• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBANDINGAN KINERJA SISTEM HIBRID DENGA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERBANDINGAN KINERJA SISTEM HIBRID DENGA"

Copied!
134
0
0

Teks penuh

(1)

PERBANDINGAN KINERJA SISTEM HIBRID DENGAN

KONVENSIONAL PADA STRUKTUR PILAR PRACETAK

GUIDEWAY MONOREL

TUGAS AKHIR

Karya tulis sebagai salah satu syarat Untuk memperoleh gelar Sarjana dari

Institut Teknologi Bandung

Oleh

BRYAN MUSTIKA SURYAWIDJAJA

NIM : 150 11 108

PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL

FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

(2)

II

ABSTRAK

PERBANDINGAN KINERJA SISTEM HIBRID DENGAN

KONVENSIONAL PADA STRUKTUR PILAR PRACETAK

GUIDEWAY MONOREL

Oleh

Bryan Mustika Suryawidjaja NIM : 150 11 108

(Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Program Studi Teknik Sipil)

Indonesia merupakan negara dengan pertumbuhan ekonomi yang berkembang pesat

setiap tahunnya. Hal tersebut membuat konstruksi infrastruktur di kota besar Indonesia

dituntut cepat, efisien, perawatan yang mudah, dan masa layan yang tinggi. Sedangkan,

konstruksi infrastruktur seperti jembatan perkotaan tidak dapat memenuhi kebutuhan

tersebut karena persyaratan detailing yang ketat untuk menahan beban gempa Indonesia. Oleh karena itu, beton pracetak segmental menjadi pilihan konstruksi masa depan

Indonesia.

Beton pracetak segmental dengan sistem konvensional memiliki masalah utama,

yaitu disipasi energi tidak sebaik beton pengecoran cast-in-situ (Hewes and Priestley, 2002) dan permasalahan sambungan pada daerah join tempat disipasi energi gempa. Sistem

hybrid dikembangkan untuk mengatasi permasalahan sistem konvensional. Selain itu, sistem hybrid memiliki model histeretik yang unik, yaitu model flag shape. Secara nyata, model histeretik direpresentasikan oleh sifat self centering saat terjadi rocking mechanism

pada daerah join. Hasilnya, residual deformation pada sistem hybrid lebih kecil dibandingkan sistem konvensional.

Model yang digunakan dalam analisis adalah struktur jembatan guideway monorel. Hasil analisis pushover dan Non-Linier Time History (NLTH) membuktikan bahwa level kinerja sistem hybrid dan sistem konvensional adalah sama. Sedangkan, untuk residual deformation sistem hybrid untuk arah memanjang sekitar empat kali lebih rendah dibandingkan sistem konvensional dan arah transversal sekitar tujuh kali lebih rendah.

Kata kunci: jembatan guideway monorel, sistem hybrid dan konvensional, self-centering,

(3)

III

ABSTRACT

PERFORMANCE COMPARISON OF HYBRID AND

CONVENTIONAL SYSTEM IN PRECAST GUIDEWAY

MONORAIL PIER STRUCTURE

Presented by

Bryan Mustika Suryawidjaja NIM : 150 11 108

(Faculty of Civil and Environment Engineering, Civil Engineering)

Indonesia is one of the countries in the world with a rapidly growing economy

annually. It comes to the consequences that construction activity in major cities of

Indonesia should be fast, efficient, easy maintenance and have a long service cycle.

However, the existing construction of vital infrastructure such as city bridges do not meet

those criteria because of the complicated detailing requirement to withstand earthquake

forces. Therefore, segmental precast concrete is being an option for the future of

construction in Indonesia.

Segmental precast concrete of conventional system has two major problem which

are its energy dissipation is not as good as cast-in-situ method (Hewes and Priestley, 2002)

and connection problem at the join area where the earthquake’s energy is dissipated.

Hybrid system was developed to solve the problems of conventional system. It also has a

unique hysteretic models, namely flag shape. Significantly, hysteretic model is represented

by self centering behavior when rocking mechanism of pier joint area occured. As a result,

residual deformation of hybrid system is smaller than conventional system.

The guideway monorail bridge is the model that will be used for the analysis. The

results of pushover and Non-Linear Time History (NLTH) analysis indicate that

performance level for hybrid and conventional system is similar. Whereas, residual

deformation of hybrid system for longitudinal direction is about four times lower than

conventional system and seven times lower for transversal direction.

Keywords: bridge monorail guideway, and a conventional hybrid systems, self-centering,

(4)

IV

PERBANDINGAN KINERJA SISTEM HIBRID DENGAN

KONVENSIONAL PADA STRUKTUR PILAR PRACETAK

GUIDEWAY MONOREL

TUGAS AKHIR

Oleh

BRYAN MUSTIKA SURYAWIJAYA

NIM : 150 11 108

Program Studi Teknik Sipil Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan

Institut Teknologi Bandung

Prof. Ir. Iswandi Imran, MAS.c., Ph.D. NIP. 196312061996031001

Mengetahui,

KK Rekayasa Struktur Koordinator Tugas Akhir

Ir. Made Suarjana, M.S.c., Ph.D. NIP. 196111231987031002

Program Teknik Sipil Ketua,

(5)

V

PEDOMAN PENGGUNAAN TUGAS AKHIR

Tugas Akhir yang tidak dipublikasikan terdaftar dan tersedia di Perpustakaan Institut

Teknologi Bandung, dan terbuka untuk umum dengan ketentuan bahwa hak cipta ada

pada pengarang dengan mengikuti aturan HaKI yang berlaku di Institut Teknologi

Bandung. Referensi kepustakaan diperkenankan dicatat, tetapi pengutipan atau

peringkasan hanya dapat dilakukan seijin pengarang dan harus disertai dengan

kebiasaan ilmiah untuk menyebutkan sumbernya.

Memperbanyak atau menerbitkan sebagian atau seluruh Tugas Akhir haruslah seijin

(6)

VI

Didedikasikan untuk keluarga dan orang-orang yang mendukung dan

mengasihi,

Nurnawati Lie yang memberikan dukungan moral dan materil,

Bambang Mustika Suryawidjaja,,

(7)

VII

PRAKATA

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan penyertaan-Nya selama

penulis menyelesaikan karya tulis “Perbandingan Kinerja Sistem Hibrid Dengan Konvensional pada Struktur Pilar Pracetak Guideway Monorel”. Tugas akhir ini diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana dari Institut Teknologi

Bandung.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak

yang telah membantu dalam proses penyusunan karya tulis ini, antara lain:

1. Kedua orangtua, yaitu Bambang Mustika Suryawidjaja dan Nurnawati Lie, serta

kedua adik, yaitu Jane Stephanie Suryawijaya dan James Mustika Suryawijaya,

yang telah mendoakan, mendukung, dan membantu penulis;

2. Prof. Ir. Iswandi Imran, MAS.c., Ph.D., selaku dosen pembimbing tugas akhir.

Terima kasih atas ilmu, pembelajaran, dan pengalaman selama ini;

3. Ir. Indra Djati Sidi, MSc, Ph.D. dan Dr-Ing. Ediansjah Zulkifli, ST., MT. yang telah

berkenan menjadi dosen penguji seminar dan sidang tugas akhir;

4. Gabriella Amperianto, Brenda Gusanto, Gabriel Steven, Frans Tandeas, Jessen

Purwa Harianto, Klara Karlina, Claudia Calista, Yoshiana Maria, Liana Wiryawan,

Elizabeth Amanda, Jonathan Budianto, William Tasdir, Ivan Gunardi, Kevin

Metthew, Kevin Andrea, dan Ryan Hardika sebagai sahabat yang telah

memberikan semangat, kekuatan, bantuan, dan berbagi suka-duka. I LOVE YOU.

5. Ray Grimaldi Erwin, Joseph Christian, Nicho Liang, Ravend Tandera, Leonardo

Hendriono, dan Afrizal Dwi Putranto sebagai teman satu bimbingan yang telah

memberikan bantuan moral, ilmu, tenaga, dan materil selama tugas akhir.

6. Keluarga Mahasiswa Cina Sipil 2011 sebagai tempat untuk melepas penat tugas

(8)

VIII

7. SIPIL ITB (angkatan 2009, 2010, 2011, 2012, dan 2013) dan orang-orang lain yang

turut membantu, baik secara langsung maupun tidak, dalam proses penyusunan

karya tulis ini.

Penulis menyadari bahwa karya tulis ini tidak luput dari kesalahan. Oleh karena itu,

penulis menerima kritik dan saran yang membangun sebagai pembelajaran di masa

depan. Karya tulis ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk mahasiswa Teknik

Sipil Institut Teknologi Bandung dan pembaca pada umumnya.

