DUKUNGAN PASCAPANEN
DAN PEMBINAAN USAHA
DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN
KEMENTERIAN PERTANIAN
DESEMBER 2012
PEDOMAN TEKNIS
PENANGANAN GANGGUAN USAHA DAN
KONFLIK PERKEBUNAN
KATA PENGANTAR
Pedoman Teknis Kegiatan Penanganan Gangguan Usaha dan Konflik Perkebunan di Daerah untuk tahun 2013 disusun dalam rangka memberikan acuan dan arahan pelaksanaannya kepada petugas yang menangani Gangguan Usaha dan Konflik Perkebunan. Pedoman ini terdiri dari : 1) Fasilitasi, Inventarisasi, Identifikasi, dan Penanganan Gangguan Usaha Perkebunan 2) Fasilitasi, Inventarisasi, Identifikasi, dan Penanganan konflik Perkebunan, 3) Pertemuan Koordinasi Penanganan Gangguan Usaha dan Konflik Perkebunan, 4) Pemantauan, Pengawasan dan Fasilitasi Penyelesaian Masalah PIR-BUN dan 5). Pemantauan, Pengawasan dan Fasilitasi Penyelesaian Masalah PIR-TRANS/KKPA.
Isi dan substansi Pedoman Teknis ini hanya memuat garis besar kegiatan, antara lain tujuan, sasaran, ruang lingkup kegiatan, pelaksanaan, monitoring dan pelaporan. Hal ini dimaksudkan agar petugas yang menangani Gangguan Usaha dan Konflik Perkebunan selanjutnya dapat menyusun Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis yang lebih spesifik.
Usaha dan Konflik Perkebunan tahun 2013 yang dilaksanakan di Daerah dapat meningkatkan identifikasi terhadap penyebab terjadinya suatu kasus perkebunan, data/informasi mengenai kasus Gangguan Usaha dan Konflik Perkebunan serta dapat meningkatkan koordinasi antar instansi terkait baik di Pusat maupun di Daerah.
Jakarta, Desember 2012
Direktur Jenderal Perkebunan,
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
1. Pedoman Teknis Fasilitasi, Inventarisasi, identifikasi, dan Penanganan Gangguan Usaha Perkebunan
2. Pedoman Teknis Fasilitasi, Inventarisasi, identifikasi, dan Penanganan Konflik Perkebunan
3. Pedoman Teknis Pertemuan Koordinasi Penanganan Gangguan Usaha dan Konflik Perkebunan
4. Pedoman Teknis Pemantauan, Pengawasan, dan Fasilitasi Penyelesaian Masalah Proyek PIR-TRANS/KKPA
1
PEDOMAN TEKNIS
FASILITASI, INVENTARISASI, IDENTIFIKASI, DAN PENANGANAN GANGGUAN USAHA
PERKEBUNAN
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkebunan merupakan salah satu sub-sektor strategis yang secara ekonomis, ekologis dan sosial budaya memainkan peranan penting dalam pembangunan nasional.
Penyelenggaraan pembangunan
perkebunan sejalan dengan amanat dan jiwa Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yaitu : ” bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, sebagai karunia dan amanat Tuhan Yang Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia merupakan potensi yang sangat besar dalam pembangunan perekonomian nasional termasuk didalamnya pembangunan perkebunan dalam mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat
secara berkeadilan”.
2
dari jenis komoditas, hasil produksi dan bentuk pengusahaannya. Dari aspek komoditas, perkebunan terdiri dari 127 jenis tanaman, berupa tanaman tahunan, tanaman semusim, serta tanaman rempah dan penyegar dengan areal sebaran mulai dataran rendah sampai dataran tinggi. Ditinjau dari aspek produksi, hasil produksi perkebunan merupakan penghasil bahan baku industri baik untuk kebutuhan dalam negeri maupun ekspor. Apabila ditinjau dari bentuk pengusahaannya, perusahaan perkebunan meliputi perkebunan besar milik negara/Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebesar 6%, Perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN) sebesar 21% dan Perkebunan Rakyat (PR) sebesar 72%.
3
perubahan iklim global, rendahnya kepemilikan lahan dan status lahan pekebun, masih terbatasnya akses kemampuan sistem perbenihan nasional, terbatasnya akses pekebun terhadap permodalan, lemahnya kapasitas kelembagaan petani dan penyuluh, serta kurangnya koordinasi kerja antara
sektor terkait pembangunan
perkebunan.
Pembangunan Perkebunan akan
terkendala jika dalam penyediaan lahannya masih terdapat permasalahan yang belum terselesaikan.
4
usaha perkebunan akan sangat mempengaruhi kinerja usaha perkebunan.
Kasus gangguan usaha perkebunan sampai dengan Tahun 2011 tercatat sebanyak 822 kasus yang terjadi di Badan Usaha Milik Negara/BUMN Perkebunan (PTP. Nusantara) sebanyak 108 kasus dan Perkebunan Besar Swasta (PBS) sebanyak 714 kasus dan tersebar di 23 provinsi (Aceh, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Barat).
Untuk itu perlu dilakukan kegiatan fasilitasi, inventarisasi, identifikasi, dan
penanganan gangguan usaha
5
B. Sasaran Nasional
Terfasilitasinya inventarisasi, identifikasi, dan penanganan gangguan usaha perkebunan.
C. Tujuan
Tujuan kegiatan fasilitasi, inventarisasi, identifikasi, dan penanganan kasus gangguan usaha perkebunan, sebagai berikut :
1)Melakukan inventarisasi dan identifikasi kondisi dan jenis gangguan usaha perkebunan yang ada di daerah;
2)Mengupayakan penyelesaian gangguan
usaha perkebunan dengan
berkoordinasi pada instansi terkait di Pusat dan Daerah;
6
II. PENDEKATAN PELAKSANAAN KEGIATAN
A. Prinsip Pendekatan Pelaksanaan Kegiatan
Melakukan koordinasi dan musyawarah kepada para pihak (stake holder) untuk memperoleh kesepakatan dan mufakat, dalam rangka mendapatkan hasil yang adil (win-win solution).
