• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan Pers Pada Masa Revolusi Fis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Perkembangan Pers Pada Masa Revolusi Fis"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Zaman Revolusi Fisik (1945-1949) merupakan suatu zaman yang paling cemerlang dalam sejarah Indonesia, hak-hak Indonesia akan kemerdekaan ditunjukkan oleh pengorbanan-pengorbanan yang luar biasa oleh bangsa Indonesia. Revolusi yang menjadi alat tercapainya kemerdekaan bukan hanya merupakan suatu kisah sentral dalam sejarah Indonesia melainkan merupakan suatu unsur yang kuat di dalam persepsi bangsa Indonesia itu sendiri. Semua usaha yang tidak menentu untuk mencari identitas-identitas baru, untuk persatuan dalam menghadapi kekuasaan asing, dan untuk suatu tatanan sosial yang lebih adil akhirnya membuahkan hasil pada masa-masa sesudah perang dunia II. Untuk pertama kalinya di dalam kehidupan kebanyakan rakyat Indonesia segala sesuatu yang serba paksaan yang berasal dari kekuasaan asing hilang secara tiba-tiba. Tradisi nasional yang mengatakan bahwa rakyat Indonesia berjuang bahu-membahu selama revolusi hanya merupakan sedikit dasar sejarah.1

Kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II (1939-1945) membawa pengaruh bagi perkembangan sosial-politik di Indonesia. Tentara pendudukannya yang otoriter dan represif tidak lagi berdaya di Indonesia. Pada pertengahan bulan Agustus 1945 keadaan yang terjadi sedemikian rupa sehingga mengarah ke dislokasi sosial. Kekuatan-kekuatan bersifat revolusioner dari masyarakat – yang selama ini dibungkam oleh rezim militer – mencuat ke permukaan dan mengalir laksana air bah yang dahsyat. Arus revolusi, dengan demikian, telah dimulai dan sepertinya sulit untuk dikendalikan.2 Dalam suasana yang seperti itulah pers republik bermunculan. Kehadirannya dimaksudkan selain untuk memberikan penerangan dan koordinasi bagi hasrat besar masyarakat yang ingin bebas-merdeka, juga untuk memahami visi dari para pemimpin bangsa tentang bentuk kemerdekaan yang dicita-citakan.3

1 Yahwa, Revolusi Fisik, dalam http://yahwa-ki.blogspot.co.id/2014/02/revolusi-fisik.html, di akses pada tanggal 18 September 2015 pukul 13.45 WIB. Dalam tulisan aslinya tahun 1945-1950 kemudian oleh pemakalah diganti menjadi tahun 1945-1949, karena pada umumnya periode Revolusi Fisik adalah tahun 1945-1949.

2 Mochtar Lubis, Jalan Tak Ada Ujung, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992), hlm. 98, yang dikutip oleh Andi Suwirta, Dari Bandung ke Tasikmalaya: Surat Kabar Soeara Merdeka pada Masa Revolusi Indonesia 1945-1947, Makalah pada Seminar Nasional 60 Tahun Indonesia Merdeka dalam Lintasan Sejarah di Aula Barat ITB, pada tanggal 12-14 Agustus 2005, (Bandung: Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UPI, 2005), hlm. 1.

(2)

Pada masa ini pemerintahan Indonesia mengalami goncangan setelah datangnya kembali Belanda yang berkeinginan untuk menjajah kembali Indonesia. Dalam hal ini, tentunya masyarakat Indonesia tentunya tidak ingin dijajah kembali oleh bangsa mana pun. Berangkat dari hal itu, pers-pers Indonesia berusaha untuk menjaga semangat kemerdekaan Indonesia supaya persatuan Indonesia tidak merasa takut dengan datangnya Belanda yang ingin menjajah lagi.

Dalam makalah ini, kami berusaha menguraikan mengenai kondisi pemerintahan Indonesia pada masa revolusi, pers yang ada pada masa revolusi, proses terbentuknya PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) dan SPS (Serikat Perusahaan Suratkabar), serta peranan pers pada masa revolusi. Selain itu, makalah ini akan menjelaskan mengenai penyalahgunaan pers pada masa revolusi Indonesia.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Kondisi Indonesia pada Masa Revolusi?

2. Bagaimana Perkembangan Pers pada Masa Revolusi Indonesia?

3. Bagaimana Proses Terbentuknya PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) dan SPS (Serikat Perusahaan Suratkabar)?

4. Bagaimana Peranan Pers pada Masa Revolusi Indonesia?

5. Bagaimana Proses Terjadinya Penyalahgunaan Pers pada Masa Revolusi Indonesia?

C. Pembahasan Masalah

1. Untuk mengetahui Kondisi Indonesia pada Masa Revolusi.

2. Untuk mengetahui Perkembangan Pers pada Masa Revolusi Indonesia.

3. Untuk mengetahui Proses Terbentuknya PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) dan SPS (Serikat Perusahaan Suratkabar).

4. Untuk mengetahui Peranan Pers pada Masa Revolusi Indonesia.

5. Untuk mengetahui Proses Terjadinya Penyalahgunaan Pers pada Masa Revolusi Indonesia.

(3)

Menyerahnya Jepang kepada Sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945, mengakhiri Perang Pasifik dan menamatkan riwayat kekuasaan tentara Jepang di Indonesia yang telah berlangsung lebih kurang tiga setengah tahun lamanya. Pada tanggal 17 Agustus 1945 berkumandanglah ke seluruh dunia, proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia.4

Dengan mulai tibanya pihak sekutu guna menerima penyerahan jepang maka muncullah tantangan serius yang pertama terhadap revolusi. Pada awal tahun 1945, pihak sekutu telah memutuskan bahwa pasukan-pasukan Amerika akan memusatkan perhatian pada pulau-pulau di Jepang. Dengan demikian tanggung jawab atas Indonesia akan dipindahkan dari Komando Pasifik barat daya Amerika kepada Komando Asia Tenggara Inggris dibawah pimpinan Lord Louis Mountbatten. Tentu saja belanda ingin sekali menduduki kembali Indonesia dan menghukum mereka yang bekerja sama dengan Jepang.5

Pemerintah Pusat Republik Indonesia segera dibentuk di Jakarta pada akhir agustus 1945. Pemerintah menyetujui konstitusi yang telah di rancang oleh panitia kemerdekaan Indonesia sebelum menyerahnya Jepang. Akan tetapi, pihak angkatan laut Jepang memperingatkan bahwa orang-orang Indonesia yang beragama Kristen di wilayahnya tidak akan menyetujui peranan istimewa Islam, sehingga Piagam Jakarta dan syarat bahwa kepala negara haruslah seorang muslim tidak jadi dicantumkan. Soekarno diangkat sebagai presiden dan hatta sebagai wakil presiden, karena politikus yakin bahwa hanya merekalah yang dapat berurusan dengan pihak Jepang.6

Tidak adanya ketentraman pada hari-hari sesudah diproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta oleh kedatangan tentara pendudukan sekutu yang diwakili tentara Inggris, yang di dalamnya ikut pula tentara Belanda untuk maksud dapat menduduki kembali Indonesia secara berangsur-angsur, maka kantor-kantor Pemerintahan Republik Indonesia yang baru mulai bekerja, berpindah ke Yogyakarta. Untuk sementara waktu Yogyakarta menjadi Ibukota Republik Indonesia yang berlangsung sampai akhir tahun 1949 dengan diakuinya kemerdekaan Indonesia oleh dunia internasional.7

4 I. Taufik, Sejarah dan Perkembangan Pers di Indonesia, (Jakarta: PT TRIYINCO, 1977), hlm. 35. 5 Yahwa, Revolusi Fisik.

6 Yahwa, Revolusi Fisik.

7 Kusnadi, Periode Revolusi Fisik Kemerdekaan, dalam http://www.google.com/url?

sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=15&cad=rja&uact=8&ved=0CC8QFjAEOApqFQoTCO7a1O6 AhcgCFc3UjgodoTsJRw&url=http%3A%2F%2Farchive.ivaaonline.org%2Ffiles%2Fuploads%2Ftexts %2F93101%2520periode%2520revolusi%2520fisik

