• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden

Hasil survei terhadap 30 responden di setiap lokasi mengenai tingkat pendidikan masyarakat di Daerah Sindang Barang, Cibanteng, Balio, dan Ciledug dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Hasil survei mengenai tingkat pendidikan masyarakat di Bogor dan Tangerang

Latar belakang tingkat pendidikan masyarakat di Wilayah Bogor dan Tangerang sangat berbeda. Di Daerah Sindang Barang, Cibanteng, dan Balio umumnya jarang yang menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi. Di Sindang Barang, umumnya hanya menempuh hingga tingkat SMP, di Cibanteng rata-rata menempuh hingga SD, dan di Balio hanya menempuh tingkat SMA. Hal ini sangat berbeda dengan masyarakat di Ciledug. Umumnya di Ciledug menempuh tingkat pendidikan hingga perguruan tinggi. Tentunya latar belakang pendidikan sangat berkaitan dengan pandangan, sikap, dan tindakan masyarakat terhadap keberadaan hama permukiman.

(2)

Tingkat pendapatan masyarakat di Daerah Bogor dan Tangerang sangat beragam. Di Sindang Barang, Cibanteng, dan Balio umumnya berkisar antara Rp 500.000 hingga Rp 1.000.000,- dan ada pula yang berkisar antara 2 sampai 3 juta. Hanya sedikit masyarakat yang berpendapatan di atas 3 juta per bulan. Di Daerah Ciledug, pendapatan masyarakatnya cukup tinggi yaitu berkisar antara 2 juta sampai 4 juta bahkan banyak yang lebih. Hal ini yang mendasari tindakan pengendalian yang dilakukan oleh masyarakat terhadap hama permukiman.

Tingkat pendapatan masyarakat di Wilayah Bogor dan Tangerang dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Hasil survei mengenai tingkat pendapatan masyarakat di Bogor dan Tangerang

B. Hasil Survei

1. Jenis hama yang terdapat di permukiman

Jenis hama yang terdapat di perumahan di Daerah Sindang Barang, Cibanteng, Balio, dan Ciledug dapat diketahui bahwa jenis hama yang paling banyak terdapat di daerah tersebut adalah tikus, lalu diikuti oleh nyamuk, lalat, kutu, dan kecoa. Hampir semua jenis hama permukiman terdapat di perumahan Wilayah Bogor, namun di Ciledug-Tangerang, hama semut tidak ditemukan.

(3)

Jenis kecoa yang ditemukan adalah kecoa amerika (Periplaneta americana) dari Famili Blattidae, dari yang berukuran kecil (nimfa), hingga yang sudah imago bersayap. Nyamuk yang ditemukan merupakan jenis nyamuk rumah Culex quinquefasciatus, nyamuk kebun Armigeres subalbatus yang berukuran lebih besar dibanding nyamuk rumah. Jenis kutu yang ditemukan di antaranya kutu busuk Cimex (Hemiptera: Cimicidae) dan kutu hewan piaraan, misalnya kutu kucing Xenopsylla sp. (Siphonaptera: Pulicidae). Laba-laba juga cukup banyak ditemukan di permukiman. Laba-laba ini membuat sarang di langit-langit, dan mengotori atap rumah. Lalat yang banyak ditemukan merupakan golongan lalat rumah Musca

domestica (Diptera: Muscidae). Rayap juga banyak ditemukan karena banyak gejala

serangan rayap pada kayu plafon, perabot rumah tangga, kusen, dan pintu rumah. Sedangkan jenis semut yang banyak dijumpai adalah semut hitam dan semut rangrang pada pohon-pohon besar. Jenis tikus yang terdapat di permukiman Wilayah Bogor adalah tikus rumah (R. rattus), tikus sawah (R. argentiventer), tikus riul (R. norvegicus), dan tikus pohon (R. tiomanicus), sedangkan di Daerah Ciledug hanya ditemukan tikus rumah (R. rattus).

Hasil survei mengenai jenis hama yang terdapat di permukiman warga di Wilayah Bogor dan Tangerang dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Kategori jenis hama yang terdapat di permukiman Wilayah Bogor dan Tangerang

(4)

2. Jenis hama yang paling banyak terdapat di permukiman

Jenis hama yang paling banyak terdapat di perumahan untuk Wilayah Bogor adalah kecoa, nyamuk, lalat, dan semut, sedangkan di Daerah Ciledug adalah nyamuk dan lalat. Selain itu, hama tikus juga menjadi masalah terutama di Daerah Bogor, terutama di Sindang Barang dan Balio. Hampir di setiap rumah dapat ditemukan tikus, terutama tikus rumah (R. rattus) dan tikus riul (R. norvegicus). Namun di Daerah Ciledug, cukup sulit ditemukan, meskipun ada beberapa keluhan warga yang menyampaikan masalah gangguan hama tikus di rumahnya.