B. Spesifikasi Teknis
- Pengumpulan data dan informasi;
- Melakukan musyawarah dan
merumuskan kesepakatan;
- Monitoring dan evaluasi
perkembangan penanganan gangguan usaha perkebunan;
- Menyusun laporan hasil kegiatan dan menyampaikan laporan kepada instansi terkait.
III. PELAKSANAAN KEGIATAN
a. Ruang Lingkup
Ruang lingkup kegiatan Fasilitasi , Inventarisasi, Identifikasi, dan
Penanganan Gangguan Usaha
Perkebunan sebagai berikut:
7
(instansi terkait Pusat dan Daerah, Perusahaan, Pekebun/masyarakat, asosiasi dll ;
2)Inventarisasi data dan informasi, terkait dengan gangguan usaha perkebunan berdasarkan hasil
kunjungan lapangan, hasil
pemantauan media elektronik dan cetak serta koordinasi dengan instansi terkait ;
3)Identifikasi kondisi dan jenis gangguan usaha perkebunan;
4)Pengecekan langsung ke lapangan jika terjadi gangguan usaha perkebunan; 5)Kunjungan pembinaan dan sosialisasi
kepada masyarakat / pekebun dan perusahaan perkebunan;
6)Koordinasi dengan instansi/pihak terkait antara lain melalui forum rapat, seminar dan workshop;
b. Pelaksanaan Kegiatan
Kegiatan dilaksanakan oleh Dinas Perkebunan Provinsi sebagai berikut :
1)Penyusunan rencana kerja
pelaksanaan (petunjuk teknis) dan inventarisasi data gangguan usaha perkebunan;
2)Koordinasi dengan Instansi terkait dalam pemutakhiran data;
3)Pelaksanaan pemantauan ke lokasi
8
perkebunan. Dinas Perkebunan Provinsi/Dinas Provinsi yang membidangi perkebunan bekerjasama dengan pemerintah Kabupaten/Kota mengunjungi lokasi yang terjadi gangguan usaha perkebunan dan yang memiliki potensi gangguan usaha perkebunan;
4)Rapat/pertemuan memfasilitasi penyelesaian gangguan usaha perkebunan dengan instansi terkait; 5)Penyusunan dan pembahasan laporan
hasil rapat;
6)Tindak lanjut penyelesaian gangguan usaha Perkebunan;
7)Dinas perkebunan provinsi
melaporkan hasil kegiatannya kepada Direktur Jenderal Perkebunan, Gubernur, Bupati kasus per kasus dan menyampaikan laporan akhir tahun anggaran;
c. Lokasi, Jenis dan Volume
Kegiatan dilaksanakan di 27 provinsi dan 151 Kabupaten/Kota yang terdapat gangguan usaha perkebunan dengan dirinci sebagai berikut:
No Provinsi Jumlah
Kabupaten
1 Aceh 5
2 Sumatera Utara 9
9
IV. PEMBINAAN, PENGENDALIAN, PENGAWALAN DAN PENDAMPINGAN
10
perkebunan bersama-sama dengan dinas yang membidangi perkebunan di provinsi dan kabupaten/kota serta melakukan koordinasi dengan instansi terkait di kabupaten/ kota dan kecamatan serta desa.
Pembinaan, pengendalian, pengawalan dan pendampingan dilakukan oleh : Tim Pembina Pusat, Tim Pelaksana Provinsi dan Tim Teknis Kabupaten/Kota dengan tugas masing-masing sebagai berikut :
1.Tim Pembina Pusat
Tim Pembina Pusat dikoordinasikan oleh Direktorat Pascapanen dan Pembinaan Usaha, bertugas/berfungsi :
a.Melakukan koordinasi perencanaan dan pelaksanaan yang bersifat lintas sektoral antar instansi terkait di tingkat pusat dalam rangka
meningkatkan efisiensi dan
efektivitas pelaksanaan kegiatan.
b.Melakukan sosialisasi dan koordinasi dengan Tim Pelaksana Provinsi dalam
rangka pengawalan dan
11
c.Meningkatan efektivitas pelaksanaan program melalui kerjasama antara instansi terkait lainnya.
d.Menyusun Pedoman Umum
Pelaksanaan Penanganan Gangguan Usaha Perkebunan.
e.Menyusun dan menyampaikan laporan perkembangan pelaksanaan kegiatan
kepada Direktur Jenderal
Perkebunan.
2.Tim Pelaksana Provinsi
Tim Pelaksana Provinsi dikoordinasikan oleh dinas yang membidangi perkebunan provinsi yang menangani kegiatan
penanganan gangguan usaha
perkebunan, bertugas :
a.Melakukan koordinasi pelaksanaan yang bersifat lintas sektoral antar instansi terkait di tingkat Provinsi dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelaksanaan kegiatan.
b.Melakukan sosialisasi dengan Tim Teknis Kabupaten/Kota dalam rangka pelaksanaan program fasilitasi, inventarisasi, identifikasi, dan
penanganan gangguan usaha
perkebunan.
12
mengupayakan penyelesaian masalah yang dihadapi di lapangan.
d.Membuat Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) kegiatan penanganan gangguan usaha perkebunan yang ada di daerahnya dengan mengacu
Pedoman Umum yang disusun
Direktorat Jenderal Perkebunan. Juklak tersebut disampaikan ke Dinas yang membidangi perkebunan di Kabupaten/Kota dengan tembusan
kepada Direktorat Jenderal
Perkebunan cq. Direktorat
Pascapanen dan Pembinaan Usaha.
e. Menyusun dan menyampaikan laporan perkembangan pelaksanaan kegiatan kepada Direktur Jenderal Perkebunan cq. Direktorat Pascapanen dan Pembinaan Usaha.