(4)

Perubahan yang fundamental di dalam masyarakat Indonesia sangat terasa sekali pada saat setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Revolusi Indonesia yang mencakup periode 1945-1950 adalah revolusi yang anti kolonial. Segala sesuatu yang berhubungan dengan kolonialisme dipandang sebagai penghambat jalannya revolusi. Perubahan yang fundamental tersebut disertai timbulnya pergolakan-pergolakan sosial, yang dalam beberapa kasus di daerah-daerah di Indonesia merupakan suatu revolusi sosial. Perubahan yang fundamental ini tampak pada perubahan struktur sosial dan politik, dan struktur kolonial dan feodal ke struktur masyarakat yang bercorak republik.8

Pergolakan-pergolakan sosial ini sering merupakan suatu proses waktu yang singkat dengan gerakan radikal yang intensif, misalnya keganasan, penculikan, pembunuhan dan lain sebagainya. Kadangkala pergolakan sosial itu berjalan dalam proses waktu yang lama. Dalam konteks Revolusi Indonesia ini, pergolakan-pergolakan sosial ini timbul karena terjadinya transformasi sosial dan pohtik yang secara mendadak, dan erat dengan nilai-nilai Revolusi Indonesia, seperti anti kolonialisme, anti feodalisme, patriotisme, nasionalisme,

radikalisme, idealisme, dan heroisme. Revolusi Indonesia adalah revolusi nasional yang menghasilkan kemerdekaan dan pembentukan bangsa. Oleh sebab itu anti kolonialisme menjadi suatu kehidunan politik yang menyeluruh bagi bangsa Indonesia.9

B. Perkembangan Pers pada Masa Revolusi Indonesia

Pada tanggal 17 Agustus 1945, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia diumumkan oleh Sukarno-Hatta dari rumah Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Sejak tiga hari sebelumnya, pihak Sekutu (pasukan Inggris, Amerika, Australia dan Belanda) telah menyiapkan diri untuk memasuki wilayah Indonesia dengan tujuan melucuti militer Jepang dan langsung memulihkan kekuasaan pemerintahan kolonial Belanda. Guna melincinkan jalan bagi kembalinya pemerintah jajahan, Sekutu lebih dulu memerintahkan pasukan Jepang untuk mempertahankan status quo, atau dengan kata lain menolak proklamasi kemerdekaan Indonesia dan berdirinya Republik Indonesia. Akibat keputusan Sekutu tersebut, terjadi bentrokan fisik besar dan kecil antara Jepang dan rakyat Indonesia di berbagai tempat.10

Dengan latar belakang ini, tugas wartawan nasional tidak bisa lain adalah ikut berjuang mempertahankan Proklamasi. Menyusul deklarasi kemerdekaan Indonesia pada

8 Suyatno, Revolusi Nasional di Tingkat Lokal, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989), hlm. 1.

9 John Dunn, Modern Revolutions An Introduction to the A nalysis of Political Phenomenon, (London: Gambridge University Press, 1972), hlm. 124, yang dikutip oleh Suyatno, Revolusi Nasional Lokal, hlm. 1-2.

(5)

http://pwi.or.id/index.php/sejarah/770-sekilas-17 Agustus 1945, wartawan-wartawan pergerakan yang tetap berkerja di pers semasa pendudukan militer Jepang segera melancarkan kegiatan pemberitaan dan penerangan mendukung Proklamasi. Mereka mengambil alih surat kabar-surat kabar dan percetakan-percetakan yang dikuasai Jepang.11

Periode Revolusi Fisik terjadi antara tahun 1945 sampai 1949. Masa itu adalah masa bangsa Indonesia berjuang mempertahankan kemerdekaan yang berhasil diraihnya pada tanggal 17 Agustus 1945. Belanda ingin kembali menduduki Indonesia sehingga terjadilah perang mempertahankan kemerdekaan. Pada saat itu, pers terbagi menjadi dua golongan, yaitu:

1. Pers yang diterbitkan dan diusahakan oleh tentara pendudukan Sekutu dan Belanda yang selanjutnya dinamakan Pers Nica (Belanda).

2. Pers yang diterbitkan dan diusahakan oleh orang Indonesia yang disebut Pers Republik.

Kedua golongan ini sangat berlawanan. pers Republik disuarakan oleh kaum Republik yang berisi semangat mempertahankan kemerdekaan dan menetang usaha penduduk Sekutu. Pers benar-benar menjadi alat perjuangan masa itu. Sebaliknya, Pers Nica berusaha mempengaruhi rakyat Indonesia agar menerima kembali Belanda untuk berkuasa di Indonesia.12

1. Pers Republik

Kira-kira sebulan setengah setelah proklamasi kemerdekaan (17 Agustus 1945), surat-suratkabar resmi yang semula milik Jepang diambil-alih dan diubah menjadi surat kabar milik Republik. Pengambilalihan biasanya dilakukan oleh para pemuda-pelajar yang punya pengalaman di bidang jurnalistik. Begitulah, misalnya, surat kabar

Asia Raya di Jakarta, Tjahaja di Bandung, Sinar Baroe di Semarang, Sinar Matahari

di Yogyakarta, dan Soeara Asia di Surabaya, berubah menjadi surat kabar Merdeka (1 Oktober 1945 – sekarang), Soeara Merdeka (September 1945 – Juli 1947), Warta Indonesia (September 1945 – Nopember 1945), Kedaulatan Rakjat (27 September 1945 – sekarang), dan Soeara Rakjat (Oktober 1945 – Juli 1947).13

11 Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional.

12 Hasan, Perkembangan Pers pada Masa Revolusi Fisik Indonesia, dalam

http://kulpulan-materi.blogspot.co.id/2012/02/perkembangan-pers-pada-masa-revolusi.html, di akses pada tanggal 20 September 2015 pukul 14.35 WIB.

(6)

Surat kabar di kota-kota lain juga bermunculan laksana cendawan di musim hujan. Hal itu sejalan dengan anjuran pemerintah, selain keinginan dari masyarakat sendiri, untuk mendirikan suratkabar sebanyak mungkin sebagai manifestasi dari revolusi Indonesia yang demokratis. Maka di Jakarta, selain surat kabar Merdeka, terbit pula

Berita Indonesia, Ra’jat, dan Negara Baroe; di Bogor ada Gelora Rakjat; di Cirebon ada Republik dan Genderang; di Magelang ada Penghela Rakjat; di Yogyakarta, selain

Kedaulatan Rakjat, ada Al-Djihad, Boeroeh, dan Nasional; di Surakarta ada Lasjkar,

Soeara Moeda, Menara Islam, dan Perintis; di Madiun ada Api Rakjat; di Mojokerto ada Bhakti; di Malang ada Berdjoeang, dan sebagainya.14

Di Aceh, Ali Hasjmy, Abdullah Arif dan Amelz menerbitkan Semangat Merdeka

(18 Oktober 1945). Di Medan, Pewarta Deli terbit kembali, kali ini dipimpin Mohammad Said dan Amarullah Ombak Lubis. Ini terjadi pada bulan September 1945. Kemudian Mimbar Oemoem dengan redaktur Abdul Wahab Siregar, Mohammad Saleh Umar dan M. Yunan Nasution (bulan November). Di Medan juga terbit Sinar Deli, Buruh dan Islam Berdjuang. Di Padang terbit Pedoman Kita di bawah Jusuf Djawab dan Decha, serta Kedualatan Rakjat pimpinan Adinegoro dengan dibantu Anwar Luthan, T. Sjahril, Zuwir Djamal, Zubir Salam, Sjamsuddin Lubis, Darwis Abbas, Maisir Thaib, dan lain-lain. Di Palembang terbit Soematra Baroe

dipimpin Nungcik Ar.15

Di Ujung Pandang, waktu itu masih bernama Makassar, terbit harian Soeara Indonesia di bawah Manai Sophiaan. Di Manado terbit Menara (Desember 1945) atas prakarsa G.E. Dauhan. Di Ternate, Arnold Mononutu (menteri penerangan 1949, 1951, 1952), menerbitkan mingguan Menara Merdeka (Oktober 1945), dibantu Hassan Missouri. Di samping surat kabar-surat kabar swasta, pihak pemerintah RI menerbitkan koran sendiri, seperti Soeloeh Merdeka di Medan (Oktober 1945) yang diasuh Jahja Jakub dan Arif Lubis, serta Negara Baroe di Jakarta yang dipimpin Parada Harahap.16

