• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Daerah Penelitian Letak Kabupaten Konawe

Secara geografis Kabupaten Konawe terletak di bagian selatan garis khatulistiwa dengan posisi koordinat sekitar 02o45’ hingga 04o15’ Lintang Selatan dan 121o15’ hingga 123o31’ Bujur Timur yang letaknya berada di daratan Pulau Sulawesi yakni Provinsi Sulawesi Tenggara. Luas wilayah Kabupaten Konawe adalah 6.666,52 km2

Batas-batas wilayah Kabupaten Konawe, yaitu; sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Konawe Utara, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Konawe Selatan, sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Kolaka, sebelah Timur berbatasan dengan Kotamadya Kendari dan Laut Banda dan merupakan bagian dari gugus wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara. Secara administrasi Kabupaten Konawe meliputi 26 wilayah kecamatan yang terdiri atas 338 desa/kelurahan.

atau seluas 666.652 hektar setelah terjadi pemekaran wilayah Kabupaten Konawe Utara berdasarkan Undang- Undang nomor : 13 Tahun 2007.

Batasan wilayah penelitian adalah kecamatan Sentra Produksi Kakao Kabupaten Konawe yakni Kecamatan Uepay, Kecamatan Besulutu, dan Kecamatan Abuki, yang memiliki luas lahan penanaman kakao rakyat terbesar di wilayah Kabupaten Konawe dan menjadi wilayah pengembangan Kawasan Industri Masyarakat Perkebunan (KIMBUN). Obyek studi dan unit analisis penelitian pada sampel wilayah desa terpilih dari tiga kecamatan sentra produksi kakao yakni: (1) Desa Panggulawu Kecamatan Uepay, (2) Desa Lawonua Kecamatan Besulutu, dan (3) Desa Sambeani Kecamatan Abuki. Karakteristik wilayah Kabupaten konawe yang memiliki topografi landai, berbukit sampai bergunung menjadi sangat potensial untuk pengembangan sektor pertanian pada umumnya dan khususnya sub sektor perkebunan. Kondisi iklim umumnya hampir sama dengan wilayah lain di Sulawesi yang mempunyai dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau, dengan suhu udara berkisar 20oC hingga 33oC. Musim hujan banyak terjadi pada bulan Desember hingga bulan Maret disebabkan kondisi pergerakan arah angin yang berasal dari angin Barat yang bertiup dari Benua Asia dan yang bertiup dari Samudra Pasifik mengandung banyak uap air,

(2)

sedangkan musim kemarau terjadi mulai bulan April sampai bulan Nopember disebabkan angin Timur yang bertiup dari Benua Australia kurang mengandung uap air.

Potensi Pertanian lahan kering Kabupaten Konawe memiliki areal baku (existing area) seluas 282.761 hektar, dengan areal perkebunan kakao rakyat yang telah diusahakan masyarakat seluas 59.554 hektar (21,06 % dari existing area yang ada) dengan luas areal tanaman kakao menghasilkan (TKM) seluas 25.557,20 hektar dan areal tanaman belum menghasilkan (TBM) seluas 33.996,80 hektar. Produktivitas perkebunan kakao rakyat masih di bawah standar rata-rata produktivitas kakao nasional 1,2 ton/ha (Ditjenbun, 2004:51), terlihat dari hasil perkebunan rakyat yang dicapai di daerah penelitian meliputi; produksi kakao 5.769,4 ton, kelapa 2.995,1 ton, lada 1.179,5 ton, kopi 400,4 ton, dan jambu mete 585,1 ton (BPS Kabupaten Konawe, 2008:73-76). Secara rinci mengenai luas areal produksi dan produktivitas tanaman perkebunan Kabupaten Konawe, dapat disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Luas Areal Produksi Tanaman Menghasilkan (TM) dan Produktivitas Tanaman Perkebunan di Wilayah Penelitian

No Jenis Tanaman Luas Areal TM (ha) Produksi (ton) Produktivitas (ton/ha) 1. Kakao 8.690,65 5.769,40 0,663 2. Kelapa 5.711,00 2.995,10 0,524 3. Lada 3.273,95 1.179,50 0,360 4. Kopi 1.053,10 400,40 0,380 5. Jambu Mete 6.828,50 585,10 0,085 Jumlah 25.557,20 10.929,50 0,427 Sumber : Data Sekunder, Konawe Dalam Angka, diolah 2009

Produksi dan produktivitas tanaman perkebunan lahan kering yang dicapai belum optimal (0,427 ton/ha), terutama produktivitas tanaman kakao rata-rata mencapai 0,663 ton/ha, masih 40 persen di bawah standar rata-rata produktivitas kakao nasional (1,2 ton/ha), yang dapat dicapai usahatani kakao di wilayah sentra produksi Kabupaten Konawe. Indikator produksi dan produktivitas tanaman perkebunan rakyat tersebut, menunjukkan bahwa kondisi budidaya tanaman dalam pengembangan perkebunan rakyat, khususnya tanaman kakao masih memerlukan upaya peningkatan kualitas intensifikasi dan penerapan sistim agribisnis yang utuh dalam masyarakat perkebunan di wilayah penelitian.

(3)

Penduduk di Wilayah Penelitian

Penduduk Kabupaten Konawe pasca pemekaran wilayah berdasarkan hasil Supas Penduduk Tahun 2006 adalah berjumlah 224.345 jiwa, yang terdiri atas penduduk berjenis kelamin laki-laki sebanyak 115.291 jiwa (51,39 persen) dan penduduk berjenis kelamin perempuan sebanyak 109.054 jiwa (48,61 persen). Penduduk yang tercatat di wilayah Kecamatan sentra produksi kakao Kabupaten Konawe yaitu Kecamatan Uepay, Besulutu, dan Abuki adalah 30.390 jiwa dengan jumlah Kepala Keluarga sebanyak 5.065 KK. Kelompok umur dan jenis kelamin penduduk di wilayah penelitian dapat disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Penduduk di Wilayah Penelitian No Kelompok Umur

(tahun)

Penduduk (jiwa) Jumlah (jiwa) Persentase (%) Laki-laki Perempuan 1. Di bawah 15 3.921 4.287 8.208 27,01 2. 15 – 25 3.752 2.159 5.911 19,45 3. 26 – 35 2.636 2.494 5.130 16,88 4. 36 – 45 2.937 2.779 5.716 18,81 5. 46 – 55 1.643 1.554 3.197 10,52 6 56 - 65 917 612 1.529 5,03 7. 65 ke atas 208 489 699 2,30 Jumlah 16.014 14.376 30.390 100,00 Sumber : Data Sekunder Profil Kecamatan, diolah 2009.

Kelompok penduduk yang terkategori umur produktif (15 – 55 tahun) sebanyak 19.954 jiwa (65,66 persen) merupakan penduduk usia muda sekaligus usia kerja yang ada di wilayah penelitian, dan selebihnya umur penduduk yang terkategori non produktif (di bawah 15 tahun dan 56 tahun ke atas) sebanyak 10.436 jiwa (34,34 persen) adalah umur penduduk yang termasuk usia sekolah dan beban kerja dalam aktivitas kegiatan masyarakat perkebunan. Umur merupakan suatu faktor yang mempengaruhi kemampuan fisik seseorang dalam berpikir maupun dalam bekerja. Komposisi umur penduduk yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 16.014 jiwa (52,69 persen), masih lebih banyak dibandingkan penduduk yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 14.376 jiwa (47,31 persen), hal tersebut memberi gambaran bahwa peran laki-laki lebih dominan dalam pencarian nafkah hidup dalam masyarakat perkebunan di wilayah penelitian.

(4)

Kemampuan sumberdaya penduduk juga ditentukan dengan tingkat pendidikan yang dimiliki dalam masyarakat perkebunan. Penduduk berdasarkan tingkat pendidikan yang tercatat di wilayah penelitian, disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Penduduk berdasarkan Tingkat Pendidikan di Wilayah Penelitian

No Tingkat Pendidikan Jumlah (jiwa) Persentase (%) 1. Belum sekolah/tidak sekolah 10.032 33,01

2. Tidak tamat SD 413 1,36 3. Tamat SD 11.162 36,73 4. Tamat SLTP 4.394 14,46 5. Tamat SLTA 4.100 13,49 6. Sarjana /PT 289 0,95 Jumlah 30.390 100,00 Sumber : Data Sekunder Profil Kecamatan, diolah 2009.

Tingkat pendidikan masyarakat yang dimiliki sebagian besar masih pada tingkat sekolah dasar (SD) yakni sebanyak 11.162 (36,73 persen), dan sebagian kecil penduduk yang dapat memiliki pendidikan hingga jenjang SLTP (14,46 persen), serta SLTA (13,49 persen) dan Perguruan Tinggi (0,95 persen). Kondisi ini menunjukkan bahwa perhatian masyarakat terhadap pendidikan umum masih kurang sehingga menjadi salah satu penyebab hambatan pengembangan kompetensi petani kakao beragribisnis dalam kegiatan usaha perkebunan rakyat.

Kawasan pemukiman penduduk di huni oleh berbagai etnik (suku) baik yang berasal dari etnik lokal atau penduduk asli (suku Tolaki) maupun etnik migran (suku Bugis, Jawa, Bali) yang sebagian besar hidup dari hasil usahatani kakao sebagai petani perkebunan rakyat. Secara rinci mengenai KK penduduk berdasarkan asal etnik, disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Jumlah KK Penduduk berdasarkan Asal Etnik di Wilayah Penelitian No Asal Etnik Kec.

Uepay (KK) Persen tase (%) Kec. Besulutu (KK) Persen tase (%) Kec. Abuki (KK) Persen tase (%) Jumlah (KK) Persen tase (%) 1. Tolaki (local etnis) 918 58,5 1.036 65,2 1.142 59,9 3.096 61,1 2. Bugis (migrant) 296 18,9 317 19,9 308 16,1 921 18,2 3. Jawa (migrant) 109 6,9 156 10,0 351 18,4 616 12,2 4. Bali (migrant) 246 15,7 79 4,9 107 5,6 432 8,5 Jumlah 1.569 100,0 1.588 100,0 1.908 100,0 5.065 100,0 Sumber : Data Sekunder Profil Kecamatan, diolah 2009.

