• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS YURIDIS PERJANJIAN INTERNASIONAL KERJA SAMA SISTER CITY ANTARA PEMERINTAH KOTA BANDA ACEH DENGAN PEMERINTAH KOTA HIGASHIMATSUSHIMA SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANALISIS YURIDIS PERJANJIAN INTERNASIONAL KERJA SAMA SISTER CITY ANTARA PEMERINTAH KOTA BANDA ACEH DENGAN PEMERINTAH KOTA HIGASHIMATSUSHIMA SKRIPSI"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)

PEMERINTAH KOTA BANDA ACEH DENGAN PEMERINTAH KOTA HIGASHIMATSUSHIMA

SKRIPSI

Diajukan dalam Rangka Memenuhi dan Melengkapi Syarat – syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh :

CUT ADELIA DESTA SARI 140200017

Departemen Hukum Internasional

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(2)

ABSTRAKSI

Cut Adelia Desta Sari*) Dr. Sutiarnoto, S.H.,M.Hum.**)

Abdul Rahman, S.H., M.H.***)

Pola interaksi yang paling sering terjadi antar subyek hukum internasional berupa kerjasama yang dituangkan dalam bentuk perjanjian.

Perjanjian Internasional adalah salah satu sumber utama hukum internasional, yang meskipun sering terdapat perbedaan istilah dalam penggunaannya namun tidak berpengaruh terhadap kekuatan hukumnya. Negara mempunyai kapasitas untuk mengikatkan diri kedalam sebuah internasional melalui Pemerintah Pusat.

Pemerintah Daerah memiliki kewenangan dalam mengurus daerahnya sesuai dengan kebutuhan dan tujuan kotanya melalui otonomi daerah. Era globalisasi mendorong setiap kota-kota di dunia untuk selalu berkembang dari waktu ke waktu untuk mewujudkan suatu “Kota Impian” dimana hal ini tidak dapat dicapai melainkan dengan berbagai bantuan dari kota lain.

Perjanjian kerjasama sister city adalah salah satu perjanjian internasional yang dibuat oleh Pemerintah Daerah antar satu kota dengan kota lainnya di dunia.

Dalam pembuatannya, perjanjian sister city harus mengikuti berbagai tahapan koordinasi dan konsultasi dengan Kementrian Luar Negeri. Penandatanganan perjanjian sister city harus diwakilkan oleh seseorang yang mendapatkan surat kuasa penuh (full powers) agar penandatanganan terhadi atas nama Pemerintah Republik Indonesia.

Perjanjian Sister City sudah lama dipraktikkan dalam kehidupan bernegara di Indonesia. Salah satunya adalah Perjanjian Sister City yang dibuat antara Pemerintah Kota Banda Aceh dengan Kota Higashimatsushima. Dalam hal penulisan ini, penulis melakukan tinjauan langsung ke Kantor Sekretariat Daerah Kota Banda Aceh dan melakukan tinjauan kepustakaan guna mendapatkan data- data terkait untuk mendukung penulisan skripsi ini.

Perjanjian Sister City merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan Pemerintah Daerah guna mengembangkan kotanya guna mencapai tujuan. Akan lebih baik lagi jika perjanjian Sister City ini dilandasi dengan hal dan tujuan yang bermanfaat bagi kedua pihak yang mengikatkan perjanjian. Kerjasama yang sudah terjalin antara Pemerintah Kota Banda Aceh dan Kota Higashimatsushima diharapkan dapat berdampak positif bagi kedua kota tersebut.

* Mahasiswa Fakultas Hukum 2014

** Dosen Pembimbing I

*** Dosen Pembimbing II

Globalisasi secara literal dapat dipahami sebagai suatu proses fenomena lokal atau regional

** Dosen Pembimbing I

*** Dosen Pembimbing II

(3)

Bismillahirrahmanirrahim,

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang mana atas rahmat dan karunia-Nya yang telah memberikan kesempatan dan kesehatan kepada penulis untuk mengerjakan dan menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Salawat beriring salam penulis diberikan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang selalu menjadi suri tauladan dan telah menjadi penerang bagi seluruh ummatnya.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengangkat judul “Analisis Yuridis Perjanjian Internasional Kerja Sama Sister City antara Pemerintah Kota Banda Aceh dengan Pemerintah Kota Higashimatsushima” guna memenuhi syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Secara khusus saya ucapkan terima kasih kepada kedua orangtua tercinta, kedua malaikat yang Allah turunkan untuk saya, ayahanda Ir. Teuku Darmansyah dan ibunda Deliana yang telah memberikan cinta dan curahan kasih sayang yang tak terhingga kepada penulis berupa perhatian dan doa yang tiada pernah habisnya, semangat dan motivasi yang tak mengenal waktu, nasehat dan kepercayaan yang selalu membuat penulis bangkit dan bersemangat lagi serta selalu menjadi pendukung terbaik penulis dalam melangkah dan menggapai cita- cita sehingga dapat menyelesaikan pendidikan formal hingga strata satu (S1).

Selain itu juga saya ucapkan terima kasih kepada kedua adik saya Cut Asyifa Meidya Putri dan Cut Annisa Dila Fitri yang selalu hadir dalam suka dan duka hidup penulis, dengan ikhlas selalu menghadirkan tawa dan semangat, serta motivasi untuk pribadi penulis agar selalu menjadi lebih baik dari hari ke hari.

Hidup bersama keluarga selama 22 tahun membuat mereka menjadi sosok yang paling mengerti dan menerima saya dalam kondisi apapun.

(4)

Dalam proses menyelesaikan skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan serta dukungan berbagai pihak lainnya, dalam kesempatan tak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H.,M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Saidin,S.H.,M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H.,M.Hum.,selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H.,M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan Dosen yang banyak membantu penulis dengan ilmu dan motivasinya, baik selama masa perkuliahan ataupun dalam setiap program ILSA.

5. Bapak Abdul Rahman, S.H.,M.H., selaku Ketua Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang juga merupakan Dosen Pembimbing II yang sangat berjasa dan sudah banyak membantu penulis, baik dalam perkuliahan maupun dalam proses penyelesaian skripsi ini.

6. Bapak Dr. Sutiarnoto,S.H.,M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan juga merupakan Dosen Pembimbing I yang telah banyak berjasa dalam membantu penulis menyelesaikan masa perkuliahan dengan meluangkan waktu, tenaga dan pikiran sehingga selesainya skripsi ini serta atas nasihat-nasihat dan jalan keluar selama proses perkuliahan dan dalam terjalankannya ILSA 2017.

7. Bapak Affan Mukti, S.H.,M.S., selaku Dosen Pembimbing Akademik penulis dari semester I sampai dengan semester VII, terima kasih atas arahaman dan bimbingan yang diberikan selama ini.

8. Seluruh Dosen Hukum Internasional. Terima kasih atas ilmu dan motivasi yang tak bosan selalu diberikan kepada penulis selama masa perkuliahan.

(5)

selama masa perkuliahan penulis.

10. Seseorang special yang selalu ada di sisi Penulis, sosok yang selalu tabah menghadapi mood swing-nya penulis, salah satu motivator dan pendengar keluh kesah penulis dan selalu membuat penulis jatuh hati dengan dukungan dan kesabarannya, Mahadi Masri,S.T. Thank you for all the things you‟ve done for me!

11. Untuk Fadhila Daratulaila, tempat keluh kesahnya penulis, tempat berbagi rasa senang dan susah dari hari pertama menjalani masa perkuliahan di kampus hingga saat ini, yang selalu mendukung dan selalu ada di sisi penulis pada saat apapun. Thank You for always have my back, beb!

12. Untuk sahabat-sahabat seperjuangan penulis semasa kuliah hingga saat ini, Cut Maidina Ananda Putri (ini saudara ketemu tua), Ajeng Hanifa ZCA (ummi yang selalu kembalikan kami ke jalan yang benar), RR. Meidy Irzha (makasih ya Med udah nemenin aku di HI), Rizky Amelia (thank you ya me selalu meramaikan geng kita ini) dan Fadhila Daratulaila (enak namamu dua kali kan). Akhirnya nama kita ada S.H. nya juga ya we!

*terharu*.

