• Tidak ada hasil yang ditemukan

babad manik angkeran

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "babad manik angkeran"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BABAD MANIK ANGK ERAN

Sebagai pendahuluan ceritera, tersebutlah di kawasan Jawa, ada pendeta maha sakti bernama Danghyang Bajrasatwa. Ada putranya Iakilaki seorang bernama Danghyang Tanuhun atau Mpu Lampita, beliau memang pendeta Budha, memiliki kepandaian luar biasa serta bijaksana dan mahasakti seperti ayahnya Danghyang Bajrasatwa. Ida Danghyang Tanuhun berputra lima orang, dikenal dengan sebutan Panca Tirtha. Beliau Sang Panca Tirtha sangat terkenal keutamaan beliau semuanya.

Beliau yang sulung bernama Mpu Gnijaya. Beliau membuat pasraman di Gunung Lempuyang Madya, Bali Timur, datang di Bali pada tahun Isaka 971 atau tahun Masehi 1049. Beliaulah yang menurunkan Sang Sapta Resi – tujuh pendeta yang kemudian menurunkan keluarga besar Pasek di Bali. Adik beliau bernama Mpu Semeru, membangun pasraman di Besakih, turun ke Bali tahun Isaka 921, tahun Masehi 999. Beliau mengangkat putra yakni Mpu Kamareka atau Mpu Dryakah yang kemudian menurunkan keluarga Pasek Kayuselem. Yang nomor tiga bernama Mpu Ghana, membangun pasraman di Dasar Gelgel, Klungkung datang di Bali pada tahun Isaka 922 atau tahun Masehi 1000. Yang nomor empat, bernama Ida Empu Kuturan atau Mpu Rajakretha, datang di Bali tahun Isaka 923 atau tahun Masehi 1001, membangun pasraman di Silayukti, Teluk Padang atau Padangbai, Karangasem. Nomor lima bernama Ida Mpu Bharadah atau Mpu Pradah, menjadi pendeta kerajaan Prabu Airlangga di Kediri, Daha, Jawa Timur, berdiam di Lemah Tulis, Pajarakan, sekitar tahun Masehi 1000.

(2)

tata cara membangun bangunan di Bali. Tercantum dalam lempengan prasasti seperti ini.

“Ida sane ngawentenang pawarah – warah silakramaning bwana rwa nista madhya utama. lwirnya ngawangun kahyangan, mahayu palinggih Bhatara – Bhatari ring Bali lwirnya Puseh desa Walyagung Ulunswi Dalem sopana hana tata krama maring Bali, ayun sapara Bhatara lumingga maring Sad Kahyangan, neher sira umike sila krama” yang artinya: Beliau Mpu Kuturan yang mengadakan aturan tentang tatacara di dunia ini yang berhubungan dengan mikro dan makrokosmos dalam tingkat nista madya utama (sederhana, menengah dan utama), seperti membangun pura kahyangan, menyelenggarakan upacara sthana Bhatara-bhatari di Bali. Seperti Pura Puseh Desa, Baleagung, Ulunswi, Dalem, dan karena ada tata cara di Bali seperti itu berkenanlah para Bhatara bersthana di Sad Kahyangan, karena beliau yang mengadakan tata aturan tersebut.

Adiknya bernama Danghyang Mpu Bharadah mempunyai putra Iaki-laki dan keutamaan yoga beliau bernama Mpu Bahula. Bahula berarti utama. Kepandaian dan kesaktian beliau di dunia sama dengan ayahandanya Mpu Bharadah. Beliau memperistri putri dari Rangdeng Jirah – janda di Jirah atau Girah yang bernama Ni Dyah Ratna Manggali. Kisah ini terkenal dalam ceritera Calonarang. Beliau Empu Bahula berputra Iaki bernama Mpu Tantular, yang sangat pandai di dalam berbagai ilmu filsafat. Tidak ada menyamai dalam soal kependetaan, sama keutamaannya dengan Mpu Bahula, ayahandanya. Mpu Tantular adalah yang dikenal sebagai penyusun Kakawin Sutasoma di mana di dalamnya tercantum “Bhinneka Tunggal lka” yang menjadi semboyan negara Indonesia. Beliau juga bergelar Danghyang Angsokanata. Keberadaan beliau di Bali diperkirakan sejaman dengan pemerintahan raja Bali, Sri Haji Wungsu pada tahun Masehi 1049.

