• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum tentang Perjanjian a. Pengertian Perjanjian Pelaku dunia bisnis perjanjian atau kontrak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum tentang Perjanjian a. Pengertian Perjanjian Pelaku dunia bisnis perjanjian atau kontrak"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

15 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Umum tentang Perjanjian a. Pengertian Perjanjian

Pelaku dunia bisnis perjanjian atau kontrak telah banyak digunakan orang, hampir semua kegiatan bisnis selalu diawali dengan adanya kontrak atau perjanjian. Pengertian istilah kontrak atau persetujuan yang diatur dalam Buku tiga Bab Kedua Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia, sama dengan pengertian perjanjian. Adapun pada tampilan yang klasik, untuk istilah kontrak ini sering disebut dengan istilah “perjanjian”, sebagai terjemahan dari “agreement” dalam bahasa Inggris, atau

“overenkomst” dalam bahasa Belanda (Munir Fuady,2002:9).

Pengertian Perjanjian merupakan hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Menurut definisi perjanjian yang klasik, perjanjian merupakan perbuatan hukum, bukan hubungan hukum, sesuai dengan bunyi Pasalnya (Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) yang mengatakan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang mengikatkan dirinya dengan satu orang lainnya atau lebih. Dua pihak itu sepakat untuk menentukan peraturan, kaedah, hak dan kewajiban, yang mengikat mereka untuk ditaati dan dijalankan. Kesepakatan itulah yang menimbulkan akibat hukum, menimbulkan hak dan kewajiban dan kalau kesepakatan itu dilanggar maka ada akibat hukumnya, pelanggar tersebut dapat dikenakan akibat hukum atau sanksi. Menurut definisi yang konvensional perjanjian bukan hubungan hukum melainkan perbuatan hukum (Sudikno Mertokusumo, 1996; 103- 104)

Pengertian dari kontrak adalah hubungan hukum antara subyek hukum yang satu dengan subyek hukum yang lain dalam bidang harta kekayaan. Subyek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subyek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasi sesuai

(2)

dengan yang telah disepakati (Salim H.S, 2003:17). Perjanjian menurut rumusan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, didefinisikan sebagai suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut menjelaskan bahwa dalam suatu perjanjian melahirkan kewajiban atau prestasi dari satu atau lebih pihak kepada satu atau lebih pihak lainnya, yang berhak atas prestasi tersebut. Rumusan tersebut memberikan konsekuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian selalu ada dua pihak, dimana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitur) dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditur). Masing-masing pihak tersebut dapat terdiri dari satu atau lebih orang, bahkan dengan berkembangnya ilmu hukum, pihak tersebut dapat juga terdiri dari satu atau lebih badan hukum (Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, 2003:13)

Perjanjian mempunyai istilah yang berasal dari bahasa Belanda yaitu overeenkomst, dan dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah contract/agreement. Pengertiann perjanjian dirumuskan dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menentukan bahwa:

“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”

Pengertian perjanjian menurut ketentuan Pasal 1313 ini di nilai kurang tepat, karena ada beberapa kelemahan yang perlu dikoreksi.

Kelemahan-kelemahan yang terdapat pada Pasal 1313 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata adalah sebagai berikut (Abdulkadir Muhammad, 2002:224):

1) Hanya menyangkut sepihak saja. Hal ini dapat diketahui dari rumusan kata kerja “mengikatkan diri”, sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya rumusan itu ialah “saling mengikatkan diri”, jadi ada konsensus antara dua pihak;

(3)

2) Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus. Pengertian

“perbuatan” termasuk juga tindakan penyelenggaraan kepentingan (zaakwaarneming), tindakan melawan hukum (onrechtmatige daad) yang tidak mengandung suatu konsensus.

Seharusnya dipakai istilah “persetujuan”;

3) Pengertian perjanjian terlalu luas. Pengertian perjanjian mencakup juga perjanjian kawin yang diatur dalam bidang hukum keluarga. Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitor dan kreditor mengenai harta kekayaan. Perjanjian yang diatur dalam buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebenarnya hanya meliputi perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan bersifat kepribadian (personal); dan

4) Tanpa menyebut tujuan pada rumusan Pasal itu tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa.

b. Unsur-Unsur Perjanjian

Berdasarkan perkembangan doktrin ilmu hukum dikenal unsur- unsur perjanjian yang lazimnya dibedakan menjadi 3 (tiga) jenis (Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja,2003:23) :

1) Unsur Esensialia;

merupakan unsur yang wajib ada dalam suatu perjanjian, bahwa tanpa keberadaan unsur tersebut, maka perjanjian yang dimaksudkan untuk dibuat dan diselenggarakan oleh para pihak dapat menjadi beda, dan karenanya menjadi tidak sejalan dan sesuai dengan kehendak para pihak. Semua perjanjian yang disebut dengan perjanjian bernama yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mempunyai unsur esensialia yang berbeda satu dengan yang lainnya, dan karenanya memiliki karakteristik tersendiri, yang berbeda satu dengan yang lainnya.

2) Unsur Naturalia;

(4)

merupakan unsur yang pasti ada dalam suatu perjanjian tertentu, setelah unsur esensialianya diketahui secara pasti. Misalnya dalam perjanjian yang mengandung unsur esensialia jual beli, pasti terdapat unsur naturalia berupa kewajiban dari penjual untuk menanggung kebendaan yang dijual dari cacat-cacat tersembunyi.

