• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II STATUS TANAH SEBAGAI OBJEK JUAL BELI PADA MASYARAKAT DI KECAMATAN JUHAR. A. Jenis-Jenis Hak Atas Tanah Menurut Hukum Adat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II STATUS TANAH SEBAGAI OBJEK JUAL BELI PADA MASYARAKAT DI KECAMATAN JUHAR. A. Jenis-Jenis Hak Atas Tanah Menurut Hukum Adat"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

STATUS TANAH SEBAGAI OBJEK JUAL BELI PADA MASYARAKAT DI KECAMATAN JUHAR

A. Jenis-Jenis Hak Atas Tanah Menurut Hukum Adat

Menurut Purnadi Purbacaraka dan Ridwan Halim hak atas tanah adat dapat dibedakan atas:33

1. Hak ulayat, yaitu hak atas tanah yang dipegang oleh seluruh anggota masyarakat hukum adat secara bersama-sama. Dengan hak ini masyarakat hukum adat yang bersangkutan menguasai tanah tersebut secara menyeluruh atau bersama.

Adapun hak anggota masyarakat hukum adat atas tanah yang berwujud hak ulayat itu pada dasarnya:

a. Hak meramu atau mengumpulkan hasil hutan yang ada di wilayahnya/wewenang masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

b. Hak untuk berburu dalam batas wilayah wewenang hukum masyarakat mereka.Tetapi dalam konsekuensinya hak ulayat yang bersifat komunal ini pada hakekatnya terdapat pula hak perorangan untuk menguasai sebagian dari objek penguasaan hak ulayat tersebut secara tertentu agar diketahui oleh para anggota lainnya dalam waktu tertentu pula.

2. Hak Milik dan Hak Pakai.

Hak milik adat atas tanah adalah, suatu hak atas tanah yang dipegang oleh perseorangan atas sebidang tanah tertentu dalam wilayah masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Hak pakai adat atas tanah adalah, suatu hak atas tanah menurut hukum adat yang telah diberikan kepada seseorang tertentu untuk

33

Purnadi Purbacaraka, Ridwan Halim, Sendi-Sendi Hukum Agraria,(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1993), hal 25

(2)

memakai sebidang tanah bagi kepentingannya, biasanya tanah yang dipakai dalam hukum adat dengan dasar hak pakai, dan biasanya terhadap tanah sawah ladang. Van Dijk (1982: 43) menyebutkan bahwa hak atas tanah adat dapat dibedakan atas:

a). Hak persekutuan atau hak pertuanan.

Hak persekutuan/pertuanan atas tanah adat mempunyai akibat keluar dan kedalam. Hak persekutuan yang mempunyai akibat ke dalam antara lain: 1) Memperbolehkan kepada anggota persekutuan untuk menarik keuntungan

dari tanah dan segala yang ada di atasnya. 2) Mendirikan tempat kediaman

3) Menggembalakan ternak dan berburu ternak.

Di sini dibatasi hak untuk menarik keuntungan dari tanah adat dan hanya diperbolehkan sekedar dipergunakan untuk keperluan hidup keluarga dan diri sendiri, jadi hak yang melampaui batas terhadap tanah adat tidak diakui sepanjang bertujuan untuk persediaan bagi usaha perdagangan.

b) Hak persekutuan yang berakibat keluar ialah:

1) Larangan terhadap orang luar untuk menarik keuntungan dari tanah ulayat, kecuali setelah mendapat izin dan sesudah membayar uang pengakuan (recognitie).

2) Larangan pembatasan atau berbagai peraturan yang mengikat terhadap orang- orang untuk mendapatkan hak-hak perorangan atas tanah pertanian. 3. Hak perorangan atas tanah adat terdiri dari:

a. Hak milik adat (inland bezitrecht) adalah, hak perorangan atas tanah, di mana yang bersangkutan tenaga dan usahanya telah terus menerus ditanamnya pada tanah tersebut, sehingga kekuatannya semakin nyata dan diakui oleh anggota

(3)

lainnya, dan kekuasaan kaum/persekutuan semakin menipis, dan kekuasaan perorangan semakin kuat.

Hak milik ini walaupun telah kokoh dan sempurna namun dapat dibatalkan kembali bila:

1) Tidak diusahakan terus menerus, sehingga telah hilang bekas-bekas atau tanda-tanda itu dan tanah itu kembali menjadi belukar.

2) Tidak ada yang berhak atas tanah, karena pemiliknya pergi meninggalkan tanah tersebut.