13. Untuk sahabat-sahabat penulis lainnya yang selalu mendukung penulis, Nabila Deanna sang “psikolog pribadi” penulis (Thank You ya Nab.

You‟re my best), Yunalistya Sakanti Putri sang “adek kesayangan” yang super duper tak tergantikan (Makasih ya Kante udah selalu ada buat kakak walaupun kita terpisah jarak:”)

14. Kepada keluarga besar International Law Student Association (ILSA) 2017 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesan luar bisa dalam hidup penulis, terkhusus untuk “Alumni Jepang”

dan seluruh presidium ILSA. (Thank you for the memories, guys!)

15. Kepada teman-teman penulis lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu, yang setia mendukung dan memotivasi penulis baik yang berada di dalam maupun di luar lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(6)

16. Untuk Bapak dr. Sofyan Tan selaku Anggota DPR-RI Komisi X dan Pemberi beasiswa kepada penulis melalui “Sofyan Tan Scholarship” dari awal perkuliahan hingga meraih gelar Sarjana Hukum. Juga kepada Ci Tracey Harjatanaya selaku pembina “Sofyan Tan Scholarship” yang telah menjadi motivator dan inspirasi bagi saya. Terima kasih pula untuk Pak Edy Jitro Sihombing yang tak lelah membimbing, menasehati dan selalu percaya kepada penulis dalam menyelesaikan masa perkuliahan.

17. Keluarga besar “Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda” dan

“Association of Sofyan Tan Scholars” yang tak bisa saya sebutkan satu persatu. Terima kasih banyak untuk setiap dukungan, doa dan kepercayaannya kepada penulis hingga saat ini.

Penulis menyadari akan ketidaksempurnaan hasil penelitian ini. oleh sebab itu penulis berharap kepada semua pihak agar memberikan kritik dan saran yang konstruktig guna menghasilkan sebuah penelitian yang lebih baik lagi, baik dari segi materi hingga cara penulisan.

Demikian kata pengantar ini disampaikan, dan dengan seluruh bantuan dan dukungan yang penulis dapatkan akhirnya dengan menyerahkan diri dan memohon petunjuk serta perlindungan Allah SWT semoga skripsi ini memberikan manfaat dan berguna bagi ilmu pengetahuan di masa yang akan datang. Aamin ya Rabbalalamin.

Medan, Januari 2018

Penulis,

Cut Adelia Desta Sari

NIM : 140200017

(7)

ABSTRAKSI ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... vi

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 7

1.3. Tujuan Penulisan ... 7

1.4. Manfaat Penulisan ... 8

1.5. Keaslian Penulisan ... 9

1.6. Tinjauan Kepustakaan ... 11

1.7. Metode Penulisan ... 14

1.8. Sistematika Penulisan ... 16

BAB 2 DASAR HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL ... 19

A. Pengaturan tentang Perjanjian Internasional menurut Hukum Internasional ... 19

2.1.1. Pengertian Pejanjian Internasional ... 22

2.1.2. Perjanjian Internasional sebagai Sumber Hukum Internasional ... 25

2.1.3. Sifat Perjanjian Internasional ... 26 2.1.4. Bentuk dan Istilah Perjanjian Internasional ... 27

2.1.5. Tahap-tahap Pembuatan Perjanjian Internasional ... 31

B. Perkembangan Hukum Nasional Indonesia mengenai Perjanjian Internasional ... 35

1. Pengertian Perjanjian Internasional dalam Hukum Nasional Indonesia ... 35

(8)

2. Perkembangan Peraturan Perundang-undangan

Indonesia mengenai Perjanjian Internasional ... 37 BAB 3 KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM

MEMBUAT PERJANJIAN INTERNASIONAL ... 42 3.1. Tinjauan umum tentang Pemerintahan Daerah ... 42

1. Pengertian Desentralisasi, Otonomi Daerah dan

Pemerintah Daerah ... 44 2. Desentralisasi dalam Negara Kesatuan ... 45 3. Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Penyeleng-

garaan Pemerintahan Daerah berdasarkan UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ... 46 3.2. Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Pembuatan

Perjanjian Internasional menurut Perundang-undangan di Indonesia ... 51 3.2.1. UU No. 32/1999 tentang Hubungan Luar Negeri ... 51 3.2.2. UU No. 24/2000 tentang Perjanjian Internasional .... 54 3.2.3. UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah ... 56 3.2.4. UU No. 11/ 2006 tentang Pemerintahan Aceh ... 59 3.3. Prosedur Pembuatan Perjanjian Internasional oleh

Pemerintah Daerah ... 60 BAB 4 ANALISIS YURIDIS PERJANJIAN INTERNASIONAL

KERJA SAMA SISTER CITY ANTARA PEMERINTAH KOTA BANDA ACEH DENGAN PEMERINTAH

KOTA HIGASHIMATSUSHIMA ... 69 A. Latar Belakang Perjanjian Kerjasama Sister City

(Kota Bersaudara) ... 69 4.1.1. Sejarah Singkat Perkembangan Sister City ...

69

4.1.2. Pengertian Sister City ...

71

(9)

4.1.4. Prosedur dan Mekanisme Kerjasama Sister City ...

74

B. Perkembangan Sister City di Indonesia ... 77

1. Sister City Kota Yogyakarta dengan Kota Kyoto ... 78

2. Sister City Kota Medan ddengan Kota Ichikawa ... 80

C. Deskripsi Perjanjian Kerjasama Sister City antara Kota Banda Aceh dengan Kota Higashimatsushima ... 82

1. Gambaran Umum Kota Banda Aceh dengan Kota Higashimatsushima ... 82

2. Latar Belakang Kerjasama Sister City antara Kota Banda Aceh dengan Kota Higashimatsushima ... 83

3. Uraian Perjanjian Kerjasama Sister City antara Kota Banda Aceh dengan Kota Higashimatsushima ... 86

D. Status Hukum Perjanjian Kerjasama Sister City antara Kota Banda Aceh dengan Kota Higashimatsushima ... 90

E. Analisis Implementasi Perjanjian Kerjasama Sister City antara Kota Banda Aceh dengan Kota Higashimatsushima .. 96

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 100

A. Kesimpulan ... 100

B. Saran ... 102

DAFTAR PUSTAKA ... 104 LAMPIRAN

(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Globalisasi adalah salah satu faktor dimana terjadinya berbagai perubahan – perubahan di dalam berbagai sektor kehidupan. Akibat dari pesatnya perkembangan arus globalisasi, kebutuhan akan berbagai kebutuhan meningkat yang mana tidak hanya sekedar kebutuhan pribadi atau perseorangan, melainkan juga kebutuhan berbagai negara- negara di dunia. Dalam era globalisasi ini, interaksi dan intensitas hubungan antar negara menjadi semakin meningkat yang antara lain ditandai dengan dicapainya berbagai kesepakatan kerjasama baik yang bersifat regional, bilateral dan multirateral. Interaksi yang sudah melintasi batas suatu negara yang sering disebut hubungan Internasional. Istilah “Internasional”

menurut seorang filosof Jeremy Bentham pada 1970 adalah sebagai suatu pencerahan dari apa yang merupakan pendalaman dari kenyataan keseharian hidupnya yaitu berkembangnya negara-bangsa dan transaksi yang terjadi melintasi batas di antara masyarakat di dunia ini.

Bentuk interaksi yang terjadi dalam pergaulan masyarakat internasional tidak dapat dipisahkan dengan pelaku-pelakunya, baik pelaku negara – negara (state actors) maupun oleh pelaku-pelaku bukan negara (non-state actors). Pola interaksi hubungan internasional ini dapat berupa kerjasama (cooperation),

Globalisasi secara literal dapat dipahami sebagai suatu proses fenomena lokal atau regional menjadi satu tataran global. Sheila L Croucher menulis pemahaman globalisasi dalam Globalization and Belonging : The Politics of Identity a Charging World, Rowman & Littlefield (2004), Pages 10, sebagai “a process of blending norm homogenization by which the people of the world are unified into a single society and function together. This process is a combination a economic, technological, sociocultural and political forces”.

(11)

persaingan (competition), dan pertentangan (conflict). Sehingga dalam hal ini yang harus dilakukan adalah bagaimana agar setiap hubungan tersebut terpelihara dan bertahan sehingga dapat menghasilkan peningkatan kerjasama yang adil dan saling menguntungkan; dengan mencegah dan menghindari konflik dan bagaimana mengubah kondisi- kondisi persaingan dan pertentangan menjadi kerja sama.

