• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEDOMAN PENANGANAN ALIRAN DAN GERAKAN KEAGAMAAN BERMASALAH DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PEDOMAN PENANGANAN ALIRAN DAN GERAKAN KEAGAMAAN BERMASALAH DI INDONESIA"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

KEMENTERIAN AGAMA

REPUBLIK INDONESIA

Kementerian Agama RI

Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam

PEDOMAN

PENANGANAN ALIRAN DAN

GERAKAN KEAGAMAAN BERMASALAH

DI INDONESIA

(3)

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Pedoman Penanganan Aliran dan Gerakan Keagamaan Bermasalah di Indonesia/

Kementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan Jakarta:2017

ISBN:978-979-797-361-2

Hak Cipta pada Penerbit

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini

dengan cara apapun,termasuk dengan cara menggunakan mesin fotocopy, tanpa izin sah dari penerbit

Cetakan I, Oktober 2013 Cetakan II, Desember 2013 Cetakan III, Juli 2014 Cetakan IV, Juli 2017 Cetakan V, Juni 2021

PEDOMAN PENANGANAN ALIRAN DAN GERAKAN KEAGAMAAN BERMASALAH DI INDONESIA

Tim Penyusun Puslitbang Kehidupan Keagamaan:

Ahmad Syafi’i Mufid, Rusmin Tumanggor,

Mulyo Wibisono, Nuhrison M. Nuh, Kustini, Reslawati

Penerbit:

Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI

Jl.MH.Thamrin No.6 Jakarta 10340 Telp. 021-392 0425, Fax.(021) 392 0421 http://www.puslitbang1.Kemenag.go-id

(4)

UCAPAN TERIMA KASIH

Sekretaris Direktorat Jenderal Bimas Islam Kementerian Agama RI

Dalam praktek pelaksanaan ajaran agama tidak sedikit ditemukan adanya penyimpangan terhadap pokok- pokok ajaran agama yang dilakukan oleh kelompok-kelompok aliran tertentu, termasuk dalam masyarakat Islam. Sesuai PMA Nomor 10 Tahun 2010 Bab VI, pasal 326, Ditjen Bimas Islam memiliki tugas dan fungsi dalam merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standarisasi teknis di bidang bimbingan masyarakat Islam.

Sehubungan dengan hal tersebut, DiTjen Bimas Islam berkepentingan untuk mensosialisasikan Buku Pedoman Penanganan Aliran dan Gerakan Keagamaan Bermasalah di Indonesia yang disusun dan diterbitkan oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI sebagai upaya penyelesaian masalah aliran dan gerakan keagamaan baru dan bermasalah di Indonesia secara komprehensif dan berkesinambungan.

Kami berterima kasih kepada Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI yang telah menyetujui Ditjen Bimas Islam untuk menggandakan Buku Pedoman ini. Buku ini sangat penting dan bermanfaat bagi aparatur Kementerian

(5)

Agama, terutama para penyuluh agama dan aparatur pada Kantor Urusan Agama sebagai unit terdepan Kementerian Agama dalam pembinaan umat.

Jakarta, Juli 2017

Sekretaris Ditjen Bimas Islam,

Prof. Dr. Muhammadiyah Amin, M.A NIP. 196308141990031007

(6)

SAMBUTAN

Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI

Kami menyambut baik terbitnya buku “Pedoman Penanganan Aliran dan Gerakan Keagamaan Bermasalah di Indonesia” ini. Buku ini kami anggap penting karena beberapa hal. Pertama, gerakan keagamaan baru (new religious movement) merupakan fakta dan realitas yang terjadi di masyarakat kita, kapanpun dapat muncul, baik yang direspon dengan menunjukkan sikap pro maupun sikap kontra. Gerakan tersebut secara fenomenal ada yang bermasalah dan ada yang tidak bermasalah.

Kedua, pada saat bersamaan, Pemerintah Indonesia menghadapi persoalan terkait isu “pembiaran” tatkala terjadi kekerasan yang menyangkut penganut aliran dan gerakan keagamaan bermasalah seperti penutupan rumah ibadah dan kekerasan terhadap mereka yang dituduh melakukan penodaan agama. Padahal, pemerintah telah melakukan berbagai upaya, tidak saja memberikan peringatan, bimbingan dan fasilitas, akan tetapi juga menerbitkan regulasi keagamaan yang dalam penyusunan regulasi tersebut melibatkan instansi terkait dan beberapa elemen masyarakat. Hal ini dapat dilihat pada proses penyusunan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat

(7)

Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah, serta Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, Nomor 3 Tahun 2008, Nomor: KEP. 033/A/

IA/6/2008, dan Nomor 199 Tahun 2008 Tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat.

Ketiga, gerakan keagamaan bermasalah mendekonstruk- si ajaran agama yang telah menjadi anutan masyarakat mendorong lahirnya konflik dan kekerasan terutama di tingkat akar rumput dengan melibatkan arus utama (mainstream).

Dalam kasus seperti ini, kelompok minoritas selalu dikalahkan dengan berbagai perlakuan destruktif. Di sisi lain, aliran dan gerakan keagamaan tersebut memunculkan permasalahan yang nyata-nyata melawan hukum dan konstitusi, mendorong makar dan memicu kontlik sosial.

Keempat, penanganan aliran dan gerakan keagamaan bermasalah belum dilakukan secara serius, komprehensif dan berkesinambungan. Sementara itu, masvarakat mengalami keresahan akibat tindakan anarkis terus terjadi. Seyogyanya hak hidup kelompok-kelompok minoritas sebagai Negara wajib dilindungi.

Salah satu upaya yang penting dilakukan adalah perlindungan hak psikologis korban (pengikut atau calon pengikut aliran tersebut), terutama jika penyimpangan yang dilakukan oleh aliran yang menggunakan metode brain- washing, manipulatif, pemaksaan, dan indoktrinasi yang menyebabkan korbannya menutup diri dan dikucilkan.

(8)

Untuk penyelesaian masalah aliran dan gerakan keagamaan bermasalah tersebut, Buku Pedoman ini harus menjadi acuan bagi seluruh satuan kerja di lingkungan Kementerian Agama RI untuk mempedomaninya, sesuai dengan SURAT EDARAN SEKRETARIS JENDERAL KEMENTERIAN AGAMA Nomor: SJ/B.V/2/HK.00/77.08/2014 TENTANG PEDOMAN PENANGANAN ALIRAN DAN GERAKAN KEAGAMAAN BERMASALAH DI INDONESIA, Tanggal 7 April 2014.

Akhirnya, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak dengan sepenuh hati telah mendukung dalam penyusunan Pedoman ini. Kami berharap Semoga dengan pedoman ini menjadi pemandu dalam penyelesaian permasalahan aliran kegamaan bermasalah di Indonesia.

Jakarta, Juli 2014 Pgs. Kepala Badan

Prof. Dr. H. Machasin, MA NIP. 19561013 198103 1003

(9)
(10)

Kepada Yth.:

1. Inspektur Jenderal Kementerian Agama;

2. Para Direktur Jenderal di Lingkungan Kementerian Agama;

3. Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama;

4. Para Rektor UIN/LIUN/IHDN;

5. Para Kepala Biro dan Pusat pada Sekretariat Jenderal Kementerian Agama;

6. Para Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi;

7. Para Ketua Sekolah Tinggi Agama Negeri;

8. Para Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota.

di - Tempat

SURAT EDARAN

SEKRETARIS JENDERAL KEMENTERIAN AGAMA No.SJ/B.V/2/HK.00/77 08/2014

TENTANG

PEDOMAN PENANGANAN ALIRAN DAN GERAKAN KEAGAMAAN BERMASALAH DI INDONESIA

Dalam rangka penyelesaian masalah aliran dan gerakan keagamaan baru dan bermasalah di Indonesia secara komprehensif dan berkesinambungan, kami mohon agar satuan kerja di lingkungan Kementerian Agama melakukan penanganan dan pembinaan terhadap aliran keagamaan bermasalah dengan mengacu pada

KEMENTERIAN AGAMA RI SEKRETARIAT JENDERAL JI. Lapangan Banteng Barat No. 3-4 Telp. (021) 3811679, 34833004, 34833005

Jakarta 10710

(11)

Pedoman Penanganan Aliran dan Gerakan Keagamaan Bermasalah di Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama.