Hasil survei mengenai jenis hama yang paling banyak terdapat di permukiman Wilayah Bogor dan Tangerang dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Kategori jenis hama yang paling banyak terdapat di permukiman Wilayah Bogor dan Tangerang

3. Hama yang sering dikendalikan

Jenis hama yang sering dikendalikan oleh masyarakat di Wilayah Bogor terutama Daerah Sindang Barang dan Balio adalah kecoa, nyamuk, rayap, dan lalat, meskipun tikus juga banyak ditemukan di daerah tersebut. Hal ini karena warga setempat belum mengetahui teknik pengendalian yang tepat diterapkan untuk mengendalikan tikus. Sebelumnya, masyarakat pernah melakukan pengendalian dengan menggunakan perangkap, tetapi tikus mengalami jera perangkap, sehingga tidak ada tikus yang tertangkap lagi setelah pemerangkapan pertama. Oleh sebab itu,

(5)

sebagian warga di daerah ini lebih mengutamakan pengendalian kecoa, nyamuk, dan lalat dengan menggunakan pestisida cair. Pengendalian rayap dilakukan warga dengan menggunakan insektisida anti rayap yang tidak diketahui jenisnya. Di daerah Cibanteng, hama yang paling sering dikendalikan adalah kecoa dan semut, padahal lalat juga cukup banyak ditemukan di daerah tersebut. Hal ini karena daerah tersebut cukup kotor dan banyak terdapat tumpukan sampah rumah tangga yang membusuk, sehingga pengendalian lalat cukup sulit dilakukan.

Hasil survei mengenai jenis hama yang sering dikendalikan di permukiman warga di Wilayah Bogor dan Tangerang dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8 Hama yang sering dikendalikan di permukiman Wilayah Bogor dan Tangerang

Untuk Wilayah Tangerang jenis hama yang paling sering dikendalikan adalah nyamuk, semut, lalat dan rayap. Pengendalian nyamuk dan lalat dilakukan dengan menggunakan pestisida cair, walaupun ada sebagian warga yang menggunakan perangkap lem untuk mengendalikan lalat. Pengendalian semut dilakukan dengan menggunakan pestisida cair dan kapur anti serangga. Sedangkan pengendalian rayap dilakukan dengan menggunakan insektisida anti rayap. Hama tikus cukup jarang dikendalikan, kalau pun ada pada umumnya mereka menggunakan perangkap dan hampir tidak pernah menggunakan rodentisida.

(6)

4. Tempat yang dijadikan sarang hama

Tempat yang sering dijadikan sarang oleh hama, dapat diketahui bahwa di Daerah Bogor, lokasi kamar mandi dan kamar tidur sering dijadikan sarang hama. Hama yang terdapat di kamar mandi adalah kecoa dan tikus, sedangkan di kamar tidur adalah nyamuk, kecoa, dan kutu busuk. Di dapur, hama yang sering terlihat adalah tikus dan kecoa, sedangkan di tempat sampah hama adalah tikus, kecoa, dan lalat. Selokan sering dijadikan sarang oleh nyamuk, tikus, dan kecoa. Selain itu, gudang dan plafon juga sering dijadikan sarang tikus, kecoa, dan laba-laba.

Hasil survei mengenai tempat yang dijadikan sarang hama di permukiman Wilayah Bogor dan Tangerang dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9 Kriteria tempat yang merupakan sarang hama di permukiman Wilayah Bogor dan Tangerang

Menurut masyarakat Bogor, kamar tidur, kamar mandi, dapur, tempat sampah, dan selokan merupakan tempat yang sering dijadikan sarang hama karena di tempat tersebut hama seperti nyamuk, tikus, dan kecoa sering muncul. Hal ini berhubungan dengan kebersihan lingkungan rumah dan sekitarnya, oleh karena itu, sanitasi perlu dilakukan untuk membersihkan sisa makanan, maupun perabot rumah tangga bekas.

(7)

5. Penyebab timbulnya hama di permukiman

Berdasarkan hasil survei, ada responden yang menyebutkan beberapa alasan penyebab timbulnya hama di permukiman yaitu makanan, sampah, lingkungan dalam dan luar rumah yang kotor, serta selokan. Menurut masyarakat yang tinggal di Wilayah Bogor, sebagian besar mengatakan bahwa makanan, lingkungan luar serta dalam rumah yang kotor merupakan penyebab utama munculnya hama. Sedangkan menurut masyarakat yang tinggal di Wilayah Tangerang, sampah menjadi penyebab utama timbulnya hama permukiman. Pendapat masyarakat tersebut berhubungan dengan kondisi lingkungan perumahan di wilayah tersebut yang masih terdapat banyak sampah. Banyak pekarangan yang tidak terawat serta terdapat tumpukan barang bekas.

Hasil survei mengenai penyebab timbulnya hama di permukiman warga di Wilayah Bogor dan Tangerang dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10 Kriteria penyebab timbulnya hama di permukiman Wilayah Bogor dan Tangerang

(8)

6. Bentuk formulasi pestisida yang sering digunakan

Sebagian besar masyarakat di Wilayah Bogor dan Tangerang menggunakan pestisida dalam bentuk cair (aerosol) untuk mengendalikan nyamuk, lalat, dan kecoa. Hal ini kemungkinan karena formulasi pestisida dalam bentuk cair lebih mudah diaplikasikan serta mudah diperoleh di pasaran, dan harganya pun relatif terjangkau. Untuk pengendalian tikus, digunakan formulasi pestisida padatan (rodentisida), sedangkan untuk pengendalian jentik nyamuk, digunakan formulasi berbentuk serbuk (abate).