Hubungan kerjasama antar negara atau dikenal dengan sebutan hubungan luar negeri berkaitan erat dengan politik luar negeri suatu negara. Setiap negara di dunia memiliki arah politiknya masing-masing yang biasanya mencirikan kepentingan dari negara itu sendiri§. Hubungan luar negeri selalu berkaitan dengan kecenderungan manusia untuk berinteraksi, bertukar atau berdagang.

Kenyataan ini menuntut harus tersedianya suatu perangkat yang mengatur interaksi tersebut yang selain berguna untuk melindungi kepentingan negara dan warga negara serta memperkokoh bangsa itu sendiri. Interaksi pertukaran global dan perkembangan teknologi yang makin pesat ini, melahirkan berbagai bentuk perjanjian, substansi, maupun struktur dari perjanjian yang semakin bervariasi.

Meskipun adanya perbedaan dalam penamaan-penamaan perjanjian, akan tetapi pada hakikatnya juga termasuk sebagai sebuah perjanjian internasional. Dapat dilihat berdasarkan pengertian mengennai perjanjian internasional itu sendiri.

Penamaan dari perjanjian internasional tersebut tidak menentukan bobot yuridisnya karena tidak ada satu pun ketentuan dalam hukum internasional baik Konvensi Wina 1969** maupun instrumen hukum internasional lainnya atau

T. May Rudy, Hubungan Internasional Kontemporer dan Masalah-masalah Global, (Bandung:

Refika Aditama, 2003), hlm. 3.

§ Ibid.

** Yang dimaksud adalah Vienna Convention on the Law of Treaties 1969

(12)

3

peraturan perundang-undangan nasional di Indonesia yang mengatur mengenai bobot yuridis tersebut, dengan demikian secara teknis perjanjian internasional dapat diberi nama Treaty, Convention, Covenant, Agreement, Protocol, bahkan Memorandum od Understanding (MoU)††.

Berdasarkan hukum internasional yang berlaku, sebuah perjanjian internasional merupakan prioritas utana dari hierarki sumber hukum internasional yang terdapat dalam Article 38 (1) Statute of International Court of JusticeArticle 38 (1) Statute of International Court of Justice yang menyatakan :

a. The Court, whose function is to decide in accordase with international law such disputes as are submitted to it, shall apply ‡‡:

a. International conventions, whether general or partivular, establishing rules expressly recognizedby the contesting states;

b. International Customs, are evidance of a general practice accepted by the law;

c. The general principles of law recognized by civiled nations;

d. Subject to the provisions of Article 59, judicial decisions and the teachings of most highly qualified publicist of the various nations, as subsidiary means for the determination of rules of law.”

Pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional di atas dianggap sebagai sebuah pernyataan yang sudah sangat tepat mengenai sumber hukum internasional§§. Perjanjian internasional diletakkan paling atas dalam hierarki sumber hukum internasional meskipun tidak dijelaskan secara lengkap perjanjian internasional yang bagaimana yang memiliki kekuatan hukum yang lebih kuat dibandingakan dengan sumber hukum internasional lainnya. Perjanjian dapat dianggap sebagai sumber terpenting apabila persoalan yang banyak terjadi saat ini

†† Prof. A. Zen Umar Purba, Berbagai Isu Aktual dalam Pelaksanaan Undang- Undang Perjanjian Internasional, Jurnal Hukum Internasional Volume 5 Nomor 3 (April 2008)

‡‡ Article 38 (1) Statute of International Court of JusticeArticle 38 (1) Statute of International Court of Justice

§§ Ian Brownlie, Principles od Public International Law, Oxford: Clarendon Press, 1996, hlm.3.

(13)

di berbagai belahan dunia dapat diatur dengan perjanjian antar negara termasuk pula masalah yang awalnya hanya dianggap sebagi hukum kebiasaan.

Dalam Pasal 1 huruf (a) Konvensi Wina 1969*** dijelaskan pengertian

„treaty‟ atau perjanjian internasional adalah bahwa suatu perjanjian internasional hanya dapat dibuat oleh negara. Pemikiran tersebut dilatarbelakangi oleh negara sebagai subyek hukum internasional sehingga dapat membuat suatu perjanjian internasional. Selain negara, yang dapat membuat perjanjian internasional disebut sebagai subyek hukum internasional adalah tahta suci (Vatikan), Palang Merah Internasional, Organisasi Internasional, Orang-Perorang (individu), Pemberontak dan pihak dalam sengketa (belligerent)†††.

Di Indonesia pengaturan tentang pelaksanaan hubungan luar negeri dan pembuatan perjanjian internasional diatur pada Undang-undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Di dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional sudah menjabarkan lebih rinci tentang permasalahan berkenaan dengan perjanjian internasional, mulai dari tahap- tahap pembuatan, pemberlakuan, pelaksanaan dan pengakhiran berlakunya perjanjian internasional seperti yang diatur dalam Konvensi Wina 1969 dan 1986‡‡‡. Indonesia adalah negara berdaulat dan mempunyai kapasitas yang layak untuk membuat sebuah perjanjian internasional, baik dengan negara lainnya atau dengan bukan negara seperti organisasi internasional.

*** Pasal 1 huruf (a) Konvesi Wina 1969 menjelaskan: “treaty” means an international agreement concluded between States in written form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation;

††† Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Cet.2. Bandung : Alumni., hlm. 70.

‡‡‡ I Wayan Parthiana, Kajian Akademis (Teoritis dan Praktis) atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional Berdasarkan Hukum Perjanjian Internasional, Jurnal Hukum Internasional, Volume 5 Nomor 3 (April 2008).

(14)

5

Undang – undang dasar negara kesatuan memberikan kuasa penuh pada pemerintah pusat untuk melakukan hubungan luar negeri. Betapapun luas otonomi daerah yang dimiliki oleh provinsinya, masalah yang menyangkut hubungan luar negeri merupakan wewenang pemerintah pusat sehingga pemerintah daerah tidak boleh melakukan hubungan luar negeri secara langsung dengan negara luar§§§. Hal tersebut didukung oleh peraturan perundang- undangan Indonesia, yaitu Undang- undang Perjanjian Internasional dan Undang- undang Pemerintahan Daerah.

Menurut pengertian dalam Vienna Convention in The Law of Treaties bahwa perjanjian internasional yang termasuk dalam konvensi adalah perjanjian internasional yang dibuat oleh negara. Hal ini menimbulkan sebuah pertanyaan, apakah kerja sama internasional yang dihasilkan pemerintah daerah termasuk dalam ranah perjanjian internasional. Terkait dengan Pemerintahan Daerah perlu dilihat mengenai kewenangan Pemerintah pusat dengan Pemerintah Daerah seperti yang dimuat pada Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah****.

Meskipun demikian, berdasarkan peraturan perundang-undangan nasional Indonesia juga memberikan kewenangan kepada Pemerintah daerah untuk melaksanakan hubungan luar negeri atau kerjasama internasional. Pada praktiknya, segala bentuk pelaksanaan hubungan luar negeri oleh pemerintah daerah dengan negara lain adalah rill dan sudah dipraktikkan sejak lama. Suatu pemerintahan daerah dapat melakukan hubungan luar negeri atau perjanjian internasional dengan syarat harus memperloh surat kuasa penuh (full powers) yang merupakan alat dimana Pemerintah Pusat memberikan mandat kepada

§§§ Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian : Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Bandung: Alumni,2011. hlm. 13.

**** Indonesia, Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 23 Tahun 2014, ps. 10.

(15)

Pemerintah Daerah untuk membuat suatu perjanjian internasional.††††. Pemerintah daerah bertindak sebagai inisiator atas nama pemerintah pusat membuat perjanjian internasional.

