• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji Sentifitas Weather Research and Forecast Model (WRF) dalam Prediksi Hujan Harian di Wilayah Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Uji Sentifitas Weather Research and Forecast Model (WRF) dalam Prediksi Hujan Harian di Wilayah Sumatera Utara"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

ISSN : 2798-9925 (online)

Vol. 1, No. 1, Agustus 2021, pp. 22-32

https://journal.physan.id/index.php/mkgi  22

Uji Sentifitas Weather Research and Forecast Model (WRF) dalam Prediksi Hujan Harian di Wilayah Sumatera Utara

Nensy Nindy Tambunan1, Immanuel Jhonson A. Saragih1,2

1Stasiun Meteorologi Kualanamu, Deli Serdang,

2Program Studi Magister Fisika, F-MIPA, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Info Artikel ABSTRACT

Histori Artikel:

Diterima, Mei 30, 2021 Revisi, Juli 19, 2021 Disetujui, Juli 28, 2021

Verifikasi performa model WRF dalam membuat prediksi hujan harian di beberapa titik di wilayah Sumatera Utara diperlukan untuk mengetahi seberapa besar kecocokan model ini pada wilayah tersebut, sehingga diharapkan dapat membantu prakirawan dalam membuat prakiraan cuaca. Verifikasi akan dilakukan baik secara kualitatif maupun kuantitatif dengan cara membandingkan hasil prediksi model terhadap hasil observasi. Perbandingan akan dilakukan secara spasial dan verifikasi akan dilakukan dengan melakukan perhitungan nilai Hit Rate, Threat Score (TS), Bias, dan False Alarm Rate (FAR). Setelah dilakukan verifikasi terlihat bahwa wilayah dengan hasil paling baik adalah Gunung Sitoli dengan nilai Hit Rate 0.59, TS 0.59, dan FAR 0.413. Wilayah lain dengan hasil cukup baik adalah Parapat, Sibolga, Sampali, Belawan, Lubuk Besar, Bantun Kerbo, Pancur Batu, Tanjung Langkat, dan Mompang. Namun, secara keseluruhan nilai Bias masih menunjukkan over- forecast di semua wilayah. Secara kuantitatif, model WRF belum dapat menghasilkan prediksi yang tepat karena masih terdapat perbedaan nilai curah hujan yang signifikan bila dibandingkan dengan hasil observasi.

Keywords:

Hujan, Model WRF, Tabel Kontingensi.

This is an open access article under the CC BY-SA license.

Penulis Koresponden:

Nensy Nindy Tambunan,

Stasiun Meteorologi Kualanamu – Deli Serdang,

Jl. Tengku Heran No. 119, Desa Pasar V Kebun Kelapa, Kec. Beringin, Kab. Deli Serdang.

Email: nensynindy@gmail.com

1. PENDAHULUAN

Sumatera Utara merupakan salah satu provinsi yang berada di Pulau Sumatera yang secara administrasi dibagi atas 33 kabupaten/kota. Posisi Sumatera Utara terletak pada garis 1°-4° Lintang Utara dan 98°-100° Bujur Timur. Letak geografis Sumatera Utara sangat unik dimana diapit oleh dua perairan yaitu Selat Malaka dan Samudra Hindia serta dilalui pegunungan Bukit Barisan yang membentang dari utara hingga selatan. Kondisi ini yang nantinya sangat berpengaruh terhadap pola dinamika cuaca di daerah tersebut [1]. Pola dinamika cuaca dan iklim di Sumatera Utara sangat beragam yang merupakan ciri khas daerah tersebut. Pola distribusi curah hujan sangat dipengaruhi oleh kondisi topografi yang ada sehingga sangat sulit untuk diidentifikasi dan dianalisis [2], [3].

Pada saat sekarang ini, kebutuhan akan informasi cuaca khususnya prediksi cuaca sangat dituntut baik kecepatan maupun ketepatannya. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu model cuaca yang dapat merepesentasikan keadaan alam sebenarnya untuk membantu agar informasi cuaca dapat diperoleh dengan cepat dan tepat, salah satunya dengan menggunakan model cuaca Weather Reserarch Forecasting (WRF). WRF merupakan sebuah model mesoscale generasi terbaru yang didesain sebagai model forecasting, simulasi dan operasional. WRF merupakan model yang

(2)

fleksibel, seni, dan memiliki code portable yang efisien untuk lingkungan computing dari parallel supercomputer sampai laptop [4]. Model cuaca WRF ini sangat cocok untuk dikembangkan sebagai pemodelan cuaca mendasar di Indonesia karena telah digunakan sebagai dasar prediksi oleh seluruh konstituen yang terkait dengan prediksi cuaca di Amerika Serikat serta telah diadopsi dan dikembangkan oleh banyak negara lainnya [5].

