• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tantangan dan Peluang Kepemimpinan Indon

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Tantangan dan Peluang Kepemimpinan Indon"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

Tantangan dan Peluang Kepemimpinan Indonesia dalam Bidang

Lingkungan di ASEAN: Belajar Dari Musibah Kebakaran Hutan

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia telah lama dikenal sebagai negara yang memiliki kawasan hutan tropis luas di Asia Tenggara. Berbagai keanekaragaman flora dan fauna serta sumber daya alam dapat ditemui. Ketergantungan pada ketersediaan sumber daya alam sebagai komoditas utama yang diperdagangkan dan pertumbuhan ekonomi yang dijanjikan dari hasil tersebut membuat Indonesia perlu terus menggali potensi alam yang tersedia dan melakukan pengembangan industri yang berbahan baku dasar hasil alam. Salah satu komoditas utama Indonesia yang didapatkan dari alam adalah kelapa sawit. Berdasarkan data dari Oil World tahun 2015, Indonesia merupakan produsen terbesar minyak sawit, dimana pada tahun 2006 Indonesia memproduksi lebih dari 20,9 juta ton. Sedangkan pada akhir tahun 2010, 60 persen dari

output diekspor dalam bentuk Crude Palm Oil (CPO). Data FAO menunjukkan produksi meningkat lebih dari 400% antara tahun 1994 dan 2004, atau lebih dari 8.660.000 metrik ton [CITATION Nar14 \l 1057 ].

Peningkatan produksi komoditas minyak kelapa sawit tersebut di tiap tahunnya sejalan dengan peningkatan permintaan di seluruh dunia. Hal ini seringkali dipandang sebagai suatu hal yang positif baik bagi perusahaan-perusahaan sawit dari keuntungan yang akan mereka raup, maupun dari pemerintah dari segi terserapnya banyak tenaga kerja, perkembangan industri, serta pendapatan negara dari ekspor dan pajak. Namun perkembangan tersebut juga membawa dampak yang masif terhadap perusakan lingkungan, terutama hutan. Isu ini yang masih seringkali dipandang sebelah mata oleh pemerintah Indonesia. Padahal sejak tahun 1990, kawasan hutan Indonesia seluas negara Jerman—31 juta hektar telah hilang [CITATION Gre15 \l 1057 ]. Angka ini dapat terus bertambah apabila pengembangan industri kelapa sawit berada di luar kendali.

(2)

kelapa sawit. Kebijakan yang dimiliki oleh pemerintah, utamanya Kementerian Lingkungan Hidup, dan yang diperbarui setiap waktu terbukti belum mampu mengurangi perusakan lingkungan yang terkesan sudah menjadi warisan di Indonesia ini. Selain itu, meskipun moratorium pembangunan industri di kawasan hutan telah diserukan sejak tahun 2011 dan kembali diupayakan pada pemerintahan Presiden Joko Widodo, namun belum menunjukkan hasil yang efektif.

Di lingkup regional pun Indonesia juga cenderung lamban dalam merespon urgensi untuk menyelamatkan lingkungan hidup. Dapat kita lihat ketika ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) sepakat untuk merumuskan The ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP), sebagai environmental regime1 di kawasan untuk

menjawab keresahan permasalahan lingkungan—utamanya asap lintas batas—yang dialami negara-negara anggota ASEAN, Indonesia merupakan negara terakhir yang meratifikasinya pada akhir 2014. Padahal Indonesia adalah produsen utama dari polusi asap yang melintasi batas hingga memasuki udara negara-negara tetangganya, yang disebabkan oleh kebakaran hutan yang hampir setiap tahunnya terjadi.

Dalam makalah ini, kami hendak membahas bagaimana sikap pemerintah Indonesia terhadap permasalahan asap ini berkaitan dengan regionalisme ASEAN yang diagendakan harus semakin kuat. Melalui studi pustaka, kami mencoba melihat peluang dan tantangan Indonesia untuk menjadi pemimpin di ASEAN di bidang lingkungan.

1.2 Landasan Konseptual 1. Global Value Chain

Dalam rangka memahami fenomena degradasi lingkungan di Indonesia, yaitu kebakaran hutan, maka kita perlu memahami bahwa penyebabnya bukan tidak sengaja. Pembangunan yang cepat dilakukan di dalam hutan, ditandai oleh berbagai investasi perusahaan kelapa sawit dan perusahaan kertas yang menggerus banyak sumber daya alam. Sejarah manajemen kehutanan yang buruk semakin memperparah keberlangsungan bencana ini. Akan tetapi kita juga perlu melihat bagaimana posisi Indonesia dalam hal ini. Dalam konsep Global Value Chain (GVC), ekonomi global tidak hanya dibentuk oleh pasar bebas, tetapi juga oleh suatu rantai produksi yang

(3)

dalam hal ini ditunjukkan oleh negara berkembang dan negara maju saling terikat dalam arti negara maju membutuhkan sumber daya alam maupun pekerja dari negara berkembang. Ekonomi global ditentukan oleh pembeli global (dari seluruh dunia), standar global, bahkan jaringan kebijakan global [CITATION OEC16 \l 1033 ]. Indonesia sebagai ‘negara berkembang’ mengalami fenomena ini. Melihat industri kelapa sawit yang begitu besar di Indonesia, dapat dilihat bahwa permintaan global terhadap minyak kelapa sawit sangat besar. Indonesia dengan lahannya yang besar harus mensuplai kebutuhan tersebut, dengan mengorbankan kekayaan alamnya, bahkan di kasus yang lebih buruk, nyawa penduduknya.

