• Tidak ada hasil yang ditemukan

SIMBOLISASI IBU DALAM RUANG IMAJINASI VISUAL SENI LUKIS - ISI Denpasar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "SIMBOLISASI IBU DALAM RUANG IMAJINASI VISUAL SENI LUKIS - ISI Denpasar"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

1

SENI LUKIS

NASKAH PENELITIAN/PENCIPTAAN

INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR

JUDUL:

SIMBOLISASI IBU DALAM RUANG IMAJINASI VISUAL

SENI LUKIS

Oleh: Drs. I Made Bendi Yudha, M.Sn

NIP. 196112251993031002

FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN

INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR

(2)

2 RINGKASAN/SUMMARY

SIMBOLISASI IBU DALAM RUANG IMAJINASI VISUAL SENI LUKIS

Oleh:

Drs. I Made Bendi Yudha, M.Sn

ABSTRACT

Di Bali, seni banten/sesajen adalah seni simbol, di mana benda-benda yang konkrit dan abstrak bisa diwujudkan sebagai simbol dari bentuk yang sangat sederhana sampai pada bentuk-bentuk yang rumit namun artistik, seperti halnya simbol Lingga Yoni sebagai manifestasi alam semesta beserta isinya, antara langit dan bumi, Bapak dan Ibu, kemudian berkembang menuju pada bentuk-bentuk sesajen dengan berbagai keindahannya seperti sesajen Sarad, Gayah, Daksina dari huruf-huruf gaib yaitu; dasa aksara, panca aksara, yang secara aplikatif memiliki fungsi yang berhubungan dengan kebutuhan ritual

keagamaan ataupun inisiasi tertentu yang spiritual sifatnya. Bentuk-bentuk tersebut apabila ditinjau dari segi bentuk, fungsi dan makna, jelas memiliki perbedaan di antara bentuk yang satu dengan bentuk lainnya yang terkadang saling bertentangan, saling

membutuhkan, saling melengkapi, serta saling mendukung, yang pada esensinya bermuara pada nilai-nilai keseimbangan hidup untuk mencapai kesejahteraan lahir maupun batin.

(3)

3 work), yang personal karena nilai-nilai kebaruan (novelty) yang personal sifatnya, selalu menjadi target pencapaian seniman terutama dari segi kualitas gagasan maupun kekaryaan.

(4)

4 SUMMARY

SIMBOLIZATION OF MOTHER IN VISUAL IMAGINATION OF ART PAINTING

By:

Drs. I Made Bendi Yudha, M.Sn

ABSTRACT

In Bali, the art of banten/sesajen is art of symbols, in which concrete and abstract objects can be manifested as symbols of a very simple form to complex but in artistic forms, such as the Lingga Yoni symbol as the manifestation of the universe and its contents, among the heavens and the earth, Father and Mother, then progressed to the forms of sesajen with its various beauty such as sesajen Sarad, Gayah, Daksina of the occult letters namely; dasa aksara, panca aksara, which applicatively has function that related with the needs of religious rituals or certain spiritual initiations. These forms if viewed in terms of form, function and meaning, clearly have differences among the form of one thing with other forms that sometimes contradict each other, mutual need, complementary, and mutual support, which essentially leads to the values of life balance to achieve well-being and mental well-being. From the observations results of the above forms, and if it islinked with the present natural of phenomenon that happens now, appears the interpretation about a meaning that "Mother" who manifested as the universe, now her existence is increasingly apprehensive. The mother who is linked as "bhumi pertiwi" is very fertile and prosperous, her existence has been threatened by the greedy nature of human, especially in fulfilling the need of their life to achieve worldly pleasures. In this case if in the management of natural resources, humans who play a major role as executor has a very important role, if it is not heeding the signs that are oriented to the concept of balance and harmony, then it will affect the social order of society that can pose a threat or social vulnerability, such as fighting between citizens, conflicts and divisions among tribes, religions and other social conflicts, which can destabilize the joints of the nation and state. The concept of balance whose value is implied in the various forms of upakara/sesajenin Bali as described above, and this, if it is examined carefully by interpreting the phenomenon of life that occurs in the environment today, it seems that humanitarian values which concerning with the balance of life and tolerance has been neglected and even abandoned. It is the thing that has touched and awakened consciousness to do research through the art painting expressed into symbolic forms that have philosophical value. The philosophical concept speech is symbolized by combining representational forms with forms of symbolic abstraction wherein pouring its ideas based on the consideration of aesthetic values. Through the application of techniques by using acrylic paints, it is strived to produce unique and specific works of art, able to reflect the authenticity of the art work, that is personal because the novelty values which has personal characteristics, always become an achievement target of artists especially in terms of the quality of ideas and work.

Keywords: Painting, Symbolization, Visual Imagination  

 

(5)

5 PENDAHULUAN

Seni merupakan ekspresi dari emosi jiwa yang di dalamnya terakumulasi berbagai pengalaman estetis yang melahirkan ide-ide kreatif dan imajinatif sebagai suatu ungkapan kemurnian sensitivitas yang mampu menstimulasi daya cipta. Melalui persepsi serta filterisasi terhadap berbagai fenomena yang terjadi dalam lingkungannya, serta didorongan oleh sensibilitas internal melahirkan getaran-getaran intuitif untuk dituangkan ataupun dikomunikasikan secara kreatif, melalui simbol-simbol bahasa rupa. Dalam kaitannya dengan karya seni, Sumardjo mengatakan bahwa: setiap karya seni, sedikit-banyak mencerminkan seting masyarakat tempat seni itu diciptakan. Sebuah karya seni ada karena seorang seniman menciptakannya. Dan seniman itu selalu berasal dan hidup dari masyarakat tertemtu. Kehidupan dalam masyarakat itu merupakan merupakan kenyataan yang langsung dihadapi sebagai rangsangan atau pemicu kreativitas keseniannya. Kemudian lebih lanjut ditegaskan;...”Seorang seniman sebagai bagian dari suatu komunitas masyarakat, berusaha belajar tentang kehidupan dari masyarakat, dididik oleh tata nilai masyarakatnya, dan mengkondisikan dirinya dengan nilai-nilai yang ada di dalamnya. Karena pada dasarnya seorang seniman bekerja berdasarkan pengaruh teks dan pemahaman karya seni yang terdapat dalam tradisi masyarakatnya (2000: 234). Jadi nilai kelayakan dari suatu karya seni terletak pada kepiawaian seniman di dalam menterjemahkan berbagai persoalan serta nilai-nilai yang ada dalam masyarakat lingkungannya ke dalam suatu karya seni, karena ia adalah bagian dari komunitas tersebut. Demikian juga halnya dalam penelitian ini, adalah olah kreativitas ke dalam bahasa rupa yang dilakukan secara kreatif, melalui pemahaman tekstual, yang bersumber dari hasil pengamatan terhadap berbagai fenomena yang terjadi saat ini, serta secara kontekstual menyangkut nilai-nilai kehidupan yang menjadi barometer di era kesejagatan ini, sarat dengan berbagai varian yang penuh warna-warni. Berdasar atas pemahaman tersebut tentu akan dapat dikembangkan berbagai patron-patron yang artistik dengan asosiasi yang simbolik, filosofis serta kreatif.