(5)

Keterikatan berbagai asal etnik/suku dalam masyarakat perkebunan, memberikan keragaman tersendiri dalam masyarakat dengan corak pengalaman budaya yang dibawa secara turun temurun dari berbagai etnik masyarakat perkebunan yang ada serta memberi pengaruh terhadap aktivitas petani kakao dalam pengelolaan usahatani kakao di wilayah penelitian. Ikatan asal etnik dominan ditunjukkan oleh suku Tolaki sebanyak 61,1 persen, dan migran suku Bugis sebanyak 18,2 persen, suku Jawa sebanyak 12,2 persen, dan suku Bali sebanyak 8,5 persen dalam masyarakat perkebunan. Akultarasi dan campuran budaya masyarakat yang disebabkan oleh ikatan perkawinan dari penduduk asli dan etnik lainnya menambah kreatifitas masyarakat memanfaatkan potensi sumberdaya lahan untuk pengelolaan usahatani kakao di wilayah penelitian.

Sumber mata pencaharian penduduk sebagian besar yang mempunyai jenis pekerjaan berusahatani adalah penduduk yang memperoleh pendapatan dari hasil pertanian di lahan kering mempunyai status sebagai petani. Secara rinci kondisi mata pencaharian KK penduduk berdasarkan jenis pekerjaan dapat disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Kondisi Mata Pencaharian KK Penduduk berdasarkan Jenis Pekerjaan di Wilayah Penelitian

No Jenis Mata Pencaharian Jumlah (KK) Persentase (%)

1. Petani Kakao 2.045 40,37 2. Petani Pangan 1.506 29,73 3. Peternak 890 17,57 4. PNS /ABRI 171 3,37 5. Pedagang 248 4,89 6. Lain-lain (volunteer) 205 4,05 Jumlah 5.065 100,00 Sumber : Data Sekunder Profil Kecamatan, diolah 2009.

Mata pencaharian KK penduduk yang bekerja sebagai petani kakao di lahan kering sangat potensial menjadi sumber pendapatan masyarakat di wilayah penelitian. Artinya masyarakat banyak menggantungkan hidupnya dari pekerjaan berusahatani (petani) dibanding pekerjaan lainnya luar usahatani untuk memperoleh nafkah hidup bagi keluarganya. Sebagian besar mata pencaharian KK penduduk bekerja sebagai petani kakao (40,37 persen), dan selebihnya KK penduduk bekerja sebagai petani padi/palawija, peternak, dan bidang pekerjaan lainnya.

(6)

Prasarana dan Sarana di Wilayah Penelitian

Prasarana dan sarana yang tersedia untuk menunjang aktivitas produksi, sosial dan ekonomi masyarakat perkebunan di wilayah penelitian merupakan faktor penunjang aktivitas petani kakao dalam melaksanakan kegiatan usahatani di lahan kering. Menurut Mosher (1981:74) sarana produksi usahatani adalah salah satu faktor pelancar, sedangkan prasarana jalan merupakan syarat pokok dalam pembangunan pertanian. Prasarana jalan dan jembatan yang tersedia di wilayah penelitian masih terbatas, terlihat dari hubungan transportasi antara desa-desa dalam kecamatan sentra produksi kakao masih sulit dilalui sarana transportasi. Jalan beraspal yang tersedia sepanjang lebih kurang 1.980 km adalah satu-satunya jalan protokol provinsi yang menghubungkan batas-batas wilayah kabupaten. Jalan desa dan kecamatan dalam wilayah Kabupaten Konawe sebagian besar belum beraspal sehingga kurang lancar dilalui kendaraan roda empat (mobil/truk) maupun kendaraan roda dua (motor), khususnya pada musim hujan.

Secara rinci mengenai pembangunan jalan usahatani (JUT) di wilayah penelitian dalam lima tahun terakhir (2005 – 2009) dapat disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Pembangunan Jalan Usahatani di Wilayah Penelitian (2005- 2009)

No Kecamatan Sentra Produksi Kakao

Pembangunan JUT (tahun) Jumlah JUT (km) Sponsor 2005 (km) 2006 (km) 2007 (km) 2008 (km) 2009 (km) 1. Uepay - 2 5 5 6 18 Pemda 2. Besulutu 3*) 5 6,5 5 3 22,5 Pemda + *)Msykat 3. Abuki 5 10 10 5 10 35 Pemda Jumlah 8 17 21,5 15 18 75,5

Sumber : Data Sekunder Kantor Bappeda Kabupaten Konawe, diolah 2009.

Pembangunan sarana jalan usahatani (JUT) dalam lima tahun terakhir (2005- 2009) di wilayah penelitian, masih sebagian besar dibangun melalui program pemerintah daerah dari dinas-dinas terkait yakni Dinas Perkebunan, Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Konawe. JUT yang dilakukan secara partisipatif dengan swadaya masyarakat masih sangat terbatas, yakni sepanjang 3 km (3,97 persen) pada Tahun 2005 di Desa Lawonua Kecamatan Besulutu, selebihnya sepanjang 72,50 km (96,03 persen) dilakukan melalui program Pemda Kabupaten Konawe. Prinsip

(7)

pembangunan yang partisipatif menegaskan masyarakat harus menjadi pelaku utama (subyek) dalam pembangunan (Hikmat, 2001:19).

Sarana produksi yang dimiliki masyarakat perkebunan di wilayah penelitian menunjukkan akses petani kakao lahan kering masih terbatas untuk menjangkau kebutuhan sarana produksi yang digunakan dalam proses produksi usahatani (kegiatan on-farm). Selain itu, kondisi ketersediaan sarana produksi usahatani seperti: bibit, pupuk, dan pestisida, serta alat pertanian kecil (APK) masih kurang terpenuhi dalam masyarakat perkebunan karena terbatasnya kemampuan modal finansial untuk menjangkau harga pengadaan saprodi yang terus meningkat dari waktu ke waktu di tingkat petani. Keterbatasan akses penggunaan sarana produksi dalam kegiatan usahatani kakao di lahan kering merupakan salah satu penyebab rendahnya produktivitas usahatani kakao mencapai batas optimal di wilayah penelitian. Menurut Ginting (2002:15) petani lahan kering adalah petani yang kurang mampu (miskin) dalam hal permodalan sehingga tidak mampu membeli dan menyediakan sarana produksi (bibit, pupuk, pestisida) dan memilih jenis tanaman yang sesuai, sehingga pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki tidak mampu mengadaptasi teknologi usahatani lahan kering yang produktif dan berkelanjutan.

Sarana informasi dan komunikasi yang dimiliki masyarakat perkebunan sangat terbatas, di mana fasilitas radio dan televisi (TV) serta media cetak yang ada kurang banyak di akses masyarakat perkebunan sehingga sosialisasi penerapan teknologi tepat guna (TTG) dan informasi harga komoditas pertanian yang banyak tersedia melalui media massa tidak terjangkau oleh komunitas petani pengguna teknologi (audiens). Rendahnya penerimaan informasi TTG dalam masyarakat perkebunan merupakan salah satu penyebab rendahnya pembentukan kompetensi agribisnis dalam masyarakat perkebunan kakao. Menurut Spencer dan Spencer (1993:10) komponen atau elemen yang membentuk kompetensi adalah karakter pribadi (traits) yaitu karakteristik fisik dan reaksi atau respon yang dilakukan secara konsisten terhadap suatu situasi atau informasi.

Sarana peralatan usahatani yang dimiliki masyarakat perkebunan di wilayah penelitian menunjukkan masih terbatas pada penggunaan peralatan konvensional dalam menunjang kegiatan produksi usahatani (on-farm) serta belum terintegrasi

(8)

pada kegiatan pengolahan dan prosesing hasil usahatani kakao (off-farm). Peralatan yang digunakan dalam kegiatan produksi umumnya cara-cara biasa seperti; menggunakan alat pacul untuk melakukan pengolahan tanah, penggalian lubang tanam, dan penyiangan tanaman dari gulma yang ada pada lahan usahatani. Sama halnya dengan kegiatan panen dan pengolahan hasil yakni menggunakan peralatan parang dan sabit serta cara manual (memetik dengan tangan) untuk mendapatkan hasil, dan menjemur hasil dengan cara-cara yang sederhana. Kondisi peralatan usahatani yang terbatas dimiliki masyarakat perkebunan membutuhkan banyak waktu dan tenaga kerja untuk melakukan proses produksi, panen, dan pengolahan hasil usahatani kakao dalam setiap musim panen. Di samping itu, terbatasnya sarana peralatan usahatani yang dimiliki petani adalah salah satu hambatan kemampuan agribisnis dan rendahnya kualitas hasil usahatani kakao yang diperoleh dalam setiap musim panen karena petani tidak mampu melakukan proses pengolahan dan prosesing hasil dengan sarana peralatan prosesing yang kurang tersedia di wilayah penelitian.

Modal Finansial Masyarakat Perkebunan di Wilayah Penelitian

Modal finansial masyarakat perkebunan dapat dilihat dari tingkat pendapatan dan sumber modal usahatani yang diinvestasikan dalam kegiatan usahatani. Tingkat pendapatan masyarakat perkebunan sangat ditentukan dari hasil usahatani yang diperoleh pada setiap musim panen. Musim panen usahatani kakao dalam setahun dalam lingkungan masyarakat perkebunan terjadi sebanyak tiga kali, yakni; (1) panen awal yang terjadi pada bulan April- Mei, di mana kondisi buah kakao sudah dapat di panen sekitar 30 persen dari jumlah buah yang matang secara fisiologis, (2) panen raya terjadi pada bulan Juni- Juli, di mana kondisi buah kakao dapat di panen sekitar 60 persen, dan (3) panen akhir terjadi pada bulan Agustus sampai Nopember, di mana kondisi buah kakao hanya 10 persen yang dapat di panen.

Tingkat pendapatan petani kakao sangat ditentukan dari besar- kecilnya hasil panen buah kakao yang diperoleh dalam setahun, sehingga perhitungan pendapatan rata-rata per bulan/minggu/hari hanya dapat ditentukan dari hasil bagi satuan pendapatan per tahun. Perhitungan rata-rata pendapatan petani kakao dalam setahun dari persatuan areal (ha) didapatkan rata-rata pendapatan relatif

(9)

berkisar antara Rp 9.612.000,00 hingga Rp. 12.004.800,00 dengan tingkat harga kakao yang berlaku dalam periode bulan Agustus 2009 senilai Rp 23.000,00/kg biji kakao kering atau rata-rata pendapatan per bulan sebesar Rp 900.700,00/ha bagi petani yang memiliki tanaman kakao menghasilkan (TKM) sebanyak 1000 pohon/ha. Perhitungan pendapatan rata-rata tersebut, bersumber dari hasil usahatani dan belum termasuk pendapatan anggota keluarga petani yang bersumber dari pendapatan luar usahatani.