3) Tidak dipenuhi kewajiban-kewajiban yang dibebankan persekutuan hukum.

b. Hak memungut hasil tanah (genotrecht) ialah, suatu hak pribadi yang mempunyai kekuatan tertentu, yaitu tentang menikmati hasil tanah saja, sedangkan kekuasaan atas tanah yang berada pada persekutuan, hak ini mempunyai kekuatan sementara.

c. Hak menarik hasil ialah, suatu hak yang diperdapat dengan suatu persetujuan para pemimpin persekutuan dengan orang yang mengelola sebidang tanah untuk satu atau dua kali panen. Hak menarik hasil ini juga berakhir apabila: 1) Tanah itu diolah lebih sempurna, sehingga dapat diperoleh hak milik atas

tanah tersebut.

2) Habis waktunya, jika diberikan jangka waktu tertentu.

3) Tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya oleh persekutuan.

Dari penjelasan di atas jelaslah bagi kita bahwa jenis-jenis hak atas tanah adat didasarkan kepada hubungan antara anggota persekutuan dengan tanah dan hubungan itu tidak terlepas dari pengawasan persekutuan/masyarakat hukum adatnya.

(4)

1. Pengertian Tanah Adat

Tanah adat itu sangat penting artinya bagi masyarakat karo, karena tanah adat merupakan tanah milik bersama masyarakat adat yang harus dijaga keberadaannya dan merupakan sumber kehidupan bagi para pengguna tanah tersebut. Dengan perkataan lain tanah adat adalah tanah yang berada dalam lingkungan hak ulayat (tanah ulayat) dan bukan merupakan hak milik perseorangan.

Di tanah Karo tanah adat ini biasanya dikuasai oleh pengulu (Kepala Desa) atau biasa juga disebut dengan istilah ”simantik kuta” yang artinya orang atau pihak yang pertama kali mendirikan desa, mereka ini juga sering dengan ”marga tanah.”

Marga tanah ini dapat mencari tanah subur untuk perladangan di tempat lain, apabila tanah kurang subur di lingkungan desanya. Ditempat tanah yang ditemukan tersebut marga tanah pertama kali mendirikan ”barung-barung”nya (pondok), lama-kelamaan pondok berubah menjadi rumah yang pada akhirnya barung-barung berubah menjadi desa.

Desa pada mulanya adalah berasal dari barung-barung yang apabila penduduknya sudah bertambah banyak, maka salah seorang dari penduduk pendiri barung-barung tadi diangkat menjadi pengulu yang semarga dengan marga tanah. Pendiri barung-barung tersebut, namun ada juga pendiri barung-barung tersebut bukan berasal dari marga tanah yang diberi nama ”biak senina” di dalam suatu desa. Biak senina ini meskipun ia semarga dengan marga tanah, tetapi dia tidak berasal dari keturunan marga tanah tersebut.

(5)

Pengulu dan marga tanah inilah yang menguasai seluruh tanah-tanah yang terdapat di dalam suatu desa ataupun disekitar desa, dalam arti bahwa marga tanah adalah sebagai pihak yang akan mengatur tentang hak apa saja yang dapat dipegang oleh suatu anggota masyarakat dengan dibantu oleh pihak anak beru, kalimbubu dan

senina. Anggota masyarakat adat yang bukan marga tanah hanya dapat mempunyai

hak yang derajatnya dibawah hak milik.

Untuk lebih jelasnya dapat dikemukakan bahwa jika diamati dalam kehidupan masyarakat Karo yang tradisional (tempo dulu), maka masyarakat Karo dibagi atas tiga kelas secara vertikal, yaitu 34:

a. Golongan Bangsawan (Sibanyak, Pengulu, Simantik Kuta/Simada Taneh atau Marga Tanah)

Golongan bangsawan yang terdiri dari pengulu atau pendiri kampung (marga tanah) pada umumnya cukup kaya dan mempunyai tanah pertanian yang luas. Golongan inilah yang melaksanakan pemerintahan di daerahnya serta memungut cukai perdagangan atau cukai tanah.

b. Ginemgem

Ginemgen ialah keluarga yang turut menempati suatu kampung tapi bukan sebagai pendiri pertama dari kampung tersebut. Kedatangan golongan ini ke kampung tersebut diterima serta dillindungi oleh marga tanah. Biasanya mereka ini tidak membayar pajak ataupun ikut kerahan (kerja paksa).

