan dimurkai Allah subhanahu wa

ta'ala. Allah subhanahu wa ta'ala mengutus beliau kepada seluruh

umat manusia, dan mewajibkan atas tsaqalain; jin dan manusia untuk menaatinya.” (Al-Ushul Ats-Tsalatsah)

8

Sebagaimana yang dinyatakan Ahmad Abdullah Al-Haddad Baa ‘Alwi dalam kitabnya Mishbahul Anam, hal. 5-6 dan Ahmad Zaini Dahlan dalam dua kitabnya Ad-Durar As-Saniyyah Firraddi ‘alal Wahhabiyyah, hal. 46 dan Khulashatul Kalam, hal. 228-261.

9

(18)

- Beliau juga berkata: “Dan jika kebahagiaan umat terdahulu dan yang

akan datang karena mengikuti para Rasul, maka dapatlah diketahui bahwa orang yang paling berbahagia adalah yang paling berilmu tentang ajaran para Rasul dan paling mengikutinya. Maka dari itu, orang yang paling mengerti tentang sabda para Rasul dan amalan-amalan mereka serta benar-benar mengikutinya, mereka itulah sesungguhnya orang yang paling berbahagia di setiap masa dan tempat. Dan merekalah golongan yang selamat dalam setiap agama. Dan dari umat ini adalah Ahlus Sunnah wal Hadits.” (Ad-Durar

As-Saniyyah, 2/21)

- Adapun tentang syafaat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, maka

beliau berkata–dalam suratnya kepada penduduk Qashim: “Aku beriman dengan syafaat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan beliaulah orang pertama yang bisa memberi syafaat dan juga orang pertama yang diberi syafaat. Tidaklah mengingkari syafaat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ini kecuali ahlul bid’ah lagi sesat.”

(Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al-Wahhabiyyah, hal. 118)

2. Tuduhan: Melecehkan Ahlul Bait

Bantahan:

- Beliau berkata dalam mukhtashar minhajis sunnah: “Ahlul Bait

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mempunyai hak atas umat ini yang tidak dimiliki oleh selain mereka. Mereka berhak mendapatkan kecintaan dan loyalitas yang lebih besar dari seluruh kaum

Quraisy…” (Lihat ‘Aqidah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab

As-Salafiyyah, 1/446)

- Di antara bukti kecintaan beliau kepada Ahlul Bait adalah

dinamainya putra-putra beliau dengan nama-nama Ahlul Bait: ‘Ali, Hasan, Husain, Ibrahim dan Abdullah.

(19)

‘Ibadhiyyah, sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Mu’rib Fi Fatawa

Ahlil Maghrib, karya Ahmad bin Muhammad Al-Wansyarisi, juz 11.

Bantahan:

- Adapun pernyataan bahwa Asy-Syaikh telah memberontak terhadap

Daulah Utsmaniyyah, maka ini sangat keliru. Karena Najd kala itu tidak termasuk wilayah teritorial kekuasaan Daulah Utsmaniyyah.10 Demikian pula sejarah mencatat bahwa kerajaan Dir’iyyah belum pernah melakukan upaya pemberontakan terhadap Daulah ‘Utsmaniyyah. Justru merekalah yang berulang kali diserang oleh pasukan Dinasti Utsmani.

- Lebih dari itu Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab

mengatakan–dalam kitabnya Al-Ushulus Sittah: “Prinsip ketiga: Sesungguhnya di antara (faktor penyebab) sempurnanya persatuan umat adalah mendengar lagi taat kepada pemimpin (pemerintah), walaupun pemimpin tersebut seorang budak dari negeri Habasyah.” Dari sini nampak jelas, bahwa sikap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab terhadap waliyyul amri (penguasa) sesuai dengan ajaran Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan bukan ajaran Khawarij.