3.Tim Teknis Kabupaten/Kota
Tim Teknis Kabupaten/Kota
dikoordinasikan oleh Dinas yang membidangi perkebunan di kabupaten/ kota yang menangani kegiatan penanganan gangguan usaha perkebunan berfungsi :
13
dan efektivitas pelaksanaan teknis lapangan;
b.Menyusun Petunjuk Teknis (Juknis)
Penanganan Gangguan Usaha
Perkebunan dengan mengacu kepada Juklak yang dibuat oleh Dinas yang membidangi perkebunan Provinsi dan Pedum yang disusun Direktorat Jenderal Perkebunan. Juknis tersebut
disampaikan ke Dinas yang
membidangi perkebunan di Provinsi dengan tembusan kepada Direktorat Jenderal Perkebunan cq. Direktorat Pascapanen dan Pembinaan Usaha di Jakarta;
c.Melakukan pembinaan, pengawalan dan pendampingan ke lokasi kegiatan;
d. Menyusun dan menyampaikan laporan perkembangan pelaksanaan kegiatan kepada Direktur Jenderal Perkebunan cq. Direktorat Pascapanen dan Pembinaan Usaha.
V. MONITORING, EVALUASI DAN PELAPORAN
14
VI. PEMBIAYAAN
Pembiayaan pelaksanaan kegiatan Fasilitasi, Inventarisasi, Identifikasi, dan Penanganan Kasus Ganguan Usaha Perkebunan bersumber dari dana APBN Tugas Pembantuan (TP) Direktorat Jenderal Perkebunan yang ditampung dalam DIPA Tugas Pembantuan Dinas Provinsi yang menangani Perkebunan Tahun 2013.
Adapun Komponen Biaya dari kegiatan tersebut sebagai berikut:
Belanja Bahan :
- Adm, Pengiriman Surat, Foto Copy dan lain-lain;
- ATK dan bahan komputer
- Biaya Pulsa, Telp, Fax, Internet.
- Penyusunan dan Pembahasan
Laporan;
- Pencetakan laporan.
Belanja Barang Non Operasional :
- Dalam rangka pelaksanaan
pertemuan;
- Bantuan transport peserta.
Belanja Perjalanan Lainnya :
15
usaha perkebunan petugas provinsi ke kabupaten;
- Dalam rangka Fasilitasi, inventarisasi, identifikasi dan penanganan gangguan usaha perkebunan petugas kabupaten ke lokasi;
- Dalam rangka koordinasi ke pusat.
VII. PENUTUP
16
PEDOMAN TEKNIS
FASILITASI, INVENTARISASI, IDENTIFIKASI, DAN PENANGANAN KONFLIK USAHA
PERKEBUNAN
I. PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Perkembangan perkebunan besar yang membuka lahan secara besar-besaran dengan mengkonversi hutan tropika basah dan hutan/lahan pasang surut telah memunculkan kritik internasional yang dikaitkan dengan kerusakan lingkungan hidup antara lain hilangnya biodiversitas, menurunnya fungsi hidro-orologis daerah aliran sungai, dan menyusutnya habitat satwa liar, terjadinya kebakaran lahan dan hutan. Di samping itu terjadi pula konflik antar generasi dan konflik antara manusia dengan satwa dan fauna serta konflik antara
perkebunan besar dengan
17
Konflik dengan masyarakat dan/atau perusahaan ini menimbulkan berbagai bentuk konflik baik yang berkaitan lahan maupun non lahan. Konflik berpengaruh pada penurunan yang terjadi dalam pengusahaan perkebunan bukan hanya merugikan kelangsungan usaha perkebunan itu sendiri, melainkan berpengaruh pada minat investasi, tetapi juga dapat memberikan dampak yang
lebih besar yaitu dapat
menimbulkan disintegrasi sosial.
Konflik dalam lingkungan
perkebunan besar memiliki karakter multidimensi yaitu ekonomi, politik, hukum, sosial, lingkungan dan juga internasional. Oleh karena itu, penyelesaian konflik ini menjadi sangat strategis dalam rangka pemulihan kondisi sebagaimana yang terjadi saat ini.
Untuk meminimalisir konflik perkebunan, maka perlu dilakukan fasilitasi, inventarisasi, identifikasi
dan Penanganan Konflik
Perkebunan.
18
b. Sasaran Nasional
Terfasilitasinya Inventarisasi, Identifikasi, dan Penanganan Kasus Konflik Perkebunan.
c. Tujuan
Tujuan kegiatan fasilitasi inventarisasi, identifikasi, dan penanganan konflik perkebunan sebagai berikut:
1) Melakukan inventarisasi kondisi jenis konflik perkebunan yang ada di daerah;
2) Mengupayakan penyelesaian
konflik perkebunan dan
berkoordinasi dengan instansi terkait;
3) Melakukan pembinaan dan
sosialisasi baik kepada
perusahaan, petani/pekebun dan
masarakat dalam rangka
19
II. PENDEKATAN PELAKSANAAN KEGIATAN
A. Prinsip Pendekatan Pelaksanaan Kegiatan
Melakukan koordinasi dan
musyawarah kepada para pihak (stake holder) untuk memperoleh kesepakatan dan mufakat dalam rangka mendapatkan hasil yang adil (win-win solution).
B. Spesifikasi Teknis
- Pengumpulan data dan informasi;
- Melakukan musyawarah dan merumuskan kesepakatan;
- Monitoring dan evaluasi
perkembangan penanganan Konflik Perkebun;
- Menyusun laporan hasil kegiatan dan menyampaikan laporan kepada instansi terkait.