34

Darwin Prinst, Pendidikan Kepeminpinan Pada Suku Karo, (Medan: Bina Media Perintis,1980), hlm 2

(6)

c. Rakyat Derip

Rakyat Derip adalah golongan yang paling bawah dari masyarakat adat, mereka ini datang dari luar namun diperkenankan tinggal di kampung itu. Rakyat derip ini tidak mempunyai tanah pertanian sendiri, harus membayar pajak dan ikut dalam kerahan (kerja paksa).

Begitulah hirarki masyarakat Karo pada jaman dahulu dimana pemerintahan dipegng oleh sibanyak (raja) dan pengulu secara turun temurun.

2. Kedudukan Tanah Adat

Sebelum lahirnya UUPA, maka di Indonesia pernah berlaku suatu undang-undang pertanahan yaitu hak-hak atas tanah yang tunduk kepada hukum barat (BW) dan yang tunduk kepada hukum adat. Tanah-tanah yang tunduk kepada hukum adat tersebut menurut ketetapan domain verklaring milik belanda tersebut masih tergolong pula kepada tanah negara yang tidak bebas.

Ketentuan mengenai tanah tersebut dicantumkan dalam suatu undang-undang yang disebut dengan agrarischwet denan Stb. 1870 N0 55 yang mana sebagai asas pokonya adalah domain negara.

Sesuai dengan asas domain negara tersebut, maka keadaan tanah di Indonesia saat itu ada kita kenal apa yang dinamakan dengan tanah domain negara yang bebas atau tanah domain negara yang tidak bebas.

a) Tanah domain negara bebas, yaitu tanah-tanah yang dikuasai langsung oleh pemerintah Belanda : pelabuhan, pasar-pasar, tanah-tanah instansi dan lain sebagainya.

(7)

b) Tanah domain negra yang tidak bebas yaitu tanah-tanah yang tidak dikuasai langsung pemerintah Belanda, tetapi dipakai dengan sesuatu hak yang diberikan pemerintah dengan suatu perjanjian atau peraturan tetapi masih dianggap milik Belanda, seperti tanah yang didiami oleh penduduk bumi putera yang disebut dengan tanah adat.

Dilihat dari pembagian tanah tersebut diatas, maka jelaslah bahwa kedudukan tanah adat termasuk dalam domain negara yang tidak dalam arti tunduk kepada hukum adat.

Jadi dari pernyataan domain tersebut menegaskan bahwa tanah negara ialah semua tanah yang seseorang itu tidak dapat membuktikan bahwa tanah tersebut adalah hak milliknya, sebaliknya tanah adat itu adalah tanah yang tidak tunduk kepada aturan-aturan ”eigendom” (hak milik) atau dengan kata lain tanah adat adalah tanah adat yang tidak dimiliki oleh seseorang dengan hak eigendom.

Di dalam Pasal 75 RR dikatakan bahwa para hakim dapat mempergunakan hukum adat sepanjang hukum adat itu tidak bertentangan dengan dasar-dasar umum yang diakui tentang kepatutan dan keadilan. Dalam hal inipun ditonjolkan tentang berlakunya hukum adat, baru sesudah itu disebut pembatasannya. Pembatasan lain terdapat dalam ayat 6 Pasar 75 RR yang mengatakan bahwa hukum adat boleh disingkirkan kalau masalah yang dihadapai itu tidak diatur dalam hukum adat. Demikian lemahnya kedudukan hak adat itu dimata hukum belanda, sehingga hukum adat itu sering dikesampingkan dalam hal memutus suatu perkara tentang tanah,

(8)

pengadilan Belanda sering menyatakan bahwa hukum adat tidak mengatur masalah tersebut oleh karena itu dipakailah hukum Eropa.

Dengan demikian dualisme dalam hukum pertanahan yang kita kenal pada jaman hindia belanda tesebut tidak sama derajatnya dan yang lebih diakui adalah hak eigendom. Hak tersebut terbukti dari pernyataan politik yang tertuang dalam persyaratan domain tersebut yaitu bahwa segala tanah yang tidak dibuktikan dengan segala sesuatu hak eigendom adalah domain negara (milik negara).

Jadi hal-hal atas tanah adat adalah berada dalam posisi yang sangat lemah sekali dan terlalu diarahkan kepada hak-hak yang mirip dengan hak eigendom Bw.

Pemerintah Hindia Belanda sama sekali tidak berusaha untuk mengembangkan hak adat itu menjadi suatu sistem hukum tanah adat, dalam arti kata bahwa pihak Belanda tetap menganak tirikan hak-hak tanah adat, sehingga dengan demikian hak-hak tanah adat tidak diakui begitu saja oleh Belanda kecuali dimintakan oleh yang bersangkutan dengan sesuatu hak eigendom.

