KEDUDUKAN WANITA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA
Oleh: Atrina Decy Fardani, 1406509864
Abstrak:
Masalah pokok yang akan dibahas adalah:
Bagaimana kedudukan wanita dalam sistem peradilan
pidana di Indonesia. Fakta di masyarakat
menunjukkan bahwa wanita seringkali tidak
diperlakukan secara adil di dalam sistem peradilan
pidana di Indonesia walaupun di dalam kenyataannya
di Indonesia sudah terdapat teori, konvensi, serta
instrumen hukum yang melindungi wanita.
Bangsa Indonesia seringkali terjebak dengan pola pikir yang memberanguskan perkembangan keadilan hukum, serta terjebak dengan formalitas belaka, sehingga keadilan menjadi sesuatu yang jauh antara law in the books dan law in actions. Oleh karenanya tidak ada artinya segala teori, konvensi, serta instrumen hukum yang ada jika tidak mampu menciptakan para penegak hukum yang mampu menjunjung hukum pada tingkatan yang sesuai dengan rasa keadilan sesungguhnya dan masyarakat yang mendukungnya.Kata Kunci: Fakta, Hukum, Keadilan, Masyarakat, Peradilan Pidana, Wanita.
instruments that protect women. The Indonesian people are often stuck with the mindset that aside the development of legal justice, and stuck with a mere formality, so that justice be something far between law in the books and law in actions. Therefore there is no meaning of any theory, conventions, as well as the existing legal instruments if unable they are to create the law enforcement agencies who are able to uphold the law at a level that corresponds to the true sense of justice and the community that supports it.
Keywords: Criminal Justice, Facts, Law, Justice, Society, Women.
A. PENDAHULUAN
“
Pengalaman perempuan menunjukkan
bahwa hukum tidak berpihak kepada
mereka, terutama yang berasal dari
lapisan masyarakat miskin, kelompok ras,
etnis dan agama minoritas, yang pada
dasarnya tidak memiliki akses kepada
kekuasaan.”
1Pernyataan sebagaimana diatas didukung dengan
fakta yang
menunjukan bahwa perempuan tergolong dalam kelompok rentan
yang lebih mudah terlanggar hak-haknya dan mengalami diskriminasi.
Kelompok rentan menurut Nathalina Naibaho dapat dipahami sebagai kelompok yang lebih mudah terlanggar hak-haknya sehingga mereka lebih mudah menjadi korban (baik secara individu maupun kelompok) dikarenakan kekhususan atau1 Sulistyowati Irianto, “Mempersoalkan Netralitas dan Obyektivitas Hukum: Sebuah
kekhasan yang dimilikinya.2 Kondisi tersebut mendorong adanya pembaharuan hukum yang ditandai adanya berbagai instrumen hukum yang menjamin kesetaraan, keadilan dan menganut prinsip non diskriminasi, yang bersumber dari berbagai konvensi internasional, hukum positif nasional, termasuk berbagai jurisprudensi di mana perempuan mendapat keadilan. Sebagai contoh adalah
adanya Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against
Women (CEDAW) sebagaimana yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984. Namun demikian, diakuinya hak-hak perempuan dalam hukum positif nasional tidak lantas menjamin perempuan mendapat perlakuan yang semestinya. Dalam sistem peradilan pidana, tak jarang kasus aparat penegak hukum melakukan tindakan diskriminasi terhadap perempuan terjadi di masyarakat. Perempuan cenderung menjadi korban dari sistem peradilan pidana baik ketika menjadi korban, saksi ataupun terdakwa.
Dalam tulisan ini akan disampaikan bagaimana di dalam praktiknya wanita seringkali tidak diperlakukan dengan adil di dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, baik dalam kedudukannya sebagai terdakwa, korban, ataupun saksi. Walaupun sudah terdapat Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (CEDAW) di Indonesia, sepertinya CEDAW belum sepenuhnya dipahami, diterapkan dan diimplementasikan dengan tepat oleh aparat penegak hukum serta masyarakat dan pada kenyataannya di masyarakat CEDAW hanya merupakan produk hukum yang kurang berdampak maksimal di dalam masyarakat.