Bandung, 19 Juni 2015

(9)

IX

DAFTAR ISI

COVER ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

PEDOMAN PENGGUNAAN TUGAS AKHIR ... v

PRAKATA ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR TABEL ... xv

I.5 Metodologi Pembahasan ... 6

I.6 Sistematika Penulisan ... 8

KAJIAN LITERATUR ... 11

II.1. Perkembangan Keilmuan Pilar Jembatan Terhadap Beban Gempa ... 11

II.1.1. Perilaku Pilar Jembatan Monolit dan Pracetak Terhadap Beban Lateral 12 II.1.2. Contoh Desain Pilar Jembatan Sistem Hybrid ... 16

II.2. Konsep Desain Pilar Jembatan Sistem Hybrid ... 19

II.2.1. Konsep Desain Jembatan Seismik Berbasis Kinerja (PBSD) ... 19

II.2.2. Berbagai Tipe Analisis Struktur ... 27

II.2.3. Pembebanan Monorel ... 30

(10)

X

METODOLOGI PENELITIAN ... 39

III.1. Umum ... 39

III.2. Prosedur Studi ... 40

III.3. Metode Analisis ... 43

PEMODELAN STRUKTUR ... 45

IV.1. Deskripsi Umum ... 45

IV.2. Pemodelan Struktur ... 45

IV.2.1. Elemen Struktur Jembatan ... 47

IV.2.2. Pembebanan dan Kombinasinya dalam Model Struktur ... 51

IV.2.3. Pemodelan Sendi Plastis ... 63

HASIL PERHITUNGAN ... 65

V.1. Model Struktur Jembatan ... 65

V.1.1. Periode dan Modal Participation Masses (MPM) ... 65

V.1.2. Serviceability Jembatan... 66

V.1.3. Detailing dan Efek P-∆ Pilar Jembatan ... 72

V.2. Model Sendi Plastis ... 74

V.2.1. Tegangan dan Regangan Material ... 75

V.2.2. Properti Sendi Plastis ... 77

ANALISIS DAN PEMBAHASAN ... 84

VI.1. Analisis Statik Non-Linier (Pushover) ... 84

VI.2. Analisis Dinamik Non-Linier (Non-Linier Time History / NLTH) ... 96

KESIMPULAN DAN SARAN ... 103

VII.1. Kesimpulan ... 103

VII.2. SARAN ... 105

DAFTAR PUSTAKA ... xvi

LAMPIRAN ... xviii

(11)

XI

DAFTAR LAMPIRAN

(12)

XII

DAFTAR GAMBAR

Gambar I. 1 Peta tektonik Indonesia ... 1

Gambar I. 2 Skema pilar jembatan (Haitham Mohamed, 2010) ... 4

Gambar I. 3 Diagram alir metodologi penulisan tugas akhir ... 8

Gambar II. 1 Jalan Layang Louetta, Houston, Texas dengan sistem post-tensioned ... 11

Gambar II. 2 Ilustrasi perilaku sambungan dengan tulangan baja (Heiber et al., 2005) ... 13

Gambar II. 3 Perilaku histeretik untuk sistem monolit tulangan baja (Guerra et al.) ... 13

Gambar II. 4 Perilaku pilar jembatan pracetak terhadap beban lateral (Hewes and Priestly, 2002) ... 14

Gambar II. 5 Konsep sistem hybrid (Guerra et al.) ... 14

Gambar II. 6 Perilaku histeretik sistem hybrid (Guerra et al.) ... 15

Gambar II. 7 Mekanisme yang dihindari dalam pendesainan sistem hybrid ... 15

Gambar II. 8 Contoh desain tampak pilar jembatan sistem hybrid (Hieber et al., 2005) ... 16

Gambar II. 9 Ilustrasi perilaku sambungan dengan tulangan baja dan tendon prategang tanpa lekatan (Heiber et al., 2005) ... 17

Gambar II. 10 Metode konstruksi pilar jembatan dengan tendon tanpa lekatan post-tensioned ... 18

Gambar II. 11 Ilustrasi tiga buah komponen penting pada metode berbasis perpindahan (NCHRP 440, 2013) ... 20

Gambar II. 12 Kurva perpindahan terhadap base shear didapatkan dari analisis pushover (Moehle dan Deierlein, 2004) ... 22

Gambar II. 13 Diagram alir PBSD ... 23

Gambar II. 14 Hubungan level kinerja dengan kurva deformasi terhadap base shear (FEMA-356) ... 25

Gambar II. 15 Skema penentuan performance point untuk prosedur A (ATC-40) ... 29

Gambar II. 16 Diagram alir analisis statik non-linear (FEMA 440)... 29

Gambar II. 17 Konfigurasi sistem hybrid pada dinding geser ... 37

Gambar II. 18 Kurva perilaku dinding geser antara perpindahan dan beban lateral ... 38

Gambar III. 1 Diagram alur pembentukan metodologi penelitian ... 39

(13)

XIII

Gambar IV. 1 Tampak depan (atas), tampak samping (tengah), dan 3D (bawah)

dari jembatan guideway monorel... 46

Gambar IV. 2 Tampak depan kepala pilar ... 48

Gambar IV. 3 Contoh layout tendon pada satu guideway beam ... 50

Gambar IV. 4 Contoh layout tendon sepanjang guideway beam ... 50

Gambar IV. 5 Spesifikasi monorel ... 53

Gambar IV. 6 Tampak atak pemodelan beban rem untuk guideway beam kanan (Lfe Right) ... 56

Gambar IV. 7 Tampak atas pemodelan beban hunting untuk guideway beam kanan (HF Right) ... 57

Gambar IV. 8 Tampak atas pemodelan beban angin pada monorel (atas) dan struktur jembatan (bawah) ... 57

Gambar IV. 9 Tampak depan pemodelan beban angin pada struktur jembatan (kiri) dan monorel (kanan) ... 58

Gambar IV. 10 Interface untuk mendefinisikan properti material dan lingkungan MIDAS CIVIL 2011 ... 59

Gambar IV. 11 Respons spektra jakarta tanah lunak situs SE ... 60

Gambar IV. 12 Pemberian sendi plastis pada MIDAS CIVIL 2011 ... 63

Gambar IV. 13 Pemodelan penampang sistem hybrid (kiri) dan sistem konvensional (kanan) pada XTRACT ... 64

Gambar V. 1 Grafik defleksi pada guideway beam right (atas) dan left (bawah) . 68 Gambar V. 2 Pengecekan efek P- ... 74

Gambar V. 3 Model Hognestad untuk tegangan dan regangan beton tidak terkekang ... 75

Gambar V. 4 Model Mander et.al untuk tegangan dan regangan beton terkekang ... 76

Gambar V. 5 Kurva momen-kurvatur sistem hybrid ... 78

Gambar V. 6 Diagram interaksi sistem hybrid ... 78

Gambar V. 7 Kurva backbone sistem hybrid ... 79

Gambar V. 8 Perbandingan model histeretik model clough dan flag shape ... 80

Gambar V. 9 Kurva momen-kurvatur sistem konvensional ... 81

Gambar V. 10 Diagram interaksi sistem konvensional ... 82

Gambar V. 11 Kurva backbone sistem konvensional ... 83

Gambar V. 12 Kurva histeretik model normal bilinier ... 83

Gambar VI. 1 Kurva kapasitas sistem hybrid (PUSH_X) ... 85

Gambar VI. 2 Kurva kapasitas sistem hybrid (PUSH_Y) ... 85

Gambar VI. 3 Kurva kapasitas sistem konvensional (PUSH_X) ... 86

(14)

XIV

Gambar VI. 5 Perbandingan kurva kapasitas sistem hybrid dan konvensional

(PUSH_X) ... 87

Gambar VI. 6 Perbandingan kurva kapasitas sistem hybrid dan konvensional (PUSH_Y) ... 87

Gambar VI. 7 Perbandingan base shear yield ... 88

Gambar VI. 8 Perbandingan displacement yield ... 89

Gambar VI. 9 Perbandingan base shear ultimate ... 89

Gambar VI. 10 Perbandingan displacement yield ... 90

Gambar VI. 11 Perbandingan base shear linier time history ... 90

Gambar VI. 12 Perbandingan displacement linier time history ... 91

Gambar VI. 13 Perbandingan base shear performance point ... 91

Gambar VI. 14 Perbandingan displacement performance point ... 92

Gambar VI. 15 Perbandingan daktilitas demand(μD) ... 92

Gambar VI. 16 Perbandingan overstrengthdemand(ΩD) ... 93

Gambar VI. 17 Perbandingan driftdemand ... 93

Gambar VI. 18 Perbandingan kapasitas drift ... 94

Gambar VI. 19 Perbandingan daktilitas struktur (μ) ... 95

Gambar VI. 20 Perbandingan overstrengthstruktur (Ω) ... 95

Gambar VI. 22 Kalibrasi percepatan batuan dasar El Centro arah X (atas) dan arah Y (bawah) ... 97

Gambar VI. 23 Keterangan gambar nomor elemen ... 98

Gambar VI. 24 Kurva histeretik sistem hybrid arah X ... 99

Gambar VI. 25 Kurva histeretik sistem hybrid arah Y ... 100

Gambar VI. 26 Kurva histeretik sistem konvensional arah X ... 100

Gambar VI. 27 Kurva histeretik sistem konvensional arah Y ... 101

(15)

XV

DAFTAR TABEL

Tabel II. 1 Kriteria penggolongan kategori jembatan terhadap level kinerja

jembatan ... 21

Tabel II. 2 Minimum level kinerja untuk jembatan (FHWA, 2006) ... 24

Tabel II. 3 Parameter level kinerja atau desain jembatan SRPH-1 (Hose dan Seible 1999) ... 26