B. Pengertian Pendaftaran Tanah

Dalam Pasal I PP 24/1997 terdapat rumusan mengenai pengertian pendaftaran tanah, pendaftaran tanah adalah :

”rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian sertifikat sebagai surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian sertifikat sebagai surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang terdaftar haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya”.

(9)

Pendaftaran tanah untuk pertama kali dilaksanakan melalui pendaftaran tanah secara sistematik dan pendaftaran tanah secara periodik. “Pendaftaran tanah secara sistematik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua objek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah atau desa/kelurahan. Pendaftaran tanah secara sistematik diselenggarakan atas prakarsa Pemerintah berdasarkan pada suatu rencana kerja panjang dan tahunan serta dilaksanakan di wilayah-wilayah yang ditetapkan oleh Menteri Negara Agraria/Kepala BPN. Dalam hal suatu desa/kelurahan belum ditetapkan sebagai wilayah pendaftaran tanah secara sistematik, pendaftaran tanah dilaksanakan secara sporadik. Pendaftaran tanah secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali mengenai satu atau beberapa objek pendaftaran tanah dan wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan secara individual atau massal. Pendaftaran tanah secara sporadik dilaksanakan atas permintaan pihak yang berkepentingan, yaitu pihak yang berhak atas objek pendaftaran tanah yang bersangkutan atau kuasanya.35

Pendaftaran tanah secara sistematik diutamakan, karena melalui cara ini akan dipercepat perolehan data mengenai bidang-bidang tanah yang akan didaftar daripada melalui pendaftaran secara sporadik. Tetapi karena prakarsanya datang dari Pemerintah, diperlukan waktu untuk memenuhi dan, tenaga dan peralatan yang diperlukan. Maka pelaksanaannya harus didasarkan pada suatu rencana kerja yang meliputi jangka waktu agak panjang dan rencana pelaksanaan tahunan yang berkelanjutan melalui uji kelayakan agar berjalan lancar. Uji kelayakan itu untuk pertama kali diselenggarakan di daerah Depok, Bekasi dan Karawang di Jawa Barat.

Disamping pendaftaran secara sistematik pendaftaran tanah secara sporadik juga akan ditingkatkan pelaksanaannya, karena dalam kenyataannya akan bertambah banyak permintaan untuk mendaftar secara individual dan massal yang diperlukan

35

Op.Cit., hal. 455

(10)

dalam pelaksanaan pembangunan, yang akan makin meningkat kegiatannya. Demikian dikemukakan dalam Penjelasan Umum36.

Pendaftaran itu sangat penting, dan tanah tersebut didaftarkan untuk kepentingan ekonomi atau pendaftaran dilakukan untuk kepentingan dari penggunaan terhadap tanah, sehingga akan terlihat pemanfaatan dari tanah saja. Pendaftaran tanah adalah untuk memberikan kejelasan/keterangan supaya tidak menimbulkan suatu permasalahan dalam bidang pertanahan. Berlakunya PP. 24/1997 adalah untuk pendaftaran tanah, baik terhadap status tanah maupun pendaftaran tanah terhadap hak tanggungan demi kepentingan perpajakan.

C. Tujuan Pendaftaran Tanah

Dalam PP. 24/1997, tetap dipertahankan tujuan diselenggarakan pendaftaran tanah sebagai yang pada hakikatnya sudah ditetapkan dalam Pasal 19 UUPA. Yaitu bahwa pendaftaran tanah merupakan tugas Pemerintah, yang diselenggarakan dalam rangka menjamin kepastian hukum di bidang pertanahan suatu “recht kadasrter” atau

“legal cadastre”, rincian tentang tujuan pendaftaran tanah diatas dalam Pasal 3 PP. 24/1997, yaitu :

a. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar, agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan. Untuk itu kepada pemegang haknya diberikan sertifikat sebagai surat tanda buktinya (Pasal 4 ayat 1).

b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan, termasuk Pemerintah, agar dengan mudah dapat memperoleh data yang

36

(11)

diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar. Untuk penyajian data tersebut diselenggarakan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota tata usaha pendaftaran tanah dalam apa yang dikenal sebagai daftar umum, yang terdiri atas peta pendaftaran, daftar tanah, surat ukur, buku tanah dan daftar nama.

c. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan. Terselenggaranya pendaftaran tanah secara baik merupakan dasar dan perwujudan tertib administrasi tersebut setiap bidang tanah dan satuan rumah susun, termasuk peralihan, pembebanan dan hapusnya wajib didaftar. Demikian ditentukan dalam Pasal 4 ayat (3).