Tingkat pendapatan rata-rata keluarga petani yang bersumber dari luar usahatani, dapat berkisar antara Rp. 350.000,00 hingga Rp 700.000,00/bulan, yang diperoleh dari aktivitas pelayanan jasa keterampilan seperti; mengojek, membuat atap rumbia, buruh bangunan, pengolah batu merah, pengolah pasir, tukang batu, tukang kayu, membuat kerajinan (tembikar, kursi, meja, lemari), dan menokok sagu sebagai bahan pangan alternatif masyarakat etnik lokal setempat. Modal finansial petani yang digunakan dalam usahatani banyak ditentukan dari tabungan atau simpanan yang diperoleh pada setiap musim panen kakao dan pinjaman dari pedagang pengumpul desa, dengan ketentuan pengembalian pinjaman diperhitungkan setelah panen (yarnen).

Kelembagaan Masyarakat Perkebunan di Wilayah Penelitian

Kelembagaan yang ada pada masyarakat perkebunan kakao rakyat di wilayah penelitian adalah kelembagaan produksi, kelembagaan ekonomi, dan kelembagaan sosial, serta kelembagaan pemerintah daerah.

(1) Kelembagaan Produksi

Peranan kelembagaan produksi dalam proses produksi usahatani kakao cukup kuat dengan ikatan etnik untuk melakukan aktivitas kegiatan usahatani secara bersama-sama dalam hal; pengolahan tanah, penanaman, pemupukan tanaman, dan pengendalian hama-penyakit tanaman (hapentan). Adanya ikatan sosial petani berdasarkan etnik merupakan kebiasaan yang dilakukan secara turun temurun untuk mengatasi secara bersama masalah cara berproduksi dengan memberikan bantuan tenaga kerja terhadap komunitasnya dan secara bersama- sama melakukan pengendalian hama-penyakit tanaman di lingkungan usahatani mereka.

(10)

Pola kelembagaan produksi masyarakat masih tetap dipertahankan dan dijaga dalam komunitas, dengan masih eksisnya kelembagaan kelompoktani dan Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT). Kelembagaan SLPHT berfungsi sebagai lembaga produksi karena penekanannya pada ikatan-ikatan yang sifatnya kelompok belajar teknis produksi yang terbentuk dari dan oleh masyarakat dengan kerjasama pengadaan sarana produksi seperti; bibit, pupuk, pestisida dan peralatan usahatani di lingkungannya. Selain itu, mereka melakukan kegiatan pengendalian hama PBK secara bersama dan serentak pada waktu-waktu tertentu dalam usahatani mereka untuk mempertahankan produksi yang akan dipanen melalui wadah kelompok Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT).

Model patron-klien dalam kelembagaan produksi komunitas perkebunan banyak ditemukan dalam masyarakat perkebunan, yaitu pemilik lahan luas mempekerjakan petani lainnya yang mempunyai lahan sempit atau tidak memiliki lahan dalam komunitasnya dengan sistem bagi hasil setelah panen. Ketentuan yang diberlakukan dengan model tersebut adalah petani pemilik lahan yang menguasai sumberdaya meminjamkan lahannya kepada pekerja kebun sebagai pengelola kebun dalam batas waktu tertentu (biasanya ketentuan waktu sebanyak 10 kali panen yakni 5 – 10 tahun), selanjutnya hasil produksi dibagi dua yakni sebagian untuk pemilik lahan dan sebagian untuk pekerja kebun. Pada model ini, pekerja kebun berkewajiban memberi setoran hasil panen (buah kakao) kepada pemilik lahan pada setiap musim panen, dan apabila terjadi resiko akibat gagal panen, maka resiko tersebut tetap menjadi tanggung jawab yang dibebankan kepada pekerja kebun untuk diperhitungkan sebagai beban setoran kepada pemilik lahan pada panen selanjutnya.

(2) Kelembagaan Ekonomi

Kelembagaan ekonomi dalam masyarakat perkebunan kakao di wilayah penelitian, pembentukan dan fungsinya lebih banyak ditekankan dalam transaksi penjualan hasil dan jalur pemasaran hasil usahatani. Model transaksi penjualan hasil usahatani dapat dilakukan petani secara tidak langsung melalui kelompok usaha bersama (KUBE) dan penjualan hasil usahatani secara langsung melalui pedagang pengumpul dalam komunitas petani kakao pada setiap musim panen.

(11)

Pola KUBE dalam masyarakat perkebunan kakao sudah kurang diminati petani dalam melakukan transaksi penjualan hasil usahatani karena membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menerima nilai hasil penjualan dari pedagang besar dan eksportir yang berhubungan dengan pengurus KUBE. Selain itu masalah keseragaman mutu dan kualitas hasil sangat diperhatikan oleh pembeli, serta ketentuan biaya tambahan dalam melakukan transaksi penjualan hasil banyak dibebankan kepada anggota komunitas petani produsen kakao, seperti; biaya angkutan, biaya retribusi, dan susutan biji kakao (kg) cukup tinggi yang dikeluarkan sebagai biaya oleh anggo ta komunitas.

Pola transaksi secara langsung dengan pedagang pengumpul dalam penjualan hasil usahatani kakao sangat banyak ditemukan dalam masyarakat perkebunan . Pola ini dilakukan oleh masyarakat perkebunan dengan cara petani menjual langsung hasil usahatani kepada pedagang pengumpul kakao di tingkat desa, kecamatan, dan kabupaten dengan standar mutu dan harga yang ditentukan oleh pedagang pengumpul. Transaksi penjualan hasil dapat dilaksanakan di kebun saat musim panen atau di tempat penampungan hasil pedagang pengumpul. Penerimaan nilai penjualan hasil usahatani langsung tunai di terima oleh petani dan mutu hasil tidak banyak dipermasalahkan oleh pedagang pengumpul sehingga petani cepat menerima hasil penjualan sesuai kesepakatan harga permintaan dan penawaran yang berlaku saat itu. Pedagang pengumpul menetapkan standar harga pembelian kakao petani, yakni pembelian biji kakao non fermentasi dengan penjemuran sehari (kadar air 21 %) dengan harga Rp 11.000,00 per kg, biji kakao kering dengan penjemuran dua hari (kadar air 14 %) dengan harga Rp 14.000,00 per kg, dan biji kakao kering dengan penjemuran tiga sampai empat hari (kering patah, kadar air 5-7 %) dengan harga Rp 23.000,00 per kg, yang harganya sama dengan biji kakao fermentasi di pasaran umum (kondisi penetapan harga berlaku periode bulan Juli 2009).

Jalur pemasaran hasil produksi usahatani kakao sebagian besar (80 %) petani produsen kakao langsung menjual atau memasarkan hasil usahataninya kepada pedagang pengumpul yang ditetapkan menjadi partner business (langganan) dengan pola transaksi penjualan di kebun saat musim panen. Hanya sebagian kecil (20 %) petani produsen kakao yang menggunakan fungsi KUBE

(12)

sebagai wadah kelembagaan ekonomi masyarakat perkebunan sebagai jalur pemasaran hasil usahatani kakao. Pemasaran kakao kurang efektif menggunakan peran kelembagaan ekonomi atau KUBE, disebabkan oleh lambannya traksaksi penjualan hasil usahatani, sedangkan petani ingin cepat memperoleh pertukaran hasil untuk memenuhi kebutuhan keluarga, dan hal tersebut salah satu penyebab lemahnya posisi tawar (bargaining position) komunitas petani produsen kakao dalam menentukan standar harga dan mutu penjualan kakao terhadap konsumen kakao dalam pemasaran hasil produksi usahatani kakao di wilayah penelitian.

(3) Kelembagaan Sosial

Kelembagaan sosial yang terbentuk untuk mendukung aktivitas sosial masyarakat perkebunan kakao di wilayah penelitian adalah kelompoktani, kelompok swadaya masyarakat (KSM), dan forum antar etnis/suku yang proses pembentukannya dilandasi oleh rasa kesamaan kepentingan dan ikatan sosial masyarakat terhadap kondisi sumberdaya dan lingkungannya. Perbedaan kedudukan dan peranan masing-masing individu dalam komunitas yang cenderung menjadi dasar pelapisan sosial maupun konflik sosial masih pada batas-batas toleransi karena nilai kebersamaan dan pembauran masyarakat yang terjadi melalui ikatan perkawinan antar anggota keluarga dari etnik masyarakat yakni etnik lokal maupun etnik migran sudah menjadi model toleransi sosial masyarakat di wilayah penelitian.

Struktur komunitas dalam masyarakat perkebunan terutama ditentukan oleh finansial ekonomi individu anggota komunitas dalam hal kepemilikan luas lahan serta sumberdaya yang dikuasainya dan pada gilirannya akan menentukan hubungan sosial kemasyarakatan. Selain hal tersebut, struktur komunitas sangat dipengaruhi oleh jenis pekerjaan dan tingkat pendidikan yang dimiliki oleh individu anggota komunitas. Sifat ketokohan, keteladanan dan kepemimpinan komunitas selalu menjadi pertimbangan utama untuk mendapatkan pengakuan masyarakat perkebunan dan sangat ditentukan dari latar belakang silsilah keturunan, tingkat pendidikan, dan finansial ekonomi yang melekat pada diri individu dalam masyarakatnya.

Peran dan fungsi kelompoktani dari bentukan Penyuluh Lapangan Perkebunan Terpadu (PLPT) dalam masyarakat perkebunan diarahkan sebagai

(13)

unit produksi, kelas belajar, dan wadah kerjasama antar individu anggota komunitas yang didasarkan atas kesamaan tempat tinggal, sumberdaya yang dikelola, dan tujuan bersama yang hendak dicapai. Penetapan pengurus yakni ketua dan anggota kelompoktani sebagai kelembagaan sosial masyarakat sifatnya non formal didasarkan atas kesepakatan wilayah hamparan usahatani dan domisili anggota komunitas. Penumbuhan dan pengembangan kelompoktani dalam masyarakat perkebunan yang mempunyai anggota antara 25 – 50 orang petani, masih berjalan lambat dan proses pengembangannya belum efektif berperan untuk membina hubungan kerjasama anggota komunitas dalam usaha produksi, pengolahan dan pemasaran hasil usahatani. Kemampuan kelompoktani perkebunan umumnya masih lemah dalam hal; (1) mengakses penyediaan sarana produksi usahatani, (2) mengakses informasi teknologi tepat guna, (3) mengakses penyediaan modal usaha, (4) mengakses pengolahan hasil usahatani, dan (5) mengakses pemasaran hasil usahatani. Kondisi ini menunjukkan bahwa perilaku agribisnis petani kakao sebagai anggota kelompoktani masih lemah untuk mengintegrasikan kegiatan on-farm dan off-farm untuk mencapai produktivitas usahatani kakao yang optimal.