2. Inggris Mengekang Pers Republik

Sejak pasukan pendudukan Inggris mendarat di Indonesia dengan membawa satuan-satuan tentara Belanda, pers nasional dan para wartawannya terus menghadapi

14 Wartini Santoso, Katalog Surat Kabar Koleksi Perpustakaan Nasional 1810-1984, (Jakarta: Perpustakaan

Nasional-Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984), yang dikutip oleh Andi Suwirta, Surat Kabar Soeara Merdeka., hlm. 2.

(7)

berbagai macam tindakan kekerasan pihak musuh berhubung karena tulisan-tulisan dan berita-berita mereka selalu mendukung kepentingan RI. Di Medan, harian Sinar Deli dipaksa Inggris untuk berhenti terbit. Juga di Medan, Pewarta Deli dipaksa berhenti pada bulan Maret 1946, sementara A.O. Lubis dan pemimpin percetakan

Syarikat Tapanuli, Rachmat, ditahan selama tiga minggu. Begitu pula, Wahab Siregar dari Mimbar Oemoem ditahan, dan percetakan Soeloeh Merdeka diduduki oleh pasukan Inggris. Di Padang, percetakan yang menerbitkan Oetoesan Soematra

diledakkan oleh serdadu Inggris. Di Jakarta, kantor Berita Indonesia diserbu serdadu Belanda sehingga terpaksa pindah percetakan. B.M. Diah dan Herawati Diah dari harian Merdeka sempat pula meringkuk dalam tahanan Inggris. Di Makassar, Manai Sophiaan selalu menjadi incaran serdadu Belanda dan terpaksa mengungsi ke Jawa. Di Bandung, kantor Tjahaja dirusak tentara Jepang dan sejumlah wartawannya disekap. Di antara wartawan-wartawan Republik yang pernah ditangkap Belanda adalah Sajuti Melik, Wonohito, P. Wardojo, Sudarso Warsokusumo, Anwar Tjokroaminoto, Siauw Giok Tjan, Tabrani dan Adam Malik.17

Akibat pendudukan pasukan Sekutu dan aksi teror serdadu Belanda di Jakarta, pemerintah Republik memutuskan pindah ke Yogyakarta pada 4 Januari 1946. Sejak itu, perjuangan pers nasional terbagi antara mereka yang beroperasi di wilayah kekuasaan efektif Republik dan mereka yang terus bertahan di daerah pendudukan Sekutu/ Belanda yang rawan. Pers Republik yang melaksanakan misi perjuangan di kota-kota yang diduduki musuh, selain yang sudah disebut di atas dan masih terbit, adalah sebagai berikut:

Di Jakarta tercatat Sumber, Pemandangan dan Pedoman. Di Medan, Waspada

(terbit mulai Januari 1947). Di Padang, Tjahaja Padang. Di Bukit Tinggi, Detik. Di Palembang, Obor Rakjat (eks Soematra Baroe) yang terbit 1 Juli 1946. Fikiran Rakjat,

Soeara Rakjat (eks Obor Rakjat). Di Bandung dan beberapa kota lainnya di Jawa Barat, Gelora Rakjat, Neratja, Perdjoangan, Sinar Priangan, Perdjoangan Rakjat,

Toedjoean Rakjat dan Patjoel. Di Semarang, Warta Indonesia. Di Makassar,

Pedoman, Proletar dan beberapa mingguan serta berkala. Di Minahasa, Soeara Pemoeda. Beberapa koran Republik, seperti Merah Poetih pimpinan Abdul Azis, melakukan gerilya setelah mengungsi dari Surabaya dan pindah ke Modjokerto.

Merah Poetih kemudian terpecah tiga: satu terbit di Modjokerto, satu di Kediri dan

(8)

satu lagi di Malang. Di Malang selatan terbit Siaran Daerah atas upaya Sunarjo Prawiroadinoto. Di Sumatera tengah terbit Menara Rakjat di bawah pimpinan Sutan Usman Karim (Suska). Di sekitar Yogyakarta, Sumantoro dan adiknya Sugijono dan Muljono menerbitkan Gerilja Rakjat dan Berita Gerilja. Di Maluku sendiri kemudian terbit Soeara Rakjat Maloekoe dan Siwa Lima.18

3. Pers Belanda

Perkembangan pers Republik yang secara teguh menyokong kemerdekaan Indonesia telah memaksa Belanda untuk menerbitkan pula medianya sendiri sebagai tandingan. Kantor berita Aneta, yang sudah ada sejak masa kolonial, diterbitkan kembali. Di masa lalu, Aneta terkenal dengan pola pemberitaan yang merugikan perjuangan kemerdekaan. Karena pengalaman ini, Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), dewan perwakilan republik waktu itu, pernah mengeluarkan keputusan hanya mengakui Antara sebagai satu-satunya kantor berita nasional Indonesia.19

Salah satu basis penerbitan pers Belanda adalah Makassar. Dari kota ini surat kabar-surat kabar pendukung Belanda diedarkan ke daerah Indonesia Timur. Ada pun koran-koran pro Belanda yang pernah terbit di Makassar waktu itu adalah Oost Indonesie Bode (kemudian berganti nama menjadi Makassarse Courant), Negara Baroe (kemudian bernama Indonesia Timoer) dan Noesantara. Koran-koran Belanda lainnya adalah Het Midden (Semarang), De Courant (Bandung), De Lokomotief

(Semarang), Het Dagblad voor Soematra (Medan), Java Bode, Het Nieuws van de Dag dan De Nieuwsgiers (Jakarta). Sebagian surat kabar-surat kabar Belanda tersebut dapat tetap terbit sampai dilarang oleh pemerintah Indonesia menjelang kampanye menentang penjajahan Belanda atas Irian Jaya (waktu itu disebut Irian Barat) pada tahun 1958.20

Terbitnya surat kabar-surat kabar Belanda tersebut, bahkan tindakan-tindakan pengekangan militer Inggris dan Belanda sekali pun, tidak berhasil membendung pers nasional untuk terus menyiarkan berita tulisan perlawanan terhadap kolonialisme dan menentang siasat Belanda untuk memecah belah bangsa Indonesia. Pers Republik mendukung upaya diplomasi internasional atas dasar kemerdekaan penuh, baik menghadapi Persetujuan Linggarjati (15 November 1946) maupun Persetujuan Renville (17 Januari 1948), apa lagi terbukti pihak Belanda sendiri telah

(9)

injak persetujuan tersebut dengan melancarkan Agresi Militer pertamanya pada bulan Juli 1947 dan Agresi Militer kedua pada bulan Desember 1948.21

Selain itu, selama perundingan Indonesia-Belanda berlangsung di Den Haag, pers Republik secara tegas menolak pembentukan negara-negara kecil yang didukung Belanda, seperti Negara Indonesia Timur (1946), Negara Sumatera Timur (1947), Negara Madura (1948), Negara Pasundan (1948), Negara Sumatera Selatan (1948), Negara Djawa Timur (1948) dan lain-lain. Dan tatkala Partai Komunis Indonesia memberontak terhadap pemerintahan republik, pers nasional mengutuk pengkhianatan tersebut. Pengalaman dan pengorbanan para pejuang pers sejak Proklamasi, mulai dari perlawanan terhadap pendudukan tentara Sekutu hingga berakhirnya Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada 2 September 1949, yang menghasilkan pengakuan Belanda atas kemerdekaan dan kedaulatan RI, telah meneguhkan perjuangan mereka menentang pelanggaran terhadap prinsip-prinsip nasional yang melandasi berdirinya Republik Indonesia.22

