STUDI ADSORPSI MERKURI MENGGUNAKAN KARBON AKTIF BERBAHAN BAKU KULIT DURIAN (APLIKASI PADA LIMBAH
PERTAMBANGAN EMAS RAKYAT DARI KAB. MANDAILING NATAL)
TUGAS AKHIR
CALVIN 120407018
PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2018
Universitas Sumatera Utara
i ABSTRAK
Penambangan emas di Kabupaten Mandailing Natal, Propinsi Sumatera Utara memanfaatkan merkuri (Hg) dalam kegiatannya. Setelah pemakaian, logam berat tersebut langsung dibuang ke badan air sehingga dapat membahayakan kesehatan pengguna air tersebut. Di saat yang bersamaan, buah durian (Durio zibethinus L.) yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia menghasilkan sampah berupa kulitnya yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku adsorben dalam pengolahan limbah cair.
Penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan kulit durian sebagai bahan baku karbon aktif (dengan aktivator KOH) yang akan digunakan untuk mengadsorbsi merkuri dari badan air yang tercemar dengan sistem batch. Variasi yang digunakan adalah waktu adsorbsi (30, 60, 90, 120, dan 150 menit) dan massa adsorben (1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, dan 9 gram). Hasil penelitian menunjukkan bahwa Hg teradsorbsi hingga 99,979%.
Kata kunci: Adsorbsi, merkuri, durian, waktu kontak, massa adsorben
Universitas Sumatera Utara
ABSTRACT
Gold mining in the Regency of Mandailing Natal, Province of North Sumatera uses mercury (Hg) in its processes. After usage, the heavy metal is then thrown to the nearest body of water without any treatment which could harm any creature that consumed the water. In the meantime, durian (Durio zibethinus L.) which is consumed en masse by Indonesians, contain husk that could be used as adsorbent in waste treatment. This research aims to convert durian husk into activated carbon (with KOH as activator) which is then used to adsorb mercury from polluted water using a batch system. The variants in this research are adsorption time (30, 60, 90, 120, and 150 minute) and adsorbent mass (1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, and 9 gram). Result shows that mercury could be adsorbed up to 99.979%.
Keywords: Adsorption, mercury, durian, adsorption time, adsorbent mass
iii
KATA PENGANTAR
Syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir dengan judul
“Studi Adsorpsi Merkuri Menggunakan Karbon Aktif Berbahan Baku Kulit Durian (Aplikasi Pada Limbah Pertambangan Emas Rakyat Dari Kab. Mandailing Natal)”.
Terimakasih Penulis ucapkan kepada :
1. Ibu Ir. Netti Herlina, M.T. selaku Ketua Prodi Teknik Lingkungan USU dan Dosen Pembimbing yang telah membimbing penulis menyelesaikan tugas akhir.
2. Ibu Dr. Ir. Renita Manurung, M.T. danBapak Dr. Amir Husin, S.T., M.T. selaku Dosen Penguji.
3. Ibu Isra’ Suryati, S.T., M.Si selaku Koordinator Tugas Akhir dan Dosen Wali.
4. Ibu Prof. Dr. Ir. Rosdanelli Hasibuan, M.T., Bapak Dr. Ir. Irvan, M.Si, dan Ibu Ir.
Lilis Sukeksi, M.Sc, Ph.D, secara berturut-turut sebagai Ketua Laboratorium Proses Industri Kimia (PIK), Ketua Laboratorium Ekologi, dan Ketua Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Teknik USU yang telah mengizinkan penulis menggunakan fasilitas dalam laboratorium beserta jajaran asisten yang telah membantu penulis menyelesaikan penelitiannya khususnya Widiya Febriyani sang operator spektrofotometer.
5. Ibu Meutia Nurfahasdi, S.T., M.Sc. yang telah memberikan masukan kepada penulis demi kesempurnaan tugas akhir.
6. Seluruf staf, dosen, dan karyawan Teknik Lingkungan USU.
7. Kedua orang tua penulis, Charles Kamil dan Hanna, beserta abang tercinta penulis, Erick Kamil, S.T. yang telah memberikan dorongan moril dan materil.
8. Rekan-rekan Teknik Lingkungan USU Angkatan 2012 yang telah menemani penulis selama masa perkuliahan, khususnya Daniel Nicocaesar Siahaan, Rizky Chairani Lubis, Bobby Suliyanto, dan Lavenia Roria Nadapdap.
9. Adik-adik Teknik Lingkungan USU yang telah memberikan dukungan kepada penulis, khususnya Vega Valentine Bangun dan Devina.
10. Semua pihak yang turut membantu dalam penyelesaian tugas akhir ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Universitas Sumatera Utara
Penulis menyadari bahwa tugas akhir ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kritik, saran, dan masukan dari semua pihak sangat diharapkan agar di masa yang akan datang proposal ini lebih sempurna. Semoga tugas akhir ini dapat memberikan sumbangan yang berarti dan bermanfaat. Sabbe satta bhavantu sukhitatta. Semoga semua mahluk berbahagia.
Medan, September 2018
Penulis
v DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR TABEL ... vii BAB I PENDAHULUAN ... I-1
1.1 Latar Belakang ... I-1 1.2 Rumusan Masalah ... I-5 1.3 Tujuan Penelitian ... I-5 1.4 Ruang Lingkup ... I-5 1.5 Manfaat Penelitian ... I-5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... II-1
2.1. Penambangan Emas di Kabupaten Mandailing Natal ... II-1 2.1.1. Sejarah ... II-1 2.1.2. Dampak... II-2 2.2. Merkuri ... II-4 2.2.1. Pengertian Umum ... II-4 2.2.2. Fungsi ... II-6 2.2.3. Efek Terhadap Manusia ... II-6 2.3. Adsorpsi ... II-7 2.4. Karbon Aktif ... II-10
2.4.1. Pembuatan Karbon Aktif ... II-11 2.4.2. Standar Karbon Aktif ... II-13 2.5. Durian ... II-13 2.6. Model Kinetika Adsorpsi ... II-14 2.6.1. Model Pseudo Orde Pertama ... II-14 2.6.2. Model Pseudo Orde Kedua ... II-15 2.7 Model Kesetimbangan Isoterm ... II-15 2.7.1. Isoterm Langmuir ... II-15 2.7.2. Isoterm Freundlich... II-16 BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... III-1 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... III-1 3.2. Alat dan Bahan ... III-1
Universitas Sumatera Utara
3.2.1. Alat ... III-1 3.2.2. Bahan ... III-1 3.3. Prosedur ... III-1 3.3.1. Pembuatan Karbon Aktif ... III-1 3.3.2. Karakterisasi Karbon Aktif... III-2 3.3.3. Pengujian Variasi Waktu Adsorpsi ... III-3 3.3.4. Pengujian Variasi Massa Adsorben ... III-3 3.3.9. Penerapan Pada Limbah Cair ... III-3 3.4. Bagan Alir ... III-4 3.4.1. Bagan Alir Pembuatan Karbon Aktif ... III-4 3.4.2. Bagan Alir Karakterisasi Karbon Aktif ... III-5 3.4.3. Bagan Alir Pengujian Variasi Waktu Adsorpsi ... III-7 3.4.4. Bagan Alir Pengujian Variasi Massa Adsorben ... III-7 3.4.5. Bagan Alir Penerapan Pada Limbah Cair ... III-8 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... IV-1 4.1. Pembuatan Karbon Aktif ... IV-1 4.1.1. Pre-Treatment... IV-1 4.1.2. Proses Karbonisasi... IV-1 4.1.3. Proses Aktivasi ... IV-2 4.2. Karakterisasi Karbon Aktif ... IV-3 4.2.1. Analisa Kadar Air ... IV-3 4.2.2. Analisa Kadar Abu ... IV-4 4.2.3. Analisa Daya Serap Iodin ... IV-4 4.3. Pengujian Variasi Waktu Adsorpsi... IV-5 4.4. Pengujian Variasi Massa Adsorben ... IV-6 4.5. Kinetika Adsorpsi ... IV-7 4.6. Isoterm Adsorpsi ... IV-8 4.7. Penerapan Pada Limbah Cair ... IV-10 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... V-1
5.1 Kesimpulan ... V-1 5.2 Saran ... V-1 DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
vii
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1.1 Penelitian Yang Memanfaatkan Kulit Durian dan Logam Hg I-3
Tabel 2.1 Persyaratan Arang Aktif SNI 06–3730-1995 II-13
Tabel 4.1 Analisa Kandungan Kulit Durian IV-1
Tabel 4.2 Hasil Uji Karakteristik Karbon Aktif IV-3
Tabel 4.3 Parameter Kinetika Adsorpsi IV-8
Tabel 4.4 Parameter Isoterm Adsorpsi IV-9
Tabel 4.5 Hasil Penyisihan Hg Pada Limbah Cair IV-10
Universitas Sumatera Utara
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah. Sumber daya alam ini merupakan sebuah kelebihan yang dapat dimanfaatkan demi kesejahteraan rakyat dan sebuah kekayaan yang kelestariannya harus dijaga. Pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam akan menjadi faktor penentu kelestarian lingkungan hidup di masa mendatang.
