• Tidak ada hasil yang ditemukan

fenomena korupsi di Partai Demokrat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "fenomena korupsi di Partai Demokrat"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Korupsi merupakan suatu gejala penyakit sosial yang menggerogoti sendi-sendi bangsa dan merusak tatanan hidup bernegara, apabila membahas tentang korupsi khususnya fenomena di negeri kita tercinta Indonesia seperti seakan tidak ada habisnya Indonesia bahkan bisa dikatakan menjadi negara yang korup. Korupsi di indonesia sudah tergolong extra ordinariry crime (kejahatan yang luar biasa) karena telah merusak, tidak saja keuangan Negara dan potensi ekonomi Negara, tetapi juga telah meluluhlantahkan pilar-pilar sosio budaya, moral, politik dan tatanan hukum dan keamanan nasional. Entah sudah berapa banyak uang negara yang seharusnya untuk kesejahteraan rakyat dirampas oleh orang-orang yang hanya memikirkan bagaimana memperkaya diri sendiri.

(2)

Orang-orang yang dekat dengan penguasa, kata Guan Zhong adalah seperti tikus-tikus itu. Mereka menggunakan pengaruh mereka untuk kepentingan mereka sendiri. Mereka menerima suap dan berkolusi dengan kelompok-kelompok yang punya kepentingan yang sama untuk meronrong negara. Mereka mendukung orang-orang yang mendengarkan mereka dan mempersulit hidup orang-orang yang tidak mendengarkan mereka. sepanjang waktu sang penguasa dalam kegelapan. Orang-orang seperti ini harus dihukum tetapi sayangnya mereka mempunyai tempat di hati penguasa. Jika segalanya berjalan seperti ini, negara akan hancur.

Dalam cerita di atas kita bisa mengambil kesimpulan bahwa, kuil adalah negara, sedangkan tikus adalah para pejabat atau pegawai negeri yang seolah-olah setia kepada negara dengan bekerja sungguh-sungguh, tetapi di balik itu mereka menggrogoti keuangan negara dalam melakukan pemerasan, penggelapan, kecurangan, pengelembungan harga, dan perbuatan-perbuatan kotor lainnya.

Apabila merujuk tentang Korupsi di Indonesia korupsi melibatkan penyalahgunaan kepercayaan, yang umumnya melibatkan kekuasaan publik keuntungan pribadi. Menurut Johnson (2005: 12) mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan peran, jabatan publik atau sumber untuk keuntungan pribadi. Dalam definisi tersebut, terdapat emppat komponen yang menyebabkan suatu perbuatan dikategorikan korupsi, yaitu penyalahgunaan (abouse), public (public), pribadi (private), dan keuntungan (benefit).

Maka dari itu, kelompok kami tertarik membahas permasalahan korupsi di kalangan pejabat dan penyalahgunaan peran, jabatan publik atau sumber untuk keuntungan pribadi. Kasus yang kami bahas adalah lingkaran korupsi di Partai Demokrat semoga dengan adanya penulisan makalah ini bisa memberikan solusi partisipasi mahasiswa dalam pemberantasan korupsi.

(3)

setiap orang mengumpulkan bahan-bahan materinya. Dan pada pertemuan ketiga kami semua membahas isi dari makalah yang kami buat untuk hari senin kami presentasikan.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana hakikat dan ruang lingkup korupsi?

2. Bagaimana latar belakang seseorang melakukan korupsi? 3. Mengapa fenomena korupsi di Indonesia terus meningkat?

4. Bagaimana kronologi kasus korupsi yang dilakukan oleh oknum kader Partai Demokrat?

5. Bagaimana upaya penanggulangan korupsi di Indonesia?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini antara lain untuk memenuhi dan mengetahui:

1. Tugas mata kuliah Kriminologi 2. Hakikat dan ruang lingkup korupsi

3. Latar belakang seseorang melakukan korupsi

4. Fenomena peningkatan korupsi yang terjadi di Indonesia

(4)

BAB II PEMBAHASAN

A. Hakikat dan Ruang Lingkup Korupsi

Korupsi (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok). Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Dalam arti yang luas, korupsi adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi.

