• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROFESIONALISME INTERNAL AUDITOR DAN INTENSI MELAKUKAN WHISTLEBLOWING

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PROFESIONALISME INTERNAL AUDITOR DAN INTENSI MELAKUKAN WHISTLEBLOWING"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal Liquidity

Vol. 2, No.1, Januari-Juni 2013, hlm. 34-44

PROFESIONALISME INTERNAL AUDITOR DAN INTENSI MELAKUKAN WHISTLEBLOWING

Yusar Sagara STIE Ahmad Dahlan Jakarta

Jl. Ciputat Raya No. 77 Cireundeu, Jakarta Selatan Email: yusarsagara@yahoo.co.id

Abstract

The purpose of this study was to determine the influence of the internal auditor's professionalism to make whistle-blowing intentions. The values in the study are examined by multiple-regression. The results of these study indicate: (1) professionalism-dimensional internal auditor of community affiliation negatively influence whistle-blowing intentions; (2) professionalism internal auditors dimensions of social obligations negatively influence whistle-blowing intentions; (3) professionalism dimension of internal auditor dedication towards work negatively influence the conduct of whistle-blowing intentions; (4) professionalism internal auditors confidence in the rule itself or the community negatively influence whistle-blowing intentions; and (5) professionalism demands dimension of internal auditors to be independent positive influence on the intention of whistle-blowing.

Kata kunci: profesi, akuntan, internal auditor, regresi

PENDAHULUAN

Internal auditor memiliki peranan penting di dalam perusahaan. Karena internal auditor bertindak sebagai penilai independen untuk menelaah operasional perusahaan dengan mengukur dan mengevaluasi kecukupan kontrol serta efisiensi dan efektifitas kinerja perusahaan (Sawyer’s, 2004). Internal auditor memberikan informasi yang diperlukan manajemen dalam menjalankan tanggung jawab mereka secara efektif. Penelaahan internal atas kontrol-kontrol di bidang akuntansi dan manajemen merupakan tanggung jawab auditor internal. Internal auditor hanya mengusulkan suatu metode atau metode alternatif untuk memperbaiki kondisi sedangkan memilih tindakan koreksi merupakan pekerjaan manajemen.

Banyak kasus-kasus manipulasi akuntansi yang dilakukan oleh manajemen perusahaan.

Contohnya saja Enron, Worldcom, dan KPMG.

Di Indonesia sendiri terdapat kasus serupa seperti, Bank Lippo, Bank BNI, PT. Waskita, dll.

Dari kasus ini kemudian menimbulkan pertanyaan besar, mengapa internal auditor tidak dapat mendeteksi fraud yang dilakukan oleh manajemen. Hal tersebut bisa terjadi apabila manajemen memanipulasi tugas dan fungsi internal auditor. Pihak manajemen berupaya agar fraud yang dilakukan tidak tersentuh atau bahkan mustahil untuk ditemukan. Selain itu pihak manajemen juga dapat meminta internal auditor untuk mengubah laporan dari penugasan audit internal yang telah dilakukannya. Dalam hal ini internal auditor dituntut memiliki sikap profesionalisme.

Menurut Tjiptohadi dalam Noor (2005), profesionalisme bisa mempunyai beberapa makna. Pertama, profesionalisme berarti suatu keahlian, mempunyai kualifikasi tertentu,

(2)

berpengala- man sesuai bidang keahliannya, atau memperoleh imbalan karena keahliannya.

Seseorang bisa dikatakan profesional apabila telah mengikuti pendidikan tertentu yang menye- babkan mempunyai keahlian atau kualifikasi khusus.

Kedua, pengertian profesionalisme merujuk pada suatu standar pekerjaan yaitu prinsip- prinsip moral dan etika profesi. Prinsip-prinsip moral, seperti halnya norma umum masya- rakat, mengarahkan akuntan agar berperilaku sesuai dengan tatanan kehidupan seorang profesional. Ketiga, profesional berarti moral.

Kadar moral seseorang yang membedakan antara internal auditor satu dengan internal auditor lainnya. Moral seseorang dan sikap menjunjung tinggi etika profesi bersifat sangat individual.

Karena itu, internal auditor dengan profesionalismenya diharapkan dapat men- deteksi segala bentuk fraud. Walaupun dapat mendeteksi fraud, tetapi tidak semua internal auditor berani untuk mengungkapkan segala fraud tersebut. Dalam Pedoman Sistem Pelaporan Pelanggaran yang diterbitkan oleh Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) dijelaskan bahwa penelitian yang dilakukan oleh Institute of Business Ethics (2007) menyimpulkan bahwa satu di antara empat karyawan mengetahui kejadian pelanggaran, tetapi lebih dari separuh (52%) dari yang mengetahui terjadinya pelanggaran tersebut tetap diam dan tidak berbuat sesuatu.

Tindakan diam terhadap segala bentuk fraud seperti itu bertentangan dengan pro- fesionalisme internal auditor. Karena menurut Standar Profesi Internal Auditor yang di- keluarkan oleh The Institute of Internal Auditors (IIA) pada tahun 2009, bahwa internal auditor harus bersifat independen dan obyektif terhadap performa pekerjaan mereka.