Salah satu sumber daya alam yang terdapat di Indonesia adalah bahan galian dalam tanah seperti logam emas (Au). Penambangan emas terdapat di banyak daerah di Indonesia, salah satunya berada di Kabupaten Mandailing Natal, Propinsi Sumatera Utara. Sektor penambangan emas di Kabupaten Mandailing Natal berada di enam kecamatan yakni Muarasipongi, Batang Natal, Batahan, Kotanopan, Nagajuang, dan Hutabargot (Hapni, 2016). Seiring ditemukannya prospek emas di daerah tersebut, semakin meningkat pula aktifitas penambangan yang dilakukan. Kegiatan penambangan umumnya menimbulkan kerusakan lingkungan bila tidak ditangani dengan baik.
Kegiatan penambangan emas dilakukan oleh penambang Kabupaten Mandailing Natal secara tradisional yakni menggunakan teknik yang sederhana dan relatif murah. Untuk penggalian, digunakan alat-alat seperti cangkul, linggis, palu, dan alat tradisional lainnya. Batuan yang mengandung emas hasil penambangan kemudian ditumbuk hingga berukuran kira-kira 1 cm. Selanjutnya, hasil tumbukan tersebut akan digiling dengan alat gelondong yang memiliki panjang 50-60 cm dan diameter 30 cm dengan alat penggiling 4-5 batang besi. Bijih dimasukkan dalam mesin gelondong, bersama dengan merkuri dan diputar selama beberapa jam untuk membentuk amalgam (Campuran antar logam; sering disebut alloy). Setelah proses penggilingan, amalgam dikeluarkan dan disaring menggunakan kain parasut. Pada proses penyaringan, emas yang masih diselimuti oleh merkuri tertinggal kemudian dilanjutkan dengan proses pembakaran untuk mendapatkan emas. Lumpur dan air yang masih mengandung merkuri yang lolos dari penyaringan dibuang langsung ke sungai sehingga menyebabkan pencemaran (Rangkuti, 2013).
I-2 Untuk mencegah dan menanggulangi sungai yang tercemar akibat merkuri perlu dilaksanakan tindakan pengolahan dan pengelolaan. Proses pengelolaan air yang sering dilakukan saat ini adalah dengan teknik adsorpsi dengan karbon aktif yang merupakan metode untuk menghilangkan polutan. Adsorben yang biasa digunakan dalam pengolahan air limbah menjadi air baku adalah karbon aktif, senyawa alam yang banyak terdapat dalam limbah pertanian atau buangan industri merupakan potensi adsorben murah (Zikra dkk, 2015). Karbon aktif merupakan suatu jenis karbon yang dapat dihasilkan dari bahan-bahan yang mengandung karbon atau dari arang yang diperlakukan dengan cara khusus untuk mendapatkan permukaan yang lebih luas (Mu’jizah, 2010). Bahan baku yang berasal dari hewan, tumbuhan, limbah atau mineral yang mengandung karbon dapat dibuat menjadi karbon aktif, antara lain tulang, kayu, sekam, tongkol jagung, tempurung kelapa, sabut kelapa, ampas penggilingan tebu, ampas pembuatan kertas, serbuk gergaji, dan batu bara (Sembiring dan Sinaga, 2003).
Salah satu material yang berpotensi digunakan sebagai adsorben adalah kulit durian.
Kulit durian dipilih sebagai bahan baku dalam penelitian ini sebab kulit durian banyak terdapat di sekitar kita dan merupakan limbah dari buah durian yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Secara kimiawi, komponen utama penyusun kulit durian adalah serat yang di dalamnya terkandung gugus selulosa, poliosa seperti hemiselulosa, lignoselulosa dan lignin (Santosa dkk., 2003). Kulit durian memiliki kandungan karbon yang cukup tinggi, sekitar 60% (Chandra dkk, 2009) sehingga dapat dijadikan bahan pembuatan karbon aktif untuk digunakan sebagai absorben. Menurut Apriani dkk (2013), kulit durian mengandung bahan yang tersusun dari selulosa yang tinggi (50–60
%) carboxymethylcellulose dan lignin (5%). Selulosa ini dapat digunakan sebagai pengikat bahan logam. Pada kulit durian terdapat tiga gugus hidroksil yang reaktif dan memiliki unit berulang-ulang yang membentuk ikatan hidrogen intramolekul dan antar molekul. Ikatan ini memiliki pengaruh yang besar pada kereaktifan selulosa terhadap gugus-gugus lain.. Dengan melihat struktur dan karakteristik dari kulit durian tersebut, memungkinkan untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan karbon aktif sebagai adsorben logam Hg.
Berikut adalah beberapa penelitian yang memanfaatkan kulit durian sebagai bahan baku karbon aktif ataupun yang menggunakan logam Hg sebagai sampel:
Universitas Sumatera Utara
No Peneliti Judul Penelitian Variasi
Hasil
Tetap Berubah
1
Zhang Fu-Shen, Jerome O. Nriagu, Hideaki Itoh (2005)
Mercury removal from water using activated
carbons derived from organic sewage
sludge
Sampel: Hg(NO3)2
Bahan baku: Organic Sewage Sludge Suhu: 650 0C (1 jam)
Aktivator: H2SO4, H3PO4, dan ZnCl2
Karbon aktif yang diaktivasi menggunakan ZnCl2
memiliki efektifitas sebesar 83,4%
2
Thio Christine Chandra, Magdalena
Maria Mirna, Jaka Sunarso, Yohanes Sudaryanto, Suryadi
Ismadji (2009)
Activated carbon from durian shell: Preparation
and characterization
Aktivator: KOH Bahan baku: Kulit durian
Suhu: 400, 450, 500, 550, 600, 650 0C
Suhu 500 0C menghasilkan luas penampang 849 m2/g
3
Ririn Apriani, Irfana Diah Faryuni, Dwiria
Wahyuni (2013)
Pengaruh Konsentrasi Aktivator Kalium Hidroksida (KOH) terhadap Kualitas Karbon Aktif Kulit Durian sebagai
Adsorben Logam Fe pada Air Gambut
Aktivator: KOH Sampel: Air gambut Bahan baku: Kulit durian
Suhu: 400 0C (2 jam)
Konsentrasi aktivator: 5%, 10%, 15%, 20%, 25%
Konsentrasi aktivator sebesar 25% memiliki efektifitas sebesar 85,38%
4
M. Azmier Ahmad, Norhidayah Ahmad, Olugbenga Solomon
Bello (2014)
Modified durian seed as adsorbent for the removal
of methyl red dye from aqueous solutions
Aktivator: KOH Sampel: Methyl red Bahan baku: Kulit durian Suhu: 800 0C (Kenaikan 10
0C per menit)
pH: 2 s/d 12 Adsorpsi maksimal pada pH 6 sebesar 92,52 %
5
Nasir La Hasan, Muhammad Zakir, Prastawa Budi (2014)
Desilikasi Karbon Aktif Sekam Padi sebagai
Adsorben Hg pada Limbah Pengolahan Emas
di Kabupaten Buru Propinsi Maluku
Aktivator: ZnCl2
Sampel: Hg(NO3)2.H2O Bahan baku: Sekam padi
Suhu: 400 0C (2 jam)
Desilikasi: NaOH 2,5 M, 5 M, 10 M
Waktu kontak: 5, 10, 20, 40, 60, 80, 100, 120 menit
Penurunan silika dengan NaOH 10 M hingga 68,24%
Logam Hg yang teradsorpsi selama 100 menit sebesar
99,5%
Tabel 1.1 Penelitian Yang Memanfaatkan Kulit Durian Dan Logam Hg
I-4 Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti kedua yaitu Chandra dkk (2009), aktivator KOH dan suhu aktivasi sebesar 500 0C menghasilkan luas penampang yang paling banyak sehingga untuk memaksimalkan potensial karbon aktif yang akan digunakan pada penelitian ini, kedua parameter tersebut akan diterapkan.