Demikian, untuk dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Jakarta, 7 April 2014 a.n. Menteri Agama Sekretaris Jenderal

Bahrul Hayat, Ph.D

Tembusan:

Yth. Menteri Agama Republik Indonesia, Jakarta

(12)

DAFTAR ISI

Ucapan Terima Kasih iii

Sambutan v

Surat Edaran ix

Daftar Isi xi

BAB I PENDAHULUAN 1

A Latar Belakang 1

B. Beberapa Pengertian 5

C. Tujuan dan Signifikansi Penanganan

dan Pembinaan 8

D. Pembina dan Sasaran Binaan 9

E. Landasan Hukum 9

F. Signifikansi Pedoman 16

BAB II INDIKATOR, TIPOLOGI, DAN DAMPAK ALIRAN DAN GERAKAN KEAGAMAAN

BERMASALAH DI INDONESIA 17

A. Indikator Aliran dan Gerakan Keagamaan

Bermasalah 17

B. Tipologi Aliran dan Gerakan Keagamaan 19

C. Dampak 20

(13)

BAB III LANGKAH IDENTIFIKASI DALAM

PENANGANAN 23

A. Identifikasi Sasaran 23

B. Identifikasi Kelompok Penentang 26 C. Identifikasi Akibat dan Dampak 27 D. Metode Pengumpulan Data 28

E. Rekomendasi Penanganan 29

F. Metode Perumusan Rekomendasi 31 BAB IV BENTUK-BENTUK PENANGANAN 33

A. Pendekatan Personal 33

B. Pendekatan Kolektif: Beragam Program 39

C. Pendekatan Sistemik 39

BAB V MANAJEMEN PENANGANAN 41

A. Organisasi dan Struktur Organisasi 41

B. Peran dan Pola Kerja 42

C. Sarana dan Prasarana 44

D. Monitoring dan Evaluasi 44 E. Penguatan Kapasitas dan Tim Penanganan

dan Pembinaan 45

F. Penganggaran 47

G. Bagan Koordinasi 48

H. Bagan Struktur Kelembagaan Penanganan

dan Pembinaan 48

I. Alur Kerja Penanganan Kasus oleh Tim 49

(14)

BAB VI PENUTUP 51

GLOSARIUM 53

DAFTAR PUSTAKA 65

LAMPIRAN-LAMPIRAN 69

Lampiran 1. Format Petunjuk Identifikasi Aliran dan Gerakan Keagamaan

Bermasalah 69

Lampiran 2. Laporan Penanganan Aliran dan

Gerakan Keagamaan Bermasalah 72 Lampiran 3. Laporan Hasil Penanganan (LHP) 76 Lampiran 4. Pemahaman Dasar bagi Penyuluh Terkait

Gangguan Kantibmas di balik

Konflik Atas Nama Aliran dan Gerakan

Keagamaan Bermasalah 77

Lampiran 5. Analisis Film Dokumenter Dan

Rekaman Tayangan TV Pada Workshop Pedoman Penanganan Aliran Dan

Gerakan Bermasalah Di Indonesia 82

(15)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Dalam sejarah agama-agama, termasuk Islam, perbedaan pendapat mengenai tafsir terhadap teks, ajaran, dan doktrin keagamaan senantiasa muncul di setiap zaman. Tidak jarang, perbedaan pendapat tersebut kemudian melahirkan aliran, madzhab, sekte, dan kelompok keagamaan baru yang berbeda dari pandangan keagamaan arus utama (mainstream).

Aliran, madzhab, sekte, dan kelompok keagamaan yang baru tersebut kemudian muncul sebagai “gerakan keagamaan bermasalah” karena dianggap menyimpang dan menimbulkan keresahan bagi kelompok keagamaan arus utama. Tidak jarang pula, mereka dihakimi oleh kelompok keagamaan arus utama sebagai kelompok menyimpang atau “sesat” dan

“menyesatkan”.

Pengertian bermasalah dalam konteks ini tidak terkait dengan aqidah dan syariah tetapi lebih kepada persoalan relasi sosial yang timbul akibat aliran dan gerakan keagamaan bermasalah tersebut. Selain itu, pengertian bermasalah juga tidak terkait dengan perdebatan mengenai “sesat” atau “tidak sesat”

karena dalam hal ini negara bukanlah otoritas dan domain yang menentukan menjelaskan terminologi “sesat” termasuk menentukan seseorang atau kelompok sebagai “sesat”.

(16)

Secara sosiologis, aliran dan gerakan keagamaan yang baru, muncul sebagai respon terhadap perubahan sosial yang sangat cepat yang dialami oleh komunita keagamaan. Di Indonesia sebelum dan sesudah kemerdekaan tercatat adanya berbagai aliran dan gerakan keagamaan baru yang dianggap bermasalah. Sebagai negara yang mempunyai lebih dari 400 suku bangsa dengan ciri kemajemukan budaya dan karakternya, Indonesia sering mengalami munculnya pemahaman dan keyakinan, aliran dan gerakan keagamaan di berbagai daerah yang kemudian menimbulkan masalah bagi warga masyarakat sekitar. Pro dan kontra terhadap aliran dan gerakan keagamaan bermasalah selalu terjadi dari waktu ke waktu.

Tumbuh kembangnya aliran dan gerakan keagamaan yang dianggap menyimpang, khususnya pada masa pemerintahan Orde Lama, mendorong lahirnya Undang-Undang No. 1/

PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama dan Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pada masa itu, muncul aliran dan gerakan keagamaan yang bersifat teologis seperti Inkar Sunnah, maupun yang bersifat sufistik yaitu tarekat, serta gerakan yang bersifat politis seperti Darul Islam/Tentara Islam Indonesia, maupun Negara Islam Indonesia. Sedangkan pada masa pemerintahan Orde Baru muncul aliran atau gerakan keagamaan seperti Islam Jamaah/Darul Hadits, Darul Arqom, Negara Islam Indonesia Komandemen Wilayah-9 (KW-IX), dan NII Fillah.

Data yang tersedia pada Puslitbang Kehidupan Keagamaan, dari tahun 1964 sampai dengan tahun 1989 terdapat 71 (tujuh puluh satu) aliran yang dilarang. Instansi pemerintah yang melakukan pelarangan terhadap aliran tersebut adalah Kejaksaan Negeri di berbagai daerah (Daulay, 2000).

(17)

Pada masa sesudah reformasi tahun 1998, menjamur aliran-aliran seperti Islam Murni, Salamullah (Lie Eden), Al- Haq, Millah Ibrahim, Komunitas Millah Abraham (KOMAR), Surga Eden, Hidup di Balik Hidup, Salafi Jihadis, NII KW-IX yang terkait Ma’had AI-Zaytun, dan lain-lain.

Dalam konteks sosiologis Indonesia saat ini, subur dan berkembangnya aliran serta gerakan keagamaan bermasalah yang dianggap menyimpang dan sesat, merupakan persoalan serius, karena dampaknya juga berisiko. Pimpinan dan anggotanya diadili serta dipenjarakan, pengikut atau umatnya diancam, akses ekonomi dan sosial mereka ditutup. Juga terjadi perusakan dan pemusnahan atau tindakan destruktif terhadap siapa saja yang dianggap berbeda dan mengganggu warga. Kasus Ahmadiyah di NTB dan Jawa Barat serta Syi`ah di Sampang, Jawa Timur membuktikan sinyalemen di atas.

Fenomena ini juga menstimulasi konflik dan kekerasan yang laten di tingkat masyarakat, yang berimbas kepada kelompok- kelompok kecil yang sebenarnya tidak masuk kategori menyimpang, namun juga menjadi korban.

Korban dimaksud tidak hanya mereka para penganut aliran dan gerakan keagamaan bermasalah yang mengalami akibat tindakan kekerasan baik verbal maupun fisik, melainkan korban dalam pengertian mereka yang melakukan tindakan kekerasan. Tetapi, buku ini hanya dimaksudkan untuk panduan penanganan korban sesuai pengertian pertama.

Adanya konflik antara kelompok mainstream dengan penganut aliran dan gerakan keagamaan baru dan bermasalah, pengusung paham nilai dan norma kebenaran religiusitas yang dipandang kontroversial ini, senantiasa dimenangkan oleh mereka yang dominan. Sedangkan kelompok minoritas selalu

(18)

dikalahkan, tertuduh dan terusir, bahkan dalam beberapa kasus ada warganya yang terbunuh.

Semua masalah dan dampak yang timbul dari kehadiran gerakan keagamaan baru bermasalah ini cenderung ditangani secara ad hoc, situasional, dangkal, dan hanya di permukaan saja. Belum ada pihak yang secara serius, komprehensif, sistemik dan berkesinambungan bekerja untuk menangani masalah itu. Elemen pemerintah dan aparatnya juga nampak gamang dalam menangani kasus-kasus seperti ini. Di satu sisi, keresahan dan anarkisme massa sulit dibendung, di sisi lain bagaimanapun juga ada individu-individu penganut aliran ini yang harus dilindungi hak hidupnya sebagai warga negara;

mereka mengalami pelemahan ilmu agama dan keberagamaan;

mereka memerlukan pencerahan, pelayanan kesehatan, relasi sosial, perlindungan dan pemberdayaan.

Dampak besar yang selama ini belum mendapatkan perhatian serius terutama adalah dampak psikologis korban (pengikut atau calon pengikut) aliran dan gerakan bermasalah, yang dalam sistem manajemen dan leadership aliran/gerakan tersebut menggunakan metode-metode pencucian otak (brain washing), manipulatif, pemaksaan, ancaman, dan indoktrinatif.