Ida Mpu Tantular atau Danghyang Angsokanata, berputra empat orang semuanya Iaki-laki. Yang sulung bernama Mpu Danghyang Panawasikan. Yang nomor dua bergelar Mpu Bekung atau Danghyang Siddhimantra. Yang nomor tiga bernama Mpu Danghyang Smaranatha. Yang terkecil bernama Mpu Danghyang Soma Kapakisan.

(3)

Brahma wibawa serta kesaktian beliau. Ida Danghyang Asmaranatha bagaikan Dewa Manobawa yang menjelma, terkenal kebijaksanaan dan kesaktian beliau, serta Danghyang Soma Kapakisan, yang menjadi guru dari Mahapatih Gajahmada di Majapahit, bagaikan Dewa Wisnu menjelma, pendeta yang pandai dan bijaksana. Ida Danghyang Panawasikan memiliki putri seorang, demikian cantiknya, diperistri oleh Danghyang Nirartha.

Ida Danghyang Smaranatha, memiliki dua orang putra, yang sulung bernama Danghyang Angsoka, berdiam di Jawa melaksanakan paham Budha. Adik beliau bernama Danghyang Nirartha, atau Danghyang Dwijendra, Peranda Sakti Wawu Rawuh dan dikenal juga dengan sebutan Tuan Semeru. Beliau melaksanakan paham Siwa, serta menurunkan keluarga besar Brahmana Siwa di Bali yakni, Ida Kemenuh, Ida Manuaba, Ida Keniten, Ida Mas serta Ida Patapan. Danghyang Angsoka sendiri berputra Danghyang Astapaka, yang membangun pasraman di Taman Sari, yang kemudian menurunkan Brahmana Budha di Pulau Bali.

(4)

Belentong di Pacung, Arya Sentong di Carangsari, Kriyan Punta di Mambal, Arya Jerudeh di Tamukti , Arya Sura Wang Bang asal Lasem di Sukahet, Arya Wang Bang asal Mataram tidak berdiam di mana-mana. Arya Melel Cengkrong di Jembrana, Arya Pamacekan di Bondalem, Sang Tri Wesya: Si Tan Kober di Pacung, Si Tan Kawur di Abiansemal dan Si Tan Mundur di Cegahan Demikian dikatakan di Babad Dalem.

IDA DANGHYANG SIDDHIMANTRA BERPUTRA IDA BANG MANIK ANGKERAN

Diceriterakan kembali putra Ida Danghyang Angsokanata atau Danghyang Mpu Tantular yang nomor dua yakni Ida Mpu Bekung atau Danghyang Siddhimantra Beliau bernama Mpu Bekung karena beliau tidak bisa mempunyai putra. Kemudian beliau bergelar Danghyang Siddhimantra disebabkan memang beliau pendeta atau Bhujangga yang sakti serta bijaksana. Beliau menjadi sesuhunan sakti Bhujangga luwih (Junjungan sakti, pendeta yang bijaksana) di kawasan Bali ini tatkala itu. Perihal gelar Ida Mpu Bekung menjadi Danghyang Siddhimantra, akan diceriterakan di bawah ini

Diceriterakan, Ida Mpu Bekung berkeinginan untuk memiliki putra yang akan menjadi penerusnya kelak. Karena itu beliau melaksanakan upacara homa, memuja Sanghyang Brahmakunda Wijaya.

Karena kesaktian beliau, dan karena permohonannya itu, beliau dianugerahi manik besar yang keluar dari api homa tersebut. Kemudian nampak keluar bayi dari tengah-tengah api pahoman itu. Anak itu kemudian diberi nama Ida Bang Manik Angkeran. Artinya: Bang dari merah warna api itu. Manik dari manik mutu manikam yang menjadi anugerah, dan Angkeran dari keangkeran pemujaan sang pendeta yang demikian makbulnya. Demikian asal mulanya Ida Mpu Bekung memiliki putera.

Setelah beliau memiliki putera, sangat sukacita beliau Mpu Bekung, diperhatikan dan dimanjakan betul putera beliau. Setiap yang diinginkan putranya dipenuhi.

(5)

berada di tempat perjudian semata. Di mana saja ada perjudian, di sana Ida Bang Manik Angkeran bermalam. Diceriterakan perjalanan beliau berjudi tidak pernah menang. Selalu kalah saja.