Bali yang dikenal di berbagai belahan dunia, sebagai pulau dengan seribu Pura yang mana tempat tersebut diyakini telah dihuni oleh para Dewata, karena kesuciannya yang selalu terjaga dan terkondisikan, melalui berbagai pemujaan ritual dengan sarana persembahan upakara yadnya yang telah mentradisi sepanjang masa. Eksotisme Bali, di samping karena memiliki panorama alam yang sangat indah memukau, adat-istiadat maupun tradisi yang sangat unik, juga disebabkan oleh keunggulan seni budayanya yang magis religius, sehingga segala bentuk aktivitas maupun kreativitas seni budayanya tak pernah luput dari bidikan lensa kamera dunia. Hal ini terus berlangsung sepanjang masa, baik sebagai media informasi, promosi ataupun sebagai konsumsi publik, tertutama bagi masyarakat dunia, karena eksistensi pariwisata Bali di bidang adat, seni budaya, selalu menginspirasi masyarakat mancanegara untuk datang dan berkunjung ke Bali. Masyarakat Bali yang religius, dalam hidup kesehariannya tidak bisa lepas dari aktivitas keagamaan (agama Hindu) khususnya yang dalam pelaksanaan ritualnya disebut dengan Panca yadnya. Adapun Panca yadnya tersebut meliputi; Dewa yadnya, Pitra yadnya, Rsiyadnya, Manusa yadnya, dan Bhuta yadnya (Sudharta dan Atmaja, 2001: 62). Implementasi ritual dari Panca Yadnya tersebut, selalu dilengkapi dengan sarana-sarana upakara/banten sesajen yang di dalamnya sarat dengan berbagai bentuk atau gambar-gambar berupa simbol yang memiliki makna religius magis, serta nilai artistik yang tinggi.”...Seni banten adalah seni simbol, di mana benda-benda yang konkrit dan abstrak bisa di buat dalam satu bentuk yang artistik” (Raka, 1977/1978: 21). ”...Semuanya ini adalah perwujudan rasa

bhakti terhadap Tuhan/ Ida Sanghyang Widhi yang dicintainya. Rasa seni yang

(6)

6 melankolik (Raka, 1977/1978: 2 ). Penggunaan simbol mula-mula dilakukan ketika mendirikan bangunan-bangunan yang dihiasi dengan tatahan simbol, bertujuan sebagai penawar malapetaka, dan juga dianggap sebagai rahmat kebahagiaan serta mengandung kesaktian gaib. Berbagai bentuk-bentuk simbol tersebut dapat menyerupai; bentuk Lingga dan Yoni sebagai perwujudan alam semesta beserta isinya, yang dalam perkembangannya digambarkan sebagai langit dan bhumi, ayah dan ibu, laki dan perempuan dan lain sebagainya. Dalam kaitannya dengan upakara yadnya diciptakan bentuk-bentuk sesajen seperti; bentuk daksina sebagai stana Tuhan dan para dewa, sesajen gayah sebagai bentuk persembahan pada alam/bhuta/Bhumi pertiwi, sedangkan sesajen sarad bentuk persembahan yang ditujukan kehadapan Tuhan atas segala kemahakuasaannya.

Demikian juga halnya dengan warna, menurut kitab Dewa Ruci menerangkan bahwa; warna dianggap sebagai simbol/perlambang kesaktian bhatara ( manifestasi Tuhan yang memberikan keselamatan dan perlindungan bagi semua mahluk hidup). Beberapa warna dapat disebutkan di sini antara lain; warna merah, kuning dan hitam adalah lambang penghalang susila atau penghalang bagi manusia yang menjalankan perbuatan baik dan menjadi perintang cipta karsa yang luhur. Warna hitam menjadi lambang sifat lekas naik darah, merah adalah lambang sifat yang mempunyai keinginan-keinginan yang tidak baik, senang marah dan cemburu. Sedangkan warna kuning menjadi lambang sifat menghalang-halangi tindakan baik dan menyetujui tindakan jahat (Ginarsa, 1979: 17). Dari pemaparan di atas, warna-warna tersebut memiliki makna simbolik bagi segala bentuk dan aktivitas keagamaan di Bali, sebagai pedoman hidup dalam mengatur tatanan sosial budaya masyarakat, agar keselarasan pola berpikir dan pola tindakan tidak mengalami benturan antara sesama dan mengacu pada konsep keseimbangan yang dikenal dengan “Tri Hita Karana”.

Arti istilah Tri Hita Karana sebagaimana yang diuraikan oleh Sudarma dalam Suparman (1984:9), ialah satu kesatuan yang terdiri dari tiga unsur penyebab adanya kesejahteraan dan kebahagiaan atau kerahayuan (dalam hidup dan kehidupan mahluk sebagai ciptaan Tuhan). Dengan demikian konsep Tri Hita Karana dalam hal ini bila dikaitkan dengan tatanan hidup masyarakat Bali, bahwa dalam usaha mencapai keseimbangan hidup lahir batin, hendaknya senantiasa diupayakan hubungan harmonis menjadi sekala prioritas yang utama yakni; hubungan antara manusia dengan alam, hubungan manusia dengan sesamanya, demikian juga hubungan manusia dengan Tuhan sebagai pencipta alam semesta ini.