Cara-cara ini berdampak pada kondisi kesehatan fisik, kejiwaan, sosial dan spiritual keberagamaan para korbannya.

Banyak di antara korban ini yang dianggap dan diperlakukan oleh masyarakat sebagai pelaku yang sesungguhnya dari aliran dan gerakan keagamaan baru itu, sehingga mereka dihakimi, dieksekusi, dan dikucilkan, yang pada akhimya berdampak negatif terhadap kehidupan mereka kini dan dalam jangka panjang.

(19)

Mereka yang terlibat kasus aliran dan gerakan keagamaan bermasalah dengan posisi sebagai korban, diasumsikan menghadapi masalah pelik dalam pemahaman, dan interpretasi keagamaan. Bagi mereka (terutama yang beragama Islam), penanganan dan pembinaan yang perlu disediakan selain menggunakan pendekatan pedagogis, psikologis, sosiologis, dan hukum, juga menggunakan pendekatan keagamaan (religiusitas). Tentu saja pendekatan lain seperti ekonomi, kebudayaan serta keamanan (security) juga sangat penting.

Namun untuk kepentingan Kementerian Agama, pilihan pendekatan yang tepat adalah pendekatan keagamaan dan psikologis sedangkan pendekatan lainnya merupakan bagian dari penanganan komprehensif yang dilakukan oleh pemerintah dengan para pemangku kepentingan (stakeholders) lainnya secara terpadu.

Inilah yang melatarbelakangi Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diktat Kementerian Agama menyelenggarakan serangkaian Focus Group Discussion (FGD), lokakarya, sosialisasi dan seminar untuk melahirkan sebuah buku “Pedoman Penanganan Aliran dan Gerakan Keagamaan Bermasalah”. Buku ini diharapkan kontributif bagi Kementerian Agama dan berbagai stakeholders, termasuk bagi kalangan masyarakat madani (civil society) di Indonesia.

B. Beberapa Pengertian

1. Aliran Keagamaan Bermasalah

Secara teoritis, aliran kegamaan baru yang bermasalah dapat diklasifikasi ke dalam dua tipe. Aliran keagamaan tipe pertama adalah pengakuan individu atau kelompok yang

(20)

mendapatkan wahyu secara asli (orisinil) dari Tuhan. Wahyu tersebut diyakini berisi nilai dan norma sakral yang berbeda sama sekali dengan isi kitab suci agama yang telah ada dan membudaya pada masyarakat tertentu, baik yang berkaitan dengan teks, konteks, aqidah/ketuhanan (teologi), ibadah (ritual), jejaring proses penerima dan penerimaan kitab suci (tarikh genealogic), kemasyarakatan (muamalah sosiologis), akhlak, alam semesta, maupun berkaitan dengan awal dan akhir kehidupan.

Aliran keagamaan tipe kedua adalah pengakuan individu atau kelompok yang mendapatkan wahyu atau petunjuk dari Tuhan tentang pemahaman dan penafsiran baru atas nilai dan norma sakral sebahagian dari kitab suci sesuatu agama yang telah ada dan membudaya pada masyarakat tertentu (modifikasi), baik menyangkut teks, konteks, aqidah/

ketuhanan (teologi), ibadah (ritual), jejaring proses penerima dan penerimaan kitab suci (tarikh genealogi), kemasyarakatan (muamalah sosiologis), akhlak, alam semesta, maupun menyangkut awal dan akhir kehidupan.

Fenomena kontemporer gejala aliran keagamaan baru yang hadir di Indonesia dan dipandang bermasalah adalah aliran keagamaan dari tipe modifikasi, bukan tipe orisinil.

Dengan kata lain lebih condong kepada mazhab atau sekte yang esensi dan substansi rukun-rukunnya dipandang oleh mainstream berubah jauh atau menyimpang dari silogisme dan premis primernya, yakni agama induknya.

2. Gerakan Keagamaan Bermasalah

Gerakan Keagamaan Bermasalah dimaksud memiliki dua dimensi tipikal;

(21)

a. Gerakan keagamaan yang nyata-nyata melawan hokum dan konstitusi, mendorong makar dan konflik serta kerusuhan sosial terhadap segala sesuatu yang dipandang penganutnya bertentangan atau menghambat nilai dan norma sakral keberagamaan mereka. Aktivitas ini mendapat reaksi secara sosial, sanksi hukum, dan berakibat kehancuran, cacat, penahanan, meninggal, kesengsaraan keluarga yang ditinggalkan, dan pemerasan.

b. Gerakan keagamaan yang dalam upaya menggalang pengikut dan pendanaan, manajemen serta program perjuangannya, menggunakan strategi, cara-cara dan taktik manipulatif, pencucian otak (brain-washing), pemaksaan, ancaman, dan memikulkan beban kewajiban yang berat pada pundak para korbannya. Korban pengikut gerakan tersebut mengalami kesadaran palsu (dikendalikan patron aliran dan gerakan keagamaan bermasalah) dengan gejala antara lain bingung; jiwa kosong; menerawang yang bisa diklasifikasi sebagai akibat frustrasi, konflik, anxietas, atau depressi; yang pada intinya merupakan perwujudan stress memasuki pintu keabnormalan jiwa (abnormal psychic), mencakup kelainan (adjustive mechanism), gangguan (psychoneuroses), menderita penyakit (psychoses;

psychosomatic), serta gangguan khusus (specific disorders).

3. Pembinaandan Penanganan Aliran dan Gerakan Keagamaan Bermasalah

Pembinaan dan penanganan aliran dan gerakan keagamaan bermasalah terutama difokuskan pada

(22)

pendampingan para korban menyangkut aspek psikologis dan religiusitas, menggunakan berbagai pendekatan seperti pendidikan kembali (re-edukasi), bimbingan dan konseling (rehabilitasi), terapi dan medisin, preservasi, advokasi, pemberdayaan dan pemutusan mata rantai patron-klien para korban dari seluruh jaringan patron mereka (resosialisasi).

C. Tujuan dan Signifikansi Penanganan dan Pembinaan

1. Tujuan Penanganan

a. Penyelesaian masalah aliran dan gerakan keagamaan baru dan bermasalah dengan cara-cara yang lebih manusiawi, adil, beradab, dan dengan perspektif memandirikan (self sufficient).

b. Memperkokoh fungsi agama dalam mengembangkan potensi manusia paripuma (insan kamil).

c. Memfasilitasi penyelesaian antara mereka yang dianggap aliran menyimpang dan “sesat” dengan masyarakat beragama mainstream pada umumnya melalui cara-cara damai, sejuk dan komunikasi hangat serta demokratis.

2. Signifikansi Penanganan dan Pembinaan

Penanganan dan pembinaan yang ruhnya bersifat re-edukasi nantinya bermanfaat bagi para korban aliran keagamaan bermasalah sehingga dapat kembali kepada kehidupan sosial yang normal serta kondisi kejiwaan yang sehat. Juga re-edukasi kepada masyarakat penentang untuk lebih bersifat rehabilitasi-sosial, tidak main hakim sendiri dan tidak menggunakan kekerasan sebagai jalan penyelesaian.

Pembinaan dan penanganan ini, di samping dapat mempermudah penguatan koordinasi lintas instansi, institusi,

(23)

pakar atau ahli, antar warga beda persepsi dan konsepsi, juga dapat menghasilkan regulasi baru oleh negara yang dapat menjaga etika menafsir dan memahami kebenaran dan kerukunan beragama.

D. Pembina dan Sasaran Binaan

Pembina dari penanganan ini adalah pejabat/pegawai yang ditunjuk oleh Kementerian Agama RI, berkoordinasi dan bekerjasama dengan instansi, institusi serta ahli/pakar terkait.

Sasaran binaan adalah individu dan atau kelompok keagamaan, mantan penganut aliran dan gerakan keagamaan baru yang diindikasikan bermasalah, dan kelompok penentang atau masyarakat luas yang cenderung menggunakan cara-cara kekerasan, serta warga masyarakat yang tidak terlibat, akan tetapi ikut menjadi korban konflik dan kekerasan.

E. Landasan Hukum

Sumber-sumber hukum yang digunakan sebagai landasan dalam penyusunan buku panduan ini antara lain:

1. UUD 1945 Pasal 28E; Pasal 28L ayat (1); Pasal 28J ayat (1) dan ayat (2); Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2).

2. Pasal 156a KUHP yang memuat aturan “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: (a). yang pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; (b).

dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang

(24)

Maha Esa.” (ancaman pidana bagi pelaku tindak pidana penodaan agama).

3. Undang-Undang No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, jo UU No. 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang.

4. Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik.

5. Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

6. Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

7. Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial.