Korupsi merupakan perubahan dari perkara yang baik menjadi yang buruk dilihat dari segi moral, cara maupun tindakan, maka korupsi dapat terjadi dalam segala aspek kehidupan, dan dalam segala tingkat proses tindakan manusia dalam mencapai tujuan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Korupsi dapat terjadi pada bidang politik, ekonomi, sosial budaya, maupun ketahanan nasional, dan dalam tingkat penyaluran kedaulatan, penyususnan kebijakan, serta pada implementasi kebijakan.

Korupsi yang sekarang merajalela di Indonesia, berakar pada masa tersebut ketika kekuasaan bertumpu pada birokrasi patrimonial yang berkembang pada kerangka kekuasaan feodal dan memungkinkan suburnya nepotisme. Dalam struktur kekuasaan yang demikian, maka penyimpangan, penyuapan, korupsi dan pencurian akan dengan mudah berkembang Dalam perkembangan selanjutnya, dapat dilihat bahwa ruang lingkup korupsi tidak terbatas pada hal-hal yang sifatnya penarikan pungutan dan nepotisme yang parah, melainkan juga kepada hal-hal lain sepanjang perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

(5)

Pertama, korupsi dapat terjadi pada tingkat penyaluran kedaulatan rakyat. Pada waktu terjadi penyeluran kedaulatan dalam bentuk pemilihan umum, dapat terjadi suatu bentuk korupsi. Pemilu yang diharapkan diselenggarakan secara jujur, adil, bebas, langsung dan rahasia, diselewengkan menjadi penyelenggaraan yang bernuansa pemaksaan baik secara terang-terangan maupun dengan cara sembunyi. Terjadi berbagai tindakan yang menyimpang dari ketentuan yang telah ditetapkan. Praktek yang disebut “money politics” merupakan penyimpangan yang dapat dikategorikan korupsi. Pemaksaan memilih dengan cara yang tidak wajar, merupakan tindakan korupsi. Penyelewengan terhadap penghitungan hasil Pemilu juga merupakan bentuk korupsi.

Kedua, korupsi juga terjadi dalam kalangan penyusun peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan memberikan hak dan kewajiban kepada warganegara dan kelompok serta pribadi atau badan hukum tertentu dalam melakukan suatu kegiatan berkaitan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan hak yang ditentukan peraturan perundang-undangan dapat memberikan keuntungan dan kemudahan kepada pihak tertentu. Terjadilah tarik ulur antara stakeholders dalam penyusunan peraturan perundang-undangan, yang berakibat terjadinya sogok-menyogok yang merupakan salah satu bentuk korupsi. Sebagai akibat suatu peraturan perundang-undangan tidak selalu memihak pada kepentingan rakyat.

(6)

suatu kegiatan atau proyek. Dan karena dana telah disunat, dalam pengertian jumlah dana yang tertera dalam proyek telah tidak sesuai lagi dengan kenyataan, maka terjadilah korupsi berantai, sehingga realisasi kegiatan proyek sebenarnya tidak 100%, tetapi mungkin hanya 65%, atau mungkin lebih rendah lagi. Korupsi terjadi dalam segala kegiatan dan transaksi yang terselenggara. Hal ini telah difahami oleh umum, yang kadang-kadang dianggap sebagai suatu prosedur yang wajar.

1. Latar Belakang Seseorang Melakukan Korupsi

Penyebab terjadinya korupsi yang dilakuan seseorang diutarakan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam bukunya berjudul “Strategi Pemberantasan Korupsi,” antara lain :

a. Aspek Individu Pelaku 1) Sifat tamak manusia

Kemungkinan orang melakukan korupsi bukan karena orangnya miskin atau penghasilan tak cukup. Kemungkinan orang tersebut sudah cukup kaya, tetapi masih punya hasrat besar untuk memperkaya diri. Unsur penyebab korupsi pada pelaku semacam itu datang dari dalam diri sendiri, yaitu sifat tamak dan rakus.

2) Moral yang kurang kuat

Seorang yang moralnya tidak kuat cenderung mudah tergoda untuk melakukan korupsi. Godaan itu bisa berasal dari atasan, teman setingkat, bawahanya, atau pihak yang lain yang memberi kesempatan untuk itu.

3) Penghasilan yang kurang mencukupi

Penghasilan seorang pegawai dari suatu pekerjaan selayaknya memenuhi kebutuhan hidup yang wajar. Bila hal itu tidak terjadi maka seseorang akan berusaha memenuhinya dengan berbagai cara. Tetapi bila segala upaya dilakukan ternyata sulit didapatkan, keadaan semacam ini yang akan memberi peluang besar untuk melakukan tindak korupsi, baik itu korupsi waktu, tenaga, pikiran dalam arti semua curahan peluang itu untuk keperluan di luar pekerjaan yang seharusnya.