2. Konsep Hegemoni oleh Antonio Gramsci

Apabila Karl Marx menyatakan bahwa sebuah kekuasaan ada karena memiliki basis materi, maka Gramsci mencoba merevisinya. Kekuasaan tidak hanya memiliki basis materi, tetapi juga memiliki basis imaterial, misalnya ideologi atau ide, nilai, norma, dan lain-lain. Ide-ide tersebut seringkali memengaruhi kita sedemikian kuat sehingga kita menerimanya sebagai sebuah common sense—sebuah ‘realita’ yang tidak akan kita pertanyakan ulang. Common sense inilah yang disebut Gramsci sebagai hegemoni. Pikiran kita dapat dihegemoni oleh banyak nilai yang ditransfer dari entitas-entitas dominan dan berpengaruh, seperti pihak perusahaan kelapa sawit. Dalam tataran ini, mereka memiliki hegemoni atas negara Indonesia bahwa kelapa sawit menjadi bagian integral dari industri perkebunan maupun kehutanan di Indonesia, sehingga hampir tidak mungkin bagi Indonesia untuk menolak membuka industri kelapa sawit secara masif di Indonesia, apalagi keuntungan dari industri ini cukup menggiurkan apabila dilihat dari kacamata Indonesia sebagai negara berkembang. Ide bahwa Indonesia merupakan negara berkembang yang harus selalu berusaha meningkatkan pertumbuhan ekonominya juga selalu meliputi setiap diskursus.

(4)

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Industri Kelapa Sawit Indonesia

Sebagai pemasok 85 persen produksi minyak sawit global sekaligus sebagai produsen dan eksportir minyak kelapa sawit terbesar di dunia, Indonesia dituntut untuk terus mengembangkan industri ini. Perkembangan produksi minyak sawit di Indonesia dapat dikatakan selalu mengalami peningkatan. Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat hasil produksi pada tahun 2008 yang mencapai 19,2 juta ton menjadi 32,5 juta ton pada tahun 2015 [CITATION Ind16 \l 1057 ]. Peningkatan produksi tersebut disebabkan oleh beberapa faktor di antaranya permintaan akan minyak sawit yang juga meningkat. Harganya yang terbilang murah serta merupakan bahan dasar untuk campuran pembuatan produk makanan, kosmetik, bahkan bio-fuel, membuat minyak sawit banyak dicari. Masyarakat Indonesia sendiri termasuk dalam konsumen minyak sawit terbesar di dunia.

Seiring dengan meningkatnya permintaan minyak sawit secara global, perusahaan-perusahaan kelapa sawit tetap memilih Indonesia sebagai tempat untuk mengembangkan industri kelapa sawit mereka. Indonesia menjadi pilihan dikarenkan kondisi tanah dan iklim yang cocok dengan curah hujan yang cukup setiap tahunnya. Selain itu, ketersediaan sumber daya manusia yang cukup dengan tingkat upah yang terjangkau juga menjadi salah satu pertimbangan mereka [CITATION Gla02 \p 18-19 \l 1057 ]. Pemerintah Indonesia memiliki kecenderungan untuk mendukung pengembangan industri sawit mengetahui bahwa industri tersebut merupakan padat karya yang mampu menyerap banyak tenaga kerja dan membantu mengurangi tingkat pengangguran. Dukungan pemerintah tersebut dapat dilihat dari mudahnya mengurus regulasi untuk mendirikan atau memperluas industri kelapa sawit di Indonesia.

Pembukaan lahan baru guna memenuhi kebutuhan penanaman kelapa sawit menjadi tak terelakkan. Lahan konversi yang telah disediakan oleh pemerintah sebelumnya tidak dapat memenuhi kebutuhan perusahaan-perusahaan kelapa sawit untuk memperluas perkebunannya yang semakin meningkat. Hal ini membuat perusahaan-perusahaan kelapa sawit untuk mendorong pemerintah pusat maupun daerah untuk memberikan tambahan lahan hutan agar dapat dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Dapat dilihat pada tabel berikut bahwa dalam beberapa kasus, pemerintah mengabulkan untuk membuka lahan Tabel I: Luas Hutan

Konversi di Indonesia per 2002 [CITATION

(5)

konversi melebihi dari apa yang diajukan

sebelumnya. Peningkatan drastis alih fungsi lahan juga dapat ditemukan dalam laporan

(6)

Cara

pembukaan lahan itu sendiri justru memperparah

dampak dari

deforestasi. Seringkali perusahaan menggunakan metode pembakaran lahan yang dinilai

lebih murah

dibandingkan

dengan metode lainnya. Metode ini juga dianggap lebih efisien karena mampu menghemat waktu dengan menghanguskan tanaman yang ada dalam satu waktu dibandingkan jika harus ditebangi satu per satu. Bank tempat perusahaan-perusahaan meminjam uang juga cenderung mendukung langkah ini. Dukungan tersebut bukan tanpa alasan. Sebab, semakin cepat suatu metode mampu membuka lahan untuk perkebunan kelapa sawit maka semakin cepat perusahaan tersebut beroperasi dan memproduksi lebih. Semakin cepat pula perusahaan mampu membayar hutang bank [CITATION Gla02 \p 12 \l 1057 ].