III. PELAKSANAAN KEGIATAN
a. Ruang Lingkup
20
1).Seluruh pihak terkait dengan adanya konflik perkebunan (intansi terkait Pusat dan Daerah, Perusahaan, Pekebun/ masyarakat, asosiasi dll;
2). Inventarisasi data dan informasi
terkait dengan konflik
perkebunan berdasarkan hasil
kunjungan lapangan,
pemantauan media elektronik dan cetak serta koordinasi dengan instansi terkait;
3). Pengecekan langsung ke lapangan (ground chek) jika
terjadi konflik usaha
perkebunan;
4). Kunjungan pembinaan dan penyuluhan kepada masyarakat/
petani dan perusahaan
perkebunan;
4). Koordinasi dengan instansi/pihak terkait antara lain melalui forum rapat, seminar dan workshop;
b. Pelaksanaan Kegiatan
21
1). Penyusunan rencana kerja
pelaksanaan (petunjuk
pelaksanaan) dan inventarisasi data konflik usaha perkebunan;
2). Koordinasi dengan Instansi terkait dalam pemutakhiran data;
3). Pelaksanaan pemantauan ke lokasi terjadinya konflik perkebunan. Dinas Perkebunan Provinsi/Dinas Provinsi yang
membidangi perkebunan
bekerjasama dengan pemerintah kabupaten/kota mengunjungi lokasi konflik perkebunan;
4). Rapat/pertemuan memfasilitasi penyelesaian konflik perkebunan dengan instansi terkait;
5). Penyusunan dan pembahasan laporan hasil rapat;
6). Tindak lanjut penyelesaian penanganan konflik perkebunan;
7). Dinas perkebunan provinsi melaporkan hasil kegiatannya kepada Direktur Jenderal Perkebuanan, Gubernur, Bupati
kasus per kasus dan
22
c. Lokasi, Jenis dan Volume
Kegiatan fasilitasi, inventarisasi, identifikasi, dan penanganan konflik perkebunan dilaksanakan di 23 Provinsi dan 147 kabupaten/Kota yang terjadi dan berpotensi munculnya konflik perkebunan, sebagai berikut:
No. Provinsi Jumlah
12 Kalimantan Selatan
6
23
19 Sulawesi Utara 5
20 Sulawesi Tenggara 5
21 Sulawesi Selatan 5
22 Sulawesi Barat 5
23 Sulawesi Tengah 5
Jumlah 147
IV. PEMBINAAN, PENGENDALIAN, PENGAWALAN, DAN PENDAMPINGAN
Pembinaan, pengendalian, pengawalan dan pendampingan dilakukan dengan cara melakukan kunjungan lansung ke lokasi terjadinya konflik perkebunan
(perusahaan Perkebunan dan
masyarakat) dan melakukan koordinasi
dengan instansi terkait di
Kabupaten/Kota dan Kecamatan serta Desa. Pembinaan dilakukan oleh Dinas Provinsi yang membidangi Perkebunan bersama Dinas Kabupaten/Kota yang membidangi Perkebunan.
24
4.Tim Pembina Pusat
Tim Pembina Pusat dikoordinasikan oleh Direktorat Pascapanen dan Pembinaan Usaha, bertugas/berfungsi :
a.Melakukan koordinasi perencanaan dan pelaksanaan yang bersifat lintas sektoral antar instansi terkait ditingkat pusat dalam rangka
meningkatkan efisiensi dan
efektivitas pelaksanaan kegiatan.
b.Melakukan sosialisasi dan koordinasi dengan Tim Pelaksanaan Provinsi dalam rangka pengawalan dan pendampingan serta membantu mengatasi berbagai permasalahan yang terjadi di tingkat lapangan.
c.Meningkakan efektivitas pelaksanaan program melalui kerjasama antara instansi terkait lainnya.
d.Menyusun Pedoman Umum
Pelaksanaan Penanganan Konflik Perkebunan.
e.Menyusun dan menyampaikan laporan perkembangan pelaksanaan kegiatan
kepada Direktur Jenderal
25
5.Tim Pelaksana Provinsi
Tim Pelaksana Provinsi dikoordinasikan oleh Dinas yang membidangi Perkebunan Provinsi/yang menangani kegiatan Penanganan Konflik Perkebunan, bertugas :
a.Melakukan koordinasi pelaksanaan yang bersifat lintas sektoral antar instansi terkait di tingkat Provinsi dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelaksanaan kegiatan.
b.Melakukan sosialisasi dengan Tim Teknis Kabupaten/Kota dalam rangka pelaksanaan program fasilitasi, inventarisasi, identifikasi dan penanganan konflik perkebunan.
c.Melakukan pembinaan, pengawalan dan pendampingan, serta membantu mengupayakan penyelesaian masalah yang dihadapi di lapangan.
d.Membuat Petunjuk (Juklak) kegiatan penanganan konflik perkebunan yang ada di daerahnya dengan mengacu
Pedoman Umum yang disusun
26
cq. Direktorat Pascapanen dan Pembinaan Usaha.
6.Tim Teknis Kabupaten/Kota
Tim Teknis Kabupaten/Kota
dikoordinasikan oleh Dinas yang
membidangi Perkebunan di
Kabupaten/Kota atau yang menangani kegiatan penanganan konflik usaha perkebunan berfungsi :
a.Melakukan koordinasi teknis yang bersifat lintas sektoral antar instansi terkait di tingkat Kabupaten/Kota dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelaksanaan teknis lapangan;
b.Menyusun Petunjuk Teknis (Juknis) Penanganan Konflik Perkebunan dengan mengacu kepada Juklak yang dibuat oleh Dinas yang membidangi perkebunan Provinsi dan Pedum yang
dibuat Direktorat Jenderal
Perkebunan. Juknis tersebut
disampaikan ke Dinas yang
27
c.Melakukan pembinaan, pengawalan dan pendampingan ke lokasi kegiatan;
V. MONITORING, EVALUASI DAN PELAPORAN
Monitoring dilakukan secara berkala setiap 1 (satu) bulan dan hasilnya dilaporkan kepada Direktur Jenderal Perkebunan, Gubernur dan instansi terkait setiap 3 (tiga) bulan.
