BAB II
PENGATURAN HUKUM DALAM PENETAPAN PERBATASAN MENURUT HUKUM INTERNASIONAL
A. Pengertian Perbatasan
Pasal 1 Montevideo Convention on The Right and Duty of The States tahun
1993 menetapkan bahwa sebagai suatu kesatuan negara harus memiliki empat
kualifikasi yaitu memiliki penduduk yang tetap, wilayah dengan batas-batas yang
jelas, pemerintahan yang efektif dan kemampuan untuk mengadakan hubungan
dengan negara lain. Muatan produk hukum tersebut diatas dapat diletakkan pada
perspektif kedaulatan sebuah negara, dimana penegasan batas wilayah negara
merupakan manifestasi dari kedaulatan sebuah negara. Dalam batas-batas tersebut
sebuah negara memiliki complete and exclusive souvereignty (hak berdaulat yang
dilaksanakan secara penuh) dalam upaya mewujudkan visi dan tujuannya. Hal
inilah yang menjadikan suatu perbatasan menjadi sangat penting bagi
masing-masing negara.
Pengertian perbatasan secara umum adalah sebuah garis demarkasi antara
dua negara yang berdaulat26
26Rizal Darmaputra. 2009. Manajemen Perbatasan dan Reformasi Sektor Keamanan. Jakarta: IDSPS Press. Hlm. 3.
. Menurut pakar perbatasan Guo, bahwa kata border
atau perbatasan mengandung pengertian sebagai pembatasan suatu wilayah politik
dan wilayah pergerakan. Sedangkan wilayah perbatasan, mengandung pengertian
sebagai suatu area yang memegang peranan penting dalam kompetisi politik antar
hanya terbatas pada dua atau lebih negara yang berbeda, namun dapat pula
ditemui dalam suatu negara, seperti kota atau desa yang berada di bawah dua
yurisdiksi yang berbeda. Intinya, wilayah perbatasan merupakan area (baik kota
atau wilayah) yang membatasi antara dua kepentingan yurisdiksi yang berbeda27
Perbatasan secara politik dapat terbentuk dimana saja, baik dalam negeri
manapun dengan negeri lain. Oleh karena itu, wilayah perbatasan dapat
digambarkan sebagai suatu faktor pemisahan karena adanya halangan dua sistem
kekuasaan politik, sehingga pemerintahan di masing-masing wilayah politik yang
berbeda tersebut dapat mengatur dirinya sendiri, seperti terkait dengan ekspor dan
impor, apakah yang digunakan instrumen tarif atau non tarif, serta terkait dengan
penggunaan visa atau izin imigrasi bagi orang yang ingin memasuki suatu wilayah
di perbatasan
.
28
Suatu perbatasan seringkali didefinisikan sebagai garis imajiner di atas
permukaan bumi, yang memisahkan wilayah suatu negara dari negara lain. .
Secara historis, perbatasan sebuah negara atau state’s border, dikenal
dengan bersamaan lahirnya negara. Negara dalam pengertian modern sudah mulai
dikenal sejak abad ke-18 di Eropa. Perbatasan negara merupakan sebuah ruang
geografis yang sejak semula merupakan wilayah perebutan kekuasaan
antarnegara, yang terutama ditandai oleh adanya pertarungan untuk memperluas
batas-batas antarnegara. Sebagai bagian dari sejarah dan eksistensi negara, riwayat
daerah perbatasan tidak mungkin dilepaskan dari sejarah kelahiran dan
berakhirnya sebagai negara.
27J. G. Starke. 2007. Pengantar Hukum Internasional. Jakarta: PT. Sinar Grafika.
Namun menurut pakar perbatasan lainnya yaitu Jones, bahwa suatu perbatasan
bukan semata-mata sebuah garis pada suatu tanah perbatasan29
Menurut pendapat ahli geografi politik, pengertian perbatasan dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu boundaries dan frontier. Kedua defenisi ini
mempunyai arti dan makna yang berbeda meskipun keduanya saling melengkapi
dan mempunyai nilai yang strategis bagi kedaulatan wilayah negara. Perbatasan
disebut frontier karena posisinya yang terletak di depan (front) atau dibelakang
(hinterland) dari suatu negara. Oleh karena itu, frontier dapat juga disebut dengan
istilah foreland, borderland ataupun march. Sedangkan istilah boundary
digunakan karena fungsinya yang mengikat atau membatasi (bound or limit) suatu
unit politik, dalam hal ini adalah negara. Semua yang terdapat di dalamnya terikat
menjadi satu kesatuan yang bulat dan utuh serta saling terintegrasi satu dengan
yang lain. Boundary paling tepat dipakai apabila suatu negara dipandang sebagai
unit spasial yang berdaulat
.
30
Dalam bahasa Inggris, perbatasan memiliki dua istilah, yaitu boundaries dan
frontier. Dalam bahasa sehari-hari, kedua istilah tersebut tidak ada bedanya. Tetapi, dalam perspektif geografi politik, kedua istilah tersebut mempunyai
perbedaan makna. Menurut A. E. Moodie, boundaries diartikan sebagai
garis-garis yang mendemarkasikan batas-batas terluar dari wilayah suatu negara.
Sementara frontier merupakan zona (jalur) dengan lebar yang berbeda yang
berfungsi sebagai pemisah dua wilayah yang berlainan negaranya .
Beberapa pendapat para ahli geopilitik tentang biundaries dan frontier
antara lain sebagai berikut:
Menurut A. E. Moodie:
31
29J. G. Starke. Op. Cit.
30Suryo Sakti Hadiwijoyo. 2008. Batas Wilayah Negara Indonesia. Yogyakarta: Gava Media.
Hlm. 37.
31A. E. Moodie. 1963. Geography Behind Politics. London: Chinsoun University Library. Hlm. 72.