Tabel II. 4 Perkiraan hubungan kerusakan dan kinerja jembatan ... 26

Tabel II. 5 Tipe analisis struktur ... 27

Tabel II. 6 Beban dinamik minimum (ACI 343.1R-12) ... 32

Tabel II. 7 Beban rem (LF) (ACI 343.1R-12) ... 32

Tabel II. 8 Beban hunting (HF) (ACI 343.1R-12) ... 32

Tabel II. 9 Kombinasi pembebanan service (atas) dan ultimate (bawah) ... 35

Tabel IV. 1 Material elemen struktur ... 47

Tabel IV. 2 Data tambahan untuk material beton, tulangan baja, dan tendon ... 48

Tabel IV. 3 Properti tendon pada jembatan guideway monorel ... 49

Tabel IV. 4 Berat jenis berbagai material (AASHTO LRFD 2012) ... 52

Tabel IV. 5 Beban Dinamik Minimum (ACI 343.1R-12) ... 55

Tabel IV. 6 Beban Rem (LF) (ACI 343.1R-12) ... 56

Tabel IV. 7 Beban Hunting (HF) (ACI 343.1R-12) ... 56

Tabel IV. 8 Nilai R (AASHTO LRFD 2012) ... 61

Tabel V. 1 Periode dan MPM dari MIDAS CIVIL 2011 ... 66

Tabel V. 2 Batas tegangan tekan beton prategang setelah loss pada kondisi service (AASHTO LRFD 2012) ... 68

Tabel V. 3 Batas tegangan tarik beton prategang sebelum loss pada kondisi service (AASHTO LRFD 2012) ... 69

Tabel VI. 1 Level kinerja jembatan berdasarkan analisis pushover ... 94

(16)

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1

Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara dengan aktivitas gempa yang tinggi. Hal

ini disebabkan lokasi Indonesia yang terletak pada pertemuan empat lempeng tektonik

utama, yaitu lempeng Eurasia, Indo-Australia, Pasifik dan Philipine. Akibatnya, pada

proses pembangunan infrastruktur di Indonesia, khususnya pada wilayah kategori

desain seismik D, E, dan F, menjadi lebih rumit dan diawasi dengan ketat oleh institusi

negara. Tingkat desain dengan kerumitan yang tinggi membuat periode konstruksi

lebih panjang. Akan tetapi, wilayah-wilayah dengan aktivitas perekonomian yang

padat, seperti perkotaan besar, bandara, pelabuhan, dan lain-lain, periode konstruksi

harus seminimal mungkin agar aktivitas perekonomian tidak mengalami gangguan

yang signifikan.

(17)

2

Pada tahun 2009, Pemerintah mencanangkan program Masterplan Percepatan

dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang berdampak pada

pembangunan infrastruktur dalam skala besar merata di seluruh wilayah Indonesia.

Salah satu infrastrukturnya adalah jembatan. Pada saat ini, sistem pilar (pier) jembatan

dengan menggunakan tendon prategang tanpa lekatan (unbonded prestressed system)

dengan post-tensioned menyedot perhatian berbagai peneliti maupun komunitas

rekayasawan jembatan di dunia. Sistem ini dapat mempercepat proses konstruksi,

mengurangi biaya pemeliharaan dan dampak lingkungan, meningkatkan keselamatan

kerja, dan menjaga kualitas konstruksi (Kwan dan Billing, 2003 ; TRB 2003). Sistem

ini umumnya diterapkan pada badan pilar jembatan segmental (prefabricated bridge

atau segmental bridge column)

Filosofi untuk pendesainan struktur jembatan pada daerah rawan gempa adalah

daerah join antara bagian bawah pilar dan muka fondasi menjadi daerah plastis yang

diharapkan menjadi tempat disipasi energi gempa. Akibatnya, daerah join tersebut akan

menjadi daerah kritis yang mengalami gaya dalam lebih besar dari daerah lain.

Awalnya, perkembangan desain pilar jembatan konvensional hanya menggandalkan

tulangan baja saja. Akan tetapi, desain tersebut apabila diimplementasikan pada beton

segmental atau precast, sistem tidak memiliki kemampuan disipasi energi sebaik pilar

konvensional dengan pengecoran monolit di tempat atau cast-in-situ (Chang et al.,

2002 ; Hewes dan Priestley, 2002). Hal ini dikarenakan kecenderungan daerah join

pada beton segmental lebih mudah terbuka saat mengalami gempa utama (main shock).

Hal ini menyebabkan bertambahnya beban pada tulangan baja yang berdampak pada

plastifikasi tulangan baja tidak terkontrol sehingga kekakuan sistem berkurang drastis.

Sistem hybrid menjadi trobosan untuk mengatasi masalah pada pilar jembatan

segmental. Sistem hybrid merupakan sistem kombinasi tendon post-tensioned tanpa

lekatan (unbonded post-tensioned tendons) dan reinforcement steel (tulangan baja

dengan mutu fy=400 MPa) pada daerah join antara bagian bawah pilar dan muka

(18)

3

berasal dari tendon prategang akan menjaga beton segmental tetap satu kesatuan.

Perilaku histeretik sistem ini berbentuk bendera (flag shape) yang menunjukan adanya

sifat self-centering dan regangan sisa (residual displacement) yang minimum.

Walaupun histeretik berbentuk bendera, sistem ini diyakini dapat menghasilkan energi

disipasi yang lebih baik dari desain pilar jembatan konvensional (Chang et al., 2002).

Pilar jembatan yang menggunakan sistem segmental akan mengalami mekanisme

goyang (rocking mechanism), khususnya pada daerah join. Untuk mengatasi

mekanisme goyang, dilakukan metode controlled rocking, yaitu pilar jembatan

disengaja untuk mengalami deformasi (retak) akibat lentur dengan nilai tertentu pada

daerah join antara bawah pilar dan muka fondasi. Selama tendon tanpa lekatan

dipasang sepanjang pilar jembatan, tidak akan terjadi konsentrasi penambahan

tegangan dan regangan secara teratur pada daerah join yang retak. Selain itu, pada

sistem ini, tendon prategang didesain tidak boleh mengalami kelelehan sedangkan baja

tulangan harus didesain leleh saat terjadi gempa utama (ACI ITG-5.2-09). Kelelehan

tulangan merupakan komponen utama dalam mendisipasi energi gempa. Sedangkan,

bila tendon prategang mengalami regangan inelastik (tendon leleh) maka sifat-sifat

yang dihasilkan tendon prategang (self-centering, gaya tekan akibat tendon, dan

lain-lain) akan hilang. Oleh karena itu, pemberian gaya prategang awal sangat berpengaruh

dengan beberapa alasan.

Pertama, kemampuan untuk mentransfer gaya geser ke sepanjang muka segmen

pilar bergantung pada gaya jepit yang diakomodasi oleh tendon prategang. Kekakuan

pilar jembatan bergantung pada gaya tendon prategang dan tidak akan berkurang secara

drastis apabila gaya tendon prategang relatif tetap. Kedua, kemampuan self-centering

diakomodasi oleh tendon prategang. Apabila gaya tendon dijaga selama dan setelah

(19)

4

Gambar I. 2 Skema pilar jembatan (Haitham Mohamed, 2010)

Pada tugas akhir ini akan berfokus pada pendesainan pilar pracetak guideway

sistem hybrid terhadap beban monorel APMS yang berlokasi di Bandara

Soekarno-Hatta, Tangerang. Struktur ini berfungsi sebagai fasilitas angkutan internal bandara

untuk perpindahan orang dari satu terminal ke terminal lainnya. Selanjutnya, desain

tersebut akan dilakukan analisis statik dan dinamik terhadap beban seismik untuk

mengetahui perilaku pilar pracetak guidewaysistem hybrid. Hasil analisis tersebut akan

dibandingkan dengan hasil analisis pilar dengan sistem konvensional yang

menggunakan perkuatan tulangan baja saja.

I.2

Tujuan

Tujuan tugas akhir ini adalah, sebagai berikut:

a. Melakukan pendesain tendon tanpa lekatan dan baja tulangan pada pilar pracetak

sistem hybrid yang optimal terhadap beban monorel dan gempa yang berada di

(20)

5

b. Mengetahui level kinerja dan perilaku pilar pracetak sistem hybrid yang didesain

menggunakan metode performance-based terhadap beban monorel dan gempa,

kemudian dianalisis pada kondisi statik (pushover) dan dinamik (time-history

analysis)

c. Membandingkan hasil desain dan analisis (contoh : perilaku, level kinerja, dan

lain-lain) pilar pracetak sistem hybrid dengan sistem konvensional yang menggunakan

perkuatan tulangan baja.

I.3

Rumusan Masalah

Permasalahan yang melatar-belakangi penulisan tugas akhir ini antara lain:

1. Bagaimana konsep utama dalam mendesain pilar pracetak sistem hybrid di daerah

rawan gempa?

2. Apa saja parameter desain yang perlu diperhatikan dalam perencanaan pilar

pracetak sistem hybrid di daerah rawan gempa?

3. Apa kelebihan dan kekurangan dalam penggunaan sistem hybrid pada pilar

pracetak guideway monorel bila terkena beban gempa?