Sebagai benteng pertama dalam perusaha- an, internal auditor seharusnya berani untuk mengungkapkan segala bentuk fraud yang ter- terjadi di dalam perusahaan demi keber- langsungan hidup perusahaannya. Sifat ke-

dakberanian ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor seperti mutasi jabatan, pemecatan, pengucilan bahkan sampai pengancaman.

Auditor internal dengan sikap profesio- nalismenya dapat melakukan whistleblowing untuk mengungkap segala bentuk kecurangan yang terjadi di perusahaan, seperti yang dilakukan oleh Cynthia Cooper, auditor internal pada Worldcom.

Whistleblowing menurut KNKG di dalam Pedoman Sistem Pelaporan Pelanggaran adalah pengungkapan tindakan pelanggaran atau pengungkapan perbuatan yang melawan hukum, perbuatan tidak etis/tidak bermoral atau perbuatan lain yang dapat merugikan organisasi maupun pemangku kepentingan, yang dilakukan oleh karyawan atau pimpinan organisasi kepada pimpinan organisasi atau lembaga lain yang dapat mengambil tindakan atas pelanggaran tersebut. Seseorang yang melakukan whistleblowing disebut pelapor pe- langgaran sebagai whistleblower.

Pada dasarnya pelapor pelanggaran (whistleblower) adalah karyawan dari organisasi itu sendiri (pihak internal), akan tetapi tidak tertutup adanya pelapor berasal dari pihak eksternal (pelanggan, pemasok, masyarakat).

Pelapor harus memberikan bukti, informasi, atau indikasi yang jelas atas terjadinya pelanggaran yang dilaporkan, sehingga dapat ditelusuri atau ditindaklanjuti. Tanpa informasi yang memadai, laporan akan sulit untuk ditindaklanjuti. Dalam buku Memahami Whistleblower seseorang dapat dikatakan sebagai whistleblower harus memenuhi dua kriteria mendasar.

Kriteria pertama, whistleblower menyampai- kan atau mengungkap laporan kepada otoritas yang berwenang atau kepada media massa atau publik. Dengan mengungkapkan kepada otoritas yang berwenang atau media massa diharapkan dugaan suatu kejahatan dapat diungkap dan terbongkar.

Kriteria kedua, seorang whistleblower merupakan orang ‘dalam’, yaitu orang yang mengungkap dugaan pelanggaran dan ke-

(3)

ahatan yang terjadi di tempatnya bekerja atau ia berada. Karena skandal kejahatan selalu terorganisir, maka seorang whistleblower kadang merupakan bagian dari pelaku kejahatan atau kelompok mafia itu sendiri. Dia terlibat dalam skandal lalu mengungkapkan kejahatan yang terjadi.

Pada prinsipnya seorang whistleblower merupakan ‘prosocial behaviour’ yang menekan- kan untuk membantu pihak lain dalam me- nyehatkan sebuah organisasi atau perusahaan.

Seorang whistleblower mempunyai motivasi tertentu untuk mengungkap fakta, seperti pencitraan organisasi, kolegialisme sesama pekerja atau pegawai di lingkungannya bekerja.

Meski tak dapat dipungkiri pula ada kepentingan individu sang whistleblower yang terkadang menjadi alasan kuat untuk mengungkap sebuah skandal kejahatan.

Whistleblowing merupakan sebuah proses kompleks yang melibatkan faktor pribadi dan organisasi. Kebanyakan penelitian menunjuk- kan bahwa karyawan yang lebih tua dan lebih berpengalaman memiliki kecenderungan yang lebih tinggi untuk melakukan whistleblowing.

Hal itu dikarenakan makin berpengalaman seseorang maka makin berkomitmenlah mereka kepada organisasi tempat mereka bekerja (Brabeck, 1984; Near dan Miceli, 1984; Sims dan Keenan, 1998; dalam Merdikawati, 2012).

Dengan demikian, munculah niat untuk melaporkan kecurangan yang dapat mem- bahayakan keberadaan organisasi mereka.

Di Indonesia sendiri banyak sekali orang yang bisa dikategorisasikan sebagai whistleblower, baik dari sektor swasta atau pemerintahan. Sebut saja Vincentius Amin Sutanto, mantan pegawai PT. Asian Agri yang mengungkap skandal manipulasi pajak trilyunan rupiah perusahaan perkebunan raksasa milik konglomerat Sukanto Tanoto.

Selain Vincent, ada pula Yohanes Waworuntu,

‘direktur bayangan’ PT. Sarana Rekatama Dinamika, perusahaan yang berafiliasi dengan Kelompok Usaha Bhakti Investama milik Harry Tanoesoedibjo, yang meraup ratusan milyar saat menjadi operator layanan sistem

administrasi badan hukum (sisminbakum) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Komisaris Jenderal (Komjen) Pol. Susno Duadji, mantan Kepala Badan Reserse dan Kriminal Kepolisian RI. Susno Duadji merupakan orang yang pertama kali membeberkan adanya praktik mafia hukum yang menyeret Gayus H.P. Tambunan dkk kepada publik. Gayus Tambunan adalah pegawai Direktorat Keberatan dan Banding pada Direktorat Jenderal Pajak yang terlibat kasus pencucian uang dan korupsi puluhan miliar rupiah.