Menurut Hans Weiger dalam bukunya yang berjudul Principles of
Political Geography, yaitu:
Boundaries dapat dibedakan menjadi boundaries zone dan boundaries line. Boundaries line adalah garis yang mendemarkasikan batas terluar, sedangkan boundaries zone mempunyai pengertian yang tidak jauh berbeda dengan frontier. Boundarise zone diwujudkan dalam bentuk kenampakan ruang yang terletak antara dua wilayah. Ruang tersebut menjadi pemisah kedua wilayah negara dan
merupakan wilayah yang bebas. Boundary line diwujudkan dalam bentuk garis,
wooden barrier, a grassy path between field (jalan setapak rumput yang memisahkan dua atau lebih lapangan), jalan setapak di tengah hutan, dan lain-lain32
Frontier mempunyai orientasi keluar, sedangkan boundaries lebih berorientasi ke
dalam. Frontier merupakan sebuah manifestasi dari kekuatan sentrifugal,
sedangkan boundaries merupakan manifestasi kekuatan sentripetal. Perbedaan ini
bersumber pada perbedaan orientasi antara frontier dan boundaries. Frontier
merupakan suatu faktor integrasi antara negara-negara tersebut di satu pihak,
sedangkan boundaries merupakan suatu faktor pemisah. Boundaries berupa suatu
zone transisi antara suasana kehidupan yang berlainan, yang juga mencerminkan kekuatan-kekuatan yang saling berlawanan dari negara yang saling berbatasan.
Sedangkan frontier masih memungkinkan terjadinya saling interpenetrasi
pengaruh antar dua negara yang berbatasan/bertetangga .
Selanjutnya melengkapi pendapat Weiger dan Moodie, Kristof seorang
ahli geografi politik dalam tulisannya yang berjudul The Nature of Frontiers and
Boundarie (1982) membedakan boundaries dan frontier sebagai berikut:
33
Boundary adalah batas wilayah negara atau perbatasan di mana secara demarkasi letak negara dalam rotasi dunia yang telah ditentukan, dan mengikat secara bersama-sama atas rakyatnya di bawah suatu hukum dan pemerintah yang
berdaulat. Frontier adalah daerah perbatasan dalam suatu negara yang mempunyai
ruang gerak terbatas akan tetapi karena lokasinya berdekatan dengan negara lain, sehingga pengaruh luar dapat masuk ke negara tersebut yang berakibat munculnya masalah pada sektor ekonomi, politik, dan sosial budaya setempat yang kemudian berpengaruh pula terhadap kestabilan dan keamanan serta integritas suatu negara
.
Sedangkan menurut D. Whittersley:
34
32Hans Weiger. 1957. Principlles of Pilitical Geography. New York: Appleton Century.
33Kristof. 1982. The Nature of Frontier and Boundaries.
34D. Whittersley. 1982. Political Geography: a contemporary perspective. New Delhi. Hlm. 101.
Menurut pendapat Suryo Sakti Hadiwijoyo, perbatasan adalah wilayah
geografis yang berhadapan dengan negara tetangga, yang mana penduduk yang
bermukim di wilayah tersebut disatukan melalui hubungan sosial ekonomi dan
sosial budaya setelah ada kesepakatan antarnegara yang berbatasan35
Pada hakikatnya, perbatasan Indonesia adalah batas berakhirnya
kedaulatan penuh dari Pemerintah Indonesia terhadap wilayahnya berikut segala
isi di atas, permukaan dan di bawahnya. Ini mengandung arti bahwa secara hukum
(nasional dan internasional) kedaulatan penuh Pemerintah Indonesia hanya sampai
di kawasan-kawasan perbatasan NKRI yang telah ditentukan sebelumnya. Dalam
menjalankan kedaulatannya ini, Pemerintah Indonesia berhak melakukan apa saja
(to govern itself) terhadap isi dan ruang kawasan perbatasannya sesuai dengan cita .
Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 43 tahun 2008 tentang
Wilayah Negara mendefenisikan kawasan perbatasan negara adalah bagian dari
wilayah negara yang terletak pada sisi dalam batas wilayah Indonesia dengan
negara lain. Dalam hal batas wilayah negara di darat, kawasan perbatasan berada
di kecamatan yang berhadapan langsung dengan negara tetangga.
Berdasarkan pendapat para ahli sebagaimana diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa perbatasan adalah suatu kawasan yang berbatasan dengan
wilayah negara lain sebagaimana sebelumnya telah ditetapkan garis batasnya
melalui sebuah kesepakatan/perjanjian antar dua atau lebih negara yang
bertetangga, dimana kawasan perbatasan tersebut merupakan tanda berakhirnya
kedaulatan suatu negara terhadap wilayah yang dikuasainya.
dan tujuan negara Indonesia serta arah pembangunan negara Indonesia
sebagaiamana telah digariskan melalui rencana-rencana pembangunan jangka
pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Di samping itu, dalam
melaksanakan kedaulatan penuhnya di kawasan perbatasan, Pemerintah Indonesia
berhak menolak segala campur tangan/intervensi dari pihak atau negara lain.
Demikian juga sebaliknya, Pemerintah Indonesia tidak dapat melakukan
intervensi terhadap kawasan yang bukan dibawah yursdiksi kedaulatannya.
Intervensi terhadap kawasan perbatasan diperbolehkan sepanjang ada kesepakatan
antara Pemerintah Indonesia dengan pihak atau negara lain36
Terdapat beberapa nilai-nilai yang terkandung di kawasan perbatasan
Indonesia yaitu nilai kedaulatan, integritas, kesetaraan, kesepakatan dan
hormat-menghormati, pembangunan negara dan kerjasama, kepastian hukum, ideologi,
politis, ekonomis/kesejahteraan, sosial dan budaya, pertahanan keamanan,
geografis dan spasial serta teknologi. Sedangkan asas/prinsip yang terkandung
dalam kawasan perbatasan Indonesia adalah asas transnasional, persamaan
kedaulatan (principle of the sovereign equality), pengakuan (non-recognition
principle), pertahanan dan keamanan (self defence principle), kerjasama,
keberlanjutan (sustainability principle), desentralisasi, dekonsentrasi,
pembantuan, keadilan, kemanfaatan, kepastian hukum, penggunaan teknologi dan
negara kepulauan
.