(7)

7 pada pandangan yang intoleransi, kontra produktif serta dapat menimbulkan konflik baik menyangkut persoalan ekologi, SARA, sosial-budaya, ekonomi maupun politik, yang dapat mengundang tindakan anarkis, serta mengancam keutuhan NKRI.

Dalam hubungannya menyangkut persoalan ekologi, upaya-upaya yang dilakukan, dalam kerangka konservasi terhadap pelestarian lingkungan serta eksistensi alam di berbagai belahan dunia, hingga kini dirasakan masih perlu ditinjau dan ditata kembali secara optimal dan berkelanjutan. Langkah preventif semacam ini penting dilakukan mengingat kondisi alam yang semakin rentan dengan berbagai perubahan yang disebabkan oleh ulah sekelompok orang yang ingin mencari keuntungan dengan melakukan eksploitasi terhadap sumber daya alam yang ada tanpa memikirkan lebih jauh akibat yang ditimbulkan oleh perbuatannya itu. Fenomena ini telah menjadi isue yang krusial bagi semua bangsa-bangsa di dunia, “... ketika sebagian besar dari lembaga sosio-ekonomi masyarakat industrial modern didasarkan pada usaha mengejar kemajuan material melalui keterpisahan dari dan sikap menaklukkan alam (Tucker & Grim, 2003: 125-126). Akhirnya terjadi desakralisasi alam di mana alam dipandang sebagai sesuatu yang harus digunakan dan dinikmati semaksimal mungkin, dikuras hingga ke tingkat yang mustahil (Nasr, 1984: 28-29). Fenomena yang dilematis semacam ini nampaknya telah menjadi isue global, yang memerlukan konseptor dari berbagai disiplin ilmu dalam kerangka ikut mengatasi persoalan alam dan ekologi yang dihadapi dunia, guna menemukan solusi terbaik dan tindakan nyata dalam menghadapi krisis multidimensional tersebut.

“Simbolisasi Ibu dalam Ruang Imaji Visual Seni Lukis” yang dimaksudkan dalam penelitian ini, adalah berbagai bentuk yang muncul dimetaforkan sebagai kekuatan ibu Pertiwi/alam semesta ini, yang memiliki daya yang besar menyangkut kebutuhan materi bagi kehidupan manusia, kini keberadaannya telah dikriminalisasi oleh pihak-pihak investor bermodal besar dan cenderung kapitalistik. Hal ini tentu memberikan dampak yang kurang baik bagi kelangsaungan ekologi, sehingga menimbulkan kegelisahan di kalangan masyarakat menyebabkan terjadinya kerawanan sosial yang menimbulkan konflik horisontal. Oleh sebab itu sebagai langkah antisipasif terhadap dampak yang akan ditimbulkan dari persoalan itu, perlu dipikirkan serta ditindaklanjuti melalui aksi nyata untuk menemukan solusi penyelesaiannya. Sudah barang tentu upaya-upaya tersebut hendaknya dilandasi oleh pemahaman terhadap nilai-nilai spiritual yang berlandaskan kepada nilai kebajikan, sebagai prinsip dasar dalam menjaga keserasian, keselarasan dan keseimbang hidup lahir maupun batin demi tercapainya kehidupan yang damai dan jagadhita. Adapun nilai-nilai tersebut dapat dikaji sebagaimana yang telah tersirat pada bentuk-bentuk yang terdapat pada sarana upakara/sesajen dalam upacara keagamaan di Bali, berupa bentuk-bentuk sesajen Gayah, Sarad daging, Caru, yang merupakan wujud persembahan kepada kekuatan Ibu Perttiwi, karena semuanya itu bersumber dari kuasanya dan dipersembahkan kembali kepadaNya sebagai ungkapan rasa syukur dan bhakti. Selain bentuk-bentuk tersebut juga adanya warna-warna yang menunjukkan karakter perbedaan, serta saling bertentangan antara yang satu dengan yang lainnya, yang mencerminkan kebersahajaan, terkadang menyiratkan nuansa magis dengan keberagaman makna yang dikandungnya, namun memiliki sifat yang universal. Bentuk-bentuk yang digambarkan terkadang menyimpang dari bentuk-bentuk nyata, karena merupakan abtraksi dan simbolisasi dari bentuk-bentuk yang ada di alam, seperti misalnya; bentuk dewa-dewa, raksasa (bhuta kala), stilisasi bentuk manusia, gambar binatang yang dikombinasikan dengan gambar khayalan menyerupai totem-totem, tumbuh-tumbuhan seperti bentuk gunungan, kemudian diberi makna sesuai dengan karakter tokoh maupun bentuk sebagai representasi dari simbol yang diinginkan.

(8)

8 di dunia ini, pada dasarnya memiliki dua potensi besar, serta peluang yang saling tarik-menarik dan saling melengkapi yaitu; melakukan strukturisasi/menata (order) yang berorientasi pada penataan kehidupan yang lebih baik berlandaskan kebajikan, di sisi lain adanya penyimpangan yang dapat menimbulkan chaos, yang pada akhirnya melahirkan tindakan anarkis serta menghancurkan tatanan ekologi yang mapan.

Berdasarkan pengamatan dan penghayatan terhadap simbol-simbol yang terdapat pada sarana upakara/sesajen dalam aktivitas ritual masyarakat Bali, dapat dijadikan sebagai subject matter, serta telah memberikan dorongan imajinatif sebagai pemicu terhadap munculnya olah cipta yang variatif ke dalam pencitraan rupa yang kreatif pada karya seni lukis.

“...bahwa dengan keseniannya manusia mengekspresikan pengalaman keindahan atau estetik. Jiwa yang penuh getaran, hati yang terharu, penuh rayuan yang mesra, itulah yang melahirkan kesenian (Driyarkara, 1990: 8).

