• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP PENDIDIKAN MORAL DITINJAU DARI PE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KONSEP PENDIDIKAN MORAL DITINJAU DARI PE"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

KONSEP PENDIDIKAN MORAL

DITINJAU DARI PEKPEKTIF PERKEMBANGAN ANAK

Oleh Fatimah Ibda ~

Abstrak: Artikel ini mencoba mendiskusikan beberapa pendekatan dalam memahami pendidikan moral anak. Perkembangan moral merupakan salah satu topik yang banyak dibahas dalm perkembangan sosial. Pembicaraan mengenai penyesuaian anak terhadap aturan-aturan dan nilai-nilai dapat ditelusuri melalui tiga konsep filosofis yaitu pertama, konsep yang dikemukakan oleh Augustine (354-430 M). Konsep ini memandang anak pada dasarnya penuh dosa. Anak membutuhkan perlakuan hukuman dari orang dewasa. Kedua: konsep yang dikemukakan oleh Locke (1632-1704). Anak dipandang netral Secara moral atau tabularasa. Latihan dan pengalaman akan menentukan apakah anak akan menjadi baik atau buruk. Dan terakhir. konsep yang dikemukakan oleh Rousseau ( 1712-1778). Menurut Rousseau anak memiliki pembawaan suci. Perilaku tidak bermoral sebagai basil dari ubahan orang dewasa .

Kata kunci: Moralitas, Perkembangan Moral, Perilaku Moral

A. Pendahuluan

Anak dalam pandangan Islam diposisikan sebagai aset penting. Anak tidak hanya berfungsi sebagai penerus keturunan (nasab) akan tetapi dalam skala luas juga berfungsi sebagai pembangun masa depan sebuah bangsa.

Penciptaan kualitas seorang anak pada prinsipnya tidak boleh hanya memperhatikan aspek kognitif psikomotoriknya, akan tetapi harus juga memperhatikan aspek afektifnya (moral). Persoalan ini tidak hanya menjadi councern Islam secara spesifik, akan tetapi juga menjadi bagian pembahasan dari ilmu psikologi. Dalam perspektif psikologi kontemporer konsep filosofis

(2)

(l712-1778) sejalan dengan pandangan teori belajar sosial yang dikembangkan oleh Damon.

Ketiga pandangan ini akan dibahas secara mendalam dalam tulisan berikut.

B. Tcori-Teori Perkembangan Moral Anak 1. Perkembangan Moral; Teori Psikoanalisis

Menurut pandangan teori psikoanalisis perkembangan moral berakar dalam pemunculan super ego. Freud menyatakan anak memiliki dorongan bawaan yaitu insting agresif dan seksual yang ada di dalam id. Orangtua menghalangi dorongan-dorongan ini untuk mensosialisasikan anak agar sesuai dengan norma-norma masyarakat. Permusuhan ini menyebabkan perlawanan anak terhadap orangtuanya, tetapi karena anak takut kehilangan cinta orang tuanya, anak menekan permusuhan dan memunculkan kerjasama yang oleh Freud disebut intemalisasi.

Proses intemalisasi norma-norma orangtua menjadikan anak memiliki moral karena menghindari hukuman, kecemasan, dan kesalahan. Dengan

mengambil evaluasi orangtua terhadap perilakunya anak mengintenalisasikan ke dalam dirinya norma-norma moral dari masyarakat. Lebih lanjut dijelaskan bahwa kesadaran adalah basil dari identifikasi. Dengan proses identifikasi anak menuntut dirinya untuk sesuai (conform) dengan norma-norma tingkah laku yang memunculkan superego. Perilaku anak cenderung didasarkan pada hedonistic yang ditentukan oleh reward (hadiah) eksternal dan sanksi. Secara perlahan-lahan anak mulai menginternalisasi standar-standar moral dan larangan dalam cara yang sama dengan sifat orangtuanya. Anak merasa cemas dan menghukum dirinya bila ia melakukan sesuatu yang dia yakini orangtua akan menghukumnya.

lnternalisasi mengacu pada pengambilan norma-norma sosial melalui usaha dari pemberi sosialisasi awal yaitu orangtua. Orang tua menyajikan

(3)

Konsep mengenai intemalisasi sering digunakan untuk menunjuk pada adopsi anak terhadap norma-norma sosial dan menghasilkan kontrol yang evaluatif terhadap perilakunya. Proses intemalisasi ini dilakukan oleh sebagian besar fungsi kognitif dan proses verbal.