- Mengenai fatwa Al-Lakhmi, maka yang dia maksudkan adalah Abdul

Wahhab bin Abdurrahman bin Rustum dan kelompoknya, bukan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya. Hal ini karena tahun wafatnya Al-Lakhmi adalah 478 H, sedangkan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab wafat pada tahun 1206 H/Juni atau Juli 1792 M. Amatlah janggal bila ada orang yang telah wafat, namun berfatwa tentang seseorang yang hidup berabad-abad setelahnya. Adapun Abdul Wahhab bin Abdurrahman bin Rustum, maka dia meninggal pada tahun 211 H. Sehingga amatlah tepat bila fatwa Al-Lakhmi tertuju kepadanya. Berikutnya, Al-Lakhmi merupakan mufti Andalusia dan Afrika Utara, dan fitnah

10

(20)

Wahhabiyyah Rustumiyyah ini terjadi di Afrika Utara. Sementara di masa Al-Lakhmi, hubungan antara Najd dengan Andalusia dan Afrika Utara amatlah jauh. Sehingga bukti sejarah ini semakin menguatkan bahwa Wahhabiyyah Khawarij yang diperingatkan Al-Lakhmi adalah Wahhabiyyah Rustumiyyah, bukan Asy-Syaikh

Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya.11

- Lebih dari itu, sikap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab

terhadap kelompok Khawarij sangatlah tegas. Beliau berkata–dalam suratnya untuk penduduk Qashim: “Golongan yang selamat itu adalah kelompok pertengahan antara Qadariyyah dan Jabriyyah dalam perkara taqdir, pertengahan antara Murji`ah dan Wa’idiyyah (Khawarij) dalam perkara ancaman Allah subhanahu wa ta'ala, pertengahan antara Haruriyyah (Khawarij) dan Mu’tazilah serta antara Murji`ah dan Jahmiyyah dalam perkara iman dan agama dan pertengahan antara Syi’ah Rafidhah dan Khawarij dalam menyikapi para shahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.” (Lihat

Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al-Wahhabiyyah, hal 117). Dan masih

banyak lagi pernyataan tegas beliau tentang kelompok sesat Khawarij ini.

4. Tuduhan: Mengkafirkan kaum muslimin dan menghalalkan darah mereka.12

Bantahan:

- Ini merupakan tuduhan dusta terhadap Asy-Syaikh Muhammad bin

Abdul Wahhab, karena beliau pernah mengatakan: “Kalau kami tidak (berani) mengkafirkan orang yang beribadah kepada berhala yang ada di kubah (kuburan/ makam) Abdul Qadir Jaelani dan yang ada di kuburan Ahmad Al-Badawi dan sejenisnya, dikarenakan kejahilan mereka dan tidak adanya orang yang mengingatkannya. Bagaimana

11

Untuk lebih rincinya bacalah kitab Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al-Wahhabiyyah, karya Dr. Muhammad bin Sa’ad Asy-Syuwai’ir.

12

(21)

mungkin kami berani mengkafirkan orang yang tidak melakukan kesyirikan atau seorang muslim yang tidak berhijrah ke tempat kami...?! Maha suci Engkau ya Allah, sungguh ini merupakan

kedustaan yang besar.” (Muhammad bin Abdul Wahhab Mushlihun

Mazhlumun Wa Muftara ‘Alaihi, hal. 203)

5. Tuduhan: Wahhabiyyah adalah madzhab baru dan tidak mau

menggunakan kitab-kitab empat madzhab besar dalam Islam.13

Bantahan:

- Hal ini sangat tidak realistis. Karena beliau mengatakan –dalam suratnya kepada Abdurrahman As-Suwaidi: “Aku kabarkan

kepadamu bahwa aku–alhamdulillah–adalah seorang yang berupaya

mengikuti jejak Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, bukan pembawa aqidah baru. Dan agama yang aku peluk adalah madzhab

Ahlus Sunnah Wal Jamaah yang dianut para ulama kaum muslimin

semacam imam yang empat dan para pengikutnya.” (Lihat

Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al-Wahhabiyyah, hal. 75)