4. Bagaimana cara mendesain pilar pracetak sistem hybrid pada daerah rawan gempa?

5. Bagaimana level kinerja dan perilaku pilar pracetak sistem hybrid saat menahan

beban gempa?

6. Kenapa sistem hybrid diyakini dapat menggantikan sistem konvensional pada

daerah rawan gempa?

I.4

Ruang Lingkup

Ruang lingkup pada tugas akhir ini adalah, sebagai berikut:

1. Dimensi (badan, guideway beam, pier head, dan lain-lain) dan sistem struktur

guideway monorel diambil dari spesifikasi yang sudah ada

2. Struktur guideway monorel berfungsi sebagai angkutan internal Bandara

Soekarno-Hatta, Tangerang yang melayani perpindahan orang dari satu terminal ke terminal

(21)

6

3. Pembebanan struktur guideway monorel mengacu pada ACI 343.1R-12 dan SNI

2833-2013. Kelas situs pada lokasi Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang

diasumsikan SE (tanah lunak)

4. Jenis struktur jembatan guideway monorel adalah integrated and continuous span

(sistem portal) dimana tendon prategang menyatukan lima bentang. Jarak antar

pilar adalah 20 meter

5. Lintasan jembatan yang didesain dan dianalisis hanya bagian lintasan yang lurus

dan bertipe single pier

6. Lingkup peninjauan studi hanya sebatas tendon tanpa lekatan dan tulangan baja

pada pilar struktur jembatan guideway monorel(Substructure).

I.5

Metodologi Pembahasan

Metodologi pembahasan pada tugas akhir ini adalah, antara lain:

1. Pemilihan topik tugas akhir

Topik tugas akhir ini dipilih karena sistem hybrid pada pilar guideway monorel

dapat dikategorikan sebagai sistem yang masih baru di Indonesia. Sedangkan,

sudah banyak penelitian yang meyakinkan bahwa sistem ini memiliki berbagai

keuntungan untuk diterapkan pada daerah rawan gempa, seperti Indonesia.

Penggunaan sistem ini menjadi salah satu alternatif untuk menjawab permasalahan

periode konstruksi yang panjang dan kerusakan akibat regangan sisa yang besar

pada pilar guideway monorel.

2. Penentuan parameter desain

Penentuan beban hidup merupakan salah satu parameter yang penting dalam

desain. Beban pada struktur guideway monorel berkaitan dengan fungsi struktur

tersebut. Dalam hal ini, beban yang diperhitungkan adalah beban monorail pada

lintasan lurus. Besarnya beban gempa juga harus diperhitungkan agar desain yang

dilakukan dapat menahan base shear yang terjadi. Selain beban, penentuan besar

(22)

7

merupakan hal yang penting. Tendon prategang tanpa lekatan didesain tidak

mengalami kelelehan pada saat gempa utama terjadi.

3. Kajian literatur terkait topik tugas akhir

Literatur yang digunakan dalam pengerjaan tugas akhir ini berkaitan dengan desain

dan analisis pilar pracetak dengan sistem hybrid. Perilaku pilar pracetak

menyerupai dinding geser (shearwall) sehingga terdapat beberapa literatur dinding

geser dengan tendon tanpa lekatan yang digunakan sebagai referensi.

4. Perencanaan dan pemodelan struktur

Pemodelan struktur guideway monorel menggunakan program MIDAS/Civil 2011.

Struktur guideway monorel dimodelkan berbentuk portal lintasan lurus lima

bentang dengan panjang per bentang sebesar 20 meter.

Dalam pemodelan ini, beban yang diperhitungkan adalah beban gempa dan beban

monorel. Beban monorail pada lintasan lurus meliputi berat monorail saat terisi

penuh, faktor kejut, beban rem, beban angin, dan lain-lain.

5. Analisis kinerja struktur

Struktur jembatan guideway monorel yang sudah didesain dengan beban-beban

rencana, akan dianalisis dengan pushover sehingga dapat diketahui kinerjanya. Bila

terjadi beban ultimate, diharapkan struktur jembatan guideway monorel berada

pada kinerja immediate occupancy (IO) atau Life Safety (LS). Selain analisis

non-linier statik, dilakukan juga analisis non-non-linier dinamik menggunakan analisis

non-linier time-history (NLTHA). NLTHA diharapkan dapat memberikan hasil analisis

tambahan yang menjadi keterbatasan pada analisis pushover, seperti perilaku

sistem struktur pada saat terjadi beban bolak-balik. Hasil yang didapat dari NLTHA

dapat menghasilkan perilaku sistem hybrid yang terjadi pada struktur jembatan

(23)

8

6. Kesimpulan

Ringkasan hasil akhir dari analisis pushover dan NLTHA dapat menjawab

tujuan-tujuan yang sudah didefinisikan disebelumnya.

Gambar I. 3 Diagram alir metodologi penulisan tugas akhir

I.6

Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan pada proposal tugas akhir ini adalah, sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Menguraikan latar belakang, tujuan yang ingin dicapai, rumusan masalah, ruang

lingkup, metodologi pembahasan, dan sistematika penulisan proposal tugas akhir.

(24)

9

BAB II KAJIAN LITERATUR

Menjelaskan perkembangan keilmuan mengenai topik yang diangkat, terutama

berkaitan dengan perencanaan dan analisis pilar jembatan sistem hybrid, meliputi

konsep, kriteria, dan perilaku terhadap beban gempa. Selain itu, terdapat juga

penjelasan singkat mengenai parameter-parameter yang diperhatikan dalam

menganalisis sistem struktur.

BAB III METODOLOGI PENULISAN

Memaparkan tahap-tahap prosedur studi yang dilakukan selama tugas akhir ini. Selain

tahapan, terdapat juga penjelasan dari tahapan dan proses yang dilakukan serta

parameter yang didapatkan pada tahap tersebut. Pada bab ini juga di bahas metode

analisis yang digunakan pada tugas akhir ini.

BAB IV PEMODELAN STRUKTUR

Memaparkan perencanaan dan pemodelan struktur jembatan guideway monorel,

termasuk pembebanan dan hal-hal yang perlu diperhatikan selama pemodelan

dilakukan. Pada bab ini juga dipaparkan pemodelan dari sendi plastis kedua sistem

yang digunakan sebagai input dalam program MIDAS CIVIL 2011. Selain itu, terdapat

juga berbagai peraturan yang digunakan sebagai acuan desain dan pemodelan.

BAB V HASIL PERHITUNGAN

Memaparkan hasil perhitungan dari pemodelan struktur jembatan guideway monorel

dan model sendi plastis. Hasil perhitungan dari pemodelan struktur jembatan guideway

monorel adalah periode, modal participation masses, defleksi guideway beam,

tegangan beton pada guideway beam, detailing, dan pengecekan efek P-∆. Sedangkan, hasil perhitungan dari model sendi plastis adalah tegangan dan regangan material dan

(25)

10

BAB VI ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Menguraikan hasil analisis dan pembahasan dari dua macam analisis yang dilakukan.

Analisis yang pertama adalah analisis statik non-linier (pushover) dan yang kedua

adalah analisis dinamik non-linier (Non-Linier Time History atau NLTHA). Fokus

pembahasan pada analisis pushover adalah daktilitas, kapasitas drift, overstrength,

level kinerja struktur dan lain-lain. Sedangkan untuk NLTHA, fokus pembahasan

adalah perilaku struktur yang dihasilkan dari model histeretik yang di-input ke dalam

program MIDAS CIVIL 2011. Pada NLTHA juga dibahas mengenai perbandingan

level kinerja struktur dan sifat self-centering dari sistem hybrid.

BAB VII PENUTUP

Memaparkan simpulan dan saran dari pengerjaan tugas akhir sesuai dengan tujuan yang

(26)

11

BAB II

KAJIAN LITERATUR

II.1.

Perkembangan Keilmuan Pilar Jembatan Terhadap Beban

Gempa

Pilar jembatan merupakan bagian dari struktur bawah jembatan (substructure).

Fungsinya adalah memikul seluruh beban struktur atas dan beban lain yang

ditimbulkan oleh tekanan tanah, aliran air dan hanyutan, tumbukan, gesekan pada

tumpuan, dan lain-lain. Selanjutnya, beban dari struktur bawah jembatan akan

disalurkan ke fondasi lalu ke tanah dasar. Bagian-bagian pilar jembatan adalah kepala

pilar (pier-head), pilar (pier), konsol pendek untuk jacking (corbel), dan tumpuan

(bearing). Bentuk pilar jembatan dapat berupa dinding, pilar, atau portal.

Seiring dengan kebutuhan proses konstruksi yang singkat, sistem konstruksi

jembatan banyak dikembangkan. Berbagai percobaan eksperimental dan studi

analitikal dilakukan untuk menyempurnakan sistem pilar jembatan pracetak.

Alasannya, sistem pracetak menjadi terobosan masa depan yang dapat mengatasi

masalah konstruksi. Berikut adalah contoh jembatan yang menggunakan pilar pracetak.

(27)

12

Hewes dan Priestly (2001) melakukan percobaan eksperimental dengan empat

buah beton pracetak skala besar untuk pilar jembatan. Tendon post-tensioned tanpa

lekatan diangkur dari fondasi pilar jembatan sampai sambungan cap-beam pada kepala

pilar. Model eksperimental ini dibebani dengan beban seismik. Hasilnya tidak terjadi

slip antara segmen pracetak dan regangan sisa yang minimum.