2. Perkembangan Moral Dalam Pandangan Teori Kognitif.

Teori perkembangan kognitif memandang bahwa perkembangan moral tumbuh searah dengan perkembangan kognitif secara perlahan-lahan dan berkelanjutan tanpa banyak terjadi perubahan yang tiba-tiba. Pandangan ini sejalan dengan pendapat Piaget dan Kohlberg yang menyatakan bahwa

perkembangan moral pada anak cenderung berkembang melalui rangkaian urutan tingkatan tertentu, kemanapun untuk berkembang dari satu tingkatan ke tingkatan yang lain tergantung pada hubungan perkembangan kognitit.

Piaget menyatakan bahwa ada keteraturan dan pola yang logis dalam pcrkembangan penalaran moral pada anak. Perkembangan ini didasarkan pada urutan perubahan berkaitan dengan pertumbuhan intelektual anak, khususnya tahap yang dicirikan dengan munculnya berpikir logis. Lebih lanjut Piaget menyatakan bahwa perkembangan moral sejajar dengan perkembangan kognitif, karena dengan perkembangan penalaran moral terjadi perubahan kualitatif pada kemampuan seseorang untuk mengindentifikasi isu moral yang melalui caranya sendiri berupaya menentukan tingkah laku moral. Piaget memberikan dua tahap dari teori perkembangan moral. Pertama, moralitas heteronomi; muncul dari interaksi yang tidak seimbang antara anak dan orang dewasa. Selama masa pra sekolah dan awal tahun pertama sekolah anak terbenam dalam lingkungan otoriter di mana mereka menempati posisi inferior dari orang dewasa. Anak mengembangkan konsep aturan moral yang absolut, tidak berubah, dan kaku. Pada tahap ini anak memandang aturan moral sebagai sesuatu yang telah ditetapkan dari luar individu karena adanya figur otoritas.

(4)

Moralitas autonomi digambarkan sebagai moralitas atas dasar persamaan dan demokrasi yang oleh Piaget dinamakan dengan moralitas kerjasama.

Ada empat dimensi yang membedakan antara tahap moralitas heteronomi dan autonomi. Dimensi-dimensi ini didefinisikan berkenaan dengan

ketidakmatangan atau tahap heteronomi yaitu; 1) Moral absolut. Anak berasumsi di semua waktu dan tempat peraturan yang berlaku sama. Mereka memandang peraturan sebagai eksistensi dari diri mereka sendiri. 2) Konsep tentang peraturan tidak dapat di ubah. Anak meyakini bahwa peraturan adalah kaku dan tidak dapat diubah. 3) Keyakinan bahwa keadilan pasti ada. Anak berasumsi kemalangan yang terjadi pada dirinya diakibatkan kesalahan yang dilakukannya. Misalnya, anak mencuri sesuatu tetapi gagal dan jatuh terluka maka dia berpikir hal itu terjadi akibat dia mencuri dan, terakhir mengevaluasi tanggungjawab yang dengan menjadi anak manis karena dia percaya bahwa hal yang benar adalah hidup sesuai dengan harapan orang lain yang dekat dengan dirinya.

Keterlibatan moral pada tahap heteronomi antara usia 7 sampai dengan 11 tahun berhubungan erat dengan kemampuan berrpikir pra operasional dan

konkrit, operasional di mana pada tahap pra operasional kemampuan berpirkir masih bersifat subyektif sedang pada lahap konkrit operasional mulai

berkembang kemampuan menerima dunia luar menurut adanya (objektif). Lebih lanjut Piaget mengidentifikasi dua faktor yang mendasari keterbatasan penalaran tahap heteronomi ini. Pertama, selama periode pra operasional anal lebih terpusat pada egosentris. Mereka tidak dapat mendesentralisasi pandangannya dan

menerma dunia dari perspektiff orang lain.

Sedangkan setelah usia 11 tahun anak memasuki lahap operasional formal. Anak memandang moralitas lebih fleksibel, dan berorientasi sosial. Pada tahap ini anak sudah mampu mengembangkan kemampuan berpikir abstrak dan konseptualisasi.

Kohlberg memperluas dan merevisi teori Kohlberg mengemukakan, tiga tingkatan perkembangan moral. Ketiga tingkatan itu mencerminkan tiga orientasi sosial yang berbeda. Masing·masing tingkatan dibagi menjadi dua tahapan. Urutan tahapan perkembangan penalaran moral tersebut adalah:

(5)

Tahap I Orientasi hukuman dan kepatuhan. Konsekuensi fisik merupakan landasan penilaian dari baik buruknya suatu tindakan. Anak patuh agar terhindar dari hukuman.