(7)

Dalam rentang kehidupan ada kemungkinan seseorang mengalami situasi terdesak dalam hal ekonomi. Keterdesakan itu membuka ruang bagi seseorang untuk mengambil jalan pintas diantaranya dengan melakukan korupsi.

5) Gaya hidup yang konsumtif

Kehidupan di kota-kota besar acapkali mendorong gaya hidup seseong konsumtif. Perilaku konsumtif semacam ini bila tidak diimbangi dengan pendapatan yang memadai akan membuka peluang seseorang untuk melakukan berbagai tindakan untuk memenuhi hajatnya. Salah satu kemungkinan tindakan itu adalah dengan korupsi.

6) Malas atau tidak mau kerja

Sebagian orang ingin mendapatkan hasil dari sebuah pekerjaan tanpa keluar keringat alias malas bekerja. Sifat semacam ini akan potensial melakukan tindakan apapun dengan cara-cara mudah dan cepat, diantaranya melakukan korupsi.

7) Ajaran agama yang kurang diterapkan

Indonesia dikenal sebagai bangsa religius yang tentu akan melarang tindak korupsi dalam bentuk apapun. Kenyataan di lapangan menunjukkan bila korupsi masih berjalan subur di tengah masyarakat. Situasi paradok ini menandakan bahwa ajaran agama kurang diterapkan dalam kehidupan.

b. Aspek Organisasi

1) Kurang adanya sikap keteladanan pimpinan

Posisi pemimpin dalam suatu lembaga formal maupun informal mempunyai pengaruh penting bagi bawahannya. Bila pemimpin tidak bisa memberi keteladanan yang baik di hadapan bawahannya, misalnya berbuat korupsi, maka kemungkinan besar bawahnya akan mengambil kesempatan yang sama dengan atasannya.

2) Tidak adanya kultur organisasi yang benar

(8)

3) Sistem akuntabilitas yang benar di instansi pemerintah yang kurang memadai

Pada institusi pemerintahan umumnya belum merumuskan dengan jelas visi dan misi yang diembannya dan juga belum merumuskan dengan tujuan dan sasaran yang harus dicapai dalam periode tertentu guna mencapai misi tersebut. Akibatnya, terhadap instansi pemerintah sulit dilakukan penilaian apakah instansi tersebut berhasil mencapai sasaranya atau tidak. Akibat lebih lanjut adalah kurangnya perhatian pada efisiensi penggunaan sumber daya yang dimiliki. Keadaan ini memunculkan situasi organisasi yang kondusif untuk praktik korupsi.

4) Kelemahan sistem pengendalian manajemen

Pengendalian manajemen merupakan salah satu syarat bagi tindak pelanggaran korupsi dalam sebuah organisasi. Semakin longgarataulemah pengendalian manajemen sebuah organisasi akan semakin terbuka perbuatan tindak korupsi anggota atau pegawai di dalamnya.

5) Manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam organisasi

Pada umumnya jajaran manajemen selalu menutupi tindak korupsi yang dilakukan oleh segelintir oknum dalam organisasi. Akibat sifat tertutup ini pelanggaran korupsi justru terus berjalan dengan berbagai bentuk.

c. Aspek Tempat Individu dan Organisasi Berada

1) Nilai-nilai di masyarakat kondusif untuk terjadinya korupsi Korupsi bisa ditimbulkan oleh budaya masyarakat. Misalnya, masyarakat menghargai seseorang karena kekayaan yang dimilikinya. Sikap ini seringkali membuat masyarakat tidak kritis pada kondisi, misalnya dari mana kekayaan itu didapatkan.

(9)

3) Masyarakat kurang menyadari bila dirinya terlibat korupsi Setiap korupsi pasti melibatkan anggota masyarakat. Hal ini kurang disadari oleh masyarakat sendiri. Bahkan seringkali masyarakat sudah terbiasa terlibat pada kegiatan korupsi sehari-hari dengan cara-cara terbuka namun tidak disadari.

4) Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi akan bisa dicegah dan diberantas bila masyarakat ikut aktif Pada umumnya masyarakat berpandangan masalah korupsi itu tanggung jawab pemerintah. Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi itu bisa diberantas hanya bila masyarakat ikut melakukannya.

Aspek peraturan perundang-undangan Korupsi mudah timbul karena adanya kelemahan di dalam peraturan perundang-undangan yang dapat mencakup adanya peraturan yang monopolistik yang hanya menguntungkan kroni penguasa, kualitas peraturan yang kurang memadai, peraturan yang kurang disosialisasikan, sangsi yang terlalu ringan, penerapan sangsi yang tidak konsisten dan pandang bulu, serta lemahnya bidang evaluasi dan revisi peraturan perundang-undangan.

B. Fenomena Korupsi di Indonesia

(10)

Seharusnya dengan sederet peraturan, dan partisipasi masyarakat tersebut akan semakin menjauhkan sikap,dan pikiran kita dari tindakan korupsi.

Gejala korupsi berkembang bukanlah gejala penyakit sosial yang muncul di era modern saat ini. Namun, melalui sebuah proses dari setiap masa yang dilewati.Masa yang di lewati dalam sebuah tradisi atau gejala sosial akan memuncak dan muncullah hal yang namanya korupsi. Sejarah korupsi Indonesia terbagi kedalam beberapa masa, yaitu sebelum dan sesudah kemerdekaan baik di era Orde Lama maupun Orde Baru hingga berlanjut di era Reformasi:

1. Era Sebelum Indonesia Merdeka

Sejarah sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh “budaya-tradisi korupsi” yang tiada entik karena didorong oleh motif kekuasaan, kekayaan dan wanita. Kita dapat melihat bagaimana tradisi korupsi berlangsung dalam bentuk perebutan kekuasaan dalam kerajaan seperti perebutan kekuasaan di Kerajaan Singosari, Kerajaan Majapahit, Kerajaan Demakdan Kerajaan Banten. Dari contoh – contoh diatas kita diajarkan bahwa bahwa konflik kekuasan yang disertai dengan motif untuk memperkaya diri (sebagian kecil karena wanita), telah menjadi faktor utama kehancuran kerajaan-kerajaan tersebut. Banyak pihak yang tidak puas dengan apa yang dimilikinya saat itu. Mulai dari harta kekayaan yang dimiliki hingga kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh atasannya. Kekuasaan dalam hal ini bukan hanya bersifat kekuasaan yang dimiliki seseorang atas kedudukannya, tetapi juga kekuasaan atas wanita lain. Karena tidak puas dengan yang dimilikinya, dia melakukan pemberontakan bahkan menikam dari belakang orang yang ingin “disingkirkannya”.

(11)

Ardaraja (panglima singosari yang anaknya Jayakatwanga) ke kerajaan Singosari yang pada saat itu dipimpin oleh Kertanegara. Jayakatwang memanfaatkan kelengahan Kertanegara yang saat itu sedang berperang dengan Kubilai Khan. Saat pasukan Majapahit pergi meninggalkan kerajaan untuk berperang dengan kerajaan Mongol, saat itulah kerajaan Kediri melakukan penyerangan ke Majapahit yang mengakibatkan hancurnya kerajaan dan meninggalnya Kertanegara.

Selain itu, perilaku opurtunistis dilihat dari posisi orang suruhan dalam kerajan, atau yang lebih dikenal dengan “abdi dalem”. Abdi dalem dalam sisi kekuasaan zaman ini, cenderung selalu bersikap manis untuk menarik simpati raja atau sultan. Mereka memanfaatkan kedekatannya dengan raja atau sultan untuk menindas dan mengeruk kekayaan dari pihak lain. Sebagian besar pemberian pada raja untuk menarik simpatiknya berasal dari perampasan yang dilakukannya pada rakyat. Kembali lagi rakyat yang menderita akibat timbulnya “raja – raja kecil” yang memanfaatkan kekuasaan yang diberikan demi kepentingan sendiri. Hal tersebut pula yang menjadi cikal bakal (embrio) lahirnya kalangan opurtunis yang pada akhirnya juga memiliki potensi jiwa korup yang begitu besar dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara kita dikemudian hari.

(12)

dari rakyat demi kepentingan diri sendiri sebelum diserahkan pada pihak penjajah. Hal ini timbul karena tidak adanya sistem pengawasan yang ada dari pihak atasan. Ini merupakan salah satu alasan terbesar, budaya korupsi menjangkit luas hingga saat ini.