B. PEMBAHASAN
Bermula dari ditetapkannya deklarasi universal hak asasi manusia (DUHAM) atau Universal Declaration of Human Rights pada tahun 1948, di dalamya terkandung prinsip-prinsip dasar kemanusiaan, yakni menjunjung tinggi harkat dan martabat bangsa, Negara di muka bumi ini mesti berkomitmen untuk
2 Nathalina Naibaho, “Vulnerabilitas Khas Korban dari Kelompok Rentan serta Urgensi
mengimplementasikannya.3 Kemudian lahir berbagai teori, deklarasi ataupun konvensi lainnya yang memperjuangkan hak-hak perempuan dan juga anak di dunia, salah satunya adalah CEDAW. Lahirnya CEDAW dilatarbelakangi oleh adanya sejarah dimana dahulu perempuan merasa tidak terlindungi dengan sistem hukum yang diberlakukan, terlepas seringkali terjadi perubahan struktur hukum maupun struksur sosial di dalam suatu komunitas global, ataupun hubungan antara teori dengan praktek yang terjadi. Selain adanya konvensi CEDAW, terdapat salah satu teori yang membela hak-hak wanita, terutama menjunjung kesetaraan gender/jenis kelamin yakni Feminist Legal Theory atau dikenal dengan FLT. Menurut beberapa pakar, salah satunya Peter Fitzpatrick, Feminisit Legal Theory
lahir dari Critical Legal Studies (CLS). CLS berusaha untuk membuktikan bahwa di balik hukum dan tatanan sosial yang muncul ke permukaan sebagai sesuatu yang netral, sebenamya di dalamnya penuh dengan muatan kepentingan tertentu yaitu kultur, ras, gender, bahkan kepentingan ekonomi.4 Menurut pandangan CLS, doktrin hukum yang selama ini terbentuk, sebenamya lebih berpihak kepada
mereka yang mempunyai kekuatan (power), baik itu kekuatan ekonomi, politik
ataupun militer. Oleh karena itulah, maka dalam memahami masalah hukum juga harus selalu dilihat dari konteks power-relations.5 Karena hal itulah, maka tidak
mengherankan apabila pada perkembangannya di kemudian hari CLS ini melahirkan Feminist Legal Theory.
Konsep Feminist Legal Theory lahir pada tahun 1980an akhir hingga
1990an. Feminist Legal Theory atau Feminist Jurisprudence (Pendekatan Hukum
berperspektif wanita) adalah sebuah falsafah hukum yang didasarkan pada
kesetaraan gender dibidang politik, ekonomi dan sosial. Feminist Legal Theory
didasarkan pada pandangan gerakan feminist bahwa dalam sejarah, hukum merupakan instrumen untuk melanggengkan posisi wanita dibawah subordinasi kaum pria. Feminist Legal Theory, biasa disebut juga feminist jurisprudence,
3 Romany Sihite, Perempuan, Kesetaraan, dan Keadilan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2007), hlm. 171.
4 Peter Fitzpatrick, dikutip dalam Munir Fuady, Aaron Hukum Ktitir Paradigma
Ketidakberdayaanoan Hukum, (Bandung: PT. Gtra Aditya Bakti, 2003), hlm. 5.