No Peneliti Judul Penelitian Variasi
Hasil
Tetap Berubah
6
Abdurrahman Bahtiar, Irfana Diah
Faryuni, M. Ishak Jumarang (2015)
Adsorpsi Logam Fe Menggunakan Adsorben
Karbon Kulit Durian Teraktivasi Larutan Kalium Hidroksida
Aktivator: KOH Sampel baku: Air Sungai
Menyuke Bahan: Kulit durian Suhu: 400 0C (2 jam)
Suhu kalsinasi: 800 dan 900
0C
Efektivitas pada suhu kalsinasi 800°C dan 900°C
masing-masing sebesar 93,06% dan 93,95%
7
Beni Febriansyah, Chairul, Silvia Reni
Yenti (2015)
Pembuatan Karbon Aktif dari Kulit Durian sebagai
Adsorbent Logam Fe
Aktivator: KOH 0,1N Sampel: Fe2O3
Bahan baku: Kulit durian Suhu: 320 0C (2 jam)
Massa karbon aktif: 1; 1,5; 2;
2,5; 3 gr
Waktu kontak: 30, 60, 90, 120 menit
Massa karbon aktif sebesar 3 gr dan waku kontak selama 120 menit memiliki
efektifitas hingga 96,75%
8
Nuvicha Rizqi Yuniva Zikra, Chairul, Silvia Reni
Yenti (2016)
Adsorpsi Ion Logam Pb dengan Menggunakan Karbon Aktif Kulit Durian
yang Teraktivasi
Aktivator: KOH 0,1N Sampel: Pb(NO3)2
Bahan baku: Kulit durian Suhu: 320 0C (2 jam)
Ukuran saringan: 60, 80, 100 mesh
Waktu kontak: 60, 90, 120 menit
Ukuran saringan 100 mesh dan waktu kontak 120 menit
menghasilkan efektifitas 90,68%
Tabel 1.1 Penelitian Yang Memanfaatkan Kulit Durian Dan Logam Hg (Lanjutan)
Universitas Sumatera Utara
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian later belakang permasalahan di atas, dapat diperoleh rumusan masalah sebagai berikut:
1. Sejauh mana karbon aktif berbahan baku kulit durian dapat mengadsorpsi Hg?
2. Bagaimana pengaruh waktu kontak dan massa adsorben terhadap adsorpsi Hg?
3. Bagaimana model isoterm adsorpsi dan kinetika adsorpsi penelitian ini?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian dari rumusan masalah di atas adalah sebagai berikut:
1. Untuk mempelajari efektivitas adsorpsi Hg menggunakan karbon aktif berbahan baku kulit durian
2. Untuk mempelajari pengaruh variasi waktu kontak dan variasi massa adsorben terhadap kinerja proses adsorpsi Hg
3. Untuk mengetahui model isoterm adsorpsi dan kinetika adsorpsi logam Hg 1.4. Ruang Lingkup Penelitian
Percobaan ini dilakukan dengan beberapa variabel yaitu:
Variabel tetap, antara lain:
1. Suhu karbonisasi adalah 500 0C selama 2 jam (Chandra, 2009) 2. Limbah sintetik yang digunakan adalah HgCl2
3. Limbah yang digunakan adalah air limbah pada pengolahan emas rakyat dari Kabupaten Mandailing Natal yang mengandung Hg
4. Aktivator yang digunakan adalah KOH
Variabel tidak tetap, antara lain:
1. Lama pengadukan adalah, 30, 60, 90, 120, dan 150 menit 2. Massa adsorben adalah 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, dan 9 g/l 1.5. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini antara lain sebagai berikut:
1. Memberikan informasi tentang kapasitas adsorpsi merkuri oleh karbon aktif berbahan kulit durian.
2. Memberikan informasi terhadap pengaruh variasi waktu kontak dan variasi massa adsorben terhadap kemampuan adsorpsi karbon aktif berbahan kulit durian.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penambangan Emas Di Kabupaten Mandailing Natal 2.1.1. Sejarah
Kabupaten Mandailing Natal yang terdapat di Propinsi Sumatera Utara merupakan kawasan yang memiliki sumber daya alam yang melimpah, khususnya di bagian pertambangan. Masyarakat Kabupaten Mandailing Natal menyadari potensi yang terdapat di daerah yang mereka tinggali itu, namun belum mengerti sepenuhnya terhadap efek yang mungkin ditimbulkan dari aktifitas pertambangan yang mereka jalankan.
Pada awalnya, kandungan emas dipercaya berasal dari sungai sehingga para penambang melakukan pendulangan menggunakan wadah berupa kuali guna memisahkan butiran emas dari pasir-pasir di sungai. Lambat laun, masyarakat menyadari bahwa terdapat emas yang lebih banyak di gunung dan bukit sehingga mulai dikenal kegiatan penambangan. Melalui kegiatan penambangan, penghasilan masyarakat meningkat dibandingkan dengan pendulangan yang hanya menghasilkan ±2 gram emas dalam kurun waktu satu minggu (Lubis, 2015).
Mulai menariknya aktifitas penambangan emas di kalangan masyarakat Kabupaten Mandailing Natal adalah pada tahun 2007 sejak menyebarnya kabar keberhasilan pengelolaan penambangan yang dilakukan di perbukitan, tepatnya di Bukit Sarahan (Hapni, 2016). Sebelum menjadi lokasi penambangan, daerah tersebut merupakan kebun masyarakat yang telah dikelola selama puluhan tahun sebagai mata pencaharian di waktu itu. Antara pemilik lahan, dan pengelola, dan pekerja telah dibuat kesepakatan dengan perjanjian bahwa pemilik lahan akan mendapatkan 20% dari hasil tambang yang diperoleh. Sementara antara pengelola dan pekerja juga telah setuju akan membagi keuntungan bersih 50:50 (Lubis, 2015).
Pada tempat yang akan dijadikan lokasi penambangan akan digali lubang dengan menggunakan pahat dan martil. Pekerja yang menggali lubang akan bekerja siang malam secara bergantian. Jumlah pekerja bergantung pada tingkat keberhasilan pada lubang tersebut dimana pekerja akan bertambah bila terdapat banyak bijih. Perlu
Universitas Sumatera Utara
diperhatikan bahwa kebanyakan para pekerja bukan berasal dari daerah tersebut melainkan dari pulau Jawa, khususnya dari luar daerah seperti Tasik dan Bogor. Jumlah pekerja dari luar pulau Sumatera berkisar 2000 orang.
Penambangan secara tradisional memiliki tingkat keamanan yang sangat rendah karena alat yang digunakan tergolong sangat sederhana. Ditambah dengan bekal pengetahuan yang sedikit tentang pengamanan saat penambangan, hal ini dapat menyebabkan kecelakaan kerja seperti longsornya lubang galian. Lubang yang dibuat pekerja hanya berukuran 1x1 meter dengan menggunakan kayu yang disusun sedemikian rupa sebagai penahan (Lubis, 2015).
2.1.2. Dampak
2.1.2.1. Dampak Ekonomi
Kegiatan penambangan emas masih kerap dilakukan walau banyak ancaman keselamatan dimana alasan utama adalah ekonomi. Kehidupan masyarakat di Kabupaten Mandailing Natal meningkat berkat aktifitas penambangan ini karena masyarakat ambil bagian sebagai kuli angkut, dimana proses pengangkatan batu dari lubang galian yang berada di atas bukit ataupun gunung dilakukan secara manual yaitu batu dimasukkan ke dalam karung goni kemudian diangkat sampai ke kaki gunung. Dari kegiatan mengangkat batu tersebut maka jasanya akan diupah sebesar Rp. 2000/kg dan rata-rata isi dari satu karung goni tersebut seberat 60 kg sehingga dari mengangkat satu karung goni batu didapat upah sebesar Rp. 120.000. Dalam satu hari masyarakat dapat mengangkat hingga tiga kali (Lubis, 2015).
Kalangan wanita seperti ibu-ibu turut ambil bagian dalam kegiatan memecah batu hingga berukuran 1-2 cm agar dapat digiling (Musthofa, 2016). Dari hasil memecahkan setiap kilogram batu dapat diperoleh upah sebesar Rp.1000. Setiap harinya para kaum ibu dapat memperoleh penghasilan hingga Rp.50.000; penghasilan tersebut di atas rata- rata penghasilan yang diperoleh sebelum adanya penambangan dimana kaum ibu yang bekerja sebagai buruh tani hanya mendapatkan upah antara Rp. 20.000 – 30.000 (Lubis, 2015).
II-3 2.1.2.2. Dampak Terhadap Lingkungan
Batu-batuan yang telah dipecah menjadi serpihan kecil selanjutnya akan digiling, atau yang disebut masyarakat sekitar digelondong. Penggilingan dimaksudkan untuk memisahkan batuan dengan emas. Pecahan batu akan dimasukkan dalam alat penggiling yang berupa tabung beserta dengan batangan besi untuk membantu proses penggilingan.