Hasil survei mengenai bentuk formulasi pestisida yang sering digunakan di permukiman warga Wilayah Bogor dan Tangerang dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11 Kriteria jenis pestisida yang biasa digunakan oleh masyarakat di permukiman Wilayah Bogor dan Tangerang

7. Sumber informasi jenis pestisida yang dapat digunakan oleh masyarakat Sumber informasi yang diperoleh masyarakat mengenai jenis pestisida yang dapat digunakan untuk mengendalikan hama permukiman, masyarakat di Daerah Sindang Barang mendapakannya dari pengalaman pribadi, toko kimia, dan supplier. Masyarakat di Cibanteng memperolehnya dari tetangga dan pengalaman. Di Daerah Balio, sebagian besar didapat dari teman dan pengalaman. Sedangkan di Ciledug, umumnya didapat dari tetangga atau teman. Tetangga di daerah tersebut saling memberi tahu jika ada suatu jenis pestisida yang efektif. Setelah mendapat informasi

(9)

tentang pestisida tersebut, mereka langsung mencari di toko terdekat sesuai dengan jenis yang direkomendasikan oleh tetangga atau kerabatnya.

Hasil survei mengenai sumber informasi jenis pestisida yang dapat digunakan oleh masyarakat di permukiman warga Wilayah Bogor dan Tangerang dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12 Kriteria sumber informasi masyarakat mengenai jenis pestisida yang dapat digunakan untuk mengendalikan hama

8. Waktu aplikasi pestisida

Sebagian besar masyarakat melakukan aplikasi pestisida pada malam hari, meskipun ada beberapa masyarakat yang melakukannya pagi, siang, dan sore hari. Alasan mereka melakukan aplikasi pestisida pada malam hari karena dirasakan cukup efektif. Jika dilakukan pada pagi atau siang hari, banyak pestisida yang terbuang karena hama jarang muncul di saat itu. Sebagian besar hama permukiman seperti tikus, kecoa, dan nyamuk aktif di malam hari sebagai hewan nokturnal.

Hasil survei mengenai waktu aplikasi pestisida oleh masyarakat di permukiman warga Wilayah Bogor dan Tangerang dapat dilihat pada Gambar 13.

(10)

Gambar 13 Kriteria waktu aplikasi pestisida yang biasa dilakukan oleh masyarakat di Wilayah Bogor dan Tangerang

9. Kesesuaian penggunaan pestisida dengan aturan pakai

Hasil survei mengenai kesesuaian penggunaan pestisida dengan aturan pakai di permukiman Wilayah Bogor dan Tangerang dapat dilihat pada Gambar 14.

Gambar 14 Kesesuaian penggunaan pestisida oleh masyarakat dengan aturan pakai yang dianjurkan di permukiman

Sebagian besar masyarakat di Daerah Bogor belum memperhatikan aplikasi pestisida yang tepat, yaitu tepat sasaran, dosis, konsentrasi, dan waktu aplikasi. Hal ini tentu berkaitan dengan tingkat kesadaran masyarakat itu sendiri. Aplikasi pestisida

(11)

yang tidak tepat sasaran ini dapat membahayakan diri sendiri, hewan bukan sasaran, dan lingkungan sekitar. Penggunaan pestisida oleh sebagian besar masyarakat di Bogor yang tidak sesuai dengan aturan pakai berkaitan dengan tingkat pendidikan dan kesadaran masyarakat tersebut mengenai dampak dan bahaya pestisida terhadap diri sendiri dan lingkungan. Sedangkan masyarakat yang tinggal di Ciledug relatif lebih banyak yang melakukan aplikasi pestisida sesuai anjuran, walaupun ada sebagian kecil responden yang kurang peduli akan bahaya aplikasi pestisida yang tidak benar.

10. Tindakan pengendalian tikus yang biasa dilakukan oleh masyarakat

Hasil survei mengenai tindakan pengendalian tikus yang biasa dilakukan oleh masyarakat di permukiman warga Wilayah Bogor dan Tangerang dapat dilihat pada Gambar 15.

Gambar 15 Tindakan pengendalian tikus yang biasa dilakukan oleh masyarakat di permukiman Wilayah Bogor dan Tangerang

Masyarakat di Daerah Bogor dan Tangerang biasa menggunakan perangkap hidup. Perangkap hidup yang banyak digunakan adalah multiple live trap. Meskipun demikian, ada beberapa masyarakat yang menggunakan lem tikus maupun perangkap mati. Alasan mereka menggunakan perangkap hidup (multiple live trap) adalah bisa didapatkan lebih dari satu ekor dalam sekali aplikasi, sedangkan alasan penggunaan lem adalah praktis, tidak berbau, dan harganya relatif murah. Dalam aplikasi lem tikus, masyarakat menggunakan triplek sebagai alas. Setelah tertangkap, tikus

(12)

dimatikan terlebih dahulu kemudian dibuang, dan triplek dicuci kemudian digunakan kembali. Hal ini menyebabkan aplikasi lem tikus kurang efektif, karena tikus yang sebelumnya tertangkap telah mengeluarkan urin dan hormon tanda bahaya (alarm hormone), sehingga tikus lain sulit tertangkap.

