• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adalah dengan menerapkan kebijakan desentralisasi (Smith, 1985).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adalah dengan menerapkan kebijakan desentralisasi (Smith, 1985)."

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Secara teoritis, salah satu cara untuk mendekatkan pemerintahan kepada masyarakat adalah dengan menerapkan kebijakan desentralisasi (Smith, 1985). Berangkat dari pemahaman konseptual bahwa desentralisasi dapat mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat maka di Indonesia kebijakan desentralisasi senantiasa menjadi bahan perbincangan sepanjang sejarah pemerintahan.

Namun yang sangat disayangkan, di Kabupaten Karo merujuk hasil penelitian lembaga riset SMERU (2001), kebijakan desentralisasi ternyata baru sebatas menambah jumlah organisasi perangkat daerah dan mendongkrak besaran belanja aparatur hingga mencapai 45% dari total APBD pada tahun anggaran 2000.

Hasil riset SMERU di atas, menghadirkan sejumlah kekhawatiran. Apakah implementasi kebijakan desentralisasi benar-benar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, peningkatan kualitas layanan publik dan mengembangkan potensi unggulan daerah sebagaimana diamanatkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Ataukah kebijakan desentralisasi hanya sebatas keleluasaan bagi elit politik di daerah mengeruk kekayaan daerah.

Kekhawatiran tersebut sangat beralasan mengingat secara empirik desentralisasi di Kabupaten Karo sampai saat ini masih ditandai dengan tingginya derajat ketergantungan finansial terhadap pemerintah pusat.

(2)

Ketergantungan finansial dapat ditelaah melalui komponen pembentuk pendapatan daerah, yang mana secara umum masih didominasi oleh dana perimbangan (lihat Grafik 1.1).

Sumber: DPPKAD Kab.Karo, 2010

Gambar 1.1. Grafik Perkembangan Komponen Penerimaan Daerah 2008-2010

Data yang diperlihatkan melalui Gambar 1.1. menunjukan relatif tingginya tingkat ketergantungan terhadap transfer dana dari Pusat. Selama tahun 2008 s/d 2010 rata-rata kontribusi PAD terhadap total penerimaan daerah hanya berkisar 5%. Pada tahun anggaran 2010, Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar Rp. 26.490.000.000,- Dana Perimbangan (DP) sebesar Rp. 478.820.158.477.,- Lain-lain Pendapatan Daerah yang sah sebesar Rp. 18.630.683.850. Konsekuensinya, ketergantungan pemerintah daerah terhadap transfer dari pusat sangat tinggi.

Terkait dengan pelayanan publik, Roth (1987) menyebutkan bahwa dalam negara kesatuan yang terdesentralisasi, disamping pernerintah pusat terdapat pemerintahan subnasional yakni pemerintah daerah yang keduanya mempunyai tugas

(3)

utama melaksanakan pelayanan kepada masyarakatnya. Hal tersebut dinyatakan oleh Roth (1987:1) bahwa “... that are generally considered the responsibility of government whether central, regional or local”.

Tugas yang diemban oleh pemerintah terutama pemerintah daerah dalam pelayanan, dapat dipisahkan ke dalam beberapa alternatif pemberi layanan. Alternatif tersebut menyangkut pilihan kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Menurut Leach, et.al. (1994: 4), terdapat empat model alternatif kewenangan yang

digunakan dalam memberikan pelayanan, yaitu traditional bureaucratic authority,

residual enabling authority, market oriented authority, dan community oriented

enabler.

Pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah dengan menganut traditional

bureaucratic authority, merupakan pelayanan yang dilakukan secara langsung oleh

pemerintah daerah. Pemerintah daerah merasa mampu untuk melakukan pelayanan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Pelayanan dengan cara ini pada umumnya kebutuhan publik diinterpretasikan oleh pegawai professional pada organisasi pemberi layanan. Hal ini sangat berbeda dengan pandangan Stewart yang dinyatakan bahwa pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah daerah sebaiknya sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai masyarakat setempat.

Sementara itu pemerintah daerah yang melakukan pelayanan dengan menggunakan residual enabling authority, adalah pelayanan yang dilakukan dengan

(4)

menggunakan mekanisme pasar. Pemerintah daerah hanya melakukan pelayanan yang spesifik. Pelayanan cara ini dianggap ideal dan lebih akuntabel.