WRF juga memiliki berbagai ekstensi diantaranya adalah WRF-ARW (Advanced Research WRF) untuk prediksi cuaca [6]. ARW adalah versi dynamical solver ARW yang bersama-sama dengan komponen lainnya dari sistem WRF yang kompetibel dalam penyelesaian dan digunakan untuk simulasi. Sistem modeling WRF-ARW meliputi skema fisis, pilihan numerik/dinamik, inisialisasi berkelanjutan, dan paket data asimilasi (WRF-Var) [7], [8]. Komponen utama WRF- ARW adalah:

1) WRF Preiprocessing System (WPS)

WPS adalah komponen yang berfungsi menggabungkan WRF Terrestrial Data (seperti Geogrid) dan Gridded Data (seperti GFS/Global Forecast System, FNL/Final Analysis atau NAM/North American Mesoscale Model). Program ini utamanya digunakan untuk simulasi real data. Fungsinya adalah mendefenisikan domain simulasi, menginterpolasi terrestrial data (seperti terrain, landuse, dan tipe tanah) ke dalam domain simulasi, dan melakukan grib ulang dan menginterpolasi data meteorologi dari model lain ke dalam domain simulasi.

Pada direktori WPS ini terdapat beberapa sub-direktori diantaranya geogrid untuk membuat terrestrial data, ungrib untuk mengekstrak GRIB data dan mengubahnya ke format file menengah, dan metgrid untuk menginterpolasikan data meteorologi secara horizontal ke dalam domain, arch (direktori yang berisi opsi-opsi instalasi) untuk mengkompilasikannya dengan menjalankan perintah configure dan compile [5].

2) WRF-ARW

Bagian ini adalah komponen penting dari sistem pemodelan WRF, dimana menyusun beberapa program awal untuk kejadian, keidealan, simulasi data real, dan program integrasi numerik. Merupakan core (program utama) yang berfungsi mengolah prediksi cuaca berdasarkan keluaran yang dihasilkan oleh WPS dengan berbagai parameter yang dapat diatur, seperti waktu prediksi (jam-jaman atau harian).

3) Post-processing System

Terdiri dari perangkat lunak yang berfungsi mengolah tampilan spasial hasil keluaran dari WRF-ARW sehingga dapat dipahami oleh user secara umum, seperti GrADS (The Grid Analysis and Display System). Selain itu, post processing juga dapat berupa perangkat lunak yang berfungsi memvalidasi hasil keluaran WRF.

Verifikasi hasil prediksi merupakan proses menentukan kualitas dari suatu prediksi [9].

Verifikasi diperlukan untuk melihat performa WRF-ARW, dengan melakukan perbandingan berbagai parameter cuaca antara WRF-ARW dengan hasil observasi yang representatif di berbagai titik lokasi. Begitu pula dengan wilayah Sumatera Utara, diperlukan verifikasi untuk mengetahui apakah model WRF-ARW sesuai atau tidak untuk digunakan dalam membuat prediksi hujan harian.

2. METODE PENELITIAN

Lokasi penelitian adalah di wilayah Sumatera Utara dengan letak koordinat 1°-4° LU dan 98°-100° BT (Gambar 1). Data input model yang digunakan adalah data GFS (Global Forecast System) selama bulan September tahun 2013 dengan resolusi 1° dengan waktu inisial 12.00 UTC yang diperoleh dari Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG hasil mengunduh NCEP-NOAA.

Sebagai pembanding, digunakan data curah hujan harian bulan September 2013 hasil observasi di beberapa stasiun dan pos-pos hujan kerja-sama di wilayah Sumatera Utara (Tabel 1) yang diperoleh dari Stasiun Klimatologi Sampali – Deli Serdang. Bulan September dipilih karena berdasarkan rata- rata data 30 tahun merupakan bulan puncak hujan di Medan.

Pengolahan data dalam penelitian ini dilakukan menggunakan WRF-ARW versi 3.0 untuk menjalankan simulasi kondisi atmosfer, GrADS versi 2.0 untuk mengeluarkan dan memetakan data keluaran model WRF, ArcGIS versi 10.0 untuk menginterpolasi hasil keluaran model WRF, dan Ms.

Excel untuk melakukan perhitungan matematika terhadap data keluaran model dan data pengamatan.