VI. PEMBIAYAAN
Pembiayaan pelaksanaan kegiatan fasilitasi, inventarisasi, identifikasi, dan penanganan kasus konflik perkebunan bersumber dari dana APBN Tugas Pembantuan Direktorat Jenderal Perkebunan yang ditampung dalam DIPA Tugas Pembantuan Dinas Provinsi yang menangani perkebunan tahun 2013.
Adapun Komponen Biaya dari kegiatan tersebut adalah seperti berikut:
Belanja Bahan
- Adm, Pengiriman Surat, Foto-Copy dll
- ATK dan bahan komputer
- Biaya pulsa telp, fax, internet
28
- Pencetakan laporan
Belanja Bahan
- ATK dan Bahan Komputer
Belanja Perjalanan Lainnya
- Dalam rangka Fasilitasi,
inventarisasi, identifikasi dan
penanganan konflik usaha
perkebunan petugas provinsi ke kabupaten;
- Dalam rangka Fasilitasi,
inventarisasi, identifikasi dan penanganan konflik perkebunan petugas kabupaten ke lokasi;
- Dalam rangka koordinasi ke pusat.
VII. PENUTUP
29
PEDOMAN TEKNIS
PERTEMUAN KOORDINASI PENANGANAN GANGGUAN USAHA DAN KONFLIK
PERKEBUNAN
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kasus gangguan usaha dam konflik perkebunan terus meningkat jumlah dan kualitasnya baik dalam bentuk penjarahan produksi, pengrusakan asset perusahaan, penyerobotan lahan dan tuntutan masyarakat terhadap lahan, kebun dan posisi pimpinan perusahaan. Dampak terjadinya gangguan usaha dan konflik perkebunan yaitu terganggunya keberlanjutan usaha perkebunan yang akan berpengaruh pada kondisi sosial dan ekonomi serta gangguan keamanan masyarakat dan wilayah.
30
Berkaitan dengan hal tersebut diatas dalam rangka meningkatkan sinergitas antara Pusat dan Daerah dalam upaya penanganan gangguan usaha dan konflik perkebunan maka perlu diadakan Pertemuan Koordinasi Penanganan Gangguan Usaha dan Konflik Perkebunan yang meliputi pertemuan koordinasi penanganan kasus gangguan usaha dan konflik perkebunan.
Tujuan pertemuan koordinasi
penanganan gangguan usaha dan konflik perkebunan yaitu untuk menyamakan persepsi dan gerak langkah dalam upaya penanganan gangguan usaha dan konflik perkebunan antara instansi di Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota.
B. Sasaran Nasional
Terlaksananya pertemuan koordinasi penanganan gangguan usaha dan konflik perkebunan di provinsi.
C. Tujuan
Adapun tujuan dari kegiatan Pertemuan Koordinasi Penanganan Gangguan Usaha dan Konflik Perkebunan adalah:
31
2)Meningkatkan persamaan persepsi antar pihak terkait mengenai penanganan Gangguan Usaha dan Konflik Perkebunan.
II. PENDEKATAN PELAKSANAAN KEGIATAN
A. Prinsip Pendekatan Pelaksanaan Kegiatan
Melakukan pertemuan koordinasi penanganan gangguan usaha dan konflik perkebunan dengan mengundang instansi terkait, perusahaan perkebunan, asosiasi perkebunan dan masyarakat.
B. Spesifikasi Teknis
Petemuan koordinasi penanganan gangguan usaha dan konflik perkebunan dengan membahas berbagai materi dari instansi terkait. Selanjutnya dilakukan penyusunan rumusan hasil pertemuan.
III. PELAKSANAAN KEGIATAN
A. Ruang Lingkup
Adapun ruang lingkup kegiatan pertemuan koordinasi penanganan gangguan usaha dan konflik perkebunan tersebut, sebagai berikut:
32
2) Pelaksanaan Pertemuan 3) Penyusunan rumusan hasil
pertemuan.
4) Penyusunan laporan kegiatan pertemuan
B. Pelaksana Kegiatan
1) Pelaksana kegiatan adalah Dinas Perkebunan Provinsi atau Dinas
provinsi yang membidangi
Perkebunan;
2) Waktu penyelenggaraan disesuaikan dengan kondisi daerah, diusahakan dalam semester I;
3) Peserta pertemuan koordinasi antara lain :
a.Instansi terkait di tingkat Pusat dan Daerah;
b.Dinas Perkebunan Provinsi dan Kabupaten / Kota;
c.Perusahaan Besar (Swasta dan BUMN);
d.Asosiasi Perusahaan
Perkebunan/Pekebunan.
d. Lokasi, Jenis dan Volume
33
34
- Kegiatan pertemuan koordinasi Penanganan gangguan usaha dan konflik perkebunan dilaksanakan pada triwulan I dan triwulan II tahun anggaran 2013.
- Lokasi kegiatan di Ibu Kota Provinsi atau Ibu Kota Kabupaten/Kota.