Bentuk perjanjian internasional yang dapat dibuat oleh pemerintah daerah salah satunya adalah perjanjian sister city. Banyak kota di Indonesia sudah mengadakan perjanjian Sister City dengan kota lintas negara. Fakta ini membuktikan Indonesia adalah adalah negara yang cukup aktif membuat perjanjian sister city, terlebih otonomi daerah di Indonesia sudah adanya peraturan yang mengaturnya secara lebih rinci. Salah satu contoh kota yang mengadakan perjanjian sister city adalah Perjanjian Kerja sama sister city antara Pemerintah Kota Banda Aceh dengan Pemerintah Kota Higashimatsushima. Perjanjian kedua kota ini dilatarbelakangi oleh adanya kesamaan nasib, yaitu kedua kota pernah diterjang bencana Tsunami yang motivasi kedua kota tersebut untuk bangkit dari keterpurukan yang diakibatkan bencana alam tersebut. Dalam pelaksanaannya, pelaksanaan perjanjian Internasional ini sudah cukup lama berlangsung sehingga dapat dilihat pelaksanaannya saat ini telah mencapai tahap kedua. Perjanjian sister city terbagi dua tahap, pada tahap pertama kerjasama dibentuk dalam 4 bentuk yaitu ; suistanable city management, disaster management, community business, dan effective locel government organizational structure. Sukses nya tahap pertama, membuat kedua kota ini melanjutkann kerjasama nya ke tahap kedua, yaitu mengenai establlishing a model of empowerment that enchance the regional disaster mitigation. Kerjasama antar kedua kota ini dilaksanakan di bawah

†††† Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Konvensi Wina tahun 1969 menyatakan, A person is considered as representing a state for purpose of adopting or authenticating the text of a treaty or for the purpose of expressing the consent of the state to be bound by a treaty practice of the state concerned or from other circumstances that their intention was to consider that person as representing the state for such purposes and to dispense with full powers.

(16)

7

naungan THE JICA (Japan International Cooperation Agency) Partnership Program yang merupakan Lembaga yang berada dibawah naungan Departemen Luar Negeri Jepang.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalahnya sebagai berikut:

1. Bagaimanakah dasar hukum Perjanjian Internasional?

2. Bagaimana Kewenangan Pemerintah Daerah dalam membuat Perjanjian Internasional?

3. Bagaimanakah implementasi dari Perjanjian Internasional yang dibuat antara Pemerintah Kota Banda Aceh dengan Pemerintah Kota Higashimatsushima?

C. TUJUAN PENULISAN

Dengan menelaah latar belakang dan rumusan masalah di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan umum dari penelisan yang berjudul “Analisis Yuridis Perjanjian Internasional Kerja Sama Sister City antara Pemerintah Kota Banda Aceh dengan Pemerintah Kota Higashimatsushima” ini adalah untuk memberikan pemahaman serta analisis umum mengenai bagaimana sebuah Perjanjian Internasional dibuat oleh Pemerintah Daerah di Indonesia dengan menelaah lebih jauh pada perjanjian kerja sama Sister City antara Kota Banda Aceh dengan Kota Higashimatsushima.

(17)

Sedangkan tujuan khusus penulisan ini antara lain:

1. Untuk mengetahui dasar hukum tentang perjanjian internasional terkait sister city.

2. Untuk mengetahui kewenangan Pemerintah Daerah dalam membuat suatu perjanjian internasional.

3. Untuk mengetahui bagaimana implementasi dari perjanjian internasional

D. MANFAAT PENULISAN

Penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang positif baik dari segi teoritis maupun dari segi prakteknya.

1. Secara teoritis, pembahasan terhadap masalah- masalah yang telah dirumuskan dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pandangan dan pemikian mengenai perjanjian internasional, terlebih lagi perjanjian internasional yang dibuat oleh pemerintah daerah.

2. Penulisan ini juga dapat dijadikan langkah awal untuk pengembangan serta penulisan lebih lanjut.

3. Pembahasan terhadap masalah ini dalam praktisnya diharapkan dapat menjadi masukan bagi Pemerintah Republik Indonesia dalam memahami norma – norma, baik dalam hukum nasional maupun hukum internasional yang berkaitan dengan perjanjian internasional tentang kerjasama sister city yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Banda Aceh dengan Pemerintah Kota Higashimatsushima.

(18)

9

E. KEASLIAN PENULISAN

Berdasarkan tinjauan kepustakaan di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sebelumnya belum ada penulisan dengan judul

“Analisis Yuridis Perjanjian Internasional Kerja sama Sister City antara Pemerintah Kota Banda Aceh dengan Pemerintah Kota Higashimatsushima”.

Pernah ada penulisan dari mahasiswa/i Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dengan judul :

1. Sdr. Imran Rinaldin, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, NIM : 950221019, Judul “Kedudukan Perjanjian Internasional dan Kebiasaan Internasional sebagai Sumber Hukum Internasional”. Dalam rumusan masalah :

a. Apa segi positif dan negatif apabila ketentuan-ketentuan perjanjian internasional diberlakukan terhadap pohak ketiga yang bukan peserta perjanjian tersebut ?

b. Bagaimana peranan hukum kebiasaan terhadap hukum perjanjian internasional yang diatur dalam Konvensi Wina tahun 1969 ?

c. Secara praktis, kebiasaan-kebiasaan internasional dapat diterima menjadi hukum kebiasaan. Bagaimana bila suatu negara menolak diberlakukannya hukum kebiasaan tersebut ?

2. Sdr. Edriansyah Rendy, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, NIM : 100200166, Judul “Kerjasama Kota Kembar Pemerintah Kota Medan dengan Pemerintah Kota Penang dalam Hubungan Diplomatik menurut Perspektif Hukum Internasional”. Dalam rumusan masalah :

(19)

a. Bagaimana kerjasama kota kembar antara Pemerintah Kota Medan dan Pemerintah Kota Penang?

b. Bagaimana konsep dan teori hukum mengenai perjanjian internasional dalam hubungan diplomasi?

c. Bagaimanakah kewenangan Pemerintah Daerah dalam hubungan diplomasi pada kerjasama kota kembar antara Pemerintah Kota Medan dan Pemerintah Kota Penang?

3. Sdri. Kathy Carissa Bangun, Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, NIM : 110200056, Judul “Status Perjanjian Internasional dalam Kaitannya dengan Kerjasama Sister City (Kota Bersaudara) yang dibuat oleh Pemerintah Kota Medan dengan Pemerintah Kota Ichikawa.

Dalam rumusan masalah :

a. Bagaimana pengaturan tentang perjanjian internasional dalam hukum internasional dan dalam hukum nasional?

b. Bagaimana kesepakatan kerjasama sister city (Kota Bersaudara) yang dibuat oleh pemerintah Kota Medan dengan Pemerintah Kota Ichikawa?

c. Bagaimana status perjanjian internasional dalam kerjasama Sister City (Kota Bersaudara) yang dibuat oleh Pemerintah Kota Medan dengan Pemerintah Kota Ichikawa?

Rumusan masalah dalam beberapa penulisan yang disebutkan di atas menyatakan bahwa judul dan permasalahannya tidak ada yang serupa atau sama dengan yang ditulisa saat ini. Maka, penulisan ini adalah tulisan asli dan secara akademis dapat dipertanggungjawabkan.

(20)

11

F. TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Pada tinjauan kepustakaan, disebutkan beberapa pengertian dan batasan- batasan yang nantinya akan menjadi pedoman penulis dalam menyusun tulisan ini. Hal ini bermanfaat guna melihat bagaimana ruang lingkup penulisann agar tetap berada pada batasan yang jelas sesuai dengan permasalahan yang diangkat dalam penulisan. Batasan ini akan dijelaskan secara bertahap, maka akan mempermudah para pembaca untuk memahami hal-hal yang dituangkan dalam skripsi ini.

Disini, penulis menggunakan landasan teori yang mendukung kerangka pemikian penulis tentang teori dan praktik tahapan dalam membuat sebuah perjanjian internasional. Setiap pelaksanaan hubungan antar negara yang dilakukan Pemerintah Indonesia didasarkan pada Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara dan merupakan sumber dari segala sumber hukum.

