• Tidak ada hasil yang ditemukan

SIKAP POSITIF TERHADAP PENDIDIKAN SEKSUAL DAPAT MENCEGAH PELECEHAN SEKSUAL DAN KEKERASAN PADA SISWA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SIKAP POSITIF TERHADAP PENDIDIKAN SEKSUAL DAPAT MENCEGAH PELECEHAN SEKSUAL DAN KEKERASAN PADA SISWA"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

SIKAP POSITIF TERHADAP PENDIDIKAN SEKSUAL DAPAT MENCEGAH PELECEHAN SEKSUAL DAN KEKERASAN PADA SISWA

Oleh : Ismah

Universitas PGRI Semarang

Jl. Honggowongso RT. 01 RW.02 Ngaliyan Semarang. 085229144681 Abstrak

Tulisan ini dilatarbelakangi pandangan tabu dalam membicarakan seksualitas. Hal ini ditunjukan dengan kurang menempatkan seks sesuai fungsi dan tujuan, menganggap seks jijik, tabu dan jorok. Dengan beberapa hal tersebut membuat remaja kurang bersikap positif terhadap pendidikan seksualitas. Salah satu alternatif yang dapat memberikan informasi yang positif terhadap remaja tentang seksualitas yaitu dengan memberikan pengetahuan tentang sikap positif terhadap pendidikan seksualitas.

Permasalahan yang diungkap dalam tulisan ini adalah Apakah pandangan tabu tentang pendidikan seksualitas dapat diubah melalui pengetahuan sikap positif terhadap pendidikan seksualitas. Tujuan dalam penulisan ini adalah dengan pengetahuan tentang sikap positif terhadap pendidikan seksualitas dapat menghilangkan atau mengurangi sikap orang tua atau guru yang menganggap bahwa pendidikan seks itu jijik, tabu atau jorok.

Pada kajian ini dapat dianalisis bahwa: Pengetahuan tentang Sikap Positif Terhadap Pendidikan Seksual dapat Mencegah Pelecehan Seksual dan Kekerasan pada siswa/remaja.

Saran yang dapat penulis sampaikan kepada guru pembimbing atau orang, hendaknya memberikan sikap positif terhadap pendidikan seksualitas. Agar anak-anak mereka terhindar dari perbuatan yang tidak diinginkan yaitu seperti pelecehan seksual atau kekerasan yang dilakukakan pada teman-teman sebaya. Kata Kunci : Pendidikan Seksualitas, Sikap Positif, Pelecehan dan Kekerasan

(2)

I. Pendahuluan

Remaja atau siswa adalah individu pada masa peralihan baik secara fisik maupun psikis secara cepat. Pada mulanya, tanda-tanda perubahan fisik dari masa remaja terjadi pada periode pubertas. Periode ini terjadi perkembangan alat-alat dan hormon seksualitas yang akan mempengaruhi kondisi psikis remaja. Dapat dikatakan pada periode pubertas ini terjadi kematangan organ-organ seks dan kemampuan reproduksi yang bertambah cepat. Hurlock (2002:212) menjelaskan bahwa pada masa remaja terjadi periode badai dan tekanan, dimana terjadi ketegangan emosi yang meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar. Di samping remaja berkembang secara fisik dan psikologis (emosi) dalam keadaan seperti itu berkembang pula dunia psikososial remaja yang semakin kompleks. Masa remaja merupakan masa penuh gejolak, pada masa ini rasa ingin tahu tentang masalah seksualitas sangat tinggi, baik dari dirinya sendiri maupun dari lingkungan mereka tinggal.

Sarlito (dalam Zainun, 2002:3), secara umum, pendidikan seksualitas adalah informasi mengenai persoalan seksualitas manusia yang jelas dan benar yang meliputi proses terjadinya pembuahan, kehamilan sampai kelahiran. Berdasarkan hasil penelitian oleh Dempsey (2002) tentang pendidikan seksualitas dianalisa mengenai remaja pernah atau tidak pernah mendapatkan pendidikan seksualitas. Berdasarkan hasil analisa data sebanyak 102 orang (70,8%) mengatakan pernah mendapatkan pendidikan seksualitas, sebanyak 42 orang (29,2%) tidak pernah mendapatkan pendidikan seksualitas. Siswa yang mendapat pendidikan seksualitas di sekolah sebanyak 63 orang (43,75%), di rumah (keluarga) sebanyak 9 orang (6,25%), dari penyuluhan sebanyak 10 orang (6,94%), dari teman satu sekolah sebanyak 13 orang (9,03%) dan lain-lain seperti seminar sebanyak 7 orang (3,47%).