Sebelum tahun 1995, pemerintah Indonesia melegalkan praktek pembakaran hutan untuk membuka lahan atas keperluan produksi hasil kebun [CITATION Gla02 \p 22 \l 1057 ]. Praktek tersebut seringkali berujung pada kebakaran hutan yang tidak terkendali, didorong dengan faktor alam lainnya seperti fenomena El Nino. Kerugian besar-besaran dialami

(7)

Indonesia yang kehilangan berbagai ragam flora dan fauna menyusul hilangnya luas hutan secara signifikan, bahkan mengganggu kesehatan penduduk.

Meskipun telah dilarang, namun hingga sekarang masih terdapat kasus pembakaran hutan yang disengaja yang luput dari pengawasan pemerintah. Kasus kebakaran hutan itu sendiri justru membawa keuntungan lain bagi perusahaan kelapa sawit. Hal ini dikarenakan harga crude palm oil (CPO) menjadi naik dan membawa laba lebih banyak kepada perusahaan. Selain itu, lahan yang telah terbakar secara ilegal pada akhirnya akan dilepaskan oleh Kementerian yang bersangkutan untuk dimanfaatkan dalam pengembangan perkebunan, salah satunya kelapa sawit [CITATION Gla02 \p 22 \l 1057 ].

Luas hutan yang terbakar pada tahun 2013 mencapai angka yang cukup meresahkan, yakni sekitar 4.900 hektar. Propinsi Riau menempati urutan teratas sebagai daerah dengan luas kebakaran hutan terluas, yakni sekitar 1.077 hektar [CITATION Kem13 \p 116 \l 1057 ]. Hal ini sesuai dengan data bahwa Riau dan Sumatera Utara merupakan daerah yang memiliki perkebunan kelapa sawit terluas di Indonesia. Peristiwa tersebut mengindikasikan bahwa kebakaran hutan setidaknya masih terjadi karena sebuah kesengajaan untuk membuka lahan perkebunan sawit.

2.2 Reaksi negara-negara di tingkat regional

(8)

Sebagai kontributor asap terbesar di antara negara-negara ASEAN, Indonesia tentu dibicarakan oleh negara-negara tetangganya, terutama Singapura dan Malaysia, kedua negara yang menerima dampak paling besar dari kebakaran hutan dan asap tersebut. Bahkan pada tahun 2015, tahun ketika kebakaran hutan terjadi begitu besar karena El Nino, Singapura marah besar kepada Indonesia, sehingga membuat hubungan bilateral keduanya menjadi bermasalah[ CITATION The1513 \l 1033 ]. Kota Singapura sendiri tertutup awan asap yang tebal, hingga seluruh siswa tidak diperbolehkan berangkat ke sekolah dan pekerja tidak diperbolehkan bekerja. Pemerintah Singapura sangat mengkhawatirkan kesehatan penduduknya. Pada September 2015, dinyatakan bahwa udara di Singapura tidak sehat. Kemarahan pemerintah juga membuat bisnis retail mereka yaitu supermarket mini NTUC Fairprice yang memiliki 300 outlet di Singapura tidak mau menggunakan kertas yang berasal dari APP, perusahaan kertas yang beroperasi di lahan yang terbakar. Tidak hanya itu, penerbangan ke Thailand, Malaysia, dan Filipina pun dibatalkan oleh pemerintah [ CITATION CNB15 \l 1033 ].

Meskipun demikian, cukup ironis ketika kita melihat bahwa sebenarnya beberapa perusahaan kertas dan minyak sawit yang besar dari Singapura dan Malaysia juga ikut menanamkan investasinya di Indonesia, tidak hanya perusahaan Indonesia. Akan tetapi permasalahan ini, meskipun diketahui, tetap tidak digugat [ CITATION Int15 \l 1033 ]. Dengan komentar-komentar Singapura dan Malaysia yang frontal kepada Indonesia, pemerintah kita pun acapkali bersikap defensif. Wakil presiden Jusuf Kalla mengatakan bahwa Singapura dan Malaysia tidak pernah berterima kasih kepada Indonesia karena sudah menerima udara bersih selama sebelas bulan terakhir; seakan memberikan pernyataan bahwa kedua negara ini telah mendapatkan manfaat dari Indonesia, termasuk laju pertumbuhan yang tinggi. Suasana seperti inilah yang muncul akibat masalah asap [ CITATION The1513 \l 1033 ].