Dengan adanya kasus Worldcom dan Enron, para pembuat kebijakan membuat peraturan yang mendorong kegiatan whistleblowing. Seperti di Amerika terdapat Sarbanes-Oxley pada 2002 dan di Indonesia ada Pedoman Sistem Pelaporan Palanggaran pada 2008 yang dibuat oleh KNKG.

Bagi organisasi yang menjalankan aktivitas usahanya secara etis, whislteblowing system me- rupakan bagian dari sistem pengendalian, namun bagi organisasi yang tidak menjalankan aktivitas usahanya dengan tidak etis, maka whislteblowing system dapat menjadi ancaman.

Sesuai paparan di atas, penulis ingin mengkaji lebih jauh apakah profesionalisme internal auditor mempengaruhi internal auditor untuk melakukan whistleblowing.

Berbagai penelitian mengenai whistleblowing telah banyak dilakukan. Penelitian berikut merupakan kelanjutan penelitian terdahulu mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi internal auditor untuk melakukan whistleblowing. Monroe (2004) mengemukakan, terdapat 3 (tiga) faktor yang mempengaruhi internal auditor untuk melakukan whistle- blowingyaitu internal auditor sebagai penerima keluhan yang berasal dari internal maupun eksternal. Tetapi berdasarkan penelitian tersebut, pelaku whistleblowing lebih banyak dari internal. Kedua prinsip dasar organisasi lebih mempengaruhi internal auditor untuk melakukan whistleblowing dibandingkan dengan peraturan dasar organisasi.

(4)

Karena prinsip dasar organisasi dibutuhkan untuk menerapkan keseluruhan prinsip untuk keputusan etik. Ketiga powerfull dari wrongdoer.

Semakin senior auditor, maka kecenderungan untuk melakukan whistleblowing semakin besar.

William J dan Rama (2003) menyebutkan bahwa 71 Chief Internal Auditor menerima whistleblowing complaint dalam jangka waktu dua tahun terakhir.

TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pengaruh profesionalisme internal auditor terhadap intensi untuk melakukan whistleblowing. Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan profesionalisme internal auditor sebagai profesi yang bersifat inde- penden dan obyektif.

METODE

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis data kuantitatif dengan menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel dan program SPSS (Statistical Package for Social Sciences) versi 19.

Variabel independen dalam penelitian ini adalah profesionalisme internal auditor.

Profesionalisme internal auditor menggunakan konsep dari Kalbers dan Forgathy (1995).

Menurut mereka, terdapat 4 (empat) dimensi untuk menilai profesionalisme, yaitu (1) afiliasi dengan komunitas; (2) tuntutan untuk mandiri, (3) keyakinan terhadap peraturan sendiri atau profesi; dan (4) kepentingan sosial.

Pengukuran dalam variabel independen ini menggunakan kuisioner berskala lima (Skala Likert). Dengan poin 1 (satu) mempresentasi- kan “sangat tidak setuju” dan poin 5 (lima) merepresentasikan “sangat setuju”. Dalam kuisioner tersebut terdiri dari 16 (enam belas) item pertanyaan.

Variabel dependen dalam penelitian ini adalah intensi melakukan whistleblowing.

Pengukuran variabel ini menggunakan tiga skenario kasus yang dikembangkan oleh Schultz et al. (1993). Schultz et al. (1993) me- ngembangkan enam skenario kasus whistleblowing, tiga di antaranya berkaitan dengan akuntansi dan tiga lainnya bersifat umum. Dalam penelitian ini hanya skenario kasus yang berkaitan dengan akuntansi yang digunakan dengan pertimbangkan relevansinya terhadap penelitian ini.

Skenario kasus pertama menceritakan tentang seorang internal auditor yang menemukan kecurangan yang dilakukan secara sengaja oleh manajemen. Sedangkan skenario kedua dan ketiga menggambarkan tentang seorang internal auditor yang berada di bawah tekanan direktur atau chief internal auditor untuk tidak melaporkan segala macam kecurangan yang bersifat material laporan hasil auditnya.

Tiap skenario menilai persepsi responden mengenai tingkat keseriusan kasus, tingkat tanggung jawab dalam melaporkan kasus tersebut, serta dampak resiko pribadi whistleblower. Penilaian dilakukan meng- gunakan Skala Likert. Poin 1 (satu) merepre- sentasikan “sangat rendah” dan poin 5 (lima) merepresentasikan “sangat tinggi”. Di samping itu, tiap skenario menilai pula tingkat keinginan responden dalam melaporkan kasus pelanggaran tersebut. Skala Likert 5 (lima) poin digunakan dengan poin 1 (satu) merepresen- tasikan “tidak pernah” dan poin 5 (lima)

“selalu”.

