• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III HARMONISASI KEBIJAKAN PERSAINGAN USAHA DI ASEAN DALAM MENGHADAPI ASEAN Economic Community 3.1 Harmonisasi Hukum di European Union - HARMONISASI HUKUM PERSAINGAN USAHA DALAM MENGHADAPI ASEAN ECONOMIC COMMUNITY (AEC) Repository - UNAIR REPOSITORY

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB III HARMONISASI KEBIJAKAN PERSAINGAN USAHA DI ASEAN DALAM MENGHADAPI ASEAN Economic Community 3.1 Harmonisasi Hukum di European Union - HARMONISASI HUKUM PERSAINGAN USAHA DALAM MENGHADAPI ASEAN ECONOMIC COMMUNITY (AEC) Repository - UNAIR REPOSITORY"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

HARMONISASI KEBIJAKAN PERSAINGAN USAHA DI ASEAN

DALAM MENGHADAPI ASEAN Economic Community

3.1 Harmonisasi Hukum di European Union

Perdebatan tentang ASEAN dan European Union (EU) dalam konteks regionalisme telah banyak dibahas dalam berbagai literatur dan diskusi intensif antar universitas. Terlebih lagi, rencana ASEAN untuk segera mewujudkan masyarakat Asia Tenggara di tahun 2015 telah menuai banyak pendapat, baik itu yang bersifat sambutan positif konstruktif atau bahkan sindiran negatif. Ada banyak hal yang kemudian muncul berkaitan dengan kelembagaan ASEAN dan tujuan idealisnya di tahun 2015, apalagi bila disandingkan dengan apa yang telah dicapai oleh EU sebagai institusi pembanding.106

Salah satu hal yang muncul adalah sebuah upaya duplikasi kelembagaan yang mengartikan bahwa sudah seharusnyalah ASEAN meniru apa yang telah dilakukan oleh EU sampai bisa menjadi institusi solid seperti saat ini. Namun, persoalan duplikasi ternyata tidaklah semudah yang dicita-citakan. Sejarah dan aspek ideologi adalah dua diantara banyak hal yang sangat membedakan antara EU dan ASEAN. Ditambah lagi, letak geografi politik dan keragaman budaya yang sangat jauh berbeda. EU dikenal lebih homogen dalam budaya sedangkan

106

(2)

ASEAN terdiri dari multi ras dan etnis walaupun dikatakan bahwa nenek moyang bangsa Asia Tenggara adalah berasal dari satu tempat yang sama.107

EU adalah salah satu contoh organisasi internasional yang unik. Hal ini disebabkan karena EU tidak hanya sebagai organisasi kerjasama antar pemerintah, tetapi juga seperti suatu negara karena memiliki institusi-institusi yang sifatnya cenderung supranasional108.

Terdapat beberapa perjanjian internasional yang membentuk EU. EU sebelumnya terbentuk dari komunitas-komunitas Eropa yang pada awalnya bertujuan untuk kepentingan industri dan ekonomi. Komunitas pertama yang mengawali terbentuknya EU adalah European Coal and Steel Community

(ECSC). Dibentuknya ECSC bertujuan untuk menciptakan pasar bersama (common market) di industri batu bara dan baja. ECSC terbentuk melalui Treaty of Paris pada tahun 1951. Treaty of Paris berlaku pada tanggal 23 Juli 1952 dan berakhir setelah berjalan 50 tahun.109Treaty of Paris hanya ditandatangani oleh enam negara yaitu Belanda, Belgia, Luxemburg, Italia, Perancis dan Jerman. Dengan dibentuknya ECSC ternyata belum cukup untuk mewujudkan integrasi Eropa. Mengandalkan keberhasilan dari Treaty of Steel and Coal, enam negara memperluas kerjasama dengan sektor ekonomi lainnya. Mereka menandatangani

Treaty of Rome pada tanggal 25 Maret 1957, menciptakan Masyarakat Ekonomi Eropa (European Economic Community), atau common market. Idenya adalah

107

Ibid 108

(3)

untuk masyarakat Eropa, barang dan jasa dapat bebas bergerak melintasi perbatasan.110

Proses unifikasi Eropa kemudian berlanjut hingga muncul pemikiran untuk membentuk EU. Oleh karena itu, dibentuklah Treaty of Maastricht pada tanggal 7 Februari 1992 dan baru mulai berlaku pada 1 November 1993.111Treaty of Maastricht merupakan langkah awal bagi pembentukan EU. Perjanjian tersebut sekaligus menetapkan berdirinya EU, walaupun masih ada kekurangan di dalamnya. Untuk melengkapi kekurangan tersebut, dibentuklah Treaty of Amsterdam dan Treaty of Nice yang mulai berlaku pada 1 Mei 1999 dan 1 Februari 2003. Kedua perjanjian tersebut mengubah beberapa aturan dalam Treaty of Maastricht yang tujuannya untuk menjamin kapasitas EU dalam bertindak dengan adanya penambahan negara anggota. Oleh karena itu, perubahan yang terdapat dalam kedua perjanjian tersebut fokus kepada perubahan aturan-aturan mengenai institusional EU.112

Meskipun telah diubah beberapa kali melalu beberapa perjanjian, nampaknya negara anggota EU belum puas dengan anggaran dasar yang telah ada. Hal ini juga disebabkan karena masih adanya komunitas-komunitas awal pembentuk EU dan EU sendiri sebagai sebuah organisasi.113 Perubahan tersebut

110“A peaceful Europe – the beginnings of cooperation”,

http://europa.eu/about-eu/eu-history/1945- 1959/index_en.htm diakses pada 5 Desember 2014

111

EU Treaties, http://europa.eu/eu-law/decision-making/treaties/index_en.htm diakses pada 5 Desember 2014

112

Walter Cairns, Introduction to European Union Law, (London: Cavendish Publishing, 2002), h.22

113

(4)

kemudian dituangkan ke dalam sebuah reform treaty yang bertujuan untuk menjadikan semua instrumen EU yang telah dibuat sebelumnya disatukan ke dalam satu instrumen saja. Reform treaty atau yang lebih dikenal dengan Treaty of Lisbon menciptakan perubahan-perubahan yang mendasar dari EU yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas EU dalam bertindak baik dalam lingkup EU maupun dalam lingkup internasional dan meningkatkan legitimasi demokrasi EU.114

EU berdasarkan anggaran dasarnya memiliki organ-organ yang kedudukannya terpisah dari negara-negara anggota dan memiliki fungsi masing-masing. Adapun organ-organ yang dimiliki EU yaitu:

a. European Parliament

European Parliament(Parlemen Eropa) adalah parlemen yang terdiri dari orang-orang yang merupakan perwakilan dari masyarakat EU. Pada awalnya, Parlemen Eropa adalah gabungan dari ECSC Joint Assembly, EEC Assembly dan Euratom Assembly. Gabungan dari tiga majelis dalam Komunitas Eropa tersebut kemdian berganti nama menjadi Parlemen Eropa pada saat dibentuknya Treaty of European Union (TEU) pada tahun 1993.115

b. European Council

European Council (Dewan Eropa) terdiri dari Kepala Negara atau Kepala Pemerintahan dari negara-negara anggota EU dan Presiden Komisi Eropa.

114

Klaus-Dieter Borchardt, The ABC of European Union Law, (Luxemburg: Publication Office of the European Union, 2010), h.14

115

(5)

Presidensi Dewan dibagi oleh negara-negara anggota secara bergiliran.116 Dewan Eropa baru menjadi institusi EU melalui Single European Act dan TEU.117

c. The Council

The Council (Dewan) terdiri dari menteri-menteri perwakilan dari negara-negara anggota EU. Tugas utama Dewan adalah bersama Parlemen Eropa membentuk produk legislasi EU yaitu legislation, directive,dan decision.118

d. European Commission

European Commission merupakan institusi yang tidak berhubungan negara anggota EU. Komisi Eropa bekerja atas nama EU secara keseluruhan.119 Jika dibandingkan dengan kewenangan yang ada dalam suatu negara, Komisi Eropa merupakan lembaga eksekutif.

e. The Court of Justice of the European Union

The Court of Justice of the European Union (Mahkamah Eropa) merupakan lembaga yudikatif EU. Terdapat tiga tingkatan peradilan di Ui Eropa yaitu Mahkamah Eropa, Pengadilan Umum dan Pengadilan Khusus.120

116EU Institutions and Other Bodies

,http://europa.eu/about-eu/institutions-bodies/index_en.htm diakses pada 5 Desember 2014

117

Walter Cairns, Introduction to European Union Law, (London: Cavendish Publishing, 2002), hal.27