5 Ilham Hermawan dan Endra Wijaya, “Pokok Pemikiran Critical Legal Studies dan Upaya
mempelajari hukum dari sudut pandang teori-teori feminist.6 Feminist Legal
Theory ini muncul dari adanya perhatian pada isu-isu politik dan hukum dimana berdampak pada subordinasi perempuan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sejak dahulu wanita di depan hukum atupun tidak seringkali dianggap sepele atau tidak dianggap, dan juga adanya pembatatasan yang luar biasa antara wanita dengan hak-hak yang dimilikinya. Hukum baik sekarang ataupun dahulu kala sebenarnya dalam praktek belum bisa ditegakkan dengan seadil-adilnya. Hukum
hanya sebagai alat bagi yang memiliki kekuasaan (power) dan memandang pihak
perempuan atau pihak lainnya rendah dan lemah.
Dari penjelasan diatas dapat terlihat bahwa bagi wanita dalam kenyataanya sejak dahulu mengalami kesulitan dalam mendapatkan akses menuju keadilan dan perlakuan setara di depan hukum. baik sebagai korban ataupun saksi Sekarang ini, walaupun sudah terdapat berbagai teori serta konvensi yang mencoba untuk lebih melindungi wanita, tetapi dalam praktiknya masih sulit untuk diimplementasikan secara maksimal di dalam masyarakat walaupun sudah terdapat perbaikan.
Pengertian Akses Menuju Keadilan adalah kesempatan atau kemampuan setiap warga negara tanpa membedakan latar belakangnya (ras, agama, keturunan, pendidikan, atau tempat lahirnya) untuk memperoleh keadilan melalui lembaga
peradilan.7Keadaan yang terjadi menggambarkan bahwa terdapat jurang pemisah
antara tujuan ideal hukum, yaitu keadilan dengan kenyataan hidup sehari-hari
yang digambarkan oleh George Bernard Shaw sebagai berikut:8
“The law is equal before all of us, but we are not all equal before the law. Virtually there is one law for the rich and another for the poor, one law for the cunning and another for the simple, one law for the forceful and another for the feeble, one law for the ignorant and another for the learned, one law for the brave and another for the timid, and within family limits 6 Sulistyowati Irianto, Op.cit, hlm. 31.
7 Dr. J. Djohansjah, S.H., M.H., “Akses Menuju Keadilan”, (Bandung: Disampaikan Pada
Pelatihan HAM Bagi Jejaring Komisi Yudisial, 3 Juni 2010), hlm. 1.
one law for the parent and no law at all for the child.”
Arti dari pernyataan tersebut adalah hukum itu sama di hadapan kita semua, tetapi kita tidak semua sama di hadapan hukum. Seperti di Indonesia, kita menyadari bahwa bangsa ini sering kali terjebak dengan pola pikir yang memberanguskan perkembangan keadilan hukum, serta terjebak dengan formalitas belaka, sehingga keadilan menjadi sesuatu yang jauh antara law in the books dan law in actions, dimana misalnya walau di Indonesia sudah terdapat pengaturan dan instumen hukum yang melindungi wanita tetapi dalam praktiknya masih ditemukan kenyataan dimana wanita tidak diperlakukan sama di depan hukum.
Sebagai negara hukum (rechtsstaat) sebagaimana bunyi pasal 1 ayat (3)
Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan “Negara Indonesia adalah negara hukum”; maka negara harus menjamin persamaan setiap orang di hadapan hukum serta melindungi hak asasi manusia. Persamaan di hadapan hukum memiliki arti bahwa semua orang memiliki hak untuk diperlakukan sama di hadapan hukum (equality before the law). Persamaan perlakuan di hadapan hukum bagi setiap orang berlaku dengan tidak membeda-bedakan latar belakangnya (ras, agama, keturunan, pendidikan atau tempat lahirnya), untuk memperoleh keadilan melalui lembaga peradilan. Di dalam UU No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP, baik persamaan kedudukan di hadapan hukum maupun asas praduga tak bersalah tidak secara tegas dicantumkan dalam salah satu pasal, namun hal itu tersirat baik dalam Konsideran dan Penjelasan Umum KUHAP, khususnya dalam angka 3 antara lain ditegaskan: “...asas yang mengatur perlindungan terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia yang telah diletakkan di dalam Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yaitu UU No. 14 Tahun 1970 harus ditegakkan dalam dan dengan undang-undang ini.”