Hingga habis milik ayahnya dipergunakan untuk berjudi. Yang membuat Mpu Bekung duka cita tiada lain karena putranya tidak pernah pulang ke Griya. itu menyebabkan resah gelisah perasaan beliau, seraya pergi mencari putra beliau Ida Bang Manik Angkeran ke desa-desa. Setiap ada orang yang dijumpai di tengah jalan, ditanyai oleh beliau apakah ada menemui putra beliau yang bernama Ida Bang Manik Angkeran. Namun semuanya mengatakan tidak pernah mengetahui dan menemuinya.

Diceriterakan, konon, sudah lama beliau mengembara mencari putra beliau itu tidak juga dijumpai, sampai akhirnya tiba di kawasan Tohlangkir pengembaraan beliau Setibanya di Tohlangkir – Gunung Agung, di sana beliau baru merasa lesu lelah kemudian duduk seraya bersamadi menyatukan pikiran beliau, memuja Dewa seraya membunyikan genta beliau yang bernama Ki Brahmara .

Karena keutamaan puja mantra beliau diiringi dengan suara genta beliau Ki Brahmara yang demikian menakjubkan, menjadi heboh keluar Ida Sanghyang Basukih, seraya berkata: “Ah Mpu Bekung yang datang, apa keinginan Mpu, memuja saya ? Segera katakan. agar saya menjadi tahu !”.

Berkatalah Ida Mpu Bekung: “Singgih paduka Sanghyang, hamba memiliki anak seorang tidak pernah sama sekali pulang, sejak lama hamba mencarinya, namun belum juga ketemu. Maksud hamba agar dengan senang hati pukulun Sanghyang memberitahu keadaan sebenarnya, apakah dia masih hidup, atau apakah dia sudah .mati. Kalau misalnya dia masih hidup agar supaya pukulun Sanghyang sudi memberi tahu, di mana dia berada”.

(6)

Demikian wacana Ida Bhatara Nagaraja, seraya meminta Ida Mpu Bekung agar pulang ke rumahnya .

Singkat ceritera. pulanglah Ida Mpu memohon diri dari Tohlangkir. Tidak diceriterakan perjalanan beliau, maka sampailah beliau kembali di rumahnya di Griya Daha, dan dilihatnya sang putera telah berada di rumah. ltu sebabnya sangat sukacita beliau Mpu Bekung, seraya berkata: “Duh, putraku Sang Bang, dengarkanlah apa yang ayah katakan sekarang. Jangan lagi ananda mengulangi perbuatan yang sudah – sudah. Ayah tidak sama sekali melarang ananda untuk bermain judi, namun agar ananda ingat juga dengan rumah Ananda. Payah Ayah mencari ananda keluar masuk desa-desa”.

Kemudian berkatalah putranya: “Singgih palungguh Mpu, ayahandaku, janganlah sekali-kali palungguh Mpu marah serta duka ananda sudah menginjak dewasa sejak dahulu, ananda tidak pernah sama sekali berani ingkar, karena ananda ingin sekali dengan keberadaan diri sebagai seorang putra Brahmana”. Demikian kata putranya Sang Bang Manik Angkeran.

Setelah usai Ida Mpu Bekung memberikan nasihat kepada putranya, ingat beliau kepada permintaan Ida Bhatara Naga Basukih yang menginginkan susu lembu.

Pada hari yang baik. lengkap dengan gentanya, beliau melakukan perjalanan menuju Tohlangkir. Sesampainya di Tohlangkir, kemudian beliau mempersiapkan diri dan melakukan yoga semadi memuja Ida Sanghyang Nagaraja seraya membunyikan genta beliau. Karena kemakbulan weda mantra beliau memuja Ida Sanghyang Naga raja, segera Ida Bhatara keluar seraya bersabda: “Ah, Mpu Bekung yang datang.

Apa keinginan sang Mpu datang lagi?”.

(7)

Setelah beliau kenyang meminum susu lembu itu, seraya berbalik, beliau mengeluarkan emas, saat itu diminta Ida Mpu Bekung agar mengambil emas itu.