- Beliau juga berkata–dalam suratnya kepada Al-Imam Ash-Shan’ani:

“Perhatikanlah–semoga Allah subhanahu wa ta'ala merahmatimu– apa yang ada pada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, para sahabat sepeninggal beliau dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat. Serta apa yang diyakini para imam panutan dari kalangan ahli hadits dan fiqh, seperti Abu Hanifah,

Malik, Asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal–semoga Allah subhanahu

wa ta'ala meridhai mereka, supaya engkau bisa mengikuti

jalan/ajaran mereka.” (Ad-Durar As-Saniyyah 1/136)

- Beliau juga berkata: “Menghormati ulama dan memuliakan mereka

meskipun terkadang (ulama tersebut) mengalami kekeliruan, dengan tidak menjadikan mereka sekutu bagi Allah subhanahu wa ta'ala, merupakan jalan orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah

subhanahu wa ta'ala. Adapun mencemooh perkataan mereka dan

13

(22)

tidak memuliakannya, maka ini merupakan jalan orang-orang yang dimurkai Allah subhanahu wa ta'ala (Yahudi).” (Majmu’ah Ar-Rasa`il

An-Najdiyyah, 1/11-12. Dinukil dari Al-Iqna’, karya Asy-Syaikh

Muhammad bin Hadi Al-Madkhali, hal.132-133)

6. Tuduhan: Keras dalam berdakwah (inkarul munkar)

Bantahan:

- Tuduhan ini sangat tidak beralasan. Karena justru beliaulah orang

yang sangat perhatian dalam masalah ini. Sebagaimana nasehat beliau kepada para pengikutnya dari penduduk daerah Sudair yang melakukan dakwah (inkarul munkar) dengan cara keras. Beliau berkata: “Sesungguhnya sebagian orang yang mengerti agama terkadang jatuh dalam kesalahan (teknis) dalam mengingkari kemungkaran, padahal posisinya di atas kebenaran. Yaitu mengingkari kemungkaran dengan sikap keras, sehingga menimbulkan perpecahan di antara ikhwan… Ahlul ilmi berkata: ‘Seorang yang beramar ma’ruf dan nahi mungkar membutuhkan tiga hal: berilmu tentang apa yang akan dia sampaikan, bersifat belas kasihan ketika beramar ma’ruf dan nahi mungkar, serta bersabar terhadap segala gangguan yang menimpanya.’ Maka kalian harus memahami hal ini dan merealisasikannya. Sesungguhnya kelemahan akan selalu ada pada orang yang mengerti agama, ketika tidak merealisasikannya atau tidak memahaminya. Para ulama juga menyebutkan bahwasanya jika inkarul munkar akan menyebabkan perpecahan, maka tidak boleh dilakukan. Aku mewanti-wanti kalian agar melaksanakan apa yang telah kusebutkan dan memahaminya dengan sebaik-baiknya. Karena, jika kalian tidak melaksanakannya niscaya perbuatan inkarul munkar kalian akan merusak citra agama. Dan seorang muslim tidaklah berbuat kecuali apa yang membuat baik agama dan dunianya.”(Lihat Muhammad

bin Abdul Wahhab, hal. 176)

7. Tuduhan: Muhammad bin Abdul Wahhab itu bukanlah seorang yang berilmu. Dia belum pernah belajar dari para syaikh, dan mungkin saja ilmunya dari setan!14

14

(23)

Jawaban:

- Pernyataan ini menunjukkan butanya tentang biografi Asy-Syaikh,

atau pura-pura buta dalam rangka penipuan intelektual terhadap umat.

