• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. ilmiah tentang peninggalan masa lalu manusia. Di dalam ilmu arkeologi terdapat subsub

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. ilmiah tentang peninggalan masa lalu manusia. Di dalam ilmu arkeologi terdapat subsub"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN

Rekonstruksi kehidupan masa lalu manusia merupakan pekerjaan yang tidak putus bagi akademisi dan peneliti dari disiplin arkeologi. Arkeologi melakukan penyusunan sejarah perkembangan kebudayaan dengan berdasar pada hasil penelitian ilmiah tentang peninggalan masa lalu manusia. Di dalam ilmu arkeologi terdapat sub-sub disiplin yang mempelajari peninggalan-peninggalan tertentu secara spesifik. Epigrafi ialah sub disiplin arkeologi yang secara khusus meneliti prasasti. Epigrafi mempelajari dan menerjemahkan isi prasasti agar hasilnya dapat dikaji ulang dan informasinya dapat dimanfaatkan untuk menyusun historiografi (Susanti et al., 2012a: 5).

Prasasti berasal dari Bahasa Sanskerta praśaśti, dan berasal dari akar kata

śamś, yang berarti sajak pujian untuk raja (Susanti, 2010: 16-7). Hal tersebut sesuai dengan fungsi prasasti di India, yakni untuk memuja kekuasaan dan kebesaran raja yang mengeluarkan prasasti (Baker, 1972: 15). Di Indonesia, prasasti merupakan sumber sejarah peninggalan masa lampau yang tertulis di atas media tertentu, di antaranya ialah batu atau logam (Susanti et al., 2012a: 4).

Prasasti yang ditemukan di Indonesia di antaranya ditulis dalam Bahasa Sanskerta, Melayu Kuna, Jawa Kuna, Bali Kuna, dan Sunda Kuna. Sebagian besar prasasti di Indonesia ialah dokumen resmi kerajaan yang dikeluarkan oleh raja atau

(2)

pejabat tinggi yang memberitakan keputusan raja terkait penetapan sīma1, masalah hukum (jayapattra atau jayasong), dan perihal hutang piutang (suddhapāttra) (Nastiti, 1995: 1). Prasasti kerajaan tersebut dianggap sebagai perwakilan raja dan harus diperlakukan dengan hormat melalui tindakan tertentu. Salah satu upaya penghormatan tersebut ialah pembuatan upacara atau ruwatan, dengan harapan prasasti dapat memberikan perlindungan dan menjauhkan rakyat dari bahaya (Baker, 1972: 21).

Prasasti masa Hindu Buddha yang ditemukan di Indonesia berasal dari kerajaan-kerajaan seperti: Kutei, Tarumanegara, Sriwijaya, Mataram Kuna, Tamwlang, Kahuripan, Jenggala-Kediri, Singhasari, dan Majapahit (Raharjo, 2011: 53). Dengan persentase temuan prasasti terbanyak berasal dari masa Kerajaan Mataram Kuna. Terdapat lebih dari 200 prasasti berbahasa Jawa Kuna yang dikeluarkan pada masa Mataram Kuna, sejak awal abad VIII hingga abad X Masehi. Dari jumlah prasasti tersebut, masih banyak ihwal Mataram Kuna yang belum diketahui dengan jelas, karena kurangnya penelitian di bidang prasasti.

Prasasti kerajaan merupakan urusan resmi yang sangat penting, sehingga terdapat pejabat khusus dalam birokrasi Mataram Kuna yang berperan menulis prasasti. Pejabat ini disebut citralekha. Citralekha ialah pejabat resmi yang bertugas dalam pemerintahan pada tingkatan yang sama dengan pejabat-pejabat seperti:

wahuta, nayaka, pratyaya, parujar, parwuwus, tuhan, dan juru (Jones, 1984: 91).

1

Sīma merupakan penanda status keistimewan sebuah daerah yang diberikan oleh penguasa dengan syarat daerah tersebut mengerjakan kewajiban-kewajiban tertentu, biasanya untuk memelihara sebuah bangunan keagamaan.

(3)

Jones (1984: 91) dalam bukunya Early Tenth Century Java From The Inscriptions

menyebutkan bahwa jabatan citralekha di dalam struktur birokrasi Mataram Kuna

cukup sering ditemukan dalam prasasti. Citralekha juga merupakan salah satu pejabat kerajaan yang terlibat dalam proses peresmian sīma dan seringkali disebutkan sebagai penerima pasak-pasak2.