2. Era Setelah Kemerdekaan

Era setelah kemerdekaan ditandai dengan 3 masa, yaitu masa orde lama, orde baru dan reformasi. Sebenarnya fase perkembangan praktek korupsi di zaman modern seperti sekarang ini dimulai saat lepasnya bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan. Walaupun penjajah telah pindah tetapi budaya KKN yang ditinggalkan tidak serta merta lenyap begitu saja. Hal tersebut tercermin dari perilaku pejabat-pejabat pemerintahan yang bahkan telah dimulai di era Orde lama Soekarno, yang akhirnya semakin berkembang dan tumbuh subur di pemerintahan Orde Baru Soeharto hingga saat ini.

Praktek feodalisme, hegemoni dan dominasi serta perilaku oportunis merupakan akar timbulkan korupsi. Praktek dominan sangat terlihat pada saat pemerintahan orde baru. Presiden sebagai pemimpin Negara dan pemerintahan memiliki kekuasaan yang tidak terbatas. Selama 32 tahun Orde Baru berkuasa, moralitas masyarakat direduksi oleh kepentingan politik dominan. Negara melalui pemerintah telah secara sengaja membangun stigma dan perilaku yang menyimpang (abuse of power), dengan melegalkan praktek korupsi dikalangan pejabat-pejabat pemerintahan. Hal tersebut dikarenakan oleh bentuk serta pola praktek kekuasaan yang cenderung menindas sehingga secara terang-terangan telah melegalkan praktek korupsi dan berkembanglah budaya politik bisu (culture silent) yang dihegemonisasi oleh pemerintah, membuat masyarakat terkesan diam dan acuh. Secara sosiologi, bangunan birokrasi yang hanya berpusat pada segelintir orang yang menyebabkan korupsi menyebar dan menjamur di Indonesia. Praktek feodalisme pun makin terlihat dimana pemimpin daerah melanjutkan perilaku korupsi yang terjadi diatas dan diterapkan kemasyarakat. Dengan kekuasaan yang dimilikinya, mereka melakukan korupsi untuk kepentingan diri sendiri dan atasannya.

(13)

Disini kita akan lebih jauh membahas tentang korupsi yang dilakukan oleh kader-kader dari partai demokrat. Slogan yang sering kita dengar “katakan tidak pada korupsi” seolah menjadi kebalikan dari fakta yang terjadi saat ini. Kurang lebih ada 7 anggota partai demokrat yang melakukan tindak pidana korupsi yang sangat berlainan dengan visinya “partai demokrat bersama masyarakat luas berperan mewujudkan keinginan luhur rakyat Indonesia agar mencapai pencerahan dalam kehidupan kebangsaan yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur, menjunjung tinggi semangat Nasionalisme, Humanisme dan Internasionalisme, atas dasar ketakwaan kepada Tuhan yang maha Esa dalam tatanan dunia baru yang damai, demokratis dan sejahtera.”

Partai demokrat merupakai partai besar dibawah kekuasaan SBY tetapi sayangnya banyak sekali kader partai demokrat yang terjerat kasus korupsi. Diantaranya:

1) Angelina Sondakh

Pada 10 Januari 2013, mantan Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Angelina Sondakh divonis 4,5 tahun penjara gara-gara menerima suap terkait anggaran di Kementerian Pemuda dan Olahraga serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Ia menjadi tersangka kasus korupsi dan suap terkati pembahasan anggaran proyek Wisma Atlet Palembang.

Menurut Opstib pusat, Laksamana Soedomo (Nurdjana, 2010, hlm. 33) ada lima hal yang menyebabkan potensial korupsi dan penyelewengan yakni, proyek pembangunan fisik, pengadaan barang, bea cukai, perpajakan, pemberian izin usaha dan fasilitas kredit perbankan.

Menurut pendapat diatas disebutkan bahwa proyek pembangunan fisik merupakan wadah yang potensial untuk melakukan korupsi terbukti pada kasus anggelina sondakh ini dia korupsi akibat proyek wisma atlet di Palembang.

(14)

pejabat-pejabat dalam hubungan dengan fungsinya. Contoh: korupsi, penyalahgunaan wewenang dll.