- Bila ditengok sejarahnya, ternyata beliau sudah hafal Al-Qur`an

sebelum berusia 10 tahun. Belum genap 12 tahun dari usianya, sudah ditunjuk sebagai imam shalat berjamaah. Dan pada usia 20 tahun sudah dikenal mempunyai banyak ilmu. Setelah itu rihlah (pergi) menuntut ilmu ke Makkah, Madinah, Bashrah, Ahsa`, Bashrah (yang kedua kalinya), Zubair, kemudian kembali ke Makkah dan Madinah. Gurunya pun banyak,15 di antaranya adalah:

Di Najd: Asy-Syaikh Abdul Wahhab bin Sulaiman16 dan Asy-Syaikh Ibrahim bin Sulaiman.17

Di Makkah: Asy-Syaikh Abdullah bin Salim bin Muhammad Al-Bashri Al-Makki Asy-Syafi’i.18

Di Madinah: Asy-Syaikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif.19 Asy-Syaikh

15

Lihat ‘Aqidah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab As-Salafiyyah, 1/143-171.

16

Ayah beliau, dan seorang ulama Najd yang terpandang di masanya dan hakim di ‘Uyainah.

17

Paman beliau dan sebagai hakim negeri Usyaiqir.

18

Hafzh negeri Hijaz di masanya.

19

(24)

Muhammad Hayat bin Ibrahim As-Sindi Al-Madani,20 Asy-Syaikh Isma’il bin Muhammad Al-Ajluni Asy-Syafi’i,21 Asy-Syaikh ‘Ali Affandi bin Shadiq Al-Hanafi Ad-Daghistani,22 Asy-Syaikh Abdul Karim Affandi, Asy-Syaikh Muhammad Al Burhani, dan Asy-Syaikh ‘Utsman Ad-Diyarbakri.

Di Bashrah: Asy-Syaikh Muhammad Al-Majmu’i.23

Di Ahsa`: Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Abdul Lathif Asy-Syafi’i.

8. Tuduhan: Tidak menghormati para wali Allah, dan hobinya menghancurkan kubah/bangunan yang dibangun di atas makam mereka.

Jawaban:

- Pernyataan bahwa Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab tidak

menghormati para wali Allah subhanahu wa ta'ala merupakan

sanadnya, Sunan Ibnu Majah dengan sanadnya, Sunan An-Nasa‘i Al-Kubra dengan sanadnya, Sunan Ad-Darimi dan semua karya tulis Al-Imam Ad-Darimi dengan sanadnya, Silsilah ‘Arabiyyah dengan sanadnya dari Abul Aswad dari ‘Ali bin Abi Thalib, semua buku Al-Imam An-Nawawi, Alfiyah Al-’Iraqi, At-Targhib Wat Tarhib, Al-Khulashah karya Ibnu Malik, Sirah Ibnu Hisyam dan seluruh karya tulis Ibnu Hisyam, semua karya tulis Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani, buku-buku Al-Qadhi ‘Iyadh, buku-buku qira’at, kitab Al-Qamus dengan sanadnya, Musnad Al-Imam Asy-Syafi’i, Muwaththa’ Al-Imam Malik, Musnad Al-Imam Ahmad, Mu’jam Ath-Thabrani, buku-buku As-Suyuthi dsb.

20

Ulama besar Madinah di masanya.

21

Penulis kitab Kasyful Khafa‘ Wa Muzilul Ilbas ‘Amma Isytahara ‘Ala Alsinatin Nas.

22

Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab bertemu dengannya di kota Madinah dan mendapatkan ijazah darinya seperti yang didapat dari Asy-Syaikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif.

23

(25)

tuduhan dusta. Beliau berkata–dalam suratnya kepada penduduk

Qashim: “Aku menetapkan (meyakini) adanya karamah dan

keluarbiasaan yang ada pada para wali Allah subhanahu wa ta'ala, hanya saja mereka tidak berhak diibadahi dan tidak berhak pula untuk diminta dari mereka sesuatu yang tidak dimampu kecuali oleh Allah subhanahu wa ta'ala.”24

- Adapun penghancuran kubah/bangunan yang dibangun di atas

makam mereka, maka beliau mengakuinya–sebagaimana dalam suratnya kepada para ulama Makkah.25 Namun hal itu sangat beralasan sekali, karena kubah/bangunan tersebut telah dijadikan sebagai tempat berdoa, berkurban dan bernadzar kepada selain Allah subhanahu wa ta'ala. Sementara Asy-Syaikh sudah mendakwahi mereka dengan segala cara dan beliau punya kekuatan (bersama waliyyul amri) untuk melakukannya, baik ketika masih di ‘Uyainah atau pun di Dir’iyyah.