Banyak remaja sekarng memperoleh informasi mengenai seksualitas di peroleh dari teman, internet atau VCD porno, sangat sedikit sekali pendidikan seksualitas yang mereka peroleh dari orang tua atau guru atau buku pengetahuan mengenai seksualitas. Karena banyak orang tua atau guru sebagian besar yang

(3)

masih di pedesaan kalau ditanya tentang pendidikan oleh anaknya, orang tua sering bilang : “ kamu belum waktunya mengetahui hal itu karena kamu masih kecil”, atau “ Huss itu saru”, adalagi “kayak gitu urusan orang tua” dan masih banyak jawaban lagi yang kadang tidak masuk akal, dan anak tidak berani memberontak, pada akhirnya banyak anak remaja mencari informasi tentang sex dilingkungan pergaulannya yang mana informasi tersebut belum tentu benar.

Pendidikan seksualitas mempunyai ruang lingkup yang luas, tidak terbatas pada perilaku hubungan seksual semata, tetapi menyangkut pula seperti peran laki-laki dan perempuan dalam masyarakat, hubungan dalam pergaulan remaja dan lain-lain. Selain hal di atas, pendidikan seksualitas diperlukan untuk memenuhi rasa keingintahuan remaja tentang seksualitas dari berbagai tawaran informasi yang vulgar dengan cara pemberian informasi tentang seksualitas yang benar, jujur dan sesuai perkembangan anak.

Pada masa remaja, informasi tentang masalah seksualitas sudah seharusnya diberikan, agar remaja tidak mencari informasi dari orang lain atau sumber-sumber yang sama sekali tidak jelas. Pemberian informasi masalah seks menjadi penting, terlebih mengingat remaja berada dalam masa krisis. Jika informasi yang di dapat berasal dari sumber yang tidak tepat, maka akan sangat berbahaya dan dapat berdampak pada perkembangan psikis remaja. Remaja dalam mencari informasi tentang seksualitas diharapkan orangtua atau guru dapat membimbingnya, supaya tidak salah dalam mencari informasi.

Seiring perkembangan zaman, pandangan sebagian masyarakat yang menganggap seksualitas merupakan hal yang tabu untuk dibicarakan secara terbuka, nampaknya perlu pelan-pelan untuk dirubah, walaupun nanti akhirnya akan diketahui sendiri secara alamiah. Pandangan yang semulan tabu, seyogyanya harus diluruskan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan oleh generasi penerus bangsa ini. Kecenderungan menganggap seksualitas sebagai hal yang tabu, akan mengkhawatirkan terjadi perilaku mencoba dan meniru yang tidak sesuai dengan aturan masyarakat. Salah satu contoh misalnya berbagai berita di media massa akhir-akhir ini tentang seks bebas, VCD porno dan prosentase remaja di tempat lokalisasi meningkat. Ketergantungan pada pornografi dan

(4)

pornoaksi, seks bebas, hamil diluar nikah, atau terkena penyakit menular seksual adalah beberapa contoh kenyataan pahit yang sering terjadi pada remaja akibat pemahaman keliru mengenai seksualitas.

Seksualitas lebih merupakan fenomena multidimensi yang terdiri atas aspek biologis, psikososial, perilaku klinis, moral dan budaya. Dalam penyampaian informasi tentunya berangkat dari kesiapan untuk bersikap dalam menghadapi masa peralihan, yang diharapkan dapat ditanamkan sikap positif dan akan membuat perilaku remaja menjadi positif pula (Prihatini, 2002:5). Hanya sedikit remaja yang berharap bahwa seluk beluk seksualitas dapat dipelajari dari orang tuanya (Hurlock, 2002:226). Pada kenyataannya tidak semua remaja mendapatkan informasi seksualitas tersebut, sehingga remaja berusaha mancari dari berbagai sumber yang dapat diperoleh misal dari buku tentang seksualitas, membahas dengan teman, media massa atau internet.