Dengan demikian PP. 24/1997 ini telah menjelaskan lebih lanjut mengenai ketentuan Pasal 19 UUPA antara lain :

a. Dengan diterbitkannya sertifikat hak atas tanah maka kepada pemiliknya diberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum.

b. Di zaman reformasi ini, Kantor Pertanahan sebagai kantor digaris depan harus terpelihara dengan baik setiap informasi yang diperlukan untuk sesuatu bidang tanah, baik untuk Pemerintah sendiri sehingga dapat merencanakan pembangunan Negara dan juga bagi masyarakat sendiri informasi itu penting untuk dapat memutuskan sesuatu yang diperlukan dimana terlibat tanah, yaitu data fisik dan yuridisnya termasuk satuan rumah susun. Informasi tersebut bersifat terbuka untuk umum artinya dapat memberikan informasi apa saja yang diperlukan atas sebidang tanah/bangunan yang ada.

c. Sehingga untuk itu perlulah tertib administrasi pertanahan dijadikan suatu hal yang wajar.

Dari Uraian diatas dapat diketahui betapa pentingnya pelaksanaan pendaftaran tanah dan pendaftaran hak-hak atas tanah tersebut. Hal ini juga dalam rangka turut serta memperlancar pembangunan. Anggapan masyarakat yang mengatakan bahwa pendaftaran tanah intinya hanya memperoleh sertifikat tanah saja, merupakan anggapan yang oleh karena, keterangan-keterangan atau data pertanahan yang dihimpun dalam pendaftaran tersebut adalah merupakan suatu mata rantai kegiatan yang tiada henti-hentinya dari pelaksanaan pendaftaran tanah dengan tujuan menjamin adanya kepastian hukum terhadap hak atas tanah.

(12)

Menurut Boedi Harsono dengan diadakan pendaftaran tanah maka pihak-pihak yang bersangkutan dengan mudah mengetahui status dan kedudukan hukum dari tanah-tanah tertentu yang dihadapinya, tempat, luas dan batasnya, siapa yang memiliki dan beban hak atas tanah. Sehubungan dengan itu dibidang administrasi pertanahan, masalah utama yang dihadapi adalah belum tersedianya data pertanahan yang lengkap dan menyeluruh baik mengenai kepemilikan, penguasaan hak maupun pendaftarannya.37

Jika melihat keadaan sekarang masih banyak tanah-tanah yang belum bersertifikat yang berasal dari tanah-tanah adat yang belum dikonversi dan pelepasan hak yang dibuat oleh Camat dan bentuk perbuatan lainnya tunduk kepada Hukum adat. Kesemuanya itu masih dapat ditolerir berlakunya sepanjang belum ditentukan secara tegas batas waktu pendaftaran tanah dan sanksi yang diberikan

Kasus tanah pemukiman Bumi Serpong Damai merupakan satu dari sekian banyak contoh resiko jual beli tanah.38 Oleh karena itu untuk menghindari resiko atau paling tidak meminimalkan terjadinya resiko sebagai akibat perbuatan hukum jual beli tanah, jual beli tanah utamanya tanah hak harus dilakukan sesuai dengan prosedur dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sesuai dengan apa yang dikehendaki Undang-Undang, jual beli tanah hak dilakukan dihadapan PPAT. Walaupun jual beli yang dilakukan secara dibawah tangan sah adanya.

37

Boedi Harsono, Op. Cit., hal. 462 38

Maria,SW. Somardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001), hlm. 113

(13)

Dari berbagai keputusan Mahkamah Agung ternyata bahwa jual beli ranah yang tidak dilakukan dihadapan Kepala Desa atau saksi-saksi tetap sah sepanjang hal tersebut diikuti dengan perbuatan penguasaan tanahnya oleh pembeli.39

Dalam peristiwa jual beli tersebut, peralihan hak dari penjual kepada pembeli hanya diketahui kedua belah pihak dan pihak ketiga tidak diharapkan mengetahui jual beli tersebut. Agar pihak ketiga mengetahuinya, peralihan hak tersebut perlu didaftarkan agar memperoleh sertifikat sebagai tanda bukti hak yang kuat. Dengan memiliki sertifikat, maka kepastian hukum berkenaan dengan jenis hak atas tanahnya, subjek hak, dan objek haknya menjadi nyata. Walaupun bukan berarti dengan adanya sertifikat tidak mungkin timbul masalah, tetapi paling tidak akan mengurangi masalah tersebut. Dengan demikian penataan masalah pertanahan dapat dikendalikan dan diawasi oleh Negara.