Singkat ceritera, setelah beliau mengambil emas itu yang kemudian dibungkus sebesar kelapa besarnya, lalu beliau memohon diri kepada Ida Sanghyang Basukih Tidak diceriterakan perjalanan Ida Mpu Bekung, akhirnya tiba jugalah beliau di Griya Daha seraya membawa emas. Diketahui emas itu oleh putranya. Ida Bang Manik Angkeran yang gencar bertanya, meminta kepada ayahandanya agar diberi tahu di mana memperoleh emas itu

Ida Mpu Bekung sangat merahasiakan perihal kepergian beliau mendapat emas itu. Putra beliau tetap saja gencar mencari tahu. Lalu Ida Mpu berkata kepada putranya. “Aduh ananda, jangan hendaknya ananda gencar bertanya seperti itu akan perihal ayah mendapat emas ini. Kalau ada keinginan ananda untuk mengambil, Ayahanda berikan”. Walaupun demikian kasih sayang beliau kepada putranya, tetap saja Sang Bang memohon kepada ayahandanya untuk diberi tahu di mana memperoleh emas itu Karena tidak sampai hati dan rasa kasih sayang yang amat sangat, lalu Ida Mpu memberitahukan perihal beliau mendapatkan harta itu.

Karena sekarang sudah memiliki emas, maka pergilah Ida Bang Manik Angkeran bermain judi. Mungkin memang sudah menjadi kehendak Yang Maha Kuasa, sehari-harinya beliau selalu kalah berjudi. Akhirnya tidak sampai satu bulan habislah sudah emas yang diberikan ayahandanya dijual, dipakai modal di tempat perjudian.

Karena keadaannya demikian, lalu beliau berpikir keras, dan kemudian Ingat beliau pada perjalanan ayahandanya mendapatkan emas itu, yang merupakan anugerah dari Bhatara di Tohlangkir. Segera beliau pulang, tetapi secara sembunyi – sembunyi agar tidak diketahui ayahandanya, beliau bertolak menuju Tohlangkir seraya membawa susu lembu, serta genta milik ayahandanya, Ki Brahmara.

(8)

Rupanya pemujaan beliau yang khusuk, serta diiringi dengan bunyi genta yang Utama itu, membuat geger, keluar Bhatara Naga Basukih dari gua itu seraya berkata “Ah siapa anda ini datang, segera katakan !”.

Segera Ida Bang Manik Angkeran menyembah: “Singgih paduka Sanghyang, hamba bernama Sang Bang Manik Angkeran. Hamba mengikuti jalan Ayahanda hamba, menghaturkan sarinya susu lembu ke hadapan paduka Sanghyang. “Demikian hatur beliau. Karena demikian, sangat sukacitalah perasaan Ida Bhatara Basukih. Lalu diminumlah susu itu, setelah berganti rupa menjadi ular naga besar berwibawa, seraya meminum susu itu. Seusai meminum susu itu, bersabdalah beliau kepada Ida Bang Manik Angkeran: “lh, Sang Bang, sekarang apa yang kamu inginkan, apapun yang ananda minta akan kuberikan .”

Berkatalah Ida Bang Manik Angkeran: “Singgih paduka Bhatara, hamba bermaksud untuk memohon modal, nista sekali hamba berjudi, selalu kalah setiap hari “.

Saat itu Ida Bhatara Basukih mengambil emas, bagaikan sebutir kelapa besarnya. diberikan kepada Ida Bang Manik Angkeran, seraya bersabda: “Ambillah emas ini, segera ananda pulang, poma, poma”. Lalu diambil emas itu, disertai sembah bakti sekaligus memohon pamit ke hadapan Ida Bhatara Nagaraja.

Singkat ceritera. tibalah Ida Bang Manik Angkeran kembali di rumah di Griya Daha, menyimpan genta saja, lalu beliau pergi lagi untuk bermain judi. Atas kehendak Hyang Widhi, tidak sampai satu bulan, habis juga modalnya, itu sebabnya kembali beliau mengelana, berhutang di perjudian tidak dapat, meminjam tidak diberi. Karena itu, lalu beliau mengambil lagi genta milik ayahandanya, seraya mencari sarinya Susu lembu, dan menyengkelit pedang yang bernama Ki Gepang, lalu segera menuju Tohlangkir.

