• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP SYIAH DALAM ISLAM. docx

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KONSEP SYIAH DALAM ISLAM. docx"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS MAKALAH SIYASAH

“ KONSEP SYIAH IMAMIYAH ”

DOSEN PENGAMPU :Drs. Yusdani, M.Pd

OLEH :

Aris Romadhoni ( 12421009) Suryaningsih Hidayat ( 12421022) Fachrunnisa Moulidhya ( 13421051 )

FAKULTAS ILMU AGAMA ISLAM

PROGRAM STUDI HUKUM ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

(2)

BAB I

PENDAHULUAN

Membincangkan Wilayah al-Faqih (Wilayat-e faqih) tidak bisa terlepas dari konsep Imamah dan wilayah. Imamah dan wilayah adalah konsep kepemimpinan yang diyakini oleh umat syiah. Mayoritas syiah terdapat di Iran (Persia). Iran lewat perjuangan Ayatullah Khomeini telah menjadikan konsep Wilayah al-Faqih sebagai konstitusi negaranya setelah revolusi 1979. Karenanya, sebelum membahas fokus kajian ini, penulis terlebih dahulu menguraikan konsep Imamah dan wilayah tersebut sebagai faktor perumusan wilayah al-faqih.

Pada permasalahan ini penulis bermaksud membahas tentang hal tersebut yakni pemaaparan tentang konsep syiah dan doktrin tentangnya

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apakah pengertian imamah itu? 2. Jeaskan sejarah Imamah!

(3)

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Imamah

Imamah merupakan bahasa Arab yang berakar dari kata amma, menurut Ibnu Mandzur berarti yang berada di depan atau ketua. Serupa dengan penjelasan dalam al-mu’jam asy-syamil limustholahat al-falsafah karya Dr. Abdul Mun’im Al-Hifny, imam ialah yang memiliki kekuasaan tertinggi didalam agama dan dunia,yang harus diikuti oleh seluruh umat.1

Jadi, orang yang menjadi pemimpin harus selalu di depan untuk diteladani sebagai contoh. Kedudukan imam sama dengan penanggung jawab urusan umat. Sedangkan menurut Muhammad Rasyid Ridho dalam bukunya Al Khilafah, kata Imamah, khilafah, serta amirul mukminin ketiganya mempunyai makna yang sama yaitu kepemimpinan satu pemerintahan Islam yang bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi umatnya.

Adapun pengertian Imamah menurut ulama Syi’ah, bahwa kepemimpinan spiritual atau rohani, pendidikan, agama dan politik bagi umat Islam telah ditentukan Allah secara turun-temurun sampai imam ke-12. Sementara menurut al-Hilly, salah seorang ulama Syi’ah, imamah merupakan kepemimpinan umum dalam urusan dunia dan agama, oleh seseorang maupun beberapa orang, sebagai pengganti kepemimpinan Nabi SAW. Muhammad Al-Husein Ali Kasyiful Ghita’, juga mengatakan dalam bukunya Ashlusy-Syi’ah wa Ushuluha,masalah Imamah merupakan dasar utama yang hanya dimiliki oleh Syi’ah Imamiyah dan menjadikan Syi’ah Imamiyah berbeda dari aliran-aliran dalam Islam lainnya. Ia adalah perbedaan yang bersifat dasar atau asasi, perbedaan lainnya hanya furu’iyah, tak ubahnya dengan perbedaan antar Madzahib (Hanafi, Syafi’i dan lain-lain). Lebih lanjut lagi, ia menyatakan bahwa Imamah semata-mata ialah anugerah Tuhan yang telah dipilih Allah dari zaman azali terhadap hambaNya, seperti Allah memilih Nabi dan memerintahkan kepada Nabi untuk menyampaikan kepada umat agar mereka mengikutinya. Syi’ah Imamiah berkeyakinan bahwa Allah telah memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk menentukan ‘Ali r.a dan mengangkatnya sebagai pemimpin umat manusia setelah beliau.2