Berdasar atas pengalaman estetik dari merespon esensi makna yang terkandung dalam simbol-simbol tersebut, telah menstimulasi intuisi dan imajinasi untuk memunculkan sebuah ide-ide melalui gagasan yang kreatif kemudian diekspresikan ke dalam karya seni lukis.

Eksplorasi yang dilakukan melalui hasil pengamatan terhadap simbol-simbol yang terdapat dalam sarana upakara/sesajen pada pelaksanaan upacara di Bali, dapat dijadikan sebagai pengembangan inteleksi dan intuisi untuk membangkitkan imajinasi dengan memaknai karakter, distorsi bentuk, motif, tema, simbol-simbol dan keindahan lainnya. Dengan ini pula dapat diperoleh pemahaman, bahwa secara simbolik tercermin nilai-nilai tentang falsafah kehidupan yang di dalamnya tertuang nilai-nilai pencerahan tentang kebermaknaan alam yang saling melengkapi, serta menjiwai realitas kehidupan ini, berorientasi pada keserasian dan keharmonisan hidup. Secara kontekstual hal tersebut telah memberikan inspirasi dan asosiasi untuk menyikapi fenomena yang terjadi dalam kehidupan masyarakat saat ini, di mana telah terjadi degradasi moral yang cenderung mengarah pada sikap radikalisme maupun intoleran.

Dengan mengkaji fenomena yang ada, pengalaman tersebut di atas memiliki urgensi yang sangat signifikan untuk dapat diekspresikan ke dalam karya seni lukis. Melalui pemanfaatan elemen-elemen visual seni lukis serta prinsip-prinsip penyusunannya yang ditata berdasarkan prinsip keharmonisan, diharapkan mampu melahirkan asosiasi aktual serta kompleksitas pada estetika karya. Dalam upaya mewujudkan gagasan ini, tentunya penekanannya lebih terfokus pada simplisitas simbol, makna simbol, aspek kesatuan dan harmoni antara bagian-bagian dengan keseluruhan, agar dapat menghadirkan ekpresi yang simbolistik tentang “Ibu/alam/bhuta” melalui nilai-nilai kekinian pada karya seni lukis. Sehubungan dengan latar belakang menyangkut fenomena kehidupan masyarakat saat ini, kemudian apabila dilihat dari esensi “Simbolisasi Ibu dalam Ruang Imaji Visual Seni lukis” maka pada penelitian ini dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut; 1) Bagaimana mengartikulasikan makna “Simbolisasi Ibu dalam

(9)

9 Untuk lebih memantapkan konsep terutama dalam membentuk struktur yang memiliki landasan yang kuat dalam penelitian ini, perlu dilakukan pengkajian terhadap sumber-sumber acuan yang dijadikan pedoman dalam menstimulasi sensibilitas, sehingga dapat membangkitkan kesegaran rohani melalui pengalaman estetik yang dialami. Pengalaman tersebut diharapkan dapat memberikan pencerahan dan kesadaran baru tentang kebermaknaan nilai-nilai, serta getaran-getaran intuitif, yang dapat mendorong daya imajinasi untuk melahirkan olah cipta rasa yang kreatif. Adapun referensi yang dujadikan sumber acuan dalam hal ini adalah; sumber kepustakaan berupa buku-buku baik yang tersimpan di museum ataupun di perpustakaan, hasil observasi berupa penjelajahan dan pengamatan terhadap sarana upakara/sesajen yang dipersembahkan pada saat berlangsungnya upacara keagamaan di suatu tempat atau pura. Selain dari pada itu, juga dilakukan kontemplasi terhadap pengalaman yang dimiliki terhadap objek-objek tertentu dapat memberikan rangsangan imajiner, bagi proses penciptaan karya seni lukis.

Pengalaman estetik timbul atas reaksi positif terhadap pemaknaan suatu fenomena yang terjadi di sekitar kita, seperti yang diungkapkan oleh Hartoko (1984: 12), bahwa; Dalam kesenian dan pengalaman estetik itu budi manusia memainkan peranan utama, tetapi bukan budi yang diskursif (yang menganalisa dan bernalar), melainkan yang bersifat intuitif (melihat dalam sekejap mata) dan konotural (karena persamaan dalam sifat dan tabiat). Terjadi semacam interpenetrasi (saling menerobos) antara alam dengan manusia. Kedua belah pihak saling meluluh tanpa ke-hilangan identitasnya masing-masing. Manusia yang merasakan getaran keindahan alam mengadakan semacam identifikasi spiritual dengan alam itu, bahkan alam memasuki kalbunya. Dan sebaliknya: manusia memasuki alam, memeteraikan alam dengan kehadirannya, merasakan keindahan alam itu sejauh alam mengandung unsur-unsur manusiawi, mengandung syarat-syarat yang melambangkan emosi dan pengalaman manusia.

Melalui pengamatan dan eksplorasi yang dilakukan terhadap sarana upakara/sesajen Bali, serta berdasarkan pengalaman estetis yang dialami, kemudian dikaitkan dengan fenomena kehidupan masyarakat dewasa ini, tercetuslah ide-ide kreatif sebagai konsep dasar penciptaan seni lukis, dengan topik “Simbolisasi Ibu dalam Ruang Imaji Visual Seni Lukis”.