Kehidupan kita sehari-hari dipengaruhi oleh sikap, baik sikap kita terhadap diri kita maupun sikap kita terhadap orang lain. Slameto (2010:188) menjelaskan sikap merupakan suatu yang dipelajari dan sikap akan menentukan bagaimana individu bereaksi terhadap situasi serta menentukan apa yang dicari individu dalam kehidupan. Sikap selalu berkenaan dengan objek dan sikap terhadap objek ini disertai dengan perasaan yang positif dan negatif. Orang hanya dapat mempunyai sikap terhadap hal-hal yang diketahuinya jadi hanya sekedar informasi untuk dapat bersikap terhadap suatu objek. Informasi merupakan kondisi pertama untuk menentukan sikap. Bila berdasarkan informasi untuk timbul perasaan positif atau negatif terhadap objek dan menimbulkan kecenderungan untuk bertingkah laku tertentu maka terjadilah sikap.

Pendidikan seksualitas diperlukan untuk menjembatani antara rasa keingintahuan remaja tentang seksualitas dari berbagai tawaran informasi yang vulgar dengan cara pemberian informasi tentang seksualitas yang benar, jujur, lengkap dan disesuaikan dengan kematangan usianya, supaya pada akhirnya dapat dihindari terjadinya pelecehan seksual dan kekerasan. Pendidikan seksualitas diharapkan mampu meningkatkan pengetahuan remaja tentang seksualitas dan dampak negatif dari perilaku seksual yang menyimpang sehingga mampu

(5)

membentuk sikap positif remaja terhadap upaya untuk menghindari perilaku seksual yang menyimpang atau pelecehan seksual.

Zainun (2002:3) menjelaskan bahwa dalam penyampaian materi pendidikan seksualitas ini seharusnya diberikan sejak dini ketika anak sudah mulai bertanya tentang perbedaan kelamin antara dirinya dan orang lain, berkesinambungan dan bertahap, disesuaikan dengan kebutuhan dan umur anak serta daya tangkap anak. Pendidikan idealnya diberikan pertama kali oleh orangtua di rumah, mengingat orangtua lah yang mengetahui kondisi anak-anak mereka. Tetapi sayangnya di Indonesia tidak semua orangtua mau terbuka terhadap anak di dalam membicarakan permasalahan seksual. Selain itu tingkat sosial ekonomi maupun tingkat pendidikan yang heterogen di Indonesia menyebabkan ada orang tua yang mau dan mampu memberikan penerangan tentang seks tetapi lebih banyak yang tidak mampu dan tidak memahami permasalahan tersebut.

Sikap positif terhadap pendidikan seksualitas akan memungkinkan indidivu lebih dapat menempatkan seks sesuai dengan fungsi dan tujuan. Tidak menganggap seks itu jijik, tabu dan jorok. Sikap positif mengenai seks adalah menganggap bahwa seks adalah dorongan alami dan normal. Hanya saja, anggapan itu perlu diarahkan sesuai norma dan etika. Hal selanjutnya yang dapat dilakukan tidak menjadikan pembicaraan mengenai seks sebagai bahan candaan atau obrolan murahan misalnya berbicara seks dengan teman atau didepan umum (Rintyastini, 2005:43).

II. Landasan Teori Sikap Positif terhadap Pendidikan Seksualitas 1. Pengertian Sikap Positif terhadap Pendidikan Seksualitas

Ahmadi (2007:153) mengemukakan bahwa sikap positif merupakan sikap yang menunjukkan atau memperlihatkan, menerima, mengakui, menyetujui, serta melaksanakan norma-norma yang berlaku di mana individu itu berada. Sehubungan dengan itu pula penulis cenderung untuk mengemukakan pengertian

(6)

sikap sebagai kesiapan merespon yang sifatnya positif atau negatif terhadap objek atau situasi secara konsisten.