Berbagai jenis hubungan yang dibangun oleh Pemerintah Indonesia sebagai negara yang berdaulat sangatlah variatif, dan salah satu bentuk hubungan yang sangat krusial adalah hubungan luar negeri. Hubungan luar negeri adalah setiap kegiatan yang menyangkut aspek regional dan internasional yang dilakukan oleh pemerintah di tingkat pusat dan daerah, atau lembaga-lembaganya, lembaga negara, badan usaham organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau warga negara Indonesia‡‡‡‡. Hubungan luar negeri ini tidak luput dari aturan- aturan yang tercantum dalam hukum Internasional. Hukum internasional adalah sekumpulan hukum (body of law) yang sebagian besar terdiri

‡‡‡‡ Indonesia, Undang-undang tentang Hubungan Luar Negeri, UU No. 37 Tahun 1999, LN No.

156 Tahun 1999, TLN No. 3882, ps. 1 angka (1).

(21)

dari asas-asas dan karena itu biasanya diataati dalam hubungan negara-negara satu sama lain§§§§.

Bentuk dari hubungan luar negeri yang dibangun oleh Pemerintah Indonesia seringkali menghasilkan berbagai kesepatakan yang sering disebut dengan Perjanjian Internasional. Perjanjian Internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hubungan hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik*****. Dalam membuat perjanjian internasional, seseorang yang membuat perjanjian tersebut haruslah memiliki Surat Kuasa Penuh (Full Powers) yang merupakan surat yang dikeluarkan oleh Presiden atau Menteri yang memberikan kuasa kepada satu atau beberapa orang yang mewakili Pemerintah Republik Indonesia untuk menandatangani atau menerima naskah perjanjian, menyatakan persetujuan negara untuk mengikatkan diri pada perjanjian, dan/atau menyelesaikan hal-hal lain yang diperlukan dalam pembuatan perjanjian internasional†††††.

Dalam hal pembuatan perjanjian internasional oleh pemerintah daerah suatu negara harus sesuai dengan sistem hukum nasional negara yang bersangkutan. Pemerintah Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati atau Walikota, dan Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan

§§§§ Drs. C. S. T. Kansil, S.H., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hlm. 461.

*****

Indonesia, Undang-undang tentang Perjanjian Internasional, UU No. 24 Tahun 2000, LN No. 185 Tahun 2000, TLN 4012., ps. 1 angka (1)

†††††

Indonesia, Undang-undang tentang Perjanjian Internasional, Op. Cit. Ps.1 angka (3)

(22)

13

daerah. Di Indonesia, hak ini diberikan kepada pemerintah daerahnya yang disebut sebagai otonomi daerah. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Salah satu contoh perjanjian internasioanl yang dibuat oleh pemerintah daerah adalah perjanjian sister city yang merupakan perjanjian konsep penggandengan dua kota yang berbeda lokasi dan administrasi politik dengan tujuan menjalin hubungan budaya dan kontak sosial antar penduduk. Biasanya kesamaan dari kota ini berupa persamaan keadaan demografi dan masalah yang dihadapi. Hubungan sister city dapat menjadi sangat bermanfaat bagi program kerjasama di berbagai bidang, seperti pertumbuhan ekonomi‡‡‡‡‡.

Konsep kerjasama Sister City ini sudah cukup berkembang di Indonesia dan dilaksanakan oleh berbagai Kota, termasuk Kota Banda Aceh. Dalam penulisan ini penulis berfokus pada hubungan kerjasama Sister City yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Banda Aceh dan Pemerintah Kota Higashimatsushima. Dikarenakan fokus penulis mengenai perjanjian internasional yang dibuat oleh pemerintah daerah Kota Banda Aceh yang merupakan salah satu daerah di Indonesia dengan otonomi khusus, maka analisis yang digunakan akan diikutsertakan menurut Undang- undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh.

‡‡‡‡‡

Sumber :“Kota Kembar” Sebagaimana yang dimaksud dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_kembar diakses pada tanggal 5 November 2017.

(23)

G. METODE PENULISAN

Metode penulisan yang digunakan penulis adalah : 1. Jenis Penelitian

Penulisan ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan yuridis normatif. Metode deskriptif dimaksudkan untuk memaparkan analisis atas perjanjian internasional, khususnya mengenai hubungan kerjasama sister city antara Pemerintah Kota Banda Aceh dan Pemerintah Kota Higashimatsushima.

Sedangkan pendekatan yuridis normatif yang digunakan dalam penulisan ini yaitu penulisan mengenai norma hukum yang berhubungan dengan pokok masalah yang diteliti dan terdapat dalam peraturan perundang-undangan di bidang hubungan luar negeri, perjanjian internasional dan pemerintah daerah yang berlaku dan mengikat masyarakat dengan meneliti secara kepustakaan.

2. Teknik Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penulisan ini dikumpulkan dengan menggunakan teknik Metode Penulisan Literatur (Library Research) dengan menggunakan jenis data sekunder, yaitu penulisan kepustakaan dengan menggunakan bahan- bahan pustaka hukum yang mendukung dengan cara mengumpulkan bahan-bahan dari berbagai sumber terkait, seperti buku, jurnal ilmiah, artikel terkait, kamus maupun berbagai sumber lainnya dari internet.

Bahan pustaka berdasarkan kekuatan mengikatnya yang digunakan dalam penulisan ini yaitu :

1. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan yang mempunyai kekuatan mengikat seperti norma dasar, peraturan perundang- undangan atau putusan pengadilan.

(24)

15

Bahan hukum primer dalam penulisan ini antara lain :

- Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian

- Undang - undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan perubahan-perubahannya.

- Undang-undang Nomor 1 Tahun 1982 tentang Pengesahan Konvensi Wina Tahun 1961 mengenai Hubungan Diplomatik dan Konvensi Wina Tahun 1963 mengenai Hubungan Konsuler.

- Undang-undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri.

- Undang - undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.

- Undang – undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh.

- Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

- Peraturan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia No.

09/A/KP/XII/2006/01 tentang Panduan Umum Tata Cara Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri oleh Pemerintah Daerah.

- Permendagri Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah Daerah dengan Pihak Luar Negeri.

2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan mengenai bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum primer dan isinya tidak mengikat. Bahan hukum sekunder yang digunakan penulis disini adalah buku-buku yang membahas mengenai hukum internasional, terutama yang terkait dengan perjanjian internasional dan otonomi serta pemerintah daerah. Selain buku- buku,penulis juga menggunakan artikel, jurnal,

(25)

majalah serta makalah dari berbagai sumber yang berkaitan dengan permbahasan yang ditulis.

3. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Dalam tulisan ini, penulis akan menggunakan kamus dan ensiklopedi yang berkaitan dengan masalah yang dianalisis, seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia yang digunakan untuk menyamakan berbagai defenisi dan istilah- istilah yang berhubungan dengan permasalahan yang ditulis.

H. SISTEMATIKA PENULISAN

Adapun sistematika dalam penulisan nya adalah sebagai berikut : BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini penulis menguraikan latas belakang mengenai atas dasar apa skripsi ini situlis; permasalahan yang menjadi pokok bahasan dalam penulisan skripsi ini; tujuan penulisan skripsi ini; manfaat penulisan skrispsi ini; keaslian dari skripsi ini; defenisi operasional yang digunakan dalam penulisan skripsi ini; metode penulisan yang digunakan dalam rangka pencarian data untuk penulisan skripsi ini; serta bagaimana sistematika penulisan skripsi ini.

BAB II : DASAR HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL

Dalam bab ini penulis menguraikan bagaimana dasar hukum perjanjian internasional. Bab ini terbagi dalam 3 subbab, yaitu subbab mengenai pengaturan tentang perjanjian internasional

(26)

17

menurut hukum internasional, subbab mengenai perkembangan hukum nasional Indonesia mengenai perjanjian internasional dan subbab mengenai kaitan antara hukum internasional dengan hukum nasional mengenai perjanjian internasional.

BAB III : KEWENGANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM MEMBUAT PERJANJIAN INTERNASIONAL

Dalam bab ini, penulis akan menguraikan secara lebih rinci mengenai permasalahan kewenangan Pemerintah Daerah dalam membuat suatu Perjanjian Internasional. Pada bab ini akan dijelaskan lebih lanjut tentang bagaimanakah Pemerintah Daerah dapat membuat sebuah Perjanjian Internasional yang berdasarkan dengan konsep Pemerintahan Daerah di Indonesia. Selain itu, pada bab ini juga dijelaskan apa saja yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah serta bagaimana tahapan atau prosedur pembuatan sebuah Perjanjian Internasional itu sendiri.