Pengertian Simbol

(10)

10 Ibu

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan Ibu adalah, orang perempuan yang telah melahirkan seseorang (1996:364). Sedangkan Ibu dalam kehidupan nyata, yang nampak dalam pengamatan kita hanyalah sosok seorang wanita yang melahirkan kita ke dunia. Namun dalam karya ini, sosok ibu adalah tiada lain adalah alam semesta itu sendiri yang merupakan sumber dari segala sumber yang ada di alam maya pada ini. Segalanya sudah dapat dirasakan, dari rasa cinta dan kasihnya, ketulusannya, yang memberikan kenyamanan hingga kesejahteraan yang tiada tara. Semua yang ada di dunia ini lahir dari rahim sucinya, beliaulah sakti dari segala kesaktian yang ada. Anugerah yang dilimpahkan kepada anak-anak manusia ini yang bersumber dari alam, layaknya air susu ibu yang terus mengalir untuk kehidupan anak-anak bangsa dan dunia (Yudha, 2017:20). Diuraikan lebih lanjut bahwa; Ibu sebagai bumi tempat kita berpijak yang amat indah dengan beragam kekayaan alamnya disimbolkan dengan sosok seorang ibu yang tertidur dengan keanggunannya dan akan selalu senantiasa melindungi anak-anaknya dari panas, hujan, kelaparan dan segala bahaya yang akan terjadi. Begitutah kisah kasih dari sosok ibu yang divisualisasikan lewat karya ini, yang memberikan pencerahan kepada umat manusia agar mata dan hatinya terbuka, agar selalu sadar dan insyaf bahwa; betapa besarnya pengorbanan ibu bagi anak-anak manusia yang lahir di bumi ini, yang seyogyanya dihargai, dihormati, serta dijaga keutuhannya melalui pengabdian yang tulus serta kasih yang sejati bagi kedamaian semesta dan ciptaannya. Gagasan ini terinspirasi dari hasil pengamatan serta renungan terhadap fenomena alam yang indah dan menakjubkan, membuat hati menyatu dalam damai, terkadang kesejukan dan kesunyiannya mengisyaratkan, seolah-olah jiwa menjadi luluh dininabobokan oleh buaian kasihnya yang lembut membahagiakan. Begitulah kasih ibu yang sejati dalam wujudnya sebagai alam yang indah dan makmur, telah mensejahterakan anak-anak bangsa ini. Moment estetik ini sangat penting untuk divisualisasikan ke dalam karya seni lukis karena alam telah memberikan segalanya kepada umat manusia, dari hasil bumi yang menjadi konsumsi pokok buat kehidupan manusia di bumi ini, sampai pada nilai-nilai keindahan dan keteraturannya yang melekat pada alam tersebut telah mampu menyejukan jiwa-jiwa manusia yang keruh dan kering (Yudha, 2016:20). Berdasar atas uraian tersebut, sehubungan dengan penelitian ini, akan mengetengahkan bentuk-bentuk imajinatif sebagai manifestasi fisik dari obyek-obyek yang memberikan rangsangan ide-ide. Dalam visualisasi objek akan muncul bentuk-bentuk simbolik sebagai manifestasi dari dualisme kehidupan yang selalu saling melengkapi. Bentuk-bentuk di sini disamping untuk mewakili kenyataan-kenyataan atas fenomena yang terjadi, juga sebagai upaya untuk mencari dan menemukan simbol-simbol baru yang representatif dengan ide-ide yang ingin diwujudkan.

Imajinasi

(11)

11 minyak pada kanvas. Dengan begitu lebih jelaslah bahwa istilah imajinasi umumnya diterapkan pada suatu proses mental, bukan pada proses visual-jasmaniah yang dilakukan seketika itu juga oleh manusia. Namun kelak akan tampak bahwa proses visualisasi-jasmaniah tertentu dapat diimajinasikan, meskipun imajinasi tetap tidak sama dengannya (Tedjoworo, 2001: 21-22).

Pentingnya Imajinasi dapat diuraikan meliputi; a) Kekuatan imajinasi memainkan peranannya yang sangat penting sebagai imajinasi kreatif. Ini penting untuk pemikiran yang produktif, untuk inspirasi yang penting bagi ilmu pengetahuan, seni, teknik dan agama. b) Dalam halnya manusia, semua pikiran baru secara alamiah membutuhkan bantuan imajinasi dengan kebebasannya untuk bermain mengitari ide-ide. Tentu saja inspirasi baru harus diuji dengan teliti dan di tes sungguh-sungguh, karena unsur irasional dalam menggunakan imajinasi dapat menghasilkan baik sesuatu yang omong kosong maupun seorang jenius. c) Dalam bidang ilmu pengetahuan, imajinasi membantu ilmuwan untuk mengetahui dunia dengan memasukan hipotesis, konsepsi, gagasan untuk bereksperimen. Dalam bidang seni, imajinasi memegang peranan penting secara istimewa. Bagi seorang seniman, imajinasi tidak hanya membantunya untuk suatu generalisasi, tetapi sebagai kekuatan yang memanggilnya agar menghidupkan gambar-gambar seni yang penuh arti, yang mencerminkan realitas secara artifisial (Bagus, 2002: 319). Pengertian imajinasi yang dimaksud dalam penelitian ini, adalah suatu upaya pencapaian gambaran (imaji) atau konsep-konsep mental yang tidak secara langsung didapat dari sensasi-sensasi pengindraan dari suatu fenomena yang dijadikan sebagai subjek-matter. Imaji adalah suatu proses spontanitas yang secara spontan juga menciptakan maknanya sendiri, hal ini diupayakan untuk mendapatkan esensi dan karakter dari objeknya melalui pengamatan, kontemplasi terhadap pengalaman estetik yang dimiliki.

Ruang

Berkaitan dengan pemikiran tentang ruang ditegaskan juga oleh Sumardjo dalam Arkeologi Budaya Indonesia, (2002:85), menyebutkan bahwa; (1) pandangan subyektif tentang ruang itu konsep subyektif saja, tanpa realitas. dengan perkataan lain, tempat dan ruang adalah konsep tanpa dasar obyektif. Karena itu hanya bentuk subyektif dalam persepsi; (2) Pandangan positivisme berpendapat bahwa ruang dan waktu tidak mempunyai arti. Alasannya, keduanya bukan realitas empiris yang dapat dibuktikan dengan metode-metode empiris ilmiah; (3) Pandangan realistis-ekstrem mengatakan bahwa ruang itu tak terbatas, abadi, tak terobservasi, dan menjadi syarat kemungkinan ekstensi, namun tidak sama dengan ekstensi. Ruang terbagi dua, yakni ruang yang memuat dunia, dan ruang yang kosong di seberang; (4) Pandangan ke empat mengatakan bahwa ruang adalah riil sejauh terdapat keluasan berdemensi dengan panjang, lebar, dan tingginya. Ruang absolut tidak ada karenanya harus ditolak; ia realitas berbeda dengan substansi kosmis.