3) Unsur Aksidentalia;

merupakan unsur pelengkap dalam suatu perjanjian, yang merupakan ketentuan-ketentuan yang dapat diatur secara menyimpang oleh para pihak, sesuai dengan kehendak para pihak, yang merupakan persyaratan khusus yang ditentukan secara bersama-sama oleh para pihak, dengan demikian maka unsur ini pada hakikatnya bukan merupakan suatu bentuk prestasi yang harus dilaksanakan atau dipenuhi oleh para pihak.

c. Syarat Sahnya Perjanjian

Suatu perjanjian akan dikatakan sah apabila memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang sehingga mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Berdasarkan ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata syarat sahnya perjanjian antara lain (Subekti, 2001:19):

1) sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

yaitu kesepakatan para pihak yang mengikatkan dirinya pada suatu perjanjian dan apabila tidak ada kesepakatan tidak adanya perjanjian.

2) cakap untuk membuat suatu perjanjian;

yaitu para pihak yang hendak melakukan perjanjian harus cakap hukum dan berumur 21 tahun menurut ayat (1) Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, jika pada Pasal 7 angka (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan bahwa batas kedewasaan laki-laki 19 (Sembilan belas) tahun dan perempuan 16 (enam belas) tahun

(5)

3) mengenai suatu hal tertentu;

yaitu bahwa di dalam suatu perjanjian objek dan subjek itu harus jelas dan ditentukan oleh kedua belah pihak, objek perjanjian tersebut dapat berupa barang maupun jasa, namun berupa tidak berbuat sesuatu.

4) suatu sebab yang halal;

Yaitu sebab merupakan suatu yang menyebabkan orang membuat perjanjian, yang mendorong orang membuat perjanjian, yang dimaksud sebab yang halal dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata itu bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan atau yang mendorong orang membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti “isi perjanjian itu sendiri” yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh pihak-pihak.

Berdasarkan 4 (empat) syarat sahnya perjanjian dapat dibedakan atas adanya syarat-syarat subjektif yang merupakan syarat yang berkenaan dengan orang atau subjek yang mengadakan perjanjian, dan adanya syarat- syarat objektif yang berkenaan dengan objek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu. merupakan konsekuensi hukum dari tidak terpenuhinya salah satu atau lebih dari syarat-syarat sahnya perjanjian tersebut bervarian mengikuti syarat mana yang dilanggar. Konsekuensi hukum tersebut sebagai berikut:

1) Batal demi hukum (nietig, null and void), misalnya dalam hal dilanggarnya syarat objektif dalam Pasal 1320 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata. Syarat objektif tersebut adalah:

a) perihal tertentu, dan b) sesuatu yang halal.

2) Dapat Dibatalkan (vernietigbaar, voidable), misalnya dalam hal tidak terpenuhi syarat subjektif dalam Pasal 1320 Kitab

(6)

Undang-Undang Hukum Perdata. Syarat subjektif tersebut adalah:

a) kesepakatan kehendak, dan b) kecakapan berbuat.

Terkait dengan adanya syarat subjektif kecapakan berbuat diatur berdasarkan ketentuan pada Pasal 446 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menentukan bahwa:

“Pengampuan mulai berjalan, terhitung sejak putusan atau penetapan diucapkan. Semua tindak perdata yang setelah itu dilakukan oleh orang yang ditempatkan di bawah pengampuan, adalah batal demi hukum.Namun demikian, seseorang yang ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan, tetap berhak membuat surat-surat wasiat.”

Berdasarkan ketentuan pada Pasal 446 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata di atas, dengan demikian tidak semua kecakapakan berbuat berakibat dapat dibatalkannya perjanjian, tapi juga dapat batal demi hukum.

d. Asas-Asas Perjanjian

Asas hukum merupakan norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif dan oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan-aturan yang lebih umum. Dalam hal ini asas hukum bukanlah peraturan hukum yang konkret, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya. Pada umumnya asas hukum akan berubah mengikuti perkembangan masyarakat terpengaruh pada waktu dan tempat. Asas-asas berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ada 5 (lima) asas yaitu (Handri Raharjo, 2009:43-46):

1) Asas Kebebasan Berkontrak;

Asas kebebasan berkontrak berdasarkan ketentuan pada Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan:

”Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang–

undang bagi mereka yang membuatnya”.

(7)

Maksud dari asas kebebasan berkontrak merupakan setiap orang berhak mengadakan perjanjian dalam hal apapun dan dengan siapapun baik yang sudah diatur dalam undang-undang maupun yang belum diatur dalam undang-undang. Terhadap asas kebebasan berkontrak dikenal pembatasannya yaitu dalam Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang isinya bahwa perjanjian tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan, ketertiban umum dan undang–undang.

2) Asas Konsensualisme;

Asas Konsensualisme berdasarkan ketentuan pada Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan disebutkan secara tegas bahwa untuk sahnya perjanjian harus memiliki kesepakatan antara kedua belah pihak. Berdasarkan ketentuan pada Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ditemukan dalam perkataan “semua” menunjukan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan kehendak yang dirasakan baik untuk menciptakan perjanjian.

3) Asas Keseimbangan;

Para pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian yang mereka buat. Kreditur mempunyai hak untuk menuntut pelaksanaan prestasi dengan melunasi utang melalui kekayaan debitur, namun kreditur juga mempunyai beban untuk melaksanakan perjanjian dengan itikad baik, sehingga dapat dikatakan bahwa kedudukan kreditur yang kuat dengan kewajiban untuk memperhatikan itikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang.