Dengan dimasukkannya Imamah (kepala negara dan pemerintahan) dalam bagian keimanan yang harus diyakini kebenarannya, tentu saja berlainan dengan Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Karena sesuai dengan metode pemahaman Ahlu Sunnah wal Jama’ah bahwa 1 Abdul Mun’im Al-Hifny, al-mu’jam asy-syamil limustholahat al-falsafah, (Mesir:

Maktabah Al-Madbuly, 2000), hal: 35

(4)

penetapan dasar aqidah menggunakan At-Taufiq bainan-naqli wal-‘aqli (Alqur’an, hadist dan An-Nazhar), maka dasar-dasar keimanan yang enam itu diambil sepenuhnya dari nash Alqur’an dan hadist-hadist Nabi SAW, terutama hadist yang dikenal dengan hadist Jibril.

B. Sejarah Imamah

Ide tentang hak Ali dan anak keturunannya untuk menduduki Jabatan Khalifah atau Imam telah ada sejak saat setelah wafatnya Nabi. Dalam pembicaraan di Tsaqifah Bani Sa’idah telah ada usul bahwa yang dikehendaki untuk menduduki jabatan khalifah pengganti Nabi haruslah diambil dari kalangan Ahlul Bait. Disamping itu ada pula berita, bahwa bersamaan waktunya dengan berlangsungnya Muktamar Tsaqifah Bani Sa’idah terjadi pula sebuah rapat di rumah Fathimah putri Nabi yang dipimpin oleh Ali dengan dihadiri oleh seluruh warga Bani Hasyim. Bahkan ketika Nabi sedang sakit pun Al-Abbas telah mendesak Ali untuk meminta kepastian Nabi siapa yang akan ditunjuk sebagai penggantinya.Ali menolak desakan Al-Abbas itu karena khawatir Nabi akan menunjuk orang lain sehingga tertutup kemungkinan baginya untuk memangku jabatan khalifah kelak,disamping Ali sendiri belum yakin bahwa sakit Nabi itu berakhir dengan kewafatannya. Memang,pada saat Nabi wafat masyarakat muslim di Madinah terpecah dalam tiga kelompok yaitu3:

1. Banu Hasyim,termasuk Ali diantara mereka yang menghendaki hak legitimasi kekhalifahan .

2. Muhajirin yang dipimpin oleh Abu Bakar dan Umar

3. Anshar dibawah pimpinan Ubadah.

Dalam masalah kepemimpinan negara,kelompok pertama dikembangkan oleh Syi’ah,kelompok kedua oleh Sunni dan kelompok ketiga oleh Khawarij.

Isyu politik hak legitimasi Ahlul Bait untuk jabatan khalifah meemang mereda sejak Ali memberikan Bai’atnya kepada Abu Bakar As-Siddiq sampai dengan berakhirnya masa pemerintahan Umar bin Khattab. Memasuki masa pemerintahan Utsman bin Affan isyu ini mulai mengeras lagi.Abdullah Bin Saba’, seorang asal Yahudi,dengan maksudnya sendiri,berkampanye bahwa hak Ali telah terampas oleh orang lain. Dalam kampanyenya, Abdullah bin Saba’ tidak tanggung-tanggung,sampai-sampai dia mengatakan bahwa Ali bukan saja orang yang paling berhak untuk jabatan Imam bahkan Ali adalah Tuhan.

(5)

Setelah Ali wafat, terbunuh pada bulan Januari 41 Hijriyah/ 661 M, terjadilah pertarungan berebut kekuasaan politik antara pendukung-pendukung Ali dengan pendukung Muawiyah, atau jika dilihat dari segi lokasi pertarungan ntara penduduk Iraq (Ali) dengan penduduk Syiria (Muawiyah). Orang-orang Kuffah menuntut agar kelak jabatan Keimaman tetap dipegang oleh keluarga Ali (Ahlul Bait). Mereka merealisasikan tuntutannya ini dengan mengangkat Al-Hasan putera Ali sebagai khalifah (Imam). Peristiwa pengangkatan Hasan sebagai Imam inilah yang menjadi awal doktrin politik Syi’ah.4

Golongan Imamiyah pada prinsipnya berpegang bahwa yang berhak menduduki jabatan Imam haruslah anak keturunan Ali yang dilahirkan oleh Fathimah puteri Rasulullah. Golongan ini kiranya tidak melihat Ali sebagai puncak, tetapi Ali hanyalah sebagai penerus keturunan Nabi. Berbeda dengan Kaisaniyah yang melihat Alilah sebagai titik awalnya.