(12)

12 fenomena, sedangkan dalam imajinasi ruang, ruang bukan sekedar latar, lokasi ataupun tempat terjadinya peristiwa pengindraan. Ruang di sini merupaka konsep-konsep virtual yang tak terjelaskan dan tidak terpahami secara nyata, sebagai upaya untuk membahasakan ruang adalah suatu asumsi imajiner dari permainan ilusi.

Tinjauan Bentuk dan Makna Simbolik Sarana Upakara/ Sesajen Bali.

Sebagaimana diketahui bahwa di Bali, seni adalah merupakan bagian yang integral dari kehidupan bermasyarakat, karena seni, agama, dan adat istiadat adalah menyatu dalam segala aktivitas ritual masyarakat Bali. Kenyataan ini berdampak pada segala kegiatan yang berbasis keagamaan mendapat prioritas dan di laksanakan secara bersama-sama dengan penuh rasa kebersamaan dan tanggung jawab serta didasari oleh rasa asah, asih dan asuh, sagilik, saguluk salunglung, sabayantaka, paras-paros sarpanaya (rasa persaudaraan yang penuh pengertian).

Adapun pelaksanaan dari kegiatan ritual tersebut diwujudkan dengan penyelenggaraan upacara. Selanjutnya di dalam penyelenggaraan suatu upacara akan diperlukan perlengkapan-perlengkapan yang disebut upakara (Putra, 1982:3). Kemudian diuraikan juga bahwa; ... bila diperhatikan lebih lanjut, maka perlengkapan-perlengkapan sesuatu upakara yang diperlukan dalam suatu upacara tidak sama baik jumlah maupun jenisnya, ini tergantung pada; desa (tempat), kala (waktu), patra (keadaan/situasi). Berbagai jenis

upakara/banten dalam kaitannya dengan pelaksanaan upacara di Bali dapat disebutkan di

antaranya; Banten Pulagembal yaitu Banten/upakara yang dipergunakan pada saat upacara Manusa yadnya, khususnya dalam memperingati hari kelahiran seseorang, sedangkan bentuk banten/sesajen Pulagembal yang lebih besar disebut dengan Sarad, dipakai pada saat pelaksanaan upacara Dewa yadnya untuk memperingati upacara “piodalan” Pura, sebagai suatu penghormatan terhadap para leluhur. Banten/sesajen jenis ini terdiri dari berbagai jenis kue/jajan berwarna-warni yang memiliki makna simbolis tentang alam semesta beserta isinya. Masing-masing jajan/kue tersebut meliputi:

Jajan yang termasuk isi lautan, tumbuh-tumbuhan, bunga, melukiskan bangunan suci, sesajen, melukiskan taman, melukiskan waktu, dan melukiskan senjata dari sembilan Dewa penguasa penjuru mata angin ( Putra, 1982: 53-54).

(13)

13 “... Reinterpretasi ini menjadi penting dan urgen manakala dilihat adanya kesenjangan antara berbagai pandangan bijaksana itu berhenti hanya sebagaiwacana yang dengan rajin dikutip dan diucapkan orang di mana-mananamun dalam kenyataan dan implementasi prilaku kurang menunjukan serta mengejewantahkan nilai kebijakan yang sebenarnya. Pendapat di atas lebih menegaskan betapa pelaksanaan nilai-nilai kearifan menjadi lebih penting ketimbang harus mengurai wacana, dan perlu dilanjutkan ke tingkat penghargaan/ruang apresiasi untuk bisa menghargai nilai-nilai yang dikandungnya dengan cara yang tepat dan kontekstual.

METODE PENELITIAN

Dalam proses penelitian seni lukis ini, diperlukan suatu metode untuk menguraikan secara rinci tahapan-tahapan yang di lakukan dalam proses perwujudan karya seni. Melalui pendekatan-pendekatan dengan disiplin ilmu lain, dimaksudkan agar selama dalam proses penciptaan dapat dijabarkan secara ilmiah dan argumentatif. Dalam kaitan ini Sachari (2000: 223), menguraikan bahwa selama ini penelitian yang bersifat proses penciptaan dengan bahasa rupa dapat dikelompokkan dalam dua katagori, yaitu kajian estetik dan proses desain. Dalam kajian estetik jurus-jurus yang sering dipakai oleh seniman dan perancang dalam penggalian ide dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan: a). heurostik: spontanitas dan kreatif; b). semantik: metafor atau kepatutan; c). sinektik: analogi atau fantasi; d). semiotik: pengkodean atau penandaan; e). simbolik: pemaknaan atau penyimbolan; f). holistik: bersifat universal dan global; g). tematik: pendekatan tema tertentu; h). hermeneutik: tafsiran atau interpretasi.

(14)

14 Tahap-Tahap Penelitian

Eksplorasi pada tahapan awal penciptaan seni lukis ini, yaitu melakukan pengamatan dan pencermatan terhadap bentuk dan nilai-nilai simbolik pada bentuk-bentuk Upakara/sesajen Bali, yang di dalamnya terkandung ajaran-ajaran spiritual tentang nlai-nilai filosofis tentang Ibu (Ibu Pertiwi) sebagai simbol dari alam itu sendiri untuk dijadikan sumber inspirasi. Pengamatan tersebut dilakukan dengan mengamati langsung ke tempat pemujaan/Pura di Bali, ke rumah penduduk masyarakat Bali yang melaksanakan upacara keagamaan. Di samping itu dalam penelitian ini juga dilakukan pengkajian buku-buku referensi yang memuat berbagai informasi tentang jenis-jenis upakara/sesajen Bali, yang tersimpan di museum-museum purbakala di Bali, sedangkan yang terkait dengan karya cipta, observasi dilakukan di Gallery Seni yang ada di Bali, untuk dikaji secara kekaryaan baik dari segi teknis maupun konsep/pandangan seniman terhadap alam dan lingkungan yang tercermin pada karya ciptanya.