Masalah asap ini memang menjadi agenda di dalam ASEAN, akan tetapi selama bertahun-tahun, masalah ini tidak pernah menjadi prioritas ASEAN. Pembahasan mengenai masalah ini selalu berada di belakang meja diskusi, atau dalam coffee break diplomacy. Ciri khas ASEAN yang tidak ingin mengganggu kedaulatan negara (non-interference) membuat penyelesaian masalah menjadi tidak didiskusikan. Terlebih lagi, mereka tidak ingin menekan Indonesia [ CITATION Str15 \l 1033 ]. Memang terdapat perjanjian yang disebut

(9)

karena pada 2014, Singapura mengonfrontasi Indonesia, sehingga ratifikasi ini cenderung merupakan gestur politik [ CITATION Int15 \l 1033 ].

ASEAN diharapkan dapat bersifat lebih tegas dalam persoalan ini, salah satunya adalah dengan mempersalahkan sistem plantasi di sektor agrikultur di Indonesia yang suah ‘kuno’ (dari abad ke-19), terutama di perkebunan sawit, tetapi nampaknya hal itu tidak dapat terjadi sekarang. Meskipun kebakaran hutan dan asap ini sudah menciptakan kerugian yang sangat besar—bahkan dijuluki ‘carbon time bomb’ oleh ahli lingkungan—dalam tiga minggu hingga melebihi emisi yang dikeluarkan Jerman selama setahun, namun sikap Indonesia nampak tidak terlalu senang apabila negara-negara tetangganya menawarkan bantuan atau asistensi untuk menangani hal ini [ CITATION TIM151 \l 1033 ]. Bahkan direktur dari kerjasama fungsional ASEAN di Kementerian Luar Negeri, J. S. George Lantu, mengatakan sendiri bahwa saat ini yang hendak dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah mengusahakan kemampuan dan sumber daya internal Indonesia untuk menangani hal ini. Mereka mengapresiasi bantuan luar negeri, tetapi untuk saat ini mereka ingin menjaga kedaulatan negara[ CITATION Int15 \l 1033 ]. Padahal ASEAN sendiri tidak dapat bergantung pada Indonesia saja untuk dapat menyelesaikan persoalan ini, karena permasalahan tidak hanya pada dimensi teknis tetapi juga pada moral dari para pelaku lokal. Masalah asap ini bukan hanya perihal cepatnya investasi dan operasi perusahaan sawit dan kertas, tetapi juga korupsi dan suap yang secara intens terjadi antara pemerintah lokal dan perusahaan [ CITATION TIM151 \l 1033 ]. Tahun ini, presiden Jokowi mengundang moratorium terhadap perusahaan kelapa sawit, karena ia menganggap bahwa Indonesia sudah cukup penuh oleh perusahaan tersebut. Akan tetapi sebenarnya moratorium ini sudah ada sejak dahulu, namun tidak pernah benar-benar terjadi karena pihak perusahaan terus menyuap pemerintah lokal untuk melicinkan usaha mereka. Agreement on Transboundary Haze Pollution meminta agar diciptakan peraturan dan hukum yang lebih baik, tetapi tidak pernah ada rencana riil atau bantuan dana untuk anggota yang kurang maju, seperti Indonesia. Itulah mengapa ATHP tidak pernah benar-benar terlihat hasil kerjanya, apalagi ATHP di tingkat regional bukanlah perjanjian yang mengikat secara hukum.

(10)

sustainable development dengan baik [ CITATION Chi16 \l 1033 ]. Meskipun demikian, tidak ada keluaran yang berarti dari berbagai pertemuan ini, dalam arti bahwa tidak ada banyak kerja sama dalam bentuk asistensi secara langsung dari ketiga negara ini untuk negara-negara anggota ASEAN, terutama yang belum maju secara teknologi. Selain itu, meskipun usaha atau inisiatif ASEAN untuk menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dan keberlangsungan lingkungan sudah meningkat, tetapi mereka masih dibayangi oleh agenda integrasi ekonomi mereka, yaitu Masyarakat Ekonomi ASEAN [ CITATION Hen15 \l 1033 ]. Hal ini menjadi sebuah dilema tersendiri bagi regional.

2.3 Tantangan terhadap Penerapan Kebijakan Ramah Lingkungan di Indonesia

Degradasi lingkungan di Indonesia, terutama yang berkaitan dengan perusakan hutan untuk kepentingan industri, merupakan masalah yang pelik. Luas hutan yang kita miliki semakin terkikis. Respon pemerintah yang lambat akibat dilema yang dialami antara kewajiban menjaga lingkungan dan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan industri serta ketidaktegasan hukum yang ada membuat “tangan-tangan nakal” tidak takut untuk berulah.