(9)

Karena kewibawaan Ida Bhatara Basukih demikian mempesona dan menggetarkan perasaan, menjadi tak enak perasaan Ida Sang Bang, lalu mengatakan tidak memohon apa-apa. Karena demikian kata Ida Sang Bang, lalu Ida Bhatara berganti rupa kembali menjadi ular naga yang besar, seraya meminum susu lembu tersebut Setelah menyantap susu lembu itu, Ida Bhatara kembali ke gua . Karena beliau berbadan panjang, ketika bagian kepala beliau sudah tiba di tempat peraduan, maka bagian ekor beliau masih berada di luar gua. Dilihat oleh Ida Bang Manik Angkeran ekor Ida Bhatara menyala karena di tempat itu terdapat intan besar bagai ratna mutu manikam beralaskan emas dan mirah yang menyala gemerlapan.

Ketika itulah muncul rasa angkara loba Ida Bang Manik Angkeran, disusupi oleh niat tamak untuk memiliki permata itu. Lalu beliau menghunus pedang Ki Gepang yang dibawanya segera memenggal ekor Ida Sanghyang Nagaraja, sehingga terputus mata intan yang ada di bagian ekor yang segera diambil dan dilarikan oleh Ida Manik Angkeran.

Karena demikian tingkah Sang Bang Manik Angkeran, tak terkira murka Ida Bhatara Nagaraja, sebab merasa ekor beliau terluka, lalu beliau kembali bergerak ke luar gua. Dilihat oleh beliau busana beliau dilarikan oleh Ida Bang Manik Angkeran.

Segera beliau menyemburkan api, yang mengikuti arah perjalanan Ida Bang Manik Angkeran yang kemudian terbakar habis menjadi abu. Tempat itu belakangan bernama Cemara Geseng dan menjadi lokasi Pura Manik Mas Besakih. Sementara itu permata milik Ida Bang Manik Angkeran ditempatkan sebagai pusaka junjungan di Pura Dalem Lagaan, Bebalang, Bangli.

Diceriterakan Ida Mpu Bekung gundah perasaan beliau, karena putranya tidak pernah pulang ke rumah. Desa-desa diselusuri mencari putranya, namun tiada juga ditemukan. Segera beliau mengheningkan cipta. Karena kesaktian beliau, terlihat oleh beliau putranya sudah menjadi abu. Segera beliau pergi menuju Bali, Besakih yang ditujunya, berkehendak mengikuti

(10)

sana beliau kemudian menumpahkan rasa duka-citanya, seraya berpikir-pikir, jelas meninggalnya Ida Bang Manik Angkeran disebabkan perbuatannya yang tak terpuji, disembur api oleh Ida Sanghyang Nagaraja. Kemudian diambilnya genta Ki

Brahmara yang sakti itu.

Karena sudah jelas diketahui, maka beliau kemudian melanjutkan perjalanan berkehendak untuk menghadap Ida Sanghyang Basukih. Setibanya di depan gua, seperti sebelumnya, beliau kemudian duduk melakukan pemujaan utama memohon ke hadapan Ida Sanghyang Basukih.

Lama sudah beliau melakukan pemujaan. Lama beliau menunggu, tidak juga keluar Ida Sanghyang Basukih, disebabkan demikian besar amarahnya, ingat diperdaya oleh suara genta.

ltu sebabnya beliau Mpu Bekung melanjutkan lagi pujastutinya dengan mengujarkan Asta Puja, Basukih Stawa dan Utpeti, Stiti Mantra diiringi dengan suara genta beliau. Karenanya, barulah Ida Bhatara keluar dan dilihatnya Ida Mpu ada di sana yang kemudian merangkul, seraya menghaturkan sembah panganjali agar Ida Bhatara memberikan anugrah dan berkata: “Om paduka Bhatara, ampunilah anak hamba. Tahu betul hamba akan perbuatan anakku yang demikian tak berbudi dan tak terpuji. Bila mana berkenan, sudilah Bhatara menceriterakan perbuatan anak hamba itu . Lama Ida Bhatara berdiam diri. Mukanya cemberut, menunjukkan kekesalan perasaannya yang tak terhingga. Namun, karena Ida Sang Mpu sudah memohon maaf dengan tulus dan suci, maka Ida Bhatara berkata perlahan. Menceriterakan segala perbuatan yang dilakukan Ida Sang Bang Manik Angkeran yang mengatakan diutus oleh Sang Mpu untuk menghaturkan susu lembu, sampai akhirnya dihanguskan menjadi abu oleh beliau.