Hubungan fungsi antara satu variabel dependen dengan lebih dari satu variabel independen dapat dilakukan dengan analisis regresi linier berganda, dimana intensi melakukan whistleblowing sebagai variabel dependen sedangkan variabel independen adalah afiliasi komunitas, kewajiban sosial, keyakinan terhadap peraturan sendiri dan tuntutan untuk mandiri sebagai ukuran profesionalisme internal auditor. Persamaan Multiple Regresionyang digunakan adalah:

(5)

Y = a + b1X1+ b2X2+ b3X3+ b4X4+ b5X5+ e Dimana:

Y = Variabel Dependen

(intensi melakukan whistleblowing) X1 = profesionalisme internal auditor

dimensi afiliasi komunitas X2 = Profesionalisme internal auditor

(dimensi kewajiban sosial) X3 = Profesionalisme internal auditor

(dimensi dedikasi terhadap pekerjaan)

X4 = Profesionalisme internal auditor (dimensi keyakinan terhadap peraturan sendiri atau profesi) X5 = Profesionalisme internal auditor

(dimensi tuntutan untuk mandiri) a = Konstanta

b = Koefisien Regresi

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Uji Koefisien Determinasi (R2).

Koefisien Determinasi (R2) berfungsi untuk melihat sejauhmana keseluruhan variabel independen dapat menjelaskan variabel dependen. Nilai koefisien determinasi adalah antara 0 sampai dengan 1 Apabila angka koefisien determinasi semakin mendekati 1 maka kemampuan menjelaskan variabel independen terhadap variabel dependen adalah semakin kuat, yang berarti variabel-variabel independen memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi variabel dependen. Sedangkan nilai koefisien determinasi (adjusted R2) yang kecil berarti menunjukan kemampuan variabel- variabel independen dalam menjelaskan variabel dependen adalah terbatas (Ghozali, 2011). Hasil uji koefisen determinasi terlihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 1. Uji Koefisien Determinasi

Sumber : data diolah

Tabel di atas menunjukkan nilai adjusted R2 sebesar 0,192 (19,2%), yang menunjukkan bahwa variabel profesionalisme internal auditor (dimensi afiliasi komunitas), profesionalisme internal auditor (dimensi kewajiban sosial), profesionalisme internal auditor (dimensi dedikasi terhadap pekerjaan), profesionalisme internal auditor (dimensi keyakinan terhadap peraturan sendiri atau profesi) dan pro- fesionalisme internal auditor (dimensi tuntutan untuk mandiri) terhadap intensi melakukan whistleblowingadalah sebesar 19,2%, sedangkan sisanya sebesar 0,818 atau 81,8%, dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tidak diikut- kutsertakan dalam model penelitian ini.

Uji Statistik F (Uji Simultan)

Pengujian secara simultan dilakukan dengan menggunakan uji F. Jika nilai probabilitas lebih kecil dari 0,05, maka Ha

diterima dan menolak H0, sedangkan jika nilai probabilitas lebih besar dari 0,05 maka H0

diterima dan menolak Ha (Ghozali, 2011).

Berdasarkan hasil uji F, didapat nilai F hitung sebesar 3,418 dengan signifikansi 0,01.

Karena tingkat signifikansi lebih kecil daripada 0,05 maka model regresi dapat digunakan untuk memprediksi intensi melakukan whistleblowing atau dapat dikatakan bahwa profesionalisme internal auditor (dimensi afiliasi komunitas), profesionalisme internal auditor (dimensi kewajiban sosial), profesionalisme internal auditor (dimensi dedikasi terhadap pekerjaan), profesionalisme internal auditor (dimensi keyakinan terhadap peraturan sendiri atau profesi) dan profesionalisme internal auditor (dimensi tuntutan untuk mandiri) mempunyai pengaruh secara simultan terhadap intensi melakukan whistleblowing.

Model R

SquareR Adjusted

R Square Std. Error of the Estimate

1 .520a .271 .192 5.101

(6)

Berdasarkan keterangan tersebut, dapat diperoleh model persamaan regresi sebagai berikut:

Y = 23,032 – 0,105X1+ 0,606X2- 0,167X3

+ 0,112X4+ 1,469X5 + 7,755

Pengaruh Profesionalisme Internal Auditor (dimensi afiliasi komunitas) terhadap Intensi Melakukan Whistleblowing)

Variabel profesionalisme internal auditor (dimensi afiliasi komunitas) mempunyai tingkat signifikansi sebesar 0,751 (p-value >

0,05) dan koefisien regresi bernilai -0,105. Hal ini menunjukkan bahwa profesionalisme internal auditor (dimensi afiliasi komunitas) berpengaruh negatif terhadap intensi melaku- kan whistleblowing, karena tingkat signifikansi yang dimiliki variabel profesionalisme internal auditor (dimensi afiliasi komunitas) lebih besar dari 0,05. Profesionalisme internal auditor (dimensi afiliasi komunitas) mempunyai koefisien dengan arah negatif sebesar -0,284.

Dugaan pada aspek ini dinyatakan bahwa semakin tinggi profesionalisme (dimensi afiliasi komunitas) maka semakin tinggi intensi melakukan whistleblowing. Hasil uji menunjukkan bahwa tingkat signifikansi variabel profesionalisme (dimensi afiliasi komunitas) adalah 0,751 > 0,05 sehingga dapat dikatakan bahwa profesionalisme internal auditor (dimensi afiliasi komunitas) berpengaruh negatif terhadap intensi melakukan whistleblowing.