Tahap 2. Orientasi relativitas instrumental. Anak mencoba memenuhi harapan sosial dengan selalu berbuat baik. Hal ini dilakukan hanya sebagai sarana untuk memperoleh reward (hadiah). Elemen timbal balik sudah mulai tampak tetapi hanya dipahami secara fisik dan pragmatis belum merupakan prinsip keadilan yang sesungguhnya.

II. Tingkatan Konvensional

Tahap 3. Orientasj masuk ke kelompok ‘anak baik’ dan 'anak manis’. Menjadi anak baik adalah hal yang paling dianggap penting. Individu belajar memutuskan bagaimana seharusnya bertindak dan mempertimbangkan rerasaan orang lain supaya dirinya diterima. Individu berupaya untuk selalu berbuat baik. Tahap 4. Orientasi hukuman dan ketertiban. Pemenuhan kewajiban, rasa hormat terhadap otoritas hal penting yang harus dijalani. Hukum dan tata tertib bermasyarakat adalah sesuatu yang dijunjung tinggi. Maka individu senantiasa herusaha untuk mematuhi segala aturan agar dirinya diterima

III. Tingkatan Pasca-Konvensional

Tahap 5. Orientasi kontrak sosial legalistik. Timbul kesadaran bahwa setiap orang tidak harus memiliki nilai-nilai dan pendapat yang sama. Nilai-nilai, aturan, norma hukum mempunyai arti yang relatif bagi masing-masing orang. Oleh karenanya hukum dapat diubah melalui cara yang demokratis. Hukum bukan sesuatu yang absolut dan kaku.

Tahap 6. Orientasi asas etika universal. Kebenaran dihayati sebagai hasil dari suara hati yang logis dan sesuai dengan prinsip-prinsip etika universal yaitu prinsip keadilan, pertukaran hak, keseimbangan, dan kesamaan hak asasi manusia serta penghormatan terhadap martabat manusia. Konformitas dilakukan bukan berdasar perintah tetapi karena hasrat dan dorongan dari dalam diri sendiri.

Ketiga tahapan tersebut tidak didasarkan pada apa yang menjadi

(6)

dapat dilompati sehingga bila terdapat perbedaan disebabkan masing-masing individu mempunyai kesempatan yang tidak sama dalam mencapai tahap tertentu.

Tingkatan pra konvensional adalah tingkatan penalaran moral yang kebanyakan dicapai oleh anak di bawah usia 9 tahun dan sebagian remaja dan para pelaku tindak kriminl baik remaja maupun orang dewasa. Pada tahap ini aturan-aturan dan harapan lebih didasarkan pada luar diri individu atau eksternal.

Tingkatan konvensional adalah tingkatan penalaran moral yang

kebanyakan telah dicapai oleh remaja dan orang dewasa. Pada tahap ini individu telah menginternalisasikan aturan-aturan dan harapan masyarakat.

Tingkatan pasca konvensional adalah tingkatan penalaran moral yang biasanya dicapai oleh orang dewasa awal yaitu setelah usia 20 tahun atau pada tahap remaja akhir. Pada tahap ini individu sudah membedakan antara diri mereka dan aturan-aturan serta harapan-harapan orang lain, lebih mendefinisikan nilai-nilai mereka secara rasional, dikenal dengan prinsip-prinsip pilihan diri.

Zanden mengemukakan bahwa orang dalam semua budaya memakai konsep moral dasar yang sama dengan memasukkan keadilan, persamaan, cinta, kehormatan, dan hak. Semua individu dalam semua budaya melalui tahapan dan urutan penalaran moral yang sama dengan konsep perkembangan moral tersebut di atas. Demikian juga pendapat Colby dan Kohlberg bahwa aturan yang menata perkembangan tahapan tersebut sama untuk setiap individu, hal ini bukan

disebabkan karena tahapan-tahapan tersebut dari pembawaan lahir melainkan karena adanya logika yang melandasi urutan perkembangan tahapan itu. Perbedaannya hanya dalam bagaimana cepatnya mereka berpindah dari satu tahapan ke tahapan berikutnya dan seberapa jauh mereka berkembang selama tahapan itu. Dari sudut pandang ke dua ahli ini tampaknya moral bukanlah persoalan pikiran atau pendapat tetapi lebih pada moralitas yang universal.