C. Konsep Imamah Menurut Pandangan Syi’ah

Bagi Syi’ah Imam atau khalifah adalah satu kepentingan agama, bukan hanya kelayakan politik semata. Lembaga keimanan adalah satu rukun agama fundamental, yang sama pentingnya dengan Al-Qur’an dan As-sunnah. Tanpa adanya seorang Imam, bukan saja dunia ini akan hancur, bahkan dunia ini sendiri tidak pernah ada. Imam, apakah ia diketahui atau tersembunyi adalah seorang hujjat, wakil Tuhan di bumi. Sejak dari zaman Adam a.s. sampai hari kiamat harus selalu ada seorang imam. Jika tidak ada Imam tak akan ada penyembahan kepada Tuhan di bumi, sebab cara penyembahan kepada Tuhan haruslah belajar dari Imam. Hanya dengan perantaraan seorang Imam sajalah, maka Tuhan dapat dikenal. Inilah yang mereka maksudkan bahwa tanpa kehadiran seorang Imam di bumi, maka dunia akan hancur. Mereka berpendapat pula bahawa Imam itu adalah seorang yang Ma’shum (suci dari dosa).5

Bagi mereka pula, Imam itu adalah seorang yang pandai dalam segala macam cabang ilmu pengetahuan, khususnya di lapangan ilmu pengetahuan agama. Dia juga seorang yang berkualitas luhur dan mulia dan tidak ternoda dengan dosa seperti juga halnya para Nabi. Pebedaan antara Nabi dengan Imam hanya terletak pada penerimaan wahyu. Jika Nabi menerima pesan dan aturan-aturan agama melalui wahyu, Imam menerimanya melalui Nabi dan menjadi kewajibannya untuk membimbing manusia ke arah kehendak Allah dan Sunnah

4 Sayyid Muhibuddin Al-Khatib,Mengenal Pokok-pokok Ajaran Syi’ah Al-Imamiyah ( Surabaya: PT. Bina Ilmu,1984) Hal : 25

(6)

Nabi. Al-Imamah dalam madzhab pemikiran Syi’ah adalah kepemimpinan progresif dan revolusioner yang bertentangan dengan rezim-rezim politik lainnya ,guna membimbing manusia serta membangun masyarakat diatas pondasi yang benar dan kuat, yang bakal mengarahkan menuju kesadaran, pertumbuhan dan kemandirian dalam mengambil keputusan.6

Otoritas seorang imam berhak menuntut ketaatan dari para pengikutnya kendatipun ia tidak memiliki kekuasaan politis. Dalam hal ini terlihat jelas dalam kemampuan seorang imam untuk menginterpretasikan wahyu ilahi secara otoritatif. Apa yang diputuskan para imam, wakil-wakil yang dapat membangkitkan suatu kepercayaan baik dikalangan biasa (awam) maupun elit (alim) Syi’ah untuk mencapai otoritatif dalam kosmologi mereka yaitu sistem keagamaan mereka.Kaum Syi’ah memandang adanya imamah dalam suatu wilayah, sangat penting. Karena hal ini menyangkut perinsip agama dan turut menentukan status seseorang disebut sebagai pengikut Syiah atau tidak. Dalam kultur Safawi, imamah sama artinya dengan beriman kepada dua belas imam yang suci dan supranatural, yang setiap orang harus memuja dan memulyakannya dan mengikutinya dan menjadikan mereka sebagai suri teladan dalam segenap prilaku personal dan sosial mereka.7

Persoalan keimaman menurut Syi’ah harus bersendikan kepada pokok-pokok dasar agama yaitu kepada rukun iman yaitu ke-Esaan Allah, keadilan Allah dan rasul-nya, keimana kepada Rasulullah setelah itu kepada Ali ra. Iman kepada hari kebangkitan dan keimanan kepada dua belas imam. Kata imam menurut mereka berarti pemimpin dan itu hanya ditujukan kepada dua belas imam saja. Dan mereka-lah yang akan memimpin manusia sampai hari kiamat dan mereka itulah yang harus memerintah manusia sampai hari kiamat. Mereka adalah:

1) Ali bin Abi Thalib (Abu al Hasan) Bergelar “al Murtadla”. Lahir pada 10 tahun sebelum kenabian dan syahid pada tahun 40 Hijriyah. Khalifah Muslim keempat, sepupu dan anak mantu Rasulullah.