Jual beli tanah hak yang tidak didaftarkan, dapat membuka peluang bagi yang beritikad buruk untuk menjual kembali tanah tersebut kepada pihak lain. Apalagi tidak ada sangsi hukum yang tegas terhadap tindakan jual beli tanah hak yang dibuat tanpa dihadapan PPAT. Sanksi yang diberikan hanyalah sebatas sanksi administrasi yaitu jual beli dibawah tangan tersebut tidak dapat didaftarkan, karena untuk mendaftarkan harus tetap dibuktikan dengan akta PPAT (Pasal 37 ayat(1) PP Nomor 24 Tahun 1997). Dan jual beli seperti ini pada dasarnya tidak dikehendaki oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang BPHTB (Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan) dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak

39

(14)

Penghasilan, karena kepentingan Negara dalam hal ini dirugikan dengan tidak adanya pemasukan pajak yang dibebankan kepada penjual dan pada pembeli.

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menyempurnakan aturan-aturan tentang pendaftaran tanah yang dimuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 dengan kegiatan yang meliputi :

1. pengertian pendaftaran tanah;

2. asas-asas dan tujuan penyelenggaraan tanah, yakni memberikan kepastian hukum dan menghimpun serta menyajikan informasi yang lengkap mengenai data fisik dan data yuridis suatu bidang tanah;

3. penegasan, penyederhanaan, serta penyingkatan tata cara pendaftaran tanah; 4. penggunaan teknologi modern dalam penguku pemetaan

5. pembukuan bidang tanah yang data fisik dan atau yuridisnya belum lengkap atau masih disengketakan;

6. kekuatan pembuktian sertipikat yang meliputi 2 (dua) hal, yakni :

a. sertipikat merupakan alat bukti hak yang kuat, yang berarti bahwa selama belum dibuktikan sebaliknya, data fisik dan data yuridis yang tercantum dalam sertipikat harus diterima sebagai data yang benar sepanjang data tersebut sesuai dengan data yang tercantum dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan; dan

b. bahwa orang yang tidak dapat menuntut tanah yang sudah bersertipikat atas nama orang atau badan hukum lain jika selama 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertipikat tersebut yang bersangkutan tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat dan Kepala Kantor Pertanahan atau tidak mengajukan gugatan di pengadilan sedangkan tanah tersebut diperoleh orang atau badan hukum lain dengan itikad baik dan badan hukum lain yang mendapat persetujuannya;

7. peran dan tanggung jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Irawan Soerodjo mengatakan bahwa perkembangan pendaftaran tanah di Indonesia tidak terlepas dari akibat/konsekwensi masih berlakunya hukum adat dalam masyarakat yang merupakan manifestasi dari aspirasi yang berkembang di dalam masyarakat sebagai mana dimuat dalam TAP MPR Nomor IV/MPR/1973 yo Kepres Nomor 11 Tahun 19974. Hukum adat sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat dalam berlakunya tergantung dari kondisi kesadaran hukum masyarakat yang mendukungnya yaitu masyarakat itu sendiri. Namun demikian dalam pemberlakuannya mendapat dukungan dari berbagai kebiasanaan tidak tertulis yanga ada dalam masyarakat termasuk aspek politik, ekonomi, sosial dan budaya yang sebagian di-antaranya telah diformulasikan melalui berbagai peraturan perundang-undangan tertulis. Dengan demikian sekalipun sebenarnya

(15)

hukum adat yang tidak tertulis itu dalam kenyataan hidup sehari-hari masih tetap berlaku dalam masyarakat, namun penerapannya masih tergantung pada peraturan perundang-undangan tertulis sebagai hukum positip atau melalui sumber hukum positip lainnya, yaitu yurisprudensi tetap.40

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang berlaku sejak tanggal 24 September 1960 merupakan Undang-undang nasional tentang Agraria yang secara fundamental mengadakan perombakan terhadap hukum pertanahan yang berlaku di Indonesia.