Jelas sekali ditinjau dari segi kriminologi bahwa anggelina sondakh sudah melakukan tindak kejahatan yang menggunakan jabatannya dan tentunya sangat membawa dampak yang negatif terhadap orang lain dan dirinya sendiri demi memenuhi hasrat dan kemauannya mendapatkan harta dengan jalan kriminal.

Hukuman seberat-beratnya patut dilayangkan kepada mantan miss indonesia 2001 tersebut, Majelis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta juga memerintahkan Angie membayar uang denda Rp250 juta. Namun, dalam vonis ini, Majelis hakim tidak memerintahkan Angie membayar uang pengganti. Vonis bagi mantan Putri Indonesia itu makin berat saat di tingkat Mahkamah Agung (MA).Pada 18 November 2013, Majelis Hakim Kasasi memvonis mantan anggota Badan Anggaran DPR itu 12 tahun penjara. Selain itu, Angie juga diperintahkan membayar uang pengganti nyaris Rp 40 miliar. Bila tidak mampu membayar uang pengganti ini dalam waktu yang ditentukan, Angie harusm endekam lagi selama lima tahun di penjara.

2) Muhammad Nazaruddin

(15)

Menurut Gabriel Tarde tokoh mazhab lingkungan (Budimansyah, 2009, hlm. 19) kejahatan bukan suatu jejak yang antropologis tapi sosiologis. Yang seperti kejadian-kejadian lainnya dikuasai oleh faktor imitasi atau peniruan.

Menurut pendapat tesebut faktor lingkungan merupakan salah satu hal yang melatarbelakangi terjadinya tindak korupsi, seperti yang dilakukan oleh nazarudin dan istrinya yang tentu saja melakukan korupsi karena di dukung oleh faktor lingkungan, terlebih istrinya yang meniru atau mengikuti jejak suaminya korupsi jelas itu merupakan kejahatan ditinjau dari mazhab prancis (lingkungan). 3) Hartati Murdaya

Pengusaha yang juga mantan anggota Dewan Pembina Partai Demokrat ini divonis 2 tahun 8 bulan pada 4 Februari 2013. Dia terbukti ikut menyuap Amran Batalipu, Bupati Buol, Sulawesi Tengah. Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi Jakarta juga mewajibkan Direktur Utama PT Hardaya Inti Plantations (HIP) dan PT Cipta Cakra Murdaya (CCM) itu membayar uang denda sebesar Rp150 juta subsider 3 bulan. Hartati terbukti menyetujui pemberian uang sebesar Rp3 miliar untuk Bupati Buol Amran Abdullah Batalipu terkait pengurusan Hak Guna Usaha (HGU) lahan perkebunan sawit di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah.

Dalam kasus ini, Amran divonis lebih berat, yakni 7,5 tahun penjara karena terbukti menerima Rp3 miliar dari Hartati. Dia juga diwajibkan membayar uang denda Rp300 juta. Vonis ini tak berubah di tingkat banding, yakni Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada 2 Mei 2013. Hartati telah memperoleh pembebasan bersyarat dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Menurut Barda Nawawi Arif (Nurdjana, 2010, hlm. 29) korupsi berkaitan dengan kompleksitas masalah lain seperti:

(16)

birokrasiatauprosedur administrasi (termasuk sistem pengawasan) di bidang keuangan dan pelayanan umum.

Tentu sangat berkaitan sekali apa pendapat diatas dengan korupsi yang dilakukan oleh hartati murdaya. Masalah kebutuhanatau tuntutan ekonomi dan stukturatau sistem ekonomi menjadi penyebab utama pengusaha tersebut melakukan suap. Penyalahgunaan wewenang yang dia punya menjadikannya leluasa melakukan tindak kejahatan ini yang tentunya sangat merugikan banyak pihak.

4) Anas Urbaningrum

KPK menetapkan mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaingrum sebagai tersangka penerima gratifikasi terkait proyek Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan sekolah Olahraga Nasional (P3SON) di Hambalang, Bogor pada 22 Februari 2013. Kala itu, Anas masih menjabat sebagai Ketua Umum Partai Demokrat dan anggota DPR. KPK juga langsung mencegah Anas bepergian keluar negeri untuk kepentingan penyidikan. Keesokan harinya, Anas langsung mengumumkan pengunduran diri sebagai Ketua Umum Partai Demokrat.