IV. PEMBINAAN, PENGENDALIAN, PENGAWALAN DAN PENDAMPINGAN
Pembinaan, pengendalian, pengawalan dan pendampingan dilakukan oleh : (i) Tim Pembina Pusat dan (ii) Tim Pelaksana Provinsi dengan tugas masing-masing sebagai berikut :
1.Tim Pembina Pusat
Tim Pembina Pusat dikoordinasikan oleh Direktorat Pascapanen dan Pembinaan Usaha, bertugas/berfungsi :
a.Melakukan koordinasi perencanaan dan pelaksanaan yang bersifat lintas sektoral antar instansi terkait ditingkat pusat dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelaksanaan kegiatan.
35
serta membantu mengatasi berbagai permasalahan yang terjadi di lapangan.
c.Meningkakan efektivitas pelaksanaan program melalui kerjasama antara instansi terkait lainnya.
d.Menyusun Pedoman Umum Pelaksanaan Penanganan gangguan usaha dan konflik perkebunan.
e.Menyusun dan menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan kepada Direktur Jenderal Perkebunan.
2.Tim Pelaksana Provinsi
Tim Pelaksana Provinsi dikoordinasikan oleh Dinas yang membidangi Perkebunan Provinsi/yang menangani kegiatan pertemuan koordinasi gangguan usaha dan konflik perkebunan, bertugas :
a.Melakukan koordinasi pelaksanaan yang bersifat lintas sektoral antar instansi terkait di tingkat Provinsi dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelaksanaan kegiatan.
36
c.Membuat Petunjuk (Juklak) kegiatan pertemuan koordinasi gangguan usaha dan konflik perkebunan yang ada di daerahnya dengan mengacu Pedoman Umum yang dibuat Direktorat Jenderal
Perkebunan. Juklak tersebut
disampaikan ke Dinas yang membidangi perkebunan di Kabupaten/Kota dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Perkebunan.
V. MONITORING, EVALUASI DAN PELAPORAN
Untuk mengetahui perkembangan hasil pelaksanaan kegiatan, diperlukan monitoring dan pelaporan. Laporan hasil pertemuan disampaikan kepada Direktur Jenderal Perkebunan, dan Gubernur yang bersangkutan.
VI. PEMBIAYAAN
37
Adapun Komponen Biaya dari kegiatan tersebut adalah seperti berikut:
Belanja Barang Non Operasional lainnya
- Transport Peserta Pertemuan Provinsi
Belanja Bahan
- ATK dan bahan komputer
- Adm, pengiriman surat, foto-Copy dll - Penyusunan dan pembahasan laporan - Penggandaan laporan
- Spanduk
Honor yang terkait dengan outputn kegiatan
- Honor panitia Belanja jasa profesi - Honor narasumber - Honor moderator
Belanja perjalanan lainnya
- Dalam rangka Pelaksanaan Pertemuan - Perjalanan narasumber pusat
VII. PENUTUP
38
39
PEDOMAN TEKNIS
PEMANTAUAN, PENGAWASAN DAN FASILITASI PENYELESAIAN MASALAH PIR-TRANS/KKPA
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan perkebunan dengan Pola PIR-TRANS dimulai pada tahun
anggaran 1986/1987 yang
pelaksanaannya berdasarkan Instruksi Presiden Nomor I Tahun 1986 dan tata cara pelaksanaannya ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor :
333/Kpts/KB-510/6/1986. Sedangkan Skim
pembiayaannya diatur dengan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor : 19/14/KEP/DIR.
Penyelenggaraan pembangunan
perkebunan dengan Pola PIR-TRANS
diharapkan dapat mendukung
berbagai sasaran pembangunan, khususnya pengembangan wilayah, mendukung program transmigrasi,
mendorong investasi dan
meningkatkan pendapatan
40
konversi atau pengalihan kebun plasma dan sekaligus pengakuan kredit kepada petani peserta.
Pembangunan perkebunan dengan Pola PIR-TRANS pada tahap awal, setiap unitnya dilaksanakan oleh perusahaan inti yang mendapatkan izin prinsip dari Menteri Pertanian serta berdasarkan Surat Persetujuan Rencana Pembiayaan Proyek PIR-TRANS (SPRP3) dari Menteri Keuangan setelah mendapat rekomendasi dari Bappenas.
Pembangunan kebun Pola PIR-Trans yang sudah disahkan dan dilaksanakan dengan mengacu kepada standar fisik pembangunan kebun yang ditetapkan dalam Keputusan Direktur Jenderal
Perkebunan Nomor :
RC.220/09b/SK/DJ.BUN/87 tanggal 23 Maret 1987 yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab perusahaan inti dengan standar biaya yang ditetapkan Bappenas dan Departemen Keuangan yang diterbitkan setiap tahun. Sedangkan untuk komponen
pembangunan pemukiman,
penempatan petani peserta serta
lahan pekarangan menjadi
41
Transmigrasi yang merupakan komponen non kredit.
Pembangunan perkebunan melalui program PIR-TRANS yang mendapat
pengesahan dari pemerintah
sebanyak 52 unit yang terdiri dari 50 unit untuk komoditi kelapa sawit dan 2 (dua) unit untuk kelapa hibrida yang tersebar di 10 propinsi (NAD, Sumut, Riau, Sumbar, Sumsel, Jambi, Kalbar, Kalteng, Sulsel dan Sulteng).
Pembangunan perkebunan dengan Pola PIR TRANS KKPA di Kawasan Timur Indonesia, sesuai dengan Surat Keputusan Rencana Pelaksanaan Proyek PIR TRANS (SKRP3) dari Menteri Pertanian sebanyak 6 (enam) perusahaan inti untuk 8 (delapan) unit lokasi pengembangan dengan total pengembangan seluas 119.500 hektar (kebun inti 23.800 hektar dan kebun plasma 95.600 hektar).
42
dengan perusahaan PT. Varita jaya utama, PT. Surya Borneo Indah dan PT. Sawit Desa Kapuas.