37 .
36Mahendra Putra Kurnia. 2011. Hukum Kewilayahan Indonesia. Malang: Universitas
Brawijaya Press. Hlm. 83.
B. Fungsi Perbatasan
Berdasarkan pengertian perbatasan diatas, bahwasannya dapat
disimpulkan bahwa perbatasan mempunyai beberapa fungsi. Fungsi perbatasan
juga mengalami perkembangan zaman. Pada zaman dahulu fungsi perbatasan
umumnya sebagai berikut:
1. Garis pertahanan
Garis pertahanan digunakan untuk mengetahui batas yurisdiksi setiap
masing-masing negara. Sehingga negara yang satu dengan negara yang lain tidak
mengambil alih atas yurisdiksi suatu wilayah yang bukan merupakan bagian
wilayahnya.
2. Batas wilayah kekuasaan negara
Perbatasan sebagai batas wilayah kekuasaan negara agar suatu pemerintahan
negara mengetahui sampai dimana kedaulatan wilayahnya dan kewenangannya
untuk mengelola wilayahnya.
3. Untuk melindungi industri di dalam wilayah
Hal ini dilakukan agar pemerintah suatu negara dapat mengadakan pajak-pajak
tarif tertentu, seperti tarif lintas batas. Hal yang demikian akan mempengaruhi
pemasaran bagi hasil-hasil produksi industri tersebut. Jadi perbatasan disini
mempunyai fungsi perdagangan.
4. Fungsi legal (hukum)
Perbatasan merupakan batas berlakunya hukum suatu negara. Penduduk yang
tinggal di wilayah perbatasan, hendaknya mematuhi hukum-hukum yang berlaku
mempunyai adat istiadat yang sama dengan adat-istiadat penduduk di seberang
garis perbatasan negaranya. Akan tetapi dengan timbulnya supranasionalisme
yang didasarkan atas kepentingan ekonomi dan kebudayaan, beberapa negara mau
melepaskan sebagian dari kekuasaannya untuk kepentingan bersama mereka38
1. Fungsi pertahanan dan keamanan
.
Fungsi perbatasan secara umum bagi masing-masing negara yaitu:
Fungsi ini sangat terkait dengan pemahaman perbatasan secara geostrategis yang
diyakini sebagai penjelmaan kedaulatan politik suatu negara. Makna yang terkait
di dalamnya sangat luas, tidak hanya memberikan kepastian hukum atas yurisdiksi
wilayah teritorial Indonesia, akan tetapi juga berkaitan dengan aspek-aspek lain
seperti kewenangan administrasi pemerintahan nasional dan lokal, kebebasan
navigasi, lalu lintas perdagangan, serta eksplorasi dan eksploitasi sumber daya
alam. Sebagai wilayah batas antar negara, perbatasan juga merupakan sabuk
pengaman (security belt) yang berada pada lingkaran prioritas pertama dalam
strategi pertahanan keamanan Indonesia terhadap segala bentuk potensi ancaman
dari luar, baik dalam bentuk idiologi, politik serta sosial budaya dan pertahanan
keamanan.
2. Fungsi kesejahteraan
Sebagai pintu gerbang negara, wilayah perbatasan tentu memiliki keuntungan
lokasi geografis yang sangat strategis untuk berhubungan dengan negara tetangga.
Dalam konteks ini, wilayah perbatasan dipandang dapat dimanfaatkan sebagai
pintu gerbang aktifitas ekonomi perdagangan. Sehingga perbatasan dapat dilihat
38”Konsep Dasar Perbatasan”. Sebagaimana yang dimuat dalam
Diakses
sebagai daerah kerja sama antar negara bersebelahan dengan tujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat di daerah perbatasan kedua negara.
Fungsi ini sangat penting mengingat realitas kondisi sosial ekonomi masyarakat di
wilayah perbatasan darat masih terbelakang , dengan kondisi wilayah yang
umumnya terpencil, tingkat pendidikan dan kesehatan rendah dan seringjkali
dijumpai penduduk yang tergolong dalam kategori miskin. Apabila fungsi
kesejahteraan dapat diwujudkan akan berdampak positif terhadap berbagai aspek
kehidupan masyarakat perbatasan. Terciptanya kesejahteraan masyarakat akan
berdampak langsung terhadap daya tangkal terhadap berbagai kegiatan illegal
maupun provokasi pihak lawan yang dapat membahayakan kedaulatan negara.
Dengan kata lain, terlaksananya fungsi kesejahteraan di wilayah perbatasan dapat
secara efektif membantu menciptakan suatu kekuatan pertahanan dan keamanan.
3. Fungsi lingkungan
Fungsi ini terkait dengan karakteristik di wilayah perbatasan sebagai pintu
gerbang negara yang mempunyai keterkaitan saling mempengaruhi dengan
kegiatan di wilayah lainnya yang berbatasan baik dalam lingkup nasional maupun
regional39
1. Fungsi legal
.
Menurut Saru Arifin bahwa fungsi perbatasan ada 3 yaitu:
Yaitu adanya garis batas yang berfungsi untuk menegaskan batas suatu wilayah
dengan suatu standar yurisdiksi dan peraturan negara yang berlaku.
39”Konsep Dasar Perbatasan”. Sebagaimana yang dimuat dalam
2. Fungsi kontrol
Yaitu setiap pergerakan orang maupun barang yang masuk atau keluar dari suatu
wilayah perbatasan diatur dan menjadi kontrol negara tersebut.
3. Fungsi fiskal
Yaitu merupakan pelengkap dari fungsi kontrol yang memberikan hak kepada
suatu negara untuk menerapkan harga fiskal negara yang dituju40
1. Fungsi militer strategis
.