Mandawe et al. (2002) melakukan percobaan untuk mengetahui perilaku siklik

pada enam buah pilar dengan sambungan cap-beam yang tidak terdapat tendon

post-tensioned. Sambungan tersebut dipasang tulangan baja dilapisi epoksi yang di-grout ke

dalam duct. Penelitian ini menghasilkan bahwa sambungan tulangan baja dapat

digunakan untuk pilar jembatan pracetak pada daerah rawan gempa. Akan tetapi,

kerusakan akibat tarik yang berat pada daerah sendi plastis.

Sakai dan Mahin (2004) serta Kwan dan Billington (2003) melakukan studi

analitikal pilar jembatan pracetak dengan berbagai proporsi tulangan baja dan tendon

prategang tanpa lekatan. Hasilnya, bila proporsi tendon prategang bertambah, maka

disipasi energi dan regangan sisa akan berkurang.

Billington dan Yoon (2004) mengusulkan untuk menggunakan material ductile

fiber-reinforced cement-based composite (DRFCC) untuk pilar jembatan pracetak pada

daerah join dimana plastifikasi atau perilaku inelastik terjadi. Berdasarkan

eksperimental, DRFCC dapat menghasilkan tambahan energi disipasi, tetapi

meningkatkan regangan sisa.

II.1.1.Perilaku Pilar Jembatan Monolit dan Pracetak Terhadap Beban Lateral

Pada perkembangan awal, pilar jembatan didesain monolit dengan tulangan baja

sebagai perkuatan utama. Dampaknya, pemilihan lokasi terjadinya perilaku inelastik

sangat penting. Umumnya, lokasi terjadinya perilaku inelastik pada pilar jembatan

akan terbentuk sendi plastis. Tulangan baja leleh dan regangan plastis beton bekerja

bersama-sama menghasilkan disipasi energi gempa. Deformasi material tersebut yang

(28)

13

Gambar II. 2 Ilustrasi perilaku sambungan dengan tulangan baja (Heiber et al., 2005)

Gambar II. 3 Perilaku histeretik untuk sistem monolit tulangan baja (Guerra et al.)

Berbeda untuk pilar jembatan pracetak (precast), deformasi pada pilar tidak

hanya disebabkan deformasi plastis pada daerah join di dasar pilar. Akan tetapi,

deformasi disebabkan oleh rotasi keseluruhan segmen pilar terhadap dasarnya. Perilaku

pada pilar pracetak menyerupai fondasi goyang (rocking foundation), yaitu fondasi

akan terangkat dari tanah ketika momen tahanan dari gravitasi sudah terlampaui oleh

beban. Prinsipnya, beban vertikal (berat sendiri pilar dan beban lain di atas pilar

jembatan) yang terjadi pada pilar jembatan akan menghasilkan momen tahanan

terhadap beban lateral sehingga mencegah pilar jembatan guling. Akan tetapi pada

kenyataannya, beban vertikal tidak dapat menghasilkan momen tahanan yang cukup

untuk menahan beban lateral yang dihasilkan oleh gempa, maka tendon prategang

(29)

14

menambah momen tahanan cukup signifikan. Hanya saja, energi disipasi dari kurva

histeretik beton pracetak yang menggunakan tendon prategang relatif lebih rendah

dibandingkan beton monolit yang menggunakan tulangan baja (Hewes and Priestly,

2002).

Gambar II. 4 Perilaku pilar jembatan pracetak terhadap beban lateral (Hewes and Priestly, 2002)

Ide dari penggunaan pilar jembatan sistem hybrid pada pilar pracetak dapat

digambarkan sebagai berikut.

(30)

15

Sistem hybrid diharapkan dapat menjadi solusi atas berbagai kendala-kendala dalam

penerapan pilar pracetak di daerah seismik. Berikut adalah perilaku dari pilar pracetak

sistem hybrid.

Gambar II. 6 Perilaku histeretik sistem hybrid (Guerra et al.)

Selain itu, terdapat juga mekanisme yang dihindari dalam pendesainan pilar pracetak

sistem hybrid pada saat terjadi beban seismik, sebagai berikut.

(31)

16

II.1.2.Contoh Desain Pilar Jembatan Sistem Hybrid

Hieber et al. (2005) mengusulkan desain antara pilar jembatan pracetak dan

cap-beam dengan sistem hybrid. Tendon prategang dan tulangan baja diangkur dari fondasi

pilar sampai kepala pilar dan berada di tengah sumbu netral pilar. Sistem ini juga dapat

diaplikasikan pada fondasi yang dicor ditempat. Berikut adalah sketsa desainnya.

Gambar II. 8 Contoh desain tampak pilar jembatan sistem hybrid (Hieber et al., 2005)

Pilar Jembatan pracetak didesain dapat bergoyang saat terjadi gempa. Rotasi pilar

akibat perpindahan lateral relatif antara cap-beam dan fondasi yang mengakomodasi

terbentuknya bukaan pada muka atas dan bawah pilar. Selama beban gempa terjadi,

disipasi energi terjadi akibat perilaku histeretik dari tulangan baja. Tendon prategang

tanpa lekatan didesain tidak mengalami kelelehan selama gempa terjadi. Tendon

prategang tanpa lekatan tidak mengalami kelelehan dikarenakan kenaikan regangan,

selama pilar bergoyang, didistribusikan keseluruh panjang tendon. Oleh karena tetap

elastik, tendon prategang tidak menghasilkan disipasi energi, tetapi menghasilkan sifat

self-centering. Sifat ini yang menyebabkan sistem hybrid memiliki regangan sisa yang

(32)

17

Tulangan baja perlu diberikan panjang penyaluran agar tidak patah akibat

regangan yang besar pada bukaan daerah join. Berikut merupakan ilustrasi sambungan

pada daerah join bawah pilar. Satu hal yang tidak kalah penting adalah proteksi tendon

prategang terhadap korosi. Korosi dapat menyebabkan kehilangan gaya prategang

sehingga menyebabkan kehilangan sifat self-centering. Akibatnya, regangan yang

lebih besar akan terjadi pada tulangan baja.

Gambar II. 9 Ilustrasi perilaku sambungan dengan tulangan baja dan tendon prategang tanpa lekatan

(Heiber et al., 2005)

(33)

18

Berikut contoh metode konstruksi untuk pilar jembatan sistem hybrid:

Gambar II. 10 Metode konstruksi pilar jembatan dengan tendon tanpa lekatan post-tensioned 1). Buat fondasi bor dengan sistem cor

ditempat dengan metode konvensional

2). Posisikan pilar jembatan pracetak

dan sambungkan ke fondasi

3). Sambungkan pilar jembatan

dan kepala pilar

4). Tempatkan girder diatas

kepala pilar

5). Cor diafragma jembatan (sisakan

bagian atas diafragma) dan jacking tendon

6). Buat dek jembatan diatas

girder

(34)

19

II.2.

Konsep Desain Pilar Jembatan Sistem Hybrid

II.2.1.Konsep Desain Jembatan Seismik Berbasis Kinerja (PBSD)

Dalam pendesainan jembatan di daerah seismik, AASHTO membagi dua buah

metode desain yaitu desain berbasis kekuatan (force-based method) dan berbasis

perpindahan (displacement-based method). Desain berbasisi kekuatan (AASHTO

LRFD) merupakan suatu metode desain gempa yang didasarkan pada gaya yang

dikenakan pada struktur. Desain berbasis perpindahan (AASHTO SGS) merupakan

suatu metode perencanaan gempa untuk menentukan kekuatan sendi plastis yang

dibutuhkan dalam memenuhi syarat batas kinerja dengan mengetahui batas regangan

dan pergeseran horizontal (Ellys Lim, 2012).

Filosofi desain metode berbasis kekuatan adalah desain elastik yang

membutuhkan informasi mengenai kinerja struktur dan gaya dalam yang terjadi pada

struktur saat gempa. Kekuatan desain didapatkan dari gaya dalam akibat gempa yang

direduksi dengan faktor R ditambah dengan gaya dalam akibat beban non-seismik.

Pada umumnya, kekuatan desain didapatkan pada lokasi terjadinya sendi plastis.

AASHTO LRFD membagi tiga klasifikasi operasional untuk jembatan, yaitu critical,

essential, dan other.

Pada kondisi essential, jembatan harus dapat melayani kendaraan darurat (polisi,

pemadam kebakaran, dan lain-lain) walaupun terkena beban gempa ulang 1000 tahun.

Pada kondisi critical, jembatan harus dapat melayani seluruh kendaraan walaupun

terkena beban gempa ulang 2500 tahun. Sedangkan, untuk kondisi other, tidak diatur

lebih lanjut.