Peran dan fungsi kelompok swadaya masyarakat (KSM) dalam masyarakat perkebunan adalah membina hubungan antar kelompok etnis/suku yang beragam dalam masyarakat untuk penanggulangan konflik sosial yang sangat potensial dapat terjadi karena perbedaan sumberdaya lahan, suku, agama, dan masalah sosial lainnya. Selain itu KSM juga berperan sebagai wadah pengembangan kreatifitas masyarakat perkebunan kakao dalam bidang sosial kemasyarakatan yang mempunyai jaringan dengan lembaga sosial luar komunitas seperti; Lembaga Bina Mandiri (LBM), Yayasan Solo Indonesia (YSI), lembaga organisasi ADI-VODCA di Australia dan lembaga organisasi NZAID di New Zaeland. Aktivitas pengurus KSM dalam masyarakat perkebunan banyak ditekankan untuk memfasilitasi terbentuknya forum antar etnik/suku, serta mengawasi pelaksanaan kegiatan sosial dalam masyarakat dengan bantuan dana hibah kepada masyarakat pedesaan yang sumber anggarannya dari non pemerintah. Kelembagaan etnik yang terbentuk dalam masyarakat perkebunan banyak memberi manfaat sosial bagi komunitas etnik yang bermacam-macam

(14)

asalnya dalam hal toleransi dan kebersamaan dalam aktivitas sosial masyarakat perkebunan, dan efektif mencegah konflik masyarakat yang berbeda etnik/suku di wilayah penelitian.

(4) Kelembagaan Pemerintahan

Kelembagaan pemerintahan dalam masyarakat perkebunan berfungsi untuk melakukan tugas-tugas pelayanan publik dan urusan-urusan pemerintahan serta kemasyarakatan. Struktur kelembagaan pemerintahan berdasarkan batas wilayah administratif dan fungsi lembaga pemerintahan mulai dari tingkat desa/kelurahan, kecamatan, hingga kabupaten sebagai wilayah otonomi daerah Kabupaten Konawe di Provinsi Sulawesi Tenggara.

Kelembagaan pemerintahan yang banyak berhubungan dan berperan di lingkungan masyarakat perkebunan adalah pemerintahan desa dan lembaga penyuluhan. Kinerja aparat pemerintahan desa dan petugas penyuluhan di wilayah penelitian merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap masyarakat perkebunan dalam menunjang pelayanan aktivitas pembangunan perkebunan kakao rakyat. Peran aparat pemerintah desa umumnya lebih banyak ditekankan pada urusan pemerintahan, pelayanan pajak bumi dan bangunan (PBB), pengurusan KTP dan kartu rumah tangga warga masyarakat, masalah keamanan dan ketertiban masyarakat (kantibmas) serta perencanaan pembangunan desa bersama anggota Badan Perwakilan Desa (BPD) dan Lembaga Pemberdayaan masyarakat (LPM) sebagai mitra pemerintah desa.

Kelembagaan penyuluhan merupakan kelembagaan yang berperan dalam perubahan perilaku masyarakat perkebunan untuk melakukan pengelolaan sumberdaya yang dimiliki masyarakat secara produktif. Kondisi penyuluhan dalam masyarakat perkebunan masih bersifat pelayanan penyuluhan kepada masyarakat petani yang aktif sebagai anggota kelompoktani. Umumnya petugas penyuluhan lapangan (PPL) melakukan pembinaan dan penyuluhan berdasarkan wilayah kerja (wilkel) penyuluhan yang terkonsentrasi pada batas wilayah administrasi desa yakni satu penyuluh satu desa. Hal tersebut, belum efektif dapat dilaksanakan oleh pemerintah daerah, karena jumlah sebaran desa dengan ketersediaan penyuluh yang ada di daerah sangat terbatas, di samping itu sebagian

(15)

besar PPL kurang memiliki bidang kompetensi yang sesuai keahlian teknis dan potensi desa tempat penyuluh bertugas.

Secara rinci mengenai keragaan keahlian tenaga fungsional penyuluhan di daerah Kabupaten Konawe, disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12. Keragaan Keahlian Tenaga Penyuluhan di Wilayah Penelitian No Keahlian Teknis (bidang/sektor) Jumlah Penyuluh (orang) Persentase (%) 1 2 3 4 5 Tanaman Pangan Perikanan Peternakan Perkebunan Kehutanan 102 20 19 34 25 51,26 10,05 9,55 17,08 12,56 Jumlah 199 100,00

Sumber : Data Sekunder, Kantor BP4K Kabupaten Konawe, diolah 2009

Keragaan keahlian tenaga penyuluhan di wilayah penelitian masih didominasi oleh penyuluh pertanian tanaman pangan dan perkebunan karena penanganan potensi daerah pada sektor pertanian tanaman pangan dan perkebunan merupakan bidang usahatani yang banyak dikelola dalam masyarakat dibanding bidang usaha/sektor lainnya. Jangkauan tugas pelayanan penyuluhan yang sangat luas dalam masyarakat perkebunan membuat beban tugas penyuluhan semakin berat tantangannya ke depan, oleh sebab itu fokus perhatian utama pemerintah untuk peduli terhadap penyuluhan dengan penyediaan insentif dan fasilitas pendukung kelancaran pelaksanaan tugas-tugas penyuluhan pembangunan di daerah.

Tingkat Produktivitas Usahatani Kakao

Produktivitas usahatani kakao adalah potensi usahatani kakao untuk menghasilkan keluaran berupa produk kakao dengan masukan sumberdaya tertentu dalam pengelolaan usahatani kakao pada lahan kering. Sejalan dengan pendapat Wibowo (2007:241) menyatakan produktivitas adalah hubungan antara keluaran atau hasil kinerja dengan masukan yang diperlukan. Produktivitas merupakan kombinasi semua faktor produksi dan dipengaruhi oleh tingkat kompetensi dan motivasi kerja. Produktivitas usahatani kakao dalam penelitian ini, diukur dengan

(16)

parameter skor tingkat produksi usahatani, tingkat mutu hasil usahatani, dan nilai tambah produksi usahatani dalam masyarakat perkebunan di wilayah penelitian.

Berdasarkan analisis jawaban petani responden mengenai aspek tingkat produktivitas usahatani kakao dalam masyarakat perkebunan di wilayah penelitian (Lampiran 26), maka diperoleh sebaran petani responden seperti pada Tabel 13. Tabel 13. Sebaran Petani Responden menurut Tingkat Produktivitas Usahatani

Kakao Kategori Produktivitas Usahatani Kakao Tingkat Produktivitas (kg/ha) Petani Responden (n) Persentase (%) Sangat rendah < 400 63 35,0 Rendah > 400 – 800 68 37,8 Sedang > 800 – 1200 49 27,2 Tinggi > 1200 – 1600 0 0,0 Sangat tinggi > 1600 0 0,0 Jumlah 180 100,0

Tabel 13, menunjukkan bahwa tingkat produktivitas usahatani kakao petani responden dalam masyarakat perkebunan, umumnya rendah. Hal ini ditunjukkan dengan sebaran responden pada kategori tingkat produktivitas usahatani rendah sebanyak 68 petani responden (37,8 persen). Sebaran kategori tingkat produktivitas sangat rendah pada 63 petani responden (35 persen), dan kategori tingkat produktivitas sedang pada 49 petani responden (27,2 persen). Tingkat produksi usahatani kakao persatuan areal sebagai indikator produktivitas usahatani kakao diukur dengan jumlah produksi kakao yang dihasilkan tanaman kakao di pertanaman persatuan areal (kg/ha).

Kondisi tingkat produksi kakao umumnya memberikan hasil produksi usahatani kakao yang rendah dalam masyarakat perkebunan. Jumlah produksi kakao sangat ditentukan oleh aspek kemampuan teknis petani dalam pengelolaan usahatani, seperti; penggunaan sarana produksi, pengaturan jarak tanam, pemupukan, dan pengendalian hama penyakit tanaman (hapentan) dipertanaman. Selain itu dukungan aspek kemampuan manajerial petani sangat menentukan penerapan sistem dan pengembangan usaha agribisnis kakao, seperti; perencanaan usahatani, pengorganisasian sumberdaya, dan kemitraan bisnis kakao.

(17)

Data dan informasi kondisi produksi kakao dalam masyarakat perkebunan menunjukkan jumlah produksi kakao sebanyak 145.683 kg biji kakao kering dalam setahun dengan luas areal penanaman kakao petani responden seluas 280,5 ha, sehingga kondisi rata-rata produktivitas usahatani baru mencapai 519 kg per hektar setahun atau 0,52 ton biji kakao kering. Tingkat mutu hasil kakao dalam usahatani sebagai indikator pengukuran tingkat produktivitas usahatani diukur dengan mutu produksi usahatani kakao diklasifikasikan dalam bentuk kualitas mutu fermentasi dan non fermentasi yang dihasilkan usahatani kakao dalam masyarakat perkebunan. Hal ini ditunjukkan oleh pernyataan petani yang terkategori sangat rendah terhadap perlakuan fermentasi biji kakao sehingga mutu kakao dominan mutu asalan. Kondisi tingkat mutu hasil usahatani kakao sangat ditentukan dengan kemampuan teknis petani untuk meningkatkan kualitas mutu hasil usahatani dengan melakukan perlakuan fermentasi biji kakao, dan perlakuan pengeringan biji kakao sesuai standar persentasi kadar air biji kakao. Selain itu, tingkat mutu juga sangat ditentukan dengan perlakuan perbedaan harga pasar kakao berdasarkan standarisasi mutu di pasaran konsumen.

Data dan informasi harga kakao petani responden yang teridentifikasi dalam masyarakat perkebunan menunjukkan fluktuasi harga bervariasi saat panen kakao yakni berada pada kisaran harga Rp 11.000,00 hingga Rp 23.000,00 per kg, disamping itu kualitas kakao mutu fermentasi dan non fermentasi tidak menunjukkan perbedaan harga yang nyata pada saat panen. Waktu panen awal (bulan April-Mei) dan panen akhir kakao (bulan September- Oktober) petani menerima harga kakao berada pada kisaran harga Rp 11.000,00 hingga Rp 14.000,00 dan waktu panen raya (bulan Juni-Juli) petani menerima harga kakao berada pada kisaran Rp 15.000,00 hingga Rp 23.000,00 per kg biji kakao kering. kondisi ini terjadi karena harga kakao lebih banyak dikendalikan oleh pedagang kakao dan petani kurang mampu bekerjasama menentukan harga yang layak diterima sehingga bargaining position petani lemah menentukan harga kakao dalam masyarakat perkebunan.