(11)

nanti hidup kembali, hamba akan menyerahkan dirinya kepada paduka Bhatara, agar menghamba di sini sampai kelak kemudian hari”.

Mendengar hatur Ida Sang Mpu Bekung sedemikian itu, merasa sedikit malu Ida Bhatara seraya bersabda: “Ah, Sang Mpu, bila demikian permintaanmu, aku dengan suka rela menghidupkan anakmu, namun agar sudi kiranya Sang Mpu menyambung kembali ekorku”.

Lalu menyembah Mpu Bekung: “Singgih paduka Sanghyang, bila demikian keinginan paduka hamba bersedia untuk menyambung kembali ekor paduka Bhatara: Namun, sebelumnya, maafkanlah hamba berani berhatur sembah bila mana paduka Bhatara berkenan, permata intan yang sebelumnya berada di ekor paduka, sebaiknya ditempatkan saja di bagian mahkota paduka Bhatara, karena akan nampak sangat maha utama, dan pula mereka yang jahat tidak akan tergoda untuk ingin memilikinya Dan juga bila mana masih di bagian ekor, di samping terlihat nista, juga membuat paduka Bhatara tidak bisa terbang karena keberatan di bagian ekor”.

Demikian sukacita perasaan Ida Sanghyang Nagaraja tatkala mendengar hatur Ida Mpu Bekung. Setelah usai bertemu wirasa, lalu Sang Mpu melaksanakan yoga samadhi menghaturkan puja mantra, menyatukan batin beliau memuja Ida Bhagawan Wiswakarma sebagai Dewanya sangging dan undagi (pekerja khusus bangunan tradisional) di Surga.

Seusai sempurna pujastuti serta permohonan beliau, segera beliau membuat gelung mahkota, dengan hiasan candi kurung, garuda mungkur, dengan anting anting, bergundala dan memakai sekar taji. Demikian indahnya memang kalau dilihat.

Singkat ceritera, selesai sudah gelung agung itu, kemudian dipakai oleh Ida Bhatara. Memang, demikian menakjubkan. Nampak semakin mempesona prabawa Ida Bhatara, dan juga beliau sekarang bisa terbang. Demikian sukacita hati Ida Bhatara Nagaraja.

(12)

ketika sadar, beliau cepat lari. Tempat itu kemudian bernama Pura Bangun Sakti.

Segera Ida Sang Bang diikuti oleh ayahandanya, kemudian dipegang dan diajak untuk menghadap Ida Bhatara Hyang Basukih. Sesuai perjanjian, maka Ida Sang Bang Manik Angkeran dihaturkan kepada Ida Bhatara untuk mengabdi di Basukih sampai kelak di kemudian hari.

Demikian suka citanya beliau berdua, karena semuanya sudah berhasil, disebabkan kesaktian beliau masing-masing. Ida Sang Nagaraja sudah menghidupkan kembali Ida Sang Bang Manik Angkeran. Juga Ida Mpu Bekung demikian saktinya bisa menyambung kembali ekor Ida Bhatara Nagaraja. Ida Mpu Bekung kemudian menghaturkan sembah terimakasih kepada Ida Sanghyang Basukih. Ida Sanghyang Basukih kemudian bersabda: “Duh, Mpu Bekung, memang demikian saktinya anda ini. Pantas anda bergelar Siddhimantra. demikian sakti dan makbulnya japa – mantra anda. Sejak sekarang, tidak lagi Mpu Bekung nama anda, namun Danghyang Siddhimantra nama anda sang pandita. Silakan, pulanglah sahabat karibku, semoga Dirgahayu, panjang usia anda !” lalu Ida Sanghyang Nagaraja terbang menuju Surga Loka. Sejak saat itu Ida Mpu Bekung bergelar Danghyang Siddhimantra.