C. Proses Terbentuknya PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) dan SPS (Serikat Perusahaan Suratkabar)

Dalam sejarah mencapai Indonesia merdeka, wartawan Indonesia tercatat sebagai patriot bangsa bersama para perintis pergerakan di berbagai pelosok tanah air yang berjuang untuk menghapus penjajahan. Di masa pergerakan, wartawan bahkan menyandang dua peran sekaligus, sebagai aktivis pers yang melaksanakan tugas-tugas pemberitaan dan penerangan guna membangkitkan kesadaran nasional dan sebagai aktivis politik yang melibatkan diri secara langsung dalam kegiatan membangun perlawanan rakyat terhadap penjajahan, Kedua peran tersebut mempunyai tujuan tunggal, yaitu mewujudkan kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, wartawan Indonesia masih melakukan peran ganda sebagai aktivis pers dan aktivis politik. Dalam Indonesia merdeka, kedudukan dan peranan wartawan khususnya, pers pada umumnya, mempunyai arti strategik sendiri dalam upaya berlanjut untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan.23

Aspirasi perjuangan wartawan dan pers Indonesia memperoleh wadah dan wahana yang berlingkup nasional pada tanggal 9 Februari 1946 dengan terbentuknya organisasi

Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Kelahiran PWI di tengah kancah perjuangan

(10)

mempertahankan Republik Indonesia dari ancaman kembalinya penjajahan, melambangkan kebersamaan dan kesatuan wartawan Indonesia dalam tekad dan semangat patriotiknya untuk membela kedaulatan, kehormatan serta integritas bangsa dan negara. Bahkan dengan kelahiran PWI, wartawan Indonesia menjadi semakin teguh dalam menampilkan dirinya sebagai ujung tombak perjuangan nasional menentang kembalinya kolonialisme dan dalam menggagalkan negara-negara noneka yang hendak meruntuhkan Republik Indonesia.24

Sejarah lahirnya surat kabar dan pers itu berkaitan dan tidak dapat dipisahkan dari sejarah lahirnya idealisme perjuangan bangsa mencapai kemerdekaan. Di zaman revolusi fisik, lebih terasa lagi betapa pentingnya peranan dan eksistensi pers sebagai alat perjuangan, sehingga kemudian berkumpullah di Yogyakarta pada tanggal 8 Juni 1946 tokoh-tokoh surat kabar, tokoh-tokoh pers nasional, untuk mengikrarkan berdirinya

Serikat Penerbit Suratkabar (SPS). Kepentingan untuk mendirikan SPS pada waktu itu bertolak dari pemikiran bahwa barisan penerbit pers nasional perlu segera ditata dan dikelola, dalam segi idiil dan komersialnya, mengingat saat itu pers penjajah dan pers asing masih hidup dan tetap berusaha mempertahankan pengaruhnya.25

Sebenarnya SPS telah lahir jauh sebelum tanggal 6 Juni 1946, yaitu tepatnya empat bulan sebelumnya bersamaan dengan lahirnya PWI di Surakarta pada tanggal 9 Februari 1946. Karena peristiwa itulah orang mengibaratkan kelahiran PWI dan SPS sebagai “kembar siam”. Di balai pertemuan “Sono Suko” di Surakarta pada tanggal 9-10 Februari itu wartawan dari seluruh Indonesia berkumpul dan bertemu. Yang datang beragam wartawan, yaitu tokoh-tokoh pers yang sedang memimpin surat kabar, majalah, wartawan pejuang dan pejuang wartawan. Pertemuan besar yang pertama itu memutuskan:

1. Disetujui membentuk organisasi wartawan Indones dengan nama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), diketuai Mr. Sumanang Surjowinoto dengan sekretaris Sudarjo Tjokrosisworo.

2. Disetujui membentuk sebuah komisi beranggotakan: a. Sjamsuddin Sutan Makmur (harian Rakjat, Jakarta), b. B.M. Diah (Merdeka, Jakarta),

c. Abdul Rachmat Nasution (kantor berita Antara, Jakarta), d. Ronggodanukusumo (Suara Rakjat, Modjokerto),

e. Mohammad Kurdie (Suara Merdeka, Tasikmalaya),

(11)

f. Bambang Suprapto (Penghela Rakjat, Magelang), g. Sudjono (Berdjuang, Malang), dan

h. Suprijo Djojosupadmo (Kedaulatan Rakjat, Yogyakarta).

Ke-8 orang tersebut dibantu oleh Mr. Sumanang dan Sudarjo Tjokrosisworo. Tugas mereka adalah merumuskan hal-ihwal persuratkabaran nasional waktu itu dan usaha mengkoordinasinya ke dalam satu barisan pers nasional di mana ratusan jumlah penerbitan harian dan majalah semuanya terbit dengan hanya satu tujuan, yaitu “Menghancurkan sisa-sisa kekuasaan Belanda, mengobarkan nyala revolusi, dengan mengobori semangat perlawanan seluruh rakyat terhadap bahaya penjajahan, menempa persatuan nasional, untuk keabadian kemerdekaan bangsa dan penegakan kedaulatan rakyat.”26

Komisi 10 orang tersebut dinamakan juga “Panitia Usaha” yang dibentuk oleh Kongres PWI di Surakarta tanggal 9-10 Februari 1946. Kurang tiga minggu kemudian komisi bertemu lagi di kota itu bertepatan para anggota bertugas menghadiri sidang Komite Nasional Indonesia Pusat yang berlangsung dari 28 Februari hingga Maret 1946. Komisi bersidang dan membahas masalah pers yang dihadapi, kemudian pada prinsipnya sepakat perlunya segera membentuk sebuah wadah untuk mengkoordinasikan persatuan pengusaha surat kabar, waktu itu disebut Serikat Perusahaan Suratkabar.27

D. Peranan Pers pada Masa Revolusi Indonesia 1. Pers Republik sebagai Pers Perjuangan

Pada masa revolusi Indonesia, pers sering disebut sebagai pers perjuangan. Pers Indonesia menjadi salah satu alat perjuangan untuk kemerdekaan bangsa Indonesia. Beberapa hari setelah teks proklamasi dibacakan Bung Karno, terjadi perebutan kekuasaan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat, termasuk pers. Hal yang diperebutkan terutama adalah peralatan percetakan. Pada bulan September-Desember 1945, kondisi pers Republik Indonesia semakin kuat, yang ditandai oleh mulai beredarnya koran Soeara Merdeka (Bandung), Berita Indonesia (Jakarta), Merdeka,

Independent, Indonesian News Bulletin, Warta Indonesia, dan The Voice of Free Indonesia.28

Peranan yang telah dilakukan oleh pers kita di saat-saat proklamasi kemerdekaan kita dicetuskan, dengan sendirinya adalah parallel dengan perjuangan rakyat Indonesia

26 Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional. 27 Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional.