(3)

Gambar 1. Peta lokasi penelitian

Tabel 1. Metadata stasiun/pos hujan BMKG di wilayah Sumatera Utara yang digunakan sebagai data verifikasi dalam penelitian

Stasiun/Pos Hujan Bujur (°BT)

Lintang

(°LU) Stasiun/Pos Hujan Bujur (°BT)

Lintang (°LU)

Parapat 98.91 2.68 Tanjung Langkat 98.30 3.48

Sibolga 98.88 1.55 Bah Jambi 99.20 2.97

Aek Godang 99.45 1.55 Onan Runggu 98.96 2.48

Gunung Sitoli 97.7 1.15 Balige 99.07 2.33

Sampali 98.66 3.3 Pangkatan 99.98 2.13

Belawan 98.7 3.8 Kampung Mesjid 100.30 2.50

Lubuk Besar 99.47 3.18 Kota Pinang 100.01 1.82

Pasir Mandoge 99.32 2.77 Mandumas 98.25 2.22

Bantun Kerbo 98.25 2.76 Mompang 99.53 0.92

Pancur Batu 98.57 3.52 Sosopan 99.50 1.22

Selesai 98.42 3.58

Dalam penelitian ini dilakukan perbandingan hasil prediksi curah hujan harian dari model WRF-ARW terhadap hasil observasi, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Model WRF-ARW dijalankan dalam 2 domain (Gambar 2). Domain 1 (D01) meliputi 1.79°LS-8.45°LU dan 91.04°BT- 105.88°BT dengan resolusi 27 km, dan domain 2 (D02) meliputi 0.48°LU-6.21°LU dan 95.44° BT- 101.39° BT dengan resolusi 9 km. Hasil yang dianalisis adalah hasil dari domain 2 (D02).

Gambar 2. Domain model WRF yang digunakan dalam penelitian

(4)

Skema Microphysics yang digunakan adalah WSM3. Skema ini memprediksikan tiga kategori hidrometeor, yaitu uap, tetes hujan/es, dan hujan/salju yang disebut juga skema es sederhana [10]. Skema ini cocok untuk ukuran grid skala meso. Skema Cumulus yang digunakan adalah Kain Fritsch. Skema Kain-Fritsch merupakan skema yang dirancang untuk menyusun ulang massa di dalam kolom udara sehingga Convective Available Potential Energy (CAPE) dapat digunakan [11], [12]. Model awan diformulasikan menjadi dettrainment-entrainment dengan parsel bouyancy yang dihitung sebagai fungsi dari parsel yang tercampur dengan lateral antara lingkungan dan updraft.

Skema ini didesain untuk ukuran grid 20-25 km. Skema ini memuat proses fisik awan yang sangat lengkap dalam parameterisasi konvektif dan memiliki parameter downdraft sehingga memungkinkan simulasi lebih baik untuk respon skala meso dan memungkinkan untuk sebagian besar skema.

Kekurangan skema ini adalah batas CAPE tidak sesuai untuk lingkungan tropis dan dapat menyebabkan konveksi yang sangat kuat.

Setelah diperoleh hasil output model, kemudian dihitung nilai prediksi curah hujan dengan cara mengambil rata-rata dari setiap satu kotak grid menggunakan perangkat lunak GrADS versi 2.0.

Nilai-nilai tersebut kemudian diplot untuk ditampilkan secara spasial dan diinterpolasi dengan menggunakan perangkat lunak ArcGIS versi 10.0. Hasil prediksi hujan tersebut kemudian diverifikasi dengan menggunakan prinsip Tabel Kontingensi (Gambar 3).

Gambar 3. Tabel Kontingensi [13], [14]

Tabel Kontingens digunakan untuk perhitungan mencari tingkat akurasi model dalam membuat prediksi. Perhitungan tersebut dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya:

1) Hit Rate

Hit Rate adalah perhitungan untuk mengetahui nilai akurasi model dalam membuat prediksi.

Perhitungan ini memiliki kisaran 0 hingga 1. Nilai Hit Rate yang paling buruk adalah 0 dan nilai Hit Rate terbaik adalah 1. Hit Rate dihitung menggunakan persamaan berikut.

𝐻 = 𝑎 + 𝑑

𝑛 (1)

2) Threat Score (TS)

TS menunjukkan banyaknya prediksi ‘ya’ yang diikuti dengan hasil obsevasi ‘ya’. TS adalah nilai dimana banyak hasil prediksi dan observasi ‘ya’ dibagi dengan total kejadian (prediksi dan observasi). Nilai TS dapat dihitung menggunakan persamaan berikut.

𝑇𝑆 = 𝑎

𝑎 + 𝑏 + 𝑐 (2)

3) False Alarm Rate (FAR)

(5)

FAR digunakan untuk mengetahui tingkat kesalahan model dalam memprediksi. Kisarannya 0 hingga 1 dengan nilai sempurna 0. Nilai FAR dapat dihitung menggunakan persamaan berikut.