- Hal ini pun telah difatwakan oleh para ulama dari empat madzhab.

Sebagaimana telah difatwakan oleh sekelompok ulama madzhab Syafi’i seperti Ibnul Jummaizi, Azh-Zhahir At-Tazmanti dll seputar penghancuran bangunan yang ada di pekuburan Al-Qarrafah Mesir. Al-Imam Asy-Syafi’i sendiri berkata: “Aku tidak menyukai (yakni mengharamkan) pengagungan terhadap makhluk, sampai pada tingkatan makamnya dijadikan sebagai masjid.” Al-Imam An-Nawawi dalam Syarhul Muhadzdzab dan Syarh Muslim mengharamkam secara mutlak segala bentuk bangunan di atas makam. Adapun Al-Imam Malik, maka beliau juga mengharamkannya, sebagaimana yang dinukilkan oleh Ibnu Rusyd. Sedangkan Al-Imam Az-Zaila’i

(madzhab Hanafi) dalam Syarh Al-Kanz mengatakan: “Diharamkan

mendirikan bangunan di atas makam.” Dan juga Al-Imam Ibnul Qayyim (madzhab Hanbali) mengatakan: “Penghancuran kubah/bangunan yang dibangun di atas kubur hukumnya wajib, karena ia dibangun di atas kemaksiatan kepada Rasulullah

24

Lihat Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al Wahhabiyyah, hal. 119.

25

(26)

shallallahu 'alaihi wa sallam.” (Lihat Fathul Majid Syarh Kitabit

Tauhid karya Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alusy-Syaikh,

hal.284-286)

Para pembaca, demikianlah bantahan ringkas terhadap beberapa tuduhan miring yang ditujukan kepada Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Untuk mengetahui bantahan atas tuduhan-tuduhan miring lainnya, silahkan baca karya-karya tulis Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, kemudian buku-buku para ulama lainnya seperti:

- Ad-Durar As-Saniyyah fil Ajwibah An-Najdiyyah disusun oleh

Abdurrahman bin Qasim An-Najdi

- Shiyanatul Insan ‘An Waswasah Asy-Syaikh Dahlan, karya

Al-‘Allamah Muhammad Basyir As-Sahsawani Al-Hindi.

- Raddu Auham Abi Zahrah, karya Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan

Al-Fauzan, demikian pula buku bantahan beliau terhadap Abdul Karim Al-Khathib.

- Muhammad bin Abdul Wahhab Mushlihun Mazhlumun Wa Muftara

‘Alaihi, karya Al-Ustadz Mas’ud An-Nadwi.

- ‘Aqidah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab As Salafiyyah

karya Dr. Shalih bin Abdullah Al-’Ubud.

- Da’watu Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Bainal

Mu’aridhin wal Munshifin wal Mu`ayyidin karya Asy-Syaikh

Muhammad bin Jamil Zainu, dsb.

Barakah Dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab

Dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab merupakan dakwah yang penuh barakah. Buahnya pun bisa dirasakan hampir di setiap penjuru dunia Islam, bahkan di dunia secara keseluruhan.