Lebih lanjut disebutkan bahwa citralekha juga memiliki peranan di dalam sistem perekonomian Mataram Kuna, karena merupakan bagian dari golongan pejabat yang disebut mangilala dṛbya haji. Menurut Susanti et al. (2012b: 38)

mangilala dṛbya haji adalah kelompok pejabat kerajaan yang pada umumnya bertugas untuk menarik pajak dari rakyat. Akan tetapi Djoko Dwiyanto et al., (1992: 8) dalam laporan penelitian berjudul Pungutan Pajak dan Pembatasan Usaha di Jawa Pada Abad IX-XV Masehi menyebutkan bahwa mangilala dṛbya haji juga memiliki fungsi sebagai pengelola harta kekayaan raja. Oleh karena itu, golongan ini memperoleh imbalan berupa gaji yang berasal dari pungutan pajak rakyat. Mangilala dṛbya haji dapat dikemukakan sebagai pegawai kerajaan yang memiliki fungsi-fungsi khusus yang salah satu di antaranya berkaitan dengan penarikan pajak, dan memperoleh gaji dari hasil penarikan pajak tersebut.

Istilah citralekha ditemukan pada sejumlah prasasti, dengan variasi penyebutan yang beragam, sebagaimana misalnya dalam Prasasti Luitan 823 Saka (901 M):

2

Pasak-pasak adalah pemberian dari penerima sīma kepada penguasa, saksi, dan pihak-pihak yang dinilai berjasa dalam penetapan sīma sebagai rasa syukur penerima sīma. Pasak-pasak biasanya berupa uang emas, uang perak, pakaian, dan hewan ternak.

(4)

Sisi muka (recto)

12. “… codya wariga si bes rama ni wahu rāma maratā si kamwaŋ rama ni radha si mitra rama ni rumpuŋ siwara rama ni lĕmĕh si makara rama ni taraju

si puñjan rama ni saban. sumurat ˚i

13. keŋ prasasti citralekha ˚i tiru˚an sumaṅkapanawuṅan wina˚iḥ pasak pasak mas mā 4 kinalihaṇnira …” (Alih aksara: oleh Nastiti et al3., 1982:12, 19).

Terjemahan:

12. “… codya, pejabat wariga (bernama) Si Bes (yang merupakan) ayah dari Wahu, kepala

desa yang sudah tidak menjabat (bernama) Si Kamwang (yang merupakan) bapak dari Radha, Si Mitra (yang merupakan) bapakdari Rumpung, Si Wara (yang merupakan) bapak dari Lĕmĕh, Si Makara (yang merupakan) bapak dari Taraju, Si Puñjan (yang merupakan) bapak dari Saban, penulis

13. prasasti ialah juru tulis dari pejabat tiruan (bernama) Sumangka, dan

Panawungan, keduanya diberi pasak-pasak (berupa) uang emas (sebesar) 4

māsa…” (Terjemahan ulang : penulis).

Kutipan prasasti di atas memberikan gambaran tentang penyebutan citralekha

yang disertai tempat bertugasnya dan namanya. Tempat bertugas tersebut dapat diinterpretasikan sebagai wilayah kerja citralekha. Konteks di mana citralekha

bertugas digambarkan dalam penelitian yang dilakukan oleh M.M. Sukarto K. Atmodjo (1979) dalam bukunya Struktur Masyarakat Jawa Kuna Pada Jaman Mataram Hindu dan Majapahit. Gambaran tentang struktur sosial, budaya, ekonomi, dan religi masyarakat Jawa pada masa Mataram Hindu dan Majapahit di dalam publikasi tersebut dapat menggambarkan latar belakang kehidupan citralekha.

3

(5)

Meski citralekha erat kaitannya dengan penulisan prasasti, tetapi penyebutannya tidak selalu ditemukan dalam setiap prasasti. Citralekha sering disebut juga sebagai saksi dan penerima pasak-pasak dalam upacara penetapan sīma.

Penelitian Rahayu (2006) dalam skripsinya yang berjudul Penerimaan Pasak-pasak

Bagi Pejabat Pria Maupun Wanita Pada Masa Pemerintahan Rakai Watukura Dyah Balitung (898-910 M) memberikan gambaran peristiwa pemberian pasak-pasak

terhadap pejabat kerajaan. Salah satu pejabat yang menerima pasak-pasak ialah

citralekha.

Sebagai saksi dan penerima pasak-pasak, dapat disebutkan bahwa citralekha

memiliki kedudukan yang penting di dalam masyarakat dan kerajaan. Terlebih lagi apabila dilihat dari nama dan kata sandang atau sebutan kehormatan citralekha yang tidak dimiliki oleh orang kebanyakan. Supratikno Raharjo (2011) dalam Peradaban Jawa Dari Mataram Kuna sampai Majapahit Akhir menyebutkan beberapa gelar yang disandang oleh citralekha pada masa Mataram Kuna. Lebih jauh lagi, gelar

citralekha dibahas oleh Budi Istiawan (1991) dalam skripsinya yang berjudul Penulis dan Penulisan Prasasti di Jawa Abad IX-X Masehi. Istiawan membedakan latar belakang citralekha dilihat dari gelar yang disandang, yakni citralekha yang berasal dari golongan rakyat biasa dan yang berasal dari golongan bangsawan.