4) Asas Kepercayaan;

Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan orang lain, menumbuhkan kepercayaan diantara para pihak antara satu dengan yang lain akan memegang janjinya untuk memenuhi prestasi di kemudian hari. Tanpa adanya kepercayaan itu, maka perjanjian tidak mungkin diadakan para pihak.

(8)

5) Asas Kebiasaan

Berdasarkan ketentuan pada Pasal 1339 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur mengenai perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal yang di perjanjikan melainkan segala sesuatu yang berkaitan dengan sifat jo Pasal 1347 mengenai suatu kebiasaan yang tidak dimasukan dalam perjanjian sesuai dengan asas kebiasaan Kitab Undang-undang Hukum perdata. Menurut asas kebiasaan ini perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, tetapi juga hal-hal yang dalam keadaan dan kebiasaan lazim diikuti.

6) Asas Itikad Baik

Asas ini terdapat dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berbunyi:

”Suatu perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik”.

Asas itikad baik dapat dibedakan menjadi 2 (dua) bagian:

(a) Itikad baik yang subyektif

Pengertian itikad baik subyektif dapat diartikan sebagai kejujuran seseorang dalam melakukan suatu perbuatan hukum yaitu apa yang terletak pada sikap batin seseorang dalam melakukan suatu perbuatan hukum.

(b) Itikad baik yang obyektif

Itikad baik yang obyektif yaitu bahwa pelaksanaan suatu perjanjian didasarkan atas norma kepatutan atau sesuai dengan norma yang berlaku di dalam masyarakat.

e. Subyek dan Objek Perjanjian 1) Subyek Perjanjian;

Subyek perjanjian merupakan salah satu unsur penting di dalam perjanjian. Hal tersebut dikarenakan dalam suatu perjanjian harus ada yang dilaksanakan. Perjanjian tidak mempunyai subyek,

(9)

maka perjanjian tidak dapat dilaksanakan. Subyek perjanjian terdiri dari manusia perorangan atau badan hukum yang mendapat beban kewajiban untuk sesuatu dan manusia perorangan atau badan hukum yang mendapat hak atas pelaksanaan kewajiban.

Menurut pendapat Mariam Darus Badruzaman (1994:22) pengertian subjek perjanjian adalah pihak-pihak yang terkait dengan suatu perjanjian. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata membedakan tiga golongan yang tersangkut yaitu: para pihak yang mengadakan perjanjian, ahli waris mereka dan pihak ketiga.

Subjek perjanjian terdiri dan orang dan badan hukum, dan dalam perjanjian kontrak kerja konstruksi para pihak dibagi menjadi kreditur dan debitur. Kreditur adalah pihak yang berhak atas sesuatu (prestasi) dan debitur bekewajiban memenuhi sesuatu kepada pihak kreditur.

2) Obyek Perjanjian;

Pengertian bukti merupakan segala sesuatu yang berguna bagi subjek hukum, dan yang menjadi objek perjanjian merupakan prestasi. Prestasi merupakan hal yang harus dilakukan oleh masing-masing pihak. Prestasi merupakan kewajiban salah satu pihak dan pihak lain berhak untuk menuntut hal itu. Debitur yang wajib melakukan perbuatan tertentu yang telah ditetapkan dalam perjanjian dan melakukan perbuatan itu debitur harus mematuhi semua ketentuan perjanjian, debitur harus bertanggungjawab atas perbuatannya yang tidak sesuai dengan ketentuan perjanjian.

Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi objek perjanjian, antara lain :

a) Barang-barang yang dapat diperdagangkan (Pasal 1332 Kitab Undang-Undang Hukum Perdatadata)

(10)

b) Suatu barang yang sedikitnya dapat ditentukan jenisnya (Pasal 1333 Kitab Undang-Undang Hukum Perdatadata)

c) Barang_barang yang akan ada dikemudian hari (pasal 1334)

Wujud prestasi berdasarkan Pasal 1234 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah memberikan sesuatu, berbuat seuastu, tidak berbuat sesuatu.

f. Akibat Perjanjian

Perjanjian yang dibuat secara sah mempunyai akibat hukum, hal ini lebih lanjut diatur pada Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa:

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang- undang bagi mereka yang membuatnya.Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan–alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.”

Menurut pendapat Abdulkadir Muhamad (2000:236) bahwa : 1) perjanjian berlaku sebagai undang-undang;

Perjanjian berlaku sebagai undang–undang bagi pihak–pihak, artinya perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa serta memberi kepastian hukum kepada pihak–pihak yang membuatnya.

Pihak–pihak harus mentaati perjanjian tersebut karena mengikuti perjanjian sama dengan menaati undang–undang, begitu juga sebaliknya apabila perjanjian itu dilanggar, maka para pihak dianggap melanggar undang–undang. Akibat hukum dari adanya pelanggaran hukum adalah sanksi hukum.

2) perjanjian tidak dapat ditarik kembali secara sepihak;

Pejanjian itu adalah persetujuan kedua belah pihak, apabila perjanjian ditarik kembali atau dibatalkan merupakan hal yang wajar jika disetujui oleh kedua belah pihak yang melakukan perjanjian. Suatu perjanjian

(11)

tidak dapat ditarik kembali selain kedua belah pihak sepakat , atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu ( Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata)

3) perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik;

Perjanjian yang dimaksud dengan itikad baik terdapat pada Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata merupakan ukuran obyektif untuk menilai pelaksanaan perjanjian. Pelaksanaan perjanjian itu mengindahkan norma–norma kepatutan dan kesusilaan, apakah pelaksanaan perjanjian itu telah berjalan dengan benar.