118

Bordchart, Op.Cit, h.57

119

Nigel Foster, EU Law: Directions, Oxford: Oxford University Press, 2008, h.43

(6)

Organisasi regional dalam beberapa tahun belakangan ini sudah tersebar di banyak tersebar di kawasan di dunia. Organisasi-organisasi regional tersebut juga telah berpartisipasi aktif dalam pembuatan hukum internasional dan mengubah politik antara negara yang selama ini sudah dilakukan.121 Organisasi regional merupakan salah satu bentuk upaya integrasi regional. Akibat dari adanya upaya integrasi regional yang dilembagakan dalam organisasi internasional adalah pembentukan aturan-aturan yang ditujukan untuk regional tersebut.122

Salah satu organisasi regional yang paling pesat perkembangannya adalah EU –sebuah model untuk integrasi yang terkodifikasi dan memiliki kelembagaan– menjadi suatu Union (Persatuan) dari 28 negara anggota pada 2007.123EU merupakan organisasi regional yang paling pesat perkembangannya karena organisasi ini memiliki institusi yang supranasional dan sistem hukumnya sendiri. Karena kemajuan yang dimiliki oleh EU inilah, organisasi-organiasi regional lainnya cenderung mengikuti konsep yang dimiliki EU. Salah satu organisasi regional yang cenderung mengikuti konsep EU ini yaitu ASEAN.

ASEAN adalah sebuah organisasi regional yang beranggotakan negara-negara yang terletak di kawasan Asia Tenggara. ASEAN didirikan berdasarkan Deklarasi Bangkok pada tanggal 8 Agustus 1967 oleh 5 (lima) negara, yaitu:

121

Kenneth W.Abbott et al., “The Concept of Legalization”, dalam Beth Simmons dan Richard Steinberg (eds.) International Law and International Relations, (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), h.129

122

Fanny Alda Putri,Op.Cit., h.34

(7)

Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand.124 Pembentukan ASEAN ini pada awalnya tidak dituangkan dalam suatu perjanjian internasional yang mengikat dan hanya didasari kesadaran para pendiri untuk membentuk kerjasama regional. Tidak adanya instrumen yang formal ini membuat sulit untuk menentukan kapasitas hukum (legal personality) dari ASEAN. Atas dasar inilah kemudian para negara anggota ASEAN meneruskan komitmen yang dituangkan dalam Deklarasi Bangkok ke dalam suatu deklarasi dan perjanjian internasional, yakni Zone of Peace, Freedom, and Neutrality Declaration (ZOPFAN) pada tahun 1971 dan the ASEAN Free Trade Area (AFTA) pada tahun 1992.125 Walaupun sudah terbentuk perjanjian internasional tersebut, ASEAN tetap berjalan tanpa adanya suatu pemerintahan regional atau sistem pengadilan dapat memaksa negara-negara anggota untuk memenuhi kewajibannya dalam perjanjian internasional tersebut.

Perkembangan yang terjadi di dalam ASEAN saat ini adalah ditandatanganinya Piagam ASEAN126 pada bulan November 2007 yang mengindikasikan komitmen negara-negara ASEAN untuk memperkuat kerjasama regional melalui pembentukan Masyarakat ASEAN (ASEAN Community) yang

124

Subianta Mandala, Penguatan Kerangka Hukum ASEAN Untuk Mewujudkan Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015, Jurnal Rechtsvinding Vol.3 Nomor 2, Agustus 2014, h.184

125

Direktorat Kerjasama ASEAN Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, ASEAN: Selayang Pandang, ed.ke-10. (Jakarta: Sekretariat Direktorat Kerjasama ASEAN, 2010) h.3

126

(8)

lebih terintegrasi yang diharapkan terwujud pada tahun 2015.127 Dalam ASEAN

Charter sudah terdapat ketentuan mengenai struktur dari ASEAN, hak dan kewajiban negara anggota, cara penyelesaian sengketa di ASEAN. Dengan adanya ASEAN Charter maka ASEAN telah memiliki personalitas hukum sebagai organisasi internasional yang juga merupakan subjek hukum internasional.128

Salah satu perbedaan hakiki, antara ASEAN dan Eropa Barat, dan karena itu dapat diperkirakan proses di kedua kawasan itu akan berbeda, adalah motivasi bagi integrasi ekonomi regional itu. Proses di Eropa Barat dilatarbelakangi oleh dorongan internal (kawasan) yang kuat, artinya dorongan dari dalam sendiri. Karena bencana luar biasa dua perang dunia dalam kurun waktu hanya dua generasi maka lahir keinginan untuk menghindarkannya at all cost, yaitu dengan menggagas suatu kesatuan politik (political union). Cetak birunya adalah suatu

United States of Europe yang diupayakan secara bertahap melalui kerjasama ekonomi terlebih dahulu.129

Sebaliknya negara-negara ASEAN menggagas AFTA sebagai jawaban atas tantangan eksternal, yaitu perkembangan ekonomi dunia. AFTA adalah jawaban terhadap globalisasi dan regionalisasi sekaligus. Menghadapi tantangan itu negara-negara ASEAN memutuskan untuk menjawab secara bersama karena dengan demikian kemungkinan (chances) yang mereka miliki untuk bisa survive

dan bahkan mengambil keuntungan dari perkembangan global itu akan jauh lebih

127

Subianta Mandala, Op.Cit,h.185

128Pasal 3 ASEAN Charter berbunyi,”ASEAN, as an intergovernmental organization, is hereby conferred legal personality”.

129

(9)

besar daripada bila masing-masing bertindak sendiri. Dengan demikian maka diupayakan agar ASEAN menjadi satu kekuatan ekonomi.130

Tetapi ASEAN tidak bersedia untuk “go all out” dan mengarah pada

pembentukan suatu uni ekonomi. Salah satu sebabnya, dan ini pula yang membedakannya dengan Eropa Barat, adalah adanya perbedaan tingkat perkembangan ekonomi yang cukup besar di antara negara-negara ASEAN. Pendapatan per kepala di Singapura barangkali 50 kali pendapatan per kepala di Laos. Pendapatan per kepala di Jerman paling tinggi hanya 4 kali pendapatan per kepala di Portugal.131

Tidak seperti di Asia, integrasi EU didampingi oleh proses pelembagaan. Memang, pelembagaan dan pembangunan lembaga tidak dianggap bermanfaat dalam konteks Asia. Ada kekhawatiran bahwa lembaga akan mewajibkan pemerintah untuk menyerah kedaulatan di bidang kebijakan utama. Dari perspektif Asia, integrasi regional tidak harus didukung oleh lembaga yang memaksakan aturan dan norma-norma yang mengikat secara hukum pada anggota mereka.132

Kurangnya gaya-EU dalam integrasi politik dan ekonomi yang terlembaga adalah belum tentu kelemahan melainkan kekuatan untuk negara-negara Asia

130

Hadi Soesastro, Kebijakan Persaingan, Daya Saing, Liberalisasi, Globalisasi, Regionalisasi dan Semua Itu, CSIS Working Paper Series, Maret 2004, h.19-20

131Ibid

h.20

132

(10)

seperti itu untuk terus melakukan proses integrasi secara "fleksibel" dan mempertahankan statusnya secara hukum tidak mengikat.133

Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) yang didirikan pada tahun 1967 sebagai inisiatif untuk mengkoordinasikan kebijakan ekonomi dan luar negeriantara negara-negara Asia Tenggara, merupakan lembaga regional tanpa instrumen dan kemampuan untuk menerapkan kebijakan secara hukum mengikat. Berbeda dengan EU, ASEAN bertindak sesuai dengan prinsip non intervensi dalam urusan internal negara-negara anggotanya. Prinsip ini, dirumuskan dalam Piagam ASEAN, memang prinsip utama ASEAN, secara signifikan membatasi pengaruh asosiasi pada pembuatan kebijakan negara anggota. EU dan birokrasi yang sangat dirasionalisasi, di sisi lain, telah dilengkapi dengan baik untuk menangani hukum publik dan lembaga formal.134

Lahirnya Piagam ASEAN telah merubah ASEAN dari suatu asosiasi yang longgar menjadi suatu organisasi yang berdasarkan hukum (rules-based) dan berorientasi kepada kepentingan rakyat (people oriented). Pada tahun awal didirikannya, ASEAN tidak pernah dimaksudkan sebagai sebuah organisasi formal yang operasionalnya terikat dengan ketentuan-ketentuan hukum dan tidak dipandang dalam bingkai aturan dalam konteks kewajiban-kewajiban hukum atau norma yang harus ditaati oleh anggotanya. ASEAN tidak terbiasa berbicara mengenai hak dan kewajiban, karena ASEAN tidak pernah dikaitkan dengan