Hasil ini dapat memberikan gambaran bahwa seorang internal auditor yang mem- punyai profesionalisme (dimensi afiliasi komunitas) tinggi tidak mempengaruhi niatnya untuk mengungkapkan kecurangan atau pelanggaran. Adanya rutinitas dalam ber- langganan publikasi atau jurnal tentang internal auditor dan adanya partisipasi dalam pertemuan internal auditor tidak akan meningkatkan intensi melakukan whistle- blowing. Hal itu dapat saja meningkatkan pengetahuan dan profesionalisme seorang internal auditor, tetapi belum tentu dapat

menumbuhkan niat seorang internal auditor untuk mengungkapkan sebuah kecurangan.

Keadaan tersebut dapat dipahami meskipun internal auditor selalu berlangganan dan membaca publikasi atau jurnal internal auditing serta berpartisipasi dalam pertemuan bahkan berdiskusi dengan internal auditor perusahaan lain, tetapi kalau tidak ada kesadaran dari dalam internal auditor itu sendiri maka tidak akan menumbuhkan niat untuk mengungkapkan kecurangan meskipun ia mengetahuinya bahwa itu merupakan kerugian bagi perusahaan.

Pengaruh Profesionalisme Internal Auditor (dimensi kewajiban sosial) terhadap Intensi Melakukan Whistleblowing

Variabel profesionalisme internal auditor (dimensi kewajiban sosial) mempunyai tingkat signifikansi sebesar 0,129 (p-value > 0,05) dan koefisien regresi bernilai 0,606. Hal ini berarti bahwa profesionalisme internal auditor (dimensi kewajiban sosial) berpengaruh negatif terhadap intensi melakukan whistleblowing, karena tingkat signifikansi yang dimiliki variabel profesionalisme internal auditor (dimensi kewajiban sosial) lebih besar dari 0,05.

Profesionalisme internal auditor (dimensi kewajiban sosial) mempunyai koefisien dengan arah positif sebesar 0,606.

Dugaan pada aspek ini dinyatakan bahwa semakin tinggi profesionalisme internal auditor (dimensi kewajiban sosial) maka semakin tinggi intensi melakukan whistleblowing. Hasil uji menunjukkan bahwa variabel profesionalisme internal auditor (dimensi kewajiban sosial) mempunyai tingkat signifikansi sebesar 0,129 >

0,05 sehingga dapat dikatakan bahwa pro- fesionalisme internal auditor (dimensi kewajiban sosial) berpengaruh negatif terhadap intensi melakukan whistleblowing.

Hasil pengujian ini menyatakan bahwa meskipun keberadaan internal auditor penting bagi masyarakat, tetapi tidak akan menum- buhkan niat internal auditor untuk mengukapkan kecurangan. Hal ini disebabkan

(7)

adanya ketakutan dari internal auditor terhadap tindakan mengungkapkan kecu- rangan tersebut, seperti ancaman akan dipecat.

Hal ini merupakan tantangan bagi internal auditor, karena tujuan dari kegiatan internal audit adalah selain memberikan informasi yang diperlukan manajemen, internal auditor juga mempunyai tanggung jawab sosial terhadap informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat.

Pengaruh Profesionalisme Internal Auditor (dimensi dedikasi terhadap pekerjaan) terhadap Intensi Melakukan Whistleblowing

Variabel profesionalisme internal auditor (dimensi dedikasi terhadap pekerjaan) mem- punyai tingkat signifikansi sebesar 0,696 (p- value> 0,05) dan koefisien regresi -0,167. Hal ini berarti bahwa profesionalisme internal auditor (dimensi dedikasi terhadap pekerjaan) ber- pengaruh negatif terhadap intensi melakukan whistleblowing, karena tingkat signifikansi yang dimiliki variabel profesionalisme internal auditor (dimensi keyakinan terhadap peraturan sendiri) lebih besar dari 0,05. Profesionalisme internal auditor (dimensi keyakinan terhadap peraturan sendiri) mempunyai koefisien dengan arah positif sebesar -0,167.

Pada aspek ini penulis menduga, bahwa semakin tinggi profesionalisme internal auditor (dimensi dedikasi terhadap pekerjaan) maka semakin tinggi intensi melakukan whistle- blowing. Hasil uji menujukkan bahwa variabel profesionalisme internal auditor (dimensi dedikasi terhadap pekerjaan) mempunyai tingkat signifikansi sebesar 0,696 > 0,05 sehingga dapat dikatakan bahwa profesio- nalisme internal auditor (dimensi dedikasi terhadap pekerjaan) berpengaruh negatif terhadap intensi melakukan whistleblowing.

Penelitian ini membuktikan bahwa semakin tinggi profesionalisme internal auditor (dimensi dedikasi terhadap pekerjaan) maka intensi untuk melakukan whistleblowing menjadi tinggi. Walaupun internal auditor melakukan pekerjaan audit internal dengan seluruh kemampuannya, tidak akan menumbuhkan niat dari auditor untuk mengungkapkan

pelanggaran. Dengan adanya reward atau gaji yang tinggi akan menumbuhkan kesadaran internal auditor untuk menungkapkan pelanggaran.

