• Tidak ada hasil yang ditemukan

BUDIDAYA CACING OLIGOCHAETA DENGAN PADAT PENEBARAN BERBEDA PADA SISTEM TERBUKA MIRNA FEBRIYANI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BUDIDAYA CACING OLIGOCHAETA DENGAN PADAT PENEBARAN BERBEDA PADA SISTEM TERBUKA MIRNA FEBRIYANI"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

BUDIDAYA CACING OLIGOCHAETA DENGAN PADAT

PENEBARAN BERBEDA PADA SISTEM TERBUKA

MIRNA FEBRIYANI

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :

BUDIDAYA CACING OLIGOCHAETA DENGAN PADAT PENEBARAN BERBEDA PADA SISTEM TERBUKA

Adalah benar merupakan hasil karya yang belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Maret 2012

Mirna Febriyani C14070085

(3)

ABSTRAK

MIRNA FEBRIYANI. Budidaya Cacing Oligochaeta dengan Padat Penebaran Berbeda pada Sistem Terbuka. Dibimbing oleh IIS DIATIN dan YANI HADIROSEYANI.

Cacing oligochaeta atau yang lebih dikenal dengan cacing sutra merupakan salah satu jenis pakan alami yang memiliki kandungan nutrisi cukup tinggi dan banyak dicari para pembudidaya benih ikan. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan puncak populasi dan biomassa tertinggi serta padat penebaran efektif dalam usaha budidaya cacing oligochaeta sistem terbuka, yaitu dengan pengaliran dan penggantian air setiap saat. Wadah yang digunakan berupa kotak kayu berukuran (100x25x20) cm3 yang dilapisi plastik hitam. Media yang digunakan yaitu campuran lumpur dan kotoran ayam. Perlakuan padat penebaran yang diujikan adalah 2600 individu/m2, 3600 individu/m2, dan 4600 individu/m2. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 3 kali. Cacing oligochaeta diberi pupuk tambahan berupa kotoran ayam hasil fermentasi sebanyak 1 kg/m2 setiap hari. Hasil penelitian menunjukkan puncak populasi dan biomassa cacing oligochaeta terjadi pada hari ke-40. Populasi tertinggi didapat pada perlakuan padat penebaran 4600 individu/m2 yaitu 447.904 individu/m2 dengan biomassa 2.239,52 g/m2, dan laju pertumbuhan biomassa sebesar 55,41 g/m2/hari (p<0.05). Kualitas air selama penelitian masih dalam kisaran optimum bagi pertumbuhan cacing oligochaeta. Perlakuan padat penebaran 4600 individu/m2 paling efektif untuk kegiatan usaha budidaya cacing oligochaeta dengan asumsi menggunakan 200 unit produksi dan harga jual cacing oligochaeta yaitu Rp 100.000 per kg, memberikan keuntungan sebesar Rp 52.892.500; R/C ratio sebesar 2,44; nilai BEPp yaitu Rp 28.429.146; BEPu yaitu 284,29 kg, HPP sebesar Rp 40.956 per kg; dan payback period selama 0,27 tahun atau 3,24 bulan.

(4)

ABSTRACT

MIRNA FEBRIYANI. Oligochaeta Cultivation with Different Stocking Densities at opened system. Supervised by IIS DIATIN and YANI HADIROSEYANI.

Oligochaeta which also known as the silk worm is one type of natural feeds which has high nutrient content and it is much wanted by fish farmers. The purpose of this research is to determine the most effective stocking density to reach the highest periods population and biomass resulted in the oligochaeta cultivation at opened system, with water drainage at all times.The containerused is wooden box sized (100x25x20) cm3 which coated black plastic. The medium used is a mixture of sludge and chicken manure. The stocking density treatments that tested were 2600 individual/m2, 3600 individual/m2, and 4600 individual/m2. Each treatment was repeated 3 times. Oligochaeta worms were given additional fertilizer of fermented chicken manure about 1 kg/m2 per day. The results show

that the highest population and biomass of oligochaeta worm occurred on 40th day. The highest population obtained with solid stocking treatment at 4600 individual/m2 about 447,904 individual/m2 with biomass of 2,239.52 g/m2,

and highest biomass growth rate are 55.41 g/m2/day (p<0.05). Water quality during the research is still at optimum range for growth of the oligochaeta worms. Treatment with stocking density 4600 individual/m2 is the most effective for the silk worms cultivation activities by using the assumption of 200 units of production and selling price of the silk worm is IDR 100,000 per kg, given a profit index IDR 52,892,500; R/C ratio 2.44; BEPp IDR 28,429,146; BEPunits 284.29 kg, production cost IDR 40,956 per kg, and payback period for 0.27 years or 3.24 months.

(5)

BUDIDAYA CACING OLIGOCHAETA DENGAN PADAT

PENEBARAN BERBEDA PADA SISTEM TERBUKA

MIRNA FEBRIYANI

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

201

(6)

Judul Skripsi : Budidaya Cacing Oligochaeta dengan Padat Penebaran Berbeda pada Sistem Terbuka

Nama Mahasiwa : Mirna Febriyani Nomor Pokok : C14070085

Disetujui

Pembimbing I Pembimbing II

Ir. Iis Diatin, MM. Ir. Yani Hadiroseyani, MM. NIP. 19630908 199002 2 001 NIP. 19600131 198603 2 002

Diketahui

Ketua Departemen Budidaya Perairan

Dr. Odang Carman NIP. 19591222 198601 1 001

(7)

KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini dengan baik. Penelitian dilakukan pada bulan Juni sampai bulan Agustus 2011 bertempat di Balai Benih Ikan Air Tawar (BBIAT), Manggar, Belitung Timur dengan judul “Budidaya Cacing Oligochaeta dengan Padat Penebaran Berbeda pada Sistem Terbuka”.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir. Iis Diatin, MM. dan Ir. Yani Hadiroseyani, MM. selaku komisi pembimbing, atas segala bimbingan yang diberikan kepada penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr. Mia Setiawati selaku dosen penguji atas masukan dan sarannya kepada penulis. Selain itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Mustofa, S.Pt selaku pimpinan BBIAT Belitung Timur yang telah memperkenankan penulis untuk penelitian. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada orang tua serta kakak-adik (Kak Merry, Bang Anja, dan Riyan), atas semua dukungan dan kasih sayang yang diberikan, baik moril maupun materil serta doa yang selalu mengalir tanpa henti kepada penulis. Teman-teman di Asrama Belitong “Tanjong Tinggi”, warga IKPB cabang Bogor, Comb44t (BDP 44), BDP 45, BDP 46 dan SISTEK’ers 44, terima kasih sudah bisa menjadi sahabat-sahabat terbaik buat penulis. Pak Basran, Mas Pri, Bang Jo, dan Bu Rukini selaku teknisi BBIAT Belitung Timur, terima kasih telah membantu penulis selama penelitian. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.

Bogor, Maret 2012

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 26 Februari 1990 di Tanjungpandan, Belitung. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Mustari dan Ibu Nursiah.

Penulis melalui pendidikan formal di SMA Negeri 1 Tanjungpandan dan lulus tahun 2007. Pada tahun yang sama, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) sebagai mahasiswa Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).

Selama mengikuti Perkuliahan, penulis aktif dalam organisasi Forum Keluarga Muslim−C (FKM-C), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan selama satu periode (2009-2010) dan tergabung dalam anggota Ikatan Keluarga Pelajar Belitung (IKPB) cabang Bogor dari tahun 2007 hingga sekarang. Pada tahun 2009 penulis melaksanakan Program Kreatifitas Mahasiswa yang didanai berjudul “Usaha budidaya ikan hias hantu hitam Apteronotus albifrons dengan memanfaatkan lahan sempit kos-kostan mahasiswa”. Selain itu, penulis pernah magang di Balai Benih Ikan, Cangkringan, Yogyakarta dan di Balai Budidaya Laut, Lampung. Penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, dengan judul “Budidaya Cacing Oligochaeta dengan Padat Penebaran Berbeda pada Sistem Terbuka”.

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

I. PENDAHULUAN ... 1

II. BAHAN DAN METODE ... 3

2.1 Wadah Budidaya ... 3 2.2 Media Budidaya ... 3 2.2.1 Lumpur ... 4 2.2.2 Kotoran ayam ... 4 2.3 Cacing Uji ... 4 2.4 Metode Budidaya ... 4 2.4.1 Persiapan... 4 2.4.2 Penebaran ... 5 2.4.3 Pengelolaan Air ... 5 2.4.4 Pemberian Pupuk ... 5 2.4.5 Sampling ... 6 2.5 Parameter Penelitian ... 6

2.5.1 Pertumbuhan Populasi (individu/m2) dan Biomassa (g/m2) ... 6

2.5.2 Laju Pertumbuhan Biomassa (g/m2/hari) ... 7

2.5.3 Parameter Kualitas Air ... 7

2.6 Analisis Data ... 7

2.7 Analisis Usaha ... 8

III. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 11

3.1 Hasil ... 11

3.1.1 Pertumbuhan Populasi Cacing Oligochaeta ... 12

3.1.2 Pertumbuhan Biomassa Cacing Oligochaeta ... 13

3.1.3 Laju Pertumbuhan Biomassa Cacing Oligochaeta ... 15

3.1.4 Kondisi Lingkungan Budidaya ... 16

3.1.5 Analisis Usaha ... 18

3.2 Pembahasan... 20

3.2.1 Kinerja Produksi ... 20

3.2.2 Analisis Usaha ... 25

IV. KESIMPULAN DAN SARAN ... 28

4.1 Kesimpulan ... 28

4.2 Saran ... 28

DAFTAR PUSTAKA ... 29

(10)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Parameter kualitas air, satuan, dan alat ukur ... 7