Nilai tambah usahatani kakao sebagai indikator pengukuran tingkat produktivitas usahatani kakao diukur dengan tambahan bobot produksi usahatani kakao dalam bentuk pertambahan bobot buah dan bobot biji kakao yang

(18)

dihasilkan dalam usahatani petani responden. Hal ini ditunjukkan oleh pernyataan petani yang terkategori sangat rendah terhadap tingkat produktivitas usahatani kakao dalam masyarakat perkebunan di wilayah penelitian. Kondisi nilai tambah usahatani kakao dalam masyarakat perkebunan umumnya memiliki nilai tambah usahatani sangat rendah, sangat ditentukan oleh kemampuan teknis petani dalam melakukan pemupukan dan pengendalian hama penyakit tanaman kakao di pertanaman dalam usahatani kakao, sehingga dapat meningkatkan volume buah dan bobot berat biji kakao. Informasi satuan nilai tambah produksi kakao yang teridentifikasi pada petani responden menunjukkan volume bobot 100 buah kakao identik dengan 2 kg biji kakao kering.

Tingkat Pendapatan Usahatani kakao

Pendapatan usahatani kakao merupakan nilai pendapatan yang diperoleh petani dalam setahun yang diperhitungkan dari nilai penerimaan usahatani dikurangi dengan keseluruhan biaya (total cost) yang dikeluarkan selama satu siklus produksi/periode panen di wilayah penelitian. Menurut Soekartawi (2006:58) bahwa pendapatan bersih usahatani dapat diukur nilainya dengan cara menghitung selisih total penerimaan dan total biaya dalam jangka waktu satu

tahun, yang dirumuskan secara matematis yakni Pd = TR – TC, dimana Pd (pendapatan usahatani), TR (total penerimaan), dan TC (total biaya).

Indikator tingkat pendapatan usahatani kakao diukur berdasarkan nilai penerimaan usahatani (Rp), nilai pengeluaran biaya usahatani (Rp), dan nilai pendapatan bersih usahatani kakao (Rp). Berdasarkan jawaban petani responden mengenai tingkat pendapatan usahatani kakao dalam setahun pada masyarakat perkebunan di wilayah penelitian (Lampiran 27), maka diperoleh sebaran petani responden seperti pada Tabel 14.

(19)

Tabel 14. Sebaran Petani Responden menurut Tingkat Pendapatan Usahatani Kakao Kategori Pendapatan Usahatani Kakao Tingkat Pendapatan (Rp.000.000,00) Petani Responden (n) Persentase (%)

Sangat rendah < 9 juta 70 38,9

Rendah > 9 - 18 juta 65 36,1

Sedang > 18 - 27 juta 28 15,6

Tinggi > 27 - 36 juta 8 4,4

Sangat tinggi > 36 juta 9 5,0

Jumlah 180 100,0

Tabel 14, menunjukkan bahwa tingkat pendapatan usahatani kakao petani responden dalam masyarakat perkebunan, umumnya rendah. Hal ini ditunjukkan dengan sebaran responden pada kategori tingkat pendapatan usahatani sangat rendah sebanyak 70 petani responden (38,9 persen). Sebaran kategori tingkat pendapatan rendah pada 65 petani responden (36,1 persen), dan kategori tingkat pendapatan sedang pada 28 petani responden (15,6 persen). Rendahnya tingkat pendapatan usahatani kakao, banyak disebabkan oleh kurangnya volume produksi yang terjual, rendahnya tingkat mutu hasil produksi yang dipasarkan petani kepada pembeli, serta fluktuasi harga kakao yang bervariasi di tingkat petani pada setiap musim panen kakao.

Nilai penerimaan usahatani kakao sebagai indikator pengukuran tingkat pendapatan didasarkan pada nilai penjualan hasil usahatani yang diperoleh petani melalui volume produksi (rata-rata 519 kg/ha) dikalikan dengan harga jual kakao yang dinilai sesuai kandungan kadar air atau tingkat kekeringan biji kakao yakni tingkat harga Rp14.000,00 hingga Rp 23.000,00/kg biji kakao kering. Penerimaan hasil usahatani kakao dalam setahun umumnya rendah yang diterima oleh petani responden dalam masyarakat perkebunan. Hal ini ditunjukkan oleh dominan pernyataan petani yang terkategori sangat rendah.

Kemampuan teknis petani berkaitan dengan peningkatan kualitas mutu hasil usahatani, apabila petani mampu melakukan fermentasi biji kakao, dan pengeringan biji kakao akan menarik respon pembelian kakao untuk membeli kakao sesuai standar harga yang berlaku di pasaran konsumen. Selain itu, kemampuan manajerial petani berkaitan dengan kemitraan bisnis usahatani,

(20)

apabila petani mampu bekerjasama dengan pelaku usaha kakao untuk meningkatkan posisi tawar petani dalam pemasaran kakao, maka petani dapat menerima harga pasar kakao yang layak dari konsumen pelaku pasar kakao.

Nilai pengeluaran biaya usahatani kakao sebagai indikator pengukuran tingkat pendapatan usahatani kakao diukur berdasarkan penjumlahan biaya tetap (rata-rata Rp 1.684.314,00/ha) dan biaya tidak tetap (rata-rata Rp 649.376,00/ha) sehingga total biaya rata-rata sebesar Rp 2.334.403,00 per hektar yang dikeluarkan petani untuk kegiatan usahatani kakao dalam setahun. Rata-rata pernyataan petani terkategori rendah terhadap tingkat pendapatan usahatani kakao dalam masyarakat perkebunan kakao. Kondisi ini, sangat ditentukan oleh kemampuan manajerial petani untuk mengatur penggunaan sumberdaya usahatani dengan memanfaatkan penggunaan input usahatani dan pembagian waktu kerja dalam kegiatan usahatani. Selain itu, diperlukan kemampuan teknis petani untuk menggunakan teknologi tepat guna dalam pengadaan sarana produksi seperti ; pupuk buatan (bukasyi), dan pestisida nabati yang bahan bakunya tersedia dalam lingkungan usahatani untuk menekan pengeluaran biaya sarana produksi usahatani kakao dalam masyarakat perkebunan di wilayah penelitian.

Nilai pendapatan bersih sebagai indikator pengukuran tingkat pendapatan usahatani kakao diukur berdasarkan selisih total penerimaan hasil usahatani dengan total pengeluaran biaya usahatani kakao per satuan luas dalam setahun (Rp/ha). Nilai pendapatan bersih usahatani kakao petani responden umumnya sangat rendah. Hal ini ditunjukkan oleh pernyataan petani yang terkategori sangat rendah (38,9 persen). Hasil pengamatan dan observasi lapang menunjukkan bahwa rata-rata penerimaan hasil usahatani kakao petani responden dalam setahun sebesar Rp 11.666.467,00 per hektar, dan rata-rata total biaya usahatani kakao yang dikeluarkan sebesar Rp 2.334.403,00 per hektar dalam setahun. Perhitungan

rata-rata pendapatan bersih hasil usahatani kakao dapat diestimasikan sebesar Rp 9.342.751,00 per hektar dalam setahun. Jika perhitungan rata-rata pendapatan

hasil usahatani kakao persatuan luas (ha) per bulan sebesar Rp 778.563,00 atau (Rp 9.342.751,00/12 bulan dlam setahun), maka setiap satu pohon kakao menghasilkan hanya memberi kontribusi pendapatan riil sebesar Rp 801,00 per bulan. Dikaitkan dengan sasaran pendapatan petani perkebunan lahan kering yang

(21)

dicanangkan sebelumnya oleh Direktorat Jenderal Perkebunan dan Pemerintah Daerah Kabupaten Konawe (Visi 2010) untuk pencapaian pendapatan petani kakao rata-rata minimal sebesar US 1.500 (Rp 15.000.000,00) per tahun dalam masyarakat perkebunan kakao, maka kelayakan pengelolaan usahatani kakao persatuan luas adalah minimal seluas 1,5 hektar dengan tanaman kakao menghasilkan (TKM) sebanyak 1650 pohon (standar teknis populasi tanaman kakao 1100 pohon/ha) sehingga perhitungan pendapatan usahatani kakao dapat diestimasi sebesar Rp 15.859.800,00 (1650 pohon x Rp 801,00 x 12 bulan dalam setahun) dalam masyarakat perkebunan kakao. Oleh karena itu, faktor pengembangan model kompetensi agribisnis petani kakao menjadi penting dalam upaya peningkatan produktivitas dan pendapatan usahatani lahan kering di wilayah Kabupaten Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara.

Deskripsi Faktor Internal dan Eksternal Petani Kakao Di Wilayah Penelitian

Faktor Internal

Suatu masyarakat manapun terdapat faktor internal sebagai daya internal yang mekanismenya bersifat khas (local specific) dan secara nyata berperan dalam mengatasi masalahnya sendiri. Nilai-nilai keunggulan mencirikan seseorang dalam komunitas tertentu khususnya petani kakao yang berusahatani di lahan kering, faktor daya internal yang dimiliki akan menjamin keberlanjutan usaha. Sejalan dengan pendapat Wibowo (2007:104) yang menyatakan bahwa motivasi dan karakteristik kepribadian merupakan faktor-faktor yang dapat digunakan untuk memperbaiki kompetensi yang menghambat pada diri seseorang.

(1) Karakteristik Petani Kakao

Karakteristik petani kakao merupakan ciri tertentu pada sumberdaya individu yang dimiliki dalam masyarakat perkebunan kakao rakyat di wilayah penelitian, meliputi: umur, pendidikan formal, pendidikan non formal, tanggungan keluarga, pengalaman berusahatani, kekosmopolitan, luas lahan produksi, jumlah tanaman kakao menghasilkan (TKM), pendapatan keluarga, dan keterikatan etnik/suku.

(22)

Umur Petani

Umur petani merupakan suatu faktor yang mempengaruhi kemampuan fisik seseorang dalam berpikir maupun dalam bekerja. Menurut Suparno (2001:25) bahwa perkembangan kemampuan berpikir terjadi seiring dengan bertambahnya umur seseorang. Sebaran petani responden berdasarkan umur, disajikan pada Tabel 15.