Selain beberapa fungsi perbatasan diatas yang terus berkembang sesuai
dengan perkembangan zaman, maka fungsi perbatasan menurut hukum
internasional oleh Jean Marc F. Blanchard dalam bukunya Linking Border
Disputes and War: An Instutional Statist Theory menyatakan bahwa perbatasan
memiliki 7 fungsi yaitu:
Dalam konteks ini perbatasan berfungsi untuk memenuhi kebutuhan militer
strategis suatu negara, terutama pembangunan sistem pertahanan laut, darat dan
udara untuk menjaga diri dari ancaman eksternal.
2. Fungsi Ekonomis
Perbatasan berfungsi sebagai penetapan wilayah tertentu dimana suatu negara
melakukan kontrol terhadap arus modal, perdagangan antarnegara, investasi asing,
pergerakan barang antarnegara. Fungsi ekonomis perbatasan juga memberikan
patokan bagi suatu negara untuk melakukan eksplorasi sumber-sumber alam
secara legal pada wilayah tertentu.
3. Fungsi Konstitutif
Berdasarkan konsep hukum international modern suatu negara berdaulat wajib
memiliki wilayah perbatasan yang terdefinisikan dengan jelas. Artinya, perbatasan
menetapkan posisi konstitutif negara tertentu di dalam komunitas international.
Suatu negara memiliki kedaulatan penuh atas wilayah yang merupakan
teritorialnya sebagaimana ditetapkan oleh perbatasan yang ada.
4. Fungsi identitas nasional
Sebagai pembawa identitas nasional, perbatasan memiliki fungsi pengikat secara
emosional terhadap komunitas yang ada dalam teritori tertentu. Kesamaan
pengalaman dan sejarah, secara langsung maupun tidak langsung telah mengikat
masyarakat secara emosional untuk mengklaim identitas dan wilayah tertentu.
5. Fungsi persatuan nasional
Melalui pembentukan identitas nasional perbatasan ikut menjaga persatuan
nasional. Untuk menjaga persatuan dan kesatuan nasional, para pemimpin negara
biasanya mengombinasikan simbol dan jargon dengan konsep teritori dan
perbatasan. Konsep-konsep seperti kekuatan maritim dan kekuatan darat biasanya
dipakai untuk mendorong warga agar menjadi persatuan dan kesatuan nasional.
6. Fungsi pembangunan negara bangsa
Perbatasan sangat membantu dalam pembangunan dan pengembangan negara
bangsa karena memberikan kekuatan bagi negara untuk menentukan bagaimana
sejarah bangsa dibentuk, menentukan simbol-simbol apa yang dapat diterima
7. Fungsi pencapaian kepentingan domestik
Perbatasan berfungsi untuk memberikan batas geografis bagi upaya negara untuk
mencapai kepentingan nasional di bidang politik, sosial, ekonomi, pendidikan,
pembangunan infrastruktur, konservasi energi, dan sebagainya. Perbatasan juga
menetapkan sampai sebatas mana negara dapat melakukan segala upayanya untuk
mencapai kepentingan nasionalnya41
C. Tipe Perbatasan
.
Berkaitan dengan fungsi-fungsi perbatasan tersebut, maka setiap negara
perlu untuk melakukan tindakan yang dapat menjamin keamanan di wilayah
perbatasan. Karena kawasan perbatasan identik dengan kebijakan politik yang
berbeda-beda pada dua atau lebih wilayah yang saling berbatasan tersebut,
sehingga hal ini sangat penting karena kemampuan negara untuk menjaga
keamanan perbatasannya dapat menjamin kelangsungan hidup negara tersebut
untuk kedepannya.
Berdasarkan pengertian dan fungsi perbatasan, maka O. J. Martinez,
mengelompokkan perbatasan kedalam berbagai tipe, yaitu:
1. Alinated borderland
Yaitu suatu wilayah perbatasan yang tidak terjadi aktivitas lintas batas, sebagai
akibat berkecamuknya perang, konflik, dominasi nasionalisme, kebencian
ideologis, permusuhan agama, perbedaan kebudayaan, serta persaingan etnik.
2. Coexistent borderland
Yaitu suatu wilayah perbatasan dimana konflik lintas batas bisa ditekan sampai ke
tingkat yang bisa dikendalikan meskipun masih muncul persoalan yang
penyelesaiaannya berkaitan dengan masalah kepemilikan sumber daya alam yang
strategis di perbatasan.
3. Interdependent borderland
Yaitu suatu wilayah perbatasan yang kedua sisinya secara simbolik dihubungkan
oleh hubungan internasional yang relatif stabil. Penduduk di kedua bagian daerah
perbatasan, juga di kedua negara terlibat dalam berbagai kegiatan perekonomian
yang saling menguntungkan dan kurang lebih dalam tingkat yang setara, misalnya
salah satu pihak mempunyai fasilitas produksi sementara yang lain memiliki
tenaga kerja yang murah.
4. Integrated borderland
Yaitu suatu wilayah perbatasan yang kegiatan ekonominya merupakan sebuah
kesatuan, nasionalisme jauh menyurut pada kedua negara dan keduanya tergabung
dalam sebuah persekutuan yang erat. Hal ini terjadi di kawasan perbatasan antara
Amerika Serikat dan Kanada42
Mengacu kepada tipologi Martinez diatas, Riwanto Tirtosudarmo
mengkategorikan wilayah perbatasan Indonesia dengan Malaysia termasuk di
antara tipe kedua dan ketiga yaitu coexistent dan interdependent borderland.
Panjang garis perbatasan yang dimiliki Indonesia seperti yang terbentang dari .
Kalimantan Utara dan Kalimantan Barat dengan Malaysia (Sabah dan Serawak)
adalah sejauh 2.004 kilometer43
Indonesia dan Malaysia adalah dua negara yang bertetangga yang sebelum
diperkenalkannya konsep negara modern tidak mengenal batas-batas fisik maupun
batas-batas kultural. Semenjak era kolonialisme Eropa Barat kedua negara meiliki
konsep sebagai negara modern yaitu Indonesia pada 17 Agustus 1945 dan
Malaysia pada 31 Agustus 1957. Konsekuensi adalah terciptanya garis demarkasi
antara kedua negara yang kemudian disebut sebagai perbatasan .