Selain itu, dimasukkan pula merkuri yang dapat mengikat logam membentuk sebuah campuran yang sering disebut amalgam atau alloy. Tabung-tabung tersebut dimasukkan dalam mesin berputar yang dapat menampung hingga 20 tabung. Proses penggilingan akan berlangsung selama 4-5 jam. Selama proses penggilingan akan ditambahkan air untuk memaksimalkan penggilingan (Lubis, 2015).
Setelah penggilingan selesai, akan diperoleh hasil berupa lumpur dengan merkuri di dasarnya sebab merkuri memiliki massa jenis yang lebih besar dibandingkan air.
Selanjutnya dilakukan proses penyaringan menggunakan kain terpal sehingga merkuri yang tidak mengandung butiran emas akan terpisah dan menyisakan amalgam yang tinggal dalam kain penyaring. Merkuri beserta air yang lolos dari penyaringan bila dianggap tidak mengandung emas lagi akan dibuang ke sungai (Lubis, 2015).
Selanjutnya emas dipisahkan dari amalgam dengan pembakaran hingga didapatkan logam paduan emas dan perak (bullion) (Musthofa, 2016).
Air sungai yang telah tercemar merkuri banyak digunakan masyarakat untuk kegiatan sehari-hari seperti mandi dan mencuci sehingga membahayakan kesehatan penduduk.
Selain itu, aliran sungai juga dialirkan ke kolam ikan dan sawah untuk menyiram tanaman sehingga bukan hanya manusia yang terancam tetapi juga makhluk hidup lainnya (Lubis, 2015).
2.1.2.3. Dampak Terhadap Pekerja
Meninggalnya pekerja saat menambang sudah dianggap biasa di kalangan pekerja tambang. Hal ini disebabkan oleh faktor keamanan yang tidak memadai dan aktifitas yang dilakukan dengan fasilitas yang sederhana dan kurang melindungi pekerja. (Lubis, 2015).
Universitas Sumatera Utara
Kecelakaan kerja dapat dipengaruhi beberapa hal, yakni:
1. Longsornya dinding tambang.
Dinding tambang dipasangi kayu-kayu penahan yang disebut ram. Kayu-kayu yang digunakan umumnya kayu keras seperti meranti dan ulin. Meskipun begitu, kayu-kayu tersebut belum cukup untuk menahan tekanan tanah, belum lagi adanya hujan dan gempa yang dapat menambah tekanan terhadap volume tanah.
Longsor umumnya terjadi pada kedalaman <20 meter sebab struktur tanah belum sepenuhnya bebatuan, berbeda dengan kedalaman >20 meter yang strukturnya merupakan bebatuan keras (Lubis, 2015).
2. Kurangnya oksigen
Karena panjangnya tambang, maka seiring bertambahnya kedalaman semakin berkurang kandungan oksigen. Pemasangan mesin blower untuk memompa udara ke dalam tambang kadang menghadapi masalah seperti mati mesin, atau tambang yang terlalu dalam sehingga udara dari blower tidak tersalurkan (Lubis, 2015).
3. Zat asam dalam tambang
Terdapat banyak unsur dalam tambang, salah satunya adalah H2SO4 yang dapat membahayakan kesehatan dan keselamatan manusia. Zat ini bersifat korosif dan dapat menyebabkan luka bakar dan iritasi tinggi dan bila terhirup dapat menyebabkan pengikisan tulang. Pekerja tambang sering terpapar karena minimnya peralatan pelindung. Kurangnya perlindungan ditambah dengan seringnya pekerja keluar masuk tambang akan menyebabkan terjadi efek kumulatif akibat penimbunan dalam tubuh (Lubis, 2015).
2.2. Merkuri
2.2.1. Pengertian Umum
Merkuri merupakan unsur logam golongan IIB yang memiliki nomor atom (NA) 80 dan massa molekul relatif (MR) 200,59 (Alfian, 2006). Merkuri diberikan simbol kimia Hg yang merupakan singkatan yang berasal dari bahasa Yunani Hydragyrum yang berarti perak cair. Merkuri termasuk dalam kategori logam berat. Menurut Dalimunthe (2015), logam berat didefinisikan sebagai zat logam yang memiliki massa jenis >5 g/cm3. Berdasarkan kebutuhannya, logam berat dibedakan menjadi logam essensial, yaitu logam yang bermanfaat seperti kobalt, dan logam non essensial yaitu logam yang
II-5 manfaatnya dalam tubuh organisme belum diketahui seperti merkuri (Hg), kadmium (Cd), timbal (Pb) dan kromium (Cr) (Mulyanto dan Umi, 1992). Logam berat non essensial dapat bersifat berbahaya bagi organisme akibat adanya sistem bioakumulasi yang berarti peningkatan konsentrasi unsur kimia dalam tubuh makhluk hidup seiring berjalannya waktu dan frekuensi paparan (Diliyana, 2008).
Secara alami, merkuri lebih banyak ditemukan dalam mineral, di antaranya adalah dihasilkan dari bijih cinnabar. Palar (2008) mengemukakan bahwa bijih cinnabar mengandung unsur merkuri antara 0,1–4 %. Merkuri diproduksi dengan membakar cinnabar (Fardiaz, 1992) dengan reaksi:
HgS + O2 Hg + SO2
Merkuri memiliki sifat konduktor listrik yang cukup baik namun sifat konduktor panas yang kurang baik (Belami dkk, 2014). Bentuk fisik dan kimianya sangat menguntungkan karena merupakan satu-satunya logam yang berbentuk cair dalam temperatur kamar (25 0C). Merkuri mencapai titik beku pada suhu –38.9 0C dan mencapai titik didih pada suhu 357 0C (Stwertka, 1998). Merkuri merupakan elemen alami, oleh karena itu sering mencemari lingkungan. Kebanyakan merkuri yang ditemukan di alam terdapat dalam gabungan dengan elemen lainnya dan jarang ditemukan dalam bentuk elemen terpisah (Diliyana, 2008).
Secara kesehariannya, pemakaian merkuri telah berkembang luas. Merkuri digunakan dalam bermacam-macam perindustrian, untuk peralatan-peralatan elektrik, digunakan untuk alat-alat ukur, dalam dunia pertanian dan keperluan lainnya. Demikian luasnya pemakaian merkuri, mengakibatkan semakin mudah pula organisme mengalami keracunan merkuri (Palar, 2008). Dikenal 3 bentuk merkuri, yaitu:
1. Merkuri elemental: terdapat dalam gelas termometer, tensimeter air raksa, amalgam gigi, batu baterai, dan cat. Juga digunakan sebagai katalis dalam produksi soda kaustik, dan disinfektan serta untuk produksi klorin dari sodium klorida.
2. Merkuri anorganik: ditemukan dalam bentuk Hg++ dan Hg+, misalnya: HgCl2, bersifat toksik dan kaustik yang sering digunakan sebagai disinfektan dan HgCl yang digunakan sebagai teething powder.
Universitas Sumatera Utara
3. Merkuri organik: terdapat dalam beberapa bentuk antara lain:
Metil merkuri dan etil merkuri, keduanya termasuk dalam bentuk alkil rantai pendek dan dijumpai sebagai kontaminan logam di lingkungan.
Merkuri dalam bentuk alkil rantai panjang dijumpai sebagai antiseptik dan fungisida (Musthofa, 2016).
2.2.2. Fungsi
Penggunaan merkuri yang terbesar adalah dalam industri klor-alkali, dimana klorin (Cl2) dan kaustik soda (NaOH) diproduksi dengan metode elektrolisis garam NaCl.
Fungsi merkuri dalam proses ini adalah sebagai katode dari sel elektrolisis (Kristanto, 2002).
Dalam bidang pertanian, senyawa merkuri banyak digunakan sebagai fungisida, dimana hal ini menjadi faktor yang cukup penting dalam peristiwa keracunan merkuri pada organisme hidup. Karena penyemprotan yang dilakukan secara terbuka dan luas, maka banyak organisme hidup lainnya yang terkena senyawa racun tersebut. Sehingga fungisida tersebut tidak hanya membunuh jamur melainkan juga organisme hidup lainnya (Musthofa, 2016).
Pada industri pulp dan kertas banyak digunakan senyawa FMA (Fenil merkuri asetat).
Pemakaian dari senyawa FMA bertujuan untuk mencegah pembentukan kapur pada pulp dan kertas basah selama proses penyimpanan. Hal ini sangat berbahaya, karena kertas seringkali digunakan sebagai alat pembungkus makanan (Palar, 2008).