Asas kepatutan berarti kepantasan, kelayakan, kesesuaian, kecocokan. Sedangkan kesusilaan artinya kesopanan, keadaban. Dapat dikatakan bahwa kepatutan dan kesusilaan itu sebagai “nilai yang patut, pantas, layak, sesuai, cocok, sopan dan beradab”, sebagaimana dikehendaki oleh masing-masing pihak yang berjanji.

Itikad baik pelaksanaanya terkadang mempunyai selisih pendapat saat melakukanya, hakim diberi wewenang oleh undang–undang untuk mengawasi dan menilai pelaksanaan, apakah ada pelanggaran terhadap norma-norma kepatutan dan kesusilaan itu. Hal ini berarti hakim berwenang untuk menyimpan dari isi perjanjian menurut kata-katanya, apabila pelaksanaannya menurut kata–kata bertentang dengan itikad baik. akan diberikan putusan oleh hakim perjanjian tersebut dilanjutkan atau dibatalkan.

g. Berakhirnya Perjanjian

Menurut pendapat R. Setiawan (1979:68) Hal-hal yang mengakibatkan suatu perjanjian dapat berakhir atau hapus, adalah :

1) Para pihak menentukan berlakunya perjanjian untuk jangka waktu tertentu;

2) Undang-undang menentukan batas waktu berlakunya suatu perjanjian (Pasal 1066 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata);

(12)

3) Salah satu pihak meninggal dunia, misalnya dalam perjanjian pemberian kuasa (Pasal 1813 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), perjanjian perburuhan (Pasal 1603 huruf j Kitab Undang-Undang Hukum Perdata);

4) Satu pihak atau kedua belah pihak menyatakan menghentikan perjanjian, misalnya dalam perjanjian kerja atau perjanjian sewa- menyewa;

5) Karena putusan hakim;

6) Tujuan perjanjian telah tercapai, misalnya perjanjian pemborongan; dan 7) Dengan perstujuan kedua belah pihak.

h. Prestasi dan Wanprestasi 1) Prestasi

Menurut ketentuan Pasal 1234 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdapat 3 (tiga) kemungkinan wujud prestasi, yaitu:

a) Memberikan sesatu;

Berdasarkan ketentuan Pasal 1235 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pengertian memberikan sesuatu adalah menyerahkan kekuasaan nyata atas suatu benda dari debitur kepada kreditur.

b) Berbuat sesuatu;

Berdasarkan perjanjian yang obyeknya “berbuat sesuatu”, debitur wajib melakukan perbuatan tertentu yang telah ditetapkan dalam perjanjian. Perjanjian merupakan perbuatan dimana debitur wajib memenuhi semua ketentuan dalam perjanjian. Debitur bertanggungjawab atas perbuatannya yang tidak sesuai dengan ketentuan perjanjian

c) Tidak berbuat sesuatu;

Berdasarkan perjanjian yang obyeknya “tidak berbuat sesuatu”, debitur tidak melakukan perbuatan yang telah ditetapkan dalam perjanjian. Apabila debitur berbuat sesuatu

(13)

yang berlawanan dengan perjanjian ini, maka debitur harus bertanggungjawab karena telah melanggar perjanjian.

2) Wanprestasi

Pengertian wanprestasi berasal dari istilah bahasa Belanda

“wanpretatie”, yang artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan, tidak terpenuhinya kewajiban ada dua kemungkinan, yaitu dikarenakan:

a) Kesalahan debitur, baik karena kesengajaan maupun karena kelalaian;

b) Keadaan memaksa (force majeure, overmacht), diluar kemampuan debitur, debitur tidak bersalah (Abdulkadir Muhammad, 2000:

202-203).

Menurut pendapat Subekti (2002:45) pengertian wanprestasi yang dilakukan oleh debitur terdapat 4 (empat) macam, yaitu:

a) tidak melakukan sama sekali apa yang disanggupi akan dilaksanakannya;

b) melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan;

c) melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat; dan

d) melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

3) Akibat wanprestasi

Menurut pendapat Subekti (2002:45), akibat wanprestasi yang dilakukan oleh debitur terdapat 4 (empat) macam :

a) membayar kerugian yang diderita oleh kreditur (ganti-rugi);

b) pembatalan perjanjian;

c) peralihan resiko; dan

d) membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim.

(14)

2. Tinjauan Umum tentang Perjanjian Kerdit a. Pengertian Kredit;

Masyarakat dewasa ini pada kehidupan sehari-hari istilah kredit bukan merupakan istilah asing bagi masyarakat kita. Perkataan kredit tidak saja dikenal oleh masyarakat kota-kota besar, melainkan di desa- desa pun kata kredit tersebut sudah tidak asing lagi.