2. Kisaran kualitas air selama pemeliharaan cacing oligochaeta pada

masing-masing perlakuan ... 16

3. Analisis usaha budidaya cacing oligochaeta yang menggunakan sistem terbuka ... 19

(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Desain wadah penelitian ... 3 2. Cacing oligochata dari spesies Branchiura sowerbyi (a),

Lumbriculus sp. (b), dan Tubifex sp. (c) ... 4 3. EM4 sebagai larutan aktivator dalam fermentasi pupuk kotoran ayam ... 6 4. Perkembangan budidaya cacing oligochaeta pada hari ke-10 (a),

hari ke-20 (b), hari ke-30 (c), dan hari ke-40 (d). ... 11

5. Pertumbuhan populasi cacing oligochaeta selama pemeliharaan dengan padat penebaran berbeda ... 12

6. Histogram pertumbuhan populasi (log individu/m2) cacing oligochaeta yang dipelihara dengan padat penebaran berbeda pada hari ke-40 ... 13

7. Pertumbuhan biomassa cacing oligochaeta selama pemeliharaan dengan padat penebaran berbeda ... 14

8. Histogram pertumbuhan biomassa (log g/m2) cacing oligochaeta yang

dipelihara dengan padat penebaran berbeda pada hari ke-40 ... 14 9. Laju pertumbuhan biomassa cacing oligochaeta selama pemeliharaan

dengan padat penebaran berbeda ... 15

10. Perubahan kandungan oksigen terlarut selama pemeliharaan cacing

oligochaeta pada masing-masing perlakuan... 16 11. Perubahan nilai pH selama pemeliharaan cacing oligochaeta pada

masing-masing perlakuan... 17 12. Perubahan suhu selama pemeliharaan cacing oligochaeta pada masing-

masing perlakuan ... 17

13. Perubahan nilai TAN selama pemeliharaan cacing oligochaeta pada masing-masing perlakuan... 18

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Konstruksi budidaya cacing oligochaeta sistem terbuka ... 33

2. Metode fermentasi pupuk kotoran ayam ... 34

3. Kandungan bahan organik total dari berbagai jenis bahan ... 35

4. Data populasi cacing oligochaeta selama pemeliharaan (individu/m2) ... 36

5. Data biomassa cacing oligochaeta selama pemeliharaan (g/m2) ... 37

6. Laju pertumbuhan biomassa (g/m2/hari) cacing oligochaeta setiap sampling ... 38

7. Uji statistik populasi cacing oligochaeta pada hari ke-40 ... 39

8. Uji statistik biomassa cacing oligochaeta pada hari ke-40 ... 41

9. Data kualitas air selama pemeliharan... 43

10. Penjadwalan budidaya cacing oligochaeta selama 8 siklus dalam 1 tahun ... 45

11. Perhitungan nilai BEP dan jumlah bak yang digunakan ... 46

(13)

1

I.

PENDAHULUAN

Kegiatan budidaya perikanan merupakan kegiatan yang telah lama berkembang dan memiliki prospek usaha cukup menjanjikan. Hal ini terkait dengan adanya peningkatan produksi akuakultur yang menargetkan sasaran

produksi ikan sebesar 353%, yaitu 5,37 juta ton pada tahun 2010 sampai 16,89 juta ton pada tahun 2014 (DJPB 2010). Peningkatan produksi akuakultur

tersebut perlu ditunjang dengan peningkatan ketersediaan pakan terutama pakan alami yang sangat dibutuhkan dalam kegiatan pembenihan. Pemberian pakan alami sangat baik untuk larva atau benih ikan dikarenakan pakan alami tidak membahayakan kehidupan ikan, tidak mencemari lingkungan, ukurannya yang kecil mudah dimakan oleh benih ikan, dan gerakan atau warnanya dapat merangsang ikan untuk memangsa (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995). Salah satu pakan alami yang cukup baik dalam kegiatan pembenihan yaitu cacing oligochaeta. Cacing oligochaeta memiliki kandungan gizi cukup tinggi yang terdiri dari 65% protein, 15% lemak, dan 14% karbohidrat (Ajiningsih 1992).

Cacing oligochaeta berasal dari filum Annelida, kelas Clitelata, dan Subkelas Oligochaeta. Kebanyakan Oligochaeta merupakan spesies akuatik yang biasa hidup di air tawar. Di perairan alami, cacing oligochaeta akuatik terdiri dari berbagai spesies antara lain: Tubifex sp., Lumbriculus sp., Limnodrilus sp.,

Branchiura sowerbyi, Haplotaxis sp., Aulophorus furcatus, dan Dero limnosa

(Suwignyo et al. 2005). Berbagai spesies oligochaeta tersebut lebih dikenal oleh masyarakat dan pembudidaya ikan dengan sebutan cacing sutra.

Produksi cacing oligochaeta selama ini hanya didominasi oleh hasil tangkapan alam. Produksi dengan cara tersebut relatif memiliki kelemahan yaitu ketersediaannya yang selalu berfluktuatif tergantung jumlahnya di alam. Menurut Findy (2011), rata-rata biomassa cacing oligochaeta di selokan pengumpulan cacing bisa mencapai 2,2 kg/m2. Namun, kondisi tersebut tentu saja berbeda-beda untuk setiap daerah. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi limbah organik yang terdapat pada sungai di daerah tersebut. Ketersediaan cacing sutra di daerah Belitung relatif terbatas serta transportasi cacing oligochaeta dari daerah luar ke wilayah Belitung yang memakan waktu tempuh cukup jauh memungkinkan perlunya dilakukan usaha budidaya cacing oligochaeta agar tersedia cacing

(14)

2 oligochaeta yang kontinu dan segar untuk pakan benih ikan. Selain itu, harga cacing oligochaeta di daerah Belitung cukup mahal yaitu berkisar antara Rp 75.000,00 - Rp 100.000,00 per kg sedangkan harga cacing oligochaeta di luar Belitung seperti di Banten berkisar antara Rp 8.000,00 - Rp 10.000,00 per kg (Anonim 2011a) dan di Bogor yaitu Rp 12.000, 00 per kg (Anonim 2011b). Oleh karena itu, budidaya cacing oligochaeta di daerah Belitung memiliki prospek usaha yang cukup menjanjikan.

Budidaya cacing oligochaeta dapat dilakukan menggunakan sistem terbuka yakni dengan pengaliran air setiap saat. Sistem budidaya ini menyesuaikan habitat cacing oligochaeta yang berasal dari perairan umum seperti sungai. Keuntungan dari sistem budidaya terbuka ini yaitu kualitas air yang tetap terjaga karena pergantian air setiap saat. Menurut Rahman et.al (1992), peningkatan padat penebaran dapat mempengaruhi pertumbuhan. Semakin tinggi padat penebaran maka semakin banyak jumlah atau biomassa per satuan luas sehingga semakin intens tingkat pemeliharaannya (Effendi 2004). Oleh karena itu, perlu diketahui padat penebaran yang optimal pada budidaya cacing oligochaeta agar diperoleh hasil produksi yang maksimal.

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan padat penebaran yang paling efektif, waktu puncak populasi dan biomassa tertinggi, serta efisiensi ekonomi terbaik dalam budidaya cacing oligochaeta pada sistem terbuka dalam upaya peningkatan biomassa cacing.

(15)

3

II.

BAHAN DAN METODE

2.1 Wadah Budidaya

Wadah budidaya yang digunakan berdasarkan penelitian Chumaidi et al.

(1988) berupa kotak kayu sebanyak 9 buah yang dilapisi plastik hitam untuk mencegah kebocoran pada wadah. Selain itu penggunaan plastik hitam dikarenakan kebanyakan cacing oligochaeta lebih menyukai tempat gelap (Suwingnyo et al. 2005). Wadah yang digunakan berukuran panjang 100 cm, lebar 25 cm, dan tinggi 20 cm. Desain wadah yang digunakan dalam penelitian ditunjukkan pada Gambar 1.

u

Gambar 1. Desain wadah penelitian Keterangan :

1. Saluran pemasukan air (inlet) 2. Petak tempat media kultur 3. Lubang pengeluaran air (outlet) 4. Saluran pembuangan air

2.2 Media Budidaya

Media yang digunakan pada penelitian ini sesuai dengan penelitian Chumaidi dan Suprapto (1986) yaitu campuran dari lumpur halus dan kotoran ayam kering dengan perbandingan 1:1. Penggunaan substrat lumpur halus dan kotoran ayam dikarenakan cacing oligochaeta memakan lumpur bersama bahan organik yang ada pada kotoran ayam (Poddubnaya 1961 dalam Monakov 1972).

1

2

4 3

(16)

4

2.2.1 Lumpur

Lumpur yang digunakan terlebih dahulu dipisahkan dari sampah dan organisme benthos dengan cara lumpur yang diambil dari kolam budidaya ikan dijemur di bawah sinar matahari hingga kering. Selanjutnya lumpur dihaluskan kemudian disaring menggunakan saringan dengan ukuran mata jaring 0,8 mm.

2.2.2 Kotoran ayam

Kotoran ayam yang digunakan berasal dari peternak ayam pedaging, Manggar, Belitung Timur. Kotoran ayam diambil dari peternakan kemudian dijemur dibawah sinar matahari langsung hingga kering.

2.3 Cacing Uji

Cacing uji yang digunakan dalam penelitian ini merupakan cacing uji yang berasal dari subkelas Oligochaeta yang dibeli dari petani ikan lele dumbo di daerah kecamatan Badau, Belitung. Sebelum ditebar, cacing oligochaeta dimasukkan ke dalam bak penampungan. Cacing uji dipilih sesuai ukuran yang seragam dan telah mengalami kematangan seksual. Cacing yang digunakan memiliki bobot rata-rata individu 5 mg dengan panjang individu berkisar antara 3-4 cm. Gambar 2 berikut merupakan jenis-jenis cacing oligochaeta yang biasa ditemukan diperairan umum.