133Ibid

134

(11)

hukum internasional dan perjanjian-perjanjian internasional.135 ASEAN selalu dipandang sebagai sebuah kelompok yang terdiri dari negara yang berdaulat yang bekerja berdasarkan prosedur informal dan konsensus yang bersifat ad-hoc dan tidak dalam bingkai aturan-aturan hukum yang mengikat.136

Perubahan dalam pengambilan keputusan di ASEAN yang dulunya didasarkan pada konsensus atau musyawarah semata menjadi atas dasar aturan hukum terlihat secara menonjol dalam kerjasama di bidang ekonomi dan perdagangan. Pengaturan kerjasama ekonomi yang didasarkan pada kerangka hukum yang mengikat akan semakin berkembang di masa mendatang dengan semakin terintegrasinya ASEAN sebagai sebuah komunitas tunggal, terutama menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN.137

Berbeda dengan konsep negara Barat (EU) yang lebih mengedepankan legalistik formal dalam proses pengambilan keputusan dan menentukan hak dan kewajiban masing-masing pihak, maka ASEAN menggunakan pendekatan dengan cara musyawarah untuk mencapai mufakat. Pendekatan yang bersifat informal dan

soft inilah yang dikenal sebagai “The ASEAN Way”.138

135

Perjanjian yang bersifat mengikat (legally binding treaty) pertama yang dibuat oleh ASEAN adalah pada saat ASEAN Summit I di Bali pada tahun 1976, sembilan tahun setalah lahirnya ASEAN, yaitu the Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia

136

Subianta Mandala, Op.Cit., h.188

137Paul J. Davidson, “The ASEAN Way and the Role of Law in ASEAN Economic Cooperation”,

Singapore Year Book of International Law, 2004.h.165

138

(12)

ASEAN Way dapat dikatakan sebagai cara-cara ASEAN dalam menanggapi dan menanggulangi permasalahan yang ada. Secara sederhana ASEAN Way juga merupakan suatu pembentukan suatu identitas bagi negara-negara Asia Tenggara di tengah maraknya dominasi negara-negara-negara-negara Barat yang maju. Selain itu, mekanisme yang digunakan adalah pendekatan secara informal. Pendekatan informal ini dimaksudkan agar mencairkan ketegangan yang umumnya terjadi pada pihak-pihak yang berselisih. Dengan memanfaatkan nilai positif dari mekanisme ini, maka penyelesaian konflik dengan cara-cara yang damai dapat dicapai.139

Lingkungan sosial-ekonomi dan politik struktur antara anggota ASEAN sebagian besar berbeda dari anggota EU. Namun demikian, UU Persaingan EU telah efektif diberlakukan sejak berdirinya Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) pada tahun 1957. Karena pengalaman EU dalam penegakan hukum persaingan regional, prosedur penegakannya harus ditinjau dalam konteks ASEAN untuk menentukan pendekatan seperti apakah yang tepat untuk ASEAN.140

EU memiliki hukum yang keberlakuannya mengikat negara-negara yang tunduk padanya. Hukum yang berlaku tersebut memiliki kekuatan di atas hukum nasional mereka.

EU telah mulai mengembangkan hukum persaingan yang diawali dengan Pasal 85 dari Perjanjian Roma dan terus merevisi dan memperluas hukum

139

Subianta Mandala, Op.Cit., h.189-190

140

Phanomkwan Devahastin Na Ayudhaya, ASEAN HARMONIZATION OF

(13)

persaingan EU, yang terbaru dari Pasal 101 dengan Pasal 105 dari Treaty on the Functioning of the European Union (TFEU).141 Anggota EU harus mengikuti TFEU, dan karena itu mereka harus merevisi/mengadopsi hukum nasional atau kebijakannya sendiri secara paralel untuk itu.142

3.1.2 Prinsip-prinsip dalam European Union

Hubungan antara hukum regional EU dengan hukum nasional negara anggota tidak pernah diatur secara spesifik dan eksplisit dalam perjanjian EU. Hubungan antara kedua sistem hukum yang dimaksud dalam arti apakah hukum regional EU dan hukum nasional negara anggota ada dalam satu sistem hukum atau tidak, dan bagaimana hubungannya secara hierarki antara kedua sistem hukum. Tidak ada satu pasal dalam perjanjian pembentuk EU yang mengatakan bahwa apabila terjadi benturan antara hukum regional EU dengan hukum nasional negara anggota yang mengatur hal yang sama, hukum mana yang harus didahulukan daripada yang lain.143

EU hanya mengatur bahwa hendaknya ada kerjasama antara hukum nasional negara anggota dengan hukum regional EU. Hal ini sebagaimana yang

141

Perjanjian tentang Fungsi dari EU(The Treaty on the Functioning of the European

Union/TFEU) mulai berlaku pada tanggal 1 Desember 2009 menyusul ratifikasi Treaty of Lisbon, yang membuat amandemen the Treaty on European Union dan the Treaty establishing the European Community (TEC). The TFEU adalah versi yang telah diperbaharui dan berganti nama dari TEC. TFEU termasuk perangkat tambahan untuk dimensi sosial dari EU.

142

Phanomkwan Devahastin Na Ayudhaya, ASEAN HARMONIZATION OF INTERNATIONAL COMPETITION LAW: WHAT IS THE MOST EFFICIENT OPTION? , Proceeding - Kuala Lumpur International Business, Economics and Law Conference. April 8 - 9, 2013, h.4

143

(14)

terdapat dalam Pasal 4 ayat (3) TEU.144 Kerjasama ini diperlukan karena pada dasarnya hukum regional EU ada karena adanya kehendak dari negara-negara anggota itu sendiri.

Hubungan kerjasama atau yang biasa disebut dengan sincere cooperation

antara hukum regional EU dengan hukum nasional negara anggota ini dapat tidak berjalan dengan sebagaimana mestinya apabila terjadi konflik antara hukum regional EU dengan hukum nasional negara anggota. Dalam hal terjadi konflik harus ada seperangkat aturan yang menunjukkan norma hukum apa yang berlaku atas yang lainnya.

Oleh karena itu, untuk mengatasi konflik yang terjadi antara hukum regional EU dengan hukum nasional negara anggota, terdapat prinsip-prinsip dasar dalam hukum regional EU yang mengikat negara anggota EU untuk mendahulukan hukum regional EU. Adapun prinsip-prinsip tersebut yaitu :

a. Prinsip Direct Effect dalam Hukum Regional European Union

Prinsip direct efffect yang dimaksud disini adalah bahwa hukum regional EU memberikan hak dan kewajiban secara langsung tidak hanya kepada institusi-institusi EU dan negara-negara anggota EU, tetapi juga kepada masyarakat EU. Definisi ini terdapat dalam putusan-putusan Mahkamah Eropa.145

144Pasal 4 ayat (3) TEU berbunyi: ”

Pursuant to the principle of sincere cooperation, the Union and the Member States shall, in full mutual respect, assist each other in carrying out tasks which flow from the Treaties.The Member States shall take any approriate measure, general or particular, to ensure fulfillment of the obligations arising out of the Treaties or resulting from the acts of the institutions of the Union. The Member States shall facilitate the achievement of the Union’s tasksand refrain from any measure which could jeopardise the attainment of the Union’s objectives.”

145

(15)

Salah satu putusan Mahkamah Eropa yang menjadi tonggak sejarah mengenai prinsip keberlakuan langsung hukum regional EU adalah dalam perkara

Van Gend en Loos pada tahun 1993 mengenai kenaikan tarif yang ditetapkan oleh otoritas Belanda yang ditengarai bertentangan dengan Pasal 12 EC Treaty

(sekarang Pasal 25 TEU).146 Dalam kasus ini perusahaan Belanda yag bernama

Van Gend en Loos, yang mengimpor produk kimia dari Jerman ke Belanda, mengklaim bahwa Otoritas Pajak Belanda membebankan pajak terlalu tinggi terhadap barang yang mereka impor dan tingginya biaya pajak tersebut bertentangan dengan aturan hukum Komunitas Eropa. Van Gend en Loos

kemudian membawa perkara ini kepada Tarief Commissie di Amsterdam yang merupakan pengadilan tertinggi yang berkaitan dengan pajak di Belanda. Pengadilan di Belanda kemudian mengajukan preliminary ruling147 kepada Mahkamah Eropa karena tidak yakin apakah Pasal 12 EC Treaty dapat berlaku secara langsung tidak hanya kepada negara anggota, tetapi juga kepada individu dan badan hukum.