2.2.3. Efek Terhadap Manusia 2.2.3.1. Keracunan Akut
Keracunan akut oleh merkuri bisa terjadi pada konsentrasi sebesar 0,5–1,2 mg/m3. Uap merkuri terhirup dengan konsentrasi sebesar 28,8 mg/m3 dapat mengakibatkan kerusakan parah pada ginjal, hati, otak, jantung, paru-paru, dan usus (Widowati, 2008).
Keracunan akut yang diakibatkan oleh logam merkuri dapat diketahui dengan mengamati gejala-gejala berupa iritasi gastrointestinal yaitu mual, muntah, sakit perut dan diare. Keracunan phenyl mercury (merkuri aromatik) menimbulkan gejala-gejala gastrointestinal, malaise, dan mialgia. Keracunan metil merkuri dapat menyebabkan
II-7 efek gastrointestinal yang lebih ringan namun menimbulkan toksisitas neurologis yang lebih berat berupa rasa sakit pada bibir dan lidah, halusinasi, iritabilitas, insomnia, perlambatan kecepatan pikiran, reflek abnormal, dan pendengaran rusak (Rianto, 2012).
2.2.3.2. Keracunan Kronis
Keracunan kronis yang disebabkan oleh merkuri, sama dengan keracunan akut, yaitu melalui jalur pernafasan dan makanan. Akan tetapi pada keracunan kronis, jumlah merkuri yang masuk sangat sedikit sehingga tidak memperlihatkan perubahan secara langsung. Namun demikian, masuknya merkuri secara terus-menerus menyebabkan jumlah merkuri yang mengendap dalam tubuh menjadi sangat besar dan gejala keracunan mulai terlihat (Palar, 2008).
Pada peristiwa keracunan kronis oleh merkuri, ada dua organ tubuh yang paling sering mengalami gangguan, yaitu gangguan pada sistem pencernaan dan sistem saraf. Radang gusi (gingivitis) merupakan gangguan paling umum yang terjadi pada sistem pencernaan. Gangguan terhadap sistem saraf dapat terjadi dengan atau tanpa diikuti oleh gangguan pada lambung dan usus. Ada dua bentuk gejala umum yang dapat dilihat bila korban mengalami gangguan pada sistem saraf sebagai akibat keracunan kronis merkuri, yaitu tremor (gemetar) ringan dan Parkinsonism yang juga disertai dengan tremor pada fungsi otot sadar dan anemia ringan (Mushofa, 2016). Tanda-tanda seseorang penderita keracunan kronis merkuri dapat dilihat pada organ mata. Biasanya pada lensa mata penderita terdapat warna abu-abu sampai gelap, atau abu-abu kemerahan, yang hanya dapat dilihat dengan mikroskop mata.
2.3. Adsorpsi
Adsorpsi merupakan proses yang terjadi ketika fluida (adsorbat) terikat pada permukaan padatan (adsorben). Proses adsorpsi berlangsung apabila molekul adsorbat dan permukaan adsorben mengalami kontak secara langsung. Secara umum, adsorpsi dapat diartikan sebagai peristiwa menempelnya adsorbat pada adsorben, yang mana efektifitasnya bergantung pada adsorben dan adsorbat, beserta lingkungan dimana peristiwa adsorpsi terjadi.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Fatimah (2014), syarat adsorben adalah:
1. Memiliki luas permukaan yang tinggi yang juga ditunjukkan oleh volume pori yang tinggi
2. Memiliki jejaring pori yang memungkinkan transport molekul adsorbat 3. Dapat melepaskan molekul teradsorpsi melalui proses desorpsi
4. Dapat diregenerasi dengan mudah
Berdasarkan jenisnya, adsorben terbagi menjadi:
1. Adsorben Organik
Merupakan adsorben yang berasal dari bahan-bahan organik. Adsorben organik sudah mulai digunakan sejak tahun 1979 (Gultom, 2017). Contoh adsorben organik, antara lain karbon aktif yang merupakan padatan berpori yang mengandung karbon dan dihasilkan dengan pemanasan pada suhu tinggi (Purba, 2014). Karbon aktif merupakan jenis adsorben yang paling banyak digunakan dalam pengolahan air limbah.
2. Adsorben Anorganik
Merupakan adsorben yang berasal dari bahan-bahan non organik. Adsorben anorganik sering digunakan karena berasal dari bahan non pangan sehingga tidak terpengaruh ketersediaan pangan. Contoh adsorben anorganik antara lain:
Alumina aktif
Diproduksi dari alumina yang terhidrasi (Al2O3.nH2O) dimana n = 1 atau 3, dengan cara dehidrasi (kalsinasi) pada kondisi terkontrol untuk mendapatkan n = 0,5.
Ketika alumina terhidrasi dipanaskan, grup hidroksil meninggalkan struktur bahan padat berpori dari alumina aktif. Bahan ini berwarna putih, transparan, dan berkapur. Alumina aktif digunakan untuk menghilangkan uap air dari gas, dan menghilangkan limbah logam berat seperti As(V), Cl-, F-, PO43- dari air (Gultom, 2017).
Silika gel
Bersifat inert, tidak beracun, polar dan bentuk amorphous stabil (<4000 0C) dari SiO2. Silika gel merupakan hasil reaksi dari sodium silikat dan asam asetat, kemudian mengalami proses aging, pickling, dan lain-lain. Adsorben silikat yang berhubungan termasuk magnesium silikat, kalsium silikat, dan lain-lain. Silika gel umumnya digunakan sebagai adsorben untuk senyawa polar. Selain itu, juga dapat
II-9 digunakan untuk menyerap ion-ion logam dengan prinsip pertukaran ion namun kemampuannya untuk menyerap logam terbatas (Gultom, 2017).
Zeolit (Molecular Sieve)
Merupakan kristal silikat dengan rumus kimia Me2/nO.Al2O3.xSiO2.yH2 (n=valensi) terdiri dari oksida alkali atau logam alkali tanah (Na, K, Ca) dan dikarakterisasi dengan struktur pori dengan dimensi masing-masing pada rentang ukuran molekul.
Pemisahan molecular sieve berdasarkan pada ukuran molekul dan bentuk disebabkan ukuran pori yang kecil (< 1 nm) dan distribusi pori yang sempit.
Beberapa zeolit berwarna putih, kebiruan, kemerahan, coklat karena hadirnya oksida besi atau logam lainnya. Struktur zeolit dapat dibedakan dalam tiga komponen yaitu rangka aluminosilikat, ruang kosong saling berhubungan yang berisi kation logam dan molekul air dalam fase occluded. Sifat kimia zeolit antara lain mengalami hidrasi pada suhu tinggi, sebagai penukar ion, dan mengadsorpsi gas dan uap (Mufrodi dkk, 2008).
Adsorpsi dapat dikelompokkan menjadi dua (Rahmayani dan Siswarni, 2013), yaitu:
1. Adsorpsi Fisika
Gaya tarik menarik antara adsorbat dengan permukaan adsorben sering disebut dengan Gaya Van der Waals. Gaya ini yang menyebabkan terjadinya adsorpsi fisika. Adsorpsi fisika bersifat relatif lemah, pada proses ini adsorbat tidak terikat kuat pada adsorben sehingga adsorbat dapat bergerak dari suatu bagian permukaan adsorben ke bagian permukaan adsorben lainnya dan pada permukaan yang ditinggal oleh adsorbat tersebut dapat digantikan oleh adsorbat lainnya. Jika kondisi operasi dari proses adsorpsi ini diubah laju penjerapannya bisa reversibel, maka akan membentuk kesetimbangan yang baru. Proses adsorpsi fisika terjadi tanpa memerlukan energi aktivasi. Ikatan yang terbentuk dalam adsorpsi ini dapat diputuskan dengan mudah yaitu dengan pemanasan pada temperatur sekitar 150- 200oC selama 2-3 jam.
2. Adsorpsi Kimia
Ikatan kimia antara molekul – molekul adsorbat dengan adsorben membentuk ikatan yang kuat yang menyebabkan terjadinya adsorpsi kimia. Pada proses ini ikatan kimia yang kuat tadi membentuk lapisan yang merupakan lapisan monolayer. Adsorpsi kimia bersifat tidak reversibel dan umumnya terjadi pada suhu
Universitas Sumatera Utara
tinggi di atas suhu kritis adsorbat. Proses desorpsi hanya dapat dilakukan dengan energi aktivasi yang lebih tinggi agar dapat memutuskan ikatan yang terjadi antara adsorben dengan adsorbat (Esterlita, 2015).