𝐹𝐴𝑅 = 𝑏

𝑎 + 𝑏 (3)

4) Bias Error

Bias merupakan perbandingan antara rata-rata hasil prediksi dan rata-rata hasil observasi.

Bias merupakan perbandingan antara kejadian ‘ya’ dari prediksi dan kejadian ‘ya’ dari observasi. Nilai sempurna Bias adalah 1 (B = 1) yang menunjukkan bahwa banyak kejadian hasil prediksi sama dengan hasil observasi. Nilai B > 1disebut over-forecast, yaitu kejadian hasil prediksi lebih banyak daripada observasi. Nilai B < 1 disebut under-forecast, menunjukkan bahwa kejadian hasil prediksi lebih sedikit daripada observasi. Nilai bias dapat dihitung menggunakan persamaan berikut.

𝐵𝑖𝑎𝑠 = 𝑎 + 𝑏

𝑎 + 𝑐 (4)

Gambar 4. Diagram alir penelitian

3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Perbandingan spasial curah hujan

Berikut bebarapa hasil perbandingan akumulasi curah hujan harian prediksi WRF-ARW dan observasi selama bulan September 2013 yang ditampilkan secara spasial (Gambar 5).

(6)

(a) Tanggal 3 September 2013

(b) Tanggal 6 September 2013

(c) Tanggal 6 September 2013

Gambar 5. Peta spasial curah hujan harian data observasi dan prediksi keluaran WRF-ARW pada (a) tanggal 3 September, (b) tanggal 6 September, dan (c) tanggal 12 September 2013

Pada gambar 5(a), secara kualitatif maupun kuantitatif pada umumnya observasi dan WRF- ARW menunjukkan hasil yang berbeda hampir di semua titik di wilayah penelitian. Hasil observasi menunjukkan ada beberapa wilayah yang tidak terjadi hujan pada tanggal 3 September 2013, yaitu Belawan, Lubuk Besar, Pancur Batu, Tanjung Langkat, dan Mompang. Hasil prediksi yang dihasilkan WRF-ARW di wilayah-wilayah tersebut tidak sesuai, dimana Belawan terjadi hujan dengan jumlah curah hujan sekitar 10-20 mm/hari, Lubuk Besar sekitar 20-30 mm/hari, Pancur Batu sekitar 10-20 mm/hari, Tanjung Langkat terjadi hujan dengan intensitas cukup lebat yaitu dengan curah hujan sekitar 40-50 mm/hari, dan Mompang sekitar 20-30 mm/hari. Di wilayah-wilayah lainnya ada yang menunjukkan hasil yang sama untuk prediksi bahwa akan terjadi hujan. Namun, untuk jumlah curah hujan yang dihasilkan terlihat perbedaan yang cukup signifikan antara hasil observasi dan WRF-ARW hampir di seluruh wilayah penelitian. Rata-rata hasil observasi kebanyakan wilayah terjadi hujan dengan intensitas ringan hingga sedang dan jumlah curah hujan terbanyak terjadi di wilayah Sosopan dan Parapat, yaitu sekitar 40-50 mm/hari. Sedangkan hasil WRF-ARW pada umumnya terjadi hujan dengan intensitas sedang hingga lebat hampir di seluruh

(7)

wilayah dimana jumlah curah hujan terbanyak terjadi di wilayah Bantun Kerbo dan Sibolga, yaitu sekitar 70-80 mm/hari.

Pada gambar 5(b) terlihat perbadingan hujan antara hasil observasi dan WRF-ARW tanggal 6 September 2013. Secara kualitatif, hasil yang didapatkan cukup bagus antara keduanya, yaitu hampir di seluruh titik di wilayah penelitian, prediksi WRF-ARW menunjukkan akan terjadi hujan dan hal itu sesuai dengan hasil observasi. Hanya ada satu wilayah yang tidak terjadi hujan pada hasil observasi namun terjadi hujan berdasarkan prediksi WRF-ARW, yaitu Kapung Mesjid. Perbedaan ini secara kuantitatif juga menunjukkan hasil yang cukup jauh yaitu WRF-ARW menghasilkan jumlah hujan yang terjadi di wilayah Kampung Mesjid adalah sekitar 40-50 mm/hari. Berdasarkan hasil observasi, hujan dengan intensitas paling lebat terjadi di wilayah Sibolga yaitu dengan jumlah curah hujan sekitar 5-60 mm/hari, sedangkan hasil WRF-ARW hujan paling lebat terjadi di Pangkatan dengan curah hujan yang mencapai hingga 100 mm/hari.Wilayah lain yang memiliki perbedaan yang cukup jauh secara kuantitatif adalah Sampali dan Bah Jambi. Hasil observasi di wilayah Sampali adalah terjadi hujan dengan jumlah curah hujan kurang dari 10 mm/hari dan Bah Jambi sekitar 10-20 mm/hari, sedangkan hasil WRF-ARW menunjukkan di Sampali terjadi hujan dengan jumlah curah hujan sekitar 60-70 mm/hari dan Bah Jambi sekitar 80-90 mm/hari.