11. Tindakan alternatif yang dilakukan masyarakat untuk mengendalikan hama permukiman

Tindakan alternatif yang dilakukan oleh masyarakat di Daerah Bogor dan Tangerang untuk mengendalikan hama permukiman berbeda-beda. Hasil survei menunjukkan bahwa pengendalian yang sering dilakukan adalah dengan cara menyiram dengan air panas dan sanitasi. Pukul langsung dilakukan untuk mengendaliakan tikus di dalam rumah dan pekarangan. Sedangkan penyiraman air panas hanya untuk pengendalian tikus di dalam rumah. Sanitasi yang dilakukan terutama dalam pembersihan sisa makanan dan barang bekas yang menumpuk dan sudah tidak terpakai yang dilakukan untuk mengendalikan nyamuk, kecoa, lalat, dan tikus. Hasil survei mengenai tindakan alternatif yang dilakukan masyarakat untuk mengendalikan hama permukiman di Wilayah Bogor dan Tangerang dapat dilihat pada Gambar 16.

Gambar 16 Tindakan alternatif yang dilakukan oleh masyarakat untuk mengendalikan hama permukiman di Wilayah Bogor dan Tangerang

(13)

12. Tempat penyimpanan pestisida oleh masyarakat

Hasil survei mengenai tempat penyimpanan pestisida oleh masyarakat di Wilayah Bogor dan Tangerang dapat dilihat pada gambar 17.

Gambar 17 Kriteria tempat penyimpanan pestisida setelah pakai oleh masyarakat di permukiman Wilayah Bogor dan Tangerang

Pada umumnya, sebagian besar masyarakat di Daerah Bogor menyimpan pestisida di dalam rumah, seperti dapur, gudang, kamar tidur, bahkan ruang keluarga, dengan alasan agar mudah dicari dan aman dari pencurian. Di Ciledug, sebagian besar warga menyimpan pestisida di luar rumah, karena alasan resiko keracunan. Warga takut jika pestisida yang disimpan di dalam rumah dapat meracuni anggota keluarganya.

13. Biaya yang dikeluarkan per bulan oleh masyarakat untuk mengendalikan hama permukiman

Hasil survei mengenai biaya yang dikeluarkan per bulan untuk mengendalikan hama permukiman oleh masyarakat di Wilayah Bogor dan Tangerang dapat dilihat pada Gambar 18.

(14)

Gambar 18 Biaya per bulan yang dikeluarkan oleh masyarakat untuk mengendalikan hama permukiman di Wilayah Bogor dan Tangerang

Biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat dalam melakukan pengendalian terhadap hama berbeda-beda tergantung dari pendapatan masyarakat tersebut. Untuk masyarakat di Wilayah Bogor, yaitu Sindang Barang, Cibanteng, dan Balio, biaya yang dikeluarkan < Rp 10.000,-. Sedangkan untuk masyarakat di Ciledug-Tangerang, biaya yang dikeluarkan berkisar antara Rp 10.000,- hingga Rp 50.000,- atau lebih. Hal ini berhubungan dengan tingkat ekonomi setiap warga yang berbeda-beda.

C. Hasil Perlakuan Perangkap

Berdasarkan hasil pemasangan single live trap di Wilayah Bogor dapat diketahui bahwa perbandingan jumlah tikus yang tertangkap dengan menggunakan umpan selai kacang, kelapa bakar, dan ikan asin relatif sama. Tikus yang terperangkap dalam perangkap ini kebanyakan adalah tikus rumah (R. rattus).

Jumlah tikus yang tertangkap pada kombinasi antara dua jenis perangkap (SLT dan MLT), tiga jenis umpan, dan lokasi di permukiman Wilayah Bogor dan Tangerang dapat dilihat pada Gambar 19.

(15)

Gambar 19 Jumlah tikus yang tertangkap dari hasil kombinasi antara dua jenis perangkap (SLT dan MLT), tiga jenis umpan, dan lokasi perlakuan di permukiman Wilayah Bogor dan Tangerang

Multiple live trap cukup efektif diterapkan di permukiman dengan

menggunakan umpan ikan asin dan kelapa bakar. Dalam sekali aplikasi, tikus yang dapat terperangkap dapat mencapai empat ekor. Perlakuan multiple live trap dengan umpan ikan asin berbeda sangat nyata dibandingkan dengan perlakuan lain. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya jumlah tikus yang tertangkap dibanding perlakuan perangkap yang lainnya. Sedangkan aplikasi multiple live trap dengan umpan kelapa bakar dan selai kacang, serta single live trap dengan umpan selai kacang, kelapa bakar, dan ikan asin tidak memberikan pengaruh yang nyata. Jumlah tikus yang tertangkap dari perlakuan tersebut tidak melebihi jumlah tikus yang tertangkap dari aplikasi multiple live trap dengan umpan ikan asin.

Kombinasi perangkap dan umpan yang paling disukai tikus adalah perangkap

multiple live trap dengan umpan ikan asin. Ikan asin yang digunakan sudah

mengeluarkan bau yang tajam karena sebelumnya dibungkus kertas koran selama 3 hari agar pembusukan lebih cepat terjadi. Tikus yang didapat dari aplikasi kombinasi perangkap dan umpan ini sebanyak 29 ekor. Hal ini pula yang menjadi alasan utama bagi sebagian warga di permukiman Wilayah Bogor dan Tangerang untuk menggunakan jenis perangkap ini sebagai tindakan pengendalian tikus di

(16)

permukiman. Kombinasi perangkap multiple dan kelapa bakar juga dapat menjadi alternatif pengendalian tikus di permukiman. Hal ini dikarenakan umpan kelapa bakar tidak mengeluarkan bau busuk menyengat seperti ikan asin, tetapi justru mengeluarkan bau yang harum, sehingga dapat menarik perhatian tikus dari jarak yang cukup jauh.