Tabel 15. Sebaran Petani Responden berdasarkan Umur Umur (tahun) Petani Responden (n) Persentase (%) 15 – 24 25 – 34 35 – 44 45 – 54 > 55 32 54 60 30 4 17,8 30,0 33,3 16,7 2,2 Jumlah 180 100,0

Umur petani kakao umumnya pada kisaran usia cukup produktif yakni sebanyak 60 orang petani (33,3 persen) dengan usia antara 35 sampai 44 tahun, dan usia produktif sebanyak 54 orang petani (30,0 persen) pada kisaran usia antara 25 sampai 34 tahun serta usia sangat produktif sebanyak 32 orang petani (17,8 persen). Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar petani kakao berada pada usia produktif, dengan kondisi tenaga dan kekuatan fisik yang kuat serta pikiran dan pertimbangan yang mantap untuk menerima inovasi baru dalam menjalankan aktivitas usahatani kakao. Usia produktif sangat berpengaruh untuk menunjang aktivitas pekerjaan berusahatani kakao, karena kondisi usia yang semakin bertambah dari waktu ke waktu menjadi hambatan petani untuk mengembangkan potensi dirinya (kompetensi) dalam mengelola usahataninya secara baik. Kondisi umur produktif berkaitan dengan karakteristik petani kakao dalam masyarakat perkebunan di wilayah penelitian.

Pendidikan Formal

Pendidikan formal yang dimiliki petani merupakan salah satu faktor pembentuk kompetensi seseorang untuk mengembangkan intelegensi yang berhubungan dengan daya pikir dan mengajarkan kepada individu aneka macam kemampuan. Menurut Soekanto (2002:328) pendidikan memberikan nilai-nilai tertentu bagi manusia, terutama dalam membuka cakrawala pemikiran dalam

(23)

menerima hal-hal baru serta bagaimana cara berpikir secara ilmiah. Slamet (2003:20) mengemukakan bahwa pendidikan sebagai usaha untuk menghasilkan perubahan-perubahan pada perilaku manusia. Sebaran petani responden berdasarkan jenjang pendidikan formal, disajikan pada Tabel 16.

Tabel 16. Sebaran Petani Responden berdasarkan Jenjang Pendidikan Formal Jenjang Pendidikan Formal Petani Responden (n) Persentase (%) Tidak tamat SD SD SLTP SLTA PT 3 52 52 71 2 1,7 28,9 28,9 39,4 1,1 Jumlah 180 100,0

Pendidikan formal yang dimiliki petani sebagian besar pada jenjang pendidikan dasar yakni SD dan SLTP sebanyak 104 orang petani (57,8 persen) dan tidak tamat SD sebanyak 3 orang petani (1,7 persen), dan petani yang memiliki jenjang pendidikan hingga tingkat SLTA sebanyak 71 orang (39,4 persen). Hal tersebut, menunjukkan jenjang pendidikan formal petani kakao umumnya terkategori rendah. Kondisi jenjang pendidikan formal petani berkaitan dengan karakteristik petani kakao dalam masyarakat perkebunan di wilayah penelitian.

Pendidikan Nonformal

Pendidikan nonformal yang diikuti petani merupakan salah satu faktor pembentuk kompetensi sesorang untuk menguasai pengetahuan dan keterampilan tertentu. Sebaran petani responden berdasarkan pendidikan nonformal yang di ikuti, disajikan pada Tabel 17.

Tabel 17. Sebaran Petani Responden berdasarkan Pendidikan Nonformal Pendidikan Nonformal

(frekuensi ikut pelatihan)

Petani Responden (n) Persentase (%) Tidak pernah 75 41,6 1 kali 2kali 3 kali 41 50 9 22,8 27,8 5,0 > 4 kali 5 2,8 Jumlah 180 100,0

(24)

Pendidikan nonformal petani menunjukkan bahwa sebagian besar petani menyatakan tidak pernah mengikuti pelatihan teknis usahatani sebanyak 75 orang petani (41,6 persen), dan selebihnya hanya kadang-kadang 1 kali ikut pelatihan teknis dalam setahun sebanyak 41 orang petani (22,8 persen), ikut pelatihan teknis seringkali 2 kali dalam setahun sebanyak 50 orang petani (27,8 persen). Jenis pelatihan teknis usahatani yang frekuensinya kadang atau sering diikuti oleh petani yakni pelatihan SLPHT dan budidaya kakao yang diselenggarakan melalui kelembagaan penyuluhan. Hal tersebut, menunjukkan umumnya kemampuan petani masih kurang untuk menguasai pengetahuan dan keterampilan agribisnis kakao dalam pengelolaan usahatani kakao. Kurangnya keikut-sertaan petani dalam pelatihan teknis usahatani kakao yang diselenggarakan kelembagaan penyuluhan, disebabkan karena petani memiliki keterbatasan dalam beberapa hal yakni; waktunya banyak terbuang untuk pekerjaan usahatani bila ikut pelatihan, peserta pelatihan dipersyaratkan memiliki pendidikan formal yang cukup (minimal tamat SLTP, serta bisa membaca dan menulis), memiliki usia masih produktif, memiliki skala lahan dengan luasan areal produktif (> 1,0 hektar) dan aktif terlibat sebagai anggota kelompok tani. Kondisi pendidikan nonformal petani terkait dengan karakteristik petani kakao dalam masyarakat perkebunan di wilayah penelitian.

Kekosmopolitan

Ciri kekosmopolitan yang dimiliki petani merupakan salah satu indikator kualitas sumberdaya manusia dalam melihat pengayaan wawasan pergaulan petani untuk membuka diri berhubungan dengan pihak luar lingkungannya. Menurut Soekanto (2002:301) ciri orang modern adalah bersifat terbuka dan rasional menerima perubahan nilai-nilai baru dalam lingkungan masyarakat. Sebaran petani responden berdasarkan kekosmopolitan petani, disajikan pada Tabel 18. Tabel 18. Sebaran Petani Responden berdasarkan Kekosmopolitan

Kekosmopolitan (frekuensi setahun) Petani Responden (n) Persentase (%) Tidak pernah 1 kali setahun 2 kali setahun 3 kali setahun 4 150 22 4 2,2 83,4 12,2 2,2 Jumlah 180 100,0

(25)

Kekosmopolitan petani menunjukkan sebagian besar atau sebanyak 150 petani responden (83,4 persen) terkategori kurang kosmopolitan yakni berhubungan 1 kali setahun dengan pihak luar komunitas dalam memperoleh informasi teknologi tepat guna yang berkaitan dengan kegiatan usahatani kakao baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Sebanyak 22 petani responden (12,2 persen) terkategori cukup kosmopolitan yakni 2 kali berhubungan keluar dalam setahun untuk mencari dan mendapat informasi yang terkait dengan agribisnis usahatani kakao lahan kering. Kondisi kekosmopolitan petani berkaitan dengan karakteristik petani kakao dalam masyarakat perkebunan di wilayah penelitian.

Luas Lahan Produksi

Luas lahan produksi usahatani adalah luas lahan tanaman kakao per satuan areal yang dikuasai petani untuk menghasilkan satuan produksi usahatani di lahan kering. Menurut Mardikanto (1993:217) luas lahan usahatani merupakan asset bagi petani untuk menghasilkan produksi total sekaligus pendapatan usahatani. Sebaran petani responden berdasarkan luas lahan produksi kakao, dapat disajikan pada Tabel 19.

Tabel 19. Sebaran Petani Responden berdasarkan Luas Lahan Produksi Kakao Luas Lahan Produksi Kakao Petani Responden (n) Persentase (%) < 1.0 ha >1.0 – 2.0 ha >2.0 – 3.0 ha >3.0 – 4.0 ha 88 72 15 5 48,9 40,0 8,3 2,8 Jumlah 180 100,0

Luas lahan produksi usahatani kakao yang dimiliki atau dikuasai petani umumnya berada pada luasan 1,0 ha sebanyak 88 petani responden (48,9 persen) yang terkategori memiliki luas lahan sangat sempit, dan kategori memiliki luas lahan sempit pada kisaran 1,6 – 2,0 ha sebanyak 72 petani responden (40,0 persen). Kondisi luas lahan pemilikan petani menunjukkan lahan pada skala luasan agribisnis kakao ditekankan pada orientasi hasil usahatani rakyat untuk komersialisasi bukan dimaksudkan untuk konsumtif. Kondisi petani yang

(26)

memiliki skala luas lahan produksi sempit hingga luas, terkait dengan karakteristik petani kakao dalam masyarakat perkebunan di wilayah penelitian.

Jumlah Tanaman Kakao Menghasilkan

Tanaman kakao menghasilkan (TKM), merupakan jumlah tanaman kakao yang ada pada areal pertanaman usahatani kakao dengan kondisi tanaman kakao sudah berproduksi atau berumur di atas 3 tahun. Masa produksi tanaman kakao dapat mencapai 25 tahunan (umur ekonomis). Sebaran petani responden berdasarkan jumlah tanaman kakao menghasilkan (TM), disajikan pada Tabel 20. Tabel 20. Sebaran Petani Responden berdasarkan Jumlah Tanaman Kakao

Menghasilkan (TKM) Jumlah Tanaman Kakao

Menghasilkan (TKM ) Petani Responden ( n ) Persentase ( % ) < 1000 pohon 78 43,3 >1000 – 1500 pohon 41 22,8 >1500 – 2000 pohon 42 23,3 >2000 – 2500 pohon 2 1,1 > 2500 pohon 17 9,4 Jumlah 180 100,0

Jumlah tanaman kakao menghasilkan (TKM) yang ditanam dan dipelihara petani sebagai asset usahatani umumnya populasi berada di bawah 1000 pohon pada sebanyak 78 petani responden (43,3 persen) yang terkategori memiliki jumlah tanaman sangat kurang sesuai acuan teknis populasi tanaman persatuan areal (standar 1100 pohon/ha), dan pada kisaran >1000 hingga 1500 pohon sebanyak 41 petani responden (22,8 persen) yang terkategori sesuai acuan teknis persatuan areal penanaman. Kondisi jumlah tanaman kakao menghasilkan yang di miliki petani menunjukkan luas lahan produktif yang telah ditanami kakao, ditekankan pada acuan standar teknis populasi tanaman kakao perhektar yang terkait dengan karakteristik petani kakao dalam masyarakat perkebunan di wilayah penelitian.

Pendapatan Keluarga

Pendapatan keluarga petani merupakan pendapatan yang dihasilkan oleh seluruh anggota keluarga petani baik yang bersumber dari pendapatan usahatani maupun luar usahatani. Menurut Penny (1990:56) produksi yang dihasilkan petani akan berdampak pada pendapatan yang merupakan keseluruhan dari apa yang ia

(27)

peroleh dari cara pemanfaatan tenaga kerja, tanah dan modal lainnya. Sebaran petani responden berdasarkan pendapatan keluarga dari luar usahatani, disajikan pada Tabel 21.