Perlunya penanganan aliran dan gerakan keagamaan bermasalah secara baik, tidak dapat dilepaskan dari adanya jaminan negara atas kebebasan warga masyarakat untuk memeluk agama dan menjalankan ibadah menurut agama yang diyakininya tersebut. Pengakuan tersebut secara tegas dieksplisitkan dalam konstitusi dan peraturan perundang- undangan, seperti yang tertuang dalam Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi, “Negara menjamin kebebasan setiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu”. Jaminan tersebut secara sosiologis tergambarkan secara baik dalam Penjelasan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 jo.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969. Dalam Pasal tersebut

(25)

digambarkan bahwa ada 6 (enam) agama yang hidup dan berkembang di Indonesia, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Namun, ditegaskan bahwa hal itu bukan berarti agama-agama lain, seperti Yahudi, Zoroaster, Shinto, dan Tao dilarang di Indonesia. Agama-agama itu juga boleh hidup di Indonesia dan mendapatkan jaminan sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Sejalan dengan bunyi konstitusi di atas, Pasal 22 Undang- Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan bahwa “Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu” dan ”Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Adanya jaminan negara tersebut menunjukkan bahwa dalam konteks Indonesia hubungan antara agama dan negara mempunyai relasi yang sangat kuat. Relasi ini menginsyaratkan kepada negara untuk memperhatikan secara sungguh-sungguh pelaksanaan jaminan kebebasan beragama itu di masyarakat. Karena adanya jaminan negara tersebut sebenarnya menegaskan tentang adanya wilayah internal dalam beragama yang tidak boleh diintervensi oleh siapapun, bahkan oleh negara sekalipun.

Selanjutnya, konstitusi pasca amandemen menegaskan dalam Pasal 28E bahwa: (1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali; (2) Setiap orang

(26)

berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya; dan (3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

Kemudian juga ditambahkan Pasal 281, yang berbunyi bahwa “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

Berdasarkan kutipan di atas jelaslah bahwa sebenarnya pengaturan kebebasan beragama di Indonesia, sudah sangat maju. Namun, perlu juga dipahami bahwa ada norma agung dalam konstitusi, yaitu Pasal 28J yang berbunyi: (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;

(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Senada dengan bunyi Pasal 28J di atas, Pasal 70 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan kembali bahwa “Dalam menjalankan dan kewajiban, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-Undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan

(27)

kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”. Namun demikian, dalam konteks Indonesia sebagai negara yang bukan negara agama, seluruh umat beragama harus tunduk pada konstitusi yang berlaku di Indonesia.

Perlu digarisbawahi di sini bahwa pembacaan pasal- pasal itu hendaknya dilakukan secara menyeluruh. Orang tidak boleh hanya membaca Pasal 29, 28E, dan berhenti pada Pasal 281 saja, melainkan harus juga membaca Pasal 28J sebagai satu kesatuan dengan pasal-pasal sebelumnya.

Adanya pembatasan-pembatasan itu tidak perlu dianggap bahwa bangsa Indonesia tidak memiliki kebebasan beragama. Hal itu dimungkinkan sepanjang dilakukan melalui undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum.

Sesungguhnya dalam instrumen-instrumen internasional pun hal serupa memang diatur. Dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) yang diadopsi PBB pada tahun 1948, Pasal 29 Ayat (2), dikatakan sebagai berikut:

In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be subject only to such limitations as are determined by law solely for the purpose of securing due recognition and respect for the rights and freedoms of others and of meeting the just requirements of morality, public order and the general welfare in a democratic society.

(28)

(Dalam melaksanakan hak-hak dan kebebasannya, setiap orang hanya patuh kepada pembatasan yang diatur melalui undang-undang, semata-mata untuk tujuan menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan moralitas yang adil, ketertiban umum, dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat demokratis).

Dalam Kovenan Internasional mengenai Hak-Hak Sipil dan Politik (diadopsi PBB Tahun 1966) yang telah diratifikasi oleh Indonesia menjadi UU No. 12 Tahun 2005, Pasal 18 Ayat (3) berbunyi sebagai berikut:

(3) Kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan hukum, yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat atau hak dan kebebasan mendasar orang lain.

Kemudian dalam Deklarasi PBB tentang Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi Berdasarkan Agama dan Kepercayaan (Declaration on the Elimination of All Forms of Intolerance and of Discrimination Based on Religion and Belief) tahun 1981, pada Pasal 1 Ayat (3) juga dinyatakan sebagai berikut:

Freedom to manifest one’s religion or beliefs may be subject only to such limitations as are prescribed by law and are necessary to protect public safety, order, health, or morals, or the fundamental rights and freedoms of others.

(Kebebasan seseorang untuk menyatakan agamanya atau kepercayaannya hanya dapat dibatasi oleh UU

(29)

dan dalam rangka menjamin keselamatan umum, ketenteraman umum, kesehatan umum, atau nilai-nilai moral atau hak-hak dasar dan kebebasan orang lain).

Demikian juga dalam Konvensi tentang Hak-Hak Anak yang diadopsi oleh Sidang Umum PBB yang ditandatangani pada tanggal 20 November 1989 (Convention on the Rights of the Child), dalam Pasal 14 ayat (3) dinyatakan sebagai berikut:

Freedom to manifest one’s religion or beliefs may be subject only to such limitations as are prescribed by law and are necessary to protect public safety, order, health, or morals, or the fundamental rights and freedoms of others.

(Kebebasan seseorang untuk menyatakan agamanya atau kepercayaannya hanya dapat dibatasi oleh UU dan dalam rangka untuk melindungi keselamatan, ketenteraman, kesehatan, dan nilai-nilai moral publik atau hak-hak dasar dan kebebasan orang lain).

Dengan demikian, Pasal 28J UUD 1945 sesungguhnya juga sejalan dengan berbagai instrumen internasional yang telah diadopsi dan ditandatangani oleh PBB. Dalam hal ini maka apabila UU No.1/PNPS/1965 itu dipandang sebagai salahsatu pembatasan yang dilakukan dengan UU, maka hal itu sebenarnya adalah tidak bertentangan dengan UUD 1945, karena adanya peluang yang diberikan oleh Pasal 28J UUD 1945 itu yang harus dibaca sebagai bagian tak terpisahkan dari pasal-pasal lainnya.

Norma “pembatasan berdasarkan Undang-Undang”

yang diatur dalam pasal ini telah memberikan ketegasan bagi

(30)

aparatur dan warga masyarakat dalam menyikapi keberadaan aliran dan gerakan keagamaan bermasalah.

Selain itu, norma “dalam rangka untuk melindungi keselamatan, ketenteraman, kesehatan, dan nilai-nilai moral publik, atau hak-hak dasar dan kebebasan orang lain” telah memberikan panduan pula bahwa sepanjang aktualisasi kebebasan beragama itu tidak mengganggu keselamatan, keteteraman, kesehatan, dan nilai-nilai moral publik, atau hak-hak dasar dan kebebasan orang lain, maka Pemerintah tidak terlibat. Namun, apabila terjadi sebaliknya, maka Pemerintah wajib untuk melakukan penanganan segera.

F. Signifikansi Pedoman

Buku panduan ini menjadi pegangan bagi para pihak yang ditunjuk atau dilibatkan oleh Kementerian Agama untuk menangani dan menyelesaikan berbagai problem yang dihadapi para korban internal dan eksternal akibat aktivitas aliran dan gerakan keagamaan yang ada di tengah masyarakat, yang terindikasi “bermasalah”.

Buku ini juga dapat bermanfaat bagi pembuatan langkah-langkah pendataan berupa pemetaan aliran dan paham keagamaan baru dan bermasalah; pendataan tentang fenomena keluasan dan kedalaman konflik, kerusuhan serta akibat dan dampak yang pernah terjadi; rencana uji coba model solusi yang akan diprioritaskan; inventarisasi, rekruitment, penentuan sistem kerja sumberdaya pelaksana; penyiapan tempat, sarana dan prasarana, serta biaya yang diperlukan;

koordinasi, supervisi, evaluasi, dan analisa kritis keberhasilan dan kegagalan; serta revisi sistem kerja dan uji coba lanjutan atas model solusi yang ditawarkan.

(31)

BAB II

INDIKATOR, TIPOLOGI, DAN DAMPAK ALIRAN DAN GERAKAN KEAGAMAAN

BERMASALAH DI INDONESIA

A. Indikator Aliran dan Gerakan Keagamaan Bermasalah

1. Ditinjau dari peraturan perundang-undangan

Mengacu pada konstitusi dan peraturan perundang- undangan, indikator suatu aliran dan gerakan keagamaan dianggap bermasalah apabila:

a. Membahayakan ketertiban publik, seperti penafsiran dan penyebaran ajaran agama yang nyata-nyata menyimpang, menyesatkan, menyulut masalah dan mendorong kekacauan atau kerusuhan di tengah masyarakat.

b. Membahayakan keselamatan jiwa, seperti mengajarkan kepada para pengikutnya untuk melukai diri sendiri dan atau orang lain.

c. Mengganggu akhlak publik, seperti ajaran yang memperbolehkan seks bebas dan perzinaan.

d. Membahayakan kesehatan publik, seperti ajaran yang memperbolehkan menggunakan obat-obatan terlarang.

e. Melanggar hak-hak dasar orang lain, seperti pengkonsepsian dan penafsiran ajaran agama yang dalam penyebarannya pemaksaan pencucian otak orang lain baik secara langsung maupun tak langsung (brain- washing); memobilisasi pendanaan secara manipulatif dari masyarakat.

f. Menyebarkan kebencian dan permusuhan di tengah

(32)

masyarakat, seperti syiar-syiar baik secara lisan maupun tertulis yang menghalalkan darah orang lain bahkan orang tua kandung, atau mendorong orang lain melakukan kekerasan fisik dan teror.

g. Menganjurkan dan mengajarkan makar terhadap pemerintahan yang sah serta tidak mengakui Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2. Ditinjau dari Kriteria Paham dan Aliran Sesat menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat.