Sumber : Grabowski dan Jablonska (2009)

Gambar 2. Cacing oligochata dari spesies Branchiura sowerbyi (a),

Lumbriculus sp. (b), dan Tubifex sp. (c)

2.4 Metode Budidaya 2.4.1 Persiapan

Wadah berukuran (100x25x20) cm3 diisi substrat lumpur halus dan kotoran ayam kering dengan perbandingan 1:1. Kedua campuran tersebut diaduk

(17)

5 merata dan dibuat dengan ketinggian 6 cm. Wadah digenangi air setinggi 2 cm di atas permukaan substrat kemudian dibiarkan selama 10 hari. Penggenangan bertujuan agar pupuk awal pada media dapat terurai oleh bakteri sehingga bakteri tersebut dapat menjadi makanan awal bagi cacing oligochaeta.

2.4.2 Penebaran

Penebaran cacing oligochaeta dilakukan setelah 10 hari penggenangan. Padat penebaran yang digunakan yaitu 2600 individu/m2, 3600 individu/m2, dan 4600 individu/m2. Perlakuan padat penebaran pada penelitian ini berdasarkan penelitian Simamora (1992) yang melakukan budidaya cacing oligocaeta dengan padat penebaran 3600 individu/m2 dan penelitian Oplinger et al. (2011) yang

melakukan budidaya cacing oligochaeta dengan padat penebaran 2600 individu/m2 sehingga diperoleh interval perlakuan padat penebaran 2600 individu/m2, 3600 individu/m2 dan 4600 individu/m2. Sebelum ditebar,

cacing uji dihitung satu persatu sesuai jumlah perlakuan padat penebaran selanjutnya biomassa cacing uji ditimbang kemudian ditebar ke dalam wadah pemeliharaan.

2.4.3 Pengelolaan Air

Pengelolaan air dilakukan dengan cara penggantian air baru setiap saat (sistem terbuka). Penggantian air setiap saat dilakukan agar kualitas air pada wadah pemeliharaan tetap terjaga. Air yang digunakan berasal dari air pegunungan lalu dialirkan ke dalam wadah pemeliharaan secara gravitasi (Lampiran 1). Debit yang digunakan dalam penelitian ini yaitu 1000 mℓ/menit (Chumaidi et al. 1988). Debit air yang masuk ke dalam wadah diatur dengan menggunakan klep pada selang pemasukan.

2.4.4 Pemberian Pupuk

Pupuk yang diberikan adalah pupuk kotoran ayam yang telah difermentasikan menggunakan aktivator EM4 (Effective Microorganism4) (Gambar 3). Hal ini sesuai penelitian Fadillah (2004) bahwa penggunaan pupuk kotoran ayam hasil fermentasi dapat meningkatkan kandungan N-organik dari 1,44% menjadi 1,88% dan kandungan C-organik dari 6,77% menjadi 9,40%.

(18)

6 Dosis pupuk tambahan yang diberikan yaitu sebanyak 1 kg/m2/hari. Metode fermentasi pupuk kotoran ayam dapat dilihat pada Lampiran 2.

Gambar 3. EM4 sebagai larutan aktivator dalam fermentasi pupuk kotoran ayam

2.4.5 Sampling

Pengambilan contoh (sampling) dilakukan setiap 10 hari sekali. Hal ini sesuai dengan pendapat Kasiorek (1974) yang menyatakan bahwa waktu yang dibutuhkan selama perkembangan embrio, mulai dari telur hingga cacing muda yang baru keluar dari kepompongnya sekitar 10-12 hari. Parameter yang diamati yaitu populasi, biomassa, dan kualitas air (oksigen terlarut, pH, suhu, dan TAN). Sampling dilakukan pada 3 tempat dalam setiap wadah, yaitu inlet (pemasukan), tengah, dan outlet (pengeluaran).

2.5 Parameter Penelitian

2.5.1 Pertumbuhan Populasi (individu/m2) dan Biomassa (g/m2)

Pengambilan contoh untuk mengetahui populasi dan biomassa dilakukan dengan membenamkan pipa paralon berdiamater 3 cm dengan luas permukaan lubang 7,07 cm2 ke dalam substrat, lalu diangkat sambil ditutup lubang bagian atasnya dengan telapak tangan. Substrat yang diambil ditampung dalam serok bermata jaring halus kemudian substrat dicuci sampai airnya tidak keruh lalu diserakkan di atas kaca berukuran 25 cm x 20 cm. Cacing dipisahkan dengan menggunakan jarum bedah. Setelah itu cacing dikumpulkan kemudian dihitung

(19)

7 satu per satu dan ditimbang menggunakan timbangan yang mempunyai ketelitian 2 digit di belakang koma dalam satuan gram.

2.5.2 Laju Pertumbuhan Biomassa (g/m2/hari)

Laju pertumbuhan biomassa (Yield) menurut Hepher (1978) dihitung dengan menggunakan rumus :

Yield = Bt-B0 t

Keterangan : Yield = Laju pertumbuhan biomassa (g/m2/hari) Bt = Biomassa pada hari ke-t (g/m2)

B0 = Biomassa pada hari ke-0 (g/m2)

t = Waktu pengamatan pada hari ke-t (hari)

2.5.3 Parameter Kualitas Air

Parameter kualitas air yang diukur yakni parameter fisika dan parameter kimia. Parameter fisika yang diukur adalah suhu yang dilakukan setiap hari, sedangkan parameter kimia yang diukur adalah oksigen terlarut, pH, dan TAN (Total Ammonia Nitrogen) yang diukur setiap 10 hari sekali. Pengambilan sampel air dilakukan pada 3 titik yaitu bagian inlet, tengah, dan outlet.

Tabel 1. Parameter kualitas air, satuan, dan alat ukur

Parameter Satuan Alat Ukur

Suhu oC Termometer digital

Oksigen terlarut ppm DO meter

pH - pH meter

TAN ppm Spektrofotometer

2.6 Analisis Data

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan, masing-masing diulang sebanyak 3 kali. Adapun perlakuan tersebut adalah sebagai berikut :

Perlakuan A = Padat penebaran cacing oligochaeta 2600 individu/m2 Perlakuan B = Padat penebaran cacing oligochaeta 3600 individu/m2 Perlakuan C = Padat penebaran cacing oligochaeta 4600 individu/m2

(20)

8 Data yang diperoleh kemudian ditabulasi dan dianalisisis menggunakan program Microsoft Excel 2007 dan SPSS 17.0 yang meliputi Analisis Ragam (ANOVA) dengan uji F pada selang kepercayaan 95% digunakan untuk menentukan ada tidaknya pengaruh perlakuan terhadap pertumbuhan populasi dan biomassa cacing oligochaeta. Apabila hasil berbeda nyata maka dilakukan uji lanjut menggunakan uji Tukey. Model statistik yang digunakan sesuai dengan Steel dan Torrie (1993) yaitu :

Y ij = µ + σ i + ε ij Keterangan :

Yij = Hasil pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j µ = Nilai tengah dari pengamatan

σi = Pengaruh aditif perlakuan ke-i

ε ij = Pengaruh galat akibat perlakuan ke-i ulangan ke-j

Hipotesis : H0 = perlakuan padat penebaran tidak memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan populasi dan biomassa cacing oligochaeta

H1 = perlakuan padat penebaran memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan populasi dan biomassa cacing oligochaeta

2.7 Analisis Usaha

Analisis usaha dilakukan untuk mengetahui sampai sejauh mana keberhasilan usaha yang telah dicapai selama kegiatan berlangsung. Komponen analisis usaha yang digunakan pada penelitian ini ada enam parameter, yakni penerimaan, keuntungan, R/C, PP, BEP, dan HPP.

Penerimaan adalah jumlah produk yang dihasilkan dikalikan dengan harga

produk. Penerimaan dapat dihitung menggunakan rumus Martin et al. (2005): TR = Q x P

Keterangan : TR = Total Revenue (total penerimaan)

Q = Quantity (Biomassa cacing sutra yang dijual) P = Price (Harga cacing sutra per kg)

Keuntungan adalah selisih antara total penerimaan dan total biaya. Keuntungan dapat dihitung menggunakan rumus Martin et al. (2005):

(21)

9 Keterangan : π = Keuntungan

TR = Total Revenue (total penerimaan) TC = Total Cost (total pengeluaran)

Analisis Revenue of Cost (R/C) merupakan alat analisis yang digunakan untuk melihat pendapatan relatif suatu usaha dalam 1 tahun terhadap biaya yang dipakai dalam kegiatan tersebut. Suatu usaha dikatakan layak jika nilai R/C lebih besar dari 1 (R/C > 1). Semakin tinggi nilai R/C maka tingkat keuntungan suatu usaha akan semakin tinggi (Mahyuddin 2007). Nilai R/C dapat dihitung menggunakan rumus Mahyuddin (2007):

R/C ratio = ∑ TR ∑ TC

Keterangan : ∑TR = Total Revenue (total penerimaan) ∑TC = Total Cost (total pengeluaran)

Analisis PP (Payback Period) atau tingkat pengembalian investasi yaitu suatu periode yang menunjukkan berapa lama modal yang ditanamkan dalam suatu usaha dapat kembali (Rangkuti 2006). Semakin kecil angka yang dihasilkan mempunyai arti semakin cepat tingkat pengembalian investasinya, maka usaha tersebut semakin baik untuk dilaksanakan Kasmir dan Jakfar (2003). Payback Period dapat hitung menggunakan rumus menurut Rangkuti (2006):

PP = I

π

x

1 tahun

Keterangan : I = Biaya Investasi π = Keuntungan

BEP (Break Even Point) merupakan alat analisis yang digunakan untuk mengetahui batas nilai produksi atau volume produksi suatu usaha mencapai titik impas, yaitu tidak untung dan tidak rugi. Menurut Martin et al. (1991), BEP penerimaan (BEPp) menunjukkan bahwa produksi dikatakan impas jika memperoleh penerimaan sebesar nominal tertentu sedangkan BEP unit (BEPu) menunjukkan bahwa produksi dikatakan impas jika telah melakukan penjualan sebesar jumlah tertentu . BEPp dan BEPu dapat dihitung menggunakan rumus menurut rumus berikut :

BEPp (Rp) = TFC 1- TVC

TR

(22)

10 BEPu (kg) = TFC

P- TVC

Q

Keterangan : TFC = Total Fix Cost (Biaya Tetap)

TVC = Total Variable Cost (Biaya Variabel) P = Price (Harga per kg)

TR = Total Revenue (Penerimaan)

Q = Quantity (Nilai hasil produksi/biomassa cacing sutra) HPP (Harga Pokok Produksi) merupakan nilai atau biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi 1 unit produk (Rahardi et al. 1998). HPP dihitung menggunakan rumus berikut :

HPP = ∑ TC Q

Keterangan : ∑ TC = Total Cost (total pengeluaran)

(23)

11

III.

