• Tidak ada hasil yang ditemukan

INDEPENDENSI HAKIM DAN FILOSOFI BERSUCI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "INDEPENDENSI HAKIM DAN FILOSOFI BERSUCI"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

INDEPENDENSI HAKIM DAN FILOSOFI “BERSUCI”

Oleh Erfani Aljan Abdullah1

Independensi menjadi prinsip fundamental yang dipegang teguh oleh lembaga peradilan. Secara normatif, hal ini dilandasi oleh dasar konstitusional sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 24 Ayat (1) bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 3 Ayat (1) dan Ayat (2) dinyatakan bahwa dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan. Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dilihat dari beberapa ketentuan di atas, independensi dicanangkan dalam rangka membentengi fungsi kekuasaan kehakiman dari pengaruh dan campur tangan dan kepentingan yang bersifat eksternal. Artinya, putusan hakim tidak boleh dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan di luar dari kepentingan penegakan hukum yang berkeadilan itu sendiri. Jadi, tidak boleh suatu putusan dijatuhkan lantaran dipengaruhi oleh tujuan politis suatu lembaga legislatif, atau dipengaruhi tujuan kepentingan hubungan kekeluargaan dari sanak famili.

Padahal, dalam realita dan praktik memutus perkara, kepentingan yang kerap kali melanda dan merusak nurani hakim, justru bersumber dari dalam dirinya. Adanya kepentingan atau pengaruh internal (dari dalam diri) yang berseberangan dengan keadilan itu, muncul lantaran jiwa dan ranah batiniah manusia pun merupakan ladang dari kepentingan syaithaniyah. Ladang atau lapak kerja syaithaniyah ini disebut oleh al Ghazali sebagai hawa atau syahawat.2

Dalam pada itu, agama (semua agama) pada prinsipnya telah menggariskan norma pembersihan diri. Dalam ajaran Islam, dikenal konsep Thaharah. Konsep ini secara sempit dipahami oleh sementara pihak hanya dalam konteks ‘fikih’ semata, yaitu bersuci dari hadats dan najis. Padahal, menurut al Ghazali, konsep thaharah yang

1 Hakim Pengadilan Agama Soreang, Penulis buku “Tasawuf Hakim”

2 Lihat Al Ghazali, Ihya ‘Ulum al Diin, j. III, h. 30

(2)

dikenal dan diajarkan dalam Islam, tidaklah hanya pada batas thaharah zhawahir atau bersuci secara lahiriah.3

Menurut al Ghazali nash-nash al Quran maupun hadits yang berkenaan dengan bersuci, jika dipahami secara cermat, sangat sederhana jika hanya dipahami dalam konteks lahiriah semata. Misalnya hadits Nabi saw “al thahuru nishful iman”4 bersuci merupakan setengah dari iman. Kurang lengkap kiranya, jika dipahami berdasarkan hadits ini, bahwa dengan sebatas bersuci dari hadats dan najis, seseorang telah dikatakan melengkapi setengah imannya. Apalagi ada hadits, “buniyad diinu ‘alan nazhafah”5, agama itu dibangun atas dasar kebersihan, maka belumlah cukup untuk mengatakan seseorang telah membangun pondasi agamanya, hanya lantaran telah bersuci sebatas dari hadats dan najis saja.6

Oleh karena itu, menurut al Ghazali pula, bersuci dalam ajaran agama itu memiliki hingga empat tingkatan.7

Pertama, thaharah zhawahir, yaitu kesucian lahiriah dengan cara bersuci dari hadats, najis, dan kotoran yang tidak tergolong najis sekalipun. Instrumen thaharah tingkatan dasar ini yang utama adalah air dalam hal ini untuk mandi, berwudhu, dan membersihkan najis dan kotoran.

Kedua, thaharah jawarih, yaitu kesucian anggota tubuh dari dosa dan kemaksiatan dengan cara bersuci melalui media taubat, mujahadah, dan taqarrub kepada Allah swt.

Ketiga thaharah qalb, yaitu kesucian hati dari sifat-sifat tercela dengan cara meninggalkan penyakit-penyakit hati seperti iri, dengki, riya’, sombong, ‘ujub, dan sebagainya. Kemudian menghiasinya dengan sifat-sifat terpuji seperti, tawadhu’, husnu zhann, pemaaf, ridha, dan sebagainya.

Keempat, thaharah sarair, yaitu kesucian nurani/matahati dari sesuatu selain Allah swt.