44
D. Pengaturan Hukum Penetapan Perbatasan Menurut Hukum Internasional . Berdasarkan hal
ini, maka dalam penetuan titik patok perbatasan secara konseptual menggunakan
koordinat titik-titik batas, yang dilampiri sebuah peta ilustrasi umum dari garis
batas yang disepakati. Karena sifat garis batas yang sangat penting, sebagai
penanda mulai dan berakhirnya hak dan kewajiban suatu negara, maka letak
pastinya di lapangan perlu ditegaskan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara
memasang tanda-tanda batas di sepanjang garis batas yang diperjanjikan.
Penetapan mengenai batas wilayah suatu negara antara masa lalu dengan
perkembangan mutakhir di bidang hukum internasional telah mengalami
perubahan. Pada masa lalu, batas wilayah suatu negara banyak dipengaruhi oleh
kegiatan kolonialisme dengan berbagai variannya, seperti okupasi, preskripsi,
cessi, akresi, penaklukan dan akuisisi.
Pada zaman ini telah ada pedoman dari hukum internasional yang
ditungkan dalam sumber-sumber hukum internasional. Sumber hukum
internasional adalah kumpulan peraturan dan prinsip-prinsip yang dijadikan
sebagai rujukan oleh ahli atau pakar hukum internasional saat akan
memberlakukan suatu ketentuan hukum internasional. Sumber hukum
internasional sangat mempengaruhi argumentasi hukum yang akan dikemukakan
dalam suatu putusan hukum internasional45
1. Perjanjian Internasional (International Conventions)
.
Sumber Hukum Internasional menurut ketentuan Pasal 38 ayat (1) Statuta
Mahkamah Internasional terdiri dari :
Perjanjian internasional mengakibatkan pihak-pihak yang mengadakan
perjanjian saling menyetujui, menimbulkan hak dan kewajiban dalam
bidang internasional. Kedudukan perjanjian internasional sebagai sumber
hukum internasional sangat penting mengingat perjanjian internasional
lebih menjamin kepastian hukum karena dibuat secara tertulis.
2. Kebiasaan International (International Custom)
Tidak setiap kebiasaan internasional dapat menjadi sumber hukum, ada
dua syarat untuk dapat dikatakan menjadi sumber hukum, yaitu: harus
terdapat suatu kenbiasaan yang bersifat umum (unsur material) dan
kebiasaan itu harus diterima sebagai hukum (unsur psikologis)46
45”Sumber Hukum Internasional”. Sebagaimana dimuat dalam .
yang diakses pada tanggal 18 februari 2015 pukul 20.15 WIB.
46Rochimuddin. “Sumber Hukum Internasional”. Sebagaimana dimuat dalam
yang diakses pada
3. Prinsip-prinsip Hukum Umum (General Principles of Law) yang diakui
oleh negara-negara beradab
Adanya prinsip-prinsp hukum umum sebagai sumber hukum primer,
sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan hukum internasional
sebagai sistem hukum positif, karena prinsip-prinsip hukum umum ini
melandasi semua hukum yang ada di dunia, baik hukum internasional
maupun hukum nasional.
4. Keputusan Pengadilan/Yurisprudensi Internasional (judicial decisions)
Keputusan-keputusan peradilan memberikan peranan yang cukup penting
dalam membantu pembentukan norma-norma baru hukum internasional.
Keputusan-keputusan Mahkamah Internasional dapat berupa keputusan
yang bukan atas pelaksanaan hukum positif tetapi atas dasa prinsip-prinsip
keadilan dan kebenaran.
5. Pendapat para ahli yang telah diakui kepakarannya/Doktrin (Theachings of
the most highly qualified publicists)
Pendapat para sarjana terkemuka, mengenai suatu masalah tertentu,
meskipun bukan merupakan hukum positif, seringkali dikutip untuk
memperkuat pendapat tentang adanya atau kebenaran dari suatu norma
hukum. Pendapat para sarjana akan lebih berpengaruh jika dikemukakan
oleh perkumpulan professional47
Dalam perkembangan mutakhir, batas wilayah negara tersebut lebih
ditentukan oleh sumber-sumber dan proses-proses hukum internasional seperti self
.
47Rochimuddin. “Sumber Hukum Internasional”. Sebagaimana dimuat dalam
determination, asas uti possidetis juris, dan perjanjian batas negara. Ketiga cara
ini telah diakui oleh masyarakat internasional sebagai suatu cara dalam penentuan
wilayah bagi negara yang baru merdeka dari belenggu penjajah maupun yang baru
berdiri melalui pelaksanaan hak menentukan nasib sendiri48
a. Self Determination
.
Self determination merupakan salah satu dari sumber hukum internasional
karena sebagai salah satu prinsip-prinsip hukum umum yang telah diakui oleh
negara beradab yang dapat dijadikan sebagai salah satu pedoman untuk penentuan
perbatasan suatu negara menurut hukum internasional. Pengertian hak untuk
menentukan nasib sendiri (the rights of self determination) dapat dijelaskan dalam
2 arti. Pertama dapat diartikan sebagai hak dari suatu bangsa dalam sebuah negara
untuk menentukan bentuk pemerintahannya sendiri. Hak demikian sudah diakui
dalam hukum internasional, khususnya dalam deklarasi mengenai hak dan
kewajiban negara-negara yang dibuat oleh panitia hukum internasional pada tahun
1949 dan dimuat dalam pasal 1 yang menyebutkan: “Every state has the right to
independence and hence to exercise freely, without dictation by any other state,
all its legal powers, including the choice of its own form of gevornment”.
Kedua, hak menentukan nasib sendiri dapat berarti sebagai hak dari
sekelompok orang atau bangsa untuk mendirikan sendiri suatu negara yang
merdeka. Konsep self determination ini menjadi perhatian serius oleh PBB ketika
pada tanggal 26 Juni 1945 Piagam PBB ditandatangani di SanFransisco49
Hak penentuan nasib sendiri (right of self determination) oleh suatu
bangsa pada prakteknya berawal dari Revolusi Amerika dan Revolusi Prancis di
abad ke 18. Hak ini berkembang sejalan dengan perkembangan politik dunia,
permasalahan etnis, dan pemberontakan dari etnis-etnis di Amerika dan Eropa .