Di bawah ini adalah 10 kriteria paham dan aliran sesat (dalam Islam) menurut ketetapan MUI hasil Munas tahun 2007.

Kriteria ini tidak serta merta menjadi dasar penindakan dan penanganan terhadap pengikut aliran yang dianggap sesat tersebut, sebelum ada vonis dari pengadilan. Kriteria ini dapat digunakan sebagai rujukan awal untuk melihat dan menganalisa aliran-aliran keagamaan (Islam) guna ditindaklanjuti secara hukum.

Sepuluh kriteria tersebut adalah:

a. Mengingkari salah satu dari rukun iman yang enam.

b. Meyakini dan atau mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah.

c. Meyakini turunnya wahyu setelah Al-Quran.

d. Mengingkari otentisitas atau kebenaran isi Al-Quran.

e. Menafsirkan Al-Quran tidak berdasar pada kaidah-kaidah tafsir.

f. Mengingkari Hadits Nabi sebagai sumber ajaran Islam.

g. Menghina atau melecehkan atau merendahkan para nabi dan rasul.

h. Mengingkari Nabi Muhammad sebagai nabi dan rasul terakhir.

i. Mengubah, menambah dan atau mengurangi pokok-

(33)

pokok ibadah yang telah ditetapkan oleh Syari’ah, seperti haji tidak ke Baitullah, shalat wajib tidak 5 waktu.

j. Mengkafirkan sesama muslim.

Jika ditarik benang merah dari regulasi negara dan Ketetapan MUI tersebut maka indikator Aliran dan Gerakan Keagamaan Bermasalah itu adalah:

a. Otoritas penafsiran mutlak pada keinginan sang Imam/

Pemimpin.

b. Kegiatannya membahayakan bagi diri, dan penganut dan warga masyarakat lainnya.

c. Mengaku menerima wahyu.

d. Mengaku sebagai Nabi.

e. Menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.

f. Ada struktur dan aturan yang ketat yang mutlak diikuti dan ditaati oleh anggota yang tidak berdasar dari teks dan konteks wahyu.

g. Berlebih-lebihan dalam mengamalkan ajaran agama, keluar jauh dari teks dan konteks wahyu.

h. Aktivitasnya eksklusif (menutup diri).

B. Tipologi Aliran dan Gerakan Keagamaan

Keberadaan aliran dan gerakan keagamaan di berbagai tempat di Indonesia memunculkan reaksi dan tanggapan yang beragam di masyarakat. Seringkali, reaksi yang muncul berbentuk tindakan main hakim sendiri dengan mengadili pimpinan atau pengikut aliran yang dianggap bermasalah tersebut.

Berkaitan dengan keragaman tipologi aliran dan gerakan keagamaan yang biasanya tidak memunculkan reaksi, atau

(34)

yang sebaliknya, memunculkan reaksi penolakan di masyarakat Indonesia, pada umumnya dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Aliran dan gerakan keagamaan yang tidak bermasalah adalah mereka yang mengembangkan paham aliran dan aktivitas gerakan keagamaan yang dipandang berada di luar mainstream, namun tidak melakukan pelanggaran terhadap hukum negara. Contohnya adalah tarekat yang tergolong ghoiru mu’tabarah atau yang dipandang oleh sebagian orang sebagai tarekat di luar mainstream.

Aliran seperti ini juga tidak melakukan pelanggaran terhadap hukum negara. Secara umum, tidak ada reaksi masyarakat yang membahayakan pimpinan dan penganut tarekat semacam ini.

2. Aliran dan gerakan keagamaan yang bermasalah adalah mereka yang secara nyata melawan hukum negara, melakukan makar dengan tujuan untuk memutuskan NKRI dan mendirikan negara baru, menganjurkan permusuhan, teror dan kejahatan kemanusiaan lainnya.

Contohnya gerakan atas nama agama yang ingin mendirikannegara Islam. Termasuk dalam haliniadalah aliran dan gerakan keagamaan yang menggunakan cara- cara manipulative (penipuan, brain-washing, hipnotis) dan kriminal (penculikan pembunuhan).

3. Aliran dan gerakan keagamaan lainnya yang dianggap bermasalah adalah aliran-aliran keagamaan yang telah divonis pengadilan sebagai aliran bermasalah dari kebiasaan yang mainstream, tetapi kemudian secara diam-diam atau terbuka mereka tetap saja tidak berubah.

C. Dampak

Paham, aliran, dan gerakan keagamaan baru bermasalah yang banyak berbenturan dengan paham, aliran dan gerakan

(35)

keagamaan yang telah lama mapan, dari segi sosio kultural dapat menimbulkan dampak sebagai berikut:

1. Dampak terhadap korban atau pengikut dapat berupa:

a. Pengucilan oleh keluarga dan masyarakat baik secara sosial maupun ekonomi.

b. Terganggunya pendidikan korban baik prestasi belajar, disiplin, maupun keberlanjutan pendidikan.

c. Penghujatan dan pendiskreditan oleh pihak yang menentang.

d. Pemberitaan secara merugikan baik oleh media massa maupun oleh masyarakat dari mulut ke mulut.

e. Keadaan psikologis yang tertekan dan terintimidasi berproses frustrasi, konflik bathin, anxietas, depresi berujud stress sehingga menimbulkan gejala keabnormalan jiwa seperti kelainan jiwa (adjustive mechanism), gangguan jiwa (psychoneuroses), penyakit jiwa (psychoses), penyakit fisik akibat guncangan jiwa (psychosomatic), dan gangguan khusus (specific disorders) lainnya.

f. Perubahan pola hidup yang keluar dari kebiasaan, serta membangun relasi, yang anti sosial.

g. Pelarian dari situasi dan kondisi wajar ke arah yang lebih buruk.

h. Pemidanaan dan pemenjaraan.

2. Dampak terhadap keluarga dapat berupa:

a. Perpecahan anggota keluarga antara anak dan orang tua, keluarga dan anggota keluarga serta kerabat lainnya.

b. Pengucilan dari masyarakat sekitar terhadap keluarga c. Penanggungan beban psikologis dan ekonomi atas

keluarga.

d. Rentan terpengaruhi dan terindoktrinasi lebih awal (menjadi korban).

(36)

e. Perampasan hak berkeluarga.

f. Perampasan hak mendapatkan nafkah.

3. Dampak terhadap masyarakat dapat berupa:

a. Timbulnya aksi dan reaksi antar anggota dan kelompok masyarakat.

b. Timbulnya konflik dalam masyarakat yang berpotensi melahirkan disintegrasi sosial.

c. Timbulnya rasa takut akan menjadi korban penyimpangan.

d. Termanipulasi oleh paham dan ajaran yang salah.

e. Menderita kekerasan fisik dari kelompok yang tidak sepaham.

4. Dampak terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara dapat berupa:

a. Ancaman terhadap Pancasila sebagai ideologi ber- bangsa dan bernegara.

b. Ancaman terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia.

c. Memupuk tumbuh dan berkembangnya ideologi religiusitas baru yang merusak tatanan kekitabsucian, aqidah, peribadatan, tarikh, dan akhlak mulia; serta mengobrak-abrik falsafah dan regulasi acuan kehidupan berbangsa dan bernegara

5. Dampak terhadap citra Indonesia di dunia Internasional a. Terorisme dan konflik keagamaan menjadi catatan

penting yang memengaruhi iklim investasi di Indonesia.

b. Citra Indonesia sebagai negara yang penuh kerukunan dan harmoni di mata dunia juga menurun akibat konflik dan kekerasan atas dasar aliran dan gerakan keagamaan mainstream versus aliran dan gerakan keagamaan bermasalah yang penuh kontroversi.