Tabel 1. Pengaruh faktor kombinasi perangkap terhadap rata-rata jumlah tikus yang tertangkap

Kombinasi Perangkap Rerata tikus yang tertangkap

SLT – Selai Kacang 0,03333 b SLT – Kelapa bakar 0,02500 b SLT – Ikan Asin 0,04167 b MLT – Selai Kacang MLT – Kelapa Bakar MLT – Ikan Asin 0,01667 b 0,10000 b 0,24167 a

Hasil tangkapan tikus terbanyak terdapat di Daerah Sindang Barang yaitu 23 ekor, lalu diikuti Balio sebanyak 19 ekor, Cibanteng 10 ekor, dan Ciledug 3 ekor. Daerah Sindang Barang merupakan daerah yang dekat dengan persawahan. Pada saat melakukan pengamatan, sawah di daerah tersebut sudah mengalami masa panen. Hal ini mungkin menjadi penyebab migrasinya tikus dari sawah ke permukiman penduduk karena persediaan makanan di sawah sedikit. Di Daerah Cibanteng, dan Balio merupakan daerah kost, kurang terjaga kebersihannya, banyak terdapat pekarangan, dan lokasinya dekat dengan sawah. Sedangkan di Daerah Ciledug, lingkungannya cukup terawat, kebersihan terjaga, tidak terlalu padat penduduknya (dalam satu rumah umumnya terdapat 4-5 anggota keluarga), dan masyarakatnya peduli akan kesehatan lingkungan, sehingga populasi hama tikus tidak terlalu tinggi.

(17)

Tabel 2 Persentase keberhasilan pemerangkapan kedua jenis perangkap pada empat lokasi yang berbeda

Lokasi Keberhasilan Pemerangkapan (%)

SindangBarang 12,8

Cibanteng 5,6

Balio 10,6

Ciledug 1,7

Aplikasi perangkap single yang cukup efektif adalah kombinasi single live trap dengan ikan asin. Ikan asin yang digunakan dalam perlakuan ini sama dengan ikan asin yang dikombinasikan multiple live trap. Namun bedanya, single live trap ini hanya mampu menangkap satu ekor tikus dalam sekali aplikasi, dan kurang efektif untuk menangkap tikus yang berukuran besar seperti tikus wirok (Bandicota indica) dan tikus riul (R. norvegicus).

Tabel 3 Pengaruh faktor lokasi terhadap jumlah tikus yang tertangkap

Lokasi Rerata tikus

Sindang Barang 0,12778 a

Cibanteng 0,05556 ab

Balio 0,10556 a

Ciledug 0,01667 b

Berdasarkan hasil pemerangkapan yang dilakukan pada setiap time series, dapat diketahui bahwa jumlah tikus yang tertangkap semakin sedikit dari waktu ke

(18)

waktu di setiap lokasi, kecuali di Cibanteng. Penurunan grafik ini menunjukkan adanya pengaruh sifat jera perangkap (trap shyness), yaitu kejadian di mana tikus tidak mau masuk ke dalam perangkap yang telah disediakan. Hal ini berhubungan dengan sifat genetik tikus. Pada awal pemerangkapan tikus mudah ditangkap, tetapi pada pemerangkapan berikutnya tikus sulit tertangkap (Priyambodo 2003). Tikus yang telah terperangkap sebelumnya telah mengeluarkan alert hormone sebagai tanda bahaya kepada tikus lainnya, sehingga tikus lainnya tidak mau masuk ke dalam perangkap yang sama.

Di Daerah Cibanteng, tikus yang tertangkap pada time series ke 2 tidak mengalami penurunan. Hal ini disebabkan pengaruh jera umpan tetap terjadi, tetapi bukan pada titik sama, melainkan titik yang berbeda pada setiap rumah. Sedangkan di Sindang Barang, Balio, dan Ciledug, penurunan jumlah tikus yang tertangkap sudah terlihat dari setiap time series. Grafik hasil tangkapan tikus pada setiap time series dapat dilihat pada Gambar 20.

Gambar 20 Jumlah tikus yang tertangkap dari hasil pemerangkapan setiap time series di permukiman Wilayah Bogor dan Tangerang

Penyebaran spesies hama tikus yaitu tikus sawah (R. argentiventer), tikus pohon (R. tiomanicus), tikus rumah (R. rattus), tikus ladang (R. exulans), dan tikus riul (R. norvegicus) umumnya menyebar, tetapi pada permukiman yang cukup terawat dan jauh dari sawah dan pekarangan, hanya dijumpai tikus rumah (R. rattus).