Istilah kredit berasal dari bahasa Yunani “Credere” yang berarti kepercayaan (trust). Seseorang yang memperoleh kredit pada dasarnya adalah memperoleh kepercayaan, dapat dikatakan dalam hubungan ini bahwa kreditur (yang memberi kredit, atau umumnya disebut dengan bank) dalam hubungan perkreditan dengan debitor (nasabah, sebagai penerima kredit) mempunyai kepercayaan, bahwa debitur dalam waktu dan syarat-syarat yang telah disetujui bersama, dapat mengembalikan (membayar kembali) kredit yang bersangkutan. Istilah kredit pada masyarakat umum sudah tidak asing lagi. Bahkan dapat dikatakan sudah popular, sehingga dalam bahasa sehari-hari sudah dicampur begitu saja dengan istilah utang. Bahkan dalam dunia pendidikan dengan system kredit semester yang baru, istilah kredit sudah memiliki konotasi khusus tersendiri dibanding asalnya. (Rachmadi Usman, 2001:236).

b. Unsur-Unsur kredit

Kredit diberikan atas dasar kepercayaan sehingga pemberian kredit merupakan pemberian kepercayaan kepada orang lain. Hal ini berarti bahwa prestasi yang diberikan benar-benar diyakini dapat dikembalikan oleh penerima kredit sesuai dengan waktu dan syarat- syarat yang telah disepakati bersama. Menurut pendapat Rivai dan Veitzhal (2006:5). Terdapat 2 (dua) unsur-unsur dalam melakukan kredit adalah :

1. 2 (dua) pihak, yaitu pemberi kredit (kreditor) dan penerima kredit (nasabah). Hubungan pemberi kredit dan penerima kredit merupakan hubungan kerja sama yang saling menguntungkan;

2. kepercayaan pemberi kredit kepada penerima kredit yang

(15)

didasarkan atas credit rating penerima kredit;

3. persetujuan, berupa kesepakatan pihak bank dengan pihak lainnya yang berjanji membayar dari penerimaan kredit kepada pemberi kredit. Janji membayar tersebut dapat berupa. janji lisan, tertulis (akad kredit) atau berupa instrument (credit instrument);

4. penyerahan barang, jasa, atau uang dari pemberi kredit kepada penerima kredit;

5. unsur waktu (time element). Unsur waktu merupakan unsur essential kredit. Kredit dapat ada karena unsur waktu, baik waktu dilihat dari pemberi kredit maupun dilihat dari penerima kredit. Misalnya, penabung memberikan kredit sekarang untuk konsumsi lebih besar dimasa yang akan datang. Produsen memerlukan kredit karena adanya jarak waktu antara produksi dan konsumsi;

6. unsur risiko (degree of risk) baik di pihak pemberi kredit maupun pihak penerima kredit. Risiko di pihak pemberi kredit adalah risiko gagal bayar (risk of default), baik karena kegagalan usaha (pinjaman komersial) atau ketidakmampuan bayar (pinjaman konsumen) atau karena ketidaksediaan membayar.

Risiko yang terjadi pada pihak nasabah merupakan suatu tindakan kecurangan dari pihak kreditor, antara lain berupa pemberian kredit yang semula dimaksudkan oleh pemberi kredit untuk mengambil perusahaan yang diberi kredit atau tanah yang dijaminkan; dan

7. unsur bunga sebagai kompensasi (prestasi) kepada pemberi kredit. Bagi pemberi kredit, bunga tersebut terdiri dari berbagai komponen seperti biaya modal (cost of capital), biaya umum (overhead cost), risk premium, dan sebagainya. Jika credit rating penerima kredit tinggi, risk premium dapat dikurangi dengan safety discount.

3. Tinjauan Umum tentang Jaminan

(16)

a) Pengertian Jaminan;

Merupakan anggunan segala sesuatu yang diterima oleh kreditor dari debitor berkenaan dengan utang piutangnya. Berdasarkan ketentuan Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa :

”segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perorangan”.

Menurut pendapat Frieda Husni Hasbullah, S.H., M.H., (2005:43-44), mengatakan bahwa untuk kebendaan tidak bergerak dapat dibagi dalam tiga golongan:

(1) Benda tidak bergerak karena sifatnya (Pasal 506 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) misalnya tanah dan segala sesuatu yang melekat atau didirikan di atasnya, atau pohon-pohon dan tanaman-tanaman yang akarnya menancap dalam tanah atau buah-buahan di pohon yang belum dipetik, demikian juga barang-barang tambang.

(2) Benda tidak bergerak karena peruntukannya atau tujuan pemakaiannya (Pasal 507 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) misalnya pabrik dan barang-barang yang dihasilkannya, penggilingan-penggilingan, dan sebagainya. Juga perumahan beserta benda-benda yang dilekatkan pada papan atau dinding seperti cermin, lukisan, perhiasan, dan lain-lain;

kemudian yang berkaitan dengan kepemilikan tanah seperti rabuk, madu di pohon dan ikan dalam kolam, dan sebagainya; serta bahan bangunan yang berasal dari reruntuhan gedung yang akan dipakai lagi untuk membangun gedung tersebut, dan lain-lain.

(3) Benda tidak bergerak karena ketentuan undang-undang misalnya, hak pakai hasil, dan hak pakai atas kebendaan tidak bergerak, hak pengabdian tanah, hak numpang karang, hak usaha, dan lain-lain (Pasal 508 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Di samping itu, menurut ketentuan Pasal 314 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, kapal-kapal berukuran

(17)

berat kotor 20 m3 ke atas dapat dibukukan dalam suatu register kapal sehingga termasuk kategori benda-benda tidak bergerak.

Menurut pendapat Frieda Husni Hasbullah, S.H., M.H., (2005:44-45) menerangkan bahwa untuk kebendaan bergerak dapat dibagi dalam dua golongan:

(1) Benda bergerak karena sifatnya yaitu benda-benda yang dapat berpindah atau dapat dipindahkan misalnya ayam, kambing, buku, pensil, meja, kursi, dan lain-lain (Pasal 509 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Termasuk juga sebagai benda bergerak ialah kapal- kapal, perahu-perahu, gilingan-gilingan dan tempat-tempat pemandian yang dipasang di perahu dan sebagainya (Pasal 510 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).