Pengaruh Profesionalisme Internal Auditor (dimensi keyakinan terhadap peraturan sendiri atau profesi) terhadap Intensi Melakukan Whistleblowing

Variabel profesionalisme internal auditor (dimensi keyakinan terhadap peraturan sendiri) mempunyai tingkat signifikansi sebesar 0,744 (p-value > 0,05) dan koefisien regresi bernilai 0,112. Hal ini dapat dikatakan bahwa profesionalisme internal auditor (dimensi keyakinan terhadap peraturan sendiri) berpengaruh negatif terhadap intensi melakukan whistleblowing, karena tingkat signifikansi yang dimiliki variabel profesionalisme internal auditor (dimensi keyakinan terhadap peraturan sendiri) lebih besar dari 0,05. Profesionalisme internal auditor (dimensi keyakinan terhadap peraturan sendiri) mempunyai koefisien dengan arah positif sebesar 0,112.

Dugaan pada aspek ini menyatakan bahwa semakin tinggi profesionalisme internal auditor (dimensi keyakinan terhadap peraturan sendiri atau profesi) maka semakin tinggi intensi melakukan whistleblowing. Hasil uji menujukkan bahwa variabel profesionalisme internal auditor (dimensi keyakinan terhadap peraturan sendiri) mempunyai tingkat signifikansi sebesar 0,744 > 0,05, sehingga dapat dikatakan bahwa profesionalisme internal auditor (dimensi keyakinan terhadap peraturan sendiri) berpengaruh negatif terhadap intensi melakukan whistleblowing.

Semakin tinggi profesionalisme (dimensi keyakinan terhadap peraturan sendiri atau profesi) yang dimiliki internal auditor tidak akan membuat intensi melakukan whistle- blowing menjadi semakin tinggi juga.

Hubungan tidak signifikan yang ditemukan dalam penelitian ini membuktikan bahwa profesionalisme internal auditor (dimensi keyakinan terhadap peraturan sendiri) tidak

(8)

akan mempengaruhi internal auditor untuk melakukan whistleblowing.

Standar profesi internal auditor yang berbeda di setiap organisasi, adanya cara yang tidak dapat diandalkan untuk menilai kompetensi sesama internal auditor, dan adanya penilaian antar-internal auditor lainnya menjadikan internal auditor tidak akan meningkatkan intensi melakukan whistle- blowing. Internal auditor akan mengungkapkan whistleblowingapabila terjadi konflik organisasi.

Pengaruh Profesionalisme Internal Auditor (dimensi tuntutan untuk mandiri) terhadap Intensi Melakukan Whistleblowing

Variabel profesionalisme (dimensi tuntutan untuk mandiri) mempunyai tingkat signifikansi sebesar 0,002 (p-value < 0,05) dan koefisien regresi bernilai 1,469. Hal ini berarti dapat dikatakan bahwa profesionalisme internal auditor (dimensi tuntutan untuk mandiri) berpengaruh positif terhadap intensi melakukan whistleblowing, karena tingkat signifikansi yang dimiliki variabel profesionalisme internal auditor (dimensi tuntutan untuk mandiri) lebih kecil dari 0,05.

Profesionalisme internal auditor (dimensi tuntutan untuk mandiri) mempunyai koefisien dengan arah positif sebesar 1,469.

Dugaan penulis pada aspek ini adalah semakin tinggi profesionalisme internal auditor (dimensi tuntutan untuk mandiri) maka semakin tinggi intensi melakukan whistle- blowing.Hasil uji menunjukkan bahwa variabel profesionalisme (dimensi tuntutan untuk mandiri) mempunyai tingkat signifikansi sebesar 0,002 < 0,05 sehingga dapat dikatakan bahwa profesionalisme internal auditor (dimensi tuntutan untuk mandiri) berpengaruh positif terhadap intensi melakukan whistle- blowing.

Hasil pengujian ini menggambarkan bahwa internal auditor yang mempunyai profesionalisme (dimensi untuk mandiri) yang tinggi akan meningkatkan intensi melakukan whistleblowing. Dengan internal auditor dapat

membuat keputusan terhadap pekerjaan auditnya, dapat merencanakan dan memu- tuskan hasil audit serta tidak adanya intervensi dari pihak lain, maka akan meningkatkan niat internal auditor untuk mengungkapkan ke- curangan. Dengan adanya independensi dari internal akan menimbulkan keberanian kepada internal untuk mengungkapkan pelanggaran.

KESIMPULAN

Penelitian ini menghasilakan kesimpulan yaitu:

1. Profesionalisme internal auditor dimensi afiliasi komunitas berpengaruh negatif terhadap intensi melakukan whistleblowing.

2. Profesionalisme internal auditor dimensi kewajiban sosial berpengaruh negatif terhadap intensi melakukan whistleblowing.

3. Profesionalisme internal auditor dimensi dedikasi terhadap pekerjaan berpengaruh negatif terhadap intensi melakukan whistleblowing.

4. Profesionalisme internal auditor keyakinan terhadap peraturan sendiri atau komunitas berpengaruh negatif terhadap intensi melakukan whistleblowing.

5. Profesionalisme internal auditor dimensi tuntutan untuk mandiri berpengaruh positif terhadap intensi melakukan whistleblowing.