Melihat bahwa Indonesia sedang haus akan suatu pembangunan yang dapat memperbaiki kondisi ekonomi negaranya merupakan suatu kesempatan emas bagi perusahaan-perusahaan kelapa sawit untuk berkembang di negeri kolam susu ini. Permintaan yang tinggi akan minyak kelapa sawit membawa untung sekitar US$ 20 juta per tahun bagi Indonesia [CITATION The16 \l 1057 ]. Harga tanah yang murah, sumber daya manusia terjangkau, ditambah dengan regulasi yang sempat melegalkan teknik pembakaran untuk membuka lahan membuat perusahaan-perusahaan tersebut tidak berpikir dua kali untuk mengembangkan usahanya di Indonesia. Meskipun regulasi mengenai pembukaan lahan industri telah berkali-kali diperbaiki menjadi lebih ramah-lingkungan, namun tetap saja ada laporan-laporan mengenai berkurangnya lahan hijau secara signifikan di Indonesia. Menyusul terancamnya keanekaragaman flora dan fauna di dalamnya. Tak hanya permasalahan lingkungan, pengembangan industri kelapa sawit ini juga menuai berbagai konflik sosial, misalnya perebutan tanah adat [CITATION Placeholder2 \p 20 \l 1057 ].

(11)

kebakaran, yakni membeli pesawat yang mampu untuk melakukan water bombing [CITATION Placeholder2 \p 13 \l 1057 ]. Namun upaya tersebut hanya merupakan upaya represif, alih-alih juga menaruh perhatian yang lebih pada upaya preventif, agar ke depannya bencana kebakaran hutan dapat diminimalisir dan bahkan tidak lagi menjadi bencana tahunan. Menurut World Wide Fund for Nature (WWF) mengenai upaya tersebut, pemerintah tidak menyadari kebutuhan dasar untuk merubah basis dari sistem tebang-tanam yang masih belum baik. Selain itu, pemerintah juga dikritisi karena kurang memperhatikan aspek sosial-politik mengenai konflik tanah dan penggunaan lahan. Sehingga dapat dikatakan bahwa pemerintah masih memandang permasalahan ini dari satu sisi saja, padahal isu ini merupakan isu multidimensional yang sudah mencakup berbagai aspek.

Pada tahun 1998, pemerintah sempat mengeluarkan kebijakan untuk tidak memberikan izin baru bagi perusahaan-perusahaan yang mengajukan pembukaan lahan untuk perkebunan sawit. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa banyak lahan konversi yang telah mendapat izin pemerintah ternyata hanya dibiarkan terbengkalai saja dan tidak segera dimanfaatkan oleh perusahaan kelapa sawit yang mengajukannya. Namun, alasan di balik kebijakan tersebut lebih merujuk pada aspek-aspek ekonomis alih-alih berkenaan dengan isu lingkungan. Pemerintah merasa tidak mampu mendapatkan keuntungan maksimal karena perusahaan-perusahaan kelapa sawit diketahui hanya mengambil kayu-kayu dari hutan konversi dan tidak melanjutkan penanaman kelapa sawit. Padahal, seperti yang telah kita ketahui hasil dari penjualan kelapa sawit memberikan kontribusi besar dalam pendapatan negara.

Setahun setelahnya, pemerintah mengklaim telah memberlakukan regulasi yang lebih sulit bagi perusahaan-perusahaan kelapa sawit baru yang ingin membuka usahanya di Indonesia [CITATION Placeholder2 \p 21 \l 1057 ]. Hal ini bisa saja berdampak baik bagi lingkungan. Karena dengan mempersulit persyaratan untuk membuka perkebunan sawit baru, maka pengalihan fungsi hutan untuk perkebunan dapat diminimalisir. Sehingga dapat mengurangi efek perubahan iklim yang dibawa oleh rusaknya lingkungan. Namun ternyata, kesulitan yang ditambahkan dalam regulasi tersebut hanyalah berupa kewajiban bagi perusahaan untuk melibatkan petani-petani lokal. Lagi-lagi, alasan dan kewajiban untuk melestarikan lingkungan masih luput dari perhatian pemerintah.

(12)

saja ada perusahaan yang “bandel” dan seringkali berakibat kebakaran hutan yang tidak terkontrol. Perusahaan “bandel” yang terkena tindakan tegas dari pemerintah biasanya merupakan perushaan-perusahaan kecil [CITATION Placeholder2 \p 21 \l 1057 ]. Sedangkan perusahaan besar cenderung mendapatkan payung hukum dari negara karena pertimbangan bahwa mereka mampu membawa banyak keuntungan bagi negara.

Selain itu, sejak tahun 2002 bahkan hingga pemerintahan di bawah Presiden Jokowi saat ini, Indonesia memiliki peraturan moratorium dalam hal pengalihan fungsi hutan menjadi lahan konversi. Di tahun 2011 pemerintah memberlakukan moratorium penerbitan izin perkebunan baru di hutan primer atau lahan gambut [CITATION Gre151 \p 5 \l 1057 ]. Sedangkan Jokowi kembali menegaskan aturan ini setidaknya dalam dua kali kesempatan. Pada Mei 2015, Jokowi memberlakukan moratorium pemberian izin di lahan gambut. Sedangkan awal 2016 lalu, Jokowi lebih spesifik menyebutkan moratorium lahan untuk kelapa sawit. Hal ini beliau sampaikan dalam Gerakan Nasional Penyelamatan Tumbuhan dan Satwa Liar dalam Rangka Hari Hutan Internasional, di Pulau Karya, Kepulauan Seribu bulan April lalu [ CITATION Sur16 \l 1057 ].