Dalam putusan perkara Van Gend en Loos ini, Mahkamah Eropa menyatakan bahwa:

“... the Community constitutes a new legal order ... the subjects of which

comprise not only the Member States but also their nationals.

146

ECJ, Case 26/62, NV Algemene Transporten Expeditie Onderneming van Gend en Loos v. Nederlandse Administratie der Belastingen, 5 Februari 1963

147

(16)

Independently of the legislations of Member States, Community law not

only imposes obligations on individuals but its also intended to confer

upon them rights. These rights arise not only when they are expressly

granted by the Treaty, but also by reason of obligations which the Treaty

imposes in a clearly defined way upon individuals as well as upon the

Member States and upon the institutions of the Community.”

("... Komunitas merupakan suatu tatanan hukum yang baru ... subjek yang terdiri tidak hanya dari negara-negara anggota, tetapi juga warga negara mereka. Terpisah dari peraturan perundang-undangan Negara-negara Anggota, hukum Masyarakat tidak hanya membebankan kewajiban pada individu tetapi juga dimaksudkan untuk memberikan kepada mereka hak. Hak-hak ini muncul tidak hanya ketika mereka secara tegas diberikan oleh Perjanjian, tetapi juga dengan alasan kewajiban yang Perjanjian kenakan dengan cara yang jelas pada individu maupun pada negara-negara anggota dan pada lembaga-lembaga masyarakat.)

Dalam putusan tersebut terlihat bahwa aturan-aturan yang ada dalam EC

(17)

diperlukan untuk memastikan efektivitas dan keseragaman berlakunya hukum Komunitas di negara-negara anggota.148

Tidak semua hukum regional EU dan ketentuan dalam Perjanjian dapat menghasilkan efek keberlakuan langsung terhadap negara anggota EU yang lain. Suatu ketentuan memiliki efek keberlakuan langsung apabila memenuhi sejumlah kriteria seperti harus jelas, tidak ambigu, tanpa syarat, tidak tidak dapat dilakukan reservasi terhadap aturan tersebut, dan tidak harus ditranposisikan ke hukum nasional negara anggota.149

b.Supremasi Hukum Regional EU terhadap Hukum Nasional Negara Anggota Sama seperti prinsip keberlakuan langsung hukum regional EU, prinsip supremasi hukum regional EU terhadap hukum nasional negara anggota juga tidak ditemukan dalam perjanjian pembentuk EU, tetapi dalam putusan-putusan Mahkamah Eropa.150

Putusan perkara Costa vs ENEL merupakan landasan dalam penjelasan prinsip supremasi hukum regional EU terhadap hukum nasional negara anggota. Costa adalah seorang pemegang saham suatu perusahaan Italia yang kemudian perusahaan tersebut dinasionalisasi oleh Pemerintah Italia. Aset-aset yang dimiliki Costa dialihkan kepada ENEL, perusahaan yang dinasionalisasi oleh Pemerintah Italia. ENEL kemudian menuntut Costa karena tidak membayar tagihan listrik

148

Martin Stiernstrom, Op.Cit., h.4

149

T.C., Hartley, European Community Law, ed.ke-4, (Oxford; New York: Oxford University Press, 1998), h.191

150

(18)

dari perusahaan tersebut. Costa menolak untuk membayar tagihan listrik yang dikeluarkan oleh perusahaan listrik Italia ENEL, karena menurutnya dia tidak harus membayar tagihan listrik karena nasionalisasi yang dilakukan oleh Pemerintah Italiabertentangan dengan EC Treaty.. Pengadilan nasional Italia kemudian menyerahkan masalah itu ke Mahkamah Eropa untuk melakukan

preliminary ruling.151

Mahkamah Eropa dalam hal ini menyatakan bahwa dengan menjadi anggota dari Komunitas Eropa, suatu negara berarti menyerahkan hak berdaulatnya dalam beberapa bidang tertentu sehingga apabila ada aturan dalam hukum nasional yang bertentangan dengan hukum Komunitas Eropa, maka hukum nasional tidak berlaku.152 Lebih lanjut Mahkamah Eropa menyatakan dalam Putusan Costa vs ENEL bahwa:

“...the law stemming from the Treaty, an independent source of law, could

not, because of its special and original nature, be overriden by domestic

legal provisions, however framed, without being deprived of its character

as Community law and without the legal basis of the Community itself being called into question.”153

("... Hukum yang berasal dari Perjanjian, sebuah sumber hukum yang independen, tidak bisa, karena sifat khusus dan aslinya, diganti oleh ketentuan hukum dalam negeri, namun dibingkai, tanpa kehilangan karakternya sebagai hukum

151

Martin Stiernstrom, Op.Cit., h.4

152

Fanny Alda Putri, Op.Cit., h.74

153

(19)

Masyarakat dan tanpa dasar hukum dari Komunitas itu sendiri yang dipertanyakan.")

Setidaknya ada tiga alasan mengapa harus ada supremasi hukum regional di EU. Pertama, prinsip keberlakuan langsung yang terdapat pada perjanjian pembentuk EU tidak akan bermakna apabila negara anggota dapat secara sepihak tidak memberlakukan hukum regional EU dan membuat peraturan perundang-undangan nasional yang kedudukannya lebih tinggi dari hukum regional EU. Kedua, dengan memberikan sebagian hak berdaulat kepada EU dalam bidang tertentu, maka negara anggota akan kedaulatannya menjadi terbatas. Oleh karena itu, hukum regional EU kedudukannya ada di atas hukum nasional negara anggota. Ketiga, dalam menjaga tujuan utama dibentuknya EU, maka keseragaman dalam memberlakukan hukum regional EU harus dijaga. Salah satu cara untuk mencapai keseragaman tersebut adalah dengan memberi supremasi kepada hukum regional EU.154

c. Prinsip State Liability terhadap pelanggaran Hukum Regional EU

Sama dengan prinsip direct effect, prinsip state liability serta dua prinsip yang lain semata-mata dikembangkan oleh Mahkamah Eropa, tanpa aturan eksplisit dalam EC Treaty yang membahas mengenai pinsip tersebut. Untuk meningkatkan kredibilitas dua prinsip, Pengadilan menjelaskan dalam kasus 7broeck155 bahwa :

154

Alina Kaczorowska, European Union Law, ed ke-2, (New York: Routledge, 2011), h.256

155

(20)

under the principle of co-operation laid down in Article 5(now 10) of the

Treaty, it is for the Member States to ensure the legal protection which

individuals derive from the direct effect of Community law.

Berdasarkan prinsip kerjasama yang ditetapkan dalam Pasal 5 (sekarang 10) dari EC Treaty, untuk negara-negara anggota untuk menjamin perlindungan hukum yang individu berasal dari efek langsung dari hukum Masyarakat."156

Sebelum kasus Francovich157, kewajiban Negara biasanya diklasifikasikan sebagai masalah hukum nasional, sedangkan dalam kasus Francovic, dua pertanyaan penting diangkat ke Mahkamah Eropa, pertama, bisakahdirective158

ditegakkan tanpa implementasi dalam Negara Anggota, kedua, haruskah negara anggota memberi kompensasi atas kerugian seorang individu yang muncul akibat kegagalan pelaksanaan

Francovich dan penggugat lainnya, membawa tindakan terhadap pemerintah Italia, meminta para hakim baik untuk menghukum terdakwa untuk membayar mereka gaji mereka yang hilang dengan, menerapkan Council directive

80/987/CEE untuk kasus mereka, atau untuk terus bertanggung jawab atas kerugianyang diikuti dengan penggabungan ketetapan tersebut ke dalam sistem

156

Hui Yu, The Mysterious State Liability Doctrine of European Community: An Uncertainty Analysis, September 2006, h.7

157

Joined Cases 6/90 and 9/90 Francovich v Italy, [1991] ECR I-5357

158

Directive digunakan untuk membawa hukum nasional yang berbeda sejalan dengan satu sama lain, dan sangat umum dalam hal-hal yang mempengaruhi penyelenggaraan pasar bersama (misalnya standar keamanan produk)

Setiap directive menentukan tanggal dimana hukum nasional harus disesuaikan - memberikan otoritas nasional ruang untuk melakukan manuver dalam tenggat waktu yang diperlukan untuk memperhitungkan situasi nasional yang berbeda.