Tabel 21. Sebaran Petani Responden berdasarkan Pendapatan Keluarga dari Luar Usahatani Kakao Pendapatan Keluarga (Rp/bulan) Petani Responden ( n ) Persentase ( % ) < Rp 500.000,00 97 53,9 >Rp 500.000, 00 - Rp 1.000.000,00 59 32,8 >Rp 1.000.000,00 - Rp 1.500.000,00 11 6,1 >Rp 1.500.000,-00 - Rp 2.000.000,00 12 6,7 >Rp 2.000.000,00 1 0,6 Jumlah 180 100,0

Pendapatan keluarga petani yang diperoleh dari luar usahatani kakao sebagian besar pada kisaran nilai pendapatan < Rp.500.000,00 per bulan terkategori pendapatan sangat rendah terdapat sebanyak 97 petani responden (53,9 persen), dan nilai pendapatan rendah pada kisaran nilai >Rp 500.000,00 hingga Rp 1.000.000,00 per bulan sebanyak 59 petani responden (32,8 persen). Sedangkan karegori pendapatan sedang yang di peroleh anggota keluarga petani senilai >Rp. 1.000.000,00 hingga Rp 1.500.000,00 per bulan sebanyak 11 petani responden (6,1 persen), dan pendapatan keluarga petani terkategori tinggi diatas senilai >Rp 1.500.000,00 pada 13 petani responden (7,3 persen). Pekerjaan anggota keluarga petani luar usahatani kakao umumnya bekerja sebagai penganyam atap, buruh bangunan, pedagang kios sembako, jasa pengolah batu merah, tukang kayu, pengolah pasir, dan mengojek di perdesaan. Kondisi ini berkaitan dengan karakteristik petani kakao dalam masyarakat perkebunan.

Keterikatan Asal Etnik

Keterikatan asal etnik petani merupakan ikatan nilai keragaman adat, kebiasaan serta budaya yang dijunjung tinggi petani sesuai asal etnik/suku dalam kegiatan usahatani kakao di wilayah penelitian. Sebaran petani responden berdasarkan keterikatan asal etnik dapat disajikan pada Tabel 22.

(28)

Tabel 22. Sebaran Petani Responden berdasarkan Keterikatan Asal Etnik Keterikatan Asal Etnik Petani Responden (n) Persentase (%) Sangat Lemah 55 30,6 Lemah 76 42,2 Sedang Kuat Sangat kuat 49 0 0 27,2 0,0 0,0 Jumlah 180 100,0

Keterikatan asal etnik petani yang dominan dalam pengelolaan usahatani kakao adalah perilaku petani yang khas dalam berusahatani kakao sebagai pengaruh sifat bawaan asal etnik/suku Tolaki, Bugis, Jawa, dan Bali di wilayah penelitian. Kondisi keterikatan etnik/suku umumnya terkategori lemah pengaruhnya dalam kegiatan berusahatani kakao pada sebanyak 76 petani responden (42,2 persen), kategori sedang pengaruhnya pada sebanyak 49 petani responden (27,2 persen), dan sebanyak 55 petani responden (30,6 persen) terkategori sangat lemah pengaruhnya terhadap keterikatan etnik dalam masyarakat perkebunan di wilayah penelitian.

Heterogenisme etnik yang ada dalam masyarakat perkebunan sangat terkait dengan karakteristik petani kakao yang didasarkan pada nilai-nilai asal etnik yang diwariskan secara turun temurun dalam kegiatan usahatani kakao. Salah satu ciri yang tampak pada etnik migran (suku Bugis, suku Jawa dan suku Bali) dalam kegiatan usahatani kakao menunjukkan motivasi diri yang kuat dengan keuletan dan ketekunan yang lebih tinggi dalam hal memanfaatkan luas areal secara maksimal untuk tanaman kakao dan penggunaan waktu pekerjaan usahatani, dibandingkan etnik lokal (suku Tolaki). Selain itu, mereka tidak lagi fanatik terhadap etnik/suku, karena semakin tinggi jenjang pendidikan formal yang dimiliki petani akan semakin lemah pengaruhnya terhadap sifat bawaan dari keterikatan asal etnik/suku. Kondisi perbedaan latar belakang keterikatan etnik/suku petani, berkaitan dengan karakteristik petani kakao dalam masyarakat perkebunan di wilayah penelitian.

(2) Motivasi Petani Kakao

Motivasi petani kakao merupakan keinginan atau dorongan yang menggerakkan individu dalam melakukan kegiatan usahatani kakao baik yang

(29)

berasal dari dalam diri (motif intrinsik) maupun yang berasal dari luar diri (motif ekstrinsik). Menurut Zainun dan Buchari (2004:32) motivasi tidak mengubah kemampuan kerja, tetapi menentukan meninggi dan merendahnya usaha.

Motif Intrinsik

Motif intrinsik diukur dengan menggunakan parameter harapan keberhasilan pekerjaan, waktu dicurahkan, percaya diri, semangat kerja, dan kepuasan terhadap pekerjaan. Pernyataan petani responden terhadap motif intrinsik (Lampiran 5), diperoleh sebaran petani responden sebagaimana disajikan pada Tabel 23.

Tabel 23. Sebaran Petani Responden berdasarkan Kategori Motif Intrinsik Kategori Motif Intrinsik Skor Kategori Petani Responden (n) Persentase (%) Sangat rendah 1.0 4 2,2 Rendah 2.0 9 5,0 Sedang 3.0 58 32,2 Tinggi 4.0 67 37,2 Sangat tinggi 5.0 42 23,4 Jumlah - 180 100,0

Hasil identifikasi terhadap faktor motif intrinsik petani umumnya memiliki dorongan yang terkategori tinggi dari dalam diri untuk melakukan pekerjaan usahatani kakao. Hal tersebut, ditunjukkan dengan sebaran responden dominan pada kategori tinggi sebanyak 67 petani responden (37,2 persen), kategori sedang sebanyak 58 petani responden (32,2 persen), dan kategori sangat tinggi sebanyak 42 petani responden (23,4 persen). Harapan sebagai parameter motif intrinsik terhadap motivasi diri petani dalam pekerjaan berusahatani kakao, terkategori sedang. Curahan waktu terhadap pekerjaan dikebun sebagai parameter motif intrinsik dalam pekerjaan berusahatani kakao, terkategori sedang. Percaya diri terhadap pekerjaan berusahatani kakao sebagai parameter motif intrinsik, juga terkategori sedang. Semangat kerja berusahatani kakao sebagai parameter motif intrinsik, terkategori tinggi. Kepuasan kerja dalam berusahatani kakao sebagai parameter motif intrinsik, terkategori rendah bagi petani terhadap kepuasan kerja berusahatani kakao.

(30)

Motif Ekstrinsik

Motif ekstrinsik diukur dengan menggunakan parameter hasrat mengembangkan usahatani, keinginan menggunakan teknologi tepat guna, keinginan meningkatkan produksi, keinginan meningkatkan mutu, dan keinginan meningkatkan kapasitas diri melalui pendidikan, kursus dan pelatihan teknis dari luar lingkungan masyarakat perkebunan (Lampiran 6). Sebaran petani responden berdasarkan motif ekstrinsik, disajikan pada Tabel 24.

Tabel 24. Sebaran Petani Responden berdasarkan Kategori Motif Ekstrinsik Kategori Motif Ekstrinsik Skor Kategori Petani Responden (n) Persentase (%) Sangat rendah 1.0 7 3,9 Rendah 2.0 10 5,6 Sedang 3.0 39 21,7 Tinggi 4.0 91 50,5 Sangat tinggi 5.0 33 18,3 Jumlah - 180 100,0

Hasil identifikasi terhadap faktor motif ekstrinsik petani umumnya memiliki dorongan yang tinggi dari luar diri untuk melakukan pekerjaan berusahatani kakao. Hal tersebut, ditunjukkan dengan sebaran responden pada kategori tinggi sebanyak 91 petani responden (50,5 persen), kategori sedang sebanyak 39 petani responden (21,7 persen), dan kategori sangat tinggi sebanyak 33 petani responden (18,3 persen). Hasrat mengembangkan usahatani sebagai parameter motif ekstrinsik dalam pekerjaan berusahatani kakao, terkategori sedang. Keinginan menggunakan teknologi tepat guna (TTG) sebagai parameter motif ekstrinsik dalam pekerjaan berusahatani kakao, terkategori tinggi. Keinginan meningkatkan produksi sebagai parameter motif ekstrinsik dalam pekerjaan berusahatani kakao, juga terkategori tinggi. Keinginan meningkatkan mutu produksi sebagai parameter motif ekstrinsik dalam pekerjaan berusahatani kakao, terkategori sedang. Keinginan meningkatkan kapasitas diri sebagai parameter motif ekstrinsik dalam pekerjaan berusahatani kakao, juga terkategori sedang.

(31)

Faktor Eksternal

Faktor eksternal merupakan kondisi yang dibentuk oleh faktor yang berasal dari luar diri petani kakao. Menurut Bandura (1977: 26) menyatakan pembelajaran sosial (social learning) merupakan interaksi dari tiga faktor yaitu perilaku, individu, dan lingkungan sosial. Sejalan dengan pendapat Dharma (1992:15) menyatakan faktor iklim kondusif melukiskan lingkungan orang-orang yang melaksanakan fungsi utama untuk mencegah timbulnya ketidak puasan dalam pekerjaan. Faktor eksternal dalam penelitian ini meliputi kegiatan penyuluhan, intervensi pemberdayaan, dan lingkungan.

(1) Kegiatan Penyuluhan

Kegiatan penyuluhan merupakan seluruh rangkaian proses kegiatan penyebarluasan informasi yang berkaitan dengan upaya perbaikan cara-cara bertani dan berusahatani melalui pengembangan kemampuan pengetahuan, keterampilan serta sikap petani perkebunan kakao. Peran penyuluhan dalam masyarakat perkebunan kakao adalah memfasilitasi berbagai kegiatan penyuluhan sebagai sumber informasi petani kakao berupa informasi teknologi dalam upaya perubahan perilaku petani menerapkan agribisnis usahatani kakao. Menurut Soekanto (2002:65) menyatakan bahwa hubungan yang terjadi antara seseorang dengan orang lain dapat bersifat primer dan sekunder. Petani kakao kadang menerima informasi teknologi tepat guna (TTG) dari penyuluh pertanian lapangan (PPL), dan sesama petani kakao, dibandingkan memperoleh informasi teknologi tepat guna melalui media massa dan lembaga penelitian yang ada di daerah.