Penelitian tentang citralekha ini difokuskan pada kajian mengenai identitas, kedudukan, dan peranan citralekha pada masa Mataram Kuna abad IX-X. Sumber kajian yang digunakan ialah prasasti-prasasti yang dikeluarkan pada masa Mataram

(6)

penelitian karena Mataram Kuna dapat dikatakan sebagai peletak birokrasi kerajaan-kerajaan Jawa Kuna dan tinggalan prasasti cukup banyak.

Penelitian yang memiliki fokus kajian tentang identitas, kedudukan, dan peranan citralekha di dalam masyarakat dan birokrasi Mataram Kuna belum pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian-penelitian terkait citralekha yang telah dilakukan selama ini hanya memberi keterangan tentang keberadaan pejabat yang disebut

citralekha di dalam struktur pemerintahan kerajaan. Oleh karena itu, penulis berupaya untuk menggali lebih dalam lagi bagaimana citralekha dan esensi keberadaannya dalam birokrasi dan struktur sosial masyarakat Mataram Kuna. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas dapat dinyatakan bahwa penelitian yang dilakukan penulis ini penting untuk dilakukan karena dapat menjadi tambahan informasi berharga dalam penyusunan perkembangan kebudayaan Indonesia, dan secara spesifik lagi pada masa Jawa Kuna Abad IX-X M.

1.2. RUMUSAN MASALAH DAN TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Identitas seperti apakah yang ditunjukkan oleh citralekha di dalam prasasti-prasasti masa Mataram Kuna?

2. Bagaimanakah kedudukan dan peranan citralekha di dalam birokrasi dan struktur sosial masyarakat Mataram Kuna?

(7)

Tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengungkap identitas citralekha dan untuk mengetahui kedudukan dan peranan citralekha di dalam birokrasi dan struktur sosial masyarakat Mataram Kuna. Penelitian ini juga bertujuan untuk menghasilkan pembaharuan data dan tambahan pengetahuan mengenai tatanan masyarakat Jawa

Kuna sehingga dapat membantu upaya rekonstruksi kehidupan masa lalu sesuai dengan paradigma Arkeologi. Diharapkan data yang tersaji di dalam penelitian ini dapat menarik minat akademisi untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang prasasti sebagai sumber sejarah.

1.3. METODE PENELITIAN

Penalaran yang digunakan dalam penelitian ini ialah penalaran induktif. Penalaran ini diawali dengan proses pengumpulan data melalui observasi empiris, sehingga menghasilkan data berupa deskripsi. Data tersebut selanjutnya dianalisis dan disintesiskan untuk memperoleh kesimpulan dalam bentuk generalisasi (Mundarjito, 1986: 198). Sifat penelitian yang digunakan ialah deskriptif analitis dengan sasaran untuk memperoleh kaitan dari fenomena-fenomena sosial tertentu atau aspek-aspek kehidupan tertentu dari masyarakat yang menjadi target penelitian (Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, 1981: 9). Data kasus penelitian prasasti kemudian dilakukan pendekatan struktural, yang di dalamnya terdapat tahap pra analitis, yang meliputi kritik ekstern dan kritik intern (Dwiyanto, 1993: 7-8).

(8)

Tahap-tahap yang dilakukan pada penelitian ini terdiri atas: tahap pengumpulan data, tahap pengolahan data, tahap analisis data, tahap sintesis, dan tahap penarikan kesimpulan.

1. Tahap Pengumpulan Data

Pada tahap ini dilakukan pencarian dan pengumpulan data yang terkait dengan obyek penelitian. Data tersebut berupa data utama dan data penunjang. Data utama berupa transliterasi dan terjemahan prasasti yang diambil dengan menggunakan metode purposive sampling, yakni proses sampling yang dilakukan dengan memberlakukan kriteria tertentu agar sampel yang diperoleh benar-benar representatif (Sugiarto et al., 2001: 40). Kriteria tersebut ialah prasasti yang diperkirakan dikeluarkan pada masa Mataram Kuna dan menyebutkan istilah

citralekha atau istilah lain yang diketahui memiliki arti yang sama dengan

citralekha, misalnya likhita, dan manurat. Data yang telah dikumpulkan kemudian diklasifikasi berdasarkan istilah-istilah tersebut. Data penunjang berupa referensi dari buku, jurnal, dan artikel ilmiah yang terkait dengan topik penelitian. Data tersebut didudukkan sebagai data yang menguatkan argument penulis.