28 Hassan Gunawan, Pengertian dan Sejarah Pers, dalam

(12)

dalam mendirikan dan memperkuat Republik Indonesia yang baru lahir ini, sebagai tanggung jawab yang harus dipikul dengan adanya proklamasi itu. Malahan di antara wartawan kita, tidak sedikit jumlahnya yang langsung turut serta dalam usaha-usaha proklamasi dan penggalangann persatuan rakyat guna menghadapi usaha-usaha kaum penjajah yang ingin kembali ke Indonesia. Semboyan “Sekali Merdeka Tetap Merdeka” menjadi pegangan teguh bagi para wartawan kita.29

Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 dengan meletusnya revolusi bangsa Indonesia, sangat mencemaskan tentara pendudukan Jepang yang ketika itu masih berada di Indonesia dan masih memiliki segala alat kemiliteran dengan serba lengkap. Pimpinan tentara/ pemerintahan Jepang yang telah kehabisan semangat dan hanya mengharapkan lekas tibanya tentara pendudukan Sekutu yang akan menggantikan tugas mereka di Indonesia, mengambil tindakan-tindakan untuk memadamkan revolusi bangsa Indonesia yang sedang menggelora itu.30

Rakyat Indonesia, termasuk para wartawan serta pegawai-pegawai perusahaan-perusahaan pers tentunya tidak tinggal diam menghadapi tindakan-tindakan Jepang yang ingin mengambil muka Sekutu itu, mengadakan perlawanan. Perebutan-perebutan kekuasaan dilakukan di mana-mana oleh bangsa Indonesia dari tangan Jepang, juga para wartawan kita dan pegawai-pegawai perusahaan-perusahaan surat kabar tidak ketinggalan melakukan perebutan kekuasaan dari Jepang, termasuk alat-alat percetakan. Terutama di kota-kota besar seperti Jakarta misalnya, perebutan kekuasaan dalam segala bidang dari pihak Jepang sangat menegangkan suasana, apalgi dengan adanya tantangan-tantangan dari pihak Jepang serta orang-orang Belanda, Inggris dan lain sebagainya yang baru dibebaskan dari perkumpulan tawanan dan menganggap sepi Republik Indonesia.31

2. Pers Republik berusaha menandingi Pers Belanda

Tindakan-tindakan tentara Jepang yang menganggap sepi Republik Indonesia yang baru lahir dan bermaksud hendak melumpuhkan semangat perlawanan rakyat Indonesia, dilakukan juga dengan menggunakan alat-alat propagandanya seperti surat kabar “Berita Gunseikanbu” dinyatakan, bahwa pemerintahan serta Negara Republik Indonesia adalah tidak syah dan bahwa tentara Jepang masih tetap menjalankan

(13)

kekuasaan di Indonesia sampai datangnya tentara Sekutu, dijawab dengan tindakan-tindakan merebut kedudukan militer Jepang yang telah bangkrut itu. Karena para pejuang kita, termasuk juga para wartawan kita, mengetahui kegunaan surat kabar sebagai alat pembangkit semangat dan jiwa kepahlawanan, maka untuk menandingi

Berita Gunseikanbu tersebut di atas, diterbitkan surat kabar Berita Indonesia di Jakarta, yang dapat dianggap sebagai pelopor dari Koran-koran Republik. Berita Indonesia ini terbit dengan jumlah 5000 lembar dan setiap hari rakyat berebut-rebut untuk membacanya. Demikianlah peranan pers kita di Jakarta pada saat-saat sesudah proklamasi Kemerdekaan diumumkan. Setelah kedudukan Jepang diganti oleh tentara Sekutu yang didalamnya ada kepentingan Belanda yang ingin menjajah kembali, bertambah pentinglah fungsi surat-surat kabar Republik yang berada di daerah-daerah pendudukan Sekutu/ Belanda, seperti antara lain di Jakarta, Medan, Bandung, Semarang, Surabaya, dan lain-lain tempat, karena selain membawa suara Republik, juga merupakan lawan dari Koran-koran yang diterbitkan oleh

Regeeringsvoorlichtingsdienst Belanda (Jawatan Penerangan Belanda).32 3. Pers Republik sebagai sarana ekspresi pendirian, sikap dan pandangan.

Peranan lain pers pada masa revolusi Indonesia adalah untuk mengekspresikan pendirian, sikap dan pandangan. Semangat yang meluap dari rakyat untuk meraih dan mempertahankan kemerdekaan, radikalisme sebagian besar pemuda untuk merebut senjata dari Jepang, dan pertempuran melawan tentara Sekutu yang diboncengi NICA-Belanda di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya, mejadi berita utama dan disorot dengan tajam oleh surat kabar pada waktu itu. Identifikasi pers sebagai pembawa suara dan aspirasi rakyat, nampak dari pemilihan nama penjaga kolom catatan pojok yang populer pada masing-masing surat kabar. Misalnya, “Mas Kloboth” atau “Dr. Clenic” (Merdeka), “Mas Semprot” atau “Semar” (Kedaulatan Rakjat), “Bang Djeboel” (Berita Indonesia), “Bang Bedjad” (Al-Djihad), “Fikiran Rakjat” (Warta Indonesia), “Podjok Kiri” (Genderang), “Soedoet Tikam” (Api Rakjat), dan sebagainya.33

Aneka karikatur, walaupun tidak banyak, untuk menyindir atau mendiskreditkan pihak lawan, terutama tentara Inggris dan Belanda disajikan dengan cara telanjang dan terus terang. Sedangkan slogan, motto, atau kata-kata mutiara untuk membangkitkan semangat rakyat, sebagai renungan, dan arah perjuangan, ditempatkan pada bagian

(14)

muka sudut kanan atau kiri suratkabar. Semuanya itu menunjukkan bahwa pers memiliki peranan yang tidak kecil sebagai “pengawal pendapat umum” selama revolusi Indonesia berlangsung.34 Perkembangan pers kita selama revolusi fisik di daerah-daerah adalah sejalan dengan perjuangan rakyat Indonesia yang sedang mempertahankan daerah-daerah Republik terhadap usaha-usaha kaum penjajah yang ingin dapat berkuasa kembali.35

Peranan Lima Surat Kabar di Jawa pada Masa Revolusi Indonesia, yaitu: a. Surat Kabar Merdeka di Jakarta

Surat kabar Merdeka pertama kali terbit pada tanggal 1 Oktober 1945. Kelahiran surat kabar ini sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari peran B.M. Diah dan kawan-kawannya, yang pada akhir bulan September 1945 mengambil alih kantor surat kabar Asia Raya dan menduduki gedung percetakan De Unie di Jalan Molenvliet No. 8 (sekarang Jalan Hayam Wuruk, Jakarta), tempat surat kabar milik Jepang itu diterbitkan.36 Terbit setiap hari dengan dua lembar atau bahkan satu lembar, dengan demikian hanya empat atau dua halaman, Merdeka

menyatakan dirinya sebagai pers yang berjiwa republik. Dalam edisi perdananya, sebagaimana nampak dalam tulisan “Permoelaan Kata”, Merdeka menyatakan akan mendukung pemerintah Republik Indonesia di satu sisi, dan membangkitkan semangat rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan RI di sisi lain.37

Sikapnya itu semakin dipertegas dengan menetapkan motto yang populer bagi

Merdeka, yaitu sebagai: “Soeara Rakjat Repoblik Indonesia”. Walaupun begitu bukan berarti surat kabar ini akan membeo saja kepada kemauan dan kepentingan politik pemerintah. Sebagaimana akan diperlihatkan nanti, Merdeka ternyata memiliki kebebasan yang besar dalam mengekspresikan visi, sikap, dan pendirian para redaktur persnya. Hal itu nampaknya sejalan dengan motto lain yang ditetapkan oleh surat kabar ini, yaitu: “Merdeka berfikir, merdeka berbitjara, dan merdeka menoelis itoe hanja ada pada ra’jat merdeka”.38

b. Surat Kabar Soeara Merdeka di Bandung

34 Andi Suwirta, Surat Kabar Soeara Merdeka, hlm. 2-3. 35 I. Taufik, Sejarah Pers Indonesia., hlm. 38.

36 JR. Chainago et al., Sejarah: Perjuangan Merdeka., hlm. 12, yang dikutip oleh Andi Suwirta, Pers,

Revolusi, dan Demokratisasi: Kehidupan dan Pandangan Lima Surat Kabar di Jawa pada Masa Revolusi Indonesia, 1945-1947, (Bandung: Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UPI, 2002), hlm. 5.