(19)

D. Hasil Perlakuan Rodentisida

Perlakuan rodentisida cukup efektif dilakukan di Ciledug dengan rodentisida berbahan aktif bromadiolon dan brodifakum, sedangkan untuk Daerah Cibanteng dan Balio, perlakuan rodentisida kurang efektif, dan di Sindang Barang sangat tidak efektif. Hal ini dikarenakan Daerah Sindang Barang, Cibanteng, dan Balio merupakan kawasan yang cukup terbuka dan dekat dengan pekarangan. Hal tersebut sangat berpengaruh terhadap ketertarikan tikus dalam mengonsumsi rodentisida karena banyak faktor luar yang mempengaruhinya. Sebaliknya, di Ciledug merupakan kawasan yang cukup mewah bila dibandingkan dengan ketiga kawasan tersebut. Lokasinya tertutup dan pengaruh faktor luar sangat kecil, sehingga ketertarikan tikus untuk mengonsumsi rodentisida cukup tinggi. Kandungan bahan aktif dan umpan dalam rodentisida tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah konsumsi rodentisida oleh tikus. Hal ini dibuktikan dengan jumlah konsumsi kedua rodentisida oleh tikus yang tidak terlalu besar. Jumlah rodentisida yang dikonsumsi tikus dengan interaksi antara jenis rodentisida dan lokasi perlakuan di permukiman Wilayah Bogor dan Tangerang dapat dilihat pada Gambar 21.

Gambar 21 Jumlah rodentisida yang dikonsumsi tikus dengan interaksi antara jenis rodentisida dan lokasi perlakuan di permukiman Wilayah Bogor dan Tangerang

(20)

Pengaruh faktor lokasi terhadap jumlah rodentisida yang dikonsumsi tikus dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Pengaruh faktor lokasi terhadap jumlah rodentisida yang dikonsumsi tikus

Lokasi Rerata konsumsi rodentisida

Sindang Barang 0,0000 b

Cibanteng 0,0974 b

Balio 0,0363 b

Ciledug 2,3695 a

Selama dilakukan survei, belum pernah ada masyarakat yang menggunakan jasa pembasmi hama atau pest control untuk mengendalikan hama di rumahnya. Hal ini mungkin disebabkan faktor ekonomi yang kurang memadai. Ketidakmampuan masyarakat dalam membayar jasa pest control menjadi masalah utama. Oleh karena itu, masyarakat di Daerah Sindang Barang, Cibanteng, Balio, dan Ciledug lebih mengutamakan teknik pengendalian dengan caranya sendiri seperti sanitasi, fisik mekanik, dan kimiawi.

Jumlah konsumsi rodentisida pada perlakuan di Daerah Sindang Barang adalah nol. Di Daerah Cibanteng mengalami kenaikan pada time series kedua, kemudian menurun pada time series ketiga. Di Daerah Balio, jumlah konsumsi rodentisida pada

time series kedua mengalami penurunan dan meningkat pada time series ketiga.

Sedangkan di Ciledug, jumlah konsumsi rodentisida dari setiap time series mengalami penurunan. Hal ini disebabkan karena faktor lingkungan pada setiap lokasi sangat mempengaruhi. Pengaruh faktor lingkungan di Daerah Sindang Barang, Cibanteng, dan Balio cukup besar, sehingga pengaruh jera umpan (bait shyness) antar perlakuan relatif kecil. Sedangkan di Ciledug, pengaruh lingkungan relatif kecil,

(21)

sehingga sifat jera umpan tikus dapat diketahui secara langsung. Jumlah rodentisida yang dikonsumsi tikus pada setiap time series dapat dilihat pada Gambar 22.

Gambar 22 Grafik jumlah rodentisida yang dikonsumsi tikus pada setiap lokasi

PEMBAHASAN UMUM

Kehadiran dan aktivitas hama di permukiman memang menjadi masalah bagi penghuni rumah, karena hama tersebut dapat menimbulkan dampak yang negatif diantaranya penyakit berbahaya, rusaknya perabot rumah tangga, dan ketidaknyamanan tempat tinggal. Permasalahan yang ditimbulkan oleh adanya hama permukiman dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu berdasarkan tingkat bahaya, kerugian, atau gangguan yang kemungkinan dapat ditimbulkan oleh hama-hama tersebut (Sigit 2006). Contoh terjadinya kasus demam berdarah. Selanjutnya, berdasarkan tingkat populasi hama-hama tersebut di lingkungan permukiman. Terakhir, berdasarkan tingkat toleransi pemukim terhadap keberadaan hama di lingkungannya. Dalam hal ini terkait dengan nilai ambang toleransi pemukim terhadap keberadaan hama di lingkungan sekitarnya.

Suatu keadaan dapat menjadi masalah bagi seseorang tetapi tidak bagi orang lain. Tempat yang disukai oleh hama diantaranya kamar tidur, kamar mandi, dan selokan (Gambar 9). Lokasi-lokasi tersebut cukup mendukung untuk perkembangan

(22)

hama karena biasanya tempat tersebut merupakan tempat beraktivitas dan tempat pembuangan. Timbulnya berbagai macam hama di permukiman dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu makanan, sampah, lingkungan yang kotor, dan selokan. Sisa makanan yang tercecer di lantai dapat menjadi pemicu datangnya hama (Gambar 10), misalnya ceceran makanan yang manis di lantai dapat mendatangkan semut dan lalat. Ketersediaan makanan yang berlimpah bagi hama serta kondisi lingkungan yang tidak sehat mendukung perkembangan populasi hama.