Pada gambar 5(c) telihat perbandingan antara hasil observasi dan WRF-ARW pada tanggal 12 September 2013. Secara kualitatif, model WRF-ARW dapat memprediksi akan terjadi hujan seperti hasil observasi hampir di beberapa titik di wilayah penelitian. Namun ada beberapa wilayah yang tidak tepat prediksinya yaitu Aek Godang, Lubuk Besar, Bantun Kerbo, Onan Runggu, Kampung Mesjid, dan Mandumas karena di wilayah-wilayah tersebut tidak terjadi hujan berdasarkan hasil observasi. Secara kuantitatif, juga terdapat perbedaan hasil yang cukup bervariasi. Berdasarkan hasil observasi, curah hujan tertinggi terjadi di Bah Jambi yaitu sekitar 60-70 mm/hari, sedangkan berdasarkan hasil WRF-ARW, curah hujan di Bah Jambi adalah sekitar 50-60 mm/hari yang juga merupakan curah hujan terbanyak yang terjadi di hari itu. Hasil ini cukup baik untuk wilayah Bah Jambi karena baik secara kualitatif dan kuantitatif hasil prediksi WRF-ARW hampir sama dengan hasil observasi. Namun terdapat juga hasil prediksi WRF-ARW yang cukup jauh yaitu di wilayah Sampali prediksi terjadi hujan dengan curah hujan sekitar 50-60 mm/hari, sedangkan hasil observasi curah hujan di Sampali adalah kurang dari 10 mm/hari. Di wilayah-wilayah lainnya terdapat hasil yang sama yang secara kualitatif dapat terlihat pada peta, namun untuk banyaknya curah hujan yang terjadi tetap terdapat perbedaan.

3.2. Perbandingan pola hujan harian

Berikut grafik yang menunjukkan perbandingan pola hujan hasil observasi dan WRF-ARW yang terjadi di setiap wilayah penelitian selama bulan September 2013 (Gambar 6).

(a) Perbandingan pola hujan harian di Stasiun Meteorologi Belawan

(8)

(b) Perbandingan pola hujan harian di Stasiun Meteorologi Binaka – Gunung Sitoli

(c) Perbandingan pola hujan harian di pos penakar hujan Parapat

Gambar 6. Grafik akumulasi curah hujan harian data observasi dan prediksi keluaran WRF-ARW di (a) Stasiun Meteorologi Belawan, (b) Stasiun Meteorologi Binaka, dan (c) pos hujan Parapat

Pada gambar 6(a) di wilayah Belawan berdasarkan hasil observasi terdapat 16 hari hujan pada bulan September 2013 yang terjadi pada pada dasarian pertama, dasarian kedua tanggal 11, 12, 15, dan 17, serta dasarian ketiga tanggal 25 hingga 30. Hasil prediksi WRF-ARW menunjukkan terdapat 28 hari hujan banyak terjadi di dasarian pertama, dasarian kedua, dan dasarian ketiga.

Intensitas hujan yang dihasilkan menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan.Curah hujan tertinggi hasil observasi terjadi pada tanggal 30 September 2013 yaitu sekitar 31 mm/hari, namun hasil prediksi hanya sekitar 10 mm/hari dan curah hujan tertinggi hasil prediksi terjadi pada tanggal 6 September 2013 yaitu sekitar 68 mm/hari, namun hasil observasi hanya sekitar 2 mm/hari.

Pada gambar 6(b), di wilayah Gunung Sitoli berdasarkan hasil observasi terdapat 17 hari hujan pada bulan September 2013 yang terjadi hampir setiap hari pada dasarian pertama hingga tanggal 18 dasarian kedua dan dasarian ketiga tanggal 27 hingga 30. Berdasarkan hasil prediksi WRF-ARW terjadi hujan setiap hari. Curah hujan tertinggi hasil observasi terjadi pada tanggal 28 September 2013 yaitu sekitar 32 mm/hari, namun hasil prediksi hanya sekitar 12 mm/hari. Curah hujan tertinggi hasil prediksi terjadi pada tanggal 2 yaitu sekitar 52 mm/hari, namun hasil observasi hanya sekitar 13 mm/hari. Intensitas hujan hasil prediksi masih cukup jauh berbeda dengan hasil observasi pada hari lainnya, kecuali pada tanggal 13 dan 18 September 2013.