Menurut Ahmad dkk (2014), kapasitas adsorpsi pada waktu t, qt (mg/g) dapat dinyaatakan pada persamaan matematis berikut:
qt =
m )v C - (C0 t
(2.1) Keterangan:
C0 menyatakan konsentrasi Hg mula-mula dalam fase cair (mg/l)
Ct menyatakan konsentrasi Hg pada waktu t dalam fase cair (mg/l)
v menyatakan volume larutan (l)
m menyatakan massa karbon aktif (g) 2.4. Karbon Aktif
Karbon aktif merupakan hasil pembakaran bahan-bahan yang mengandung unsur karbon dengan struktur amorphous atau mikrokristalin yang sebagian besar terdiri dari karbon bebas dan memiliki “permukaan dalam” (internal surface), pada umumnya memiliki luas permukaan berkisar antara 300-2000 m2/gr dan daya serap berkisar 25- 1000% terhadap berat karbon aktif (Esterlita, 2015). Menurut Smisek dan Cerny (1970), terdapat tiga kelompok karbon aktif berdasarkan ukuran porinya:
1. Makropori, memiliki diameter >50 nm 2. Mesopori, memiliki diameter 2-50 nm 3. Mikropori, memiliki diameter <2 nm
Pada umumnya, proses adsorpsi berjalan pada bagian mikropori. Makropori dan mesopori merupakan jalur yang mengantarkan adsorbat pada mikropori.
II-11 Gambar 2.1 Struktur Pori Karbon Aktif
Sumber: Esterlita, 2015
Karbon aktif bukan merupakan karbon murni, tetapi mengandung sejumlah unsur lain yang terikat secara kimia yaitu hidrogen dan oksigen. Unsur tersebut berasal dari proses karbonisasi yang tidak sempurna atau terkontaminasi dari luar sewaktu proses aktivasi (Sharifirad et al, 2012).
Karena bentuknya yang berpori dan besar luas permukaannya yang spesifik, karbon aktif memiliki sifat adsorpsi yang dapat disesuaikan dengan penggunaan yang diinginkan. Sebagai contoh yaitu penggunaan jenis karbon aktif yang berbeda dalam proses pemurnian dan penghapusan komponen berbahaya dalam gas dan fase cair serta pemanfaatan karbon aktif sebagai katalis dan katalis pendukung (Sharifirad et al, 2012).
2.4.1. Pembuatan Karbon Aktif
Secara garis besar, ada 3 tahap pembuatan karbon aktif, yaitu:
1. Proses dehidrasi
Merupakan proses penghilangan air dengan pemutusan ikatan hidrogen dan oksigen pada bahan baku. Bahan baku dipanaskan sampai temperatur 170°C (Esterlita, 2015).
2. Proses karbonisasi
Merupakan proses dimana unsur oksigen dan hidrogen dihilangkan dari karbon yang mengakibatkan bahan baku dikonversi menjadi arang. Temperatur karbonisasi yang biasa digunakan adalah sekitar 300oC sampai 900oC (Esterlita, 2015).
Karbonisasi melibatkan uap panas jenuh dan menyebabkan terjadinya penguraian senyawa organik yang menyusun struktur bahan membentuk metanol, uap asam
Mikropori Mesopori Makropori
Universitas Sumatera Utara
asetat, tar, dan hidrokarbon (Atkins, 1999). Hilangnya zat tersebut dari permukaan arang akan menghasilkan pori dan meningkatkan luas permukaan karbon aktif (Budiono dkk, 2009).
3. Proses aktivasi
Bertujuan untuk memperbesar luas permukaan arang dengan membuka pori-pori yang tertutup sehingga memperbesar daya serapnya. Proses aktivasi dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu:
Aktivasi Fisika
Menggunakan furnace, karbon dipanaskan pada temperatur 800-900°C. Beberapa jenis bahan baku lebih mudah untuk diaktivasi jika diklorinasi terlebih dahulu.
Selanjutnya hasil dari klorinasi tersebut dikarbonisasi untuk menghilangkan hidrokarbon yang terklorinasi kemudian terakhir diaktivasi dengan uap (Esterlita, 2015).
Aktivasi Kimia
Proses aktivasi kimia melibatkan bahan-bahan kimia atau reagen pengaktif atau agen pendehidrasi, dan biasanya dilakukan untuk keperluan komersial. Bahan kimia yang dapat digunakan sebagai pengaktif diantaranya CaCl2, Ca(OH)2, NaCl, MgCl2, HNO3, HCl, Ca3(PO4)2, H3PO4, ZnCl2, dan sebagainya. Unsur-unsur mineral yang terkandung dalam aktivator masuk diantara plat heksagon dari kristalit dan memisahkan permukaan bahan baku yang mula-mula tertutup.
Sehingga, saat pemanasan dilakukan, senyawa kontaminan yang berada dalam pori menjadi lebih mudah terlepas. Hal ini menyebabkan luas permukaan yang aktif bertambah besar dan meningkatkan daya serap karbon aktif (Smith et al, 1994).
Proses aktivasi karbon aktif dapat dilakukan sebelum maupun sesudah proses karbonisasi, tergantung pada kandungan unsur karbon dari bahan baku yang akan dijadikan karbon aktif. Efek terhadap karakteristik karbon aktif dengan aktivasi kimia yaitu bahwa bahan baku dikarbonisasi terlebih dahulu dengan tujuan memperbanyak unsur karbon.
II-13 Penelitian ini menggunakan KOH sebagai aktivator pada tahap aktivasi kimia untuk memperbesar pori karbon aktif. Berikut merupakan mekanisme yang terjadi dalam proses pembuatan karbon aktif menggunakan aktivator KOH:
4KOH + C → 4K + CO2 + 2H2O 6KOH + C → 2K + 3H2 + 2K2CO3
4KOH + 2CO2→ 2K2CO3+ 2H2O
Menurut Esterlita (2015), pada proses tersebut, karbon bereaksi dengan agen pengoksidasi dan menghasilkan karbon dioksida yng berdifusi pada permukaan karbon sehingga membentuk pori pada permukaan yang menyebabkan luas permukaan karbon aktif semakin luas.
2.4.2. Standar Karbon Aktif
Dalam pembuatan karbon aktif khususnya di Indonesia ada beberapa hal yang dijadikan parameter kelayakan, salah satunya adalah Persyaratan Arang Aktif SNI. Tabel karakteristik standar karbon aktif yang berlaku di Indonesia terdapat pada halaman berikut.
Tabel 2.1 Persyaratan Arang Aktif SNI 06–3730-1995
Jenis Persyaratan Parameter
Kadar air Maks 15%
Kadar abu Maks 10%
Daya serap iodin Maks 750 mg/g
Sumber : Dewan Standarisasi Nasional, 1995
2.5. Durian
Buah durian (Durio zibethinus L.) merupakan tanaman daerah tropis, oleh karena itu dapat tumbuh baik di Indonesia. Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi penghasil buah durian yang melimpah. Panjang buah durian yang matang bisa mencapai 30-45 cm dengan lebar 20-25 cm, dan berat antara 1,5-2,5 kg. Setiap buah berisi 5 potongan yang di dalamnya terletak 1-5 biji yang diselimuti daging buah yang berwarna putih, krem, kuning, atau kuning tua. Tiap varietas durian menentukan besar kecilnya ukuran buah, rasa, tekstur, dan ketebalan kulit (Jumali, 2010).
Universitas Sumatera Utara
Bahan baku yang berasal dari hewan, tumbuh-tumbuhan, atau mineral yang mengandung karbon dapat dibuat menjadi karbon aktif. Bahan-bahan tersebut antara lain: tulang, kayu lunak, sekam, tongkol jagung, tempurung kelapa, sabut kelapa, ampas penggilingan tebu, ampas pembuatan kertas, serbuk gergaji, kulit buah-buahan, kayu keras, dan batu bara (Sembiring dan Sinaga, 2003). Adapun limbah pertanian atau industri yang dapat digunakan sebagai alternatif adsorben dengan biaya rendah di antaranya adalah tongkol jagung, gabah padi, ampas kedelai, biji kapas, jerami, dan kulit kacang tanah (Marshall dan Mitchell, 1996). Penelitian yang dilakukan Volesky (2004) menunjukkan bahwa biomaterial mengandung gugus fungsi antara lain karboksil, amino, sulfat, polisakarida, lignin dan sulfihidril mempunyai kemampuan penjerapan yang baik. Salah satu material yang dapat dipertimbangkan sebagai adsorben adalah kulit durian.