Rentang waktu 37 Tahun sejak diundangkannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tersebut, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan pelbagai peraturan tertulis atau regulasi di bidang hukum pertanahan. Baik sebagai peraturan pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960, maupun sebagai produk hukum baru di bidang hukum pertanaha guna mememnuhi kebutuhan hukum masyarakat sejalan dengan perkembangan masyarakat dan kebutuhan akan jaminan adanya kepastian hukum di bidang pertanahan.

D. Status Tanah Sebagai Objek Jual Beli Di Kecamatan Juhar 1. Kedudukan Tanah Adat

Sebelum lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria, maka di Indonesia pernah berlaku suatu undang-undang pertanahan yaitu hak-hak atas yang tunduk kepada hukum barat (BW) dan yang tunduk kepada hukum adat. Tanah-tanah yang tunduk kepada hukum adat tersebut menurut ketetapan Domein Verklaring milik Belanda tersebut masih tergolong pula kepada tanah negara yang tidak bebas.

40

Irawan Soerodjo, Kepastian Hukum Pendaftaran Hak Atas Tanah Di Indonesia, (Surabaya : Arkola, 2002), hal 114-116

(16)

Ketentuan mengenai tanah tersebut dicantumkan dalam suatu undang-undang yang disebut dengan Agrarischewet dengan Stb. 1870 No. 55 yang mana sebagai asas pokoknya adalah domein negara.

Dalam peraturan pelaksana undang-undang tersebut ditetapkan bahwa semua tanah yang tidak dapat dibuktikan ada hak eigendom di atasnya, maka tanah tersebut merupakan domein negara (milik negara), sementara tanah yang dikuasai oleh rakyat pribumi (tanah adat) tidak pernah mendapat hak eigendom yang sah.

Sesuai dengan asas domein negara tersebut, maka keadaan tanah di Indonesia saat itu ada kita kenal apa yang dinamakan dengan tanah domein negara yang bebas atau tanah domein negara yang tidak bebas. Adapun pembagian tanah tersebut yakni:41

a. Tanah domein negara bebas, yaitu tanah-tanah yang dikuasai langsung oleh Pemerintah

Belanda seperti: pelabuhan, pasar-pasar, tanah-tanah instansi dan lain sebagainya. b. Tanah domein negara yang tidak bebas yaitu tanah-tanah yang tidak dikuasai

langsung oleh Pemerintah Belanda, tetapi dipakai dengan sesuatu hak yang diberikan pemerintah dengan suatu perjanjian atau peraturan tetapi masih dianggap milik Belanda, seperti tanah yang didiami oleh penduduk Bumi Putera yang disebut dengan

tanah adat.

41

G.Kartasapoetra, Hukum Tanah Jaminan UUPA Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah, (Jakarta: Bina Aksara, 1985), hal 85.

(17)

Dilihat dari pembagian tanah tersebut di atas, maka jelaslah bahwa kedudukan tanah adat termasuk dalam domein negara yang dalam arti tidak tunduk kepada hukum adat. Jadi dari pernyataan domein tersebut menegaskan bahwa tanah negara ialah semua tanah yang seseorang itu tidak dapat membuktikan bahwa tanah tersebut adalah hak miliknya, sebaliknya tanah adat itu adalah tanah yang tidak tunduk kepada aturan-aturan eigendom (hak milik) atau dengan kata lain tanah adat adalah tanah yang tidak dimiliki oleh seseorang dengan hak eigendom.

Di dalam Pasal 75 RR (lama) dikatakan bahwa para hakim dapat mempergunakan hukum adat sepanjang hukum adat itu tidak bertentangan dengan dasar-dasar umum yang diakui tentang kepatutan dan keadilan. Dalam hal inipun ditonjolkan tentang berlakunya hukum adat, baru sesudah itu disebut pembatasannya. Pembatasan lain terdapat dalam ayat (6) Pasal 75 RRL yang mengatakan bahwa hukum adat boleh disingkirkan kalau masalah yang dihadapi itu tidak diatur dalam hukum adat. Demikian lemahnya kedudukan hak adat itu di mata hukum Belanda, sehingga hukum adat itu sering dikesampingkan. Dalam hal memutus suatu perkara tentang tanah, pengadilan Belanda sering menyatakan bahwa hukum adat tidak mengatur masalah tersebut oleh karena itu dipakailah hukum Eropa.42

Dengan demikian dualisme dalam hukum pertanahan yang kita kenal pada zaman Hindia Belanda tersebut tidak sama derajatnya dan yang lebih diakui adalah hak eigendom. Hal tersebut terbukti dari pernyataan politik yang tertuang dalam

42

(18)

persyaratan domein tersebut yaitu bahwa segala tanah yang tidak dibuktikan dengan sesuatu hak eigendom adalah domein negara (milik negara).