Kondisi rumah dan lingkungan yang kurang baik dapat memicu perkembangan populasi hama. Kondisi rumah yang kurang baik diantaranya lembab, kurang ventilasi, kotor, kurang cahaya, dan penuh dengan barang yang tidak tertata rapi. Semua kondisi tersebut sangat disukai oleh hama. Selain itu, kondisi di sekitar lingkungan permukiman yang padat penduduk, banyak sampah, selokan tidak lancar dapat menjadi pemicu munculnya hama.

Berbagai tindakan pengendalian telah dilakukan diantaranya dengan sanitasi lingkungan, kimiawi, maupun fisik mekanik. Sanitasi lingkungan diantaranya melakukan penguburan barang bekas untuk menghindari hama nyamuk dan tikus, membersihkan selokan, dan membersihkan sampah di sekitar permukiman. Pengendalian kimiawi yang dilakukan misalnya dengan aplikasi pestisida untuk hama tertentu, misalnya nyamuk, kecoa, lalat, dan tikus. Berdasarkan hasil survei, masyarakat lebih menyukai melakukan pengendalian dengan sanitasi lingkungan. Tindakan pengendalian ini dilakukan untuk hama seperti nyamuk, kecoa, dan tikus. Alasan masyarakat menggunakan teknik pengendalian sanitasi karena biayanya murah dan mudah dilakukan

Penggunaan pestisida cukup banyak ditemukan di masyarakat, tetapi ada sebagian warga yang tidak mau mengaplikasikan pestisida di rumahnya. Hal ini dikarenakan pestisida akan berdampak bagi anggota keluarganya. Selain itu, mereka juga khawatir pestisida dapat meracuni hewan bukan sasaran apabila dikonsumsi. Alasan penggunaan pestisida karena biayanya relatif terjangkau dan mudah diaplikasikan.

(23)

Bentuk formulasi pestisida yang banyak digunakan oleh masyarakat adalah cair (Gambar 11). Masyarakat banyak menggunakan pestisida dalam bentuk cair dengan alasan efektivitas, kemudahan dalam penyimpanan, kemudahan aplikasi, keamanan, dan biaya (Wirawan 2006). Dalam mendapatkan pestisida, masyarakat biasanya mendapat rekomendasi dari tetangga, teman, dan pengalaman pribadi (Gambar 12). Setelah mendapatkan rekomendasi jenis pestisida yang tepat, mereka langsung mencarinya di toko terdekat. Pada umumnya aplikasi pestisida dilakukan pada malam hari karena hama permukiman sebagian besar pada aktif pada malam hari (Gambar 13).

Pada umumnya, masyarakat kurang memperhatikan cara aplikasi yang tepat dari suatu jenis pestisida tertentu (Gambar 14). Hal ini disebabkan kurangnya tingkat pendidikan dan kepedulian akan kesehatan diri sendiri dan lingkungan. Selain itu, sebagian besar masyarakat juga tidak memperhatikan aspek penyimpanan pestisida setelah digunakan (Gambar 15). Di Daerah Bogor, pestisida kebanyakan disimpan di dalam rumah seperti kolong tempat tidur, dapur, dan ruang keluarga. Sedangkan di Ciledug, masyarakatnya cukup memperhatikan dampak dari pestisida tersebut, sehingga mereka menyimpan dengan lebih hati-hati, seperti di luar rumah, garasi, dan ada pula yang menyimpan di gudang.

Teknik pengendalian yang dilakukan untuk mengendalikan tikus yaitu dengan menggunakan perangkap hidup (multiple live trap) dan lem tikus (sticky trap). Perangkap hidup digunakan karena murah harganya, mudah didapat, dan efektif karena dalam sekali aplikasi mampu menangkap lebih dari satu ekor tikus. Sedangkan lem tikus cukup banyak digunakan karena tidak berbau, mudah dalam aplikasi, dan harganya murah. Sebagian besar masyarakat lebih menyukai menggunakan perangkap tikus dibanding dengan menggunakan racun tikus. Hal ini karena bila menggunakan racun tikus maka bangkai tikus yang mati tidak terlihat sehingga menimbulkan bau yang tidak sedap dan sulit untuk ditemukan.

Selama dilakukan survei, belum pernah ada masyarakat yang menggunakan jasa pembasmi hama atau pest control untuk mengendalikan hama di rumahnya. Hal ini mungkin disebabkan faktor ekonomi yang kurang memadai. Ketidakmampuan

(24)

masyarakat dalam membayar jasa pest control menjadi masalah utama. Oleh karena itu, masyarakat di Daerah Sindang Barang, Cibanteng, Balio, dan Ciledug lebih mengutamakan teknik pengendalian dengan cara seperti sanitasi, fisik mekanik, dan kimiawi.

Tikus hasil pemerangkapan yang dilakukan di Sindang Barang cukup efektif, yaitu 23 ekor, namun semua tikus tersebut belum sempat diidentifikasi, sehingga belum diketahui secara pasti jenis tikus apa saja yang tertangkap. Hasil perlakuan rodentisida justru berlawanan dengan perlakuan perangkap. Hal ini ditunjukkan dengan tidak ada satupun rodentisida yang dimakan oleh tikus selama aplikasi. Hasil pemerangkapan di Cibanteng menunjukkan bahwa tikus yang tertangkap sebagian besar adalah tikus rumah (R. rattus) dengan peletakan titik lokasi perangkap yang berbeda-beda seperti di pekarangan, dekat lokasi pemancingan, dan dapur rumah. Tikus pohon (R. tiomanicus) didapat dari peletakan perangkap di pekarangan dekat dengan kolam pemancingan, sedangkan tikus riul (R. norvegicus) didapat dari peletakan perangkap di kamar mandi. Hasil perlakuan rodentisida di Cibanteng tidak terlalu berbeda nyata dengan daerah Sindang Barang, karena hanya sedikit rodentisida yang dimakan dan ada beberapa rodentisida yang hilang.