Ada beberapa modus operandi korupsi yang sering dilakukan oleh para koruptor salah satunya menurut Nurdjana (2010, hlm. 38) adalah:

Pelaku oknum aparat atau birokat dengan modus operandi yang sering digunakan terutama pada bisnis proyek jasa konstruksiatau pembangunan, pengadaan barang dan jasa seperti komisi proyek dan biaya servis pejabat tinggi sehingga biaya operasioanal rendah, mark-up harga barang, barang palsu, penyimpangan dari spektek pengadaan barang fiktif.

(17)

5) Andi Mallarangeng

Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga sekaligus mantan Sekretaris Majelis Tinggi Partai Demokrat Andi Mallarangeng ditahan pada 17 Oktober 2013 setelah ditetapkan sebagai tersangka pada Desember 2012. Andi diduga bertanggung jawab pada penyelewangan yang merugikan negara di proyek P3SON di Hambalang, Bogor. Pada 18 Juli 2014, Andi divonis 4 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 2 bulan penjara. Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menilai, Andi terbukti melakukan korupsi terkait proyek pembangunan P3SON Hambalang.

Dari segi kejahatan ini merupakan the white collar criminal, menurut Cavan (Budimansyah, 2009, hlm. 41) kejahatan yang baru menjelma pada abad modern ini yang merupakan ekses daripada proses ekonomi. The white collar criminal merupakan kejahatan yang dilakukan oleh pengusaha-pengusaha dan pejabat-pejabat dalam hubungan dengan fungsinya. Contoh: korupsi, penyalahgunaan wewenang dll.

6) Sutan Bhatoegana

KPK resmi menetapkan Ketua Komisi VII DPR Sutan Bhatoegana menjadi tersangka, Rabu 14 Mei 2014. Sutan ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan korupsi terkait dengan pembahasan anggaran APBNP tahun 2013 di Kementerian ESDM. Juru bicara KPK Johan Budi mengungkapkan bahwa kasus ini merupakan pengembangan dari kasus SKK Migas yang prosesnya sudah selesai di persidangan. Sutan diduga melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12 B UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP. Pasal ini mengatur soal penyelenggara negara yang menerima gratifikasi.

(18)

Kasus sutan bhatoega merupakan kejahatan tingkat tinggi, karena seorang menteri yang merupakan kaki tangan dari seorang presiden melakukan kejahatan yang besar dan merugikan warganegaranya.

b. Upaya Penanggulangan Korupsi di Indonesia

Dasar hukum UU 31 Tahun 1991, UU 20 tahun 2001 Pemberantasan korupsi di indonesia saat ini dilakukan oleh beberapa institusi:

1) Tim Pemberantas Tindak Pidana Korupsi 2) Komisi Pemberantas Korupsi

3) Kepolisian 4) Kejaksaan 5) BPKP

6) Lembaga non-pemerintah: media massa, organisasi massa misalnya ICW Cara untuk memberantas atau mencegah korupsi dapat dibagi kedalam tiga kategori besar, yakni kategori kultural, kategori sosial historis, dan kategori pemerintahan.

Dari kategori kultural, program penanggulangan korupsi sangat tergantung pada keadaan dan kemauan kelompok pemimpin. Dalam hal ini sangat dituntut kesadaran dan pemahaman terhadap sifat, sebab dan akibat korupsi, dengan dimilikinya kesadaran serta pengertian dan pemahaman para pejabat terhadap korupsi, diharapkan mereka akan merubah orientasinya bahwa pembangunan dan aspek-aspek keuangannya hanyalah ditujukan untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat seluruhnya. Dalam kaitan ini perlu dibangun juga keberanian melengserkan pejabat yang korup secara sistematis.

Sedangkan dari kategori sosial historis, budaya birokrasi patrimonial perlu dikikis secara perlahan-lahan namun pasti, sehingga pada saatnya akan menghapus pula budaya nepotisme yang jelas-jelas tidak mendukung kepada upaya penciptaan profesionalisme birokrasi. Dengan kata lain, sudah saatnya warisan budaya lama ini ditinggalkan dan disesuaikan dengan tuntutan-tuntutan baru yang lebih menghendaki rekrutmen secara lebih adil dan obyektif.

(19)

1) Penyempurnaan atau pembaharuan sistem administrasi yang belum sempurna untuk mencegah kebocoran. Khususnya masalah pengawasan harus lebih diintensifkan dan memangkas duplikasi-duplikasi dalam kelembagaan pengawasan.