Daging buah durian merupakan 20-30 % berat buah, sedangkan bijinya 5-15 % sisanya berupa kulit (60-75 %) (Mahatmanti dan Winarni, 2011). Kulit durian secara proporsional mengandung unsur selulosa yang tinggi (50-60 %) dan kandungan lignin (5 %) serta kandungan pati yang rendah (5 %) (Febriansyah dkk, 2015). Kulit durian mengandung karbon sekitar 60% sehingga dapat dijadikan bahan pembuatan karbon aktif untuk digunakan sebagai adsorben (Marlinawati dkk, 2017).
2.6. Model Kinetika Adsorpsi 2.6.1. Model Pseudo Orde Pertama
Model kinetika pseudo orde satu yang dikemukakan oleh Lagergren (1989) didasarkan terhadap bertambahnya adsorbat yang teradsorpsi pada padatan sebagai fungsi waktu (Ahda dkk, 2016), secara umum dinyatakan seperti persamaan pada halaman selanjutnya:
( )
(2.2)
Jika dilakukan plot kurva t vs log (qe – qt) maka akan diperoleh nilai k1 dan qe (Danarto, 2007) dimana qe ialah kapasitas adsorpsi pada kesetimbangan (mg/g), qt ialah kapasitas adsorpsi pada waktu t dan k1 merupakan konstanta laju adsorpsi orde pertama (menit-1).
II-15 2.6.2. Model Pseudo Orde Kedua
Model ini dikembangkan oleh Ho dkk. (2000) dan didasarkan terhadap laju adsorpsi pada fase padatan yang dinyatakan dengan persamaan berikut:
( ) (2.3)
(2.4)
Jika dilakukan plot t vs (t/qt), maka akan diperoleh nilai k2 dan qe dimana qe ialah kapasitas adsorpsi pada kesetimbangan (mg/g), qt ialah kapasitas adsorpsi pada waktu t (mg/g) dan k2 merupakan konstanta laju adsorpsi orde kedua (menit-1) (Ahda dkk, 2016).
2.7. Model Kesetimbangan Isoterm 2.7.1. Isoterm Langmuir
Pada tahun 1918, Irving Langmuir memperkenalkan suatu model adsorpsi melalui paper-nya, The Adsorption of Gases on Plane Surfaces of Glass, Mica, and Platinum.
Melalui model ini, Langmuir mendefinisikan bahwa kapasitas adsorpsi maksimum terjadi akibat adanya lapisan tunggal pada permukaan adsorben (Handayani dan Sulistiyono, 2009). Persamaan Langmuir meliputi lima asumsi mutlak, antara lain:
1. Permukaan adsorben homogen
2. Adsorbat yang telah teradsorpsi bersifat immobile (tidak bergerak) 3. Adsorbat berkelakuan layaknya gas ideal
4. Adsorbat teradsorpsi hanya sampai batas monolayer 5. Tidak ada interaksi antar molekul adsorbat
Secara matematis, penentuan isoterm Langmuir dinyatakan dalam persamaan matematis sebagai berikut:
(2.6)
Universitas Sumatera Utara
(2.7)
Keterangan:
Ce merupakan konsentrasi adsorbat pada larutan
qe merupakan jumlah adsorbat yang terserap per satuan massa adsorben (mg/g)
qm merupakan jumlah maksimum adsorbat yang terserap per satuan massa adsorben (mg/g)
KL merupakan konstanta afinitas Langmuir 2.7.2. Isoterm Freundlich
Salah satu pendekatan isoterm adsorpsi ditemukan oleh Herbert Freundlich pada tahun 1909. Freundlich mengembangkan suatu konsep yang menggambarkan hubungan empiris antara konsentrasi zat terlarut (adsorbat) pada permukaan adsorben dengan yang terdapat dalam larutan. Dari konsep tersebut dapat diturunkan persamaan matematis yang kemudian disebut Persamaan Freundlich sebagai berikut:
(2.5)
Dimana qt merupakan jumlah adsorbat yang terjerap per satuan massa adsorben (mg/g).
Kf menyatakan konstanta isoterm Freundlich yang menyatakan kapasitas penyerapan karbon aktif (mg/g) sementara Ce mewakili konsentrasi adsorbat pada larutan. Nilai 1/n
adalah parameter empiris yang menyatakan intensitas adsorpsi. Menurut Saueprasearsit (2011), nilai 1/n yang berada di antara 0,1 hingga 1 merupakan nilai yang terbaik, namun bila berada pada range 1 - 10 masih layak untuk diaplikasikan seperti yang dinyatakan oleh Atkins (1999). Menurut Ishom (2012), model adsorpsi Freundlich menunjukkan adsorpsi terjadi secara fisika dan terjadi pada banyak lapisan karbon aktif (multilayer).
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Lokasi Dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Proses Industri Kimia (PIK), Laboratorium Mikrobiologi dan Laboratorium Ekologi Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara pada bulan November 2017 s/d Januari 2018.
3.2. Alat Dan Bahan 3.2.1. Alat
Adapun alat yang digunakan adalah furnace, desikator, cawan, ayakan, timbangan, erlenmeyer, beaker glass, oven, kertas saring, shaker, Spektrofotometer UV-VIS 1800.
3.2.2. Bahan
Adapun bahan yang digunakan adalah kulit durian, larutan KOH, larutan ZnCl2, larutan H3PO4, larutan merkuri (II) (HgCl2), larutan I2, larutan KI, larutan Na2S2O3, aquadest.
3.3. Prosedur
3.3.1. Pembuatan Karbon Aktif 3.3.1.1. Pre-Treatment
Kulit durian yang akan dijadikan arang aktif terlebih dahulu dicuci untuk menyingkirkan kotoran, lalu dikecilkan ukurannya hingga berukuran ± 1x2 cm2. Kemudian potongan kulit durian tersebut dikeringkan dalam oven hingga 105 0C.
Setelah 2 jam, didinginkan selama 15 menit menggunkan desikator dan disimpan dalam wadah kering dan tertutup.
3.3.1.2. Proses Karbonisasi
Karbonisasi karbon aktif dilakukan pada temperatur 500 0C selama 2 jam menggunakan furnace (Chandra, 2009). Setelah 2 jam, kulit durian didinginkan selama 15 menit menggunakan desikator dan diayak. Kulit durian kemudian disimpan dalam wadah kering dan tertutup.
Universitas Sumatera Utara
3.3.1.2. Proses Aktivasi
Karbon yang telah diayak diambil sebanyak 25 gram untuk direndam di dalam beaker glass yang mengandung 250 ml larutan KOH 0,1N selama 24 jam. Kemudian hasil rendaman disaring menggunakan kertas saring. Karbon yang telah diaktivasi kemudian dikeringkan pada suhu 200 0C selama 1 jam, kemudian didinginkan pada desikator.
3.3.2. Karakterisasi Karbon Aktif 3.3.2.1. Analisa Kadar Air
Sebanyak 1 gram karbon aktif dimasukkan ke dalam cawan yang telah diketahui beratnya, kemudian dimasukkan dalam oven pada suhu 110 0C selama 3 jam.
Selanjutnya didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Kadar air dapat dihitung dengan persamaan berikut:
(3.1)
Keterangan:
W0 = Berat cawan kosong
W1 = Berat cawan beserta 1 gram karbon aktif sebelum dioven W2 = Berat cawan beserta 1 gram karbon aktif setelah dioven 3.3.2.2. Analisa Kadar Abu
Sebanyak 1 gram karbon aktif dimasukkan ke dalam cawan yang telah diketahui beratnya, kemudian dimasukkan dalam oven pada suhu 650 0C selama 2 jam.
Selanjutnya didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Kadar abu dapat dihitung dengan persamaan berikut:
(3.2)
Keterangan:
W0 = Berat cawan kosong
W1 = Berat cawan beserta 1 gram karbon aktif sebelum dioven W2 = Berat cawan beserta 1 gram karbon aktif setelah dioven 3.3.2.3. Analisa Daya Serap Iodin
Dimasukkan 1 gram karbon aktif ke dalam erlenmeyer tambahkan 1,25 ml larutan I2 0,1 N lalu erlenmeyer dibungkus dengan aluminium foil dan disimpan pada tempat gelap.