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat mendorong manajemen untuk meningkatkan

profesionalisme internal auditor melalui pendidikan dan diberikan reward sehingga dapat meningkatkan pengungkapkan terhadap pelanggaran yang terjadi dapat. Selain itu diharapkan manajemen menerapkan whistleblowing system. Karena hal ini dapat menciptakan kinerja manajemen menjadi lebih baik.

Penelitian di masa mendatang diharapkan dapat menyajikan hasil penelitian yang lebih

(9)

berkualitas lagi dengan adanya beberapa masukan mengenai beberapa hal di antaranya:

1. Disarankan untuk mendapatkan data berupa wawancara dari beberapa internal auditor yang menjadi responden penelitian agar bisa mendapatkan data yang lebih nyata dan bisa keluar dari pertanyaan-pertanyaan kuesioner yang mungkin terlalu sempit atau kurang menggambarkan keadaan yang sesungguhnya.

2. Penelitian lebih lanjut diharapkan dapat memperluas daerah survei, sehingga hasil penelitian lebih mungkin untuk di- simpulkan secara umum.

DAFTAR PUSTAKA

Aranya, N., dan Ferris, K.R. 1984, A Reexamination of Accountants Organi- zational Profesional Conflict, The Accounting Review, Vol. 59

Aranya, N., J. Pollock, and J. Amernic, 1981, An Examination of Profesional Commitment in Public Accounting, Accounting Organizations and Society, Vol. 6, No. 4 Arnold, D.F., Sr. dan L.A. Ponemon, 1991,

Internal Auditor’s Perceptions of Whistle- Blowing and the Influence of Moral Reasoning: An Experiment, Auditing: A Journal of Practice & Theory, 10

Ayers, S. dan Steven E.K., 2005, Wrongdoing by Consultants: An Examination of Employees Reporting Intentions, Journal of Business Ethics,Vol. 57, No. 2

Brewer, G.A., dan Sally C.S., 1998, Whistle Blowers in the Federal Civil Service: New Evidence of the Public Service Ethic, Journal of Public Administration Research and Theory: J-PART,Vol. 8, No. 3

Brody, R.G., J.M. Coulter, and S. Lin. 1999, The Effect of National Culture on Whistle- Blowing Perceptions, Teaching Business Ethics, Vol. 3, No. 4

Chan, Samuel Y.S., dan P. Leung, 2006, The Effects of Accounting Students Ethical Reasoning and Personal Factors on Their Ethical Sensitivity, Managerial Auditing Journal, Vol. 21, No. 4

Chiu, R.K., 2003, Ethical Judgment and Whistleblowing Intention: Examining the Moderating Role of Locus of Control, Journal of Business Ethics, 43

Cooper, D.R., dan Pamela S.S., 2011, Business Research Methods, Eleventh Edition, McGraw Hill, New York, NY.

Davis, A.J., dan Emiko K., 2007, Whistleblowing in Japan, Nursing Ethics, Vo. 14, No. 2 Davis, M. 1989, Avoiding the Tragedy of

Whistle-blowing, Business and Profesional Ethics Journal, Vol. 8, No. 4

Dozier, J.B., dan Marcia P.M., 1985, Potential Predictors of WhistleBlowing: A Prosocial Behavior Perspective, The Academy of Management Review,Vol. 10, No. 4

Dworkin, T.M., dan Janet P.N., 1997, A Better Statutory Approach to Whistle-Blowing”, Business Ethics Quarterly,Vol. 7, Issue 1 Dworkin, T.M., dan Melissa S.B., 1998, Internal

vs. External Whistleblowers: A Comparison of Whistleblowering Processes, Journal of Business Ethics, Vol.17 Dwyer, P.D., Robert B.W, dan Alan H.F., 2000,

A Research Note Concerning the Dimensionality of the Profesional Commitment Scale, Journal of Behavioral Research in Accounting,Vol. 12

Elias, R.,Z. 2008, Auditing Students Profesional Commitment and Anticipatory Socialization and Their Relationship to Whistleblowing, Managerial Auditing Journal, Vol. 23, No. 3

Ferrell, O., J. Fraedrich dan Ferrell, L., 2002, Business Ethics: Ethical Decision Making and Cases, Hougton Mifflin, Boston.

(10)

Gani, R. M. M. 2010, Analisis Perbedaan Komitmen Profesional dan Sosialisasi Antisipatif Mahasiswa PPA dan Non-PPA pada Hubungannya Dengan Whistleblowing.

Skripsi, Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro

Gundlach, M.J., S.C. Douglas, Mark J. 2003, The Decision to Blow the Whistle: A Social Information Processing Framework”, The Academy of Management Review,Vol. 28, No. 1

Hair, JR, et al., 2010, Multivariate Data Analysis, Seventh Edition, Pearson Prentice Hall.

Hartono, J.H.M., 2008, Pedoman Survei Kuesioner:

Mengembangkan Kuesioner, Mengatasi Bias dan Meningkatkan Respon,BPFE-

Yogyakarta

James, G. 1995. In Defense of Whistle Blowing, in William H. Shaw and Vicent Barry (eds.), Moral Issues in Business, sixth edition (Wadsworth, Belmont, CA).