C. Perkembangan Moral Dalam Pandangan Teori Belajar Sosial

Teori belajar sosial menekankan pada besarnya pengaruh lingkungan sosial dalam mengajarkan anak berperilaku sesuai dengan norma-norma sosial yang ada. Salah satu pandangan dalam teori ini dikemukakan oleh Damon. Damon

(7)

sampai 9 (sembilan) tahun. Kepada anak diberikan pertanyaan bagaimana mereka membagi sesuatu diantara sesamanya. Dari jawaban anak tersebut Damon

memberikan tingkat perkembangan moral sebagai berikut :

Tingkatan I. Anak menyatakan pilihan mereka dan tidak berusaha membagi secara adil diantara sesamanya. Contoh anak mengatakan harus mendapatkan es krim yang lebih banyak dari kakaknya karena dia menyukai es krim dan dia memang ingin lebih banyak.

Tingkatan 2. Anak membenarkan pilihannya lebih didasarkan pada lingkungan ekstemal. Sifat-sifat yang dapat diamati seperti ukuran, usia, atau sejumlah karakteristik lain. Contoh anak mengatakan harus memperoleh es krim lebih banyak karena dia lebih besar atau karena berlari lebih cepat.

Tingkatan 3. Anak mengembangkan pikiran bahwa keadilan adalah

penyamaan secara tegas. Misalnya setiap orang harus memperoleh bagian yang sama. Tingkatan 4. Anak mulai mengembangkan pikiran tentang kebaikan.

Misalnya orang bekerja keras, pintar atau melakukan tindakan terpuji harus diberi hadiah karena mereka memang berhak mendapatkannya.

Tingkatan 5.Anak memperoleh pengertian relatifitas moral. Mereka sudah dapat menerima bahwa orang memang dapat berbeda.

Tingkatan 6. Anak berusaha menyeimbangkan tuntutan-tuntutan konflik didasarkan dari pandangan persamaan; setiap orang harus menerima dalam jumlah yang sama suatu hadiah, dan keadilan; hadiah harus dibagikan secara proposional diantara individu sesuai dengan kebutuhannya. Anak-anak jarang menggunakan satu tipe penalaran moral secara eksklusif, tetapi mereka cenderung menggunakan tingkat penalaran moral yang lebih tinggi dengan frekuensi yang lebih besar ketika mereka lebih tua.

D. Inkonsistensi antara Penalaran Moral dengan Perilaku Moral

(8)

misalnya perilaku menyontek. Dalam penelitian lain anak diberi tugas membuat gelang, lalu mereka diwawancarai secara individual bagaimana cara yang paling adil membagi gelang tersebut diantara sesamanya, sebagian besar anak mengatakan semua gelang harus dibagi secara adil karena mereka telah bekerja keras, namun ketika mereka membagikannya cendcrung didasarkan pada kepentingan pribadi.

Dalam penelitian lebilt lanjut ditemukan juga bahwa anak yang mencapai tahapan tiga pada perkembangan moral Kohlberg yaitu orientasi, anak baik dimana anak berupaya untuk selalu berbuat baik sesuai dengan harapan orang lain terutama orangtuanya, namun ketika adiknya merusak mainan faforitnya dia akan

memukulnya meskipun orang tua mencea perilaku nya.

Pengetahuan tentang penalaran moral saja tidak cukup untuk memahami mengapa orang menunjukkan perilaku berbeda dalam situasi moral yang berbeda-beda. Ada sejumlah faktor yang berhubungan dengan perilaku moral. Misalnya motivasi, nilai-nilai, pengalaman masa lalu, dan hasil yang diperoleh dari pelanggaran moral. Penelitian yang dilakukan oleh Hartshorne dan Feldman menemukan bahwa mahasiswa belajar menyontek dalam tiga kali ujian, 59 persen mahasiswa menyontek dalam satu dari tiga ujian. 64 persen menyontek dalam dua dari tiga ujian, dan 22 persen menyontek dalam ketiga ujian tersebut.

Berbeda dengan Hurlock yang menyatakan bahwa perilaku moral pada akhir masa kanak-kanak lebih disebabkan oleh ketidaktahuan akan apa yang diharapkan padanya atau karena salah mengerti peraturan. Beberapa pelanggaran yang dilakukan anak adalah usaha untuk menguji tokoh otoriter dan untuk memaksakan ke

(9)

barang milik saudara, hersikap kasar kepada saudara yang lebih dewasa, malas melakukan kegiatan rutin, melalaikan tanggungjawab, berbohong, dan tidak jujur.