“Siapkan moratorium kelapa sawit. ... Lahan yang sekarang sudah ada asal bibitnya itu betul, bibitnya benar, sudah mungkin produksi bisa lebih dari dua kali, ini kalau bisa dikerjakan itu bisa naik.”

Meskipun kita belum bisa menilai keberhasilan dari kebijakan moratorium yang diberlakukan oleh Jokowi dikarenakan masih terlalu dini, namun terdapat tokoh

environmentalist sudah menyampaikan kritiknya terhadap kebijakan tersebut. Menurut Edi Suhardi, Wakil Presiden dari theRoundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), kebijakan ini kurang memperhatikan cakupan yang lebih luas. Edi menyatakan bahwa lebih baik menyerukan untuk mengadaptasi kebijakan yang memiliki standar keberlanjutan, yang tidak mengorbankan pengembangan industri kelapa sawit tetapi juga ramah terhadap lingkungan. Jika pemerintah menerapkan kebijakan moratorium ini dengan prinsip non-diskriminasi, maka petani-petani kecil yang akan merasakan kerugian yang paling besar [ CITATION Suh16 \l 1057 ]. Padahal pengembangan industri kelapa sawit ini selain diharapkan untuk membawa perbaikan bagi perekonomian negara, juga untuk mengembangkan masyarakat lokal.

(13)

Indonesia adalah masing-masing kementerian memiliki tujuan dan kepentingan mereka sendiri-sendiri yang seringkali bertolak belakang. Misalnya saat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mendukung kebijakan moratorium yang dicetuskan Presiden dan mengeluarkan surat edaran bahwa lahan gambut yang rusak harus diperbaiki kembali. Sedangkan Kementerian Pertanian menginginkan lahan gambut yang rusak untuk dibuka saja menjadi lahan pertanian atau perkebunan [ CITATION Gre151 \l 1057 ].

Perbedaan kepentingan antara badan pemerintah satu dengan yang lainnya dalam menghadapi isu ini tentu menyulitkan penerapan kebijakan yang efektif untuk menyelesaikan permasalahan lingkungan akibat perkembangan industri kelapa sawit di Indonesia. Bahkan disebutkan bahwa undang-undang yang ada mengenai pengembangan perkebunan dengan perlindungan hutan bertentangan satu sama lain. Namun hingga saat ini tidak benar-benar ada respon yang tanggap untuk mensinergikan perbedaan atau pertentangan yang ada dalam peraturan yang bertolak belakang tersebut. Sementara degradasi lingkungan akan terus terjadi apabila tidak ada tindakan yang disegerakan dan menuntaskan dari akar permasalahannya.

Tantangan lain yang datang dari pihak pemerintah sendiri adalah bahwa pemerintah sendiri justru masih kurang peka akan kerusakan lingkungan besar-besaran yang terjadi di Indonesia akibat pembukaan lahan untuk kelapa sawit. Pemerintah Indonesia menentang kebijakan zero-deforestation yang justru sudah ditandatangani oleh lima perusahaan sawit besar yang ada di Indonesia [ CITATION The16 \l 1057 ]. Pemerintah berargumen bahwa mereka sudah memiliki standar tersendiri untuk menentukan lahan mana yang bisa difungsikan untuk perkebunan sawit dan mana yang tidak. Mereka menolak kebijakan zero-deforestation yang memiliki cakupan larangan yang lebih luas. Pihak-pihak yang berusaha melobi pemerintah untuk mengadopsi kebijakan tersebut kemudian dicap sebagai pihak yang melakukan upaya pelanggaran atas kedaulatan Indonesia.

(14)

Keinginan Indonesia untuk menjadi negara agraris yang kuat juga dapat dikonsiderasikan sebagai tantangan. Semangat yang ditanamkan dan telah tumbuh dalam masyarakat Indonesia untuk menjadi masyarakat agraris sejak awal kemerdekaan menumbuhkan persepsi bahwa semakin banyak perkebunan dan pertanian yang dikembangkan Indonesia, maka semakin baik. Secara lebih spesifik, semangat untuk menjadi penghasil kelapa sawit terbesar di dunia muncul pada tahun 1980-an. Saat itu Presiden Soeharto ingin mengalahkan Malaysia dalam hal produksi kelapa sawitnya. Untuk mencapai tujuan tersebut, hutan di Indonesia telah kehilangan luasnya karena telah diberikan kepada pebisnis dan investor untuk dijadikan perkebunan sawit. Saat itu secara resmi pemerintah membuka lahan seluas 5,5 juta hektar. Namun pada tahun 1996 diketahui oleh BKPM bahwa sebenarnya pemerintah mengalokasikan 9,13 juta hektar—jumlah yang lebih besar [CITATION van041 \p 19 \l 1057 ]. Jika persepsi ini tidak dibarengi dengan pengetahuan dari dampak buruk alih fungsi lahan, maka tentu saja upaya Indonesia untuk mengurangi dampak buruk dari degradasi lingkungan lagi-lagi akan sia-sia. Oleh karena itu penting bagi pemerintah untuk mengedukasi seluruh lapisan masyarakat.