perempuan cenderung tidak melaporkan pengalaman yang dialaminya karena marak kasus aparat penegak hukum yang menempatkan korban sebagai pihak yang turut memicu terjadinya tindak pidana tersebut. Perempuan sebagai korban terkadang mendapatkan perlakuan yang kurang sesuai atau tidak simpatik dari petugas penegak hukum dengan pertanyaan, ucapan atau reaksi yang meremehkan. Di lain kasus, ketika perempuan ditetapkan sebagai saksi seringkali penegak hukum di persidangan seperti hakim atau jaksa memberikan pertanyaan yang sulit untuk dijawab dan menekan. Penegak hukum dalam hal ini merasa harus menemukan kebenaran materil dari suatu perkara sehingga mengenyampingkan posisi dan kebutuhan perempuan yang memiliki karakteristik sifat dasar yang berbeda dengan laki-laki. Sementara, saat perempuan sebagai Terdakwa kerap mendapatkan stigma negatif baik dari masyarakat maupun aparat penegak hukum. Sebagai contoh dalam kasus aborsi, perempuan akan mendapatkan stigma sebagai pembunuh dan pertanyaan di persidangan akan menempatkan mereka sebagai terdakwa pembunuhan. Perempuan yang telah ditetapkan sebagai Terdakwa juga cenderung lebih sulit diterima oleh masyarakat di banding laki-laki.
berarti segala pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang mempunyai dampak atau tujuan untuk mengurangi atau meniadakan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang lainnya oleh perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar kesetaraan”. Dari penjelasan tersebut jelas bahwa penghilangan diskriminasi terhadap wanita bukan berarti penghilangan dalam bentuk menyatukan tahanan pria dan wanita ke dalam satu tahanan. Karena penghilangan diskriminasi yang seperti ini bukannya memberi perlindungan terhadap wanita akan tetapi akan membahayakan wanita. Padahal penghilangan diskriminasi yang dimaksud CEDAW adalah bertujuan untuk melindungi wanita dan mempersamakan hak-hak wanita dengan pria. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa dalam praktiknya wanita masih kurang mendapat perlindungan di depan hukum dan justru terdapat kenyataan dimana wanita diletakkan dalam posisi yang membahayakan yakni dengan adanya penggabungan tahanan pria dan wanita.
Aparat penegak hukum di sistem peradilan pidana masih diwarnai berbagai perilaku rasisme, diskriminasi dan tidak berspektif perempuan. Sehingga perempuan menjadi pihak yang sering mendapat tekanan, ancaman dan intimidasi di dalam sistem peradilan pidana. Perempuan sering dihadapkan dengan sistem pelaporan, respon, maupun persidangan yang tidak sensitif terhadap kepentingan dan kebutuhannya. Menurut Prof. Sulistyowati, untuk dapat mengatakan apakah proses penegakan hukum terhadap perempuan sudah berspektif perempuan, tidak cukup hanya melihat substansi hukumnya saja. Karena definisi pasal masih banyak yang menyimpan persoalan, disamping itu penerapan pidana dari suatu pasal terhadap kasus kejahatan yang dilakukan oleh laki-laki dapat membawa efek yang berbeda apabila penerapan pidana tersebut dijatuhkan kepada perempuan. 9
C. PENUTUP
9 Sulistyowati Irianto dan Lidwina Inge Nurtjahyo, Perempuan di Persidangan:
Dapat disimpulkan bahwa walaupun sudah terdapat berbagai teori, konvensi, dan instrument hukum yang melindungi perempuan, yang seluruhnya mengandung asas non-diskriminasi dan menempatkan perempuan dan laki-laki pada posisi yang setara dan sama di hadapan hukum, namun pada kenyataannya di dalam sistem peradilan pidana di Indonesia masih ditemukan situasi dimana perempuan rentang dipojokan di dalam proses persidangan baik sebagai korban, saksi, ataupun terdakwa. Wanita di depan hukum atupun tidak seringkali dianggap sepele atau bahkan tidak dianggap, dan juga adanya pembatatasan yang luar biasa antara wanita dengan hak-hak yang dimilikinya. Perlakuan terhadap wanita tersebut tidak menunjukkan adanya prinsip kesamarataan di depan hukum.