Dalam tingkatan ini upaya yang dilakukan adalah dengan cara riyadhah yaitu aktifitas batiniah dalam hal memurnikan akidah, hingga hanya Allah swt saja yang ada dalam sirrnya. Kesucian ini adalah tingkatan para Nabi dan Wali pilihan Allah swt.

Dari uraian tingkatan kesucian ini, al Ghazali menyimpulkan bahwa upaya menusia yang paling penting dalam hal thaharah ini sesungguhnya adalah thaharah sirr. Kendati

3 Lihat Lihat Al Ghazali, Ihya ‘Ulum al Diin, j. I, h. 135

4 Hadits riwayat HR. Muslim, Bab Fadhl Al Wudhu, No. 223. Ahmad No. 21834) dengan redaksi “al thahuuru syathrul iman” bersuci itu sebagian dari iman.

5 Hadits ini digunakan al Ghazali dalam memulai Kitab Asraar al Thaharah. Namun tidak ditemukan dalam kitab-kitab hadist, teks/redaksi hadits sedemikian itu. Meski demikian, secara esensial, kandungan hadits ini memiliki dukungan (syawahid) dari hadits-hadits lain mengenai thaharah.

6 Lihat Al Ghazali, Ihya ‘Ulum al Diin, J. I, h. 129

7 Ibid

(3)

pun manusia harus maksimal dalam mensucikan dirinya dari hadats, najis, maupun mensucikan dirinya dari dosa dan kemaksiatan, serta dari sifat-sifat tercela, manusia tidak boleh terlena hingga lupa untuk mensucikan sirrnya dari hal-hal selain Allah swt.8 Menurut kalangan Kristiani, terdapat ajaran yang juga fokus pada aspek pembersihan diri. Seperti disebut dalam Alkitab suatu nasihat untuk “membersihkan diri dari setiap pencemaran daging dan roh”. Pada zaman Yesus Kristus, banyak orang, termasuk para pemimpin agama Yahudi, bertindak berlebihan dalam hal kebersihan jasmani. Tetapi, mereka mengabaikan kebersihan moral dan rohani. (Markus 7:1-5)

Yesus meluruskan hal ini dengan mengatakan, “Tidak ada sesuatu pun dari luar yang masuk ke dalam seseorang dapat menajiskannya, karena masuknya lewat ususnya, dan keluar ke pelimbahan” Lalu, ia menambahkan, “Sesuatu yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya; karena dari dalam, dari hati orang, keluar pertimbangan yang merugikan: percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinaan, keinginan akan milik orang lain, kefasikan, tipu daya, tingkah laku bebas, mata dengki, dan sikap tidak masuk akal. Semua hal yang fasik ini menajiskan orang” (Markus 7:18- 23)

Dalam ajaran agama Buddha, semua proses dhamma atau dharma yang diajarkan kepada manusia, pada hakikatnya adalah untuk mencapai Nibbana. Nibbana adalah keadaan yang bahagia sekali, karena terbebas dari semua penderitaan (bathin).

Penderitaan batin ini bersumber dari tanhä, yaitu nafsu keinginan yang tidak ada habis- habisnya. Kesenangan-kesenangan yang tergolong tanhä meliputi Kämatanhä, yaitu kehausan akan kesenangan indriya, Bhavatanhä, yaitu kehausan untuk lahir kembali sebagai manusia berdasarkan kepercayaan tentang adanya "atma (roh) yang kekal dan terpisah" (attavada). Vibhavatanhä, yaitu kehausan untuk memusnahkan diri, berdasarkan kepercayaan, bahwa setelah mati tamatlah riwayat tiap-tiap manusia (ucchedaväda).9

Umat Hindu pun memiliki konsep tersendiri mengenai pentingnya manusia memperhatikan urgensi kebersihan dan kesucian diri yang di saat yang sama juga menjaga kebersihan batin, guna mewujudkan Swadharmanya sebagai manusia. Dalam Teks Sastra Hindu Wrehaspati Tattwa 61, disebutkan “auca ngarania nitya majapa maradina masarira”, artinya suci namanya senantiasa ber-japa dan menjaga kebersihan dan kesehatan badan atau Sarira. Mengulang-ulang merapalkan mantra, itulah Japa namanya. Manusia dalam upayanya menjadi suci dengan jalan menyeimbangkan dan

8 Ibid

9 Dikutip dari https://id.wikipedia.org/wiki/Dhamma

(4)

mensinergikan eksistensi jiwa dan raganya. Dengan demikian ia akan mampu berbuat Dharma.10