(15)

Surat kabar Soeara Merdeka terbit pada bulan September 1945. Surat kabar ini terbit di atas reruntuhan surat kabar Tjahaja milik Jepang. Dalam hal ini peran yang dimainkan oleh Boerhanoeddin Ananda dan Mohamad Koerdi dalam mengambil alih kantor surat kabar Tjahaja dan kemudian merubahnya menjadi

Soeara Merdeka menjadi penting, sebab kedua orang itulah yang kemudian menjadi Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksinya. Terbit setiap hari dengan 4 halaman, Soeara Merdeka pada mulanya beralamatkan di Jalan Groot Postweg-Oost 54-56 (sekarang Jalan Asia Afrika), Bandung. Namun ketika terjadi bencana banjir pada bulan Nopember 1945, akibat meluapnya sungai Cikapundung, dan desakan tentara Sekutu agar kota Bandung dikosongkan dari para pemuda yang berjiwa republiken, Soeara Merdeka pun pindah ke daerah pedalaman dan beralamatkan di Jalan Galunggung 46, Tasikmalaya. Baik ketika masih di Bandung maupun di Tasikmalaya, visi dan jati diri Soeara Merdeka sebagai pers yang ingin menyuarakan kemerdekaan rakyat Indonesia di satu sisi, dan membela kepentingan politik negara RI di sisi lain tetap tidak berubah.39

Sebagai pers Republik yang terbit di Bandung dan pada bulan Oktober 1945 tentara Sekutu (Inggris dan Belanda) sudah menduduki kota itu, Soeara Merdeka

sangat yakin dengan perlunya politik diplomasi dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia di satu sisi, dan perlunya masyarakat bertindak tenang, teratur, rasional, dan taat kepada pemerintah RI di sisi lain. Bahkan ketika berbagai pihak, termasuk pers, melibatkan diri dalam pro-kontra di sekitar Perundingan Linggarjati pada bulan Nopember 1946-Maret 1947, Soeara Merdeka termasuk pers yang tetap konsisten dengan visi dan artikulasinya bahwa persatuan dan kesatuan bangsa itu penting, serta perlunya berpikir dingin, tenang, dan rasional dalam mensikapi berbagai keadaan. Walaupun begitu bukan berarti surat kabar ini tidak punya daya kritis sama sekali. Sikap kritis Soeara Merdeka

yang disampaikan dengan cara-cara yang halus, sopan, ksatria, dan rasional itu tetap ada seperti nampak dalam catatan-catatan pojoknya. Bahkan kritik-kritik yang lebih canggih, dengan nada sinis dan sarkastis, disampaikan lewat sajian cerpen (cerita pendek) kontekstual yang sering ditulis oleh M.O. Koesman, dengan inisial M.O.Km., seorang penulis lepas bekas wartawan Sipatahoenan

pada zaman Belanda.40

(16)

c. Surat Kabar Warta Indonesia di Semarang

Kalau ada pers yang usianya sangat singkat pada masa revolusi, barangkali itulah yang terjadi dengan surat kabar Warta Indonesia di Semarang. Mulai terbit pada tanggal 29 September 1945, Warta Indonesia merupakan perwujudan baru dari surat kabar Sinar Baroe yang semula milik pemerintah pendudukan Jepang. Sejak awal berdirinya, surat kabar yang beralamatkan di Jalan Purwodinatan Tengah No. 22-24-26 Semarang itu sudah berjiwa republik dan bahkan sangat berpihak pada kepentingan politik pemerintah Republik Indonesia. Hal itu bisa dilihat dari tujuan diterbitkannya Warta Indonesia, yaitu: “[...] oentoek membantoe oesaha K.N.I. choesoesnja, serta segenap oesaha bangsa Indonesia oemoemnja, jang bersifat membangoen (constuctief) jang bermanfaat bagi langsoengnja Repoeblik Indonesia.”41 Dan ketika KNI (Komite Nasional Indonesia) menjadi parlemen sementara dan didominasi oleh orang-orang Sosialisnya Sutan Sjahrir, Warta Indonesia termasuk pers yang mendukung politik diplomasi pemerintah Syahrir.42

Namun ketika pertempuran antara pihak Sekutu dengan para pemuda Indonesia melanda Semarang dan kota-kota penting lainnya di Jawa pada bulan Oktober 1945, sikap Warta Indonesia mulai keras. Slogan-slogan bombastis dengan maksud untuk membangkitkan semangat perlawanan pemuda, menghiasi halaman-halaman pertama surat kabar ini seperti: “Sak Doemoek Batoek Sak Njatji Boemi, Wedjangan leloehoer jang pantas dipeloek oleh 70.000.000 ketoeroenannja”.43 Begitu juga ketika terjadi pertempuran 10 Nopember 1945 di Surabaya yang hebat itu, Warta Indonesia mengeluarkan “fatwa jihad” yang khusus ditulis oleh K.H. Moenawar Cholil, ulama terkenal di Semarang, yang menyatakan bahwa barang siapa yang mati mempertahankan kemerdekaan tanah airnya maka ia “termasoek mati sjahid djoega”.44

d. Surat Kabar Kedaulatan Rakjat di Yogyakarta

Jika Warta Indonesia di Semarang termasuk pers yang singkat usianya, maka Kedaulatan Rakjat di Yogyakarta termasuk pers yang panjang usianya. Terbit di

41 Warta Indonesia, (Semarang: 29 September 1945), hlm. 1, yang dikutip oleh Andi Suwirta, Pers Revolusi dan Demokratisasi., hlm. 16.

42 Andi Suwirta, Pers Revolusi dan Demokratisasi, hlm. 16.

43 Warta Indonesia, (Semarang: 29 Oktober 1945), hlm. 1, yang dikutip oleh Andi Suwirta, Pers Revolusi dan Demokratisasi., hlm. 16.

(17)

daerah pedalaman, Yogyakarta, yang juga menjadi ibukota negara RI sejak tahun 1946, Kedaulatan Rakjat seperti tidak terganggu oleh kehadiran tentara Sekutu yang mulai berdatangan dan menduduki kota-kota penting lainnya di Jawa. Setidaknya sampai bulan Desember 1948, ketika Belanda melakukan Agresi Militer II dengan menduduki kota Yogyakarta, Kedaulatan Rakjat terus terbit. Namun dalam usia penerbitannya yang panjang selama revolusi itu, surat kabar ini mengalami dinamika internal yang menarik untuk dicermati, terutama yang menyangkut perubahan visi dan jati dirinya dari pers yang sangat kritis dan vokal pada masa awal revolusi menjadi pers yang akomodatif dalam perkembangan selanjutnya.45

Pada masa awal revolusi, Kedaulatan Rakjat termasuk pers yang paling bersemangat dalam membela eksistensi kemerdekaan RI di satu sisi, serta menyerang pihak Belanda dan mereka yang mau menegasikan kemerdekaan Indonesia di sisi lain. Surat kabar ini juga termasuk yang menentang keras dan bersikap sangat kritis kepada pemerintah Sjahrir ketika akan melakukan politik diplomasi dengan pihak Belanda. Dalam pandangan Kedaulatan Rakjat, politik diplomasi itu bukan saja tidak epektif tetapi juga tidak jantan dan tidak berani bertempur di tengah-tengah gelombang revolusi yang hebat itu. Untuk menunjukkan ketidaksetujuannya pada politik diplomasi, Bramono, Pemimpin Umum Kedaulatan Rakjat, membuat sumpah bahwa dirinya akan berjuang ke medan pertempuran dan tidak akan kembali lagi ke meja redaksi sebelum revolusi Indonesia ini selesai. Pernyataan sumpah yang dilakukan Bramono pada masa revolusi itu memang bukanlah hal yang aneh. Para pemuda lain yang berjiwa revolusioner – apakah untuk main-main atau serius – sering juga berkata seperti: “Saya bersumpah tidak akan menikah, atau saya berjanji tidak akan pulang ke rumah, atau saya bersumpah tidak akan mencukur rambut saya, dan sebagaiya, sebelum perjuangan dalam revolusi ini selesai”.46

e. Surat Kabar Soeara Rakjat di Surabaya

Kisah surat kabar Soeara Rakjat di Surabaya barangkali bisa disejajarkan dengan Soeara Merdeka di Bandung. Sama-sama terbit di daerah pendudukan tentara Sekutu, yang menguasai kota Bandung dan Surabaya sejak bulan Oktober 1945, kedua surat kabar itu harus “hijrah” ke daerah pedalaman yang relatif lebih