Pemahaman equal dalam dunia peradilan di Indonesia harusnya mendapat tempat
dalam ruang pengetahuan hakim dan aparat hukum lain (Polisi dan Jaksa sebagai eksekutor) sehingga tidak terjadi kesalahan mendasar dalam memahami prinsip
equal dan keadilan. Kesamarataan sesungguhnya bukan berarti serupa tetapi juga berlandasan rasa keadilan sesungguhnya yang melihat tidak hanya pada satu sisi tapi juga pada banyak sisi.
Sebagaimana yang pernah dilantangkan oleh Prof. Taverne10 yang juga
menjadi “literatur‟ bagi para lawyer (ahli/sarjana hukum), bahwa pada prinsipnya bukanlah yang kita butuhkan sebuah produk hukum yang luar biasa (produk perundang-undangan) tetapi pada hakekatnya yang dibutuhkan adalah aparat
hukum (law aparatus) yang baik. Dalam memahami apa itu kesamarataan wanita
dihadapan hukum jelas kita tidak hanya bergantung kepada produk hukum, namun juga harus menjujung aparat penegak hukum yang baik dan juga melibatkan semua kalangan di Indonesia, yakni masyarakat Indonesia.
Oleh karenanya tidak ada artinya segala teori, konvensi, serta instrumen hukum yang ada jika tidak mampu menciptakan para penegak hukum yang mampu menjunjung hukum pada tingkatan yang sesuai dengan rasa keadilan sesungguhnya dan masyarakat yang mendukungnya. Hal tersebut yang dimaksud dalam pandangan Hayek dalam melihat asas equality before the law, yaitu jangan
perlakukan setiap orang sama karena hasilnya adalah ketidak-samaan, tetapi perilakukan mereka berbeda sesuai kebutuhannya karena disitulah keadilan. Keadilan dimaksud bukanlah mengistimewakan para kalangan tertentu tetapi meletakkan kelompok kecil atau rentan sebagai pedoman rasa keadilan, sehingga dapat ditemukkan letak kepahaman asas equality before the law yang berkeadilan di dalam kehidupan bermasyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. J. Djohansjah, S.H., M.H.. “Akses Menuju Keadilan”. Bandung: Disampaikan Pada Pelatihan HAM Bagi Jejaring Komisi Yudisial, 3 Juni 2010.
Fitzpatrick, Peter. Dikutip dalam Munir Fuady, Aaron Hukum Ktitik Paradigma
Hermawan, Ilham dan Endra Wijaya. “Pokok Pemikiran Critical Legal Studies dan Upaya Penerapannya”.
Irianto, Sulistyowati. “Mempersoalkan Netralitas dan Obyektivitas Hukum:
Sebuah Pengalaman Perempuan”, dalam Perempuan dan Hukum:
Menuju Hukum yang Berspektif Kesetaraan dan Keadilan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006).
Irianto, Sulistyowati, dan Lidwina Inge Nurtjahyo, Perempuan di Persidangan:
Pemantuan Peadilan Berspektif Perempuan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2006.
Naibaho, Nathalina. “Vulnerabilitas Khas Korban dari Kelompok Rentan serta Urgensi Pemberian Reparasi dan Kompensasi”, dalam Reparasi dan Kompensasi Korban dalam Restorative Justice System. Jakarta: Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, 2011.
Sihite, Romany. Perempuan, Kesetaraan, dan Keadilan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007.