BAB IV : ANALISIS YURIDIS PERJANJIAN INTERNASIONAL

KERJASAMA SISTER CITY ANTARA PEMERINTAH KOTA

BANDA ACEH DENGAN PEMERINTAH KOTA

HIGASHIMATSUSHIMA

Dalam bab ini, penulis menganalisis Perjanjian Internasional Kerjasama Sister City antara Pemerintah Kota Banda Aceh dengan Pemerintah Kota Higashimatsushima secara rinci.

Analisis ini terlebih dahulu akan didahului dengan uraian singkat

(27)

mengenai sister city dan deskripsi singkat mengenai perjanjian yang menjadi objek kajian di atas.

BAB V : PENUTUP

Dalam bab ini penulis akan mencoba memberikan kesimpulan dari apa yang telah di uraikan dan dianalisis pada bab- bab sebelumnya. Kemudian penulis juga akan menuliskan saran- saran bagi para pihak yang nantinya akan membutuhkan skripsi ini.

(28)

BAB II

DASAR HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL

A. PENGATURAN TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL MENURUT HUKUM INTERNASIONAL

Dalam dunia yang terus berkembang secara pesat, perjanjian Internasional telah mengalami berbagai perkembangan yang pesat seiring dengan perkembangan hukum Internasional. Perjanjian Internasional dapat kita katakan sebagai sumber hukum yang terpenting dewasa ini, karena perjanjian internasional merupakan instrumen utama hubungan internasional antar negara.§§§§§ Hukum Internasional telah memerikan dasar hukum bagi perjanjian Internasional sebagaimana yang diatur dalam Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional. Pada masa modern ini, batas- batas teritorial suatu negara tidaklah menjadi tembok penghalang lagi bagi negara- negara dalam bertukar informasi ataupun memenuhi kebutuhan negaranya. Perjanjian Internasional merupakan salah satu hal atau sumber hukum yang paling penting dalam sebuah Hukum Internasional. Berdasarkan hukum internasional yang berlaku, perjanjian internasional merupakan prioritas utama dari hierarki sumber hukum internasional yang tersirat dalam Article 38 (1) Statute of International Court of Justice (Statuta Mahkamah Internasional) yang menyatakan:******

“1. The Court, whose function is to decide in accordance with internasional law such disputes as are submitted to it, shall apply:

§§§§§

Sefriani, SH, M.Hum., Hukum Internasional, Suatu Pengantar, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, hlm. 28.

****** Article 38 (1) Statute of International Court of Justice

(29)

a. International conventions, whether general or particular, establishing rules expressly recognized by the contesting states;

b. International Customs, as evidence of a general practice accepted by law;

c. The general principles of law recognized by civilized nations;

d. Subject to the provisions of Article 59, judicial decisions and the teachings of most highly qualified publicist of the various nations, as subsidiary means for the determination of rules of law.

Pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional tersebut dianggap sebagai suatu pernyataan yang sempurna mengenai sumber hukum internasional††††††. Perjanjian Internasional adalah salah satu sumber penting bagi hukum Internasional yang dimana dapat dilihat kedua sifat dan karakteristiknya berkaitan satu sama lain.

Hingga saat ini terdapat 2(dua) konvensi yang mengatur tentang perjanjian Internasional, yang antara lain adalah sebagai berikut :

1. Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Perjanjian Internasioal (Vienna Convention on The Law of Treaties)

Konvensi Wina Tahun 1969 ditandatangani pada tanggal 23 Mei 1969 dan efektif berlaku di negara-negara yang menandatanganinya pada tanggal 27 Januari 1980‡‡‡‡‡‡. Konvensi ini telah diratifikasi oleh 35 negara§§§§§§.

Pada konvensi ini pertama kali memuat ketentuan-ketentuan (code of conduct yang mengikat) mengenai perjanjian internasional, karena itulah Konvensi Wina tahun 1969 dikatakan sebagai induk perjanjian Internasional*******. Sebelum adanya Konvensi Wina 1969 perjanjian antar negara diselenggarakan semata-mata berdasarkan asas-asas seperti good faith, pacta sun

††††††

Ian Brownlie, Principles of Public International Law, Oxford: Clarendon Press, 1996, hlm.

3. ‡‡‡‡‡‡

Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Vienna_Convention_on_the_Law_of_Treaties diakses pada 7 November 2017

§§§§§§

Vienna Convention on the Law of Treaties,. hlm. 1

*******

Sumber: http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4268/konvensi-wina-1969-induk- pengaturan-perjanjian-inrenasional diakses pada 17 November 2017

(30)

21

servanda dan perjanjian tersebut terbentuk atas consent dari negara-negara di dalamnya. Pada intinya sebelum keberadaan Konvensi Wina 1969 Perjanjian Internasional antar negara diatur berdasarkan kebiasaan internasional yang berbasis pada praktik negara dan keputusan-keputusan Mahkamah Internasional maupun pendapat-pendapat para ahli hukum internasional (sebagai perwujudan dari opinion juris).

Konvensi Wina 1969 terdiri dari dua bagian, yaitu bagian konsiderans dan bagian isi serta terdapat pula annex dan dua deklarasi. Konsiderans yang dimaksud ini menggambarkan dasar-dasar pertimbangan dari sudah lahirnya konvensi, baik berupa fakta- fakta yang sudah ada dan berlaku sebelumnya, maupun asas- asas hukum yang melandasi substansi atau pasal- pasal konvensi, serta tujuan yang hendak dicapai oleh konvensi†††††††.

Konvensi Wina tentang perjanjian internasional tidak hanya sekedar merumuskan kembali hukum kebiasaan internasional ke dalam bidang perjanjian, melainkan juga merupakan pengembangan secara progresif hukum internasional tentang perjanjian. Namun dalam Konvensi Wina ini tetap mengakui eksistensi hukum kebiasaan internasional tentang perjanjian, khususnya tentang persoalan- persoalan yang belum diatur dalam Konvensi Wina.

2. Konvensi Wina Tahun 1986 tentang Perjanjian Internasional antara Negara dengan Organisasi Internasional atau antar Organisasi Internasional (Vienna Convention on The Law of Treaties Between States and International Organizations or Between International Organization)

†††††††

I, Wayan Parthiana. Hukum Perjanjian Internasional, Bagian I, Bandung, : Mandar Maju, 2002,. hlm. 51

(31)

Konvensi Wina Tahun 1986 adalah konvensi pengembangan dari Konvensi Wina Tahun 1969. Pasal 6 Konvensi Wina Tahun 1969 menekankan bahwa hanya negara saja yang dapat membuat perjanjian Internasional. Seperti halnya dengan Konvensi Wina Tahun 1969, Konvensi ini juga memiliki dua bagian, yaitu bagian konsiderans dan bagian substansi. Bahkan beberapa butir dari konsiderans Konvensi Wina tahun 1969 dapat ditemukan juga di dalam Konvensi Wina tahun 1986. Sedangkan beberapa butir lagi memang terdapat perbedaan yang menandakan adanya perbedaan antara kedua konvensi ini. Hal ini menandakan bahwa konvensi Wina tahun 1986 ini isi dan jiwanya maupun maksud dan tujuannya tidak jauh berbeda dengan konvensi Wina 1969.

Kenyataan ini dapat dimaklumi karena pada dasarnya kedua konvensi mengatur tentang perjanjian internasional, hanya saja subyek yang terikat atau yang menjadi pihak di dalam perjanjian yang diatur dalam dua konvensi berbeda‡‡‡‡‡‡‡.

Namun, dalam tulisan ini penulis akan menggunakan Konvensi Wina Tahun 1969 karena pembahasannya terkait dengan perjanjian internasional dengan negara sebagai subjek dari pembuat perjanjian internasional itu sendiri.

Untuk mengetahui lebih rinci mengenai pembahasan selanjutnya, maka akan dibahas berbagai penjelasan lebih lanjut mengenai perjanjian internasional.

1. Pengertian Perjanjian Internasional

Hukum Internasional yang mengatur perjanjian Internasional terdapat dalam Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional. Pada dasarnya, sebuah perjanjian Internasional adalah sebuah perjanjian tertulis yang

‡‡‡‡‡‡‡

Ibid., hlm. 69-70

(32)

23

dibuat oleh dua atau lebih Negara yang berdaulat atau organisasi Internasional.