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil

Berikut ini merupakan hasil pengamatan terhadap perlakuan padat penebaran yang dilakukan selama penelitian, meliputi : pertumbuhan populasi, pertumbuhan biomassa, laju pertumbuhan biomassa, kondisi lingkungan budidaya, dan analisis ekonomi. Gambar 4 berikut merupakan perkembangan budidaya cacing oligochaeta dari hari ke-10 sampai puncak hari ke-40.

25 cm

Gambar 4. Perkembangan budidaya cacing oligochaeta pada hari ke-10 (a), hari ke-20 (b), hari ke-30 (c), dan hari ke-40 (d).

a b

(24)

12

3.1.1 Pertumbuhan Populasi Cacing Oligochaeta

Pengamatan pertumbuhan populasi cacing oligochaeta dilakukan untuk mengetahui seberapa besar perkembangan cacing oligochaeta mulai dari penebaran sampai akhir pemeliharaan. Hasil pengamatan terhadap pertumbuhan populasi cacing oligochaeta pada masing-masing perlakuan disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5. Pertumbuhan populasi cacing oligochaeta selama pemeliharaan dengan padat penebaran berbeda

Gambar 5 menunjukkan bahwa populasi cacing oligochaeta cenderung meningkat sejalan dengan lamanya masa pemeliharaan hingga mencapai puncaknya pada hari ke-40. Populasi tertinggi dicapai pada perlakuan padat penebaran 4600 individu/m2 yaitu 447.904 individu/m2 diikuti oleh perlakuan padat penebaran 3600 individu/m2 yaitu 197.216 individu/m2 dan populasi

terendah pada perlakuan padat penebaran 2600 individu/m2 yaitu 111.976 individu/m2 (Lampiran 4).

Perkembangan populasi cacing oligochaeta yang dipelihara pada perlakuan padat penebaran berbeda memiliki pola yang hampir sama (Gambar 5). Pada awal pemeliharaan hingga hari ke-20, peningkatan populasi cacing oligochaeta belum

terlihat jelas. Namun pada hari ke-30, perlakuan padat penebaran 4600 individu/m2 sudah mulai mengalami peningkatan populasi sedangkan

perlakuan padat penebaran 3600 individu/m2 dan 2600 individu/m2 mulai mengalami peningkatan populasi pada hari ke-40. Setelah hari ke-40 sampai akhir

0 50.000 100.000 150.000 200.000 250.000 300.000 350.000 400.000 450.000 500.000 0 10 20 30 40 50 60 Popula si ( indi v idu/ m 2)

Masa Pemeliharaan (hari)

2600 individu/m² 3600 individu/m² 4600 individu/m²

(25)

13 pemeliharaan yaitu hari ke-60, populasi cacing oligochaeta pada semua perlakuan cenderung menurun. Uji statistik populasi cacing oligochaeta pada hari ke-40 ditunjukkan pada Gambar 6.

Keterangan : Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%

Gambar 6. Histogram pertumbuhan populasi (log individu/m2) cacing oligochaeta yang dipelihara dengan padat penebaran berbeda pada hari ke-40

Hasil analisis ragam pada Gambar 6 menunjukkan bahwa perbedaan padat penebaran memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan populasi cacing oligochaeta (p<0.05). Setelah diuji lanjut Tukey, pertumbuhan populasi pada perlakuan padat penebaran 2600 individu/m2 berbeda nyata dengan pertumbuhan populasi pada perlakuan padat penebaran 4600 individu/m2 namun pertumbuhan populasi pada perlakuan padat penebaran 3600 individu/m2 tidak berbeda nyata baik pada perlakuan padat penebaran 2600 individu/m2 maupun pada perlakuan padat penebaran 4600 individu/m2 (Lampiran 7).

3.1.2 Pertumbuhan Biomassa Cacing Oligochaeta

Pengamatan terhadap pertumbuhan biomassa cacing oligochaeta dilakukan untuk mengetahui seberapa besar produksi yang dihasilkan dari budidaya cacing oligochaeta selama pemeliharaan. Hasil pengamatan terhadap pertumbuhan biomassa cacing oligochaeta pada masing-masing perlakuan selama penelitian disajikan pada Gambar 7.

5,040 ± 0,11 5,267 ± 0,20 5,610 ± 0,25 4,0 4,2 4,4 4,6 4,8 5,0 5,2 5,4 5,6 5,8 6,0 2600 3600 4600 Popula si ( log i ndi v idu/ m 2)

Padat Penebaran (individu/m2)

(26)

14 Gambar 7. Pertumbuhan biomassa cacing oligochaeta selama pemeliharaan

dengan padat penebaran berbeda

Gambar 7 menunjukkan pola pertumbuhan biomassa cacing oligochaeta pada semua perlakuan hampir sama. Pertumbuhan biomassa mencapai puncak pada hari ke-40 dengan biomassa tertinggi terdapat pada perlakuan padat penebaran 4600 individu/m2 yakni sebesar 2.239,52 g/m2 diikuti perlakuan padat penebaran 3600 individu/m2 yaitu 986,08 g/m2 dan hasil terendah terdapat pada perlakuan padat penebaran 2600 individu/m2 yaitu 559,88 g/m2. Rincian data biomassa cacing oligochaeta selama pemeliharaan pada setiap perlakuan dapat dilihat pada Lampiran 5. Berikut uji statistik biomassa cacing oligochaeta pada hari ke-40 yang ditunjukkan pada Gambar 8.

Keterangan : Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%

Gambar 8. Histogram pertumbuhan biomassa (log g/m2) cacing oligochaeta yang dipelihara dengan padat penebaran berbeda pada hari ke-40

0 500 1.000 1.500 2.000 2.500 0 10 20 30 40 50 60 B iom as sa ( g /m 2)

Masa Pemeliharaan (hari)

2600 individu/m² 3600 individu/m² 4600 individu/m² 2,74 ± 0,11 2,97 ± 0,20 3,31 ± 0,25 0,00 0,50 1,00 1,50 2,00 2,50 3,00 3,50 4,00 2600 3600 4600 B iom as sa ( Log g /m 2)

Padat Penebaran (individu/m2)

(27)

15 Hasil analisis ragam pada Gambar 8 menunjukkan bahwa perbedaan padat penebaran memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan populasi cacing oligochaeta (p<0.05). Setelah diuji lanjut Tukey, perlakuan padat penebaran 2600 individu/m2 berbeda nyata dengan padat penebaran 4600 individu/m2 namun pertumbuhan populasi pada perlakuan padat penebaran 3600 individu/m2 tidak berbeda nyata baik pada perlakuan padat penebaran 2600 individu/m2 maupun pada perlakuan padat penebaran 4600 individu/m2 (Lampiran 8).

3.1.3 Laju Pertumbuhan Biomassa Cacing Oligochaeta

Laju pertumbuhan biomassa cacing oligochaeta dapat dihitung dari hasil pengamatan terhadap pertumbuhan biomassa cacing oligochaeta. Gambar 9 menunjukkan laju pertumbuhan biomassa cacing oligochaeta selama pemeliharaan pada masing-masing perlakuan.

Gambar 9. Laju pertumbuhan biomassa cacing oligochaeta selama pemeliharaan dengan padat penebaran berbeda

Laju pertumbuhan biomassa cacing oligochaeta semakin meningkat sejalan dengan masa pemeliharaan sampai hari ke-40 namun terjadi penurunan laju pertumbuhan biomassa pada hari ke-50 dan hari ke-60 (Gambar 9). Laju pertumbuhan biomassa tertinggi pada hari ke-40 dicapai pada perlakuan padat penebaran 4600 individu/m2 yaitu 55,41 g/m2/hari disusul oleh perlakuan padat penebaran 3600 individu/m2 yaitu 24,20 g/m2/hari sedangkan nilai terendah diperoleh pada perlakuan padat penebaran 2600 individu/m2 yaitu 13,67 g/m2/hari (Lampiran 6). -10,00 0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 0 10 20 30 40 50 60 Laj u Per tum buhan B iom as sa (g /m 2/har i)

Masa Pemeliharaan (hari)

2600 individu/m² 3600 individu/m² 4600 individu/m²

(28)

16

3.1.4 Kondisi Lingkungan Budidaya

Kondisi lingkungan budidaya merupakan faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup cacing oligochaeta. Parameter lingkungan budidaya yang diukur selama pemeliharaan cacing oligochaeta yaitu : oksigen terlarut, pH, suhu, dan TAN (Tabel 2).

Tabel 2. Kisaran kualitas air selama pemeliharaan cacing oligochaeta pada masing-masing perlakuan Parameter uji Perlakuan Kisaran optimal Sumber A B C DO (ppm) 2,30-3,70 2,37-3,57 2,13-3,63 2,5-7 Poddubnaya (1980) pH 6,40-6,97 6,33-7,07 6,47-7,03 6,0-9,0 Witley (1967)

Suhu (oC) 23,7-25,8 23,6-26,0 23,7-25,5 20-25 Nascimento dan Alves (2009)

TAN (ppm) 0,40-1,42 0,27-1,93 0,33-1,75 <3,8 Angel dan Pilar (2004)

Selama pemeliharaan, kualitas air pada masing-masing perlakuan mengalami perubahan. Gambar 10 menunjukkan perubahan kandungan oksigen terlarut pada masing-masing perlakuan selama pemeliharaan cacing oligochaeta.