Pemerintah daerah yang melaksanakan pelayanan dengan dasar market

oriented authority, merupakan kegiatan pemerintah daerah dalam pelayanan yang

hampir sama dengan residual enabling authority. Perbedaannya adalah dalam market oriented authority peran pemerintah daerah lebih aktif dan sebagai kunci perencanaan

serta agen koordinasi untuk pengembangan ekonomi lokal. Hal ini akan memampukan masyarakat dalam melayani dirinya sendiri. Sementara itu residual enabling authority peran pasar lebih aktif dan peran pemerintah daerah. Pelayanan

yang dilakukan oleh pemerintah daerah dengan dasar kewenangan yang bersifat

community oriented enabler, mendasarkan pelayanan pada asumsi untuk memenuhi

kebutuhan masyarakat yang bervariasi. Pelayanannya sendiri dilakukan dengan menggunakan berbagai saluran, misalnya pelayanan yang dilakukan secara langsung oleh pemerintah daerah, sektor privat, sukarela, atau yang dilihat paling pantas. Pelayanan yang dilakukan dengan cara ini menekankan pentingnya pc.rtisipasi komunitas (publik) dan akuntabilitas.

Keempat alternatif di atas memberikan peluang bagi setiap pemerintah daerah untuk memilih cara pemberian pelayanan pada masyarakatnya. Pemilihan kewenangan itu berpengaruh pada penyediaan barang dan jasa yang menjadi tanggung jawab baik pemerintah maupun pemerintah daerah. Pada dasarnya kegiatan yang dilakukan pemerintah sesuai penjelasan Olson dalam Schmidtz (1997) merupakan “... a state is first of all an organization that provides public goods for its

(5)

members the citizens”. Dengan demikian pemerintah merupakan organisasi yang

bertanggung jawab penuh terhadap pelayanan.

Teori di atas memberikan gambaran tentang berbagai alternatif pemberian pelayanan. Namun implementasi pelayanan yang dilakukan di Indonesia tidak sepenuhnya menggunakan alternatif-alternatif di atas. Pelayanan di Indonesia menggunakan pendekatan sentralisasi dan desentralisasi. Kedua pendekatan merupakan kontinum dan tidak dikhotomi. Pendekatan sentralisasi dalam pelayanan dapat mencerrninkan adanya negara dan bangsa sebagai refleksi konsepsi Negara Kesatuan. Sedangkan pendekatan desentralisasi dapat merepresentasikan kemajemukan masyarakat serta sekaligus menggambarkan adanya pendemokrasian.

Pelayanan yang dilakukan dengan pendekatan desentralisasi, dijelaskan oleh Hoessein bertujuan untuk efisiensi dan demokrasi. Tujuan efisiensi biasanya berpasangan dengan nilai-nilai komunitas politik yang disebut dengan kesatuan bangsa. Sementara itu, tujuan demokrasi berpasangan dengan kemandirian sebagai penjelmaan dan otonomi, efisiensi, dan pembangunan sosial ekonomi. Dengan kata lain, dalam desentralisasi terkandung makna mengakomondasikan nilai-nilai yang ada pada masyarakat untuk tujuan politik dan birokrasi dalam rangka menciptakan efisiensi birokrasi.

Ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian direvisi melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, telah mengubah model pemerintahan di Indonesia yang semula menganut model efisiensi struktural menjadi model demokratik. Manan mengatakan bahwa

(6)

dengan undang-undang ini, masyarakat diberi kesempatan yang luas untuk berinovasi, mengembangkan nilai-nilai dan tujuan yang ingin dicapai, serta menghasilkan bentuk pemerintah otonom. Dengan demikian pemenuhan kebutuhan publik dapat dipenuhi sesuai dengan nilai yang berkembang di masyarakat.

Di sisi lain, pengembangan ekonomi lokal juga diharapkan dapat meningkat seiring dengan penerapan kebijakan desentralisasi. Hal ini berangkat dari asumsi bahwa kebijakan desentralisasi lebih memberikan peluang bagi daerah memilih kebijakan ekonomi yang lebih sesuai dengan potensi dan kemampuan lokal (Kuncoro, 2004: 110-118).