2) Hasan bin Ali (Abu Muhammad) Bergelar “az Zaki”. Hidup antara tahun 3 – 50 Hijriyah. Putera Ali dan Fatimah.

3) Husein bin Ali (Abu Abdillah) Bergelar “Penghulu para Syahid”. Hidup antara tahun 4 – 61 Hijriyah. Karakter yang paling disukai Syi’ah Iran, putera termuda Ali dan Fatimah.

6 Ali Syariati, Islam Madzhab Pemikiran dan Aksi, Mizan, Bandung, hlm 4

(7)

4) Ali bin Husein (Abu Muhammad) Hidup antara tahun tahun 38 – 95 Hijriyah. Putera dari Imam Husein, memiliki dua nama julukan: Sajjad (Ahli Sujud), dan Zein al-Abedin (penyembah terbaik) 148 Hijriyah. Putera dari Muhammad bin Ali, bergelar Sadeq (kebenaran dan adil).

7) Musa bin Ja’far al Kadzim (Abu Ibrahim) Hidup antara tahun 128 – 183 Hijriyah. Putera Imam Ja’far ash Shadiq, bergelar Kazem (menyembunyikan amarahnya)

8) Ali bin Musa ar Ridla (Abu al Hasan) Hidup antara tahun 148 – 202/203 Hijriyah. Putera Musa al-kadzim, satu-satunya imam Syi’ah yang dimakamkan di Iran, di juluki Reza/Ridla (senang dan melawan)

9) Muhammad bin Ali al Jawad (Abu Ja’far) Hidup antara tahun 195 – 220 Hijriyah. Putera imam Reza, memiliki gelar Javad / Jawad (Murah Hati) 10) Ali Bin Muhammad al Hadi (Abu al Hasan) Hidup antara tahun 212 – 254

Hijriyah. Putera Imam Javad, memiliki julukan Hadi (penuntun).

11) Hasan bin Ali al Askari (Abu Muhammad) Hidup antara tahun 232 – 260 Hijriyah. Putera imam Hadi, bergelar Asgari/askari (diawasi oleh kaum militan) karena ia dijaga secara ketat untuk memiliki keturunan.

12) Muhammad bin Hasanal Mahdi (Abu al Qasim) Inilah yang disebut “Imam yang ghaib” dan “dinantikan kedatangannya” untuk menegakkan keadilan di muka bumi. Dikatakan bahwa “al Mahdi” (dijaga Allah) lahir pada tahun 256 Hijriyah mengalami “masa ghaib kecil (Ghaibah Shugra)” pada tahun 260 Hijriyah, dan “masa ghaib besar (Ghaibah Kubro)” pada tahun 329 Hijriyah. Ia hidup sampai hari kiamat sehingga bumi tidak sunyi dari Imam. Dan keimanan terhadap Imamah tidak sempurna kecuali dengan meyakini adanya Imam Mahdi. Ia merupakan orang yang dipercayai tidak dapat meninggal dan orang yang dijanjikan juru selamat agama Ibrahim. Ia dikenal dengan julukan Vali

(8)

D. Kriteria Imamah Menurut Syi’ah

Imam yang menggantikan Nabi Saw bukanlah sembarang orang, tetapi harus memiliki sejumlah sifat yang dimiliki Nabi Saw. Oleh karena itu, persyaratan menjadi Imam tidak cukup harus seorang Quraisy, seperti yang diyakini sahabat ketika itu, tetapi harus pula memiliki syarat-syarat lain, yaitu ‘ismah (kemampuan menjaga diri dari dosa walau sekecil apa pun) dan ilm (ilmu yang sempurna). Dalam hal ini, berdasarkan pada nas-nas yang shahih, syiah menegaskan bahwa orang yang memiliki sifat demikian hanyalah orang-orang tertentu (bukan semuanya) dari ahlul bait yang memiliki kedekatan dengan Nabi Saaw. Ahlul bait nabi yang dimaksud sebagaimana disebutkan di dalam al-Quran (Q.S. al-Ahzab: 33) diantaranya adalah Imam Ali bin Abi Thalib dan kedua anaknya, Imam Hasan dan Imam Husain.