Ketergantungan akan produksi kelapa sawit sebagai komoditas utama yang diandalkan Indonesia membuat penerapan kebijakan moratorium dan kebijakan lainnya sedikit sulit untuk diterapkan secara menyeluruh dengan tegas. Demi memenuhi kepentingan ekonominya, tentu saja di satu sisi pemerintah mendukung penyusunan regulasi yang memudahkan pengembangan dan mempercepat produksi kelapa sawit. Ditambah lagi faktor banyaknya masyarakat lokal yang juga mencari nafkah pada sektor perkebunan sawit juga.

Tantangan-tantangan tersebut, yang mayoritas datang dari dalam badan pemerintah sendiri, perlu mendapatkan perhatian sebelum melangkah lebih jauh lagi. Regulasi-regulasi baru yang bermunculan cenderung tetap tidak memberikan perubahan secara signifikan apabila tantangan-tantangan yang ada dibiarkan begitu saja. Upaya-upaya yang dilakukan oleh Indonesia dalam menanggapi permasalahan lingkungan selama ini dinilai kurang maksimal dikarenakan adanya berbagai tantangan yang belum terselesaikan.

2.4 Indonesia Menjadi Model Lingkungan Hidup di ASEAN

(15)

baru menyadari saat ini bahwa menjamurnya perusahaan kelapa sawit—meski telah menyuplai bahan untuk berbagai produk yang permintaan globalnya tinggi—bagaimanapun telah mengakibatkan bencana bagi penduduknya sendiri. Inilah yang digarisbawahi dalam konsep Global Value Chain. Selalu ada dilema yang timbul bagi negara berkembang antara lingkungan dan ekonomi.

Tidak hanya di tingkat nasional, dilema ini juga hadir di tingkat regional, misalnya deforestasi masif di kawasan Asia Tenggara. Sudah lama Indonesia dan negara-negara anggota ASEAN menjadi ‘korban’ dari eksploitasi masif, baik oleh penduduk mereka sendiri maupun oleh perusahaan-perusahaan asing. Ada usaha untuk melawan, tetapi tidak tegas. Sebelum Jokowi menyerukan moratorium, pemerintah Indonesia melalui Menteri Kehutanan berusaha melarang perusahaan kelapa sawit yang tidak memiliki kebijakan ataupun mekanisme zero-burn, sebuah peraturan yang lebih kompromis, akan tetapi hal ini gagal ketika sampai di level lokal karena berbagai kendala teknis dan, tentu saja, korupsi.

(16)

Dengan kekayaan alam berupa biodiversitas tinggi dan luas lahan hutan yang besar, ironis bahwa setelah sekian tahun lamanya, Indonesia tidak memiliki manajemen kehutanan maupun perkebunan yang baik. Padahal salah satu aset Indonesia yang paling menonjol adalah kekayaan alamnya. Isu non-tradisional seperti lingkungan hidup seharusnya menjadi isu prioritas karena lebih strategis bagi Indonesia untuk menjadi model di bidang ini, karena isu terbesarnya justru ada di bidang ini. Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa sejarah Indonesia pun diwarnai oleh eksploitasi alam. Investasi tentu saja boleh ditanamkan, tetapi deforestasi terus menerus terjadi dan pada akhirnya berujung pada kebakaran hutan di lahan gambut. Ide mengenai target industrialisasi di negara berkembang telah menjadi hegemoni di Indonesia. Pandangan yang jatuh pada ekstrim pro-pembangunan membuat Indonesia menjadi lumpuh di sektor lingkungan. Meskipun sudah ada banyak wacana mengenai pembangunan berkelanjutan, tetapi pelaksanaannya sangat minim di Indonesia, bahkan pada praktiknya dalam industri kehutanan dan perkebunan, pelaksanaannya tidak terlihat.

Dalam kesempatan ini, Indonesia sebenarnya bisa menjadi sebuah counter-hegemony

(17)

KESIMPULAN

Permasalahan asap merupakan permasalahan yang lama ditinggalkan, namun bahayanya sangat mengancam. Tanpa transformasi kelembagaan maupun mental bangsa menjadi lebih baik, perubahan tidak akan tercapai. Pada titik ini kami melihat bahwa Indonesia masih belum juga menempatkan persoalan lingkungan sebagai sebuah prioritas, hingga pada akhirnya bencana tersebut mengganggu stabilitas regional, yaitu ASEAN. Lebih buruk lagi, Indonesia seakan menjauh dari integrasi regional dengan tidak menerima bantuan dari sesama negara ASEAN dan lebih percaya pada diri sendiri, padahal persoalan ini sebenarnya menjadi persoalan regional pula. Sikap yang tidak bersahabat ini membuat hubungan bilateral maupun regional menjadi keruh. Ketidaktegasan ASEAN dan ciri khas

non-interference-nya juga telah membuat persoalan asap tidak selesai.

(18)

Daftar Pustaka

ASEAN Cooperation on Environment. Overview of ASEAN Cooperation on Environment.