Pada gambar 6(c) terlihat untuk daerah Parapat berdasarkan hasil observasi terdapat 14 hari hujan banyak terjadi pada dasarian pertama, dasarian kedua tanggal 11, 12, dan 14, dan dasarian ketiga tanggal 27 dan 29 pada bulan September 2013. Berdasarkan hasil prediksi WRF-ARW pada September 2013, terdapat 24 hari hujan banyak terjadi pada dasarian pertama lalu masih berlanjut hingga tanggal 14, kemudian pada akhir bulan tanggal 27 dan 29. Curah hujan tertinggi hasil observasi terjadi pada tanggal 3 September 2013 yaitu sekitar 55 mm/hari, namun curah hujan hasil prediksi hanya sekitar 40 mm/hari. Curah hujan tertinggi hasil prediksi terjadi pada tanggal 4 September 2013, yaitu sekitar 62 mm/hari, namun curah hujan hasil observasi adalah sekitar 40 mm/hari. Pada hari lainnya curah hujan yang terjadi masih terdapat perbedaan yang signifikan antara

(9)

hasil prediksi dan hasil observasi. Hasil prediksi yang paling mendekati hasil observasi untuk wilayah Parapat terjadi pada tanggal 11 dan 12 September 2013.

3.3. Verifikasi

Berdasarkan hasil running data model WRF-ARW kemudian melakukan prediksi kejadian hujan lalu dibandingkan dengan hasil observasi, maka kemudian dilakukan verifikasi untuk mengetahui sejauh mana kesesuain model dalam melakukan prediski hujan di wilayah penelitian.

Verifikasi hasil prediksi model WRF-ARW terhadap hasil observasi dilakukan dengan menggunakan Tabel Kontingensi dan menghasilkan nilai parameter akurasi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2. Nilai perhitungan Tabel Kontingensi Stasiun/Pos

Hujan

Hit Rate

Threat Score Bias

False Alarm Rate

Stasiun/Pos Hujan

Hit Rate

Threat Score Bias

False Alarm Rate Parapat 0.65 0.58 1.714 0.416 Tanjung

Langkat 0.59 0.54 1.86 0.46

Sibolga 0.52 0.5 2 0.5 Bah Jambi 0.45 0.45 2.23 0.55

Aek Godang 0.44 0.43 2.33 0.57 Onan Runggu 0.38 0.31 3.25 0.69 Gungung Sitoli 0.59 0.59 1.705 0.413 Balige 0.48 0.48 2.07 0.52 Sampali 0.59 0.57 1.75 0.43 Pangkatan 0.45 0.45 2.23 0.55 Belawan 0.55 0.55 1.81 0.45 Kampung

Mesjid 0.31 0.31 3.22 0.69 Lubuk Besar 0.62 0.56 1.79 0.44 Kota Pinang 0.45 0.43 2.33 0.57 Pasir Mandoge 0.45 0.45 2.23 0.55 Mandumas 0.48 0.38 2.67 0.63 Bantun Kerbo 0.69 0.57 1.75 0.43 Mompang 0.62 0.56 1.79 0.44 Pancur Batu 0.55 0.54 1.87 0.46 Sosopan 0.45 0.36 2.4 0.63