Imamah yang memiliki sifat ‘ismah perlu, karena syariat tidak akan dapat berjalan tanpa adanya kekuasaan mutlak yang berfungsi memelihara serta menafsirkan pengertian yang benar dan murni (tanpa melakukan kesalahan) terhadap syariat itu. Begitu pula dengan ilmu imam, mestilah suci dan bersifat hudhuri (kehadiran langsung objek ilmu) dan syuhudi (tersaksikan dengan mata batin) atau bantuan gaib dan taufik ilahiah. Selain itu, struktur jasmani, otak serta urat syaraf, dan potensi ilmiah para imam sempurna dan senantiasa mendapat pertolongan ilahi. Semua itu, mutlak diperlukan untuk sampainya pesan-pesan ilahi secara jelas dan sempurna, tanpa cacat dan kesalahan.Jadi, bagi syiah, orang yang memenuhi syarat untuk berperan sebagai penafsir hukum Tuhan hanyalah perantara ‘supra manusiawi’ yang diberi petunjuk oleh pencipta hukum tersebut, yaitu para Imam. Karenanya, syiah mengembangkan teori tentang Imamah sesuai dengan ketentuan imam yang dipilih oleh Tuhan dan bukan hasil pilihan umat manusia.8

Ishmah dan ilmu berjalan seiring dan saling dukung. Maksudnya, ishmah diperoleh salah satunya melalui ilmu yang sempurna. Dengan ilmunya, seorang imam mengetahui hukum-hukum agama dan akibat-akibat yang ditimbulkan karena melanggar ajaran-ajaran agama tersebut. Dengan ilmu yang yakin (ilmu al-yakin) dan menyaksikan konsekuensi perbuatannya (ain al-yakin), seorang imam akan senantiasa menjaga dirinya dari perbuatan maksiat dan dosa. Layaknya seperti orang yang mengetahui dengan ilmunya yang pasti bahwa minyak panas akan dapat melukai dan menghancurkan kulitnya, maka ia tidak akan

(9)

mau mencelupkan tangannya ke dalam kuali yang berisi minyak panas, walaupun hal itu belum pernah dicobanya.

Syiah, selain menggunakan dalil akal untuk menetapkan ‘ishmah para Imam, juga mengajukan dalil naqli, Al-Quran dan hadits. Diantaranya yang cukup jelas adalah firman Allah kepada Nabi Ibrahim as, bahwa imam akan diangkat dari keturunannya, “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman, “sesungguhnya Aku menjadikan engkau Imam bagi seluruh manusia.’ Ibrahim berkata: “(Dan saya mohon juga) dari keturunanku.” Allah berfirman: “Janjiku (ini) tidak berlaku untuk orang yang zalim. (Q.S. al-Baqarah: 124). Frase terakhir dari ayat di atas menegaskan bahwa ketetapan Allah tidak akan mengenai orang-orang yang zalim. Allamah Thabathabai menjelaskan bahwa dalam hal ini, secara terperinci kelompok manusia dibagi pada empat posisi, yaitu9 :

1. Manusia yang zalim sepanjang umurnya.

2. Manusia yang tidak zalim sepanjang umurnya.

3. Manusia yang zalim di awal umurnya, dan tidak diakhir umurnya.

4. Manusia yang tidak zalim di awal umurnya, tetapi zalim diakhirnya.

Merujuk pada pembagian ini, maka kelompok manusia yang kedualah yang berhak mendapat dan diangkat menjadi imam, karena tidak pernah berbuat zalim alias maksum, seperti ditegaskan oleh ayat di atas. Sebab seseorang yang berbuat dosa adalah orang zalim atas dirinaya, sesuai dengan firman Allah, “…di antara mereka ada yang manganiaya diri mereka sendiri.” (Q.S. Fatir: 32).