Dalam lingkup yang lebih luas, setiap unsur kehidupan ini memiliki prinsip jalan menuju suci masing-masing. Misalnya mengenai air, dalam Cankya Nitisastra VIII.17 dinyatakan “Suddha bhuumi gatamtoyam”, artinya air suci (Suddha) kalau meresap di bumi. Tentunya kalau tanah di bumi ini tidak tercemar. Kalau tanah di bumi ini dicemari berbagai limbah, tentunya air pun ikut kotor. Demikian pula disebutkan “Suddha naarii pativrata”, artinya istri suci kalau setia mengabdi pada suaminya. “Sucih ksemakaro raaja”, pemerintah disebut suci kalau sukses membahagiakan (Ksema) rakyatnya.

Implementasi kesucian itu punya kriterianya masing-masing. Brahmana suci kalau hidup beliau selalu dalam keadaan puas seimbang lahir batin (Samtusto brahmanah sucih).11

Konsep-konsep kebersihan dan kesucian dari berbagai ajaran agama ini jika dihubungkan kepada independensi hakim, tentu memiliki relevansi yang memadai.

Bagaimana mungkin cita-cita luhur penegakan hukum dan keadilan itu dapat terwujud, sementara manusia yang berperan menegakkannya masih diselimuti oleh situasi-situasi batiniah yang tercemar oleh intervensi internal yang selalu menggebu dari dalam dirinya sendiri.

Ini berarti, jika dikiaskan kepada hadits “al thahuru nishful iiman”, bahwa kesucian merupakan setengah dari keimanan, maka tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa independensii peradilan sesungguhnya dengan sendirinya telah merupakan setengah dari proses penegakan hukum dan keadilan itu sendiri. Untuk itu, memaknai independensi itu pun haruslah mencakup bukan saja pada ranah eksternal di luar hakim yang memutus, sebab adalah urgen pula bahwa hakim pun harus berjuang untuk terbebas dari intervensi internal yang bersumber dari hawa nafsunya. Tentunya berpegang teguh pada prinsip ajaran agama masing-masing hakim, yang pada prinsipnya seirama dalam mendudukan urgensi keterbebasan seseorang dari belenggu kotoran batiniah yang bersumber dari dalam diri.

Jika proses penegakan hukum dan keadilan yang dilakoni para hakim itu berhasil melewati jalan terjal menjaga independensi sedemikian itu, maka tidaklah berlebihan menyebut putusan yang dijatuhkan dengan adagium “Lex Semper Dabit Remedium – The law always give a remedy”, bahwa hukum selalu memberi obat.

10 Dikutip dari I Ketut Wiana, dalam https://www.posbali.id/konsep-suci-menurut-hindu/

11 Ibid.

(5)

Daftar Pustaka

 Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghazali, Ihya ‘Ulum al Diin.

 https://id.wikipedia.org/wiki/Dhamma

 https://www.posbali.id/konsep-suci-menurut-hindu/

Referensi

Dokumen terkait

Hidroksiapatit dapat disintesis dari tulang sapi sebagai bahan baku dengan menggunakan metode presipitasi.Pengaruh pH dan waktu reaksi dalam sintesis hidroksiapatit

Hasil analisis parameter fisika kimia perairan pada Tabel 1 terlihat bahwa pada masing-masing sampel air laut yang diambil di Perairan Porong Sidoarjo memiliki

Kadar fosfat dan oksigen terlarut di perairan Bolaang Mongondow umumnya bervariasi dan berbeda antara lapisan permukaan dengan di dekat dasar, sedangkan kadar nitrat di

Secara serentak ketiga variabel mempunyai pengaruh yang penting terhadap (Y), yang berarti kinerja karyawan dapat meningkat apabila pemimpin menerapkan gaya

1. Pihak Kedua memberi dana Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri untuk calon dosen DIKTI, sesuai ketentuan yang berlaku, kepada Pihak Pertama untuk mengikuti dan

- Klik “Depan” untuk menuju “B01” - Klik “Logo” untuk menuju “B01” - Klik “Pembelian Saya” untuk menuju “B11” - Klik “Keranjang” untuk menuju “B03” -

Atau, andaikan Anda sedang mengejar seorang kekasih. Lalu, dengan tidak bijaksana Anda membuat perbandingan antara diri Anda dengan orang lain yang sebenarnya tidak pernah ada.

Hal kedua dari isi buku tersebut mengenai faktor utama yang menentukan prestasi ekonomi suatu negara dan cara pemulihan perekonomian dengan memasukkan peranan pemerintah