Gambar 10. Perubahan kandungan oksigen terlarut selama pemeliharaan cacing oligochaeta pada masing-masing perlakuan

Kandungan oksigen terlarut tertinggi diperoleh pada perlakuan A pada awal pemeliharaan dengan nilai rata-rata kandungan oksigen terlarut sebesar 3,32 ppm sedangkan nilai kandungan oksigen terlarut terendah terdapat pada perlakuan C pada hari ke 20 dengan rata-rata kandungan oksigen terlarut yaitu 2,24 ppm (Lampiran 9a). 0,00 0,50 1,00 1,50 2,00 2,50 3,00 3,50 0 10 20 30 40 50 60 O k si g en ter lar ut ( ppm )

Masa Pemeliharaan (hari)

2600 individu/m² 3600 individu/m² 4600 individu/m²

(29)

17 Gambar 11. Perubahan nilai pH selama pemeliharaan cacing oligochaeta pada

masing-masing perlakuan

Nilai pH selama pemeliharaan berkisar antara 6,40-6,96. Gambar 11 menunjukkan tidak ada perbedaan terhadap perubahan pH pada masing-masing perlakuan, namun pada awal pemeliharaan nilai pH terlihat lebih tinggi pada setiap perlakuan. Kisaran pH pada perlakuan A antara 6,54-6,92, perlakuan B antara 6,40-6,96 dan perlakuan C antara 6,58-6,89 (Lampiran 9b).

Gambar 12. Perubahan suhu selama pemeliharaan cacing oligochaeta pada masing-masing perlakuan

Suhu air budidaya selama penelitian berkisar antara 23,8 oC hingga 25,4 oC. Rata-rata suhu pada perlakuan A berkisar antara 23,8-25,4 oC, perlakuan B berkisar antara 23,8-25,4 oC, dan perlakuan C berkisar antara 23,8-25,2 oC. Suhu

6,00 6,10 6,20 6,30 6,40 6,50 6,60 6,70 6,80 6,90 7,00 7,10 0 10 20 30 40 50 60 pH

Masa Pemeliharaan (hari)

2600 individu/m² 3600 individu/m² 4600 individu/m² 20 21 22 23 24 25 26 0 10 20 30 40 50 60 Suhu ( oC)

Masa Pemeliharaan (hari)

2600 individu/m² 3600 individu/m² 4600 individu/m²

(30)

18 air mulai terjadi penurunan pada hari ke-30 dan hari ke-40 kemudian mulai meningkat pada hari ke-50 dan hari ke-60 (Gambar 12).

Gambar 13. Perubahan nilai TAN selama pemeliharaan cacing oligochaeta pada masing-masing perlakuan

Secara umum, rata-rata nilai TAN pada perlakuan A berkisar antara 0,47-1,17 ppm, pada perlakuan B berkisar antara 0,34-1,49 ppm, serta pada

perlakuan C berkisar antara 0,37-1,36 ppm (Lampiran 9d). Gambar 13 menunjukkan pola perubahan nilai TAN selama pemeliharaan pada setiap perlakuan cenderung mengalami penurunan pada akhir pemeliharaan. Kandungan TAN terendah terjadi pada hari ke-60 pada masing-masing perlakuan.

3.1.5 Analisis Usaha

Analisis usaha dihitung dalam jangka waktu satu tahun. Analisis usaha budidaya cacing oligochaeta setiap perlakuan ditunjukkan pada Tabel 3 dengan asumsi yang digunakan dalam analisis usaha adalah sebagai berikut :

a. Harga faktor produksi dianggap tetap selama siklus produksi

b. Masa budidaya cacing oligochaeta yaitu 20 hari persiapan awal dan 40 hari pemeliharaan pada siklus pertama, kemudian siklus kedua dan seterusnya yaitu 40 hari pemeliharaan.

c. Selama 1 tahun dilakukan 8 siklus produksi (Penjadwalan di Lampiran 10) d. Break Even Point (BEPu) menggunakan asumsi berdasarkan perlakuan padat

tebar 3600 individu/m2 yaitu 354 kg dengan jumlah bak sebanyak 180 buah (Perhitungan di Lampiran 11)

e. Luas lahan budidaya cacing oligochaeta pada setiap perlakuan yaitu 200 m2

0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2 1,4 1,6 0 10 20 30 40 50 60 T AN ( pp m )

Masa Pemeliharaan (hari)

2600 individu/m² 3600 individu/m² 4600 individu/m²

(31)

19 f. Wadah yang digunakan berupa kotak kayu berukuran (100x25x20)cm3

sebanyak 200 buah untuk setiap perlakuan dengan padat penebaran : 1. 2600 individu/m2 dengan biomassa 13 g/m2 atau 3,25 g/wadah 2. 3600 individu/m2 dengan biomassa 18 g/m2 atau 4,50 g/wadah 3. 4600 individu/m2 dengan biomassa 23 g/m2 atau 5,75 g/wadah

g. Biomassa panen pada perlakuan A, B, dan C berturut-turut adalah 559,88 g/m2, 986,08 g/m2, dan 2.239,52 g/m2

h. Biaya tenaga kerja teknisi berdasarkan UMR tahun 2012 di daerah Belitung yaitu Rp 1.110.000,00 per bulan per orang (Anonim 2012) dengan pertimbangan pengerjaan yaitu memelihara cacing, memberi pupuk, dan panen. i. Harga bibit cacing oligochaeta yaitu Rp 75.000,00/kg

j. Harga jual cacing oligochaeta yaitu Rp 100.000,00/kg

Tabel 3 di bawah ini menunjukkan analisis usaha budidaya cacing oligochaeta yang menggunakan sistem terbuka meliputi : biaya investasi, biaya tetap, biaya variabel, penerimaan, keuntungan, R/C rasio, payback period (PP), Harga Pokok Produksi (HPP), dan Break Even Point (BEP).

Tabel 3. Analisis usaha budidaya cacing oligochaeta yang menggunakan sistem terbuka

Komponen Perlakuan

2600 individu/m2 3600 individu/m2 4600 individu/m2

Biaya investasi (Rp) 14.043.500 14.043.500 14.043.500 Biaya Tetap (Rp) 24.589.500 24.589.500 24.589.500 Biaya variabel (Rp) 11.798.800 11.948.800 12.098.800 Biaya total (Rp) 36 388.300 36.538.300 36.688.300 Penerimaan (Rp) 22.395.200 39.443.200 89.580.800 Keuntungan (Rp) -13.993.100 2.904.900 52.892.500 R/C ratio 0,62 1,08 2,44 BEP (Rp) 52.969.232 35.275.859 28.429.146 BEP (kg) 519,70 352,76 284,29 HPP (Rp/kg) 162.483 92.635 40.956 PP (tahun) - 4,83 0,27

* Rincian biaya disajikan pada Lampiran 10

Analisis usaha pada Tabel 3 menunjukkan bahwa keuntungan terbesar terdapat pada perlakuan padat penebaran 4600 individu/m2, yaitu Rp 52.892.500 per tahun dan kerugian terjadi pada perlakuan padat penebaran 2600 individu/m2, yaitu Rp -13.993.100 sedangkan budidaya cacing oligochaeta dengan padat penebaran 3600 individu/m2 dapat memberikan keuntungan namun hanya sebesar

(32)

20

Rp 2.904.900 per tahun. Nilai R/C pada perlakuan padat penebaran 2600 individu/m2 memperoleh nilai terkecil dibandingkan perlakuan padat

penebaran 3600 individu/m2 dan 4600 individu/m2 yakni 0,62 yang berarti setiap pengeluaran biaya sebesar Rp 1,00 penerimaan hanya sebesar Rp 0,62. Nilai R/C pada perlakuan padat penebaran 3600 individu/m2 dan 4600 individu/m2 secara berturut-turut yaitu 1,08 dan 2,44. Hal ini berarti setiap pengeluaran biaya sebesar Rp 1,00 diperoleh penerimaan sebesar Rp 1,08 dan Rp 2,44.

Nilai BEPp pada perlakuan padat penebaran 2600 individu/m2 yaitu Rp 52.969.232 dan BEPu sebanyak 519,70 kg yang berarti penerimaan harus

mencapai Rp 52.969.232 dengan nilai produksi 519,70 kg agar usaha mencapai titik impas. Nilai BEPp pada perlakuan padat penebaran 3600 individu/m2 yaitu Rp 35.275.859 dan BEPu sebanyak 352,76 kg, artinya titik impas dicapai pada saat penerimaan Rp 35.275.859 dengan nilai produksi 352,76 kg sedangkan pada perlakuan padat tebar 4600 individu/m2, titik impas dicapai pada saat penerimaan sebesar Rp 28.429.146 dan produksi sebanyak 284,29 kg.

Berdasarkan Tabel 2 diketahui nilai HPP pada perlakuan padat penebaran 2600 individu/m2 yaitu Rp 162.483, yang artinya agar usaha tidak rugi maka harus menjual cacing sutra dengan harga lebih dari Rp 162.483. Begitu juga dengan perlakuan padat penebaran 3600 individu/m2 dan 4600 individu/m2 yang masing-masing nilai HPPnya yaitu Rp 92.635 dan Rp 40.956 sehingga agar tidak rugi maka harus menjual cacing sutra dengan harga masing-masing lebih dari Rp 92.635 dan Rp 40.956.