Selain ayat di atas, Allah juga menegaskan kepada manusia untuk mematuhi pemimpin melalui firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul-(Nya), dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan rasul, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S. al-Nisa’: 59).

(10)

Sedangkan ayat yang secara jelas menyebutkan ahlul bait adalah ayat tathir, “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu hai ahlul bait dan mensucikan kamu sesuci-sucinya.” (Q.S. al-Ahzab: 33)

E. Doktrin Imamah

Salah satu Imam Syi’ah yakni Ja’far memiliki tugas strategis yakni menyelamatkan cita-cita pokok Syi’isme dari penyerapan oleh sintesis yang muncul di satu pihak, dan di pihak lain, membersihkannya dari kecenderungan yang menjurus ekstrimisme.Kini, setelah menyisihkan para saingan dari kancah, Ja’far mendapat kedudukan yang menguntungkan secara strategis ,dan bertugas mengulas doktrin Imamah serta menguraikannya dalam bentuk yang praktis.

Dalam usaha ini, Ja’far meletakkan tekanan yang sangat pada dua landasan penting :10

1. Yang pertama adalah Nash, yakni Imamah adalah suatu prerogatif yang dilimpahkan Allah kepada orang pilihan dari keluarga rasul, yang sebelum kematiannya dan denga tuntunan Allah,mengalihkan Imamah kepada yang lain melalui pengangkatan yang eksplisit ( Nash ). Berdasar otoritas Nash, Imamah dibatasi dengan keadaan politis, hanya pada individu tertentu di antara seluruh keturunan Ali dan Fathimah,baik yang mengklaim pemerintahan duniawi bagi dirinya,maupun yang tidak.

Dengan sendirinya pemindahan Imamah melalui Nash akan tidak lengkap dan sia-sia kecuali dapat dilacak mundur pada diri Ali, yang tentunya dipercaya untuk jabatan Imamah oleh rasul ,turun dari Ali kepada Hasan,dari Hasan kepada Husain dan kemudian bertahan di garis Husain melalui Nash, berturut-turut sampai pada Ja’far. 2. Prinsip dasar kedua,yang dimasukkan dalam doktrin Imamah sebagai yang dirinci

dan ditekankan oleh Ja’far adalah ‘Ilm. Ini berarti bahwa seorang Imam harus memiliki pengetahuan agama yang khusus diterimanya secara Ilahiah,dan hanya dapat dipindahkan kepada Imam nerikutnya sebelum kematiannya. Dengan demikian, Imam zaman itu merupakan sumber ilmu keagamaan yang otoratif secara khusus. Tanpa tuntunannya,tiada serangpun yang dapat berjalan di jalan yang benar.Ilmu khusus ini termasuk makna eksternal ( Dlahir ) dan esoterik ( Bathin ) dan Qur’an.

Keduanya tidak hanya dipadukan atau saling ditambahkan, tetapi difusikan demikian padat ke dalam kesatuan pandangan terhadap kepemimpinan keagamaan, sehingga memisahkan antara

(11)

keduanya.Dalam doktrin Imamahnya,tidak perlu sama sekali Imam yang diangkat secara Ilahiah untuk bangkit memberontak dan berusaha untuk menjadi penguasa.Kedudukan Imam berada di atas penguasa,yang hanya menjalankan apa yang diputuskan Imam sebagai penguasa tertinggi agama. Adapun orang-orang Syi’ah Waqifiah berpendirian,bukan saja seorang Imam itu diangkat oleh Imam yang mendahuluinya, bahkan ruh Imam yang sebelumnya itu berpindah ke diri Imam yang diangkatnya.Orang-orang ini menganut doktrin transmigrasi . Perpindahan ruh atau jiwa dari seorang Imam ke Imam penggantinya terus berlangsung dan baru berhenti sampai lahirnya seorang yang telah diperuntukkan menjadi Imam yang terkhir yakni Al-Mahdi. Doktrin ini sama seperti yang dianut oleh orang-orang Tibet terhadap Dhalai Lhamanya.