(21)

hukum nasional. Majikan penggugat adalah perusahaan yang telah menjadi bangkrut dengan gaji dan tunjangan lainnya yang belum dibayar, dengan aset yang cukup untuk memenuhi tuntutan karyawan dalam proses kebangkrutan berikutnya. Pengadilan menegaskan kurangnya efek keberlakuan langsung

directive dari sudut pandang yang tidak cukup presisi, dan kemudian menyatakan bahwa:

“...State must be liable for loss and damage caused to individuals as a

result of breaches of Community law for which the State can be held

responsible is inherent in the system of the Treaty”.

Bahwa negara harus bertanggung jawab atas kerugian dan kerusakan yang terjadi pada individu sebagai akibat dari pelanggaran hukum Komunitas yang manapertanggungjawaban negara telah melekat dalam sistem Perjanjian. Pengadilan dengan kreatif menjunjung tinggi hak-hak individu atas dasar prinsip-prinsip dasar dari Perjanjian, yang meliputi individu di bawah sistem hukum, membuat kewajiban Negara sebagai sebuah prinsip hukum Masyarakat, dan yang lebih penting, menciptakan perbaikan baru di bawah sistem hukum EU.

Dengan adanya kasus Francovich, Pengadilan untuk pertama kalinya sepenuhnya menjawab pertanyaan tentang kewajiban Negara untuk pelanggaran hukum Masyarakat dan berlandaskan pada EC, bukan hukum nasional, meletakkan persyaratan sebagai berikut sehubungan dengan pembentukan kewajiban Negara yang berasal dari non-transposisi dari directive dalam jangka waktu yang diperlukan:

(22)

2. Isi hak-hak harus diidentifikasi berdasarkan ketentuandirectiveitu; 3. Adanya hubungan sebab akibat antara pelanggaran kewajiban negara dan kerugian dan kerusakan yang diderita oleh pihak yang dirugikan.159

d. Prinsip Indirect Effect

Istilah indirect effect tidak ada dalam aturan legislatif tetapi digunakan oleh doktrin dalam ketentuan Komunitas, bahkan jika tidak langsung efektif, harus diperhitungkan oleh pengadilan nasional ketika menafsirkan undang-undang nasional. Doktrin pengaruh tidak langsung diterapkan terutama dalam arahan dan tidak bisa langsung memaksakan kewajiban pada individu. Dengan demikian

directive dapat memiliki efek tidak langsung bahkan jika tidak secara vertikal langsung efektif.160

Doktrin pengaruh tidak langsung berasal dari Von Colson Case.161 Kasus ini mengenai diskriminasi seks. Dalam putusan kasus Pengadilan menyatakan bahwa:

It is for the national court to interpret and apply the legislation adopted

for the implementation of the directive in conformity with the requirements of

Community law, in so far as it is given discretion to do so under national law”162

159

Hui Yu, Op.Cit, hal.9

160

Anthony Arnull, The European Union and Its Court of Justice, Oxford University EC Law Library, 2006, Second Edition, h.185

161

Case 14/83, Von Colson and Kaman. 162

(23)

Jadi, pengadilan nasional berkewajiban untuk mendamaikan hukum nasional yang bertentangan dengan directive dengan menafsirkan hukum nasional dari sudut pandang susunan kata dan tujuan dari directive yang bersangkutan.

Tabel 3.1 : Negara-negara Anggota EU

Negara anggota EU Tahun Bergabungnya

Austria 1995

Belgia 1952

Bulgaria 2007

Kroasia 2013

Siprus 2004

Republik Ceko 2004

Denmark 1973

Estonia 2004

Finlandia 1995

Perancis 1952

Jerman 1952

Yunani 1981

Hongaria 2004

Latvia 2004

Irlandia 1973

Italia 1952 ( negara pendiri )

(24)

Luksemburg 1952 ( negara pendiri )

Malta 2004

Belanda 1952 ( negara pendiri )

Polandia 2004

Portugal 1986

Rumania 2007

Slowakia 2004

Slovenia 2004

Spanyol 1986

Swedia 1995

Inggris Raya 1973

Sumber : europa.eu163

3.2 Konsep Harmonisasi Hukum di wilayah regional ASEAN

Kehadiran hukum dalam masyarakat di antaranya adalah untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kepentingan-kepentingan yang bisa bertubrukan satu sama lain sehingga oleh hukum diintegrasikan sedemikian rupa sehingga tubrukan-tubrukan itu bisa ditekan sekecil-kecilnya. Pengorganisasian kepentingan-kepentingan dilakukan dengan membatasi dan melindungi kepentingan-kepentingan tersebut. Memang, dalam suatu lalu lintas kepentingan,

163Countries,

(25)

perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi kepentingan di lain pihak.164

Suasana perubahan ke arah kehidupan masyarakat bangsa-bangsa yang semakin menyatu dengan bermacam implikasinya seperti diuraikan di atas, tentu saja mempengaruhi model pranata hukum yang harus dipersiapkan. Jika penyiapan pranata hukum yang dilakukan negara nasional seperti Indonesia semata-mata menggunakan model kodifikasi sebagaimana berlangsung selama ini, dikhawatirkan model semacam itu akan sulit mengadaptasikan diri dengan berbagai proses perubahan yang berlangsung sangat cepat akibat interaksi masyarakat bangsa-bangsa yang semakin hari semakin intensif.165

Harmonisasi hukum dimaksud dapat digambarkan "sebagai suatu upaya yang dilaksanakan melalui proses untuk membuat hukum nasional dari negara-negara anggota ASEAN memiliki prinsip serta pengaturan yang sama mengenai masalah yang serupa di masing-masing yurisdiksinya". Harmonisasi dalam bidang hukum merupakan salah satu tujuan penting dalam menyelenggarakan hubungan-hubungan hukum. Terlebih lagi kawasan ASEAN telah bersepakat membentuk AFTA sebagai kawasan perniagaan negara-negara di Asia Tenggara. Kerjasama bidang hukum yang berujung pada adanya harmonisasi, penting agar

164

Sardjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung : Alumni, 1982, h.64

165

(26)

hubungan hukum yang diatur oleh satu negara akan sejalan atau tidak begitu berbeda dalam penerapannya dengan ketentuan yang berlaku di negara lain.166

Indonesia dan bangsa-bangsa di sudut manapun di muka bumi ini, sekarang sudah terhubung dan terkooptasi ke dalam satu pola kehidupan. Akibatnya batas-batas teritorial negara hampir tidak lagi menjadi penghalang bagi berkembangnya ragam aktivitas manusia, baik perniagaan maupun bukan perniagaan.167

Hukum dan sistem hukum adalah faktor penting bagi kemajuan ekonomi. Hukum dan kelembagaan hukum dapat mendorong kegiatan ekonomi. Rodolfo C Severino, mantan Sekjen ASEAN mengatakan bahwa jika kerjasama ekonomi ingin lebih substansial dan berdampak nyata, maka perjanjian-perjanjian yang dibuat haruslah mempunyai kekuatan mengikat.168

Kecenderungan untuk hidup bersatu adalah kodrat naluri manusia. Oleh karena itu terbentuknya institusi global semacam WTO (World Trade Organization), APEC (Asia Pacific Economic Cooperation) sebagai forum kerjasama ekonomi antar bangsa-bangsa, sekalipun dalam kawasan (regional) tertentu. Sebagai contoh kecenderungan menyatunya pola kehidupan dalam satu

166 E. Saefullah, “Harmonisasi Hukum di antara Negara

-Negara Anggota ASEAN”; Kertas Kerja pada Simposium Nasional Aspek-aspek Hukum Kerjasama Ekonomi Antara Negara-Negara ASEAN dalam rangka AFTA; Fakultas Hukum UNPAD, Bandung, 1 Februari 1993, h.1.

167

Eman Suparman, Op.Cit.,h.234

168

(27)

kepentingan yang serupa sebagaimana penyatuan mata uang untuk negara-negara yang tergabung dalam EEC (European Economic Council).169

Dalam keadaan semacam itu, norma yang mengatur ragam aktivitas tersebut tentu tidak diserahkan kepada aturan normatif suatu negara tertentu. Sebab kaidah hukum nasional suatu negara berdaulat, batas berlakunya hanya di dalam teritorial negara tersebut. Untuk itu, pengaturan berbagai hak dan kewajiban maupun kepentingan bersama antar negara berdaulat tadi, kaidahnya akan diupayakan dalam bentuk kesepakatan bersama antar negara-negara yang lazimnya dituangkan dalam bentuk “perjanjian internasional”.170Instrumen inilah yang paling mungkin untuk digunakan dalam menangani berbagai persoalan transnasional yang dihadapi bersama.171

Saat ini hampir setiap negara merupakan pihak dari perjanjian integrasi regional (regional integration agreement) atau secara aktif turut bernegosiasi dalam rangka mewujudkan integrasi regional. Kecenderungan integrasi regional tampaknya akan terus berlanjut karena paling tidak integrasi regional dapat meredam ketegangan antara tekanan globalisasi dan tuntutan untuk otonomi regional yang semakin besar.172

Pada kondisi masyarakat dunia yang digambarkan semacam itu, instrumen hukum “perjanjian internasional”, kian menjadi penting. Melalui perjanjian

169Ibid

170“Perjanjian internasional adalah perjanjia

n yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu.”