Kesulitan pada metode berbasis kekuatan adalah satu nilai R tidak dapat

mencerminkan kinerja daktilitas dari konfigurasi struktur tertentu. Contohnya,

konfigurasi dengan dua buah pilar tulangan baja yang berbeda tingginya akan memiliki

daktilitas yang berbeda. Pilar yang lebih panjang akan memiliki daktilitas yang lebih

rendah. Pada kasus ini, lebih relevan untuk menggunakan metode desain berbasis

(35)

20

Metode desain berbasis perpindahan berfokus pada pengecekan kapasitas

deformasi sistem dibandingkan pemilihan kekuatan leleh atau elemen pendisipasi

energi. Pendesainan metode ini dilakukan trial and error dengan mengasumsikan nilai

kapasitas deformasi yang ingin dicapai dan pada akhirnya akan dicek apakah struktur

yang didesain mencapai kapasitas deformasi yang diasumsikan pada awal desain.

Seluruh parameter desain, seperti sengkang, sudah diperhitungkan pada asumsi nilai

kapasitas deformasi. Metode desain ini dapat dilakukan dengan mencari hubungan dari

kurvatur elemen, kemudian rotasi elemen, dan terkahir dengan perpindahan elemen dan

sistem .

Gambar II. 11 Ilustrasi tiga buah komponen penting pada metode berbasis perpindahan (NCHRP 440,

(36)

21

Kriteria penggolongan kinerja metode berbasis perpindahan mengacu pada

CALTRANS, 2010b.

Tabel II. 1 Kriteria penggolongan kategori jembatan terhadap level kinerja jembatan

Kriteria Kinerja Seismik Berdasarkan CALTRANS (CALTRANS, 2010b)

Oleh karena berbagai perbedaan antara metode desain berbasis kekuatan dan

perpindahan, desain berbasis perpindahan lebih cocok diterapkan dengan metode

(37)

22

metode desain berbasis kekuatan tidak dilakukan pengecekan terhadap kecukupan

deformasi yang dibutuhkan pada saat terjadi gempa.

Konsep desain berbasis kinerja (PBSD) adalah suatu proses yang berhubungan

dengan pengambilan keputusan desain infrastruktur secara rasional dan ilmiah dengan

mempertimbangkan beban seismik, perilaku, dan kerusakan potensial infrastruktur

(Krawinkler dan Miranda, 2004 ; Moehle dan Deierlein, 2004). Dengan PBSD, dapat

diketahui tingkat keamanan infrastruktur, kerugian ekonomi dan kerusakan

infrastruktur setelah gempa terjadi.

Gambar II. 12 Kurva perpindahan terhadap base shear didapatkan dari analisis pushover (Moehle dan

(38)

23

Berdasarkan kurva diatas, didapatkan informasi, sebagai berikut :  Ilustrasi kerusakan jembatan yang tergambar diatas kurva

 Level kinerja jembatan : Fully Operational, Operational, Life Safety, dan Collapse

 Biaya perbaikan kerusakan terhadap biaya penggantian jembatan baru  Potensi gangguan keselamatan jiwa pada berbagai level kinerja jembatan  Estimasi waktu jembatan tidak dapat digunakan.

Secara singkat, PBSD dibagi menjadi empat tahap desain sederhana berdasarkan

Pacific Earthquake Engineering Research Center (PEER), sebagai berikut :

1. Analisis bahaya seismik dengan memperkirakan beban seismik yang akan terjadi

pada daerah akan dibangun jembatan berdasarkan pengukuran intensitas (IM).

Contohnya adalah spektra percepatan (SA)

2. Analisis struktur berdasarkan dengan perilaku struktur terhadap beban seismik

yang terkait kebutuhan parameter rekayasawan (EDPs), seperti regangan, rotasi,

perpindahan, drift, atau gaya dalam

3. Analisis kerusakan berdasarkan perilaku struktur terhadap pengukuran kerusakan

(DMs) yang menggambarkan kondisi struktur, seperti level kinerja : Fully

Operational, Operational, Life Safety, dan Collapse

4. Analisis kerugian berdasarkan kerusakan infrastruktur terhadap beberapa tipe

variable keputusan (DV), seperti biaya perbaikan, tingkat gangguan keselamatan

jiwa, maupun lamanya jembatan tidak dapat digunakan.

(39)

24

Lebih rinci, PBSD juga memiliki level kinerja jembatan (PLs) yang harus dipenuhi

berdasarkan kemungkinan bahaya gempa yang akan dialami jembatan dan umur

jembatan yang diinginkan (ASL). Kemungkinan bahaya gempa dibagi menjadi dua,

yaitu gempa dengan periode ulang 100 tahun dan 1000 tahun.

Tabel II. 2 Minimum level kinerja untuk jembatan (FHWA, 2006)

Umur jembatan dibagi menjadi tiga kategori, yaitu :  ASL 1 : 0-15 tahun

 ASL 2 : 16-50 tahun  ASL 3 : >50 tahun

Level kinerja jembatan dibagi menjadi empat kategori, yaitu :

 PL0 : No minimum, yaitu tidak ada minimum level kinerja jembatan yang diatur  PL1 : Life safety, yaitu terdapat kerusakan utama pada jembatan, operasional

jembatan terganggu, tetapi keselamatan jiwa terjamin. Terdapat kemungkinan

jembatan harus diganti sesudah terjadi gempa rencana.

 PL2 : Operational, yaitu kerusakan pada jembatan minimum dan kendaraan darurat

dapat melintasi jembatan setelah inspeksi dan pembersihan puing. Jembatan dapat

diperbaiki dengan atau tanpa rekayasa lalu lintas.

 PL3 : Fully operational, yaitu tidak terdapat kerusakan pada jembatan dan seluruh

kendaraan yang direncanakan dapat melintasi jembatan setelah inspeksi dan

(40)

25

Dalam melakukan desain terhadap level kinerja yang diinginkan, dapat melihat dengan

beberapa hubungan. Salah satunya hubungan deformasi terhadap base shear

Gambar II. 14 Hubungan level kinerja dengan kurva deformasi terhadap base shear (FEMA-356)

Keterangan :

Immediate Occupancy (IO) : terdapat deformasi permanen, kerusakan yang dapat

dilihat dengan kasat mata, tetapi deformasi tidak lebih besar dari 0,67 deformasi

maksimum life safety.

Life Safety (LS) : deformasi maksimum adalah 0,75 deformasi point C.

Collapse Prevention (CP) : deformasi yang lebih besar dari deformasi point C, tetapi tidak lebih besar dari 0,75 deformasi point E.

Hubungan lainnya, level kinerja jembatan dapat diketahui dengan melihat batas-batas

(41)

26

Berikut adalah kriteria kerusakan berdasarkan parameter jembatan untuk mengetahui

level kinerja jembatan.

Tabel II. 3 Parameter level kinerja atau desain jembatan SRPH-1 (Hose dan Seible 1999)

(42)

27

II.2.2.Berbagai Tipe Analisis Struktur

Dalam melakukan desain menggunakan PBSD, sangat penting untuk menganalisis

perilaku struktur terhadap gempa secara akurat. Pada umumnya, analisis struktur dibagi

menjadi empat, sebagai berikut.

Tabel II. 5 Tipe analisis struktur

Analisis Statik Linear

Prinsip analisis ini adalah menggunakan beban ekivalen statik yang merepresentasikan

distribusi gaya akibat gempa pada struktur. Analisis ini cocok digunakan untuk struktur

yang sederhana dan didominasi oleh mode pertamanya. Analisis ini memprediksi

perilaku elastik linear dan perilaku inelastiknya harus dianalisis terpisah. Contoh

metode ini adalah dalam mendesain kinerja struktur, diperbolehkan menggunakan

faktor R yang sesuai dengan kategori keutamaan jembatan untuk mereduksi kekuatan

desain sehingga terjadi deformasi plastis. Analisis ini diadopsi pada metode desain

berbasis kekuatan (AASHTO LRFD), hanya saja tidak cocok untuk digunakan pada

PBSD.

Analisis Dinamik Linear

Prinsip analisis ini adalah penggunaan analisis respons spektra (RSA) untuk

mengetahui besarnya perilaku (seperti perpindahan, momen, dan geser) berdasarkan

faktor partisipasi, perilaku, dan redaman tiap mode. Pada umumnya, modal partisipasi

massa pada mode satu dan dua adalah dominan (paling sedikit ±90%). Walaupun

analisis ini dapat memprediksi perilaku elastik dinamik untuk struktur sederhana dan

kompleks, analisis ini memiliki keterbatasan untuk memprediksi perpindahan inelastik,

(43)

28

Analisis ini cocok untuk PBSD apabila struktur sengaja didesain elastik selama gempa

terjadi. Analisis ini diadopsi pada metode desain berbasis perpindahan (AASHTO

SGS).