(2)Benda bergerak karena ketentuan undang-undang (Pasal 511 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) misalnya:

a. Hak pakai hasil dan hak pakai atas benda-benda bergerak;

b. Hak atas bunga-bunga yang diperjanjikan;

c. Penagihan-penagihan atau piutang-piutang;

d. Saham-saham atau andil-andil dalam persekutuan dagang, dan lain- lain.

Pengertian jaminan meski tidak disebutkan pada Pasal 1311 Kitab Undang- Undang Perdata, tetapi sudah dijelaskan bahwa adanya perlindungan terhadap kreditur.

b) Macam–macam Jaminan

Menurut pendapat Gunawan Wijaya (Gunawan Wijaya, 2000:74-78) macam-macam jaminan:

1) Menurut cara terjadinya;

(a) Jaminan yang lahir karena Undang–undang;

merupakan jaminan yang keberadaannya ditunjuk undang–

Undang, tanpa adanya perjanjian para pihak, yaitu yang diatur pada

(18)

Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa segala kebendaan milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, akan menjadi tanggungan untuk segala perikatan–perikatannya. Berarti seluruh benda debitur menjadi jaminan bagi kreditur. Debitur tidak dapat memenuhi kewajiban membayar utangnya kepada kreditur, maka kebendaan milik debitur tersebut akan dijual kepada umum, dan hasil penjualan benda tersebut dibagi antara para kreditur, seimbang dengan besar piutang masing–masing (Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).

(b) Jaminan yang lahir karena diperjanjikan;

Selain jaminan yang ditunjuk oleh undang–undang, sebagai bagian dari asas konsensualitas dalam hukum perjanjian, undang–undang memungkinkan para pihak untuk melakukan perjanjian penjaminan yang ditujukan untuk pelunasan atau pelaksanaan kewajiban drebitur kepada kreditur. Perjanjian penjaminan ini merupakan perjanjian assesior yang melekat pada perjanjian pokok yang menerbitkan utang piutang diantara debitur dan kreditur.

Contohnya adalah hipotek, hak tanggungan, gadai, fidusia dan lain–lain.

2) Menurut objeknya ;

(a) Jaminan yang berobjek benda bergerak;

Benda bergerak merupakan benda yang dijadikan sebagai objek jaminan pada umunya. Benda bergerak memiliki sifat baik dan menurut Undang–Undang ditetapkan sebagai benda bergerak.

(b) Jaminan yang berobjek benda tidak bergerak atau benda tetap;

Benda tidak bergerak merupakan benda yang dijadikan sebagai jaminan, pada umunya merupakan benda tidak bergerak.

(19)

(c) Jaminan yang berobjek benda berupa tanah;

Jaminan dimana benda yang dijadikan sebagai objek jaminan adalah berupa tanah.

3) Menurut sifatnya;

(a) Jaminan bersifat umum;

Jaminan yang bersifat umum merupakan jaminan yang diberikan bagi kepentingan semua kreditur dan menyangkut semua harta debitur, sebagaimana yang diatur pada Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

(b) Jaminan bersifat khusus;

jaminan dalam bentuk penunjukan atau penyerahan barang tertentu secara khusus, sebagai jaminan atas pelunasan kewajiban/utang debitur kepada kreditur tertentu, yang hanya berlaku untuk kreditur tertentu tersebut, baik secara kebendaan maupun perorangan.

(c) Jaminan yang bersifat kebendaan

Jaminan yang bersifat kebendaan dilembagakan dalam bentuk hipotek, hak tanggungan, fidusia dan gadai. Jaminan kebendaan ini merupakan hak kebendaan yang diberikan atas dasar jura in re aliena, dan karenanya wajib memenuhi asas pencatatan dan publisitas agar dapat melahirkan hak mutlak atas kebendaan yang dijaminkan tersebut.

(d) Jaminan yang bersifat perorangan

Pada jaminan yang bersifat perseorangan, tuntutan guna memenuhi pelunasan utang yang dijamin hanya dapat dilakukan secara pribadi oleh kreditur sebagai pemilik piutang dengan penjamin, dan tidak dapat dipergunakan untuk merugikan pihak lainnya dengan alasan apa pun juga.

(20)

4) Jaminan menurut kewenangan menguasai benda jaminannya (a) benda jaminannya yang menguasai

Bagi kreditur penguasaan benda jaminan dirasa lebih aman, terutama untuk benda bergerak yang mudah dipindah tangankan dan berubah nilainya. Contoh jaminan yang menguasai bendanya adalah gadai dan hak retensi.

(b) Tanpa menguasai benda jaminannya

Untuk jaminan yang tidak menguasai bendanya misalnya adalah hipotek, hal ini menguntungkan debitur karena tetap dapat memanfaatkan benda jaminan.

4. Tinjauan Umum tentang Fidusia a. Pengertian Fidusia

Fidusia menurut asal katanya berasal dari romawi “fides” yang berarti kepercayaan. Fidusia merupakan istilah yang sudah lama dikenal dalam bahasa Indonesia. Begitu pula istilah ini digunakan dalam Undang- undang 42 tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia. Pengertian Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang tak kepemilikanya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda.