171

Eman Suparman, Op.Cit, h.234

(28)

internasional itulah negara-negara, baik negara penanda tangan maupun negara yang turut serta kemudian, dapat menciptakan norma-norma hukum baru yang diperlukan untuk mengatur hubungan antar negara dan antar masyarakat negara-negara yang volumenya semakin besar, intensitasnya semakin kuat, dan materinya semakin kompleks.173

Memang setiap negara merdeka dan berdaulat memiliki sistem Hukum Perdata Internasional (HPI) yang berlainan satu sama lain. Untuk mengatasi kesulitan yang timbul manakala muncul persoalan perdata dan melibatkan dua negara atau lebih, maka negara-negara berupaya mengadakan kerjasama internasional dengan jalan mempersiapkan konvensi-konvensi yang bertujuan menciptakan unifikasi di dalam bidang hukum, khususnya hukum perdata. Akan tetapi upaya yang dilakukan itu bukan dimaksudkan untuk menyeragamkan seluruh sistem hukum intern dari negara-negara peserta konperensi, melainkan sekedar upaya untuk menyelaraskan kaidah-kaidah HPI-nya. Harapannya adalah penyelesaian persoalan untuk masalah-masalah hukum perdata tertentu akan dapat dilakukan oleh badan-badan peradilan masing-masing negara peserta.174 Apabila kesepakatan antar negara menghendaki lain maka pilihan lain dalam penyelesaian persoalan untuk masalah-masalah hukum perdata tertentu dapat dilakukan oleh suatu lembaga supranasional yang menyelesaikan sengketa lintas batas negara.

Dengan adanya penyeragaman sistem hukum di antara negara-negara dalam suatu organisasi yang membuat kerjasama-kerjasama di bidang tertentu,

173

Mochd. Burhan Tsani, Hukum dan Hubungan Internasional, Yogyakarta: Liberty, 1990, h.8-9.

174

(29)

diharapkan penyelesaian masalah bisa menjadi lebih mudah tanpa adanya penafsiran berbeda atas suatu pemecahan masalah.

3.3 Harmonisasi Hukum Persaingan di tingkat regional ASEAN

Sejak ASEAN bertujuan untuk memperkuat integrasi ekonomi di kawasan tersebut, kebutuhan hukum dan lembaga untuk mendukung pelaksanaan dan elaborasidari liberalisasi perdagangan dan investasi di pasar ASEAN semakin nyata. Interaksi antara pemerintah, konsumen dan produsen telah menimbulkan perhatian bahwa sistem berbasis aturan perlu diperkuat.175

Kedua, dalam ekonomi pasar bebas ASEAN yang sedang berkembang, monopoli dan praktek bisnis yang membatasi dipandang sebagai sesuatu yang tidak diinginkan, karena merekacenderung mendistorsi harga dan menghambat alokasi sumber daya yang efisien. Dengan demikian, ada seruan untuk adanya persaingan untuk memastikan bahwa akses masuk gratis dan tekanan pesaing baru dapat berfungsi dan menyeimbangkan kekuatan pasar dan struktur di pasar ASEAN. Pada akhirnya, tujuan adanya persaingan pasar dan kompetisi yang tidak terdistorsi adalah untuk menguntungkan konsumen, untuk memungkinkan varietas besarproduk berkisar pada harga minimum.176 Hukum persaingan umumnya membutuhkan perspektif kebijakan pro-konsumen yang fundamental mengkonsolidasikan kesejahteraan sosial dan kesejahteraan konsumen.

175

Lawan Thanadsillapakul, The Harmonisation of ASEAN Competition Laws and Policy and Economic Integration, h.4, 2004

176Ibid

(30)

Banyak organisasi internasional, seperti The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), WTO, dan United Nations Conference on Trade and Development(UNCTAD), telah mengakui bahwa isu yang paling penting adalah kesulitan dalam berbagi informasi antara negara yang terkena dampak dan negara yang menyinggung dimana kantor pusat sebuahperusahaaan berada. Oleh karena itu, organisasi-organisasi internasional biasanya mendorong anggotanya untuk bekerja sama dan menegakkan hukum persaingan terhadap perusahaan-perusahaan multinasional dengan perilaku anti persaingan bersama-sama.177

Selain itu, dalam perspektif EU (EU), dua mantan komisaris untuk Kompetisi Direktorat di Komisi Eropa kepada Dewan Eropa, Sir Leon Brittan dan Karel Van Miert telah berkomentar tentang perlunya penegakan internasional hukum persaingan (Osterud, 2010) ;178

"Liberalisasi dan globalisasi mempertanyakan sifat domestik aturan kompetisi dan tidak adanya aturan yang mengikat di tingkat internasional. Banyak negara atau suatu regional telah menerapkan kebijakan yang komprehensif, tetapi tidak memiliki instrumen yang tepat untuk menerapkan aturan kompetisi domestik dengan praktek anti persaingan dengan dimensi internasional, serta untuk memperoleh informasi yang relevan di luar yurisdiksi. Sebuah framework yang diperlukan untuk meningkatkan penegakan efektif aturan kompetisi."

177

Phanomkwan Devahastin Na Ayudhaya, ASEAN HARMONIZATION OF

INTERNATIONAL COMPETITION LAW: WHAT IS THE MOST EFFICIENT OPTION? h.2-3 Proceeding - Kuala Lumpur International Business, Economics and Law Conference. April 8 - 9, 2013.

178

(31)

Sementara Pedoman Kebijakan Persaingan Regional ASEAN juga mengakuiperlunya bagi anggotanya untuk mengembangkan hukum persaingan yang efektif;

"Untuk memenuhi tujuan wilayah ekonomi yang sangat kompetitif, salah satu tugas tindakan yang diidentifikasi di bawah AEC Blueprint adalah untuk mengembangkan pada tahun 2010 pedoman regional tentang kebijakan persaingan, yang akan didasarkan pada pengalaman negara dan praktik terbaik internasional dengan pandangan untuk menciptakan lingkungan persaingan yang sehat. Sebagaimana diuraikan dalam Cetak Biru AEC, semua negara anggota ASEAN akan berusaha untuk memperkenalkan kebijakan persaingan pada tahun 2015."

Ini berarti bahwa organisasi-organisasi internasional yang bertujuan untuk melakukan integrasi ekonomi mengakui kebijakan persaingan sebagai salah satu alat yang digunakan untuk menjaga lingkungan persaingan yang sehat di kawasan ini. Namun, ada pendekatan yang berbeda untuk internasionalisasi hukum persaingan. ASEAN belum tentu perlu menyelaraskan hukum persaingan dalam cara yang mirip dengan EU dan bisa mengambil pendekatan kooperatif yang berbeda.179

Upaya penyelarasan kaidah hukum publik maupun privat melalui perjanjian internasional, sudah saatnya dilakukan juga oleh negara-negara di kawasan ASEAN ini. Paling tidak menyambut berlaku efektifnya AFTA mendatang, kesenjangan akibat perbedaan sistem hukum yang ada pada sejumlah negara anggota ASEAN, harus diupayakan untuk diminimalkan.180

179

Phanomkwan Devahastin Na Ayudhaya, ASEAN HARMONIZATION OF INTERNATIONAL COMPETITION LAW: WHAT IS THE MOST EFFICIENT OPTION? h.2-3 Proceeding - Kuala Lumpur International Business, Economics and Law Conference. April 8 - 9, 2013.