50
Pasal 1 ayat (2) Piagam PBB menyatakan: “To develop friendly relations
among nations based on respect for the principle of equal rights and self
determination of peoples, and to take other approppriate measures to strengthen .
Pada faktanya, selama Perang Dunia I, konsep penentuan nasib sendiri menjadi
instrumen penting dalam kelahiran suatu individual nation-state yang saat itu
berjuang memisahkan diri dari Kerajaan Austro-Hungaria dan Kerajaan Utsmani.
Meskipun demikian, hak penentuan nasib sendiri tidak pernah diakui sebagai
suatu hak dalam praktek hukum internasional sampai diadopsinya hak ini dalam
Piagam PBB pasal 1 ayat (2) pada Juni 1945 dimana doktrin dari self
determination dikodifikasi atau diberlakukan sebagai hukum internasional positif.
Meskipun Piagam PBB hanya sedikit memberikan pengaturan tentang
“self determination”, akan tetapi Piagam PBB telah memberikan beberapa doktrin
mengenai hak penentuan nasib sendiri. Prinsip-prinsip mengenai penentuan nasib
sendiri dengan jelas disebutkan adalah pertama kali pada pasal 1 ayat (2) dan
kemudian pasal 55 Piagam PBB.
49Suryokusumo Sumaryo. 1997. Studi Kasus Hukum Organisasi Internasional. Bandung:
Penerbit Alumni. Hlm. 167.
50G. J. Simpson. 1996. “The Diffusion of Sovereignty: Self Determination in the Post Colonial
universal peace” bahwa salah satu tujuan dari PBB adalah untuk “membangun
hubungan baik antara bangsa-bangsa berdasarkan kehormatan untuk prinsip
kesamaan hak dan penentuan nasib sendiri dari rakyat”. Pasal 55 Piagam PBB
juga menyatakan: “With a view to the creation of conditions of stability and
weel-being which are necessary for peacefull and friendly relations among nations
based on respect for the principle of equal rights and self determination of
peoples” bahwa yang mendorong PBB untuk meningkatkan standar kehidupan
masyarakat dunia, menciptakan kondisi stabilitas dan hubungan damai serta
mencari solusi terhadap masalah kesehatan dan kebudayaan masyarakat dunia,
serta penghormatan universal terhadap prinsip persamaan hak dan penentuan
nasib sendiri oleh rakyat serta Hak Azasi Manusia.
Pengaturan dari penentuan nasib sendiri dalam pasal 1 ayat (2) dan pasal
55 Piagam PBB kemudian dilengkapi oleh Bab XI tentang Deklarasi mengenai
Wilayah-wilayah tidak Berpemerintahan Sendiri dan Bab XII tentang Sistem
Perwalian Internasional. Akan tetapi tidak satupun pasal dalam kedua bab ini
memberikan penjelasan terperinci tentang self determination.
Piagam PBB merupakan dasar dari hak penentuan nasib sendiri. Piagam
PBB yang pertama kali memasukkan ketentuan penentuan nasib sendiri ke dalam
hukum internasional positif. Dengan dimasukkannya prinsip self determination
dalam pasal 1 ayat (2), maka pembentuk Piagam PBB mengidentifikasikan self
PBB51. Penentuan nasib sendiri dijalankan dalam konteks untuk menciptakan
hubungan baik antar negara-negara dengan mengutamakan kesamaan hak setiap
bangsa di dunia. Piagam PBB dianggap berkontribusi menyumbangkan prinsip
bahwa “kedamaian dunia” adalah tidak mungkin terwujud tanpa self
determination52
b. Asas Uti Possidetis Juris
. Dalam konteks, praktisnya prinsip self determination sebagai
dasar terbentuknya suatu negara dan penguasaan wilayahnya, telah dijadikan
dasar oleh Mahkamah Internasional dalam memutus beberapa kasus di
negara-negara yang memperjuangkan kemerdekaan negara-negaranya dan dalam hal penentuan
batas-batas negaranya.
Uti Possidetis Juris juga merupakan salah satu dari sumber hukum
internasional karena sebagai salah satu prinsip-prinsip hukum umum yang telah
diakui oleh negara beradab yang dapat dijadikan sebagai salah satu pedoman
untuk penentuan perbatasan suatu negara menurut hukum internasional. Uti
Possidetis Juris secara terminologi merupakan bahasa latin yang berarti “sebagai
milik anda” (as you possess). Terminologi ini secara historis berasal dari hukum
Romawi yang berarti bahwa wilayah dan kekayaan lainnya mengikuti pemilik asal
pada akhir konflik antara negara baru dengan penguasa sebelumnya yang
51Antonio Cassese. 1995. Self Determination of Peoples: A Legal Reappraisal. Cambridge University Press. Hlm. 38.
disajikan dalam sebuah perjanjian53. Uti Possidetis Juris adalah prinsip dalam
hukum internasional bahwa teritori dan properti lainnya tetap dengan pemiliknya
pada akhir konflik, kecuali disediakan oleh perjanjian, jika perjanjian tersebut
tidak termasuk kondisi tentang kepemilikan properti dan wilayah diambil selama
perang, maka prinsip uti possidetis juris akan menang54
Secara historis, dalam hukum Romawi prinsip ini diterapkan dalam kasus
penaklukan wilayah seperti yang dilakukan oleh penguasa Jerman pada tahun
1871 atas Alsace Lorraine
.
55
. Dalam sistem hukum Romawi prinsip ini digunakan
untuk terminologi hukum perdata. Dalam konteksnya, terdapat dua perbedaan
terminologidari terjemahan Uti Possidetis Juris, secara etimologi antara
possession dan ownership dalam hukum perdata. Possession mengandung arti
kepemilikan melalui prosedur yang baik tanpa melalui kekerasan dan kecurangan.