2) Peningkatan tingkat kesejahteraan aparatur. Pengertian kesejahteraan disini harus ditafsirkan sebagai pemenuhan kebutuhan fisik dan non fisik, dimana dengan pemenuhan dari kedua aspek ini diharapkan aparatur tidak akan mudah tergoda untuk melakukan penyelewengan, justru sebaliknya akan memperkuat motivasinya guna mengabdikan diri kepada kepentingan bangsa dan masyarakat.

(20)

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari rumusan masalah di atas kami menarik kesimpulan:

1. Korupsi merupakan perubahan dari perkara yang baik menjadi yang buruk dilihat dari segi moral, cara maupun tindakan, maka korupsi dapat terjadi dalam segala aspek kehidupan, dan dalam segala tingkat proses tindakan manusia dalam mencapai tujuan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Korupsi dapat terjadi pada bidang politik, ekonomi, sosial budaya, maupun ketahanan nasional, dan dalam tingkat penyaluran kedaulatan, penyususnan kebijakan, serta pada implementasi kebijakan.

2. Penyebab terjadinya korupsi yang dilakuan seseorang diutarakan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) adalah dari aspek individu pelaku, aspek organisasi dan aspek tempat individu dan organisasi berada. 3. Fenomena korupsi yang semakin meningkat di Indonesia sangat berkaitan

dengan budaya terdahulu dan masa pemeritahan sebelumnya seperti era sebelum Indonesia merdeka yang mementingkan mencari kekuasaan, kejayaan dan sebagainya

4. Akibat banyaknya korupsi yang dilakukan oleh para oknum kader partai demokrat menyebabkan kronologisnya pun beraragam mulai dari ketika proyek hambalang dan lain-lain.

5. Ada cara-cara yang bisa dilakukan untuk memberantas atau mencegah korupsi yaitu dapat dibagi kedalam tiga kategori besar, yakni kategori kultural, kategori sosial historis, dan kategori pemerintahan.

B. Saran

(21)

sosialisasi dan internalisasi nilai anti korupsi tersebut dilakukan kepada seluruh komponen masyarakat dan aparatur pemerintah di pusat dan daerah, lembaga tinggi negara, BUMN, BUMD, sehingga nilai sosial anti korupsi atau Budaya Anti Korupsi (BAK) menjadi gerakan nasional dan menjadi kebiasaan hidup seluruh komponen bangsa Indonesia, menuju kehidupan yang adil makmur dan sejahtera.

(22)

Budimansyah. (2009). Pengantar Kriminologi. Laboraturium PKn UPI: Bandung.

Demokrat. (2015). Visi dan misi partai demokrat. [online] tersedia: www.demokrat.or.idatau [08 april 2015]

Kesuma, Dharma. (2009). Korupsi dan Pendidikan Anti Korupsi. Pustaka Aulia Press: Bandung.

Maheka, Arya. (2011). Mengenali dan Memberantas Korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi: Jakarta.

Nurdjana. (2010). Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi. Pustaka pelajar: Yogyakarta.

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat, rahmat dan karunia-Nya penyusunan tugas akhir ini yang berjudul ” Upaya Meningkatkan Hasil

e. Dalam penelitiannya, ditemukan 117 idiom bahasa.. Kesimpulan dari penelitian itu adalah bahwa sebagian besar idiom tersebut berkategorikan KS+KB dan KK+KB. Idiom

Metode pengukuran berdasarkan faktor kemudahan penggunaan aplikasi (Usability) pada Model Kualitas Produk ISO/IEC 25010 digunakan untuk menunjukkan tingkat kemudahan

Penerimaan diri ibu dari anak autis adalah sikap positif yang.. dimiliki oleh seorang ibu dalam menerima keadaan diri

Pendidikan karakter di MIM Unggulan Kota Gorontalo telah diimplementasikan melalui beberapa strategi dan pendekatan yang meliputi: Integrasi nilai dan etika pada

Namun demikian, masih banyak siswa yang mendapatkan nilai rendah, rata-rata nilai siswa di bawah 70.5 Berdasarkan hasil wawancara dengan siswa diperoleh informasi bahwa, selama

Penulis berharap agar hasil dari penelitian ini dapat menambah pemahaman dalam memperkaya pengetahuan yang berhubungan tentang sejauh mana pengaruh kepemilikan institusional,