Selesai 0.45 0.45 2.23 0.55

Pada hasil perhitungan tabel kontingensi di atas, terlihat wilayah dengan nilai Hit Rate tertinggi adalah Bantun Kerbo yaitu 0.69. Nilai tersebut berarti bahwa tingkat akurasi model dalam memprediksi adalah paling baik di wilayah Bantun Kerbo. Nilai TS tertinggi yang paling mendekati 1 adalah Gunung Sitoli yaitu 0.59. Nilai ini berarti kesuksesan model dalam membuat prakiraan adalah paling baik di Gunung Sitoli dibandingkan dengan daerah lainnya. Hal ini menunjukkan hasil prediksi terjadi hujan pada model yang paling banyak sesuai dengan terjadi hujan pada observasi adalah di wilayah Gunung Sitoli. Nilai FAR yang paling mendekati 0 adalah Gunung Sitoli yaitu 0.413. Nilai FAR tersebut menunjukkan bahwa tingkat kesalahan model dalam membuat prediksi paling rendah adalah di Gunung Sitoli. Nilai Bias pada setiap wilayah pada umumnya adalah di atas satu (B>1), hal ini berarti model WRF-ARW termasuk overforecast dalam membuat prediksi huja untuk semua wilayah penelitian. Namun nilai Bias yang paling mendekati 1 atau yang paling rendah adalah Gunung Sitoli yaitu 1.705. Dari hasil tersebut terlihat bahwa hasil prediksi model terbaik adalah di wilayah Gunung Sitoli. Nilai Hit Rate yang paling rendah adalah di Onan Runggu dan Kampung Mesjid yaitu masing-masing adalah 0.38 dan 0.31. Hal ini menunjukkan tingkat akurasi model dalam membuat prediksi sangat rendah. Nilai TS paling rendah yaitu 0.31 juga terjadi di wilayah Onan Runggu dan Kampung Mesjid. Hal ini mengindikasikan hasil prediksi terjadi hujan pada model banyak yang tidak sesuai dengan terjadi hujan pada observasi. Nilai Bias paling tinggi yaitu jauh melebihi nilai 1 adalah di Onan Runggu yaitu 3.25. Hal ini menunjukkan model WRF- ARW termasuk sangat overforecast dalam membuat prediksi hujan. Nilai FAR yang paling tinggi adalah 0.69 yaitu di Onan Runggu dan Kampung Mesjid. Nilai ini menunjukkan bahwa tingkat kesalahan model dalam melakukan prediksi hujan paling tinggi terjadi di Onan Runggu dan Kampung Mesjid.

(10)

Wilayah lainnya yang menujukkan hasil yang cukup baik, antara lain Parapat, Sibolga, Sampali, Belawan, Lubuk Besar, Bantun Kerbo, Pancur Batu, Tanjung Langkat, dan Mompang.

Wilayah-wilayah tersebut memiliki nilai Hit Rate dan TS di atas 0.5 yang menunjukkan tingkat akurasi model dalam membuat prediksi yang cukup baik. Nilai FAR pada umumnya di bawah 0.5 yang artinya tingkat kesalahan model dalam melakukan prediksi hujan tidak terlalu tinggi. Nilai Bias masih cukup tinggi yaitu berkisar antara 1.7 hingga 1.8 yang berarti model WRF-ARW over-forecast dalam membuat prediksi hujan.

4. KESIMPULAN

Hasil analisis hasil perbandingan antara prediksi model WRF-ARW dan observasi terhadap kejadian hujan menunjukkan bahwa verifikasi setiap wilayah penelitian di Sumatera Utara menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Hasil yang paling baik adalah Gunung Sitoli dengan nilai Hit Rate dan TS 0.59 yang menunjukkan tingkat akurasi model dalam membuat prediksi cukup baik, nilai FAR 0.413 yang menunjukkan tingkat kesalahan model dalam membuat prediksi paling rendah dibandingkan dengan wilayah yang lain, namun nilai Bias 1.705 yang menunjukkan model termasuk over-forecast dalam membuat prediksi hujan. Wilayah lain dengan hasil cukup baik adalah Parapat, Sibolga, Sampali, Belawan, Lubuk Besar, Bantun Kerbo, Pancur Batu, Tanjung Langkat, dan Mompang dengan nilai Hit Rate dan TS di atas 0.5, FAR di bawah 0.5, dan Bias berkisar antara 1.7 hingga 1.8. Dalam membuat prediksi intensitas curah hujan, pada keseluruhan wilayah penelitian terlihat hasil prediksi model WRF secara umum lebih tinggi dibandingkan hasil observasi.

Dalam penelitian ini hanya menggunakan satu skema saja yaitu skema default, oleh karena itu pada penelitian selanjutnya diharapkan melakukan parameterisasi untuk mengetahui skema yang paling cocok digunakan di wilayah Sumatera Utara. Selain itu juga diharapkan untuk melakukan analisis fisis terkait daerah dengan hasil verifikasi terbaik, yaitu daerah Gunung Sitoli.

REFERENSI

[1] I. J. A. J. A. Saragih, A. W. Putra, I. R. Nugraheni, N. Rinaldy, dan B. W. Yonas, “Identification of the Sea-Land Breeze Event and Influence to the Convective Activities on the Coast of Deli Serdang,” IOP Conf. Ser. Earth Environ. Sci., vol. 98, no. 1, 2017, doi: 10.1088/1755- 1315/98/1/012003.

[2] B. H. Tjasyono dan S. W. B. Harijono, Atmosfer Ekuatorial. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG, 2014.

[3] B. H. Tjasyono, Meteorologi Indonesia Volume I, IV., vol. I. Jakarta: BMKG, 2012.

[4] T. W. Hadi, I. D. G. A. Junnaedhi, L. I. Satrya, M. Santriyani, M. P. Anugrah, dan D. T.