Nilai PP pada perlakuan padat penebaran 3600 individu/m2 dan 4600 individu/m2 secara berturut-urut yaitu 4,83 tahun dan 0,27 tahun (3,24 bulan). Berdasarkan nilai PP tersebut dapat diketahui bahwa pengembalian

modal tercepat terdapat pada perlakuan padat tebar 4600 individu/m2. Namun untuk perlakuan padat penebaran 2600 individu/m2 tidak dapat dihitung nilai PP dikarenakan nilai keuntungan usahanya tidak ada (rugi).

3.2 Pembahasan

3.2.1 Kinerja Produksi

Pola pertumbuhan cacing oligochaeta pada setiap perlakuan hampir sama dengan puncak populasi dan biomassa terjadi pada hari ke-40 (Gambar 5 dan 7).

(33)

21 Hasil analisis statistik yang dilakukan pada hari ke-40 memperlihatkan bahwa perlakuan padat penebaran yang berbeda memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan populasi dan biomassa cacing oligochaeta (p<0.05). Uji lanjut Tukey memperlihatkan hasil perlakuan padat penebaran 2600 individu/m2 berbeda nyata terhadap perlakuan padat penebaran 4600 individu/m2 sedangkan perlakuan padat penebaran 3600 individu/m2 tidak berbeda nyata terhadap perlakuan padat penebaran 2600 individu/m2 dan 4600 individu/m2 (Lampiran 7 dan 8). Populasi

dan biomassa tertinggi diperoleh pada perlakuan padat penebaran 4600 individu/m2 sedangkan perlakuan padat penebaran 2600 individu/m2

mendapatkan hasil terendah. Tingginya jumlah populasi dan biomassa pada perlakuan padat penebaran 4600 individu/m2 disebabkan jumlah cacing yang ditebar diawal pemeliharaan lebih tinggi sehingga diduga peluang jumlah telur yang dihasilkan juga lebih tinggi. Hal ini berkaitan dengan jumlah populasi dan biomassa yang dihasilkan selama pemeliharaan cacing oligochaeta. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa semakin tinggi padat penebaran maka peluang menghasilkan individu baru juga semakin tinggi.

Hasil penelitian ini jika dibandingkan penelitian sebelumnya yang menggunakan sistem budidaya terbuka dengan penggunaan pupuk kotoran ayam tanpa fermentasi pada padat penebaran 938 individu/m2, populasi tertinggi terjadi pada hari ke-40 sebesar 213.415 individu/m2 dengan biomassa sebesar 292 g/m2 (Febrianti 2004). Fadillah (2004) menggunakan padat penebaran yang sama dengan Febrianti (2004) namun dengan pupuk kotoran ayam yang difermentasi, populasi tertinggi terjadi pada hari ke-40 sebesar 661.477 individu/m2 dengan biomassa sebesar 1.720 g/m2. Penelitian Efiyanti (2003) yang menggunakan cacing sutra dari limbah organik sisa pemanenan dari usaha budidaya cacing sutra dengan perlakuan 500 g, 1000 g, dan 1500 g mendapatkan hasil populasi tertinggi terjadi pada hari ke-20 diperoleh pada perlakuan penebaran 1500 g limbah organik yaitu 174.227 individu/m2, namun biomassa tertinggi diperoleh pada perlakuan 1000 g limbah organik yaitu 468 g/m2. Penelitian Efiyanti (2003) menggunakan asumsi bahwa dalam 500 g limbah organik terdapat 57-60 ekor cacing sutra. Luas wadah budidaya yang digunakan dalam penelitian tersebut yaitu 0,16 m2 sehingga dapat dikatakan jumlah cacing sutra yang ditebar pada penelitian tersebut masing-masing 375 individu/m2, 750 individu/m2, dan

(34)

22 1500 individu/m2. Biomassa cacing oligochaeta pada penelitian ini lebih tinggi daripada penelitian Febrianti (2004), Fadillah (2004), dan Efiyanti (2003) dikarenakan padat penebaran yang digunakan lebih tinggi.

Laju pertumbuhan biomassa tertinggi terjadi pada hari ke-40 pada perlakuan padat tebar 4600 individu/m2 yakni sebesar 55,41 g/m2/hari. Nilai tersebut lebih besar dari penelitian Yuherman (1987) yaitu 32,65 g/m2/hari, Syarif (1988) yaitu 11,67 g/m2/hari, Efiyanti (2003) yaitu 22,103 g/m2/hari, dan Febrianti (2004) yaitu 7,24 g/m2/hari. Hal ini dikarenakan selain peningkatan padat penebaran yang dapat mempertinggi biomassa cacing oligochaeta, pupuk yang digunakan merupakan hasil proses fermentasi yang dapat meningkatkan bahan organik untuk makanan cacing oligochaeta sehingga mempertinggi laju pertumbuhan biomassa cacing oligochaeta.

Penurunan populasi dan biomassa cacing oligochaeta mulai terjadi pada hari ke-50 dan semakin menurun pada hari ke-60. Hal ini diduga karena cacing dewasa yang telah bereproduksi sudah mencapai umur tua secara biologis sehingga dapat menyebabkan kematian cacing. Hal yang sama pada penelitian Bouguenec dan Giani (1989), pertumbuhan populasi cacing oligochaeta menurun setelah 38 hari pemeliharaan. Hal ini disebabkan kematian pada cacing dewasa. Menurut Bouguenec dan Giani (1989), periode siklus hidup cacing oligochaeta diklasifikasikan sebagai berikut : 1). Periode inkubasi, yaitu antara peletakan kokon sampai menetas. 2). Periode maturasi atau pematangan, yaitu antara penetasan sampai pencapaian pematangan. 3). Periode kokon, yaitu antara pencapaian pematangan dan meletakkan kokon yang pertama. 4). Periode generasi, yaitu periode dari meletakkan kokon yang pertama sampai kokon berikutnya. 5) Periode pelepasan, yaitu dari peletakkan kokon sampai cacing mati. Hari kesepuluh belum memperlihatkan pertumbuhan yang jelas terhadap pertumbuhan biomassa cacing oligochaeta (Gambar 7). Pada hari ke-20 pertumbuhan biomassa cacing oligochaeta pada perlakuan padat penebaran 2600 individu/m2 masih belum jelas walaupun cacing tetap tumbuh. Hal yang sama terjadi pada perlakuan 3600 individu/m2. Namun pertumbuhan cacing oligochaeta pada perlakuan 4600 individu/m2 sudah mulai terlihat jelas pada hari ke-20 hingga mencapai puncak pada hari ke-40. Pertumbuhan cacing oligochaeta mulai terjadi pada hari kesepuluh. Hal ini sesuai dengan pendapat Kasiorek (1974)

(35)

23 yang menyatakan bahwa waktu yang dibutuhkan selama perkembangan embrio, mulai dari telur hingga cacing muda yang baru keluar dari kepompongnya sekitar 10-12 hari suhu 24 oC. Siklus hidup mulai dari penetasan hingga dewasa dan meletakkan kokonnya yang pertama membutuhkan waktu 40-45 hari, sehingga siklus hidup dari telur menetas hingga menjadi dewasa dan bertelur lagi membutuhkan waktu 50-57 hari.

Di perairan alami, cacing oligochaeta akan hidup mengumpul dalam jumlah yang besar pada tempat yang banyak mengandung makanan (Kasiorek 1974). Jumlah makanan yang dapat dikonsumsi oleh Tubifex sp. dalam waktu satu hari berkisar antara 2 sampai 8 kali lipat dari bobot tubuhnya (Monakov 1972) sedangkan yang diserap oleh usus dapat mencapai 1,5 kali lipat bobot tubuhnya (Kajak et al. 1975). Penggunaan kotoran ayam sebagai media cacing oligochaeta dikarenakan selain mudah didapat, kotoran ayam juga memiliki kandungan hara yang lebih baik dibandingkan pupuk kandang lainnya sedangkan pemberian pupuk tambahan berupa kotoran ayam hasil fermentasi dikarenakan kandungan bahan organik pada kotoran ayam hasil fermentasi lebih tinggi yankni 40,91% dibandingkan kotoran ayam kering yang hanya 39,63% (Lampiran 3).

Penggunaan lumpur halus sebagai substrat budidaya dikarenakan cacing oligochaeta memakan lumpur halus bersama bahan organik dari kotoran ayam dan mencerna bagian yang dapat dicernanya. Proses pengambilan makanan oleh cacing oligochaeta terdiri atas 3 fase, yaitu 1). Menelan partikel bahan organik bersama-sama dengan lumpur, 2). Tetap menelan lumpur tetapi yang kurang berguna dicerna dengan cepat disertai pengurangan intensitas pengambilan makanan, 3). Berhenti menelan lumpur tetapi tetap menelan partikel mineral (Poddubnaya 1961 dalam Monakov 1972). Oleh karena cacing oligochaeta mempunyai ukuran yang sangat kecil maka untuk memudahkan proses pengambilan lumpur oleh cacing sutra digunakan lumpur halus. Selain itu, Marian

dan Pandian (1984) menyatakan bahwa bila dibandingkan pasir kasar (coarse sand), pasir sedang (medium sand), serabut kelapa (coconut mesocarp),

maka pasir halus (fine sand) terutama lumpur halus merupakan jenis terbaik yang dapat meningkatkan kelangsungan hidup, pertumbuhan, dan fekunditas cacing oligochaeta.

(36)

24 Ketika kepadatan cacing bertambah, maka koloni-koloni cacing akan terbentuk. Pada awal pemeliharaan, koloni-koloni yang berbentuk seperti bola-bola atau gumpalan-gumpalan tersebut masih terlihat kecil. Namun, seiring berjalannya waktu pemeliharaan, koloni-koloni tersebut terlihat semakin membesar. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Marian dan Pandian (1984), yaitu cacing akan berbentuk seperti bola. Ketika panen, ada sekitar 20% cacing yang berada di permukaan substrat sedangkan 80% cacing berada di gumpalan-gumpalan atau bola-bola tersebut. Menurut Davis (1972) dalam Rogaar (1980), aktivitas tubifisid terbatas pada kedalaman 0-7 cm dan pengambilan makanan terjadi pada kedalaman 3-6 cm. Sekitar 90% Tubifex menempati daerah permukaan hingga kedalaman 4 cm dan sekitar 10% terdapat pada kedalaman yang lebih besar dan sedikit sekali ditemukan pada kedalaman lebih dari 10 cm.