Eksperimentasi

Dalam melakukan eksperimentasi, ada lima komponen kreativitas produksi dari gagasan baru yang bernilai yang ditawarkan oleh Sternberg dan Lubant dalam Myers, (2004: 102-104), meliputi: komponen pertama adalah keahlian, komponen kedua adalah keterampilan-keterampilan berpikir imajinatif,

komponen ketiga adalah kepribadian yang senang bertualang, komponen keempat adalah motivasi intrinsik, komponen yang kelima adalah lingkungan yang kreatif. Kelima gagasan di atas telah memberikan dorongan batin untuk menumpahkan segala kegelisahan dengan melakukan sketsa-sketsa kreatif dan improvisatif dari b kertas, tinta cina dan pensil, agar pengalaman yang terekam dalam memori, kemudian terstimulasi, untuk menggali imajinasi yang ada, sehingga melahirkan motif-motif yang kreatif untuk dijadikan gagasan dalam karya seni lukis.

Pembentukan

Tahap pembentukan ini dilakukan melalui transformasi dari sketsa-sketsa terpilih, kemudian direkonstruksi dan dielaborasi pada bidang kanvas. Dalam hal ini, kadang kala terjadi perubahan terhadap rancangan sketsa sebelumnya, karena dalam proses kreatif pasti akan melibatkan intuisi untuk melakukan terobosan-terobosan baru terhadap berbagai aspek. Aspek-aspek yang dimaksud adalah pengolahan komposisi, pewarnaan, aplikasi tekstur, pembagian komposisi bidang ataupun ruang sehingga kebutuhan ekspresi dapat dielaborasi secara optimal. Dengan menyusun anasir-anasir kekuatan garis serta memanfaatkan kemampuan teknik pewarnaan plakat (opaque), maka figur-figur yang ditampilkan mampu menghadirkan asosiasi tematis yang mendukung gagasan, sebagai upaya menemukan keunikan visual karya untuk pencapaian orijinalitas (authenticity of the art work).

HASIL DAN PEMBAHASAN

(15)

15 Judul Karya: Energi Kosmik, 2016

Karya: I Made Bendi Yudha Bahan: Cat Akrilik pada kanvas

Ukuran: 145 Cm X 95Cm

Deskripsi Karya

Energi Kosmik yang melingkupi; Shakti, Sidhi, Suci yang bersumber dari energi alam semesta ini, kini menjadi sebuah fenomena yang sangat membumi dari sekian banyak fenomena yang muncul saat ini, bahkan ini telah diyakini oleh sebagian besar orang bahwa, hal itu merupakan sarana yang jitu serta ampuh dalam mengisi serta menambah kekuatan material maupun spiritual dalam mencapai suatu tujuan. Hal ini nampak jelas bila diamati secara seksama pada kondisi maupun situasi yang terjadi di masyarakat saat ini, di mana mereka lebih mementingkan kekuatan untuk mencapai keunggulan phisik/material; “ shakti ataupun sidhi ” dibandingkan nilai spiritualnya yang berorientasi pada nilai kesucian. Dengan kata lain, melalui keyakinan dan kuasa ego material ataupun kekuatan phisik yang dimiliki, semua tujuan bahkan segala aspek kekuatan maya seperti; kekuatan (unggul dalam bidang ekonomi), kesaktian (tidak terlukai oleh senjata apapun, bahkan tidak terkalahkan oleh kekuatan roh ataupun ilmu gaib lainnya, semua tujuan dan keinginan pasti mampu terpenuhi dan dinikmati, walaupun harus mengabaikan nilai-nilai spiritual, kemanusiaan yang mendamaikan ataupun mensejahterakan.

(16)

16 yang dimilikinya dan akhirnya gelap serta jatuh ke lembah kenistaan, lalu hancur dan kembali ke alam material yang penuh impian dan menyengsarakan.

SIMPULAN

“Simbolisasi Ibu dalam Ruang Imaji Visual Seni Lukis” yang terinspirasi dari bentuk-bentuk sarana upakara/banten atau sesajen Bali adalah berbagai simbol dari alam/ibu pertiwi beserta isinya yang di dalamnya terkandung energi dan zat-zat saling bertentangan serta dapat mempengaruhi jiwa san sifat manusia dalam kehidupan bermasyarakat sebagai cerminan dua kekuatan besar yaitu antara yang konstruktif dengan distorsif serta selalu menjiwai kehidupan ini.Hal ini bagi masyarakat Bali diyakini sebagai dua unsur kekuatan besar yang selalu ada dalam kehidupan ini, saling tarik-menarik serta saling melengkapi antara satu dengan lainnya. Konsepsi dualistis dalam kehidupan masyarakat Bali, yang tertuang dan tergambarkan pada bentuk-bentuk sarana upakara/banten atau sesajen, berisikan berbagai hal menyangkut kehidupan dua dunia baik nyata maupun tidak nyata, material maupun spiritual. Padangan filosofis semacam ini adalah merupakan tuntunan yang mengandung esensi penting dan mendasar, serta tak terpisahkan bagi terwujudnya tatanan kehidupan socio-cultural masyarakat Bali yang berorientasi pada prinsip-prinsip pencapaian keseimbangan hidup lahir maupun batin, sebagaimana yang tertuang dalam konsep Tri Hitakarana, agar terciptanya kehidupan yang santhi dan jagadhita.

Simbolisasi Ibu/alam semesta beserta isinya sebagai sebuah konsep dasar penciptaan seni lukis ini, merupakan hasil pengkajian dan pemaknaan terhadap nilai-nilai yang diilhami oleh bentuk-bentuk sarana upakara/banten atau sesajen Bali, telah memberikan rangsangan intuitif serta membangkitkan ruang imaji kreatif dalam berolah seni. Hal ini dilakukan secara optimal sebagai daya upaya dalam menemukan corak/gaya yang unik pada karya seni (authenticity of the art work) yang diciptakan. Berkaitan dengan penelitian seni lukis ini abstraksi dan imajinasi dijadikan sebagai sebuah teks berupa simbol-simbol, yang secara kontekstual diharapkan mampu mencerahkan maupun menjembatani segala isu problematik tentang alam dan lingungan/Ibu Pertiwi, yang memprihatinkan masyarakat dunia saat ini. Ungkapan olah cipta dan rasa yang dituangkan lewat bahasa visual seni lukis, adalah sebagai bagian dari sebuah teks yang kemudian diartikulasikan secara rinci, menyangkut persoalan-persoalan kontektual yang terjadi saat ini. Perwujudan visual karya, diekspresikan melalui seleksi, rekonstruksi, elaborasi, bahkan terkadang di reimajinasi kembali dengan mengaplikasikan berbagai teknik serta penataan terhadap elemen seni rupa, lebih menekankan pada intensitas untuk mencapai kualitas baik “bentuk maupun isi” dari karya seni yang diciptakan agar mencapai tujuan yaitu terciptanya karya seni yang unik, individual serta simbolistik.