180

(32)

3.3.1 Kebijakan Persaingan Usaha dalam ASEAN Economic Community

Kerjasama regional di antara negara anggota ASEAN dalam beberapa tahun ini telah diarahkan oleh niat mereka untuk mendirikan Komunitas ASEAN pada tahun 2015. Pertama kali diumumkan pada tahun 2003, Komunitas ASEAN harus didukung oleh tiga pilar utama, yang dinamakan ASEAN Economic Community (AEC), ASEAN Security Community (ASC) and the ASEAN Socio-Cultural Community (ASCC). Pencapaian AEC memerlukan integrasi regional dari perekonomian negara-negara anggota.181

Niat untuk mempercepat pelaksanaan AEC dibuktikan melalui diumumkannya AEC Blueprint yang pertama kali diumumkan pada tahun 2006 dan diadopsi pada tahun 2007. Karakteristik dan elemen dari AEC termasuk: (i) pasar tunggal dan basis produksi, (ii) kawasan ekonomi yang kompetitif, (iii) pembangunan ekonomi yang setara, (iv) integrasi ke dalam ekonomi global. Di dalam Blueprint, kebijakan persaingan usaha diperkenalkan sebagai salah satu kunci untuk mencapai “kawasan ekonomi yang kompetitif”. Dalam hal ini,

sejumlah tindakan yang diprioritaskan telah diidentifikasikan dan dijadwalkan untuk dilaksanakan selama periode 2008-2015.182

Persaingan jelas merupakan aspek penting dalam pandangan ASEAN untuk integrasi ekonomi regional. Itu merupakan salah satu unsur dari empat karakteristik dalam AEC Blueprint. Bentuk dari pasar tunggal dan basis produksi

181

Casey Lee and Yoshifumi FUKUNAGA, ASEAN Regional on Competition Policy h.1, April 2013

182

(33)

didasarkan pada gagasan untuk persaingan seluruh pasar di negara-negara ASEAN. Daya saing ekonomi dari kawasan ASEAN dan integrasinya menuju perekonomian global membutuhkan kemampuan negara-negara anggota untuk bersaing secara global.183

3.3.2 Manfaat harmonisasi hukum persaingan di tingkat regional ASEAN

Dalam rangka mendorong lahirnya kawasan yang memiliki daya saing, ASEAN sudah menyiapkan kerangka bagaimana mekanisme pasar bebas ASEAN dirancang. Rumusan kebijakan persaingan menjadi isu yang sangat strategis. Salah satu karakteristik kunci MEA adalah tercapainya Competitive Economic Region. Namun apakah semua negara-negara ASEAN memiliki kemampuan yang sama untuk bersaing meski dengan tetangga sendiri, melalui implementasi kebijakan dan hukum persaingan usaha. Dalam konteks pasar bebas ASEAN, Kebijakan dan Hukum Persaingan Usaha ini akan sangat dibutuhkan karena pada tahun 2015 nanti pasar dimana transaksi perdagangan barang dan atau jasa sudah terbuka.184

Saat ini, semua negara ASEAN menerapkan proses penyaringan dan menerapkan pra entri persyaratan untuk semua investor asing. Ada juga beberapa peraturan untuk mencegah investor asing / perusahaan dari menjadi kekuatan yang dominan diekonomi, misalnya, pembatasan ekuitas/ kepemilikan asing, dan persyaratan divestasi. Hukum dan peraturan tersebut dapat digunakan untuk mencegah investor asing dari penggabungan dengan atau mengakuisisi

183

Ibid 184

(34)

perusahaan lokal, seperti mereka tidak dapat memiliki saham di atas batas yang ditentukan. Perusahaan asing juga tidak bisa bergabung atau mengakuisisi perusahaan asing lain jika ekuitas mereka di baruperusahaan berada di luar equity ratio185 yang ditetapkan oleh undang-undang. Jelas, di bawah keadaan ini, negara-negara ASEAN perlu hukum persaingan untuk mengontrol merger dan akuisisi. Meskipun mereka telah melonggarkan terhadap beberapa peraturan mengenai rasio ekuitas investor asing, hal ini berada di kasus per kasus dalam kondisi tertentu saja.186

Hukum dan kebijakan persaingan akan membantu untuk mempromosikan pertumbuhan usaha kecil dan menengah, yang merupakan mayoritas di negara lokal ASEAN, dan memungkinkan mereka untuk bersaing dengan saingan mereka yang lebih kuat. Liberalisasi perdagangan dan investasi berdasarkan persaingan yang sehat akan memungkinkan perusahaan-perusahaan kecil dan menengah lokal untuk mengembangkan kekuatan ekonomi mereka, meng-upgrade proses produksi teknologi dan meningkatkan sistem manajerial dan keterampilan komersial, agar dapat bersaing dengan perusahaan asing. Hukum persaingan akan memastikan bahwa perusahaan, baik lokal maupun asing, dicegah dari melakukan praktik

185

Ekuitas (equity) merupakan sumber perolehan dana yang berasal dari setoran pemilik (disebut modal atau modal saham) dan dari laba yang tidak dibagikan ke pemilik (disebut laba ditahan). - See more at: http://keuanganlsm.com/definisi-ekuitas/#sthash.pHKS7Nlh.dpuf

Rasiohutang yang tinggi/ekuitasumumnya berartibahwaperusahaantelah agresif

dalampembiayaanpertumbuhandenganutang. Hal inidapatmengakibatkanlabayang mudah menguapsebagaiakibat daribeban bungatambahan –See more at :

http://www.investopedia.com/terms/d/debtequityratio.asp diakses pada 2 Desember 2014

186

(35)

bisnis yang membatasi, menyalahgunakanposisi dominan atau membentuk kartel atau jenis lain dari praktek yang tidak adil yang dapat merusak perusahaan lain.187

Persaingan juga menjamin keuntungan dari integrasi regional bisa terdistribusi secara merata di antara konsumen dan produsen di dalam kawasan, begitu juga di antara negara-negara anggota ASEAN. Dalam hal ini, kebijakan persaingan, diartikan sebagai semua kebijakan pemerintah dalam menggalakkan persaingan dalam pasar, yang merupakan kebijakan penting dalam realisasi AEC.188

Dengan demikian, hukum dan kebijakan persaingan memiliki peran besar untuk bermain dalam proses liberalisasi ASEAN, juga untuk memastikan bahwa pasar ASEAN dijaga seterbuka mungkin untuk pendatang baru, dan bahwa perusahaan tidak menggagalkan tujuan ini dengan terlibat dalam praktek-praktek anti-kompetitif . Dengan cara ini, penegakan kuat dari hukum persaingan ASEAN dapat memberikan jaminan bahwa liberalisasi investasi tidak akan membiarkan ketidakberdayaanpemerintah menghadapi transaksi-transaksi anti persaingan.

3.3.3 Progress dalam mencapai harmonisasi hukum persaingan

Di tahun 2015, transaksi perdagangan dan jasa akan menyatu dan berintegrasi dalam satu pasar bersama. Hal ini berarti bahwa pelaku usaha di Indonesia khususnya pelaku usaha yang berkeinginan untuk melakukan ekspansi usaha di ASEAN atau berhubungan dengan pelaku usaha di negara-negara ASEAN lainnya harus memahami hukum usaha yang berlaku di negara-negara

187

Ibid, h.36

188

(36)

anggota termasuk hukum persaingan usaha. Usaha untuk menciptakan daya saing melalui hukum dan kebijakan persaingan, ASEAN melalui Sekretariat ASEAN telah melakukan sejumlah aksi. Terdapat perbedaan substansial dalam pengaturan hukum persaingan usaha di negara-negara anggota ASEAN akan menyebabkan kesulitan dalam penerapan hukum persaingan usaha lintas batas negara.

Melalui ASEAN Expert Group on Competition(AEGC) sebagai lembaga struktural di ASEAN yang menangani implementasi hukum persaingan telah menginisiasi dan mempromosikan hal ini. Tercatat hingga saat ini, lima negara ASEAN yang telah memberlakukan hukum persaingan yaitu Indonesia dan Thailand (1999), Singapore dan Vietnam (2004) serta Malaysia (2012), sementara 5 negara lainnya masih dalam tahap legislasi.189

Tindakan pertama pada kebijakan persaingan berkaitan dengan pelaksanaanhukum persaingan di ASEAN Member States (AMS) itu sendiri. Bunyinya: "Berusaha memperkenalkan Kebijakan Persaingan di semua negara anggota ASEAN pada tahun 2015". Tingkat implementasi bisa diukur baik menggunakan interpretasi yang luas atau sempit mengenai "kebijakan persaingan". Berdasarkan implementasi secara sempit itu berarti 5 (lima) dari 10 (sepuluh) AMS telah memberlakukan hukum persaingan nasionalnya. Namun jika interpretasi secara luas diterapkan, maka “kebijakan persaingan” diartikan sebagai

setiap kebijakan pemerintah yang mendorong dan memelihara tingkat persaingan

189

(37)

di pasar, maka dapat disimpulkan bahwa sebagian besar telah memiliki aturan tentang persaingan meskipun tidak semuanya.190

Aksi kedua pada kebijakan persaingan berkaitan dengan pembentukan jaringan kebijakan persaingan yang melibatkan AMS. Aksi ini dinyatakan dalam Cetak Biru AEC sebagai: "Membangun jaringan otoritas atau lembaga yang bertanggung jawab untuk kebijakan persaingan untuk melayani sebagai forum

untuk mendiskusikan dan mengkoordinasikan kebijakan persaingan."191

Tingkat pelaksanaan tindakan di atas dapat dianggap tinggi berdasarkan pembentukan dan kegiatan ASEAN Experts Group on Competition (AEGC). AEGC yang secara resmi didirikan pada tahun 2007, merupakan wadah ASEAN untuk mengembangkan hukum dan kebijakan persaingan. AEGC adalah badan resmi yang terdiri dari perwakilan dari semua AMS yang dicalonkan oleh Pemimpin Senior Economic Official Meeting (SEOM) dari masing-masing negara. AEGC didirikan dengan mandat untuk mengawasi hal-hal yang termasuk persaingan di ASEAN. Ini termasuk pencapaian tujuan terkait persaingan dalam Cetak Biru AEC. Pada Juni 2012, AEGC telah memiliki sembilan pertemuan sejak didirikan.