Kandungan oksigen terlarut di perairan dapat mempengaruhi reproduksi dan konsumsi. Selama pemeliharaan, nilai oksigen terlarut pada perlakuan A berkisar antara 2,30-3,70 ppm; perlakuan B berkisar antara 2,37-3,57 ppm; dan perlakuan C berkisar antara 2,13-3,63 ppm (Lampiran 9a). Menurut Poddubnaya (1980),

perkembangan embrio normal terjadi pada kisaran konsentrasi oksigen terlarut 2,5-7 ppm. Konsentrasi oksigen terlarut yang lebih rendah dari 2 ppm akan mengurangi nafsu makan (McCall dan Fisher 1980 dalam Marian dan Pandian 1984). Kisaran kandungan oksigen terlarut selama penelitian masih dapat ditoleransi cacing oligochaeta.

Suhu pada saat penelitian masih dalam batas kisaran normal untuk pemeliharaan cacing oligochaeta. Kisaran suhu air selama pemeliharaan cacing oligochaeta yaitu 23,6-26,0 oC (Lampiran 9c). Menurut Kaster (1980), kapasitas reproduksi dari Tubifex tubifex sangat dipengaruhi oleh suhu. Struktur dari

Tubifex tubifex tidak berkembang pada suhu 5 oC, namun pada suhu 15 oC dan 25 oC cacing berkembang menuju kematangan seksual.

Hasil pengamatan terhadap nilai pH diperoleh nilai pH rata-rata berkisar antara 6,33-7,07 (Lampiran 9b). Kisaran pH pada perlakuan A antara 6,40-6,97; perlakuan B antara 6,33-7,07; dan perlakuan C antara 6,47-7,03. Pada nilai tersebut cacing oligochaeta masih dapat tumbuh dengan baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Witley (1967) yang mengatakan bahwa cacing tubifisid masih

(37)

25 dapat melangsungkan hidupnya pada pH air 5,5-7,5 sedangkan pada pH 6,0-9,0 kehidupan cacing mengalami peningkatan.

Secara umum, rata-rata nilai TAN pada perlakuan A berkisar antara 0,40-1,42 ppm, pada perlakuan B berkisar antara 0,27-1,93 ppm, serta pada

perlakuan C berkisar antara 0,33-1,75 ppm (Lampiran 9d). Kandungan TAN pada masing-masing perlakuan masih dapat ditoleransi oleh cacing oligochaeta. Menurut Angel dan Pilar (2004), dosis lethal TAN bagi cacing oligochaeta adalah diatas 3,8 ppm. Pada awal pemeliharaan sampai hari ke-10, kandungan TAN meningkat namun pada hari ke-20, kandungan TAN cenderung menurun sampai akhir pemeliharaan (Gambar 13). Hal ini diduga aktivitas bakteri pengurai dalam menguraikan kotoran ayam dan bahan organik lainnya (lumpur) pada awal pemeliharaan cukup tinggi dikarenakan kandungan N-organik dalam substrat masih tinggi dan pupuk yang digunakan oleh cacing oligochaeta sebagai sumber makanan belum optimal sehingga hasil perombakan oleh bakteri yaitu TAN meningkat. Namun seiring waktu pemeliharaan, kandungan N-organik yang berasal dari substrat dan pupuk semakin berkurang karena meningkatnya konsumsi N-organik oleh cacing oligochaeta. Hal ini disebabkan pertumbuhan cacing oligochaeta semakin meningkat terutama mulai hari 30 sampai hari ke-40. Hal lain yang menyebabkan turunnya kandungan TAN yaitu adanya proses pencucian oleh air yang mengalir setiap saat secara kontinu.

3.2.2 Analisis Usaha

Besarnya nilai keuntungan pada setiap perlakuan ditentukan oleh besarnya nilai penerimaan. Nilai keuntungan diperoleh dari selisih antara penerimaan

dengan biaya total. Nilai keuntungan pada perlakuan padat penebaran 4600 individu/m2 paling tinggi dibandingkan perlakuan 2600 individu/m2 dan

3600 individu/m2dikarenakan selisih antara penerimaan dengan biaya total juga paling tinggi. Selain itu, nilai keuntungan yang berbeda pada setiap perlakuan juga dipengaruhi oleh biaya variabel yang berbeda pada masing-masing perlakuan. Hal ini dikarenakan jumlah bibit yang ditebar berbeda pada setiap perlakuan.

Analisis R/C digunakan untuk melihat pendapatan relatif suatu usaha dalam 1 tahun terhadap biaya yang dipakai dalam kegiatan tersebut. Menurut Mahyuddin (2007), suatu usaha dikatakan layak jika nilai R/C lebih besar dari 1 (R/C > 1).

(38)

26 Nilai R/C diperoleh dari perbandingan antara nilai penerimaan dengan biaya total. Nilai R/C pada perlakuan padat penebaran 2600 individu/m2 bernilai kurang dari 1 dikarenakan nilai penerimaan lebih kecil dari biaya total sehingga dapat dikatakan bahwa perlakuan padat penebaran 2600 individu/m2 tidak akan menguntungkan

jika dijadikan usaha. Namun, Nilai R/C pada perlakuan padat penebaran 3600 individu/m2 dan 4600 individu/m2 lebih besar dari 1 dikarenakan nilai

penerimaan lebih besar dari biaya total (Tabel 3) sehingga dapat dikatakan bahwa perlakuan padat penebaran 3600 individu/m2 dan 4600 individu/m2 bisa menguntungkan jika dijadikan sebagai usaha.

BEP (Break Even Point) merupakan alat analisis yang digunakan untuk mengetahui batas nilai produksi atau volume produksi suatu usaha mencapai titik impas, yaitu tidak untung dan tidak rugi (Rahardi et al. 1998). Nilai BEPp dan BEPu pada perlakuan padat penebaran 4600 individu/m2 memperoleh nilai terendah dibandingkan perlakuan padat penebaran 2600 individu/m2 dan 3600 individu/m2.Hal ini dikarenakan nilai penerimaan yang tinggi menyebabkan nilai BEP rendah.

Harga Pokok Produksi (HPP) merupakan nilai atau biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi 1 unit produk (Rahardi et al., 1998). HPP diperoleh dari perbandingan antara biaya total dengan jumlah produksi. Perlakuan padat penebaran 4600 individu/m2 memperoleh nilai HPP terkecil dibandingkan perlakuan padat penebaran 2600 individu/m2 dan 3600 individu/m2. Hal ini dikarenakan jumlah produksi pertahun pada perlakuan padat penebaran 4600 individu/m2 paling tinggi dibandingkan perlakuan padat penebaran 2600 individu/m2 dan 3600 individu/m2. HPP harus lebih rendah dari harga jual

agar dapat memperoleh keuntungan.

Payback period (PP) atau tingkat pengembalian investasi merupakan salah satu metode dalam menilai kelayakan suatu usaha yang digunakan untuk mengukur periode jangka waktu pengembalian modal. Nilai PP pada Tabel 3 menunjukkan bahwa pengembalian modal tercepat terdapat pada perlakuan padat penebaran 4600 individu/m2. Hal ini dikarenakan nilai keuntungan pada perlakuan padat penebaran 4600 individu/m2 lebih tinggi dibandingkan perlakuan padat penebaran 2600 individu/m2 dan 3600 individu/m2 sedangkan biaya investasi pada setiap perlakuan sama.

(39)

27 Dari hasil perhitungan analisis usaha diketahui bahwa perlakuan padat penebaran 4600 individu/m2 merupakan perlakuan yang ideal untuk usaha budidaya cacing oligochaeta baik secara bioteknis maupun bioekonomis. Hal ini dapat dilihat dari besarnya keuntungan, tingginya nilai R/C, rendahnya nilai BEP, kecilnya harga pokok produksi, dan waktu pengembalian investasi yang relatif cepat.

(40)

28

IV.

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Puncak populasi dan biomassa cacing oligochaeta yang dibudidayakan pada

sistem terbuka yaitu pada hari ke-40. Perlakuan padat penebaran 2600 individu/m2, 3600 individu/m2, dan 4600 individu/m2 memberikan pengaruh

nyata terhadap pertumbuhan populasi dan biomassa cacing oligochaeta. Produktivitas cacing oligochaeta tertinggi didapat pada perlakuan padat penebaran 4600 individu/m2 dengan jumlah populasi yaitu 447.904 individu/m2 dan biomassa sebesar 2.239,52 g/m2.

Berdasarkan analisis usaha diketahui bahwa perlakuan padat penebaran 4600 individu/m2 merupakan perlakuan yang ideal untuk usaha budidaya cacing oligochaeta dengan nilai keuntungan sebesar Rp 52.892.500; R/C ratio sebesar

2,44; nilai BEPp yaitu Rp 28.429.146; BEPu yaitu 284,29 kg; HPP sebesar Rp 40.956; dan tingkat pengembalian modal (PP) hanya 0,27 tahun atau 3,24

bulan.

4.2 Saran

Budidaya cacing oligochaeta sebaiknya dilakukan pada sistem terbuka dengan padat penebaran 4600 individu/m2 agar produktivitas cacing oligochaeta dapat berkembang baik. Perlu diteliti lebih lanjut mengenai budidaya cacing oligochaeta dengan dimensi wadah budidaya yang berbeda.