(37)

BAB III

LANGKAH IDENTIFIKASI DALAM PENANGANAN A. Identifikasi Sasaran

Sebelum penanganan aliran dan gerakan keagamaan bermasalah dilakukan oleh pejabat/pegawai yang ditunjuk, diperlukan identifikasi terhadap sasaran yang akan ditangani meliputi:

1. Eksistensi:

a. Nama aliran keagamaan

b. Ajaran dan dakwah keagamaan c. Nama pendiri

d. Tahun berdiri

e. Nama pimpinan saat ini f. Jumlah pengikut

g. Lokasi h. Legalitas i. Sumber dana 2. Asal Muasal

Berkaitan dengan, apakah aliran/gerakan keagamaan ini dibentuk oleh aliran keagamaan yang sudah ada di negara lain? ataukah cabang dari aliran/gerakan keagamaan di daerah lain di Indonesia?; Apakah aliran/gerakan itu lahir secara natural dari budaya dan masyarakat lokal? ataukah gagasan seseorang tokoh kharismatik di komunitas wilayah aktivitas dakwahnya?

(38)

3. Motivasi

a. Bagaimana cerita dan konteks awal mula berdiri atau munculnya aliran/gerakan keagamaan ini? Apa sebab dan motivasinya?

b. Apa motivasi pengikutnya sehingga masuk menjadi bagian dari aliran keagamaan ini? Beberapa alternatif motivasi yang bisa ditelusuri, atau dikonfirmasi adalah sebagai berikut:

1) Teologis atau ideologis 2) Sosial

3) Budaya 4) Ekonomi 5) Politik

4. Lembaga payung atau afiliasi politik

Apakah ada lembaga induk yang menjadi payung dari aliran atau gerakan keagamaan ini? Jika tidak ada, apakah aliran keagamaan ini berafiliasi dengan lembaga lain?

Beberapa kemungkinan lembaga payung:

a. Yayasan sosial b. Yayasan pendidikan.

c. Balai Pengobatan d. Perguruan tinggi e. Pondok pesantren.

f. Penghayat kepercayaan g. Kelompok diskusi

h. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)

i. Organisasi Kepemudaan dan Kemahasiswaan (OKP) j. Organisasi Kemasyarakatan (Ormas)

k. Partai Politik (Parpol) 1. Perkumpulan/paguyuban m. Koperasi

(39)

n. Perguruan bela diri o. Sanggar seni p. Perusahaan q. Perusahaan media r. Cybermedia s. Organisasi ad hoc 5. Jaringan

a. Apakah aliran atau gerakan keagamaan ini mempunyai jaringan dengan aliran keagamaan sejenis di tingkat internasional maupun nasional, ataukah berdiri sendiri dan tidak memiliki cabang?

b. Apakah aliran keagamaan ini mempunyai jaringan atau bekerjasama secara langsung maupun tidak langsung dengan pemerintah/lembaga birokrasi atau dengan individu tertentu dalam internal pemerintahan/

lembaga birokrasi?

6. Persebaran

a. Apakah konsentrasi pengikut atau cabang aliran ini di wilayah pedesaan, perkotaan, atau dua-duanya?

b. Apakah aliran keagamaan ini memiliki misi atau rencana penyebaran ajarannya/pengikutnya? Sejauh mana cakupannya (lokal, wilayah, nasional, atau internasional?)

7. Pokok Ajaran

a. Apakah materi ajaran atau ideologi pokok aliran/

gerakan keagamaan ini?

b. Bagaimana argumen mereka terhadap ajaran atau ideologi pokok ini?

(40)

8. Metode Dakwah dan Rekruitmen Anggota

a. Bagaimana metode penyebaran (dakwah ajaran ini di tengah masyarakat?

b. Bagaimana mereka menerapkan metode itu terhadap pengikut dan sasaran (calon pengikut)?

c. Bagaimana mereka merekrut/mengkader pengikut?

Adakah sistem baiat/perjanjian tertentu?

d. Apakah pengikutnya merasa dipaksa ketika masuk/

direkrut?

e. Apakah mereka menggunakan struktur sel tertutup atau terbuka?

f. Apakah pengikutnya berbasis individu atau keluarga?

g. Bagaimana argumen mereka terhadap metode- metode tersebut?

B. Identifikasi Kelompok Penentang

Selain identifikasi sasaran, perlu dilakukan juga identifikasi terhadap kelompok penentang, meliputi antara lain:

1. Apakah ada kelompok penentang terhadap aliran/gerakan keagamaan ini?

2. Siapa tokoh-tokoh di balik penentangan tersebut?

3. Bagaimana argumen kelompok penentang terhadap aliran/gerakan keagamaan tersebut?

4. Apakah masyarakat di sekitar tempat keberadaan aliran/

gerakan memiliki pandangan yang sama dengan kelompok penentang itu? Atau berbeda (non-penentang)?

5. Apasaja yang sudah, sedang, dan akan dilakukan kelompok penentang terhadap aliran/gerakan keagamaan ini?

6. Bagaimana aparat terkait melihat masalah ini? Dan apa sikap aparat terhadap kelompok penentang?

(41)

7. Apa akibat yang ditimbulkan oleh sikap dan tindakan kelompok penentang ini?

8. Apa reaksi aliran/gerakan keagamaan tersebut terhadap sikap dan tindakan penentangan tersebut?

9. Apa motivasi/alasan kelompok penentang ini di balik sikap dan tindakan penentangan mereka?

Beberapa alternatif motivasi yang bisa ditelusuri/

dikonfirmasi antara lain sebagai berikut:

a. Teologis atau ideologis d. Ekonomi

b. Sosial e. Politik

c. Budaya

C. Identifikasi Akibat dan Dampak

Selanjutnya, identifikasi dilakukan terhadap akibat dan dampak dari kehadiran aliran/gerakan keagamaan bermasalah:

1. Korban Pengikut

a. Apakah pengikut aliran/gerakan keagamaan ini terlihat mengalami frustrasi, konflik, anxietas, depresi berwujud stress, trauma hingga disorientasi?

b. Bagaimana kondisi keluarga dan anak-anak pengikut aliran/gerakan tersebut?

c. Apakah pengikut aliran/gerakan keagamaan ini mengalami kerugian material setelah mengikuti aliran/

gerakan keagamaan tersebut?

d. Apakah pengikut aliran/gerakan keagamaan ini mengalami sanksi sosial (dieksklusi keluarga, dikucilkan

(42)

oleh lingkungannya) setelah mengikuti aliran/gerakan keagamaan tersebut?

2. Sosial

a. Apakah keberadaan aliran/gerakan keagamaan tersebut menimbulkan konflik dan kecemasan dikalangan masyarakat sekitarnya? Apa jenis konflik dan kecemasan tersebut?

b. Sejauh mana cakupan pengaruh konflik dan kecemasan tersebut?

c. Apakah keberadaan aliran/gerakan keagamaan tersebut merusak pranata sosial yang ada di masyarakat sekitarnya?

d. Ataukah justru tindakan kelompok penentang yang memunculkan keresahan dan kerugian sosial?

3. Hukum

a. Apakah aliran/gerakan keagamaan tersebut melakukan tindakan pelanggaran hukum?

b. Apa bentuk tindakan pelanggaran hukum tersebut?

delik apa saja yang dilanggar?

c. Apakah ada pihak yang dirugikan oleh tindakan pelanggaran hukum tersebut? Apa bentuk kerugiannya?

D. Metode Pengumpulan Data

Di dalam proses identifikasi sebagaimana tercakup pada uraian terdahulu, digunakan metode pengumpulan data dan pembuatan database sebagai berikut:

1. Wawancara atau dialog dengan pimpinan dan pengikut

(43)

kelompok keagamaan aktif yang menjadi sasaran.

2. Wawancara atau dialog dengan mantan pimpinan dan eks pengikut kelompok keagamaan yang sudah sadar yang menjadi sasaran.

3. Wawancara dengan masyarakat secara umum.

4. Pengumpulan data dan dokumen dari kepolisian, lembaga pemasyarakatan, rumah sakit, keluarga dan sumber lainnya tentang korban atau penderita dampak konflik aliran/

gerakan keagamaan bermasalah.

5. Investigasi observasi.

6. Pengkategorian masalah pendidikan, fisik, psikis, psikhophisik, sosial, hukum, korban aliran/gerakan keagamaan baru tersebut.

7. Studi kepustakaan.

8. Penentuan jenis, macam, metode, teknik, prosedur, sarana dan prasana, tenaga ahli yang diperlukan dalam penanganan.

9. Informasi masyarakat ahli atau pakar terkait.

10. Persetujuan korban dan keluarga untuk mengikuti penanganan.

11. Membuat database berdasarkan informasi yang sudah dikumpulkan, termasuk di dalamnya adalah database personalia.

E. Rekomendasi Penanganan

Dari identifikasi yang dilakukan, perlu dirumuskan rekomendasi penanganan terkait fokus sasaran penanganan dan strategi penanganan.

Beberapa pertanyaan yang harus dijawab meliputi:

(44)

1. Skala Prioritas Sasaran

a. Apakah penanganan dan pembinaan difokuskan kepada individu-individu ataukah secara umum kepada semua stakeholder yang terkait dengan masalah aliran/gerakan keagamaan ini, termasuk kelompok penentang?

b. Bagaimana sebaiknya strategi penanganannya dirumuskan? Apakah strategi penanganan korban sebaiknya dibedakan dari strategi penanganan penentang?