B. Sasaran Nasional
Terlaksananya pemantauan,
pengawasan dan terfasilitasinya
penyelesaian masalah
PIR-Trans/KKPA.
C. Tujuan
Tujuan kegiatan pemantauan,
pengawasan dan fasilitasi
penyelesaian masalah PIR-Trans/KKPA adalah:
1)Melakukan pemantauan,
pengawasan pelaksanaan PIR-Trans/KKPA berikut permasalahan yang dihadapi;
2)Memfasilitasi dan membantu penyelesaian masalah PIR-Trans/KKPA dan berkoordinasi dengan instansi terkait dalam
rangka penyelesaian
43
II. PENDEKATAN PELAKSANAAN KEGIATAN
A. Prinsip Pendekatan Pelaksanaan Kegiatan
Melakukan koordinasi dengan kepada para petani peserta proyek instansi terkait baik di tingkat pusat dan daerah serta sosialisasi kepada perusahaan inti serta para petani peserta proyek.
B. Spesifikasi Teknis
- Pengumpulan data dan informasi; - Berkoordinasi dengan instansi
terkait;
- Sosialisasi kepada petani peserta proyek dan tokoh masyarakat; - Menyusun laporan hasil kegiatan
44
III. PELAKSANAAN KEGIATAN
A. Ruang Lingkup
Ruang lingkup pelaksanaan kegiatan
Pemantauan, Pengawasan dan
Fasilitasi Penyelesaian Masalah PIR-Trans/KKPA tersebar di 12 Provinsi dan 33 Kabupaten dengan rincian :
No. PIR-Trans/KKPA
Provinsi Kabupaten
1 Aceh 1
2 Sumatera Utara 3
3 Riau 5
4 Jambi 4
5 Sumatera Selatan 4
6 Sumatera Barat 1
7 Kalimantan Barat 5 8 Kalimantan Timur 2 9 Kalimantan Tengah 1 10 Sulawesi Selatan 1 11 Sulawesi Tenggara 1
12 Papua Barat 1
Jumlah 33
B. Pelaksanaan Kegiatan
Kegiatan dilaksanakan oleh Dinas Perkebunan Provinsi sebagai berikut :
- Penyusunan rencana kerja
pelaksanaan (petunjuk
45
data permasalahan
PIR-Trans/KKPA;
- Koordinasi dengan Instansi terkait dalam pemutakhiran data;
- Pelaksanaan pemantauan dan
pengawasan dilakukan
bekerjasama dengan pemerintah kabupaten/ kota, dan mengunjungi lokasi PIR-Trans/KKPA;
- Pertemuan untuk memfasilitasi
penyelesaian masalah
PIR-Trans/KKPA dengan instansi terkait;
- Penyusunan dan pembahasan laporan hasil rapat;
- Tindak lanjut penyelesaian masalah PIR-Trans/KKPA;
- Dinas perkebunan provinsi melaporkan hasil kegiatannya
kepada Direktur Jenderal
Perkebunan, Gubernur, dan Bupati/Walikota kasus per kasus dan menyampaikan laporan akhir tahun anggaran;
C. Lokasi, Jenis dan Volume
46
PIR-Trans/KKPA dilaksanakan di 12 provinsi dan 33 kabupaten.
IV. PEMBINAAN, PENGENDALIAN, PENGAWALAN DAN PENDAMPINGAN.
Pembinaan, Pengendalian, Pengawalan dan Pendampingan dilakukan dengan cara melakukan kunjungan ke lokasi proyek PIR-Trans/KKPA serta melakukan koordinasi dengan instansi terkait di kabupaten/kota dan kecamatan serta desa. Pembinaan dilakukan oleh dinas yang membidangi perkebunan di provinsi dan kabupaten/kota.
IV. MONITORING, EVALUASI DAN PELAPORAN
Monitoring dilakukan secara berkala setiap 1 (satu) bulan dan hasilnya dilaporkan kepada Direktur Jenderal Perkebunan, Gubernur dan instansi terkait setiap 3 (tiga) bulan.
V. PEMBIAYAAN
47
Perkebunan yang ditampung dalam DIPA Tugas Pembantuan Dinas Provinsi yang menangani perkebunan Tahun Anggaran 2013.
Komponen Biaya dari kegiatan tersebut adalah (a) Belanja Bahan dan (b) Belanja Perjalanan Lainnya.
VI. PENUTUP
Pedoman Umum ini merupakan acuan secara umum yang perlu dijabarkan lebih
lanjut dalam bentuk Petunjuk
48
PEDOMAN TEKNIS
PEMANTAUAN, PENGAWASAN DAN FASILITASI PENYELESAIAN MASALAH PIR-BUN
I. PENDAHULUAN
B. Latar Belakang
Pembangunan perkebunan yang dikembangkan pemerintah yaitu dengan pola usaha yang melibatkan petani/ pekebun. Pola usaha yang dikembangkan sangatlah didominasi oleh peran pemerintah. Dimulai pada tahun 1970-an dibentuklah Pola Unit Pelaksana Proyek - UPP Perkebunan yang didanai sendiri/swadana oleh pemerintah sebagai hasil dari Boom Minyak. Melalui program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) dan diikuti Pola UPP Perkebunan yang selanjutnya mulai menggunakan dana Bantuan luar
Negeri di mana kesemuanya
memberikan dampak positif bagi
pemerataan pembangunan dan
kesempatan kepada petani
perkebunan untuk memperoleh bahan tanaman dan pengetahuan budidaya perkebunan.