Winarti (2007:13) sikap positif merupakan perwujudan nyata dari suasana jiwa yang terutama memperhatikan hal-hal yang positif. Ini adalah suasana jiwa yang lebih mengutamakan kegiatan kreatif dari pada kegiatan yang menjemukan, kegembiraan dari pada kesedihan, harapan daripada keputusasaan. Bila sesuatu terjadi sehingga membelokkan fokus mental seseorang ke arah negatif, mereka yang positif mengetahui bahwa guna memulihkan dirinya, penyesuaian harus dilakukan, karena sikap hanya dapat dipertahankan dengan kesadaran. Dengan kata lain, pendidikan pada dasarnya merupakan upaya untuk memberikan pengetahuan tentang fungsi organ reproduksi dan menanamkan moral etika serta komitmen agama supaya tidak terjadi penyalahgunaan organ reproduksi tersebut.

Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa sikap positif terhadap pendidikan seksualitas adalah perwujudan nyata yang merupakan cerminan jiwa seseorang ketika saling berinteraksi satu sama lain berhubungan dengan pemberian informasi kepada individu mengenai persoalan seksualitas (berkaitan dengan aspek biologis, psikologis, psikososial). Sikap yang positif terhadap pendidikan seks adalah sikap yang menempatkan pendidikan seks sesuai dengan fungsi dan tujuan serta menganggap pendidikan seksualitas sebagai hal yang wajar.

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sikap Positif terhadap Pendidikan Seksualitas

Membicarakan masalah seks adalah sesuatu yang sifatnya sangat pribadi dan karena itu dibutuhkan suasana akrab, dan terbuka dari hati ke hati. Dalam hal ini ada beberapa pendapat yang mengemukakan sumber pendidikan seksualitas.

Menurut Santrok (2003:423) mengemukakan bahwa orangtua adalah sumber penting yang hilang dalam upaya memerangi kehamilan pada remaja dan penyakit menular seksual. Kebanyakan remaja mengatakan bahwa mereka tidak dapat berbicara secara bebas dengan orangtua mereka mengenai hal-hal seksual.

(7)

Walaupun orangtua, terutama ayah, jarang sekali menjadi sumber pendidikan seks bagi remaja, para remaja mengatakan bahwa jika mereka bisa bicara dengan orang tua mereka dengan terbuka dan bebas mengenai seks, mereka akan cenderung tidak aktif secara seksual. Sumber informasi mengenai seks yang paling umum adalah teman-teman sebaya, kemudian diikuti dengan literatur, ibu, sekolah dan pengalaman. Walaupun sekolah biasanya dianggap sebagai sumber utama pendidikan seks, hanya 15% informasi mengenai seks yang dimiliki remaja diperoleh dari pengajaran di sekolah.

Mulyono (dalam Setiawati 2010:13) mengemukakan selama ini remaja memperoleh pendidikan seks dari tiga unsur yaitu orang tua, sekolah, dan lingkungan sekitar (di luar keluarga dan sekolah) seperti dari media massa dan teman sebaya.

a. Lingkungan Keluarga : Keluarga sebagai unsur terkecil dari suatu masyarakat yang terdiri dari seorang ayah, ibu dan anak merupakan lingkungan pendidikan yang pertama dan utama. Keluarga sebagai unit sosial terkecil memberikan pondasi primer bagi perkembangan anak.

b. Lingkungan sekolah : Mengenai masalah pendidikan seks pengetahuan yang diberikan oleh pihak sekolah terhadap peserta didiknya dinilai masih kurang. Masih banyak pula ditemui sekolah yang tidak memberikan pendidikan seks pada siswanya. Kurikulum sekolah pun tidak mencantumkan adanya pendidikan seks. Pengetahuan yang diberikan seputar pengetahuan reproduksi masih berkisar pada pengetahuan yang umum dan tidak terlalu khusus atau mendalam.

c. Lingkungan sekitar : Lingkungan sekitar merupakan lingkungan yang sangat kompleks sifatnya dan juga sangat berpengaruh terhadap perkembangan remaja. Mulai dari teman pergaulan, masyarakat dan juga teknologi yang menjamur di sekitar kita seperti internet, handphone, dll. Dewasa ini, media massa adalah sangat mudah dipergunakan kaum remaja. TV, film, musik, media cetak atau elektronik dan internet adalah sumber informasi yang cukup murah dan mudah diakses oleh para remaja.

