Metamorfosis: Buletin Ilmiah Psikologi, Fakultas Psikologi UKRIDA, Vol. 4, No. 18, Bulan September, Tahun 2010
PROSES CEMBURU DALAM HUBUNGAN PERCINTAAN
Oleh: Aries Yulianto
*Cemburu, yang dalam hubungan percintaan disebut romantic jealousy (Bringle, 1991), merupakan suatu yang relatif biasa (de Silva, 2004). Cemburu adalah “emotions, cognitions, and behavior assosiated with the ap-praisal of the threat arising from the potential, actual, or imagined involvement of one’s loved one or mate in a relationship with an inter- loper” (Hupka, Buunk, Falus, Fulgosi, Ortega, Swain, & Tarabrina, 1985:425). Dari definisi tersebut, dapat diketahui bahwa cemburu berkaitan dengan reaksi emosional, kognisi, dan tingkah laku.
Tahap Cemburu
Terjadinya cemburu tidak muncul begitu saja, melainkan melalui sebuah proses. White dan Mullen (dalam Brehm, 1992)
mengungkapkan ada lima tahap cemburu, dimana dua tahap pertama menggunakan pendekatan
cognitive appraisal. Kelima tahap cemburu tersebut adalah:
1. Primary appraisal
Pada tahap pertama ini individu mempersepsikan adanya ancaman terhadap hubungan (Brehm, 1992). Misalnya, seorang laki-laki melihat pasangannya berjalan mesra dengan laki-laki lain. Dalam contoh ini ancamannya adalah bahwa laki-laki tersebut berpikir akan kehilangan pasangannya karena berpaling pada laki-laki lain. Namun, bagi orang lain mungkin hal ini tidak menjadi ancaman. Hal ini
dikarenakan terdapat sejumlah faktor yang mempengaruhi, yaitu :
(a) Kualitas hubungan. Kualitas hubungan tertentu mempengaruhi individu dalam
mempersepsikan adanya ancaman terhadap
hubungan. Kualitas hubungan ini
dipengaruhi oleh perasaan tergantung
(dependency) dan perasaan tidak aman(insecure).
Individu yang menganggap dirinya lebih
tergantung secara emosional dalam hubungan
yang dijalaninya (misalnya, “saya tidak dapat membayangkanhidup saya tanpapacarsaya”), akan lebih mudah merasa cemburu apabila
pasangannya tertarik pada orang lain (Buunk, dikutip oleh Brehm, 1992). Sebaliknya, individu yang lebih bebas dalam hubungan yang dijalaninya, cenderung
untuk tidak cemburu (Buunk, Mathes & Severa, dikutip oleh Bringle, 1995). Perasaan tidak aman terjadi apabila individu merasa hubungannya sering terancam. Sangat mungkin bagi individu yang merasa tidak aman untuk
mempersepsikan adanya ancaman pada hubungannya, walaupun sebenarnya ancaman tersebut tidak ada.
(b) Beratnya ancaman. Persepsi terhadap ancaman dalam hubungan akan lebih besar apabila orang lain lebih menarik secara fisik, dibandingkan bila orang tersebut tidak menarik. Karakteristik ancaman juga dipengaruhi oleh gaya sosial (social style), kecerdasan, dan prestise dari lawan (Brehm, 1992).
(c) Jenis ancaman. Menurut Brehm (1992), ambang batas terhadap ancaman seksual (individu mempersepsikan pasangannya berminat dalam hubungan seksual dengan orang lain) lebih rendah dibandingkan
ancaman emosional (individu mempersepsi pasangan memiiki hubungan emosional dengan orang lain). Dengan kata lain, ancaman seksual lebih menyebabkan terjadinya cemburu dibandingkan ancaman emosional.