Perkembangan pola usaha perkebunan
terus berlanjut dimulainya
49
Pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR) Perkebunan yang menggunakan perusahaan perkebunan besar sebagai Inti dan Petani sebagai Plasma yang dikategorikan sebagai Pola PIR Generasi Pertama. Pembangunan perkebunan dengan Pola PIR terus berlanjut dan berkembang dengan ditetapkannya INPRES Nomor 1 Tahun 1986 yang mengatur pengembangan perkebunan dengan Pola Perusahaan Inti Rakyat yang
dikaitkan dengan program
Transmigrasi yang disebut PIR-TRANS yang dikategorikan sebagai Pola PIR Generasi Kedua. Pola PIR tersebut terus berkembang yang diikuti dengan pembangunan perkebunan dengan Pola Perusahaan Inti Rakyat yang dikaitkan dengan Program Kredit Koperasi Primer Untuk Anggota yang disebut PIR-KKPA dan termasuk pola PIR KKPA untuk Kawasan Timur Indonesia – PIR KKPA KTI yang keduanya dikategorikan sebagai Pola PIR Generasi Ketiga.
50
Penggabungan kedua usaha ini diharapkan akan mempercepat alih
teknologi, pengetahuan dan
keterampilan dari perusahaan inti kepada para petani. Melalui proses ini petani secara bertahap akan mampu menarik manfaat dan asas skala ekonomi, baik secara individu maupun dalam bentuk kerja sama melalui kelompok tani dan Kelompok Unit Desa (KUD).
Pembangunan perkebunan melalui pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR) merupakan pola pengembangan berbasis komoditas perkebunan yang memadukan antara perusahaan perkebunan dengan para petani/ pekebun (perkebunan rakyat) dalam suatu proses produksi sampai merupakan satu kesatuan ekonomi.
B. Sasaran Nasional
Terlaksananya pemantauan,
pengawasan, dan terfasilitasinya peyelesaian masalah PIR-BUN.
C. Tujuan
Tujuan kegiatan pemantauan,
pengawasan, dan fasilitasi
51
1) Melakukan pemantauan,
pengawasan pelaksanaan PIR-BUN berikut permasalahan yang dihadapi;
2) Memfasilitasi dan membantu penyelesaian masalah PIR-BUN dan berkoordinasi dengan instansi terkait dalam rangka penyelesaian permasalahan.
II. PENDEKATAN PELAKSANAAN KEGIATAN
A. Prinsip Pendekatan Pelaksanaan Kegiatan
Melakukan koordinasi dengan perusahaan inti dan instansi terkait baik di tingkat pusat dan daerah serta sosialisasi kepada para petani peserta proyek.
B. Spesifikasi Teknis
- Pengumpulan data dan informasi; - Berkoordinasi dengan instansi
terkait;
- Sosialisasi kepada petani peserta proyek dan tokoh masyarakat; - Menyusun laporan hasil kegiatan
52
III. PELAKSANAAN KEGIATAN
A. Ruang Lingkup
Ruang lingkup kegiatan Pemantauan,
Pengawasan dan Fasilitasi
Penyelesaian Masalah PIR-BUN dilakukan pada lokasi Proyek PIR Perkebunan yang tersebar di 16 Provinsi dan 48 Kabupaten dengan rincian :
No. PIR-BUN
Provinsi Kabupaten
1 Aceh 4 13 Kalimantan
53
B. Pelaksanaan Kegiatan
Kegiatan dilaksanakan oleh Dinas Perkebunan Provinsi sebagai berikut :
- Penyusunan rencana kerja pelaksanaan (petunjuk pelaksana)
dan inventarisasi data
permasalahan PIRBUN.
- Koordinasi dengan Instansi terkait dalam pemutakhiran data;
- Pelaksanaan pemantauan dan pengawasan dilakukan bekerjasama dengan pemerintah kabupaten/kota dan mengunjungi lokasi PIRBUN.
- Pertemuan untuk memfasilitasi penyelesaian masalah kasus gangguan usaha perkebunan dengan instansi terkait;
- Penyusunan dan pembahasan laporan hasil rapat;
- Tindak lanjut penyelesaian permasalahan gangguan usaha Perkebunan;
- Dinas perkebunan provinsi melaporkan hasil kegiatannya
kepada Direktur Jenderal
Perkebunan, Gubernur,
54
dan menyampaikan laporan akhir tahun anggaran.
C. Lokasi, Jenis dan Volume
Kegiatan Pemantauan, Pengawasan dan Fasilitasi Penyelesaian Masalah Proyek PIR-BUN 16 Provinsi dan 48 Kabupaten.
IV. PEMBINAAN, PENGENDALIAN, PENGAWALAN DAN PENDAMPINGAN.
Pembinaan, Pengendalian, Pengawalan dan Pendampingan dilakukan dengan cara melakukan kunjungan ke lokasi proyek PIR-BUN dan melakukan koordinasi
dengan instansi terkait di
Kabupaten/Kota dan Kecamatan serta Desa. Pembinaan dilakukan oleh Dinas Provinsi yang membidangi Perkebunan bersama Dinas Kabupaten/Kota yang membidangi Perkebunan
V. MONITORING, EVALUASI DAN PELAPORAN
55
Perkebunan, dan Gubernur dan instansi terkait setiap 3 (tiga) bulan.
VI. PEMBIAYAAN
Pembiayaan pelaksanaan kegiatan Pemantauan, Pengawasan dan Fasilitasi Penyelesaian Masalah Proyek Proyek PIRBUN, bersumber dari dana APBN Tugas Pembantuan (TP) Direktorat Jenderal Perkebunan yang ditampung dalam DIPA Tugas Pembantuan Dinas Provinsi yang menangani perkebunan Tahun Anggaran 2013.
Komponen Biaya dari kegiatan tersebut adalah (a) Belanja Bahan dan (b) Belanja Perjalanan Lainnya.
VII. PENUTUP
Pedoman Umum ini merupakan acuan secara umum yang perlu dijabarkan lebih
lanjut dalam bentuk Petunjuk