DAFTAR PUSTAKA

Atmaja, Jiwa. (2003), Perempatan Agung: Menguak Konsepsi Palemahan Ruang Dan Waktu Masyarakat Bali, CV. Bali Media Adhikarsa, Denpasar, Bali. Djelantik, A.A.M. (1990), Pengantar Ilmu Estetika: Estetika Instrumental, Sekolah Tinggi Seni Indonesia Denpasar, Denpasar.

Hadi, Sumandyo Y. (2003). Mencipta Lewat Tari, Mantili, Yogyakarta, Driyarkara. (1980), Driyarkara Tentang Kebudayaan, Yayasan Kanisius, Yogyakarta.

Feldman, Edmund Burke. (1967), Art as Image and Idea, Prentice-hall, Inc. Englewood Cliffs, New Jersey, atau “Seni Sebagai Ujud dan Gagasan” terjemahan SP. Gustami. (1991), ISI Yogyakarta, Yogyakarta.

(17)

17 Hooykaas,C. (1980), Drawings of Balinese Sorcery, Institut of Religius

Iconography State University Groningen Leiden E.J. Brill.

Kartika, Sony Dharsono. (2004), Seni Rupa Modern, Rekayasa Sains, Bandung. Nars, Seyyed Hossein. (1984), Antara Tuhan, Manusia dan Alam, IRCiSoD, Yogyakarta.

Read, Herbert. (1959), The Meaning of Art atau Seni Arti dan Problematiknya. terjemahan, Soedarso Sp., (2000), duta Wacana University Press, Yogyakarta.

Sachari, Agus. (2000), “Riset Bidang Disain dan Kesenirupaan” dalam Refleksi Seni Rupa Indonesia. Balai Pustaka, Jakarta.

Sidik, Fadjar dan Aming Prayitno. (1979), Disain Elementer, STSRI ASRI, Yogyakarta.

Soedarsono RM. (2001), Metodologi Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, Bandung.

Soedarso SP. (1990), Tinjauan Seni: Sebuah Pengantar Untuk Apresiasi Seni, Saku Dayar Sana, Yogyakarta.

Sudharta, Tjok Rai. (2001), Upadesa: Tentang Ajaran-ajaran Agama Hindu, PARAMITA Surabaya, Surabaya.

Sumardjo, Jakob. (2000a), Filsafat Seni, ITB, Bandung.

Sumartono. (April 1992), “Orisinalitas Karya Seni Rupa dan Pengakuan Intenasional” dalam SENI,Jurnal Pengetahuan dan Penciptaan Seni. II/02. BP ISI, Yogyakarta. Sutrisno, Mudji SJ. (2004), Ide-Ide Pencerahan, Obor (Anggota IKAPI), Jakarta.

Sunarya, I Ketut. (2004), “Konsep Rwa Bhineda Seni Kriya di Bali: Studi Kasus Ukiran Kayu Karya I Ketut Tulak”, Tesis, Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Yogyakarta.

Sutrisno, Mudji SJ. (2004), Ide-Ide Pencerahan, Obor (Anggota IKAPI), Yogyakarta. Tedjoworo. (2001), Imaji dan Imajinasi: Suatu Telaah Filsafat Postmodern, Kanisius,

Yogyakarta.

Titib, I Made. (2001), Teologi & Simbol-Simbol dalam Agama Hindu, Badan Litbang Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat, PARAMITA Surabaya, Surabaya.

Tucker, Mary Evelyn & John A. Grim. (2003), Agama, Filsafat, & Lingkungan Hidup, Kanisius, Yogyakarta.

Wisetrotomo, Suwarno. (1998), Melacak Garis Waktu dan Peristiwa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.

Yudha, Bendi I Made. (2016). “Fine Art Exhibition Poem of Colors” Katalogus, Neka Art Museum, Fine Art Program, Faculty of Visual Art And Desain Indonesia Instritute of the Arts, Denpasar, Denpasar

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mengetahui stabilitas terhadap campuran aspal, maka dalam pengujian ini digunakan serbuk keramik yang dicampur ke dalam agregat halus dengan komposisi 10%, 15%,

Hasil penelitian tentang gambaran pelaksanaan metode keperawatan tim yaitu ada lima tema yaitu (1) Ada pembagian tanggung jawab menangani pasien, (2) Keterbatasan tenaga

Berdasarkan pembahasan di atas, dalam novel Calabai karya Pepi Al- Bayqunie mengandung kecerdasan moral yang direpresentasikan oleh tokoh utama bernama

Selain itu pengaruh pengadukan merupakan salah satu penyebab persentase kesalahan pada model 1 (satu) ini semakin besar karena pengadukan ini membuat lapisan liquid film

Proses yang dilakukan pada penilaian visus myopia secara terurut terdiri dari pengambilan frame-frame mata dari tiap-tiap huruf snellen yang ditampilkan, penentuan

Bidang dan Kegiatan Usaha Perdagangan batubara dan pertambangan batubara melalui Anak Perusahaan pemegang 12 (dua belas) Izin Usaha Pertambangan pada Wilayah IUP di Provinsi

Begitu hebatnya tenaga yang dapat dihasilkan oleh bom atom, jika dilihat dari sejarahnya bom atom digunakan sebagai senjata ampuh dalam peperangan, tetapi nuklir

Hasil penelitian ini adalah anak terlantar di Kota Surabaya memiliki kondisi sosial ekonomi direpresentasi kondisi perekonomian yang miskin, pendidikan rendah,