(8)

Prihatini (2002:7) mengemukakan melalui sex education diharapkan dapat tercapai tujuan dalam menjaga keselamatan, kesucian, dan kehormatan anak didik di tengah masyarakat. Cara penyampaiannya tentu harus disesuaikan kehidupan masyarakat Indonesia yang berlandaskan agama dan tata krama, sehinggga anak didik baik laki-laki maupun perempuan dapat terjaga akhlak dan agamanya hingga jenjang keluarga sekalipun. Selain itu, keluarga dan masyarakat juga memiliki pengaruh besar terkait sex education sebagai pihak pemberi informasi dan teladan, keluarga sebagai lingkungan terdekat anak didik harus siap dengan berbagai pertanyaan dengan jawaban yang benar, dan tidak membiarkan rasa ingin tahu mereka dijawab oleh teman atau media yang belum tentu sesuai untuk usia mereka. Keluarga pula yang menjadi pengawas bagi anaknya dalam mengontrol musik yang didengar, televisi yang ditonton, majalah yang dibaca, serta pakaian yang dikenakan.

Sex education sebaiknya diajarkan sedini mungkin di lingkungan keluarga. Sebelum menjelaskan tentang anatomi dan fisiologi, sepatutnya diajarkan kepercayaan terhadap adanya Tuhan termasuk perintah dan larangan-Nya. Seorang ayah mengajarkan hal tersebut pada anak laki-lakinya dan ibu mengajarkan kepada anak perempuannya. Demikian pula di sekolah, seorang guru laki-laki mengajarkan sex education kepada anak didik laki-laki dan guru wanita mengajarkannya kepada anak didik perempuan.

Berdasarkan berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sumber pendidikan seks yang pertama dan utama berasal dari orang tua, yang selanjutnya berasal dari lingkungan sekitar (masyarakat, teman sebaya dan media massa). Sumber pendidikan seksualitas yang terakhir adalah lingkungan sekolah.

Sikap merupakan faktor yang ada dalam diri manusia yang dapat mendorong dan menimbulkan perilaku tertentu. Walaupun demikian sikap mempunyai segi-segi perbedaan dengan pendorong-pendorong lain dalam diri manusia. Walgito (2003:131) mengemukakan untuk membedakan sikap dengan pendorong-pendorong lain ada beberapa ciri atau sifat dari sikap positif terhadap pendidikan seksualitas yaitu :

(9)

a. Sikap itu tidak dibawa sejak lahir. Ini berarti bahwa manusia pada waktu dilahirkan belum membawa sikap-sikap tertentu terhadap sesuatu objek. Karena sikap tidak dibawa sejak individu dilahirkan, ini berarti bahwa sikap itu terbentuk dalam perkembangan individu yang bersangkutan. Oleh karena sikap itu terbentuk atau dibentuk, maka sikap itu dapat dipelajari dan karenanya sikap itu dapat berubah.

b. Sikap selalu berhubungan dengan objek sikap. Oleh karena itu sikap selalu terbentuk atau dipelajari dalam hubungannya dengan objek tertentu yaitu melalui proses persepsi terhadap objek tersebut. Hubungan yang positif atau negatif antara individu dengan objek tertentu, akan menimbulkan sikap tertentu pula dari individu terhadap objek tersebut.

c. Sikap dapat tertuju pada satu objek saja, tetapi juga dapat tertuju pada sekumpulan objek. Bila seseorang mempunyai sikap negatif terhadap seseorang, orang tersebut akan mempunyai kecenderungan untuk menunjukkan sikap yang negatif pula kepada kelompok di mana seseorang tersebut tergabung didalamnya.

d. Sikap itu dapat berlangsung lama atau sebentar. Sikap tersebut akan sulit berubah dan kalaupun dapat berubah akan memakan waktu yang relatif lama. Tetapi sebaliknya bila sikap itu belum begitu mendalam ada dalam diri seseorang maka sikap tersebut secara relatif tidak bertahan lama dan sikap tersebut akan mudah berubah.