Banyak ahli mengemukakan pandangan bahwa desentralisasi mampu menjadi pendorong pembangunan ekonomi wilayah (Kuncoro, 2004: Mardiasmo, 2002; Muhammad, 2008). Studi Kuncoro (2004) di Kabupaten Kutai Timut menunjukkan adanya korelasi antara desentralisasi dengan pembanguna ekonomi wilayah. Hal yang sama dikemukakan oleh Fadel Muhammad (2008) bahwa pengembangan ekonomi wilayah dapat dikembangkan dengan pendekatan manajemen kewirausahaan. Inilah yang diterapkan oleh Fadel Mudahmmad di Propinsi Gorontalo.

Memang harus diakui, selama ini kebijakan pembangunan ekonomi masih memberi penekanan pada pertumbuhan ekonomi. Berbagai indikator keberhasilan dapat diamati melalui: 1) pertumbuhan ekonomi selama 30 tahun rata-rata 6,7 s/d 7 persen per-tahun; 2) terjadinya pengurangan jumlah orang miskin dari 70 juta orang pada tahun 1970 menjadi hanya sekitar 23 juta orang pada tahun 1995; 3) perubahan

(7)

struktur perekonomian dari berasas pertanian on-farm menjadi berasas industri dan

jasa (Sumodiningrat, 2001).

Namun di balik berbagai prestasi pembangunan, tercatat pula sejumlah sisi gelap pembangunan yang berorientasi pertumbuhan. Semakin meningkatnya pengangguran, bertambahnya hutang luar negeri, bertambahnya berbagai bentuk ketimpangan maupun semakin besarnya ketimpangan antar wilayah (Husaini, 2001).

Fenomena ketimpangan antar wilayah maupun melemahnya efektivitas pemerintahan daerah bermula dari serangkaian pilihan kebijakan pembangunan sektoral, keruangan, maupun politik-administrasi yang dijalankan selama ini. Pilihan kebijakan selama ini ternyata mengandung kekeliruan dan kurang memberi perhatian yang memadai terhadap dinamika internal maupun eksternal yang berlangsung. Dengan demikian, kebijakan desentralisasi maupun pembangunan ekonomi wilayah, ternyata menimbulkan pemerasan ganda (double squeeze)oleh wilayah kota terhadap

wilayah desa.

Bentuk pemerasan ganda tersebut berlangsung melalui munculnya gejala

“under employment” dan “under investment” di wilayah-wilayah pedesaan. Gejala

tersebut bermula dari adanya capital drain maupun brain drain dari wilayah

perdesaan yang tersedot ke wilayah perkotaan. Ekonomi desa tidak memperoleh nilai tambah (value added) yang proporsional akibat wilayah perkotaan hanya sekedar

menjadi lahan/aliran (marketing pipe) bagi arus komoditi primer dari perdesaan

(8)

Keterkaitan antara wilayah (regional linkages) yang ingin diwujudkan,

ternyata menghasilkan kebocoran wilayah (regional leakages). Studi Fu-Chen Lo

(1981) menegaskan bahwa kemiskinan kota (urban poverty)berakar pada kemiskinan

perdesaan (rural poverty). Penegasan Fu-Chen Lo tersebut, merujuk pengalaman

beberapa negara di Asia terutama dalam upayanya meningkatkan keterkaitan desa-kota, diantaranya Thailand, Malaysia, Laos dan Indonesia.

Di Indonesia, kebijakan untuk mengurangi disparitas antar wilayah dilakukan dengan adanya berbagai program/proyek pembangunan perdesaan seperti Pembangunan Desa Terpadu, Projek Desa Tertinggal, Poverty Alleviation through

Rural-Urban Linkages (PARUL), SPAKU (Sentra Pengembangan Agrobisnis

Komoditas Unggulan), KSP (Kawasan Sentra Produksi), Corporate Farming, dan lain-lain.

Seiring dengan upaya mengurangi disparitas antar wilayah dan mengupayakan keterkaitan antar wilayah, pilihan kebijakan desentralisasi diterapkan dengan perencanaan wilayah yang sesuai. Untuk itulah, konsep perencanaan wilayah pun mengalami perubahan.

Konsep sebelumnya yang relevan dengan sistem pemerintahan yang sentralistik beralih kepada konsep “agropolitan development”, “selective spatial closure”, “development from below”, “locally integrated economic circuits”, yang

sesuai dengan konsep desentralisasi.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, perlu dilakukan studi tentang pengaruh kebijakan desentralisasi terhadap pembangunan ekonomi wilayah. Apakah

(9)

kebijakan desentralisasi relevan dalam melakukan akselerasi pembangunan ekonomi wilayah? Atau justru kebijakan desentralisasi menghambat pembangunan ekonomi wilayah. Serangkaian pertanyaan tersebut membutuhkan jawaban melalui studi empirikal.