(18)

aman. Kalau Soeara Merdeka, sebagaimana telah dijelaskan di muka, harus pindah dari Bandung ke Tasikmalaya; maka Soeara Rakjat harus pindah dari Surabaya ke Malang, Mojokerto, dan Kediri. Akhir perjalanan hidup kedua surat kabar itu juga sama. Ketika Belanda melakukan tindakan Agresi Militer I pada tanggal 21 Juli 1947 dan menduduki kota-kota penting di Jawa, termasuk kota tempat penerbitan Soeara Merdeka dan Soeara Rakjat, maka kedua surat kabar itu dibredel oleh Belanda dengan alasan yang sama pula: “menghasut dan menimbulkan permusuhan kepada Belanda”. Dalam tulisan ini akan dibahas

Soeara Rakjat yang pernah terbit di Surabaya dan di Malang saja, dengan alasan data-datanya cukup lengkap bila dibandingkan dengan Soeara Rakjat yang terbit di Mojokerto dan Kediri.47

Sebagaimana Soeara Merdeka di Bandung, Soeara Rakjat juga tergolong pers yang moderat. Betapapun berada di jantung daerah pertempuran yang dahsyat pada akhir bulan Oktober dan awal bulan Nopember 1945, Soeara Rakjat tetap berpandangan bahwa masyarakat hendaknya tetap tenang, bertindak rasional, penuh perhitungan, dan taat pada pimpinan nasional. Surat kabar ini, dengan demikian, jelas sangat mendukung langkah-langkah politik yang sedang ditempuh oleh pemerintah, yaitu politik diplomasi untuk mendapatkan pengakuan dari dunia internasional terhadap kemerdekaan Republik Indonesia.48 Catatan pojok yang ditulis “Beta” (nama samaran Abdoel Azis, Pemimpin Redaksi Soeara Rakjat), ketika menanggapi sebagian keinginan sebagian besar “arek-arek” Surabaya untuk bertindak tegas dan berperang melawan tentara Sekutu, misalnya, juga menunjukkan sikap surat kabar itu yang tenang dan rasional.49

Memang untuk menunjukkan betapa hebat perjuangan dan pengorbanan yang telah diberikan oleh “arek-arek” Surabaya itu, Soeara Rakjat juga memberikan pujian, penghormatan melalui slogan-slogan yang bombastis seperti: “Darah, darah, darah Indonesia telah mengalir di Soerabaja ... oentoek kemerdekaan Indonesia, oentoek Repoeblik jang berkedaulatan Rakjat !!!”.50 Namun kembali

47 Andi Suwirta, Pers Revolusi dan Demokratisasi, hlm. 27.

48 Soeara Rakjat (Surabaya) seperti: “Hatta lawan Van Mook” (23 Oktober 1945); dan “Haloean Politik Pemerintah” (3 Nopember 1945), yang dikutip oleh Andi Suwirta, Pers Revolusi dan Demokratisasi, hlm. 28-29.

49 Soeara Rakjat (Surabaya: 22 Oktober 1945), hlm. 2, yang dikutip oleh Andi Suwirta, Pers Revolusi dan Demokratisasi, hlm. 29.

(19)

lagi, betapapun suasananya tegang, cemas, kalut, dan kacau akibat pertempuran, surat kabar ini tetap memberikan bumbu-bumbu humor yang menggelitik dan segar. Melalui catatan-catatan pojoknya, “Beta” berhasil menggambarkan suasana revolusi secara hidup, terutama ketika menyinggung semangat tempur “arek-arek” Surabaya yang hebat itu. “... Wah hebat. Saking hebatnja, orangnja masih digaris belakang, semangatnja soedah mentjolot lari ke garis depan, hingga jang bertempoer kelihatan hanja semangat melawan miteralioer.”51 Begitu juga ketika kelompok oposisi pada awal tahun 1946 mendesak pemerintah Sjahrir untuk merubah haluan politiknya dari “beroending” menjadi “bertempoer”, Soeara Rakjat termasuk pers yang mengajak para pembacanya untuk bersikap tenang, rasional, dan penuh perhitungan.52

E. Proses Terjadinya Penyalahgunaan Pers pada Masa Revolusi Indonesia

Sebenarnya dalam periode revolusi fisik inilah, mulai timbul gejala-gejala, bahwa pers kita sedang beralih ke cara-cara yang biasanya ditempuh oleh pers dalam alam demokrasi liberal. Hal ini adalah wajar, karena ketika pemerintah mengeluarkan maklumat yang terkenal dengan maklumat pemerintah bulan Nopember 1945, maka tumbuhlah laksana cendawan di musim hujan partai-partai politik, yang dengan sendirinya berusaha mempengaruhi pers atau berusaha memiliki surat-surat kabar yang dapat menjadi alat partai-partai tersebut.53

Timbulnya partai-partai politik di masa revolusi fisik adalah laksana cendawan di musim hujan dan dengan sendirinya karena banyaknya partai-partai politik ini timbul pula banyak pertentangan-pertentangan, terutama dalam bidang politik mengenai kebijaksanaan yang diambil oleh pemerintah. Pertentangan-pertentangan politik ini jelas tergambar dalam surat-surat kabar yang dikendalikan oleh partai-partai yang saling bertentangan. Di Surakarta misalnya, Lasjkar yang non partai disapu habis oleh harian-harian yang dikendalikan oleh partai-partai yang menentang pendapat atau politik yang dikemukakan oleh harian Lasjkar, seperti antara lain harian-harian Pacific, Murba dan Guntur dari golongan partai Gerakan Revolusi Rakyat yang juga merupakan lawan harian-harian sayap kiri yaitu Bekerja dan Bangun. Di Yogyakarta, pusat pemerintahan Republik Indonesia, selain harian-harian Nasional dan Kedaulatan Rakyat yang telah terbit sejak tahun 1946,

51 Soeara Rakjat (Surabaya: 6 Oktober 1945), hlm. 2, yang dikutip oleh Andi Suwirta, Pers Revolusi dan

Demokratisasi., hlm. 29-30.

52 Soeara Rakjat (Malang: 24 April 1946), hlm. 2, yang dikutip oleh Andi Suwirta, Pers Revolusi dan Demokratisasi., hlm. 30.

(20)

menjelang tahun 1948, terbit harian-harian Massa dari Tan Malaka dan Suara Ibukota dari golongan Sayap Kiri, di samping harian Suara Ummat dari Masyumi, yang saling bertentangan pula.54

Sengaja diambil kota Solo dan Yogyakarta, karena justru di kedua kota dan sekitarnya inilah pertentangan-pertentangan antara partai-partai dan persnya nampak jelas sekali. Malahan pertentangan-pertentangan ini akhirnya sampai menimbulkan peristiwa Madiun yang menyedihkan itu. Pertentangan politik yang menghebat di kedua tempat tersebut di atas dan sekitarnya, dengan jelas dapat kita saksikan pada isi sebagian besar pers Indonesia, yang jika pada mulanya mejadi penggerak dan motor revolusi, tetapi kemudian menjadi pula pelopor dalam pertentangan-pertentangan antara partai-partai. Malahan pertentangan antara pers di masa ini bukan saja terbatas dalam tulisan-tulisan saja, tetapi sampai kepada mengadu kekuatan fisik dengan daulat mendaulat percetakan. Sebagai contoh dapat dikemukakan peristiwa perebutan percetakan antara harian Murba dan