Analisis Statik Non-Linear

Analisis ini biasanya dikenal dengan nama analisis pushover. Analisis Pushover

menghasilkan kurva kapasitas yang dapat diolah untuk mengetahui kapasitas gaya dan

deformasi non-linear dari struktur. Perilaku struktur juga dapat diamati dari kurva

kapasitas, seperti daktilitas, koefisien modifikasi, dan over-strength. Terdapat dua tipe

pushover, yaitu kontrol gaya dan kontrol perpindahan. Pada dasarnya, gaya atau

perpindahan akan bertambah secara terus-menerus (monoton) sampai batas yang ingin

diamati selama analisis ini. Besarnya gaya atau perpindahan yang diberikan hingga

membuat struktur gagal. Selain kapasitas, analisis pushover dapat menghasilkan

kinerja struktur bila terjadi gempa. Kurva kapasitas yang didapatkan diplot secara

ADRS (acceleration displacement response spectra) dan dibandingkan dengan respons

spektra gempa yang terjadi pada struktur. Titik perpotongan kedua kurva adalah

performance point. Evaluasi kinerja dan desain struktur dapat diketahui dari hasil

(44)

29

Gambar II. 15 Skema penentuan performance point untuk prosedur A (ATC-40)

Gambar II. 16 Diagram alir analisis statik non-linear (FEMA 440)

Analisis statik non-linear dibagi menjadi dua, yaitu satu derajat kebebasan (SDOF) dan

(45)

30

koefisien dan linearisasi ekivalen. Sedangkan MDOF, memiliki dua metode, yaitu

analisis modal pushover dan prosedur kombinasi modal adaptif. Untuk pendesainan

jembatan, cukup dengan menggunakan SDOF untuk analisis statik non-linear,

sedangkan MDOF untuk gedung tinggi.

Analisis Dinamik Non-Linear

Analisis ini dinamakan non linier time-history, merupakan tambahan dari analisis

linear responsse history dengan material dan perilaku geometri non-linear. Untuk

melakukan analisis dengan hasil yang optimal, diperlukan beberapa data ground

motion. Setiap ground motion mengandung komponen goyang dua arah horizontal dan

komponen goyang arah vertikal. Kesulitan dalam analisis ini adalah pemilihan dan

kalibrasi skala dalam memasukan gound motion (NEHRP, 2011), kalibrasi dan validasi

perilaku histeretik elemen, perilaku redaman elastik (Charney, 2008), dan

permasalahan komputasi (waktu proses). Pada analisis ini juga terdapat metode

simplifikasi yang disebut respons spektra daktilitas konstan atau inelastik. Metode ini

merupakan tambahan dari respons spektra elastik.

II.2.3.Pembebanan Monorel

Pembebanan monorel yang digunakan tugas besar ini mengacu pada ACI 343.1R-12

dan SNI 2833-2013. Beban-beban dan kombinasinya yang didefinisikan adalah,

sebagai berikut :

Beban Tetap (Sustained Loads)

Beban tetap yang ditetapkan pada ACI 343.1R-12, sebagai berikut :

 Beban mati, seperti berat elemen prefabrikasi, berat elemen yang dicor ditempat,

berat lintasan dan perlengkapannya (lintasan monorel, dinding penahan, panel

peredam suara, dan lain-lain)

 Beban tetap lainnya, seperti beban akibat perbedaan settlement (SE), tekanan tanah

(EH), efek dari gaya prategang (PS), atau kekangan struktur eksternal (ER). Selain

(46)

31

Beban Sementara (Transient Loads)  Beban hidup dan turunannya

 Beban vertikal dari monorel (LL)

Beban ini diambil sesuai dengan jenis monorel yang beroperasi diatas

jembatan.

 Faktor kejut (IM)

Merupakan beban dinamik minimum yang diperhitungkan. Beberapa parameter

yang harus diperhitungkan, sebagai berikut.

𝑉𝐶𝐹 = 𝑓𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑚𝑜𝑛𝑜𝑟𝑒𝑙 =𝑘𝑒𝑐𝑒𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑚𝑜𝑛𝑜𝑟𝑒𝑙 (𝑚 𝑠𝑝𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑠𝑝𝑎𝑛 (𝑚) ⁄ )

𝑓1(𝐻𝑧) = 𝑓𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑛𝑎𝑡𝑢𝑟𝑎𝑙 𝑙𝑒𝑛𝑡𝑢𝑟 𝑚𝑜𝑑𝑒 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑎𝑚𝑎 =2𝑙𝜋2√𝐸𝑐𝑀 𝐼𝑔

Keterangan:

l = panjang bentang, dari as ke as perletakkan, (m)

M = masa per unit panjang dari guideway, termasuk seluruh beban mati

yang dipikul dan berat sendiri guideway, (kg/m)

Ec = modulus elastisitas dari guideway, (Pa)

Ig = momen inersia dari guideway, (m4)

(47)

32

Tabel II. 6 Beban dinamik minimum (ACI 343.1R-12)

 Beban Rem (LFe dan LFn)

Beban rem bekerja bersama-sama dengan LL pada semua roda dan dapat

diberikan ke depan bila terjadi pengereman atau perlambatan dan ke belakang

bila terjadi percepatan.

Tabel II. 7 Beban rem (LF) (ACI 343.1R-12)

 Beban Hunting atau Nosing (HF)

Monorel yang terdiri dari beberapa gerbong memiliki pergerakan yang tidak

selalu menetap pada rel seperti pergerakan ular. Akibatnya, interaksi lateral

antara monorel dan balok guideway menimbulkan beban hunting. Beban ini

diberikan dengan arah lateral pada titik kontak antara roda-roda monorel dan

guideway.

(48)

33

Bila beban sentrifugal dan hunting bekerja bersama-sama, maka diambil beban

yang nilainya lebih besar saja. Bila jenis roda monorel yang digunakan

berbahan karet, maka nilai friksitidak perlu diperhitungkan.  Beban angin (WL)

Perencanaan beban angin untuk daerah Jakarta dan sekitarnya diambil sebesar 90

km/jam kecuali diberikan secara khusus. Berdasarkan ACI 343.1R-12, beban angin

yang diberikan pada pemodelan adalah, sebagai berikut:

a. Pada struktur guideway, beban angin adalah 0,4 kN/m2 diberikan pada sumbu

netral dari struktur guideway.

b. Pada monorel, beban angin adalah 0,4 kN/m2 diberikan pada sumbu netral dari

monorel atau 1,822 m diatas struktur guideway.

 Efek Temperatur

Pengaruh temperature akan mempengaruhi perubahan volume dan pergerakan pada

guideway yang menyebabkan adanya beban tambahan sehingga untuk pemodelan

struktur yang akan mengalami kekangan harus dikaji lebih teliti. Terdapat dua

bagian yang harus diperhatikan, yaitu sebagai berikut:

a. Kisaran Temperatur

Untuk Jakarta dan sekitarnya, perbedaan temperature untuk periode ulang 75

tahun berkisar antara 23oC sampai dengan 37oC atau dapat juga diambil ±7oC

dari rata-rata temperatur 30oC.

b. Koefisien Perbesaran Termal

Koefisien untuk setiap perubahan suhu 1oC diambil sebesar 12 × 10−6⁄°𝐶

untuk baja dan beton.  Rangkak Beton (CR)

Rangkak merupakan fungsi kelembaban relatif, rasio volume-luas permukaan, dan

lamanya pembebanan. Rangkak juga dipengaruhi oleh jumlah tulangan, besarnya

(49)

34

Besarnya rangkak pada r-hari pembebanan dapat dihitung dengan rumus, sebagai

berikut:

𝜀𝐶𝑅 = 𝜀𝑖 𝑘𝑟 𝑘𝑣 𝑘𝑡

Dengan 𝜀𝑖 merupakan tegangan elastik awal sedangkan 𝑘𝑟, 𝑘𝑣, dan 𝑘𝑡 merupakan

faktor koreksi terhadap kelembaban, rasio volume-luas, dan waktu yang nilainya

dihitung sebagai berikut:

rv = rasio volume − luas permukaan

t = waktu setelah pembebanan bekerja atau gaya prategang (hari) H = kelembaban relatif (85%)

 Susut Beton (SH)

Susut merupakan perubahan volume yang dialami beton sehingga volume beton

mengecil akibat beton kehilangan kandungan air selama masa pengerasan (efek

hidrasi beton). Besar susut dapat diperhitungkan dengan rumus, sebagai berikut:

𝜀𝑠ℎ = 𝜀𝑠ℎ𝑢 𝑘𝑣 𝑘𝑡

Dengan 𝜀𝑠ℎ𝑢 merupakan tegangan susut ultimate sedangkan 𝑘𝑣dan 𝑘𝑡 merupakan

faktor koreksi terhadap rasio volume-luas dan waktu yang nilainya dihitung sebagai

(50)

35

𝑘𝑡= 1 − 𝑒−0,1 √𝑡

𝐾𝑒𝑡𝑒𝑟𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛:

rv = rasio volume − luas permukaan

t = waktu setelah 𝑐𝑢𝑟𝑖𝑛𝑔 (7 hari) H = kelembaban relatif (85%)  Beban Seismik

Struktur monorel didesain untuk dapat menahan beban gempa dengan kinerja yang

memuaskan. Beban seismik dalam pemodelan akan diberikan sesuai dengan SNI

2833-2013 menggunakan respons spektra.

Kombinasi Pembebanan

Kombinasi pembebanan yang digunakan adalah pada kondisi service untuk mendesain

guideway beam dan ultimate untuk mendesain pilar jembatan. Kombinasi pembebanan

dapat menggunakan sesuai pada peraturan atau ditentukan sesuai dengan pertimbangan

dari pendesain. Pada tugas besar ini, kombinasi pembebanan berdasarkan ACI

343.1R-12. Berikut adalah kombinasi pembebanannya.