2015. http://environment.asean.org/about-us-2/ (accessed Juli 20, 2016).

Baylis, John, and Steve Smith. The Gobalization of World Politics. New York: Oxford University Press Inc., 2001.

China-ASEAN Environmental Cooperation Center. hina-ASEAN strategy on International Environmental Cooperation. n.d.

http://chinaaseanenv.org/english/events/271416.shtml (accessed Juli 20, 2016).

CNBS. Why Southeast Asia deals with pollution on the QT. November 10, 2015.

http://www.cnbc.com/2015/11/10/asean-mores-singapore-malaysia-cross-ownership-indonesia-land-ownership-complicate-haze-politics.html (accessed Juli 20, 2016).

Glastra, Rob, Eric Wakker, and Wolfgang Richert. Oil Palm Plantation and Deforestation in Indonesia. What Role Do Europe and Germany Play? NGO Report, Dreiech: Octopus Media, 2002.

Greenpeace. Indonesia Terbakar: Dalam Kepungan Api. NGO Report, Amsterdam: Greenpeace International, 2015.

Greenpeace. Indonesia Terbakar: Dalam Kepungan Api. NGO Report, Amsterdam: Greenpeace International, 2015.

Henrich Boll Stiftung. Environmental Protection in the Post-2015 ASEAN Economic Community. Oktober 29, 2015. https://www.boell.de/en/2015/10/28/umweltschutz-der-asean-wirtschaftsgemeinschaft-nach-2015 (accessed Juli 20, 2016).

Inter Press Service News Agency . ASEAN Agreement on Haze? As Clear as Smoke. Oktober 10, 2015. http://www.ipsnews.net/2015/10/asean-agreement-on-haze-as-clear-as-smoke/ (accessed Juli 20, 2016).

Jong, Hans Nicholas. Govt Oposes Zero-Deforestation Pledge by Palm Oil Firms. Agustus 29, 2015. http://www.thejakartapost.com/news/2015/08/29/govt-opposes-zero-deforestation-pledge-palm-oil-firms.html (accessed Juli 18, 2016).

Narrada Sigma. Narrada Sigma Indonesia. September 29, 2014. http://www.narrada-sigma.com/tag/negara-penghasil-kelapa-sawit/ (accessed Juli 15, 2016).

Straits Time. Challenging times for S'pore-Indonesia ties. Oktober 14, 2015.

(19)

Suhardi, Edi. Review Mortorium on Oil Palm Plantations. April 22, 2016.

http://www.thejakartapost.com/academia/2016/04/22/review-moratorium-on-oil-palm-plantations.html (accessed Juli 19, 2016).

Suryowati, Estu. Presiden Siapkan Moratorium Lahan Kelapa Sawit dan Tambang. April 14, 2016.

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2016/04/14/204600726/Presiden.Siapkan.Mo ratorium.Lahan.Kelapa.Sawit.dan.Tambang (accessed Juli 19, 2016).

The Diplomat. The Trouble with Indonesia - Singapore Relations. Oktober 21, 2015. http://thediplomat.com/2015/10/the-trouble-with-indonesia-singapore-relations/ (accessed Juli 20, 2016).

TIME. Solving Southeast Asia’s Choking Haze Will Require Massive Agricultural Change.

November 2, 2015. http://time.com/4097657/indonesia-forest-fires-haze-pollution-environment-asean/ (accessed Juli 20, 2016).

Gambar

Tabel II: Alih Fungsi [CITATION Kem14 \p Carapembukaan lahan ituPerkebunan/PertaniansendiriKawasan Hutan untuk 16 \l 1057 ] justru
Tabel III: Sebaran

Referensi

Dokumen terkait

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan laporan Tugas Akhir ini masih jauh dari sempurna, untuk itu dengan kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan

Berdasarkan pada Tabel 2 dapat dilihat peningkatan penggunaan bahan bakar oleh BRT hingga tahun 2030. Peningkatan penggunaan bahan bakar BRT terjadi sampai tahun

Beberapa nilai siswa tidak mencapai kriteria ketuntasa minimal (KKM), namun setelah menggunakan Mobile Learning Media bermuatan ethnoscience menunjukkan bahwa

Badan Pelaksana Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi Nahdlatul Ulama, disingkat BPPPTNU adalah satuan kerja yang dibentuk oleh Lembaga untuk melaksanakan fungsi

Berdasarkan analisis SWOT, diperoleh strategi yang mendesak bagi pengembangan kawasan wisata Napabale bagi pemerintah Kabupaten Muna Meliputi pemanfaatan

Pengembangan kapas di Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Nusa Tenggara Barat dilakukan di lahan tadah hujan dengan musim hujan yang

Memberikan informasi atau gambaran kepada pemerintah, analis laporan keuangan, manajemen perusahaan, dan investor/kreditor bagaimana pajak, mekanisme bonus, dan

Dari perbandingan diatas unuk tegangan geser material sebelum dipanaskan memiliki teganngan geser yang lebih tinggi 5,09 MPa, untuk modulus elastisitas nilai maksimum