Akses Informasi Teknologi Tepat Guna

Akses informasi teknologi tepat guna (TTG) dalam penyuluhan diukur menggunakan parameter sumber perolehan informasi teknologi, sasaran penyuluhan, materi penyuluhan, metode penyuluhan, respon petani terhadap penyuluhan. Pernyataan petani responden terhadap akses informasi TTG dalam masyarakat perkebunan (Lampiran 7), diperoleh sebaran petani responden pada Tabel 25.

(32)

Tabel 25. Sebaran Petani Responden berdasarkan Akses Informasi Teknologi Tepat Guna (TTG) Kategori Informasi TTG Skor Kategori Petani Responden (n) Persentase (%) Sangat rendah 1.0 6 3,3 Rendah 2.0 21 11,7 Sedang 3.0 102 56,7 Tinggi 4.0 41 22,7 Sangat tinggi 5.0 10 5,6 Jumlah - 180 100,0

Informasi teknologi tepat guna (TTG) yang direspon petani kakao, umumnya terkategori sedang dalam kegiatan penyuluhan untuk meningkatkan kemampuan pengetahuan dan keterampilan petani terhadap pekerjaan berusahatani kakao. Hal tersebut, ditunjukkan dengan sebaran responden dominan kategori sedang sebanyak 102 petani responden (56,7 persen), kategori tinggi sebanyak 41 petani responden (22,7 persen), dan kategori sangat tinggi sebanyak 10 petani responden (5,6 persen). Sumber perolehan informasi teknologi budidaya kakao sebagai parameter akses informasi teknologi tepat guna (TTG) terhadap kegiatan penyuluhan, terkategori sedang. Sasaran penyuluhan sebagai parameter akses informasi TTG dalam pekerjaan berusahatani kakao, juga terkategori sedang. Materi penyuluhan sebagai parameter akses informasi TTG dalam kegiatan penyuluhan, juga terkategori sedang. Metode penyuluhan sebagai parameter akses informasi TTG dalam kegiatan penyuluhan, terkategori rendah. Respon sasaran penyuluhan sebagai parameter akses informasi TTG dalam kegiatan penyuluhan, juga terkategori rendah terhadap petani merespon informasi teknologi tepat guna yang sesuai dengan kebutuhan usahatani kakao.

Intensitas Pelaksanaan Penyuluhan

Intensitas pelaksanaan penyuluhan diukur dengan menggunakan parameter penetapan jadwal kegiatan penyuluhan, pertemuan mingguan petani dengan penyuluh, kehadiran petani mengikuti penyuluhan, pemecahan masalah usahatani, dan keterlibatan petani dalam penyuluhan . Pernyataan petani terhadap intensitas pelaksanaan penyuluhan dalam masyarakat perkebunan (Lampiran 8), diperoleh sebaran petani responden sebagaimana disajikan pada Tabel 26.

(33)

Tabel 26. Sebaran Petani Responden berdasarkan Intensitas Pelaksanaan Penyuluhan Kategori Intensitas penyuluhan Skor Kategori Petani Responden (n) Persentase (%) Sangat rendah 1.0 14 7,8 Rendah 2.0 19 10,6 Sedang 3.0 80 44,4 Tinggi 4.0 43 23,9 Sangat tinggi 5.0 24 13,3 Jumlah - 180 100,0

Intensitas pelaksanaan penyuluhan umumnya terkategori sedang intensitasnya dilaksanakan kepada petani untuk meningkatkan kemampuan pengetahuan dan keterampilan petani terhadap pekerjaan berusahatani kakao. Hal tersebut, ditunjukkan dengan sebaran responden dominan kategori sedang pada sebanyak 80 petani responden (44,4 persen), kategori tinggi pada sebanyak 43 petani responden (23,9 persen), dan kategori sangat tinggi sebanyak 24 petani responden (13,3 persen). Penetapan jadwal kegiatan penyuluhan sebagai parameter intensitas pelaksanaan penyuluhan dalam komunitas petani kakao, terkategori sedang. Pertemuan mingguan petani dengan penyuluh sebagai parameter intensitas pelaksanaan penyuluhan dalam komunitas petani kakao, terkategori rendah. Kehadiran petani mengikuti penyuluhan sebagai parameter intensitas pelaksanaan penyuluhan dalam komunitas petani kakao, terkategori sedang dalam mengikuti penyuluhan dalam komunitas petani kakao. Pemecahan masalah usahatani kakao sebagai parameter intensitas pelaksanaan penyuluhan dalam komunitas petani kakao, terkategori tinggi dalam pemecahan masalah usahatani dalam komunitas petani kakao. Keterlibatan petani anggota kelompoktani sebagai parameter intensitas pelaksanaan penyuluhan dalam komunitas petani kakao, terkategori rendah.

Salah satu bentuk kegiatan penyuluhan yang diikuti oleh petani anggota kelompok tani dan pengelola kelompok gabungan di pedesaan adalah Farmer Management Agribusines (FMA) yang difasilitasi oleh Badan Penyuluhan Pertanian Peternakan Perikanan dan Kehutanan (BP4K) Kabupaten Konawe melalui proyek DAFEP. Model penyuluhan yang diterapkan kepada petani dengan

(34)

metode penyuluhan partisipatif yakni pelaksanaan penyuluhan dikelola oleh petani dengan sistem perencanaan usahatani secara partisipatif. Kelompok sasaran kegiatan penyuluhan partisipatif adalah Unit Pengelola Kelompok Gabungan (UPGK) yang terdiri dari gabungan anggota kelompok tani yang mempunyai bidang usaha pertanian tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan, dan kehutanan. Pengurus UPGK secara bersama-sama dengan anggota kelompok gabungan menyusun rencana usaha keluarga (RUK) dan rencana definitif kelompok (RDK) yang akan direalisasikan pada kegiatan penyuluhan tahunan. Komponen kegiatan FMA meliputi: (1) pelaksanaan revitalisasi kelompok tani, (2) pengembangan usahatani, (3) peningkatan kemampuan petani, (4) pelembagaan metode penyuluhan, (5) promosi usaha, (6) pengembangan media informasi dan teknologi pertanian dan kehutanan, serta (7) kampanye penyuluhan dalam masyarakat petani.

(2) Intervensi Pemberdayaan

Intervensi pemberdayaan merupakan pengembangan kondisi dan situasi sedemikian rupa sehingga masyarakat perkebunan kakao memiliki daya dan kesempatan untuk berusahatani secara produktif dengan penerapan sistem agribisnis dalam mengembangkan potensi sumberdaya yang dimiliki untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Intervensi pemberdayaan dalam masyarakat perkebunan kakao adalah berbagai kegiatan atau tindakan yang dilakukan oleh pemerintah daerah memberdayakan petani untuk meraih kesempatan dan peluang bisnis usahatani kakao di wilayah penelitian.

Dukungan Kebijakan

Dukungan kebijakan pemerintah daerah (Pemda) diukur dengan menggunakan parameter dukungan keputusan pemerintah daerah mengenai kebijakan penetapan harga jual kakao, peraturan daerah (Perda) mengenai tarif retribusi kakao, dan program pemerintah daerah mengenai perbaikan mutu produksi kakao. Pernyataan petani responden terhadap dukungan kebijakan pemerintah daerah (Lampiran 9), diperoleh sebaran petani responden, seperti disajikan pada Tabel 27.

Gambar

Tabel    14. Sebaran Petani  Responden  menurut  Tingkat  Pendapatan  Usahatani   Kakao  Kategori   Pendapatan  Usahatani Kakao  Tingkat  Pendapatan   (Rp.000.000,00)  Petani Responden (n)  Persentase (%)
Tabel 22. Sebaran Petani Responden berdasarkan Keterikatan Asal Etnik  Keterikatan Asal  Etnik  Petani Responden (n)  Persentase (%)  Sangat Lemah  55  30,6  Lemah  76  42,2  Sedang  Kuat  Sangat kuat  49   0   0  27,2   0,0   0,0  Jumlah                     180                  100,0
Tabel  26. Sebaran Petani  Responden berdasarkan Intensitas  Pelaksanaan  Penyuluhan    Kategori    Intensitas    penyuluhan  Skor   Kategori  Petani   Responden (n)  Persentase (%)  Sangat rendah   1.0  14   7,8  Rendah   2.0  19             10,6  Sedang             3.0                 80             44,4  Tinggi             4.0                 43             23,9  Sangat tinggi   5.0  24             13,3  Jumlah              -               180           100,0
Tabel 27. Sebaran Petani Responden berdasarkan Dukungan Kebijakan Pemda   Kategori   Dukungan   Kebijakan Pemda  Skor   Kategori  Petani   Responden (n)  Persentase (%)  Sangat kurang  1.0      5      2,8  kurang  2.0    12      6,7  Sedang             3.0                  59    32,8  Tinggi             4.0                  53               29,4  Sangat tinggi  5.0    51    28,3  Jumlah               -                180             100,0
+7

Referensi

Dokumen terkait

“Etika adalah suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia terhadap yang lainnya, menyatakan tujuan

Dan kalau ada seseorang lain yang lebih berhasil dari kita , belajarlah dari mereka dan terimalah masukan masukan dari mereka dan bukan menghidarinya ,semestinya

Meski dibumbui oleh berbagai isu seperti Holocaust dan berdirinya Negara Israel, yang membuat bangsa yahudi Amerika juga berada dalam pusaran konflik kepentingan, namun

Sesuai dengan tujuan penelitian ini, yaitu untuk mengetahui pengaruh penggunaan iklan dan celebrity endorser di Youtube terhadap keputusan pembelian Shampoo

Berdasarkan wawancara di SMK Tujuh Lima 1 Purwokerto dengan narasumber guru PPKn, peneliti memperoleh data kenakalan yang dilakukan siswa SMK Tujuh Lima 1

Perancangan perangkat lunak pada MPS dilakukan dengan cara menyelipkan module komunikasi serial yang sudah dibuat pada simple system sebelumnya di tahap-tahap

Pengujian dengan menggunakan uji glejser seperti tertera pada Tabel 4 di atas, menyatakan bahwa hasil nilai signifikansi variabel independen (upah, pendidikan,

Sementara itu aspek lingkungan eksternal yang menjadi penguat pengembangan bahan ajar bahan ajar bercerita bermuatan nilai-nilai kewira- usahaan berbentuk CD interaktif yaitu