Tabel II. 9 Kombinasi pembebanan service (atas) dan ultimate (bawah)

(51)

36

WS = beban angin pada struktur

WL = beban angin pada monorel

Diff = perbedaan penurunan

EQ = beban gempa

*Pada kombinasi U3-1, beban gempa untuk arah x dan y dikombinasikan 1 untuk suatu arah dan 0.3 untuk arah lainnya, serta dikombinasikan nilai positif dan negatif.

II.2.4.Perencanaan Pilar Jembatan Pracetak Sistem Hybrid

Belum adanya suatu peraturan khusus mengenai perencanaan pilar jembatan pracetak

tendon prategang tanpa lekatan post-tensioned pada daerah seismik. Karya ilmiah,

studi analitis, dan percobaan eksperimental masih dilakukan untuk mengetahui

perilaku sistem ini terhadap gaya gempa. Oleh karena itu, acuan peraturan yang relevan

adalah ACI ITG-5.2-09 “Requirement for Design of a Special Unbonded Post-Tensioned Precast Shear Wall Satisfying ACI ITG-5.1-07 and Commentary”. Terdapat

(52)

37

1. Pada arah vertikal, tidak boleh ada diskontinuitas sistem peredam gaya lateral (gaya

gempa) yang signifikan dan sistem didesain hanya memiliki satu daerah kritis

untuk menahan gaya aksial dan lentur, yaitu di bawah pilar.

2. Tendon post-tensioned tanpa lekatan diangkur dari ujung ke ujung pilar dan lokasi

duct tunggal berada di sumbu netral dari potongan melintang pilar. Bila duct

berjumlah dua atau lebih, harus diletakan secara simetris di sisi-sisi sumbu netral

dan tidak lebih dari 10% panjang dari sumbu netral ke tepi potongan melintang.

3. Disipasi energi diakomodasi oleh tulangan baja yang berada di daerah join antara

muka pilar bawah dan atas fondasi. Tulangan baja pada daerah ini disebut (tulangan

pendisipasi energi atau energy-dissipating energy)

4. Tendon tanpa lekatan didesain tidak mengalami kelelehan saat daerah join terbuka

dan struktur mencapai perpindahan desain. Sedangkan, tulangan pendisipasi energi

didesain leleh pada kondisi tersebut.

(53)

38

Dalam perencanaan yang lebih mendetail, maksimum drift (𝜃𝐿 𝑚𝑎𝑥) yang dijinkan tidak

melebihi nilai yang dihitung dengan formula berikut.

0,9 ≤ 0,8[ℎ𝑤⁄ ] + 0,5 ≤ 3,0, 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 [ℎ𝑙𝑤 𝑤⁄ ] ≥ 0,5 𝑙𝑤

𝜃𝐿 𝑑𝑒𝑠𝑖𝑔𝑛= 2 3⁄ 𝜃𝐿 𝑚𝑎𝑥

Berdasarkan percobaan eksperimental, nilai [ℎ𝑤⁄ ] ≥ 0,5𝑙𝑤 akan memberikan

perilaku dominan perpindahan akibat lentur. Bila [ℎ𝑤⁄ ] < 0,5𝑙𝑤 , akan memberikan

perilaku dominan perpindahan akibat geser. Untuk menghitung minimum gaya

prategang mengacu pada formula berikut.

𝐴𝑝𝑠 𝑓𝑠𝑒+ 0,9𝐷𝑐 = 𝐴𝑠 𝑓𝑢

Dengan 𝐴𝑠 𝑓𝑢 merupakan kekuatan tarik dari tulangan pendisipasi energi, 𝐷𝑐

merupakan berat sendiri ditambah dengan seluruh beban tambahan, dan 𝐴𝑝𝑠 𝑓𝑠𝑒 adalah

kekuatan gaya prategang.

Gambar II. 18 Kurva perilaku dinding geser antara perpindahan dan beban lateral

Untuk memenuhi spesifikasi pada poin keempat,tulangan pendisipasi energi

diharuskan sudah leleh sebelum nilai 𝑓𝑠𝑒 mencapai 0,95 𝑓𝑦. Tulangan pendisipasi

energi harus memiliki kekuatan yang dapat memikul paling sedikit 25% dari

kekuatan lentur sistem pada daerah join. Tulangan pendisipasi energi juga diharuskan

untuk diberikan panjang pengangkuran sebesar 25 𝑑𝑏bila diangkur pada metal duct

(54)

39

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

III.1.

Umum

Metodologi penelitian merupakan pemaparkan dari tahapan-tahapan studi dan analisis

selama pengerjaan tugas akhir. Secara umum, metodologi penelitian pada tugas akhir

ini dapat dibedakan menjadi dua bagian utama, yaitu :

1. Prosedur studi

2. Metode analisis

Gambar III. 1 Diagram alur pembentukan metodologi penelitian

Pendahuluan

• Menguraikan latar belakang, tujuan yang ingin dicapai dan batasan-batasan pada tugas akhir

• Dibutuhkan kajian literatur untuk menjawab latar belakang dan mencapai tujuan dari tugas akhir

Kajian

Literatur

• Memaparkan kajian literatur dari berbagai sumber, seperti peraturan, jurnal ilmiah, maupun buku-buku.

(55)

40

III.2.

Prosedur Studi

(56)

41

Berikut adalah penjelasan mengenai tahapan-tahapan yang terdapat pada diagram alir

diatas:

1. Penentuan Parameter Jembatan

Dalam mendesain suatu jembatan, penentuan berbagai parameter merupakan hal

yang penting, seperti fungsi, material, dimensi dan jumlah bentang jembatan, tipe

struktur jembatan, lokasi, dan lain-lain. Hal ini bertujuan untuk menentukan

berbagai besaran desain pada tahap preliminary design. Berbagai parameter

jembatan sudah disebutkan pada bab I

2. Pembebanan Jembatan

Pembebanan jembatan yang digunakan pada tugas akhir ini mengacu pada ACI

343.1R-12 untuk beban-beban pada jembatan guideway monorel dan SNI

2833-2013 untuk beban seismik, yaitu gempa. Beban-beban non-seismik pada tugas

akhir ini adalah beban tetap, monorel dan kejut, rem, efek temperatur, rangkak dan

susut, hunting, prategang dari guideway beam tendon, dan angin

3. Preliminary Design Struktur

Tahap preliminary design merupakan tahap perencanaan awal pada proses desain

suatu struktur. Tujuannya adalah memperkirakan model struktur yang paling sesuai

dengan kondisi di lapangan. Hasilnya adalah dimensi dan desain dari

elemen-elemen pemikul beban, seperti pilar jembatan, guideway beam, pier head,

kebutuhan jacking stress untuk guideway beam tendon, dan lain-lain. Pendesainan

pada tahap ini berdasarkan AASHTO LRFD 2012 Bridge Design Specification 6th

Edition dan AASHTO LRFD 2011 Seismic Bridge Design Specification2th Edition

4. Pemodelan Struktur

Pemodelan struktur pada tugas akhir ini menggunakan MIDAS CIVIL 2011.

MIDAS CIVIL 2011 dipilih karena dapat memodelkan tendon prategang dan

memasukan parameter-parameter untuk kebutuhan non-linier, seperti kurva

backbone monotonik, diagram interaksi, hingga model histeretik. Pada sistem yang

Gambar

Gambar I. 1 Peta tektonik Indonesia
Gambar I. 2 Skema pilar jembatan (Haitham Mohamed, 2010)
Gambar I. 3 Diagram alir metodologi penulisan tugas akhir
Gambar II. 3 Perilaku histeretik untuk sistem monolit tulangan baja (Guerra et al.)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Adapun tujuan Tugas Akhir ini adalah untuk mendapatkan kinerja yang lebih efisien pada teknik pengkodean Hamming dan BCH pada sistem komunikasi digital1. Universitas

Sedangkan uji F diperoleh hasil p-value sebesar 0,000 &lt; p-penelitian (0,05), sehingga membuktikan bahwa variabel keterlibatan pemakai dalam pengembangan sistem,

“Analisis Perbandingan Kinerja Sistem Hotspot Pada Access Point Cisco Linksys WRT120N Dengan RouterBoard Mikrotik 751, Dalam Sistem Terkonfigurasi Dan.. Tidak Terkonfigurasi”, dapat

Simulasi kinerja sistem dengan penambahan antena penerima pada masing – masing skema antena MIMO dengan variasi kecepatan pengguna, sedangkan parameter lainnya

Hasil dari penelitian ini membuktikan bahwa efektivitas sistem informasi akuntansi berpengaruh positif pada kinerja individual dan kepercayaan atas SIA mampu

KINERJA ADAPTIVE CODED MODULATION PADA SISTEM OFDM MENGGUNAKAN HYBRID SELECTION/EQUAL GAIN COMBINING DIVERSITY DI BAWAH PENGARUH REDAMAN HUJAN TROPIS.. Achmad Charis Fahrudin NRP

Semua kegiatan tersebut belum memanfaatkan sistem informasi secara terpusat dimana data – data yang ada harus dioleh kembali dengan menggunakan excel sedangkan waktu penilaian

Namun keseluruhan hasil pengujian yang telah dijelaskan di atas tidak dapat membuktikan bahwa IPv6 mampu memberikan kinerja jaringan komputer yang lebih baik daripada IPv4 baik