Bagi orang-orang Syi’ah harapan tentang kedatangan Al-Mahdi ini diidentifikasikan dengan Raj’a ( kembali ) dari Imam yang sedang bersembunyi. Pada waktu sekarang sang Imam sedang berada dalam persembunyiannya yang diyakini akan kembali.Doktrin ini berintikan bahwa sang Imam tidaklah wafat.Tuhan hanya menghilangkannya dari penglihatan manusia.Tuhanlah yang memperpanjang hidupnya. Begitulah pendirian orang-orang Syi’i Waqifiyah yang menggunakan Al-Qur’an tentang Al-Khidr sebagai dasar pegangan mereka.

F. Sistem Pemilihan Imamah Menurut Pandangan Syi’ah

Dalam masalah keimanan, Syi’ah menganut teori hak legitimasi berdasarkan Hak Suci Tuhan. Oleh karena itu seseorang yang memangku jabatan Imam haruslah berdasarkan Nash ( dalil agama ) dan Washiyat ( wasiat/testamen ) dari Imam yang sebelumnya. Tuhan telah mendelegasikan hak suciNya itu kepada para Nabi dan Muhammad SAW telah mewasiatkannya kepada Ali. Maka Ali lah orang pertama yang menerima wasiat untuk menjadi Imam.Selanjutnya setiap Imam yang telah mendapat wasiat mempunyai hak mutlak untuk mewasiatkannya lagi kepada seseorang yang dikehendakinya.11

Mengingat kedudukan Imam itu begitu mulia dan agung,penting serta tinggi,maka menurut kepercayaan orang-orang Syi’ah,tidaklah sepantasnya masalah pemilihan dan pengangkatan seorang Imam dipercayakan pada orang banyak ( hak pilih rakyat ) yang bukan Nabi atau Imam, seperti pemilihan terhadap Abu Bakar,pengangkatan Umar dan pemilihan terhadap Utsman yang dilakukan oleh sebuah komisi. Tetapi haruslah jelas diangkat oleh Tuhan melalui Nabi atau melalui Ali, atau oleh seorang Imam yang mendahuluiny, sebagai

(12)

pemangku hak suci.Adalah menjadi kewajiban yang tak boleh dialpakan oleh seorang Nabi untuk menunjuk dan mengangkat seorang Imam untuk memimpin kaum Muslimin.

Jadi menurut pandangan Syi’ah, kecuali Zaidiyah, bahwa pengangkatan Imam itu adalah hak suci Tuhan, bukan berdasarkan prinsip pemilihan demokratis. Setiap Imam, sejak dari Ali adalah orang-orang yang memangku jabatannya berdasarkan Nash dan Washiyat. Orang yang diangkat dinamakan Manshush. Ali diangkat oleh Nabi, Imam sesudah Ali diangkat oleh Ali,sedang Imam-imam berikutnya diangkat oleh Imam yang mendahuluinya. Para Imam itu mempunyai kewenangan mengangkat penggantinya adalah karena dia mempunyai kewenangan untuk menetapkan hukum dan memimpin Ibadah.12

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Imamah merupakan bahasa Arab yang berakar dari kata amma, menurut Ibnu Mandzur berarti yang berada di depan atau ketua. Serupa dengan penjelasan dalam al-mu’jam

(13)

asy-syamil limustholahat al-falsafah karya Dr. Abdul Mun’im Al-Hifny, imam ialah yang memiliki kekuasaan tertinggi didalam agama dan dunia,yang harus diikuti oleh seluruh umat.

Bagi Syi’ah Imam atau khalifah adalah satu kepentingan agama, bukan hanya kelayakan politik semata. Lembaga keimanan adalah satu rukun agama fundamental, yang sama pentingnya dengan Al-Qur’an dan As-sunnah. Tanpa adanya seorang Imam, bukan saja dunia ini akan hancur, bahkan dunia ini sendiri tidak pernah ada. Imam, apakah ia diketahui atau tersembunyi adalah seorang hujjat, wakil Tuhan di bumi.