(d) Pengalaman sebelumnya. Individu yang
pernah memiliki pengalaman cemburu baik dengan pasangan yang sekarang atau sebelumnya, cenderung untuk
mempersepsikan adanya ancaman. Misalnya seorang perempuan berkata, “saya tahu suami saya setia terhadap saya, tetapi mantan suami saya tidak. Dan sulit bagi saya untuk dapat mempercayai pria lagi.” (Pines & Aronson, dalam Knox, 1988).
(e) Budaya. Cemburu lebih sering terjadi pada budaya yang menganggap penting hak milik pribadi, pemuasan seksual hanya melalui pernikahan, dan mempersepsikan pernikahan dan keluarga sebagai lembaga yang penting (Hupka, dalam Salovey & Rodin, 1991). (f) Belief terhadap monogami. Individu yang
sangat percaya pada monogami lebih jarang mengalami cemburu (Pines & Aronson, dalam Brehm, 1992). Hal ini
disebabkan individu yang percaya terhadap monogami cenderung untuk memilih pasangan yang memiliki belief yang sama. Sehingga secara umum, kedua pasangan tersebut memiliki sedikit alasanuntuk merasa cemburu (Brehm, 1992).
2. Secondary Appraisal
Setelah individu mempersepsikan adanya ancaman (primary appraisal), individu mencoba untuk memahami dengan lebih baik situasi yang terjadi dan mulai memikirkan cara untuk
mengatasinya. Individu dapat melihat kembali bukti-bukti yang merupakan ancaman (misalnya, “mungkin ia memang bekerja lembur”) dan melihat kembali kelekatan pasangannya dengan dirinya (misalnya, “kemarin kami baru saja mengalami saat-saat yang menyenangkan bersama”). Secondary appraisal sebenarnya dapat juga melibatkan catastrophic thinking, yaitu apabila individu terburu-buru mencapai kesimpulan yang jauh dari bukti-bukti yang ada (Brehm, 1992). Individu yang mengalami cemburu biasanya tidak menyadari bahwa pikirannya tidak rasional sehingga ia menganggap pikiran merupakan bagian dari realitas dan menyebabkan reaksi emosional yang
ekstrim. Hal ini baru diketahui individu setelah mengalami cemburu.
3. Reaksi Emosional
Saat cemburu keadaan emosional dan intensitas respons emosional sangat beragam. Perasaan saat mengalami cemburu antara lain takut kehilangan, cemas, sakit, kemarahan terhadap pengkhianatan, mudah terluka,
kecurigaan, dan putus asa (Knox, 1988; Parrrot & Smith, 1993). Selain melibatkan emosi yang negatif, seperti kemarahan pada pasangan atau pihak ketiga, stres emosional, stres fisik, dan depresi, perasaan positif juga dapat muncul sebagai akibat dari cemburu, seperti
kegembiraan, cinta, dan merasa hidup (Pines & Aronson, dalam Brehm, 1992). Meskipun reaksi emosional negatif lebih sering dialami saat cemburu, tidak semua perasaan yang
berhubungan dengan cemburu merupakan perasaan yang tidak menyenangkan.
4. Coping
Coping adalah segala usaha kognitif dan perilaku untuk menguasai, mengurangi, atau mentolerir tuntutan (Folkman & Lazarus, dikutip oleh Rice, 1999). Dalam hal ini tuntutannya
adalah adanya ancaman dalam hubungan.
Bagaimanaindividu melakukancoping dipengaruhi oleh tiga tahap sebelumnya. Individu telah
mengembangkan sejumlah cara untuk coping
dengan situasi cemburu dan beberapa strategi
coping tersebut efektif (Salovey & Rodin, 1988).