2. Tahap pengolahan data

Tahap selanjutnya ialah tahap pengolahan data. Pada tahap ini dilakukan kritik ekstern dan kritik intern prasasti. Kritik ekstern meliputi deskripsi jenis aksara, tempat prasasti ditemukan, dan ciri-ciri fisik prasasti seperti: bahan, ukuran, dan bentuk prasasti. Sementara kritik intern meliputi deskripsi bahasa

(9)

yang digunakan di dalam prasasti dan alih aksara prasasti. Alih aksara prasasti tersebut disertai catatan berisi perbandingan dengan prasasti lain dan koreksi terhadap kesalahan citralekha (Nastiti, 1995: 6). Kritik ekstern prasasti dilakukan berdasarkan data sekunder yang telah dikumpulkan. Sementara kritik intern dilakukan dengan menerjemahkan transliterasi prasasti yang telah ada sebelumnya, sesuai dengan kebutuhan penulis.

3. Tahap Analisis Data

Berdasarkan hasil deskripsi dan transliterasi pada tahap pengolahan data, selanjutnya dilakukan analisis. Sesuai dengan data yang berbentuk kualitatif, maka teknik analisis yang digunakan adalah teknik analisis kualitatif. Teknik kualitatif berupaya untuk menguraikan dan memperjelas permasalahan atau rumusan penelitian yang menjadi target penelitian dengan berdasar pada data yang menjadi sasaran penelitian (Tanudirjo, 1989: 33). Analisis yang dilakukan meliputi pengkajian gelar yang disandang oleh citralekha, pemberian pasak-pasak

kepada citralekha dari penguasa, dan letak penyebutan citralekha di dalam prasasti.

Pengkajian terhadap gelar yang disandang citralekha pada masa Mataram

Kuna dilakukan untuk mengetahui kedudukan sosialnya di masyarakat. Pengkajian ini dilakukan karena gelar merupakan sifat khusus yang hanya dimiliki oleh kelompok orang tertentu saja. Kemudian, pengkajian terhadap pemberian pasak-pasak yang diterima citralekha dilakukan untuk mengetahui nilai peranan dan kedudukan citralekha di dalam birokrasi Mataram Kuna.

(10)

Pengkajian dilakukan dengan membandingkan besaran pasak-pasak yang diterima citralekha dengan pejabat lainnya. Selain itu pengkajian penyebutan

citralekha dilakukan untuk mengetahui esensi keberadaan citralekha dalam birokrasi Mataram Kuna dibandingkan dengan pejabat kerajaan lainnya.

4. Tahap Sintesis

Pada tahap ini dilakukan sintesis dari hasil analisis data. Sintesis adalah proses pemasukan hasil gambaran atau interpretasi yang diperoleh dalam proses analisis ke dalam suatu kerangka budaya yang lebih besar (Tanudirjo, 1989: 49). Tahap ini diperlukan untuk menggabungkan fakta-fakta ilmiah yang disarikan dari masing-masing analisis. Fakta-fakta yang disintesis ialah: gelar yang disandang citralekha, besaran pasak-pasak yang diterima citralekha, letak penyebutan citralekha di dalam prasasti, dan birokrasi dan struktur sosial masyarakat Mataram Kuna.

5. Tahap Penarikan Kesimpulan

Tahap ini merupakan akhir dari penelitian. Kesimpulan ditarik dari hasil sintesis data yang telah dilakukan. Kesimpulan akan memberikan jawaban dari permasalahan yang dirumuskan pada awal penelitian.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian oleh Rachmaf Saleh (2004) menunjukkan bahwa pelaporan item – item luar biasa dan / atau kontinjensi memiliki pengaruh signifikan, dan memiliki

Bahwa berhubung Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2008 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan dengan

Liono (2014) dalam tulisannya yang berjudul: Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Financial Distress pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek

Sehingga dengan melihat dari kondisi guru maka dalam pengabdian ini dilakukan pelatihan pembuatan blog bagi guru pada perwakilan BKS SD/MI Muhammadiyah/ Aisyiyah

Penetapan harga dalam praktek jual beli bahan bangunan ini tergantung pada kesepakatan kedua belah pihak, biasanya tukang bangunan akan meminta bonus dari pembelian yang

Hal ini sesuai dengan tujuan dari digunakannya media tulisan yang “….bersifat situasional yaitu digunakan sesuai dengan kondisi dan tempat dimana tulisan tersebut

Kedua, kebutuhan yang dipandang perlu dila- kukan sebagai solusi dari masalah-masalah di atas adalah sebagai berikut: (1) guru perlu memberi ke- sempatan siswa

Berbeda dengan iklan-iklan rokok lainnya yang menggunakan kegiatan-kegiatan seperti petualangan ataupun olahraga ekstrem seperti iklan Gudang Garam ,QWHUQDVLRQDO