Imam yang menggantikan Nabi Saw bukanlah sembarang orang, tetapi harus memiliki sejumlah sifat yang dimiliki Nabi Saw. Oleh karena itu, persyaratan menjadi Imam tidak cukup harus seorang Quraisy, seperti yang diyakini sahabat ketika itu, tetapi harus pula memiliki syarat-syarat lain, yaitu ‘ismah (kemampuan menjaga diri dari dosa walau sekecil apa pun) dan ilm (ilmu yang sempurna).

Salah satu Imam Syi’ah yakni Ja’far membuat dua landasan yang penting yakni :

1. Yang pertama adalah Nash, yakni Imamah adalah suatu prerogatif yang dilimpahkan Allah kepada orang pilihan dari keluarga rasul, yang sebelum kematiannya dan denga tuntunan Allah,mengalihkan Imamah kepada yang lain melalui pengangkatan yang eksplisit ( Nash ).

2. Prinsip dasar kedua,yang dimasukkan dalam doktrin Imamah sebagai yang dirinci dan ditekankan oleh Ja’far adalah ‘Ilm. Ini berarti bahwa seorang Imam harus memiliki pengetahuan agama yang khusus diterimanya secara Ilahiah,dan hanya dapat dipindahkan kepada Imam nerikutnya sebelum kematiannya.

Dalam masalah keimanan, Syi’ah menganut teori hak legitimasi berdasarkan Hak Suci Tuhan. Oleh karena itu seseorang yang memangku jabatan Imam haruslah berdasarkan Nash ( dalil agama ) dan Washiyat ( wasiat/testamen ) dari Imam yang sebelumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Dr. Nourouzzaman Shiddiqi,MA, Syi’ah dan Khawarij dalam Perspektif Sejarah (Yogyakarta : PLP2M, 1985

(14)

Abdul Mun’im Al-Hifny, al-mu’jam asy-syamil limustholahat al-falsafah, (Mesir: Maktabah Al-Madbuly, 2000)

Muhammad Al-Husein Ali Kasyiful Ghita’, Ashlusy-Syi’ah wa Ushuluha, (Beirut: Darul al-Adhwa, 1999)

Ali Syariati, Islam Madzhab Pemikiran dan Aksi, Mizan, Bandung

Sayyid Muhibuddin Al-Khatib,Mengenal Pokok-pokok Ajaran Syi’ah Al-Imamiyah (Surabaya: PT. Bina Ilmu,1984)

inpasonline.com, dikutip pada Sabtu, 10 Oktober 2015 pukul: 21.25

Referensi

Dokumen terkait

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Bupati tentang Tugas Pokok dan Uraian Tugas Gudang Farmasi pada

 Apabila sabuk tersebut memiliki bagian yang panjang dan bagian yang pendek,letakan sabuk yang panjang di belakang (dibawah) klien yang berbaring serta ikat tali tersebut

Tenggelam ( drowning ) adalah kematian akibat asfiksia yang terjadi dalam 24 jam setelah peristiwa tenggelam di air, sedangkan hampir tenggelam ( near drowning ) adalah korban

Soal ketiga butir ini dijawab sama (18) oleh kelompok atas dan dijawab sama (7) pula oleh kelompok bawah, sehingga indeks yang dihasilkannya pun sama, yakni 0,69. Soal ini

Penelitian ini membahas permasalahan tentang Bagaimana Tren Facebook di Kalangan Mahasiswa FISIP USU sehingga menimbulkan suatu gaya hidup, apa alasan mahasiswa FISIP

Dibandingkan dengan harga buah kopi dan kopi biasa kopi luwak lebih memiliki harga yang tinggi yaitu untuk per kilogramnya bisa mencapai Rp 200.000,- yaitu biji kopi luwak yang masih

Aktifitas yang dilakukan BY_KK Ponorogo yaitu dengan mengambil karya fotografi seseorang tanpa izin ataupun kerjasama dengan yang bersangkutan kemudian dijadikan iklan

dilakukan karena di Kebun Raya Sogor seringkali terlihat banyak sisa- sisa makanan codot di teras gedung- gedung, serta masih banyak pertanyaan seputar perilaku makan codot yang