Octarina, Pelatihan Model WRF (Weather Research and Forecasting). Bandung: Laboratorium Analisis Meteorologi FITB-ITB, 2011.

[5] R. Ridwan dan M. Kudsy, “Parameterisasi Model Cuaca Wrf-Arw untuk Mendukung Kegiatan Teknologi Modifikasi Cuaca (Tmc) di Sumatera, Sulawesi, dan Jawa,” J. Sains Teknol. Modif.

Cuaca, vol. 12, no. 1, hal. 1–8, 2011.

[6] J. Done, C. A. Davis, dan M. Weisman, “The next generation of NWP: Explicit forecasts of convection using the weather research and forecasting (WRF) model,” Atmos. Sci. Lett., vol. 5, no. 6, hal. 110–117, 2004, doi: 10.1002/asl.72.

[7] W. C. Skamarock, J. B. Klemp, dan J. Dudhia, “Prototypes for the WRF (Weather Research and Forecasting) Model,” Natl. Cent. Atmos. Res., 2014.

[8] J. G. Powers dkk., “The weather research and forecasting model: Overview, system efforts, and future directions,” Bull. Am. Meteorol. Soc., vol. 98, no. 8, hal. 1717–1737, 2017, doi:

10.1175/BAMS-D-15-00308.1.

[9] D. S. Wilks, Statistical methods in the atmospheric sciences, second edition, vol. 14, no. 2. 2007.

[10] S. Y. Hong, J. Dudhia, dan S. H. Chen, “A revised approach to ice microphysical processes for the bulk parameterization of clouds and precipitation,” Mon. Weather Rev., vol. 132, no. 1, 2004, doi: 10.1175/1520-0493(2004)132<0103:ARATIM>2.0.CO;2.

[11] J. S. Kain dan J. M. Fritsch, “Convective Parameterization for Mesoscale Models: The Kain- Fritsch Scheme,” Meteorol. Monogr., vol. 24, no. 46, hal. 165–170, 1993, doi: 10.1007/978-1- 935704-13-3_16.

(11)

[12] J. S. Kain, “The Kain–Fritsch Convective Parameterization: An Update,” J. Appl. Meteorol., vol. 43, hal. 170–181, 2004.

[13] I. Gustari, T. W. Hadi, S. Hadi, dan F. Renggono, “Akurasi prediksi curah hujan harian operasional di Jabodetabek: Perbandingan dengan model WRF,” J. Meteorol. dan Geofis., vol.

13, no. 2, hal. 119–130, 2012, doi: 10.31172/jmg.v13i2.126.

[14] A. W. Lestanto dan J. A. I. Paski, “UJI PERFORMA WRF DENGAN DATA ASIMILASI RADAR, SATELIT DAN SYNOP UNTUK PREDIKSI HUJAN DI JAKARTA,” J. Sains Teknol. Modif. Cuaca, vol. 19, no. 1, 2018, doi: 10.29122/jstmc.v19i1.2818.

Referensi

Dokumen terkait

Jika siswa yang mempunyai secara bersama-sama kekuatan lengan dan koordinasi mata tangan, maka akan dapat melakukan pukulan servis lob dalam permainan bulutangkis

Pukulan lob merupakan pukulan yang sangat sering dilakukan oleh setiap pemain bulutangkis. Pukulan lob sangat penting untuk mengendalikan permainan rangan atau untuk membenahi

Di pihak lain, pendidikan jasmani mengandung elemen baik dari bermain maupun dari olahraga, tetapi tidak berarti hanya salah satu saja, atau tidak juga harus selalu seimbang di

PENGARUH RESIKO AUDIT, INDEPENDENSI, PERTIMBANGAN TINGKAT MATERIALITAS DAN KOMPETENSI TERHADAP KEPUTUSAN AUDITOR DALAM MENERIMA PENUGASAN AUDITv. (STUDI EMPIRIS PADA KAP

Perlakuan pupuk organik tithonia 20 ton/ha dengan pupuk urea 300 kg/ha menghasilkan tinggi tanaman dan luas daun bibit kelapa sawit bibit kelapa sawit terbaik

Kriteria eksklusinya laki-laki dan perempuan yang tidak mengalami gangguan jiwa dan tidak mengalami penyakit kronis (tidak mengkonsumsi obat-obatan selama 6 bulan

Perubahan fokus pekerjaan pada galangan harus melihat kondisi pasar dan fasilitas yang ada di galangan, untuk menjadi galangan khusus reparasi PT DPS mengambil pasar reparasi

 Merancang paket program pembelajaran IPBA dengan perangkat Merancang paket program pembelajaran IPBA dengan perangkat yang telah dibuat pada tahap pertama.. Paket program ini akan