Jeffrey, C., dan N. Weatherolt. 1996, Ethical Development, Profesional Commitment, and Rule Observance Attitudes: A Study of CPAs and Corporate Accountants”, Behavioral Research in Acconting, Vol. 8 Jeffrey, C., N. Weatherholt, dan S. Lo. 1996,

Ethical Development, Profesional Commitment, and Rule Observance Attitudes: A Study of Auditors in Taiwan, The International Journal of Accounting,Vol.

31, No. 3

Jensen, J. Vemon. 1987, Ethical Tension Points in Whistleblowing, Journal of Business Ethics, Vol. 6

Joe, Victor Clark. 1971, Review of the Internalization Control Construct as a Personality Variable, Psychological Reports, 28

Jubb, P. B. 1999, Whistleblowing: A Restrictive Definition and Interpretation, Journal of Business Ethics, Vol. 21, No.1

Kaplan, S.E. dan S.M. Whitecotton, 2001, An Examination of Auditor’s Reporting Intentions when Another Auditor is

offered Client Employment, Auditing: A Journal of Practice & Theory,Vol. 20, No. 1 Kasilingam, R., dan S. Sudha, 2010, Influence of

Locus of Control on Investment Behaviour of Individual Investor, The Indian Journal of Management,Vol. 3, No. 1 Keenan, J.P., 1990, Upper-Level Managers and

Whistleblowing: Determinants of Perceptions of Company Encouragement and Information about Where to Blow the Whistle, Journal of Business and Psychology, Vol. 5, No. 2

Lachman, R. dan N. Aranya, 1986, Evaluation of Alternative Models of Commitments and Job Attitudes of Profesionals, Journal of Occupational Behavior, Vol. 7

Larkin, J.M. 1990, Does gender affect auditor CPAs’ Performance?, The Women CPA Lee, K., J.J. Carswell and N.J. Allen. 2000, A

Meta-Analytic Review of Occupational Commitment: Relations with Person and Work-Related Variables, Journal of Applied Psychology, Vol. 85, No. 5

Lennane, J. 1996, What Happens to WhistleBlowers and Why, in Klaas Woldring (ed.) Business Ethics (Nelson, Melbourne).

Liyanarachchi, Gregory, dan Chris Newdick.

2009, The Impact of Moral Reasoning and Retaliation on Whistle-Blowing: New Zealand Evidence, Journal of Business Ethics, 89

Masser, Barbara, dan Rupert B., 1996, When Would You Do It? An Investigation into the Effects of Retaliation, Seriousness of Malpractice and Occupation on Willingness to Blow the Wistle, Journal of Community and Applied Social Psychology, Vol. 6

McPhail, Ken, dan Diane W., 2009 Accounting &

Business Ethics: An Introduction, Routledge Meixner, W. F. and D. M. Bline. 1989,

Profesional and Job-Related Attitudes and the Behavior they Influence among Government Accountants, Accounting, Auditing and Accountability Journal, Vol. 2, No. 1

(11)

Sugianto, Abdul Hamid Habbe dan Tawakkal.

2011, Hubungan Orientasi Etika, Komitmen Profesional, Sensitivitas Etis dengan Whistleblowing Perspektif Mahasiswa Akuntansi, Tesis, Fakultas Ekonomi, Universitas Diponegoro

Taylor, Eileen Z, and Mary B. Curtis. 2010. “An Examination of the Layers of Workplace Influence in Ethical Judgment:

Whistleblowing Likelihood and Perseverance in Public Accounting”, Journal of Business Ethics, 93

(12)

Gambar

Tabel 1. Uji Koefisien Determinasi

Referensi

Dokumen terkait

SD Negeri Baciro merupakan salah satu sekolah yang ditunjuk oleh pihak UNY untuk menjadi lokasi PPL pada tahun 2015. Tujuan dari progran PPL adalah untuk

Untuk download rangkuman materi, kumpulan SMART SOLUTION dan TRIK SUPERKILAT dalam menghadapi SIMAK-UI, SNMPTN, OSN serta kumpulan pembahasan soal SIMAK-UI, SNMPTN,

Parameter yang diukur pada penelitian ini adalah jumlah penggunaan air konsumtif, nutrisi dan energi listrik dari sistem fertigasi rakit apung yang digunakan serta

Hasil analisis regresi terhadap pendapatan usahatani menunjukkan bahwa luas lahan, biaya benih, biaya pupuk urea, biaya pupuk SP-36, biaya pupuk phonska, biaya

Masalah yang hendak di kdaji ada tiga permasalahan, yaitu : (1) bagaiamana kondisi perilaku anak jalanan di komuitas pemerhati anak jalanan dan marjinal (Sahabat anak

Dari hasil penelitian terhadap prinsip kerja sama dalam berinteraksi di lingkungan SMPN 11 Kota Jambi, ditemukan bentuk tuturan yang mematuhi dan melanggar maksim dari

Abstrak : Manajemen sekolah dapat diartikan segala sesuatu yang berkenaan dengan pengelolaan proses pendidikan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, baik

Dari informasi yang telah diberikan oleh informan selaku masyarakat desa yang merasakan proses kegiataan tersebut, diketahui bahwa semaksimal mungkin usaha pemerintah dalam