e. Sikap mengandung faktor perasaan dan motivasi. Ini berarti bahwa sikap terhadap suatu objek tertentu akan selalu diikuti oleh perasaan tertentu yang dapat bersifat positif tetapi juga dapat bersifat negatif terhadap objek tersebut. Ahmadi (2007:164) mengemukakan ciri-ciri sikap positif terhadap pendidikan seksualitas sebagai berikut :

a. Sikap itu dipelajari (learnability). Sikap merupakan hasil belajar. Beberapa sikap dipelajari tidak sengaja dan tanpa kesadaran kepada sebagian individu. b. Memiliki kestabilan (stability). Sikap bermula dari dipelajari, kemudian

menjadi lebih kuat, tetap dan stabil melalui pengalaman. Misalnya perasaan like dan dislike terhadap suatu objek.

(10)

c. Personal-societal significance. Sikap melibatkan hubungan antara seseorang dan orang lain dan juga antara orang dan barang atau situasi.

d. Berisi cognisi dan affeksi. Komponen cognisi dari pada sikap adalah berisi informasi yang faktual, misal : objek itu dirasakan menyenangkan atau tidak menyenangkan.

e. Approach-avoidance directionality. Bila seseorang memiliki sikap yang favorable terhadap sesuatu objek, mereka akan mendekati dan membantunya, sebaliknya bila seseorang memiliki sikap yang unfavorable, mereka akan menghindarinya.

Berdasarkan ciri-ciri sikap positif terhadap pendidikan seksualitas yang dikemukakan oleh beberapa pendapat, dapat disimpulkan bahwa sikap tidak dibawa sejak lahir melainkan dipelajari melalui pengalaman, maka dari itu sikap dapat berubah-ubah. Dalam sikap selalu berhubungan antara seseorang dengan orang lain (personal-societal significance). Tidak ada sikap yang tanpa objek, sikap juga mengandung pengetahuan (kognitif) dan perasaan (afeksi).

3. Komponen Sikap Positif terhadap Pendidikan Seksualitas

Baron dan Byrne (dalam Walgito, 2013:127) mengemukakan sikap mengandung tiga komponen yaitu :

a. Komponen kognitif (komponen perseptual) yaitu komponen yang berkaitan dengan pengetahuan, pandangan, keyakinan yaitu hal-hal yang berhubungan dengan bagaimana orang mempersepsi terhadap objek sikap.

b. Komponen afektif (komponen emosional) yaitu komponen yang berhubungan dengan rasa senang atau tidak senang terhadap objek sikap. Rasa senang merupakan hal yang positif, sedangkan rasa yang tidak senang merupakan hal yang negatif. Komponen ini menunjukkan arah sikap yaitu positif dan negatif. c. Komponen konatif (komponen perilaku, atau action component) yaitu komponen yang berhubungan dengan kecenderungan bertindak terhadap objek sikap. Komponen ini menunjukkan intensitas sikap, yaitu menunjukkan besar kecilnya kecenderungan bertindak atau berperilaku seseorang terhadap objek sikap.

(11)

Menurut Azwar (2011:24) mengemukakan tiap-tiap sikap mempunyai komponen-komponen sebagai berikut :

a. Komponen kognitif : Komponen kognitif berisi kepercayaan seseorang mengenai apa yang berlaku atau apa yang benar bagi objek sikap.

b. Komponen afektif : Komponen afektif menyangkut masalah emosional subjektif seseorang terhadap suatu objek sikap. Secara umum, komponen ini disamakan dengan perasaan yang dimiliki terhadap sikap.

c. Komponen perilaku : Komponen perilaku atau komponen konatif dalam struktur sikap menunjukkan bagaimana perilaku atau kecenderungan berperilaku yang ada dalam diri seseorang berkaitan dengan objek sikap yang dihadapinya.