Perjanjian Internasional dapat diakhiri dengan berbagai cara, antara lain mulai dari kesepakatan yang diatur di dalam perjanjian Internasional, repudiasi kewajiban oleh salah satu pihak di dalam perjanjian Internasional, dan hilangnya obyek dari perjanjian internasional atas dari prinsip hukum rebus sic stantibus.

Menurut Konvensi Wina Tahun 1969 dan beberapa pendapat para sarjana, perjanjian Internasional disebutkan dengan istilah “Treaty”. Pengertian perjanjian Internasional menurut Konvensi Wina Tahun 1969 yang terdapat pada pasal 2 ayat (1) huruf a adalah§§§§§§§ :

“Treaty means an international agreement conclude between states in written form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation.”

(Perjanjian artinya suatu persetujuan Internasional yang diadakan antara Negara-negara dalam bentuk yang tertulis dan diatur dalam hukum Internasional, baik yang berupa satu instrumen tunggal atau berupa dua atau lebih instrumen yang berkaitan tanpa memandang apapun juga namanya).

Para sarjana hukum internasional telah memberikan defenisi masing- masing mengenai apa yang ditekankan dalam istilah tersebut. Dari defenisi- defenisi itu makan dapat ditarik persamaan yang menggambarkan ciri- ciri perjanjian internasional.

Menurut I Wayan Parthiana, perjanjian Internasional adalah kata sepakat antara dua atau lebih subjek hukum Internasional mengenai suatu objek atau masalah tertentu dengan maksud membentuk suatu hubungan hukum atau melahirkan hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum Internasional********.

§§§§§§§ Vienna Convention on the Law of Treaties,. Pasal 2 ayat (1)

********

I. Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional, 2002, Bagian I, Op. Cit., Hlm. 12

(33)

Sedangkan menurut Mochtar Kusumaatmadja, perjanjian Internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa yang bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu††††††††.

Dari pengertian- pengertian di atas, maka terdapat beberapa ciri atau kriteria dasar yang dipenuhi oleh suatu perjanjian untuk dapat ditetapkan sebagai sebuah perjanjian internasional, sesuai dengan apa yang telah dikemukakan oleh Konvensi Wina Tahun 1969 tentang perjanjian internasional, yaitu‡‡‡‡‡‡‡‡ :

1. Perjanjian harus berkarakter internasional (an international agreement), sehingga tidak mencakup perjanjian- perjanjian berskala nasional.

2. Perjanjian harus dibuat oleh negara dan/atau organisasi internasional (by subject of international law). sehingga tidak mencakup perjanjian yang sekalipun bersifat internasional namun dibuat oleh non subyek hukum internasional.

3. Perjanjian tunduk pada rezim hukum internasional (governed by international law) yang oleh Undang-undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional disebut dengan “diatur dalam hukum internasional serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik”. Perjanjian yang tunduk pada hukum perdata tidak mencakup kriteria ini.

Dalam pembahasan mengenai “governed by international law” yang sering menimbulkan kerancuan, maka komisi Hukum International (International Law Committee) yang membuat konvensi tersebut menjelaskan lebih lanjut bahwa

††††††††

Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kedua, Cetakan ke-1, Alumni, Bandung, 2003, hlm. 117.

‡‡‡‡‡‡‡‡

Damos Dumoli Agusman. Hukum Perjanjian Internasional (Kajian Teoritis dan Praktik Indonesia). (Bandung: Refika Aditama, 2010), hlm. 20.

(34)

25

suatu dokumen dikatakan “governed by international law” jika memenuhi dua unsur, yaitu:

a. Adanya maksud menciptakan kewajiban dan hubungan hukum (intended to create obligations and legal relations). there may be agreements whilst concluded between States but create no obligation and legal relations.§§§§§§§§

b. Tunduk pada rezim hukum Internasional (Under International Law).

There may be agreement between States but subject to the local law of one of the parties or by a private law system/conflict of law*********. Meskipun Komisi Hukum Internasional telah berusaha memberi penjelasan lebih tetapi masih timbul permasalahan mengenai bagaimana sebuah dokumen dapat dikategorikan sebagai “governed by international law”.

2. Perjanjian Internasional sebagai Sumber Hukum Internasional

Menurut Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional (Statute of International Court of Justice), menyatakan bahwa Perjanjian Internasional adalah salah satu sumber Hukum Internasional. Hal tersebut dikarenakan banyak kelebihan yang terdapat dalam Perjanjian Internasional untuk digunakan dalam praktik internasional dibandingkan dengan sumber hukum lainnya, atau bisa disebut Perjanjian internasional merupakan sumber hukum internasional yang utama. Penempatan perjanjian Internasional pada posisi tertinggi hierarki yang disebutkan dalam pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional menjadi bukti lainnya bahwa secara tidak langsung menyatakannya sebagai salah satu sumber hukum terpenting. Perjanjian internasional yang dimaksud disini adalah perjanjian

§§§§§§§§

ILC Draft and Commentary on the Law of Treaties, AJIL, Vol 61, 1967

*********

Report of the ILC Special Rapporteur, 1962

(35)

anggora masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan mengadakan suatu akibat tertentu yang dibuat antara negara- negara dengan negara-negara; maupun negara dan kesatuan lainnya bukan negara; serta kesatuan-kesatuan bukan negara satu sama lain.†††††††††

3. Sifat Perjanjian Internasional

Pengaruh suatu perjanjin internasional dalam memberikan arahan terhadap pembentukan kaidah-kaidah hukum internasional tergantung kepada sifat dari perjanjian internasional yang bersangkutan. Agar lebih mudah mengidentifikasinya, antara lain adalah sebagai berikut :

1. Perjanjian Internasional yang membuat hukum (Law Making Treaties)

Perjanjian internasional yang membuat hukum ini menetapkan aturan- aturan yang berlaku secara universal dan bersifat umum. Ketentuan-ketentuan dari perjanjian internasional tersebut menjadi sumber hukum internasional, namun beda halnya dengan perjanjian internasional yang berbentuk kontrak karena hanya mengikat pihak-pihak diantaranya saja.

Perjanjian internasional yang membuat hukum ini pada hakikatnya tidak dapat menjadi suatu ketentuan yang memuat kaidah hukum internasional yang berlaku secara menyeluruh. Pembagian perjanjian-perjanjian internasional yang membuat hukum terbagi menjadi:

a. Memuat kaidah-kaidah hukum internasional yang universal b. Menetapkan kaidah-kaidah umum

†††††††††

Frams E. Likadja, Desain Konstruksional Dasar Hukum Internasional, (Jakarta:

Ghlm.ia,1988) hlm. 102.

(36)

27

Penggunaan istilah law making treaties yang digunakan di berbagai perjanjian internasional ini tidak sepenuhnya menetapkan kaidah-kaidah hukum seperti kewajiban-kewajiban kontraktual yang harus ditaati negara pesertanya.

2. Perjanjian Internasional berupa Kontrak (Treaty Contract)

Perjanjian Internasional berupa kontrak merupakan perjanjian yang dibuat antara dua atau beberapa negara yang menyetujui atau memiliki satu pandangan yang sama terhadap satu permasalahan khusus yang menyangkut negara-negara yang bersangkutan. Perjanjian berupa kontrak ini tidak serta merta menjadi sumber hukum internasional, namun diantara pesertanya dapat menjadi hukum yang khusus maka digunakan istilah konvensi-konvensi khusus yang terdapat dalam pasal 38 ayai (1) (a) Statuta International Court of Justice.‡‡‡‡‡‡‡‡‡

4. Bentuk dan Istilah Perjanjian Internasional

Bentuk – bentuk utama dari perjanjian Internasional antara lain adalah sebagai berikut : §§§§§§§§§

1. Perjanjian Internasional yang dibuat oleh kepala-kepala negara selaku pemegang kedaulatan negara.

2. Perjanjian Internasional yang dibuat antar pemerintah. Dalam praktik digunakan untuk perjanjian yang bersifat non-politis.

3. Perjanjian Internasional yang dibuat antar negara secara tegas atau implisit.

4. Perjanjian dapat dirundingkan dan ditandatangani di antara menteri negara terkait, yang biasanya diwakilkan oleh Menteri Luar Negeri.