III-3 Setelah 2 jam, larutan tersebut disaring menggunakan kertas saring. Ke dalam filtrat ditambahkan larutan 5 ml larutan KI 20% dan 75 ml aquadest lalu dikocok hingga homogen. dan dititrasi dengan larutan Na2S2O3 0,1N. Bila warna kuning larutan telah samar, ditambahkan indikator amylum 1% hingga menjadi warna biru dan dititrasi kembali hingga warna larutan menjadi bening (Zikra, 2016). Prosedur yang sama dilakukan terhadap larutan blanko I2 tanpa penambahan karbon aktif. Daya serap iodin dapat ditentukan dengan persamaan berikut:
( )
(3.3)
Keterangan:
V2 = Volume Na2S2O3 yang terpakai saat titrasi blanko V1 = Volume Na2S2O3 yang terpakai saat titrasi sampel 3.3.3. Pengujian Variasi Waktu Adsorpsi
Dipersiapkan 5 buah labu erlenmeyer ukuran 100ml. Ke dalam masing-masing labu dimasukkan 100 ml larutan HgCl2 dan 1 gram karbon aktif. Sampel diagitasi menggunakan shaker selama 150 menit. Pada menit ke 30, 60, 90, 120, dan 150 diambil 10 ml sampel menggunakan pipet tetes. Sampel disaring menggunakan kertas saring, dimasukkan dalam vial dan diamati menggunakan spektrofotometer untuk menentukan durasi waktu optimum.
3.3.4. Pengujian Variasi Massa Adsorben
Dipersiapkan 9 buah erlenmeyer ukuran 100ml. Ke dalam masing-masing labu ditambahkan 100 ml larutan HgCl2 dengan variasi 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, dan 9 gr karbon aktif. Sampel diagitasi selama 150 menit. Setelah selesai, sampel disaring menggunakan kertas saring, dimasukkan dalam vial dan diamati menggunakan spektrofotometer untuk menentukan efektifitas tertinggi dan massa adsorben optimum.
3.3.5. Penerapan Pada Limbah Cair
Dimasukkan 100 ml limbah cair ke dalam labu erlenmeyer. Selanjutnya ditambahkan karbon aktif dan diagitasi selama 150 menit dan ditambahkan massa adsorben optimum yang diperoleh dari langkah sebelumnya. Setelah selesai, sampel disaring menggunakan kertas saring, dimasukkan dalam vial dan diamati menggunakan spektrofotometer.
Universitas Sumatera Utara
3.4. Bagan Alir
3.4.1. Bagan Alir Pembuatan Karbon Aktif 3.4.1.1. Bagan Alir Pre-Treatment
Gambar 3.1 Bagan alir persiapan bahan baku 3.4.1.2. Bagan Alir Proses Karbonisasi
Gambar 3.2 Bagan alir proses karbonisasi
Tidak Mulai
Kulit durian dicuci dengan air keran
Kulit durian dipotong–potong hingga berukuran ± 1x2 cm2
Apakah ukurannya sudah seragam?
Selesai Ya
Potongan kulit durian dijemur di bawah sinar matahari selama 1 hari
Hasil jemuran disimpan dalam wadah kering dan tertutup
Mulai
Hasil jemuran dibakar dalam furnace pada temperatur 500 0C selama 2 jam
Karbon aktif didinginkan selama 15 menit dalam desikator dan diayak
Karbon aktif disimpan dalam wadah kering dan tertutup
Selesai
III-5 3.4.1.3. Bagan Alir Proses Aktivasi
Gambar 3.3 Bagan alir proses aktivasi 3.4.2. Bagan Alir Karakterisasi Karbon Aktif
3.4.2.1. Bagan Alir Analisa Kadar Air
Gambar 3.4 Bagan alir analisa kadar air 3.4.2.2. Bagan Alir Analisa Kadar Abu
Gambar 3.5 Bagan alir analisa kadar abu
Mulai
Hasil disaring menggunakan kertas saring
Selesai
Filtrat dikeringkan pada suhu 200 0C selama 15 menit menggukan furnace
Karbon aktif didinginkan pada desikator selama 15 menit Karbon aktif direndam sebanyak 25 gram di beaker glass
yang mengandung 250 ml KOH 0,1 N selama 24 jam
Mulai
Cawan ditimbang dan dicatat beratnya
1 gr karbon aktif dimasukkan ke dalam cawan
Cawan berisi karbon aktif dipanaskan dalam oven pada suhu 110 0Cselama 3 jam
Cawan berisi karbon aktif didinginkan dalam desikator
Cawan berisi karbon aktif ditimbang dan dicatat beratnya
Selesai
Mulai
Cawan ditimbang dan dicatat beratnya
A
Universitas Sumatera Utara
Gambar 3.5 Bagan alir analisa kadar abu (Lanjutan) 3.4.2.3. Bagan Alir Analisa Daya Serap Iodin
Gambar 3.6 Bagan alir analisa uji daya serap iodin
Mulai
Dimasukkan 1 gram karbon aktif ke dalam erlenmeyer berisi 1,2 ml larutan I2
Erlenmeyer dibungkus dengan aluminium foil dan setelah 2 jam disaring
Ditambahkan 5 ml KI 20% dan 75 ml aquadest
Dititrasi dengan Na2S2O3 hingga warna kuning samar
Ditambahkan indikator amylum 1% hingga berwarna biru
Selesai
Dititrasi dengan Na2S2O3 hingga larutan bening
Dicatat volume Na2S2O3 yang terpakai 1 gr karbon aktif dimasukkan ke dalam cawan
Cawan berisi karbon aktif dipanaskan dalam oven pada suhu 650 0Cselama 2 jam
Cawan berisi karbon aktif didinginkan dalam desikator
Cawan berisi karbon aktif ditimbang dan dicatat beratnya
Selesai
A
III-7 3.4.3. Bagan Alir Pengujian Variasi Waktu Adsorpsi
Gambar 3.7 Bagan alir penentuan waktu adsorpsi optimum
3.4.4. Bagan Alir Pengujian Variasi Massa Adsorben
Gambar 3.8 Bagan alir penentuan massa adsorben optimum
Mulai
Ditambahkan karbon aktif dengan variasi 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, dan 9 gr dan diagitasi dengan
durasi 150 menit
Dimasukkan 100 ml larutan HgCl2 ke dalam 9 labu erlenmeyer
Diambil 10 ml sampel disaring menggunakan kertas saring
Hasil saringan diamati menggunakan spektrofotometer
Selesai Mulai
Pada interval 30, 60, 90, 120 dan 150 menit diambil 10 ml sampel dari erlenmeyer
Dimasukkan 100 ml HgCl2 ke dalam5 labu erlenmeyer masing-masing berisi 1 gram karbon aktif
Sampel disaring menggunakan kertas saring dan diamati menggunakan spektrofotometer
Selesai
Universitas Sumatera Utara
3.4.5. Bagan Alir Penerapan Pada Limbah Cair
Gambar 3.9 Bagan alir penerapan pada limbah cair
Mulai
100 ml air limbahdimasukkan dalam labu erlenmeyer
Dimasukkan karbon aktif dengan 9 gram dan diagitasi dengan durasi sesuai 150 menit
Hasil saringan diukur menggunakan spektrofotometer
Selesai
Diambil 10 ml sampel dan disaring menggunakan kertas saring
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Pembuatan Karbon Aktif
Pembuatan karbon aktif, dengan mengadopsi metode Cheremisinoff dan A. C. Moressi (1978), terdiri atas tiga tahap, yaitu:
4.1.1. Pre-Treatment
Tahap pre-treatment merupakan tahap awal persiapan penelitian dan merupakan langkah pertama dalam proses pengubahan kulit durian menjadi karbon aktif. Tahap pre-treatment dimulai dengan pencucian dengan air kran yang bertujuan untuk menghilangkan kotoran yang masih menempel pada permukaan kulit durian.
Pemotongan hingga ukuran ±1x2 cm2 bertujuan untuk memaksimalkan luas penampang agar pada proses karbonisasi, pemanasan dapat merata di seluruh permukaan bahan baku. Langkah terakhir dalam tahap pre-treatment adalah pemanasan dengan oven hingga suhu 105 0C yang bertujuan untuk menguapkan kadar air bebas dalam kulit durian untuk mencegah proses penjamuran. Sebelum langkah karbonisasi, kulit durian masih mengandung kadar selulosa yang cukup tinggi (50-60 %) (Febriansyah dkk, 2015).
4.1.2. Proses Karbonisasi
Proses karbonisasi bertujuan untuk menguraikan zat-zat organik menjadi atom-atom karbon. Setelah tahap karbonisasi, kulit durian memiliki warna hitam, dan tekstur yang lebih rapuh dari sebelumnya. Kandungan dalam kulit durian setelah karbonisasi ditampilkan pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Analisa Kandungan Kulit Durian
Unsur Persentase (%)
Karbon (C) 60.31
Oksigen (O) 28.06
Hidrogen (H) 8.47
Nitrogen (N) 3.06
Sulfur (S) 0.10
Sumber: Chandra dkk (2009)
Universitas Sumatera Utara