Menurut Jersild (dalam Herawati, 2007:30), aspek-aspek pendidikan seksualitas antara lain :

a. Aspek biologis. Seks merupakan suatu kebutuhan dasar manusia yang secara biologis membutuhkan pemenuhan serta adanya perkembangan organ genital pada individu. Aspek ini meliputi respons fisiologis terhadap stimulus seks, reproduksi, pubertas, perubahan fisik karena adanya kehamilan serta pertumbuhan dan perkembangan pada umumnya.

b. Aspek psikologis. Seks merupakan proses belajar yang terjadi pada diri individu untuk mengekspresikan dorongan seksual melalui perasaan, sikap dan pemikiran tentang seksualitas.

c. Aspek sosial. Seks berfungsi sebagai manifestasi seksualitas individu dalam hubungannya dengan individu lain. Aspek ini meliputi pengaruh budaya berpacaran, hubungan interpersonal dan semua hal tentang seks yang berhubungan dengan kebiasaan yang dipelajari individu di dalam lingkungannya. Pengaruh budaya disini adalah iklam, film, radio, televisi, buku-buku, majalah yang semuanya itu dapat mempengaruhi pikiran dan perilaku seseorang dalam menghadapi masalah seksnya.

d. Aspek moral. Seks berfungsi sebagai manifestasi dorongan seksual yang sesuai dengan norma seksual masyarakat dan norma agama yang berlaku, sehingga sikap moral mewarnai konsep seksualitas seseorang. Aspek ini

(12)

biasanya didasarkan pada filosofi agama atau pada hal yang bersifat etis. Yang termasuk di sini adalah menjawab pertanyaan tentang benar atau salah, harus atau tidak harus, serta boleh atau tidaknya suatu perilaku seseorang.

Berdasarkan berbagai pendapat diatas mengenai komponen atau aspek-aspek sikap positif terhadap pendidikan seksualitas,dapat disimpulkan bahwa : a. Aspek kognitif bersifat holistik artinya tidak hanya pada salah satu aspek saja,

melainkan terkait dengan aspek biologis, psikologis, sosial dan moral. Proses kognitif erat kaitannya dengan kemampuan berpikir seseorang dan cara seseorang menyikapi perkembangan fisik.

b. Aspek afektif dirasakan penting oleh semua orang, kemampuan afektif berhubungan dengan minat dan sikap yang berkaitan dengan biologis, psikologis, sosial dan moral. Hal tersebut dapat berbentuk tanggung jawab, kerjasama, disiplin, komitmen, percaya diri, jujur, menghargai pendapat orang lain dan kemampuan mengendalikan diri.

c. Aspek konatif dapat diartikan sebagai kebiasaan dan kemauan, yaitu adanya kecenderungan untuk bertindak atau berperilaku tertentu. Kemampuan bertindak sering kali dikaitkan dengan aspek biologis, psikologis, sosial dan moral.

III. ANALISIS PENULISAN

Pengetahuan tentang sikap positif terhadap pendidikan seksual dapat mencegah pelecehan seksual dan pada akhirnya berdampak pada kekerasan pada siswa atau remaja seperti terjadinya tawuran, sex bebas, hamil di luar nikah dan sebagainya.

Karena di dalamnya ada beberapa pengetahuan yang bermanfaat bagi remaja diantaranya : membahas tentang perubahan selama masa remaja agar siswa lebih memahami perubahan yang dialami remaja atau siswa lebih memahami perubahan fisio seksual dalam diri, menjelaskan tentang kehidupan seksualitas remaja yang bertujuan agar remaja memahami mengenai seksualitas, remaja lebih mampu bersikap positif berkaitan dengan seksualitas dan menumbuhkan persepsi benar atau salah berkaitan dengan perilaku seksual yang akan menyertai perubahan sikap pada remaja, dan menjelaskan tentang seks dan kehamilan

(13)

remaja, bertujuan untuk memberi pemahaman kepada remajaa mengenai hal-hal yang menyebabkan terjadinya kehamilan remaja dan agar remaja memahami dampak dari kehamilan. Dan remaja dapat paham tentang penyakit menular seksual, hal ini bertujuan untuk memberi pemahaman kepada remaja mengenai penyakit menular seksual dan berbagai macam penyakit menular seksual, dan yang paling penting di dalamnya menjelaskan tentang pertemanan remaja, hal ini bertujuan agar remaja memahami arti persahabatan, agar remaja memahami cara bergaul dengan lawan jenis dan remaja dapat memanfaatkan waktu secara positif.