2. Tipe Penanganan

a. Apakah penanganan dan pendampingan mungkin dilakukan dalam kasus ini? Ataukah kasusnya harus diselesaikan secara hukum?

b. Apakah penanganan ini bisa dikategorisasi menjadi jangka pendek, jangka menengah, atau jangka panjang?

c. Apakah proses pendampingan bisa dilakukan secara ad hoc, ataukah harus simultan dan berkelanjutan, ataukah harus diintegrasikan dengan pranata sosial yang ada di lingkungan tersebut, atau secara boarding (pemondokan) khusus?

3. Penentuan proses pembinaan

a. Metode dan didaktika yang digunakan.

b. Keteladanan yang ditampilkan.

c. Pembudayaan nilai dan norma yang dilaksanakan.

d. Penilaian keberhasilan dan kegagalan penanganan.

(45)

4. Penanganan dampak

a. Penyaluran pasca penanganan bagi mereka yang berhasil ditangani.

b. Penanganan/perujukan bagi korban yang mengalami dampak keabnormalan jiwa baru.

c. Konsekuensi biaya perujukan dampak.

F. Metode Perumusan Rekomendasi

1. Diskusi tim ahli.

2. Analisis temuan lapangan.

3. FGD oleh keseluruhan tim yang ditugaskan untuk maksud penanganan.

(46)
(47)

BAB IV

BENTUK-BENTUK PENANGANAN A. Pendekatan Personal

Setelah jelas database aliran/gerakan keagamaan bermasalah dengan segala penyimpangan, ketersesatan, masalah dan dampak yang ditimbulkannya, penanganan para korban (atau penentangnya) dilakukan dalam berbagai bentuk, dan pemilihan bentuk penanganan sangat bergantung pada jenis masalah yang dihadapi para korban.

Setidaknya ada lima jenis masalah yang mungkin timbul dan dialami oleh para korban. Masalah pertama berupa kerancuan pemahaman tentang ajaran agama (yang syar’i);

jenis masalah kedua berupa keabnormalan jiwa; jenis masalah ketiga penyakit fisik; masalah keempat hukum; dan masalah terakhir sosial. Masing-masing masalah diatasi melalui bentuk penanganan yang berbeda-beda, meskipun satu atau dua bentuk penanganan boleh jadi dapat digunakan untuk lebih dari satu jenis masalah.

Satu hal yang penting ditekankan di sini adalah, apapun bentuk penanganan yang diberikan kepada para korban, terdapat kebutuhan mutlak bagi semua korban dari kelima jenis masalah yang mereka hadapi, untuk memutus total hubungan mereka dengan aliran/gerakan bermasalah. Pemutusan seluruh mata rantai jejaring aliran/gerakan bermasalah ini merupakan elemen strategis dalam keseluruhan proses penanganan korban.

(48)

Oleh karena penanganan aliran/gerakan keagamaan bermasalah ini lebih berorientasi pada penanganan korban yang pada dasarnya adalah individu-individu, maka pendekatan penanganannya juga mempertimbangkan pendekatan personal, tanpa melupakan pendekatan lain, sebagaimana akan diuraikan kemudian.

Dalam pendekatan personal, bentuk penanganannya antara lain menggunakan:

1. Metode Pendidikan dan Bimbingan (Edukasi dan Guidance)

Penyimpangan dari Ajaran Agama (yang syar’i) ditangani dengan metode pendidikan dan bimbingan keberagamaan.

Dalam proses ini, pendidikan dan bimbingan bisa dilakukan dengan cara ta’lim, remedial, enrichment, dan klinikal, lewat teknik mentoring, diskusi, dialog (counter), ceramah, atau metode lainnya yang dinilai cocok dengan kondisi para korban.

Prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan dalam proses ini adalah:

a. Menciptakan kenyamanan, sehingga korban merasa damai, terbela, dan terlindungi.

b. Tidak bersifat menghakimi keyakinan korban sebagai sesat atau menyimpang, tetapi bersifat analitis terhadap pemahamannya.

c. Memberikan rasa percaya (trust) korban sehingga mereka bersedia terbuka kepada petugas dari tim penanganan.

(49)

2. Metode Konseling dan Psikotherapi

Tatkala korban telah terdiagnosa sebagai penderita keabnormalan jiwa, maka metode penanganannya adalah dengar, konseling dan psikotherapi penderita yang terdiagnosa dengan gejala seputar kelainan jiwa (adjustive mechanism) diiringi dengan kesulitan menentukan pilihan keputusan terhadap nilai dan norma teks dan konteks wahyu secara utuh, maka disuluhi dengan konseling.

Ketika korban telah terdiagnosa sebagai penderita keabnormalan jiwa pada tingkat gangguan jiwa (psikoneuroses) dan gangguan jiwa khusus (specific disorders), atau pada tingkat penyakit jiwa (psikosa), penyakit fisik akibat guncangan jiwa (psikosomatik), maka disembuhkan dengan teknik konsultatif, hipnotherapi, atau biopsikomedical.

3. Metode Pengobatan (Treatment)

Setelah korban terdiagnosa menderita salah satu atau sejumlah penyakit fisik (diseases), maka perlu ditanggulangi dengan pelayanan biomedis secara an sick.

4. Metode Hukum dan Advokasi Sosial

Setelah korban jelas terindikasi masalah hukum, maka penanganannya adalah penyelesaian lewat peradilan. Dalam hal ini, agar keadilan berjalan maksimal perlu ada advokasi.

Sementara korban yang terindikasi memikul dampak sosial, maka penanganannya dengan metode memberi pemahaman dan kesadaran masyarakat agar dapat menerima kembali korban yang sudah dianggap sudah baik dan siap hidup

(50)

di tengah masyarakatnya, untuk kemudian diberi program pemberdayaan (empowering).

5. Metode Pemutusan Mata Rantai ke Jejaring Institusi Berajaran Menyimpang

Sebagaimana telah dikemukakan, pemutusan hubungan dengan aliran/gerakan bermasalah sangat penting dalam proses penanganan. Cara yang dilakukan dalam metode ini adalah dengan memutus lingkungan korban dari komunitas dan atau jaringan yang dimungkinkan bisa dipengaruhi oleh aliran/gerakan keagamaan bermasalah. Pemutusan hubungan ini dilakukan hingga korban dinilai sudah mampu menjaga diri dari pengaruh aliran/gerakan keagamaan bermasalah tersebut. Jika diskemakan, alur proses penanganan aliran/

gerakan keagamaan baru yang bermasalah tersebut melalui pendekatan personal, terlihat sebagai berikut:

(51)

Skema Pendekatan Penanganan Personal/Individual

Keterangan*:

Dapat digunakan untuk penanganan yang bersifat kolektif dan sistematik.

Aliran dan Gerakan Keagamaan Bermasalah

Ajaran Syar’i* Keliwaan Penyakit Fisik Hukum* Sosial* Identifikasi masalah

Pendidikan Dakwah Transisi Abnormal

Treatment Penyesuian Diri

Remedial Enrichment

Clinical

G u i d a n c e

C o n s e l l i n g

P s i k o m a t i k

D i s e a s e

L i t i g a s i

N o n L i t i g a s i

Penerimaan warga Masyarakat

Pemberdayaan Psychotherapy

Counselling

Individual Consultation

FGD

Perundingan/Dialog Arbitrase Paralegal

Pemutusan Hubungan Mata Rantai dengan Jejaring Institusi Berajaran Menyimpang

Program Program 2 Program

Alternatif penangangan yang di re- komendasikan

Program Aksi

(52)

Dari skema penanganan pendekatan personal ini, terlihat diversifikasi fungsi dari berbagai stakeholder yang diharapkan terlibat dalam penanganan, tentunya secara terkoordinasi dalam satu tim oleh institusi yang menjadi leading sector koordinasinya, yaitu Kementerian Agama RI. Misalnya:

1. Bidang Pendidikan (remedial; enrichment; clinical), gundance dan dakwah terhadap penyimpangan dari ajaran syar’i, dilaksanakan oleh Kementerian Agama RI dibantu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI;

2. Bidang Conselling dan Psychotherapy (Individual Consultation, Focus Group Discussion “FGD” Technical;

Biomedical, dll) untuk keabnormalan jiwa termasuk Psikosomatik dilaksanakan oleh Kementerian Agama RI dibantu Kementerian Kesehatan RI;

3. Bidang Treatment (Obat, Menu, Tindakan, dan lain-lain) penanggulangan penyakit fisik (ansich, atau psikosomatik), dilaksanakan oleh Kementerian Agama RI dibantu Kementerian Kesehatan RI;

4. Bidang perlindungan, advokasi dan penyuluhan penyelesaian masalah hukum dilaksanakan oleh Kementerian Agama RI dibantu Kementerian Hukum dan HAM RI dan Kejaksaan Republik Indonesia;

5. Bidang upaya penyesuaian diri yang bersangkutan, pembinaan penerimaan warga masyarakat serta pemberdayaan terhadap masalah sosial dilaksanakan oleh Kementerian Agama RI dibantu Kementerian Sosial RI, dan Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia.