Pada perlakuan perangkap di Balio, tikus yang paling banyak tertangkap adalah tikus rumah (R. rattus) dengan jumlah total sebanyak 8 ekor. Lokasi pemerangkapannya pun berbeda-beda yaitu dapur, ruang makan, ruang tamu, dan teras rumah. Tikus pohon (R. tiomanicus) didapat dari hasil pemerangkapan di dapur, ruang makan, dan pekarangan rumah. Tikus ladang (R. exulans) didapat dari hasil pemerangkapan di pekarangan rumah. Sedangkan tikus sawah (R. argentiventer) didapat dari hasil pemerangkapan di teras rumah. Hasil pemerangkapan di daerah Ciledug menunjukkan bahwa tikus yang tertangkap hanya tikus rumah (R. rattus) yang terperangkap di dapur dan pekarangan rumah. Hasil perlakuan perangkap di daerah Balio juga tidak berbeda nyata dibanding daerah sebelumnya yaitu Sindang Barang dan Cibanteng. Hal ini ditunjukkan dengan sedikitnya jumlah rodentisida yang dimakan, walaupun ada sebagian rodentisida yang hilang. Pada tempat aplikasi rodentisida yang hilang, terdapat tanda-tanda kehadiran tikus, sehingga jumlah

(25)

konsumsi dalam perhitungan dicantumkan bobot awal dikurangi bobot rodentisida dikali 25%. Sedangkan di Ciledug, aplikasi rodentisida sangat berbeda nyata. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya rodentisida yang dikonsumsi oleh tikus, dengan satu rodentisida bromadiolon yang hilang. Jumlah konsumsi rodentisida yang dikonsumsi terbanyak terjadi pada perlakuan time series kedua, dan mengalami penurunan pada time series ketiga.

Rendahnya jumlah rodentisida yang dikonsumsi oleh tikus dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya faktor lingkungan. Faktor lingkungan sangat menentukan jumlah konsumsi rodentisida, karena lingkungan yang terbuka dapat mempengaruhi daya tarik umpan terhadap tikus. Hal ini dibuktikan dengan jumlah konsumsi yang rendah di daerah Sindang Barang, Cibanteng, dan Balio. Daerah ini cukup terbuka, banyak terdapat semak dan pohon besar. Oleh sebab itu, ketertarikan tikus terhadap rodentisida sangat kecil. Sedangkan di Ciledug merupakan daerah yang cukup padat dan tertutup, tidak banyak pohon besar, maupun semak. Hal ini dapat memicu ketertarikan tikus terhadap rodentisida dalam mengkonsumsinya. Oleh sebab itu, aplikasi rodentisida di permukiman yang relatif terbuka kurang efektif.

Gambar

Gambar 4  Hasil survei mengenai tingkat pendidikan masyarakat di Bogor dan  Tangerang
Gambar 5  Hasil survei mengenai tingkat pendapatan masyarakat di Bogor dan  Tangerang
Gambar 7  Kategori jenis hama yang paling banyak terdapat di permukiman Wilayah  Bogor dan Tangerang
Gambar 10  Kriteria penyebab timbulnya hama di permukiman Wilayah Bogor dan  Tangerang
+5

Referensi

Dokumen terkait

5.46: Penari badut dari Bali, dalam arja cowok (arja dengan pemain semua laki-laki biasanya dengan perempuan juga) yang memakai pakaian yang dibuat khusus untuk menari, bukan pakaian

[Info Detail Pohon pada tiang SUTM] [Info Data Tingkat Pertumbuhan Pohon] Kepala Bagian Proyek Cabang Pasuruan 1 Rayon 2 Penyulang 3 Tiang 4 Jns_Pohon 5 Tk_Pertumbuhan 6

Tak lupa kami juga menghadirkan buku panduan bagi guru dan orang tua untuk membantu perannya dalam membersamai dan mendidik ananda di sekolah dan di rumah sehingga sinergi

Hal ini diperkuat oleh penelitian Bean, (2011) bahwa tingkat keberhasilan penulisan jurnal 90% sehingga dapat meningkatkan nilai ujian. Biologi sel yang merupakan

Namun diketahu bahwa terdapat mahasiswi Universitas Padjadjaran yang telah mengemban tanggung jawab lain selain sebagai mahasiswi, yaitu menjadi seorang istri karena telah

Persamaan penelitian terletak pada format dan penyajian yang meliputi aspek teknis yaitu sinematografi, tata artistik, tata rias dan busana, tata cahaya, dan

Hasil analisis data dari fungsi keuntungan Cobb-Douglas ini menunjukkan variabel independen jumlah bibit, jumlah tenaga kerja dan luas lahan secara signifikan

Namun, pada masa sekarang material keramik lebih mendominasi sebagai material cutting tools karena para peneliti terus mencoba mengembangkan material yang pada