Hakim Roma menerapkan Uti Possidetis yang terkenal dengan Ita Possidetis yang
dalam bahasa Inggris berarti “as you possess, so you may possess”, sebagai milik
anda maka anda boleh memilikinya. Ketentuan ini tidak diterapkan dalam
pertanyaan owenership di depan pengadilan yang lebih menekankan pada
bukti-bukti formal. Dengan demikian, possession menunjukkan kepada pengertian
kepemilikan yang tidak formal, sebagaimana dalam hukum perdata lebih
bermakna penguasaan faktual56
53Helen Ghebrewebet. 2006. Identifying Units of Statehood and Determining International Boundaries: A Revised Look at the Doctrine of Uti Possidetis and the Principle of Self Determination. Verlag Peter Lang.
.
54”Uti Possidetis”. Sebagaimana dimuat dalam diakses pada 25 januari 2015 pukul 20.04 WIB.
55HelenGhebrewebet, Helen. Loc. Cit.
Evolusi prinsip Uti Possidetis Juris ini dari hukum perdata ke hukum
internasional dilakukan dengan dua tujuan. Pertama, hal ini dimaksudkan untuk
menegaskan klaim atas properti dalam suatu kedaulatan teritorial. Kedua,
dimaksudkan untuk menyatakan barang milik (possession) yang secara faktual
bersifat sementara dalam hukum perdata menjadi berstatus permanen secara
hukum dari kedaualatan hak milik pada suatu wilayah negara57
Prinsip ini oleh ICJ juga ditegaskan berlaku bagi suatu negara bekas
jajahan di luar kasus Burkina Faso v. Republic of Mali tanpa memperhatikan
status hukum dan politik entitas sisi perbatasan yang bersangkutan. Penggunaan
prinsip ini menurut sebagian ahli hukum internasional seperti Paul R. Hensel
Michael E. Allison, akan lebih menciptakan stabilitas di perbatasan dibandingkan
perbatasan negara-negara yang tidak diwarisi oleh penjajah. Alasannya adalah
bahwa para penguasa kolonial telah meletakkan dasar-dasar batas negara secara
jelas dalam sebuah perjanjian, sehingga negara-negara yang baru merdeka dari .
Pada tahun 1986 prinsip ini oleh International Court of Justice (ICJ)
diterapkan dalam kasus Burkina Faso v. Republic of Mali. Dalam putusannya
tersebut dinyatakan sebagai berikut:
“(Uti Possidetis) is a general principle, which is logically with the
nomenon of obtaining independence, wherever it occurs. Its obvious purpose is to
prevent the independence and stability of new states being endangered by
fratricidal struggles provoked by the changing of frontiers following the
withdrawal of the administering power”.
penguasa penjajah hanya akan meneruskan saja warisan perbatasan yang telah
ditinggalkan oleh penjajah58
Tujuan utama dari penggunaan prinsip ini adalah untuk mencegah
terjadinya konflik-konflik yang didasarkan pada perebutan perbatasan oleh
negara-negara baru. Pada saat ini prinsip ini telah menjadi bagian dari hukum
kebiasaan internasional .
Dalam sejarahnya, prinsip ini terbagi menjadi dua, yaitu uti possidetis juris
dan uti possidetis de facto. Brazil adalah satu-satunya negara yang tidak mau
menerima prinsip yang pertama, tetapi ia lebih memilih prinsip yang kedua.
Prinsip yang kedua tersebut menegaskan, bahwa kepemilikan suatu wilayah lebih
didasarkan pada okupasi secara fisik daripada mengikuti wilayah penguasa
kolonial. Brazil menggunakan doktrin ini untuk mempertahankan argumentasi
kepemilikan wilayah perbatasan seluas 1810 km di hadapan negara-negara bekas
jajahan Spanyol, seperti Bolivia dan Peru. Meskipun prinsip ini mendasarkan
batas-batas wilayah suatu negara pada batas-batas wilayah dari negara yang dulu
mendudukinya, namun dalam kenyataannya batas-batas wilayah suatu negara
(yang lama atau yang baru) dapat saja berubah. Perubahan tersebut dapat terjadi
karena adanya putusan pengadilan (yurisprudensi internasional) yang
memutuskan sengketa batas wilayah kedua negara atau adanya suatu perjanjian
perbatasan antarkedua negara tersebut.
59
58Saru Arifin. Op. Cit. Hlm. 67.
59Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar. 2006. Hukum Internasional Kontemporer. Bandung: PT. Refika Aditama. Hlm. 183.
. Oleh sebab itu, melalui penerapan prinsip ini maka
tidak dimungkinkan lagi adanya klaim suatu wilayah yang didasarkan pada terra
Selain itu, pasal 62 ayat (2) Konvensi Wina 1969 mengenai perjanjian
internasional menyatakan klausula rebus sic stantibus atau tidak dapat
diberlakukan terhadap perjanjian internasional yang mengatur mengenai
perbatasan negara. Bunyi pasal 62 ayat (2) Konvensi Wina 1969 adalah sebagai
berikut:
“A fundamental change of circumtances may no be invoked as a ground
for terminating or withdrawing from treaty: (a). If the treaty establishes a
boundary; or (b). If the fundamental change is the result of a breach by the party
invoking it either of an abligation under the treaty or of any the international
obligation owed to any party of the treaty”.
Pernyataan ini dipertegas lagi dalam ketentuan pasal 62 ayat (2) Konvensi
Wina tahun 1986 tentang Hukum Perjanjian Antarnegara-negara dengan
Organisasi Internasional atau Antara Organisasi-organsisasi Internasional. Pasal
62 ayat (2) Konvensi Wina tahun 1986 berbunyi sebagai berikut:
“A fundamental change of circumtances may no be invoked as a ground
for terminating or withdrawing from treaty between two or more states and one or
more international organizations if the treaty establishes a boundary”60.