Terkait dengan kondisi sebagaimana diuraikan, maka permasalahan yang menjadi lokus dan fokus penelitian ini diidentifikasi sebagai berikut:

1. Terjadinya perubahan kebijakan pemerintah yang sangat mendasar dari sentralistik kepada desentralistik belum membawa perubahan signifikan dalam konteks politik maupun administratif;

2. Perubahan strategi pembangunan wilayah dari top-down planning menjadi

bottom-up planning belum menemukan konsep perencanaan wilayah yang sesuai

dengan kondisi setempat (local spesific).

3. Pilihan kebijakan desentralisasi belum disinergikan dengan pembangunan ekonomi wilayah.

1.2. Perumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, maka perumusan masalah penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pelaksanaan kebijakan desentralisasi di Kabupaten Karo khususnya diukur dari aspek tujuan utama desentralisasi berupa peningkatan pelayanan publik, peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan peningkatan kualitas demokrasi lokal ?

(10)

2. Bagaimanakah pembangunan ekonomi wilayah dilaksanakan di Kabupaten Karo khususnya dalam aspek pertumbuhan ekonomi, pemerataan pertumbuhan dan kelestarian lingkungan ?

3. Adakah hubungan antara pelaksanaan kebijakan desentralisasi dengan pembangunan ekonomi wilayah Kabupaten Karo?

1.3. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka dalam penelitian ini dihipotesiskan bahwa:

1. Implementasi kebijakan desentralisasi di Kabupaten Karo telah dilaksanakan sesuai dengan tujuan utama desentralisasi berupa peningkatan pelayanan publik, peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan peningkatan kualitas demokrasi lokal. 2. Pembangunan ekonomi wilayah di Kabupaten Karo ditujukan untuk pertumbuhan

ekonomi, pemerataan pertumbuhan dan kelestarian lingkungan.

3. Implementasi kebijakan desentralisasi memiliki hubungan positif dan nyata dengan pembangunan ekonomi wilayah Kabupaten Karo.

1.4. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan memperoleh deskripsi dan penjelasan tentang hubungan pelaksanaan kebijakan desentralisasi dengan pembangunan ekonomi wilayah di Kabupaten Karo.

(11)

1.5. Manfaat Penelitian

Secara teoritis, hasil penelitian ini untuk memahami pengaruh kebijakan

desentralisasi terhadap pembangunan ekonomi wilayah. Secara praktis, untuk

Gambar

Gambar 1.1. Grafik Perkembangan Komponen Penerimaan Daerah 2008-2010  Data yang diperlihatkan melalui Gambar 1.1

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan pada petani lahan lebak di Provinsi Sumatera Selatan, peran dan fungsi kelembagaan maupun permodalan belum

Sebuah distribusi Linux, yang umum disebut dengan "distro", adalah sebuah proyek yang bertujuan untuk mengatur sebuah kumpulan perangkat lunak berbasis Linux dan

Pandangan Cardoso ini agaka berbeda dengan pandangan Alfred Stepan yang menyebutkan Negara sebagai sistem administratif, legal, dan koersif yang berkesinambungan serta

Seperti halnya pada bahasa Indonesia, pengungkapan makna aspektualitas bahasa Bugis juga mementingkan subkelas verba pungtual (peristiwa), aktivitas (proses), statis,

Penyalahgunaan obat (narkotika) adalah pemakaian obat secara tetap yang bukan tujuan untuk pengobatan, atau yang digunakan tanpa mengikuti aturan takaran yang

tentang materi yang sudah dipelajari dan terkait dengan materi yang akan dipelajari, menjelaskan tujuan pembelajaran atau KD yang akan dicapai, dan yang terakhir

Yang terpenting, meskipun dibingkai sebagai bentuk promosi pemanfaatan kembali abu batu bara, tidak satupun [ketentuan] di dalam peraturan yang benar-benar membuat

Keberhasilan proses pembelajaran tentunya tidak lepas dari guru sebagai salah satu sumber belajar. Peran guru sebagai sumber belajar sangatlah penting dimana