Di Jazirah Arabia26

Di Jazirah Arabia sendiri, pengaruhnya luar biasa. Berkat dakwah tauhid ini mereka bersatu yang sebelumnya berpecah belah. Mereka mengenal

26

(27)

tauhid, ilmu dan ibadah yang sebelumnya tenggelam dalam penyimpangan, kebodohan dan kemaksiatan. Dakwah tauhid juga mempunyai peran besar dalam perbaikan akhlak dan muamalah yang membawa dampak positif bagi Islam itu sendiri dan bagi kaum muslimin, baik dalam urusan agama

ataupun urusan dunia mereka. Berkat dakwah tauhid pula tegaklah Daulah

Islamiyyah (di Jazirah Arabia) yang cukup kuat dan disegani musuh, serta

mampu menyatukan negeri-negeri yang selama ini berseteru di bawah satu bendera. Kekuasaan Daulah ini membentang dari Laut Merah (barat) hingga Teluk Arab (timur), dan dari Syam (utara) hingga Yaman (selatan), daulah ini dikenal dalam sejarah dengan sebutan Daulah Su’udiyyah I. Pada tahun 1233 H/1818 M daulah ini diporak-porandakan oleh pasukan Dinasti Utsmani yang dipimpin Muhammad ‘Ali Basya. Pada tahun 1238 H/1823 M berdiri kembali Daulah Su’udiyyah II yang diprakarsai oleh Imam Al-Mujahid Turki bin Abdullah bin Muhammad bin Su’ud dan runtuh pada tahun 1309 H/1891 M. Kemudian pada tahun 1319 H/1901 M berdiri kembali

Daulah Su’udiyyah III yang diprakarsai oleh Al-Imam Al-Mujahid Abdul ‘Aziz

bin Abdurrahman bin Faishal bin Turki Alu Su’ud. Daulah Su’udiyyah III ini kemudian dikenal dengan nama Al-Mamlakah Al-’Arabiyyah As-Su’udiyyah, yang dalam bahasa kita biasa disebut Kerajaan Saudi Arabia. Ketiga daulah ini merupakan daulah percontohan di masa ini dalam hal tauhid, penerapan Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan syariat Islam, keamanan, kesejahteraan dan perhatian terhadap urusan kaum muslimin dunia (terkhusus Daulah Su’udiyyah III).

Di Dunia Islam27

Dakwah tauhid Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab merambah dunia Islam yang terwakili pada Benua Asia dan Afrika, barakah Allah subhanahu

wa ta'ala pun menyelimutinya. Di Benua Asia dakwah tersebar di Yaman,

Qatar, Bahrain, beberapa wilayah Oman, India, Pakistan dan sekitarnya, Indonesia, Turkistan, dan Cina. Adapun di Benua Afrika, dakwah Tauhid tersebar di Mesir, Libya, Al-Jazair, Sudan, dan Afrika Barat. Dan hingga saat ini dakwah terus berkembang ke penjuru dunia, bahkan merambah pusat kekafiran Amerika dan Eropa.

27

(28)

Pujian Ulama Dunia terhadap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan Dakwah Beliau

Pujian ulama dunia terhadap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan dakwahnya amatlah banyak. Namun karena terbatasnya ruang rubrik, cukuplah disebutkan sebagiannya saja.28

1. Al-Imam Ash-Shan’ani (Yaman).

Beliau kirimkan dari Shan’a bait-bait pujian untuk Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan dakwahnya. Bait syair yang diawali dengan:

Salamku untuk Najd dan siapa saja yang tinggal sana

Walaupun salamku dari kejauhan belum mencukupinya

2. Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu (Yaman)

Ketika mendengar wafatnya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, beliau layangkan bait-bait pujian terhadap Asy-Syaikh dan dakwahnya. Di antaranya:

Telah wafat tonggak ilmu dan pusat kemuliaan

Referensi utama para pahlawan dan orang-orang mulia

Dengan wafatnya, nyaris wafat pula ilmu-ilmu agama

Wajah kebenaran pun nyaris lenyap ditelan derasnya arus sungai

3. Muhammad Hamid Al-Fiqi (Mesir)

Beliau berkata: “Sesungguhnya amalan dan usaha yang beliau lakukan adalah untuk menghidupkan kembali semangat beramal dengan agama yang benar dan mengembalikan umat manusia kepada apa yang telah

ditetapkan dalam Al-Qur`an…. dan apa yang dibawa Rasulullah shallallahu

'alaihi wa sallam, serta apa yang diyakini para shahabat, para tabi’in dan

para imam yang terbimbing.”