2. Status Tanah Sebagai Objek Jual Beli Di Kecamatan Juhar

Jadi hal-hal atas tanah adat adalah berada dalam posisi yang sangat lemah sekali dan terlalu diarahkan kepada hak-hak yang mirip dengan hak eigendom BW. Pemerintah Hindia Belanda sama sekali tidak berusaha untuk mengembangkan hak adat itu menjadi suatu sistem hukum tanah adat, dalam arti kata bahwa pihak Belanda tetap menganak tirikan hak-hak tanah adat, sehingga dengan demikian hak-hak tanah adat tidak diakui begitu saja oleh pihak Belanda kecuali dimintakan oleh yang bersangkutan dengan sesuatu hak eigendom.

Tanah dalam masyarakat adat karo sangat penting dan mempunyai fungsi sosial yang sangat besar. Hal ini tercermin dari kehidupan masyarakat suku Karo pada umumnya. Dimana kehidupan masyarakatnya sehari-hari adalah bertani dan berkebun.

Demikian juga dengan kehidupan masyarakat di Kecamatan Juhar, dimana masyarakatnya hidup dari hasil pertanian dan perkebunan. Adapun tanah yang mereka usahakan tersebut adalah merupakan tanah warisan ataupun tanah garapan yang telah diusahakan secara turun temurun. Pembuktian secara hukum atas kepemilikan tanah berupa sertifikat ataupun Surat Keterangan Camat sangat minim sekali, karena masyarakat Kecamatan Juhar khususnya di Desa Juhar Ginting dan Desa Juhar Tarigan dalam hal jual beli tanah masih melakukan jual beli dihadapan

(19)

Kepala Desa. Status tanah sebagai Objek jual beli di Kecamatan Juhar adalah tanah garapan yang telah dikuasai secara turun temurun dan tanah warisan.43

Tanah-tanah ini kemudian dalam perkembangannya banyak beralih baik karena itu jual beli maupun dengan peralihan hak lainnya, khusus untuk jual beli ini biasanya dilakukan dibawah tangan berdasarkan kesepakatan antara para pihak dengan dihadiri oleh saksi-saksi, yang biasanya saksi-saksi ini adalah orang-orang terdekat yang mempunyai hubungan kekeluargaan serta saksi-saksi yang tanahnya berbatasan dengan tanah yang akan dijual. Biasanya perjanjian jual beli ini dituangkan dalam surat yang berbentuk segel yang ditandatangani oleh para pihak dihadapan kepala desa.

Apabila salah seorang anggota masyarakat ingin menjual tanahnya maka terlebih dahulu diadakan musyawarah dengan keluarga terdekat yaitu sangkep sitelu

dan biasanya tanah yang akan di perjual belikan itu terlebih dahulu ditawarkan kepada keluarga terdekat dengan tujuan agar keberadaan tanah tersebut tidak berpindah kepada orang lain.

43

Hasil wawancara dengan Ir. Rena Sembiring, Camat Kecamatan Juhar, pada tanggal 23 April 2009

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan latar belakang masalah serta masalah-masalah lain yang telah dikenalpasti, penulis ingin membangunkan satu laman web bercirikan Pembelajaran Berbantukan

Sumber data primer adalah pengusaha kerajinan tempurung kelapa dengan tujuan agar peneliti dapat memperoleh informasi mengenai berapa besar pendapatan dan kelayakan usaha

Hasil perhitungan pergeseran bersih menyatakan bahwa perumbuhan komoditas pertanian Kabupaten Mamuju pada periode 2011-2015 telah mengalami perubahan struktur

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, serta karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan

Setelah penulis mengidentifikasi permasalahan perkawinan lintas agama yang sangat luas tersebut, agar diperoleh pembahasan yang lebih spesifik mengenai objek penelitian, maka

Statuta FIFA dengan demikian dapat menjadi salah satu dari sumber hukum organisasi internasional dengan kedudukannya sebagai persetujuan atau perjanjian resmi yang dapat

Kerangka Kerja Konseptual PKSA merupakan upaya peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak berbasis keluarga, yang dilaksanakan berdasarkan proses sosial

Berdasarkan analisis data dan pengujian hipotesis yang sudah dilakukan dapat terlihat bahwa melalui nilai koefisien regresi (β 2 ) dan hasil pengujian uji t,