‡‡‡‡‡‡‡‡‡

J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional Jilid 1, (An Introduction to International Law), diterjemahkan oleh Bambang Iriana, cet. kesepuluh , (Jakarta: Sinar Grafika,1992), hlm. 55.

§§§§§§§§§

J.G. Starke. Pengantar Hukum Internasional Jilid 2, (An Introduction to International Law), diterjemahkan oleh Bambang Iriana, cet. kedua, (Jakarta: Sinar Grafika,1992), hlm. 585.

(37)

5. Dapat berupa perjanjian antar departemen yang diwakili oleh wakil departemen pemerintah khusus.

Dalam perkembangan perjanjian internasional dari waktu ke waktu, muncul berbagai istilah atau terminologi yang digunakan berbagai pihak untuk menyatakan perjanjian internasional. Namun perbedaan istilah yang digunakan tidak akan menimbulkan perbedaan yuridis, baik secara formil maupun materil dalam perjanjian tersebut. Pada penyusunan Konvensi Wina 1969 Komisi Hukum Internasional melihat tidak ada artinya melakukan pembedaan penamaan tersebut sehingga hanya digunakan istilah treaty. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Komisi Hukum Internasional menyatakan bahwa perbedaan yuridis dari berbagai perjanjian internasional tidak ditntukan oleh nomenklatur melainkan ditentukan oleh materi dari perjanjian itu sendiri. **********

Berikut adalah berbagai terminologi yang sering digunakan untuk menyatakan perjanjian internasional:

1. Perjanjian Internasional atau Traktat (Treaty)

Treaty memiliki pengertian baik secara umum maupun khusus. Dalam arti umum, treaty memiliki pengertian yaitu mencakup segala hal yang ada dalam perjanjian internasional itu sendiri, baik subyek yang terlibat, substansi, dan ketertarikan perjanjian internasional tersebut terhadap hukum internasional.

2. Konvensi (Convention)

Jika dilihat dari ketentuan Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional menyebutkan convention sebagai salah satu sumber hukum internasional. Maka

**********

ILC Draft and Commentary on the Law of Treaties, Op. cit., hlm. 288.

(38)

29

dari itu, istilah ini menyatakan konvensi memiliki kedudukan tertinggi karena seringnya digunakan dalam praktik internasional. ††††††††††

3. Persetujuan (Agreement)

Istilah agreement sering dijumpai di perjanjian internasional yang bersifat teknis dan administratif. Jenis perjanjian ini ruang lingkupnya relatif lebih kecil dibandingkan perjanjian lainnya.

4. Piagam (Charter)

Istilah ini sangat erat kaitannya dengan organisasi internasional dikarenakan dalam pembentukan sebuah organisasi internasional pembentukannya sering menggunakan istilah charter untuk menentukan konstitusi dan dasar dari pembentukan organisasi tersebut.

5. Kovenan (Covenant)

Penggunaan istilah covenant dalam pembentukan perjanjian internasional, hampir sama dengan istilah charter yakni erat kaitannya dengan perjanjian internasional yang kemudian dijadikan sebagai konstitusi bagi suatu organisasi internasional.

6. Deklarasi (Declaration)

Deklarasi dalam Bahasa Indonesia diartikan sebagai pengumuman. Pada umumnya isi dari deklarasi merupakan kesepakatan antara para pihak yang masih bersifat umum dan berisi tentang hal-hal yang merupakan pokok saja‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡.

††††††††††

Ibid, hlm. 91.

‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡

Ibid,. hlm. 29.

(39)

7. Memorandum Saling Pengertian (Memorandum of Understanding)

Perjanjian ini mengatur pelaksanaan teknik operasional suatu perjanjian induk, sepanjang materi yang diatur bersifat teknik, MoU dapat berdiri sendiri dan tidak memerlukan adanya perjanjian induk.

8. Protokol (Protocol)

Protokol sendiri terdapat beberapa jenis yaitu protocol of signature, optional protocol, dan protocol based on a framework treaty§§§§§§§§§§, yang keseluruhannya bersifat perjanjian tambahan bagi ketentuan yang belum diatur dalam perjanjian utamanya.

9. Statuta (Statute)

Istilah statuta sering digunakan untuk perjanjian internasional yang dijadikan sebagai konstitusi suatu organisasi internasional yang hampir serupa dengan istilah charter.

10. Pertukaran Nota (Excghange of Notes)

Exchange of Notes adalah suatu pertukaran penyampaian atau pemberitahuan resmi posisi pemerintah masing-masing Negara yang telah disetujui bersama mengenai suatu masalah tertentu. Instrumen bisa menjadi suatu perjanjian itu sendiri jika para pihak bermaksud untuk itu, yang dikenal dengan istilah Exchange of Notes.

11. Modus Vivendi

Istilah ini kerap digunakan sebagai sebuah instrumen kesepakatan yang bersifat sementara dan informal dimana para pihak pada umumnya akan

§§§§§§§§§§

Ibid,. Hlm. 92-93.

(40)

31

menindaklanjuti dengan mengadakan perjanjian yang lebih formal dan bersifat permanen***********

.

5. Tahap-tahap Pembuatan Perjanjian Internasional

Dalam pembuatan suatu perjanjian internasional, terdiri atas tahapan- tahapan sebagai berikut :

1. Perundingan

Langkah pertama yang harus ditempuh suatu negara saat hendak melakukan sebuah negosiasi adalah mengutus wakil-wakil untuk melakukan negosiasi. Wakil-wakil yang dikirimkan sebuah negara untuk melakukan perundingan harus memenuhi kriteria yang dimuat dalam Konvensi Wina 1969 Pasal 7, negara dapat menunjuk seseorang yang ditunjuk untuk mewakili negara tersebut dalam tahap-tahap pembuatan perjanjian internasional dengan membuat surat kuasa penuh (full powers). Surat kuasa penuh tidak diperlukan apabila dari praktek negara yang berunding mereka harus menganggap orang yang bersangkutan sebagai mewakili negara pengirim dan melepaskan surat kuasa penuh (Pasal 7 Konvensi Wina 1969). Pada ayat 2 menyatakan bahwa (a) Kepala Negara, kepala pemerintahan dan menteri luar negeri; (b) kepala perwakilan diplomatik dalam rangka mengadopsi perjanjian antara Negara pengirim dan negara penerima misi diplomatik; (c) Perwakilan Negara pada suatu konfrensi internasional, organisasi internasional dan organnya dalam rangka mengadopsi

***********

Ibid.

Referensi

Dokumen terkait

Tabel di atas menunjukkan nilai T hitung sebesar 10.922 lebih besar dari T tabel sebesar 2.144, nilai signifikansi sebesar 0.000 lebih kecil dari 0.05 dan nilai koefisien

Karya Abidah memang tidak terlepas dari isu feminisme, namun dalam novel “Akulah Istri Teroris” (yang kemudian disingkat AIT), Abidah muncul dengan pembaharuan novelnya

Karena wanita hamil karena zina ini akhirnya menikah dengan laki-laki yang menghamilinya maka masalah berikutnya adalah siapa yang nantinya berhak menjadi wali nikah, jika

Tujuan yang diharapkan dari penelitian tindakan kelas (PTK) ini adalah untuk mengetahui peningkatan kemampuan memahami persamaan kuadrat dengan metode kerja

– Anda menyatakan bahwa anda percaya Tuhan Anda menyatakan bahwa anda percaya Tuhan menciptakan pria dan wanita untuk suatu tujuan menciptakan pria dan wanita untuk suatu tujuan.

ANALISIS HANDOFF JARINGAN UMTS DENGAN MODEL PENYISIPAN WLAN PADA PERBATASAN DUA BASE STATION UMTS.. Selama penulis menjalani pendidikan di kampus hingga diselesaikannya Tugas Akhir

Kesimpulan: Terdapat kecenderungan nilai growth hormone / IGF-1 lebih rendah dan nilai testosteron lebih tinggi pada pasien PPOK stabil dibanding orang sehat yang setara umur

Dengan demikian data yang direduksi akan memberi gambaran yang cukup jelas dan memfokuskan hal- hal yang didapatkan dari data lapangan mengenai pandangan