4. Dr. Taqiyuddin Al-Hilali (Irak)

Beliau berkata: “Tidak asing lagi bahwa Al-Imam Ar-Rabbani Al-Awwab

28

(29)

Muhammad bin Abdul Wahhab benar-benar telah menegakkan dakwah tauhid yang lurus. Memperbaharui (kehidupan umat manusia) seperti di masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabatnya. Dan mendirikan daulah yang mengingatkan umat manusia kepada daulah di masa Al-Khulafa` Ar-Rasyidin.”

5. Asy-Syaikh Mulla ‘Umran bin ‘Ali Ridhwan (Linjah, Iran) Beliau–ketika dicap sebagai Wahhabi–berkata:

Jikalau mengikuti Ahmad dicap sebagai Wahhabi Maka kutegaskan bahwa aku adalah Wahhabi

Kubasmi segala kesyirikan dan tiadalah ada bagiku

Rabb selain Allah Dzat Yang Maha Tunggal lagi Maha Pemberi

6. Asy-Syaikh Ahmad bin Hajar Al-Buthami (Qatar)

Beliau berkata: “Sesungguhnya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab An-Najdi adalah seorang da’i tauhid, yang tergolong sebagai pembaharu yang adil dan pembenah yang ikhlas bagi agama umat.”

7. Al ‘Allamah Muhammad Basyir As-Sahsawani (India)

Kitab beliau Shiyanatul Insan ‘An Waswasah Asy-Syaikh Dahlan, sarat akan pujian dan pembelaan terhadap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan dakwahnya.

8. Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani (Syam)

Beliau berkata: “Dari apa yang telah lalu, nampaklah kedengkian yang sangat, kebencian durjana, dan tuduhan keji dari para penjahat (intelektual)

terhadap Al-Imam Al Mujaddid Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab–

semoga Allah subhanahu wa ta'ala merahmatinya dan mengaruniainya pahala—yang telah mengeluarkan manusia dari gelapnya kesyirikan menuju cahaya tauhid yang murni…”

9. Ulama Saudi Arabia

(30)

Penutup

Referensi

Dokumen terkait

Pada penelitian ini penulis mencoba menerapkan metode Fuzzy dan Dampster Shafer identifikasi difisiensi unsur hara pada tanaman pisang dimana metode Fuzzy

Dengan adanya jumlah Infak yang ditetapkan bagi calon jemaah Haji kota Palopo, maka timbullah keinginan penulis untuk mengkaji dan meneliti mengenai Infak Haji yang diputuskan

Oleh karena itu hubungan kerjasama dapat berjalan hingga saat ini dan menyebabkan kemudahan dalam pengembangan kerjasama.Selama tiga periode, kerjasama sister city

Kolom 11, 12, diisi dengan rencana biaya dan sumber pembiayaan, misalnya. APBN, APBD Provinsi/Kabupaten/Kota, APBDes dan kerjasama

Namja itu menggandeng Young sambil terus meminum minuman yang diberikan Young, membuat namja itu semakin hilang kesadarannya.. Sementara itu Young terus menyodorkan

Berdasarkan tabel 3 distribusi frekuensi tingkat pengetahuan tentang breast care pada ibu hamil di BPS Kusni Sri Mawarti Dlingo Bantul Yogyakarta tahun 2015 dapat diketahui

Program kerja ini bertujuan agar warga Desa Krompeng dapat mengetahui tentang Bank Sampah, sehingga dengan adanya Bank Sampah dapat mengurangi sampah plastik

Dengan adanya pernikahan yang berbeda agama dalam suatu masyarakat juga akan menumbuhkan rasa kekeluargaan dan dengan sendirinya tertanamnya sifat saling toleransi dalam