Kontribusi yang signifikan dari AEGC dapat dilihat dari kegiatannya yang dilakukan melalui lima kelompok kerja, yaitu:

a)pedoman regional kebijakan persaingan

b) buku tentang kebijakan dan hukum persaingandi ASEAN untuk bisnis

190

Cassey LEE, Op.Cit., h.23-24

191Ibid

(38)

c) capacity buiding

d)inti-kompetensi regional dalam kebijakan dan hukum persaingan e) strategi dan alat untuk advokasi kompetisi regional.

Tabel 3.2: AEGC Activities, 2008-2012

2008 2009 2010 2011 2012

Capacity Building 2 6 3 3 5

Policy

Dialogue/Conferences/Outreach

1 4 4 1

Sesi Brainstorming 2

Pedoman ASEAN dalam

Kebijakan Persaingan

2 1

Buku Panduan tentang

Kebijakan Persaingan

1 1

Kompetensi dasar kawasan 2 2

Lainnya - Peletakan Yayasan,

inventarisasi,

study visit

2 3

Total 5 16 11 6 7

Sumber : AEGC192

Tiga program utama AEGC adalah terbentuknya Regional Guideline, Regional Handbook, dan adanya kegiatan Capacity Building yang sesuai dengan kebutuhan dan prioritas masing-masing negara AMS. Seperti yang telah diketahui, belum semua AMS memiliki lembaga persaingan dan undang-undang

(39)

persaingan. Keunikan dan tingkat pemahaman yang berbeda-beda tersebut menjadi tantangan tersendiri dalam menyusun pendekatan untuk mewujudkan sebuah lembaga dan undang-undang persaingan pada tahun 2015 sebagai

supporting tools terbentuknya common market di wilayah ASEAN.

Tujuan utama dari kebijakan persaingan adalah untuk mendorong budaya persaingan yang sehat. Untuk mencapai hal ini, beberapa langkah strategis telah diletakkan pada Cetak Biru AEC dengan target pencapaian pada tahun 2015:

a. Upaya untuk memperkenalkan kebijakan persaingan di semua AMSS pada tahun 2015;

b. Membangun jaringan otoritas atau lembaga yang bertanggung jawab untuk kebijakan persaingan untuk melayani sebagai forum untuk mendiskusikan dan mengkoordinasikan kebijakan persaingan;

c. Mendorong kapasitas program pembangunan / kegiatan untuk AMSS dalam mengembangkan kebijakan persaingan nasional;

d. Mengembangkan pedoman regional tentang kebijakan persaingan pada tahun 2010, berdasarkan pengalaman negara dan praktik terbaik internasional dengan tujuan untuk menciptakan lingkungan persaingan yang sehat.193

Pedoman/guidelines yang telah dibuat oleh AEGC tentunya tidaklah cukup untuk menemukan solusi permasalahan hukum persaingan usaha lintas batas negara di ASEAN nantinya, dikarenakan guidelines hanya mengatur terkait pedoman

193

(40)

pedoman saja namun tidak mengatur terkait implementasi untuk menyelesaikan masalah hukum persaingan usaha.

Maka dari itu diperlukan sebuah solusi untuk mengatasi perbedaan dalam hukum persaingan usaha di ASEAN dalam rangka menghadapi AEC di tahun 2015. Salah satu solusi adalah berupa penerapan asas Comity dalam hukum persaingan usaha. Bentuk penerapan asas ini berupa pembuatan perjanjian multilateral antar negara anggota ASEAN.Isi dari perjanjian ini akan menerapkan

Positive dan Negative Comity. Dalam keberlakuan hukum dalam sebuah negara, di samping melakukan “pemujaan” terhadap hukum nasional, juga terdapat tempat bagi berlakunya hukum asing. Disinilah peran dan posisi asas Comity berlaku.194

Awal penggunaan asas Comity dipelopori oleh Ulrich Huber yang menjelaskan asas Comity : “The high authorities ofeach country offer each other hand”195

(kekuasaan tertinggi dalam sebuah negara memberikan usul terhadap negara lain) Ulrich Huber juga mengatakan:196 Hukum suatu negara hanya berlaku dalam batas-batas teritorial negara tersebut; Semua orang/subjek hukum yang secara tetap/sementara berada dalam teritorial wilayah suatu negara yang berdaulat: (i) merupakan subjek hukum dari negara tersebut, dan (ii) Tunduk serta terikat pada hukum negara tersebut; Namun, berdasarkan prinsip comity, hukum yang berlaku di negara asalnya tetap memiliki kekuatan berlaku dimana-mana

194

Gautama Sudargo, Hukum Perdata Internasional Indonesia (jilid I), Alumni, Bandung, 1979, h.172

195

Joel, R. Paul,The Transformation of International Comity,2008, h.23

196IrinaGetman Pavlova V,”The Concept of “Comity” In Ulrich Huber‟s Conflict Doctrine”, 2012,

(41)

sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan subjek hukum dari negara pemberian pengakuan.

Penerapan asas Comity ini tentunya tidak akan membatasi tindakan dari pelaku usaha namun justru akan melindungi berbagai pihak yang berkepentingan di hukum persaingan usaha, antara lain : negara, pelaku usaha bahkan konsumen. Solusi ini akan lebih tepat dilaksanakan sambil menunggu adanya harmonisasi hukum persaingan usaha negara ASEAN, yang bukan perkara mudah mengingat adanya sepuluh negara dengan sistem hukum yang berbeda. Dengan menerapkan asas Comity, tentunya masalah perbedaan sistem hukum di negara ASEAN tidak lagi menjadi masalah yang artinya, negara ASEAN hanya perlu melakukan akseptasi dari perjanjian yang menerapkan asas Comity. Menerapkan asas ini cenderung akan memangkas waktu namun juga tidak mengurangi esensidari harmonisasi dan tujuan untuk menegakkan hukum persaingan usaha. Oleh karena itu menerapkan asas Comity dalam perjanjian multilateral merupakan solusi yang tepat menuju AEC 2015.197

197

Fikri Nur Setyansyah, “Penerapan Asas Comity di Hukum Persaingan Usaha Dalam Rangka ASEAN Economic Community”, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 2015,

Gambar

Tabel 3.2: AEGC Activities, 2008-2012

Referensi

Dokumen terkait

Untuk Memudahkan memonitoring Kondisi Peralatan di Gardu Induk Tambak Lorok dibuatkan Alat Monitoring Status Pemutus Tenaga 150 KV di Gardu Induk Tambak Lorok yang berbasis web

Berdasarkan masalah-masalah yang peneliti rumuskan, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan pengetahuan yang tepat (sahih,benar,valid) dan dapat

The production task is the teacher asks the students to make sentences after playing Shopping Game based on the vocabulary list that are used in Shopping

hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara harga diri dengan tingkah laku menolong pada remaja. Semakin tinggi harga diri

Studi Tentang Konsumsi Pangan, Status Gizi dan Aktifitas Fisik saat Puasa dan Tidak Puasa pada Mahasiswa Putri Tingkat Persiapan Bersama Institut Pertanian

Dilihat dari identifikasi masalah dapat diketahui banyaknya masalah yang berkaitan dengan prokrastinasi akademik maka penelitian ini dibatasi. pada hubungan antara

Hasil evaluasi ekonomi menunjukkan bahwa pabrik sorbitol dari glukosa dengan proses hidrogenasi katalitik kapasitas 30.000 ton/tahun layak didirikan.. ix

Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh variabel fundamental yang diukur oleh profitabilitas, ukuran perusahaan dan struktur aktiva terhadap struktur modal