(41)

29

DAFTAR PUSTAKA

Ajiningsih DW. 1992. Peranan tinggi substrat terhadap kualitas tubifisid pada ketinggian air budidaya 2 cm. [Skripsi]. Bogor: Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Angel J dan Pilar R. 2004. Tubifex tubifex chronic toxicity test using artificial sediment: methodological issues. Limtenica 23: 25-36.

Anonim. 2011a. Penjual cacing sutera di Pandeglang panen. http://www.mediaindonesia.com. [21 Desember 2011].

Anonim. 2011b. Prospek emas budidaya cacing sutra. http://www.surabayapost.co.id. [21 Desember 2011].

Anonim. 2012. Upah minimum regional (UMR) provinsi Bangka Belitung. http://www.hrcentro.com. [5 Februari 2012].

Bouguenec V dan Giani N. 1989. Biological studies upon Enchytraeus variatus

Bouguenec & Giani 1987 in breeding cultures. Hidrobiologia 180: 151-165. Chumaidi, Zaenuddin, dan Fiastri. 1988. Pengaruh debit air yang berbeda terhadap biomassa cacing rambut (Tubifisid).

Buletin Perikanan Darat 7: 41-46.

Chumaidi dan Suprapto. 1986. Populasi Tubifex sp. di dalam media campuran kotoran ayam dan lumpur kolam. Buletin Penelitian Perikanan Darat 5: 6 -11.

[DJPB] Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. 2010. Minapolitan Bajolali komitmen kenaikan produksi perikanan 353% pada tahun 2014. http://www.perikanan-budidaya.kkp.go.id. [20 September 2011].

Efiyanti W. 2003. Pemanfaatan ulang limbah organik usaha cacing sutera. [Skripsi]. Bogor : Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Effendi I. 2004. Pengantar Akuakultur. Jakarta: Penebar Swadaya.

Fadillah R. 2004. Pertumbuhan populasi dan biomassa cacing sutra Limnodrillus

pada media yang dipupuk kotoran ayam hasil fermentasi. [Skripsi]. Bogor: Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Febrianti D. 2004. Pengaruh pemupukan harian dengan kotoran ayam terhadap pertumbuhan populasi dan biomassa cacing sutera Limnodrillus. [Skripsi].

(42)

30 Bogor: Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Findy S. 2011. Pengaruh tingkat pemberian kotoran sapi terhadap pertumbuhan biomassa cacing sutra (Tubificidae). [Skripsi]. Bogor: Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Grabowski dan Jablonska. 2009. First records of Branchiura sowerbyi Beddard, 1892 (Oligochaeta: Tubificidae) in Greece. Journal compilation 4: 365-367. Hepher B. 1978. Ecological aspects of warm-water fishpond management. Hal

447-468. Dalam Gerging SD. (Ed). Ecology of Freshwater Fish Production Blackwell Sci.Publ., Oxford.

Husnan S dan Suwarsono M. 2000. Studi Kelayakan Proyek. Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan AMP YKPN.

Isnansetyo A dan Kurniastuty. 1995. Teknik Kultur Phytoplankton dan Zooplankton Pakan Alami untuk Pembenihan Organisme Laut. Yogyakarta : Kanisius.

Kajak Z et al. 1975. Ecosystem of the Nikolaskjkie Lake. The Fate on Organic Matter of The Profundal Zone. Pol. Arch. Hydrobiol 22: 89-99.

Kasiorek. 1974. Depelopment cycle of Tubifex tubifex, Muller. In Experimental Culture. Pol. Arch. Hydrobiology 21: 411-422.

Kasmir dan Jakfar. 2003. Studi Kelayakan Bisnis. Jakarta: Prenada Media.

Kaster JL. 1980. The Reproductive biology of Tubifex tubifex Muller (Oligochaeta, Tubificidae) under various tropic conditions. Int. Revue ges.

Hiydrobiol. 72: 709-726.

Mahyuddin K. 2007. Panduan Lengkap Agribisnis Lele. Jakarta: Penebar Swadaya.

Marian MP dan Pandian TJ. 1984. Culture and harvesting tehnique for Tubifex tubifex. Aquaculture 42: 303-315.

Martin JD, Petty JW, Keown AJ, Scott DF. 2005. Basic Financial Management 10th Edition. New Jersey USA: Prentice Hall Inc.

Monakov, AV. 1972. Review of studies on feeding of aquatic invertebrates conducted at the Institute of Biology of Inland waters. Academic of Science. Ussr. J. Fish. Res. Bd. Canada 29:363-383.

(43)

31 Nascimento H dan Alves RG. 2009. The effect of temperature on the reproduction of Limnodrillus hofmeisteri (Oligochaeta: Tubificidae). Zoologia 26: 191-193.

Pennak RW. 1978. Freshwater Invertebrates of The Unites States. The Ronald Press Co. New York.

Poddubnaya TL. 1980. Life cycles of mass species of Tubificidae. In: RO Brinkhust and DG Cook (Editors), Aquatic Oligochaeta Biology. Plenum, New York, NY, pp.175-184.

Rahardi F, Kristiawati R, dan Nazarudin. 1998. Agribisnis Perikanan. Jakarta: Penebar Swadaya.

Rahman MM, Varga I, Chowdury SN. 1992. Manual of African Magur (Clarias gariepinus) Culture in Bangladesh, FAO Corporate Rerository, Bangladesh: Institutional Stenghthening in The Fisheries.

Rangkuti F. 2006. Business Plan. Teknik Membuat Perencanaan Bisnis dan Analisis Kasus. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Rogaar H. 1980. The morphology of burrow structures made by Tubificids. Hydrobiologia 71 : 107-124.

Simamora IE. 1992. Pengaruh substrat dengan ketinggian 2, 4, dan 6 cm terhadap pertumbuhan populasi dan biomassa Tubifisid pada ketinggian air 4 cm beserta beberapa aspek kualitas air media. [Skripsi]. Bogor: Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor.

Steel GD and Torrie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. Sumantri B, penerjemah. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari: Principles and Procedures of Statistics.

Suwingnyo S, Widigdo B, dan Wardiatno Y. 2005. Avertebrata Air (Jilid 2). Jakarta : Penebar Swadaya.

Syarip M. 1988. Pengaruh frekuensi pemberian pupuk tambahan terhadap pertumbuhan Tubifex sp. [Skripsi]. Bogor: Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor.

Witley LS. 1967. The resistence of Tubificid worms to three common pollutans.

Hydrobiologia 32: 193-205.

Yuherman. 1987. Pengaruh dosis penambahan pupuk pada hari ke sepuluh setelah inokulasi terhadap pertumbuhan populasi Tubifex sp. [Skripsi]. Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

(44)

32

LAMPIRAN

(45)

33 Lampiran 1. Konstruksi budidaya cacing oligochaeta sistem terbuka

Keterangan :

1. Bak penampungan air

2. Pipa paralon untuk mengalirkan air pada wadah kultur 3. Wadah pemeliharaan

4. Saluran tempat pembuangan air 1

2

3

(46)

34 Lampiran 2. Metode fermentasi pupuk kotoran ayam

Sumber : Fadillah (2004)

Kotoran ayam dijemur selama 6 jam (10 kg bobot kering)

Pembuatan larutan aktivator

Kotoran ayam dicampur dengan larutan aktivator

Campuran kotoran ayam dan larutan aktivator diaduk merata

Campuran dimasukkan ke dalam plastik tertutup selama 5 hari

Dijemur hingga kering

4 mℓ EM4 + 3,75 g Gula pasir + 300 mℓ Air

(47)

35 Lampiran 3. Kandungan bahan organik total dari berbagai jenis bahan

Bahan Berat basah Berat kering

% Air % TOM % TOM (0% Air)

Kotoran ayam basah 70,94 8,97 30,39

Kotoran ayam kering 48,56 20,21 39,63

Kotoran ayam fermentasi 44,97 22,50 40,91

Kotoran sapi basah 80,60 3,52 18,14

Kotoran sapi kering 70,60 7,67 26,09

Kotoran sapi fermentasi 68,65 11,98 38,15

Kotoran puyuh kering 49,21 16,21 31,91

Kotoran puyuh fermentasi 32,01 27,40 40,29

Gambar

Gambar 1. Desain wadah penelitian   Keterangan :
Gambar 2.  Cacing  oligochata  dari  spesies  Branchiura  sowerbyi  (a),          Lumbriculus sp
Gambar 3.  EM 4  sebagai larutan aktivator dalam fermentasi pupuk kotoran ayam
Gambar 4.  Perkembangan budidaya cacing oligochaeta pada hari ke-10 (a), hari  ke-20 (b), hari ke-30 (c), dan hari ke-40 (d)
+5

Referensi

Dokumen terkait

Pada metode individual bearing tanah lempung dan tanah pasir kenaikan kapasitas yang paling besar terjadi pada saat jumlah helix pada tiang helical ditambah yang semula

bahwa berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2019 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Lembaga

Nilai rata-rata hasil pengujian sifat mekanis glulam yang dibuat dari kayu jati, mangium dan trembesi dengan perekat isosianat disajikan pada Tabel 2.. Nilai rata-rata

Sistem pengajaran di pondok pesantren tahfidzul Qur’an Al-Ishlah masih menggunakan metode tradisional yaitu metode sorogan, dimana para murid satu persatu menghadap

Jika dibandingkan dengan teori, hasil simulasi di atas dapat membuktikan kebenaran teori tentang karakteristik arus stator motor induksi pada saat pengasutan yaitu jika

Rencana Kerja (Renja) Tahun 2015 Dinas Pemuda dan Olahraga ini merupakan langkah yang akan dilakukan dalam rangka mewujudkan Prioritas Pembangunan Kota Padang Tahun 2015 dimana

Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan yang signifikan antara adversity quotient ( AQ ) dan

Skripsi yang berjudul “ Peningkatan Hasil Belajar Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dengan Pendekatan Inkuiri Tipe Inkuiri Terbimbing pada Siswa Kelas IV SD Negeri Sidorejo