Walaupunorangmenggunakancopingyang berbeda
-beda, individu yang mengalami emosi negatif berusaha untuk mengontrol karena mereka percaya bahwa cemburu dapat menjadi destruktif (Fitness & Flecther, 1993).Dalampenelitian yang dilakukan
oleh Knox, Breed, dan Zusman (2007) pada mahasiswa di Amerika, responden pria cenderung
untuk mabuk-mabukandanpercaya bahwa semakin
cemburu menunjukkan semakin cinta. Hal ini dilakukan untuk mengurangi perasaan tidak menyenangkan. Sedangkan wanita pada saat cemburu cenderung akan menangis saat sedang sendirian, mencoba membuat dirinyalebih menarik bagi pasangannya, dan mencoba membuat
pasangannya merasa ia tidak peduli(Brehm, 1992). 5. Hasil coping
Tahap terakhir ini adalah hasil dari respons
coping individu. Hasil coping ini harus mempertimbangkan tiga tingkat yang berbeda. Pertama, apa dampak coping terhadap ancaman
yang dipersepsikan? Apakah ancaman tersebut dapat dikurangi atau dihilangkan? Kedua,
bagaiman dampak coping tersebut terhadap pihak -pihak yang terlibat (individu, pasangan, dan pihak ketiga). Terakhir, bagaimana dampak
coping terhadap hubungan; apakah tetap bertahan, berubah, atau berakhir?
Kesimpulan
Walaupun sering sekali baru terlihat dari reaksi yang muncul, cemburu sebenarnya melalui sejumlah tahap. Pada seseorang mungkin saja tahapan cemburu berlangsung dalam beberapa detik, sedangkan pada orang lain dapat
berlangsung dalam beberapa hari. Pada suatu situasi tertentu mungkin saja dapat menyebabkan seseorang cemburu, namun pada waktu yang lain situasi yang sama tidak menimbulkan cemburu pada orang tersebut. Hal-hal tersebut disebabkan oleh sejumlah faktor yang terlibat dalam setiap tahapan cemburu yang telah dipaparkan di atas.
Gambar 1.
Proses cemburu menurut White dan Mullen
Sumber : Brehm, S. S. (1992)
DAFTAR PUSTAKA
Brehm, S. S. (1992). Intimate Relationships. 2nd ed. New York City, New York: McGraw -Hill, Inc.
Bringle, R. G. (1991). Psychosocial Aspects of Jealousy: A Transactional Model. Dalam Peter Salovey (ed.), The Pscyhology of Jealousy and Envy. New York City, New York: Guilford press.
Bringle, R. G. (1995). Romantic Jealousy. Social Perspective on Emotion. 3, 225-251. Da Silva, p. (2004). Jealousy in Couple
Relatioships. Behavior Change. Proquest Psychology Journal, vol. 21, no. 1, 1-13. Fitness, J., & Fletcher, G. J. O. (1993). Love, hate,
anger, and jealousy in close relationships: A prototype and cognitive appraisal analysis. JournalofPersonalityandSocialPsychology. Vol 65(5), Nov 1993, 942-958.
Hupka, R.B., Buunk, B., Falus, G., Fulgosi, A., Ortega, E., Swain, R., & Tarabrina, N.V. (1985). Romantic Jelaousy and Romantic Envy: A Seven-Nation Study. Journal of Cross-Cultural Psychology. 16, 423-446. Knox, D. (1988). Choice in Relationships: An
Introduction to Marriage and the Family. St. Paul, Minnesota: West Publishing Com-pany.
Knox, D., R., Breed, & Zusman, M. (2007). College
MenandJealousy.College StudentJurnal. 41, 494-498.
Parrott, W.G., & Smith, R.H. (1993). Distin-guishing the Experiences of Envy and Jeal-ousy. Journal of Personality and Social Psychology, 64, 906-920. - kualitas hubungan - beratnya ancaman - jenis ancaman - pengalaman Primary Appraisal Secondary Appraisal Reaksi Emosional Coping Hasil Coping
Rice, P.L. (1999). Stress and Health. Pasific Groove, California: Brooks/Cole Publish- ing Company.
Salovey, P., & Rodin, J. (1991). Envy and Jeal-ousy: Self and Society. Dalam Peter Sa-lovey. The Psychology of Jealousyand Envy. New York City, New York: Guilford Press.
* Penulis adalah staf Pengajar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.