Menurut pendapat Rachmadi Usman bahwa dalam fidusia telah terjadi penyerahan dan pemindahan dalam kepemilikan atas suatu benda yang dilakukan atas dasar Fidusciair dengan syarat bahwa benda yang hak kepemilikanya tersebut diserahkan dan dipindahkan kepada penerima fidusia tetap dalam penguasaan pemilik benda ( pendiri fidusia). Pada hal ini yang diserahkan dan dipindahkan itu dari pemiliknya kepada kreditur adalah hak kepemilikan atas suatu benda yang dijadikan sebagai jaminan, sehingga hak kepemilikan secara yuridis atas benda yang dijadikan jaminan beralih kepada kreditor. Sementara itu hak kepemilikan secara ekonomis

(21)

atas benda yang dijaminkan tersebut tetap berada di tangan atau penguasaan pemiliknya ( Rachmadi Usman,2001:152).

Menurut pendapat Dr. A Hamzah dan Senjun Manulang (1987:8) mengartikan fidusia merupakan suatu cara pengoperan hak milik dari pemiliknya (debitur), berdasarkan adanya perjanjian pokok (perjanjian hutang piutang) kepada kreditur, akan tetapi yang diserahkan hanya haknya sah secara yuridis dan hanya dimiliki oleh kreditur secara kepercayaan saja (sebagai jaminan utang debitur), sedangkan barangnya tetap dikuasai oleh debitur, tetapi bukan lagi sebagai eigenaar maupun bezitter, melainkan hanya sebagai detentor atau houder dan atas nama kereditur-eigenaar.

b. Pengertian Jaminan Fidusia

Pengertian jaminan fidusia berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang- Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia adalah :

“hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana yang dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya.”

Berdasarkan perumusan ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, unsur-unsur dari Jaminan Fidusia yaitu :

1) sebagai lembaga hak jaminan kebendaan dan hak yang diutamakan;

2) kebendaan bergerak sebagaimana objeknya;

3) kebendaan tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dibebani dengan hak tanggungan juga menjadi objek;

4) kebendaan menjadi objek jaminan fidusia tersebut dimaksudkan sebagai agunan;

5) untuk pelunasan suatu utang tertentu; dan

6) memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditor lainnya.

(22)

Berdasarkan keterangan pada Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, pengertian fidusia merupakan suatu proses pengalihan hak kepemilikan sedangkan jaminan fidusia merupakan jaminan yang diberikan dalam bentuk fidusia. Mengenai pengaturan jaminan dapat dihapus apabila disebabkan perjanjian pokoknya dihapus. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia, disebutkan pada Pasal 16 angka 1 yang berbunyi “Jaminan fidusia dapat hapus karena hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia, pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima fidusia atau musnahnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia”.

c. Sifat Jaminan Fidusia

Berdasarkan ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia secara tegas menyatakan bahwa Jaminan Fidusia merupakan perjanjian assesoir yaitu suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi yang berupa memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu, yang dapat dinilai dengan uang. Sifat jaminan fidusia adalah (Gunawan Wijaya 2000:124):

a) Sifat ketergantungan terhadap perjanjian pokok;

b) Keabsahannya semata-mata ditentukan oleh sah tidaknya perjanjian pokok.

Sifat jaminan hanya dapat dilaksanakan juga ketentuan yang disyaratkan dalam perjanjian pokok telah atau tidak dipenuhi.

5. Tinjauan Tentang Koperasi a. Pengertian Koperasi

(23)

Koperasi secara etimologi berasal dari kata Corporation dalam bahasa inggris yang berarti kerjasama, dan menurut istilah yang dimaksud koperasi adalah suatu kumpulan yang dibentuk oleh para anggota peserta yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan para anggotanya dengan harga yang relatif rendah dan bertujuan memajukan tingkat hidup bersama ( Hendi Suhendi dan Fiqih Muamalah, 2002:289).

Koperasi yang dimaksudkan di sini merupakan koperasi yang berkaitan dengan lembaga ekonomi modern yang memiliki tujuan, mempunyai system pengelolahan, mempunyai organisasi yang tertib bahkan mempunyai asas dan sendi-sendi dasar (Sudarsono, 2002:10).

Koperasi juga sebagai gerakan ekonomi yang berperan sebagai badan usaha, terutama dengan mengorganisasi berbagai sumber ekonomi guna menghasilkan barang dan jasa. memiliki dua peran tersebut (gerakan ekonomi dan badan usaha), koperasi diharapkan mampu menghadapi distorsi pasar serta menciptakan keseimbangan sebagai akibat pemberlakukan prinsip bisnis yang semata-mata bermotif ekonomi.

Koperasi diharapkan dapat menjadi wadah ekonomi yang mampu menciptakan efektifitas dan efisiensi yang tinggi karena selain bertumpu pada kekuatan manusia (anggota) sebagai pemilik sekaligus pelanggan bisnis, koperasi juga ditopang oleh kekuatan sumber-sumber ekonomi lainnya, seperti pasar, mesin, metode, modal, (Azrul Tanjung, 2017:66).

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Pengertian koperasi berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoprasian adalah:

“Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum Koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan.”

b. Tujuan Koperasi

(24)

Tujuan utama koperasi merupakan meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan anggota-anggotanya. Koperasi pada dasarnya bukanlah suatu usaha yang mencari keutungan semata-mata seperti halnya usaha-usaha swasta seperti firma dan perseroan. Koperasi berusaha memenuhi kebutuhan sehari-hari anggotanya. Usaha koperasi biasanya sesuai dengan kebutuhan anggotanya (Widiyanti, 1992:3).