VI. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan

Pengetahuan tentang sikap positif terhadap pendidikan seksual diharapkan dapat mencegah pelecehan seksual dan pada akhirnya berdampak pada kekerasan yang sering ditimbulkan oleh remaja, karena ktidaktahuannya tentang pendidikan sexsual.

B. Saran

Berdasarkan simpulan di atas, saran yang dapat penulis berikan untuk meningkatkan pengetahuan tentang sikap positif terhadap pendidikan seksual untuk mencegah pelecehan seksual dan kekerasan adalah :

1. Bagi Sekolah : Agar jam bimbingan konseling ditambah, karena bimbingan konseling dapat membantu siswa dalam pengembangan pribadi dan sosial, pengambilan keputusan yang mengacu pada perubahan positif pada diri individu siswa.

2. Bagi Orang Tua : Hendaknya kalau ditanya anak-anaknya yang sudah memasuki usia remaja tentang masalah sex, dijawab dengan sebenar-benarnya sambil diarahkan mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakuakan.

3. Bagi Remaja : Siswa diharapkan memiliki pemahaman mengenai pendidikan seksualitas sehingga lebih mampu bersikap positif terhadap pendidikan seksualitas, sehingga pelecehan seksualitas dan kekerasan dapat terhindarkan.

(14)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu. 2007. Psikologi Sosial. Jakarta: Rineka Cipta.

Azwar, S. 2009. Sikap Manusia dan Pengukurannya. Yogjakarta: Pustaka Pelajar Offset.

Eka Herawati, Yuvita. 2007. Hubungan Antara Pengetahuan Tentang Penyakit Menular Seksual dan Sikap Terhadap Pendidikan Seksualitas. Jurnal Psikologi Indonesia. No. 1, h. 2-5.

Hurlock, Elizabeth. 2002. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Penerbit Erlangga. Prihatini, Titi. 2002. Hubungan antara Komunikasi Efektif Tentang Seksualitas

dalam Keluarga Dengan Sikap Remaja Awal Terhadap Pergalan Bebas Antar Lawan Jenis. Jurnal Psikologi Indonesia. No. 2, h.2-5.

Rintyastini, Yulita. 2005. Bimbingan dan Konseling SMP. Jakarta: Erlangga. Santrock, John. 2003. Adolecence Perkembangan Remaja. Jakarta: Erlangga. Setiawati, Devi 2010. Persepsi Remaja Mengenai Pendidikan Seksualitas.

Surakarta.

Walgito, Bimo. 2003. Psikologi Sosial. Yogjakarta: Andi Yogjakarta. Winarti, Euis. 2007. Pengembangan Kepribadian. Jakarta: Graha Ilmu.

Referensi

Dokumen terkait

Ekstensifikasi merupakan suatu strategi yang dilakukan oleh UPPD Provinsi Wilayah XXII Bandung Timur untuk meningkatkan penerimaan pajak daerah dengan melakukan

Kawan-kawan Teknik Informatika angkatan 2011, selama 4,5 tahun kita lewati bersama dan terima kasih yang selalu memberi dukungan dan motivasi sampai akhir, sehingga saya

Dari wawancara tersebut peneliti memperoleh data berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan bimbingan yang diikuti oleh anak tunarungu terkait dengan pembimbing, metode dan media

tanah. Metode yang digunakan mirip dengan metode hambatan listrik, namun perubahan hambatan listrik direpresentasikan dengan perubahan tegangan listrik sensor. Dua buah elektroda

Hal ini dibuktikan dengan menggunakan uji user, 75% dari 20 responden menyatakan bahwa dengan memanfaatkan multimedia sebagai Media Pembelajaran Matematika

Ketentuan dan tata cara pengajuan pemberian fasilitas pengurangan penghasilan neto atas penanaman modal baru atau perluasan usaha pada bidang usaha tertentu yang

Pada Tabel 3, dapat diketahui bahwa nilai bobot kering gulma pada Perlakuan herbisida pra tumbuh Metribuzin 2 l ha -1 + penyiangan (30 hst) rendah, sehingga