Bekerja yang masing-masing menggunakan pasukan-pasukan bersenjata dalam bulan Maret 1948.55

Gejala lain dalam pers kita di masa revolusi fisik ini, ialah menonjolnya ke muka penyalahgunaan “kemerdekaan pers”, sehingga istilah-istilah yang digunakan, yang sebenarnya kurang pantas dan sopan, menjadi hal yang biasa digunakan sehari-hari. Dengan sendirinya pertentangan-pertentangan politik antara partai-partai yang menajam, mendapat salurannya melalui pers. Dalam usaha mencemarkan atau menjatuhkan lawan-lawan politiknya, tidak jarang dimuat oleh harian-harian, dokumen-dokumen yang membuktikan maksud suatu golongan untuk menjatuhkan pemerintah, dan dengan sendiri dibalas pula oleh golongan yang diserang, dengan tangkisan-tangkisan yang dimuat dalam pers yang mereka miliki atau pengaruhi, tentang kepalsuan dokumen-dokumen yang dimuat oleh lawan mereka.56

(21)

BAB III SIMPULAN

(22)

timbulnya pergolakan-pergolakan sosial, yang dalam beberapa kasus di daerah-daerah di Indonesia merupakan suatu revolusi sosial. Perubahan yang fundamental ini tampak pada perubahan struktur sosial dan politik, dan struktur kolonial dan feodal ke struktur masyarakat yang bercorak republik.

Periode revolusi fisik terjadi antara tahun 1945 sampai 1949. Masa itu adalah masa bangsa Indonesia berjuang mempertahankan kemerdekaan yang berhasil diraihnya pada tanggal 17 Agustus 1945. Belanda ingin kembali menduduki Indonesia sehingga terjadilah perang mempertahankan kemerdekaan. Pada saat itu, pers terbagi menjadi dua golongan, yaitu:

1. Pers yang diterbitkan dan diusahakan oleh tentara pendudukan Sekutu dan Belanda yang selanjutnya dinamakan Pers Nica (Belanda).

2. Pers yang diterbitkan dan diusahakan oleh orang Indonesia yang disebut Pers Republik.

Aspirasi perjuangan wartawan dan pers Indonesia memperoleh wadah dan wahana yang berlingkup nasional pada tanggal 9 Februari 1946 dengan terbentuknya organisasi

Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Di zaman revolusi fisik, lebih terasa lagi betapa pentingnya peranan dan eksistensi pers sebagai alat perjuangan, sehingga kemudian berkumpullah di Yogyakarta pada tanggal 8 Juni 1946 tokoh surat kabar, tokoh-tokoh pers nasional, untuk mengikrarkan berdirinya Serikat Penerbit Suratkabar (SPS).

Adapun peranan-peranan pers pada masa Revolusi Indonesia, yaitu: 1. Pers Republik sebagai Pers Perjuangan,

2. Pers Republik berusaha menandingi Pers Belanda, dan

3. Pers Republik sebagai sarana ekspresi pendirian, sikap dan pandangan.

(23)

DAFTAR PUSTAKA

Caniago, JR et al. 1987. Ditugaskan Sejarah: Perjuangan Merdeka, 1945-1985. Jakarta: Pustaka Merdeka.

Dunn, John. 1972. Modern Revolutions An Introduction to the A nalysis of Political Phenomenon. London: Gambridge University Press.

Gunawan, Hassan. “Pengertian dan Sejarah Pers” dalam

http://hasangunawan23-pers.blogspot.co.id/2011/11/pengertian-dan-sejarah-pers.html. Di akses pada tanggal 20 September 2015, pukul 16.02 WIB.

Hasan, “Perkembangan Pers pada Masa Revolusi Fisik Indonesia” dalam

http://kulpulan-materi.blogspot.co.id/2012/02/perkembangan-pers-pada-masa-revolusi.html. Di

akses pada tanggal 20 September 2015, pukul 14.35 WIB.

(24)

Kusnadi. “Periode Revolusi Fisik Kemerdekaan” dalam http://www.google.com/url? sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=15&cad=rja&uact=8&ved=0CC8QFjAE OApqFQoTCO7a1O6AhcgCFc3UjgodoTsJRw&url=http%3A%2F

%2Farchive.ivaaonline.org%2Ffiles%2Fuploads%2Ftexts%2F93101%2520periode %2520revolusi%2520fisik

%2520kemerdekaan.pdf&usg=AFQjCNFfXD_2k7t2OoLH9KYh7YrAitEWnQ&sig

2=Bq6G0kcA2peVgPT7BEY70w&bvm=bv.103073922,d.c2E. Di akses pada

tanggal 19 September 2015, pukul 14.02 WIB.

Lubis, Mochtar. 1992. Jalan Tak Ada Ujung. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Said, Tribuana. “Sekilah Sejarah Pers Nasional” dalam http://pwi.or.id/index.php/sejarah/ 770-sekilas-sejarah-pers-nasional. Di akses pada tanggal 20 September 2015, pukul 16.25 WIB.

Santoso, Wartini. 1984. Katalog Surat Kabar Koleksi Perpustakaan Nasional 1810-1984.

Jakarta: Perpustakaan Nasional-Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Soeara Rakjat (Surabaya) seperti: “Hatta lawan Van Mook”. 23 Oktober 1945); dan “Haloean Politik Pemerintah”. 3 Nopember 1945.

____________. Malang: 24 April 1946.

____________. Surabaya: 22 Oktober 1945.

____________. Surabaya: 4 Oktober 1945.

____________. Surabaya: 6 Oktober 1945.

Suwirta, Andi. 2002. Pers, Revolusi, dan Demokratisasi: Kehidupan dan Pandangan

Lima Surat Kabar di Jawa pada Masa Revolusi Indonesia, 1945-1947. Bandung:

Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UPI.

___________. 2005. Dari Bandung ke Tasikmalaya: Surat Kabar Soeara Merdeka pada Masa Revolusi Indonesia 1945-1947. Makalah pada Seminar Nasional 60 Tahun Indonesia Merdeka dalam Lintasan Sejarah di Aula Barat ITB, pada tanggal 12-14 Agustus 2005. Bandung: Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UPI.

Suyatno. 1989. Revolusi Nasional di Tingkat Lokal. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Taufik, I. 1977. Sejarah dan Perkembangan Pers di Indonesia. Jakarta: PT TRIYINCO.

Warta Indonesia. Semarang: 10 Nopember 1945.

_____________. Semarang: 29 Oktober 1945.

(25)

Referensi

Dokumen terkait

mengetahui melalui arsip. Pengambilan arsip dari tempat penyimpanannya disebut peminjaman arsip.Peminjaman arsip dinamis aktif di Kantor Perpustakaan Arsip dan

Sebagai koran cetak lokal yang mengedepankan inovasi, perubahan teknologi tidak berdampak secara signifikan karena SDM yang ada sudah dipersiapkan untuk mengikuti

Kwarteng, leading the training explained that a previous study conducted at Anlo beach in the early part of the project year 2 on the topic “Energy Expenditure Budget for the

Sampel jaringan tubuh dari delapan jenis burung lokal yaitu ayam kampung, bondol jawa, bondol peking, cucak kutilang, merbah cerukcuk, manyar jambul, dederuk jawa dan itik di

Uji coba ini dilakukan untuk memastikan semua konfigurasi sudah berjalan dengan baik dan melakukan perbandingan pengujian performa jaringan sebelum dan sesudah

Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2012 ini ialah pemuliaan mutasi, dengan judul Induksi Mutasi Iradiasi Sinar Gamma untuk Pengembangan

Tubuh di bungkus oleh kulit yang seolah-olah tidak melekat pada otot daging. Dari kulit akan muncul bulu, yang merupakan hasil pertumbuhan epidermis menjadi bentuk

Sebagai ilustrasinya ada contoh buat anda : ada sebuah maskapai yang mempunyai aturan demikian ini “Pembukuan yang sudah pasti apabila dibatalkan atau dirubah akan dikenakan