6. Pengembangan berbagai program aksi (1,2,3) dalam rangka pemutusan mata rantai ke jejaring institusi aliran/gerakan keagamaan bermasalah dilaksanakan

(53)

oleh Kementerian Agama RI dibantu Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kementerian Dalam Negeri RI, dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.

7. Dalam penanganan lintas masalah dapat melibatkan berbagai instansi, institusi, serta ahli atau pakar dalam kompetensi yang relevan.

B. Pendekatan Kolektif: Beragam Program

Pendekatan kolektif digunakan sebagai langkah penanganan dan pembinaan kelompok, cara yang digunakan berupa pemberdayaan, di antaranya adalah:

1. Charity (santunan) diberikan kepada korban berupa kebutuhan pokok melalui tim penanganan yang sebelumnya telah dibentuk.

2. Development (pembangunan), yaitu pengembangan pengetahuan, sikap dan perilaku sehingga kembali menjadi individu yang mampu memecahkan masalah yang sedang dihadapi, dengan tetap melibatkan tim penanganan.

3. Transformasi (perubahan SDM), dari eksklusif menjadi inklusif yang adaptif terhadap perubahan lingkungan sosiokultural, dengan tuntunan dari tim penanganan.

4. Policy (Kebijakan) pemerintah yang melihat para penganut aliran dan gerakan keagamaan baru sebagai korban dan bukan sebagai penyebab keresahan dan konflik sosial, dijembatani oleh tim penanganan.

C. Pendekatan Sistemik

Pendekatan sistemik digunakan sebagai langkah penanganan dan pembinaan secara hukum, persuasif (pembinaan rapport) di antaranya:

(54)

1. Hukum

a. Litigasi (penyelesaian lewat pengadilan).

b. Non litigasi:

1) Perundingan/dialog.

2) Arbitrase (penyelesaian masalah dengan pihak ketiga).

3) Paralegal (tuntutan oleh masyarakat atau korban).

2. Sosial

Berbagai pihak terkait yang meliputi warga masyarakat penentang, anggota aliran/gerakan keagamaan baru, serta pihak-pihak yang dapat berperan sebagai pendingin situasi konflik dan kerusuhan, sama-sama dibekali kesadaran agama, kenegaraan, serta keutuhan kehidupan suatu komunitas.

Dengan kekayaan bentuk-bentuk penanganan, keahlian yang relevan, kebijakan yang tepat, kelembagaan pemerintah dan sosial yang sinergis, diharapkan situasi keberagamaan, kehidupan sosial budaya, kekuatan hukum, dan keutuhan bernegara akan lebih kondusif secara esensial dan substansial bagi kehidupan Bangsa.

(55)

BAB V

MANAJEMEN PENANGANAN A. Organisasi dan Struktur Organisasi

Untuk menjalankan roda kegiatan agar bekerja lebih efektif dan efisien, terukur dan terarah, dibutuhkan sebuah wadah (organisasi) atau sebuah tim, yang secara tentatif dapat disebut ”Tim Penanganan dan Pembinaan”. Karena sifat waktunya yang temporal, sementara cara penanganannya harus integral dan komprehensif, maka ketentuan pokok yang berlaku pada organisasi tersebut adalah:

1. Bersifat ad hoc yang diketuai oleh personil yang ditunjuk oleh Kementerian Agama RI, baik yang di provinsi maupun kabupaten/kota mendapat persetujuan Pemda c.q. Dinas Sosial.

2. Bersifat koordinatif, di mana fungsi pimpinan ad hoc mampu melakukan koordinasi dengan berbagai instansi terkait.

Adapun komponen organisasinya sebagai berikut:

a. Pemerintah

(1) Leading Sektor: Kementerian Agama RI.

(2) dan Instansi terkait:

a. Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia.

b. Kementerian Sosial RI.

c. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.

(56)

d. Kementerian Dalam Negeri RI.

e. Kejaksaan Republik Indonesia.

f. Kepolisian Negara Republik Indonesia.

g. Kementerian Hukum dan HAM RI.

b. Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota

1) Leading Sektor: Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi atau Kantor Kemenag Kabupaten/Kota

2) Instansi terkait: Dinas-dinas provinsi dan kabupaten/

kota.

c. Masyarakat

1) Tokoh Masyarakat 2) Tokoh Agama 3) Ormas

d. Struktur Organisasi

1) Tim penanganan pusat: sekurang-kurangnya terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara dan anggota.

2) Tim penanganan provinsi: sekurang-kurangnya terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara dan anggota.

3) Tim penanganan kabupaten/kota: sekurang-kurangnya terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara dan anggota.

Dalam melaksanakan tugasnya, penanganan kabupaten/kota ini dibantu oleh tim ahli.

4) Tim Ahli adalah tim yang dibentuk oleh Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota yang terdiri dari para ahli yang diperlukan sesuai dengan bentuk penanganan.

B. Peran dan Pola Kerja

1. Tugas/peran/tanggung jawab Pemerintah adalah sebagai berikut:

(57)

a. Mengkoordinir pelaksanaan penanganan dan pembinaan.

b. Melindungi pelaksanaan penanganan dan pembinaan.

c. Mengawasi pelaksanaan penanganan dan pembinaan d. Memberikan pendanaan pelaksanaan penanganan

dan pembinaan.

2. Tugas/peran/tanggung jawab Tim penanganan dan pembinaan:

a. Tim Lokal yakni Penyuluh Agama Kabupaten/Kota.

Tim ini bertugas:

1) Bekerjasama dengan tokoh masyarakat, tokoh agama, dan ormas untuk melakukan needs assessment.

2) Data assessment dilaporkan ke Tim Lokal Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi untuk diteruskan ke Tim Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama RI.

b. Tim Lokal Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi.

Tim ini bertugas:

1) Menerima laporan pengumpulan data needs assessment 2) Meneruskan hasil laporan ke Tim Ditjen Bimas Islam

Kementerian Agama RI.

c. Tim Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama RI.

Tim ini bertugas:

1) Menerima hasil laporan dari Tim Lokal Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi.

2) Memberikan penilaian terhadap hasil laporan.

3) Menentukan ukuran masalah dan penentuan jumlah tim yang akan diturunkan dan keterlibatan tim ahli d. Tim Ahli.

Tim ini bertugas:

1) Melakukan penanganan korban sesuai dengan keahlian yang dimiliki.

(58)

2) Apabila dipandang perlu, membuat rekomendasi penanganan lebih lanjut kepada Tim Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama RI.

3. Tugas/peran/tanggung jawab masyarakat sebagai berikut:

a. Melaporkan masalah atau potensi masalah dari paham, aliran, dan gerakan keagamaan baru.

b. Menciptakan iklim yang kondusif untuk bekerjanya tim penanganan dan pembinaan (dalam hal ini Penyuluh).

c. Bersama Penyuluh melaporkan kepada pihak berwajib untuk menjaga keamanan.

b. Bersama Penyuluh melakukan needs assessment untuk mengidentifikasi kebutuhan material, substansial, maupun kebutuhan operasional lapangan.

C. Sarana Prasarana

1. Literatur yang dibutuhkan: buku acuan dan buku penunjang.

2. Ternpat penanganan: ruangan, meja, kursi, tempat halaqah dan fasilitas.

3. Transportasi yang diperlukan.

4. Pemukiman (khususnya bagi korban) selama pembinaan.

D. Monitoring dan Evaluasi

1. Instrumen

Untuk membuat penilaian yang valid, maka sistempenilaian harus dilakukan secara bertingkat. Instrumen untuk pemantauan dan penilaian bertingkat ini terdiri dari:

a. Penilaian diri dengan cara memberikan format yang kemudian diisi sendiri.

Referensi

Dokumen terkait

melakukan penelitian dengan judul “ Manajemen Risiko Bank Islam (Penanganan Pembiayaan Bermasalah Dalam Produk Pembiayaan pada. PT. Bank Muamalat Indonesia Kantor Cabang

Persepsi nasabah terhadap penanganan pembiayaan bermasalah dan managemen risiko Bank Muamalat Cabang Pembantu Panyabungan berada pada persepsi sangat positif,

8 Tahun 2013 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Penanganan Gizi Buruk sehingga pada saat pelaksanaan memiliki tujuan dan hasil pasti, untuk mewujudkannya melalui

Pedoman Penanganan Cepat Medis dan Kesehatan Masyarakat tentang COVID-19 di Indonesia cukup dipahami oleh tenaga kesehatan, tetapi bagi masyarakat akan sulit

a) Para nasabah sulit untuk diajak bekerja sama saat melakukan penanganan terhadap kredit bermasalah dalam hal restrukturisasi mulai dapat dilakukan dengan cara