Demonopolisasi Politik untuk Persaingan yang Kompetitif Oleh: Nona Evita, Peneliti Populi Center
Awal minggu ini, angka indeks demokrasi di Indonesia pada tahun 2015 sudah dipublikasikan. Asia Democracy Index untuk Indonesia menunjukkan bahwa indeks demokrasi di Indonesia baru diangka 5.81 dari skor tertinggi 10. Angka ini lebih tinggi dibanding tahun 2014, yaitu sebesar 5.42. Kita patut apresiasi pada munculnya relawan pada Pilpres 2014 sehingga dapat mendongkrak angka indeks demokrasi pada tahun 2015. Namun, publik jangan puas dengan angka tersebut. Apabila dianalogikan sebagai rapor, tentu angka 5.81 masih menunjukkan rapor merah bagi demokrasi di negeri ini.
Menurut lembaga yang melansir, indeks demokrasi Asia dilatarbelakangi oleh definisi demokrasi sebagai demonopolisasi yang terjadi atas proses dan institusi dalam 3 dimensi, salah satunya spektrum politik. Demonopolisasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, didefinisikan sebagai usaha penghapusan monopoli atau penguasaan satu orang/ satu kelompok. Di Indonesia, upaya demonopolisasi politik tidak semudah yang dibayangkan. Berdasarkan Asia Democracy Index, demonopolisasi politik memiliki beberapa indikator, diantaranya penghapusan monopolistik partai, kelompok informal dalam politik yang berpengaruh, kebebasan beroposisi, kebebasan sipil, jaminan partisipasi politik warga negara, dan pengorganisasian masyarakat sipil sehingga organisasi masyarakat sipil tidak hanya sebagai ruang, melainkan juga bisa memperjuangkan tuntutan kebijakan yang pro rakyat. Lantas, sudah sejauh manakah penghapusan monopoli politik di Indonesia?
Ternyata, realita konstelasi politik di Indonesia jelang Pilgub DKI 2017 semakin menunjukkan adanya tren monopolisasi, khususnya monopoli partai politik. Beberapa indikator menunjukkan adanya upaya monopoli parpol dengan menghambat jalur independen. Setelah bergulir pernyataan deparpolisasi, ada wacana komisi II DPR RI untuk merevisi Undang Undang Pilkada Nomor 8 Tahun 2015 khususnya pada poin syarat dukungan untuk calon independen agar diperberat, supaya berimbang dengan syarat dukungan untuk calon dari parpol. Fenomena Ahok mendorong menguatnya relawan politik yang mengikis peran parpol, dan sebagai reaksi parpol melakukan remonopolisasi. Manuver ini menimbulkan pertanyaan besar, segitu takut kah parpol dengan fenomena Ahok‐ effect sehingga terus melakukan upaya pelemahan calon independen? Sebenarnya, parpol tidak perlu khawatir berlebihan. Justru, momentum ini harusnya bisa dimanfaatkan parpol kalau memang tidak membenarkan apa yang menjadi pernyataan Ahok soal budget Rp 100 Miliar untuk menggerakan mesin satu parpol pengusung ke tingkat cabang dan ranting.
dikerdilkan. Jalur independen harus dipandang sebagai jalur tandingan partai politik, karena sama‐sama memberi kesempatan warga negara Indonesia untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik dengan mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Jadi, kalau jalur independen dianggap sebagai deparpolisasi dan mencederai demokrasi, lantas mengapa beberapa bakal calon juga ikut mengumpulkan KTP untuk bersiap‐siap maju jalur independen?
Seperti yang diketahui dari pemberitaan 1 bulan terakhir, beberapa bakal calon bersiap‐siap maju jalur Independen dengan ikut mengumpulkan KTP sembari sowan ke petinggi parpol. Sikap seperti ini menimbulkan pertanyaan, kalaupun mereka mendekati parpol, mengapa mereka juga ikut mengumpulkan KTP? Para bakal calon ini seharusnya memberi kepastian, mau ikut jalur parpol atau ikut jalur independen. Seharusnya, mereka tidak perlu cemas mau maju lewat jalur apa. Yang harus dipikirkan sebetulnya adalah program apa yang akan mereka tawarkan yang bisa menandingi program yang sedang berjalan saat ini, atau bahkan lebih bagus dari program saat ini. Sebetulnya, di Jakarta ini masih banyak masalah yang belum terpecahkan, seperti kemacetan dan harga bahan pokok yang tinggi. Publik pun sudah sangat rasional dalam menilai mana program yang inovatif dan mana yang tidak. Rasionalitas ini terwujud dari relawan yang akan memberi kesempatan bakal calon tersebut dengan memperjuangkan supaya bakal calon maju menjadi calon Gubernur.
Sebagai kesimpulan, jalur independen bukanlah sebagai langkah mencederai demokrasi. Sebaliknya, jalur independen bisa menjadi opsi lain selain parpol. Semakin banyak pilihan, semakin kompetitif calon kepala daerah yang dilahirkan. Sikap Istana Negara menolak revisi Undang Undang Pilkada Nomor 8 tahun 2015 sudah patut diapresiasi karena dengan demikian, calon independen juga diberi peluang untuk maju dalam kontestasi Pilkada. Di samping itu, munculnya jalur independen juga mendorong parpol untuk merombak sistem penjaringan agar mampu melahirkan pemimpin yang lebih baik lagi, dan pemimpin yang lebih fokus pada program pro rakyat, bukan program negosiasi politik.
***