Berdasarkan ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Koperasi memiliki tujuan berdasarkan ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian adalah:

“koperasi bertujuan memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta ikut membangun tatanan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju , adil, dan makmur berdasarkan pacasila dan Undang-Undang Dasar 1945”(Bernhard, 2012:30).

c. Fungsi dan Peran Koperasi

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Koperasi memiliki peran dan fungsi sebagai berikut:

1. memperkokoh perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan dan ketahanan perekonomian nasional dengan koperasi sebagai soko gurunya;

2. berusaha mewujudkan dan mengembangkan perekonomian nasional yang merupakan usaha bersama berdasarkan atas azas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi;

3. mengembangkan dan membangun potensi dan kemampuan ekonomi anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya; dan

4. berperan serta aktif dalam upaya mempertinggi kualitas kehidupan manusia dan masyarakat.

(25)

Menurut pendapat M.Iskandar Soesilo (2009:43) fungsi koperasi sebagai berikut :

1. memenuhi kebutuhan anggota untuk memajukan kesejahteraannya Membangun sumber daya anggota dan masyarakat;

2. mengembangkan potensi dan kemampuan ekonomi anggota;

3. mengembangkan aspirasi ekonomi anggota dan masyarakat dilingkungan kegiatan koperasi; dan

4. Membuka peluang kepada anggota koperasi untuk mengaktualisasikan diri dalam bidang ekonomi secara optimal.

Menurut pendapat M.Iskandar Soesilo (2009:43), peran koperasi sebagai berikut :

1. wadah peningkatan taraf hidup dan ketangguhan berdaya saing para anggota koperasi dan masyarakat di lingkungan nya;

2. bagian integral dari sistem ekonomi rakyat;

3. pelaku strategis dalam sistem ekonomi rakyat; dan

4. wadah pencerdasan anggota dan masyarakat di lingkungannya.

(26)

A. Kerangka Berfikir

Kerangka pemikiran menggambarkan penulisan hukum untuk menjawab permsalahan penelitian. Kerangka pemikiran/berfikir disajikan dalam bentuk bagan atau skema dengan kalimat penjelasan. Kerangka berfikir dalam penelitian ini digambarkan sebagai berikut :

Bagan 2 : Gambar Kerangka Berfikir Koperasi Barokah /

Kreditur

Pihak Nasabah / Debitur

Undang-undang 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia

Dengan Jaminan Fidusia di bawah tangan

Akibat hukum atas perjanjian kredit dengan jaminan fidusia yang dilakukan di bawah tangan

kendala dan upaya yang dihadapi dalam penyelesaian wanprestasi kredit di kredit di bawah tagan

tangan Koperasi Serba Usaha Barokah Kabupaten Sragen Perjanjian hutang

piutang

(27)

Keterangan

Berdasarkan kerangka pemikiran di atas merupakan alur pemikiran penulis dalam mengangkat, menggambarkan, menelah, dan menjabarkan, serta untuk menemukan jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian hukum yang dilakukan penulis.

Penulis melakukan penelitian pada Koperasi Serba Usaha Barokah Kabupaten Sragen, di dalam kerangka berfikir sebagai kreditur. Pihak lain yang terkait berdasarkan kerangka berikir adanya pihak nasabah sebagai pihak debitur. Koperasi Serba Usaha Barokah Kabupaten Sragen kemudian melanjutkan membuat suatu perjanjian dengan pihak nasabah yang dilaksanakan di Koperasi.

Menurut penulis setelah terjadinya suatu perjanjian antara kreditur dengan debitur maka penulis mengkaji perjanjian kredit yang dibuat dengan Undang- Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. penelitian ini menggunakan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia karena yang dijaminkan berupa fidusia, kemudian harus didaftarkan di kantor jaminan fidusia, akan tetapi pada Koperasi Serba Usaha Barokah Kabupaten Sragen menggunakan perjanjian di bawah tangan dengan menggunakan jaminan fidusia Hal ini membuat timbulnya berabagai masalah yang dianalisa dan dipecahkan oleh penulis saat melakakukan penelitian. Menurut penulis rumusan masalah yang pertama akibat hukum dari perjanjian kredit dengan jaminan fidusia yang dilakukan di bawah tangan serta kendala dan upaya yang dihadapi dalam penyelesaian wanprestasi kredit di bawah tangan pada Koperasi Serba Usaha Barokah Kabupaten Sragen.

Referensi

Dokumen terkait

Segala Puji dan Syukur kepada Tuhan Yesus yang telah melimpahkan rahmat dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini guna memenuhi

Liken simplek kronik adalah peradangan kulit kronis, disertai rasa gatal, sirkumskrip, yang khas ditandai dengan kulit yang tebal dan likenifikasi. Likenifikasi pada liken

Hal ini menunjukkan jika budaya organisasi dapat mempengaruhi dan mengarahkan karyawan untuk mencapai tujuan perusahaan maka, maka karyawan akan bekerja dengan baik

• Tingkat tekanan suara dinamis operator yang dinyatakan untuk konfigurasi alat berat standar, yang diukur sesuai dengan prosedur yang ditetapkan dalam "ISO 6396:2008",

Menurut Lofquist (Rounds et al., 1987) job satisfaction yaitu suatu perasaan positif tentang pekerjaan seseorang yang merupakan hasil dari evaluasi

Pada penelitian ini dilakukan optimasi formula untuk menentukan konsentrasi Carbopol 934 dan natrium lauril sulfat yang optimum menggunakan perangkat lunak Design

diri dalam proses eksternalisasi, atau proses interaksi sosial dengan.. individu lain dalam sebuah struktur

Jumlah foto elektron yang dihasilkan oleh permukaan logam berbanding lurus dengan intensitas cahaya yang menyinari.. Partikel – partikel alpha