Sesuai dengan penjelasan diatas maka rezim hukum kebiasaan
internasional umum pun berlaku mengikat secara penuh terhadap Indonesia, maka
dapat dikatakan bahwa keseluruhan wilayah Republik Indonesia adalah meliputi
seluruh wilayah eks-koloni Belanda.
c. Perjanjian Perbatasan
Perjanjian perbatasan termasuk sebagai perjanjian internasional yang telah
dibuat atau disepakati oleh dua negara atau lebih yang saling berbatasan satu sama
lain yang dapat dijadikan sebagai salah satu pedoman untuk penentuan perbatasan
suatu negara menurut hukum internasional. Batas-batas negara pada awalnya
terjadi berdasarkan histories yuridis, artinya perbatasan tersebut ditetapkan oleh
para penguasa wilayah-wilayah tersebut pada masa dahulu, baik secara tertulis
maupun cara lainnya yang berlaku pada waktu itu, dan ketetapan tersebut
dilanjutkan oleh pemerintahan atau penguasa kedua wilayah tersebut. Selain itu
terdapat perbatasan negara yng ditetapkan secara bersama oleh suatu
pemerintahan yang ada, karena terdapat bagian-bagian perbatasan negara yang
tidak jelas posisinya atau adanya perkembangan baru di daerah tersebut.
Dalam konteks perjanjian perbatasan, di dalam hukum internasional
dikenal dua macam perjanjian, yaitu personal treaties dan imopersonal/dispositive
treaties. Konsep ini kemudian diterapkan pada pergantian negara dalam hukum
intrenasional klasik, dengan ketentuan bahwa diartikan dengan perjanjian
dispositive adalah perjanjian yang melibatkan tanah atau wilayah. Perjanjian
internasional yang membebani wilayah dengan status hukum, misalnya perjanjian
pangkalan militer, perjanjian perbatasan dan lain-lain. Sedangkan personal
treaties atau juga perjanjian yang bersifat politis dapat berbentuk bilateral atau
multilateral, misalnya perjanjian-perjanjian persektuan, netralitas, dan
penyelesaian perselisihan secara damai61
61Saru Arifin. Op. Cit. Hlm 70.
Teori ini sudah ditinggalkan, karena tidak sesuai dengan kenyataan dari
praktik negara-negara yang timbul dari bekas wilayah-wilayah jajahan setelah
perang dunia kedua. Mengenai perjanjian dispositive, yakni traktat yang terkait
dengan hak atas wilayah berlaku mengikuti wilayah, run with the land yaitu tidak
mengikuti perubahan kekuasaan atau kedaulatan terhadap wilayahnya.
Secara yuridis dengan adanya ketentuan rebus sic stantibus atau
perubahan yang mendasar dari keadaan yang menguasai perjanjian dapat
membuat perjanjian dispositive tidak berlaku. Dengan timbulnya negara baru dari
wilayah bekas jajahan bisa asaja menganggap bahwa perjanjian mengenai
pangkalan militer asing tidak lagi berlaku, karena situasinya sekarang sudah
secara fundamental berubah.
Namun demikian, telah ada suatu konsensus umum bahwa perjanjian
perbatasan sebagai suatu perjanjian dispositive tetap harus beralih dan diakui oleh
negara pengganti. Bahkan perubahan keadaan yang mendasar tidak diperkenankan
untuk membatalkan perjanjian perbatasan, dan ketentuan ini dirumuskan dalam
pasal 62 ayat (2) Konvensi Wina mengenai perjanjian. Ada dua alternatif teori
yang digunakan untuk menganalisis sikap negara-negara baru terhadap
perjanjian-perjanjian internasional sehubungan dengan pergantian negara, yaitu:
1. Teori negatif, dimana semua perjanjian-perjanjian internasional yang dibuat
negara yang digantikan tidak mengikat negara pengganti, teori ini juga disebut
2. Teori universal, dimana semua perjanjian internasional yang dibuat negara yang
digantikan beralih secara langsung mengikat negara pengganti62
Cara lain untuk mengatur perpindahan perjanjian internasional pada
negara-negara baru adalah dengan membuat inheritance agreement atau
devolution agreement. Menurut maknanya dapat diterjemahkan sebagai perjanjian
peralihan. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa dibuatnya perjanjian
peralihan ini, maka perjanjian multilateral yang berisfat law making treaty
langsung mengikat negara baru
.
63
Perjanjian perbatasan antarnegara merupakan salah satu bentuk perjanjian
internasional yang tentu saja dalam pelaksanaannya mengikuti asas-asas dan
kaidah yang lazim dalam hukum internasional. Doktrin hukum internasional
mengajarkan bahwa perjanjian tentang batas negara bersifat final sehingga tidak
dapat diubah, negara pihak tidak dapat menuntut perubahan garis batas setelah
batas tersebut disepakati bersama. Doktrin yang berlaku bagi negara yang baru
merdeka, sesuai dengan hukum internasional adalah clean state dimana negara
baru tidak memiliki keterikatan untuk mempertahankan perjanjian yang dibuat
pemerintah sebelumnya sehingga posisi negara baru vis a vis perjanjian tersebut
sepenuhnya bebas menerima atau menolak eksistensi perjanjian. Berdasarkan
hukum perjanjian internasional hal tersebut wajar karena perjanjian hanya
mengikat pihak yang membuatnya dan tidak berlaku bagi pihak ketiga.
Pengecualian yang ada berkaitan dengan kepemilikan atas wilayah akibat
terbentuknya negara baru ternyata terbentuknya negara baru tersebut tidak .
berpengaruh terhadap perjanjian perbatasan yang telah dibuat oleh penguasa
terdahulu, hal ini juga ditegaskan dalam konvensi Wina 1978 tentang suksesi
Negara64
Berdasarkan kerangka teori tersebut, maka penetapan wilayah Indonesia
mengikuti prinsip self determination dalam proklamasi kemerdekaannya, dan Uti
Possidetis dalam penetapan wilayah daratnya, yaitu mencakup seluruh wilayah
bekas jajahan Belanda. Sementara dalam penetapan batas wilayah laut
menggunakan rezim UNCLOS 1982 .
65 .