Di samping itu, ada enam bahaya moral yang umumnya dikaitkan dengan perkembangan sikap dan perilaku moral pada akhir masa kanak-kanak yaitu: pertama, perkembangan kode moral berdasarkan konsep teman -teman atau berdasarkan konsep media massa tentang benar dan salah yang tidak sama dengan kode moral orang dewasa; kedua, tidak berhasil mengembangkan suara hati sebagai pengawas dalam terhadap perilaku; ketiga, disiplin yang tidak konsisten membuat anak tidak yakin akan apa yang sebaiknya dilakukan; keempat, huhuman fisik merupakan contoh agresivitas anak; kelima, menganggap dukungan teman -teman terhadap perilaku yang salah begitu memerlukan sehingga perilaku tersebut menjadi kebiasaan; dan keenam, tidak sabar terhadap perbuatan orang lain yang salah.

E. Penutup

Ada beberapa emosi moral negatif yang dapat dimasukkan ke dalam budaya untuk mengatasi krisis moral pada anak seperti rasa malu dan rasa bersalah. Malu yang didefinisikan sebagai salah satu bentuk rasa rendah diri ekstrem yang terjadi ketika anak-anak merasa gagal memenuhi harapan orang lain dalam bertindak. Rasa malu juga didefinisikan sebagai reaksi emosi yang tidak menyenangkan, timbul pada diri seseorang sebagai akibat adanya penilaian negatif terhadap dirinya. Rasa malu hanya bergantung pada sanksi eksternal, walaupun mungkin disertai rasa bersalah. Rasa malu disetujui sebagai cara yang tepat untuk menghukum orang yang

berperilaku antisosial. Ekspresi dari perasaan-perasaan negatif ini khususnya rasa malu dan rasa bersalah setelah melakukan pelanggaran moral ditunjukkan dari rasa takut yang terekspresikan karena konsekuensi eksternal.

Di sisi lain rasa bersalah terjadi bila anak gagal memenuhi standar perilaku yang diterapkannya sendiri. Hal ini terjadi karena setiap pengalaman yang

(10)

bersalah juga dikatakan lebih berdaya guna dan lebih membekas sebagai pemotivasi moral.

Rasa bersalah sebagai evaluasi diri khusus yang negatif terjadi bila individu mengakui bahwa perilakunya berbeda dengan nilai moral yang dirasakan wajib untuk dipenuhi. Anak yang merasa bersalah pada tindakan yang dilakukannya telah

mengakui pada dirinya bahwa perilakunya jauh di bawah standar yang ditetapkannya sendiri.

Rasa bersalah merupakan salah satu mekanisme psikoogis yang paling penting dalam proses sosialisasi. Apabila anak tidak merasa bersalah, anak tidak akan merasa terdorong untuk belajar sesuai yang diharapkan kelompok sosialnya atau untuk menyesuaikan perilakunya dengan masyarakatnya.

Perkembangan moral juga dipengaruhi oleh cara-cara dan nilai-nilai dalam membesarkan anak. Nilai-nilai ini sangat ditentukan oleb budaya, suatu bangsa atau suku. Budaya dikatakan dapat mengkomunikasikan standar etika dan pembentukan serta penguatan kebiasaan perilaku yang buik pada pertumbuhan anak. Anak dihapkan belajar aturan-aturan, mengalami ketidakenakan emosi ketika melanggar aturan-aturan moral serta merasakan kepuasan ketika mematuhinya.

Aspek lain yang dapat dikembangkan untuk menanamkan perilaku moral pada anak adalah melalui penerapan disiplin. Disiplin merupaka suatu cara untuk mengajarkan anak berperilaku moral yang seseuai dengan harapan sosial. Tujuan dari semua bentuk disiplin ini adalah untuk membentuk perilaku sehingga perilaku tersebut sesuai dengan budaya dimana seseorang individu itu hidup.

Referensi

Dokumen terkait

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 sebagai produk baru yang mengamendemen Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik dinilai sebagai produk yang bertentangan

In this light, it seems that in countries like Ecuador, where small producers are responsible for most of the timber logged while lacking access to external markets, and where

Hasil peneltian (Tabel 1) menunjukkan bahwa rata-rata kadar air bervariasi mulai dari bagian pangkal sampai ke bagian ujung, sedangkan rata-rata kerapatan cenderung meningkat dari

diantaranya adalah standar penilaian pendidikan (asesmen) yang diharapkan dapat digunakan dengan baik untuk mencapai tujuan pendidikan. Standar penilaian pendidikan

Trendof Value Credit, Discharge and Anction in Pawnshop Service of Ngawi Branch. 2002-2003 Uraian Description 1 Tabel 9.2.1.3 Jumlah 8 247 396 32 397 8 214 999 Tabel/ Table

[r]

Sampel dalam penelitian ini adalah udara terpilih pada jalur angkutan umum UIN Alauddin Makassar, sedangkan responden dalam penelitian ini adalah semua supir angkutan

[r]