(13)

perihal perasaan ayahanda dan kasih sayang ayahanda kepada ananda, tidak pernah kurang sejak dahulu sampai kapanpun. Ada petuah ayahanda ini yang sangat Penting, agar diteruskan dharma bakti ananda ke hadapan Ida Bhatara di sini di Tohlangkir, Besakih. Jangan sampai menurun, sebab kalau demikian, menjadi ingkar ayahanda dengan janji ayahanda, sangat nista disebut orang. Kemudian ada lagi nasehat ayahanda, sebab ananda sudah pernah pralina atau wafat menjadi abu kemudian disucikan menjadi hidup kembali, hidup untuk keduakalinya, berdwijati namanya, sekarang ananda berwenang menjadi pendeta, agar ananda senantiasa menyelenggarakan, mengatur dan memimpin penyelenggaraan segenap upakara dan upacara di sini di Besakih. Juga agar ananda mengatur semua masyarakat umat di seluruh Bali, agar semakin meningkat bhakti dan sradha imannya, kepada Ida Bhatara serta kepada sthana Ida Bhatara semuanya”.

Ida Sang Bang Manik Angkeran mengiakan semua yang disampaikan oleh ayahandanya. Di samping petuah tersebut, Ida Sang Bang juga diberikan pengetahuan suci yang memberikan wewenang Ida Sang Bang untuk mengucapkan weda mantra, menyelesaikan upacara, di samping diberikan pengetahuan kerohanian daya kebathinan yang tinggi.

Seusai Ida Sang Bang Manik Angkeran mendapat pengetahuan suci dan kerohanian, beliau ditinggalkan oleh ayahandanya yang kemudian melakukan perjalanan pulang kembali ke Jawa.

(14)

dinamakan dengan Segara Rupek. Tidak terhingga sukacita Dang Hyang Siddhimantra. karena yakin putranya tidak akan bisa kembali lagi ke Jawa. Lalu beliau kembali pulang ke Griya Daha di Jawa.

IDA BANG MANIK ANGKERAN BERJUMPA DUKUH SAKTI BELATUNG

Kembali diceriterakan keberadaan Ida Bang Manik Angkeran di Besakih. Beliau membuat pasraman di sebelah Utara gua, sekitar 300 depa jaraknya dari Gua itu. pekerjaan beliau sehari-hari melaksanakan tapa brata yoga samadhi, serta menjaga kebersihan dan kesucian kawasan Pura Besakih. Tak sekalipun beliau lalai. Perilaku beliau berbeda benar jika dibandingkan dengan sebelum beliau wafat dibakar oleh Ida Bhatara Nagaraja. Beliau melaksanakan Kadharmaan, mengikuti ajaran dan perilaku seorang pendeta pura yang suci. Setiap hari beliau menggelar Surya Sewana, memuja Sanghyang Parama Wisesa.

Suatu ketika tatkala hari sukla paksa pananggalan menjelang purnama, beliau bermaksud untuk membersihkan diri dengan mandi di Toya Sah, Besakih. Setelah membersihkan diri, berkeinginan beliau berjalan-jalan meninjau kawasan Besakih. Lalu terlihat oleh beliau seorang Iaki-laki tua sedang bekerja di ladang, membersihkan padi gaga, membersihkan rumput dan menyiangi. Orang tua itu bernama Ki Dukuh Belatung yang demikian saktinya, namun tindak-tanduknya bagaikan anak kecil senang dipuji serta senang pamer. Baru dilihat seseorang datang ke tempat beliau dan menyaksikan beliau bekerja, keluarlah keisengannya untuk pamer, sengaja berhenti bekerja kemudian menaruh alat siangnya dan melompat duduk di atas alat itu seraya mengambil sirih dan melumatkan sirih itu di atas alat siang tadi.

Pikir Ki Dukuh ingin supaya yang baru datang menjadi kagum. Namun Sang Bang Manik Angkeran malahan menjadi sangat jengkel melihat aksi pamer Ki Dukuh, karena jelas maksudnya untuk mencoba diri beliau. Lalu, dihampirinya Ki Dukuh seraya berkata: “lh Bapak, kalau begini cara Bapak bekerja, sepertinya bermain-main, sebanyak apa yang bisa Bapak hasilkan?”.

(15)

Berkata Ida Bang Manik Angkeran: “Ah saya ini Sang Bang Manik Angkeran, putra beliau Mpu Bekung dari tanah Jawa. Namun saya ini sekarang menghamba kepada Ida Bhatara di Besakih, menjadi tukang sapu”.

Berkata lagi Ki Dukuh: “Tidak mengerti saya, kalau demikian halnya. Sebab janggal keberadaan sang brahmana seperti itu. Baru sekarang saya mendengar orang bekung (tak punya anak) memiliki putera. Dan lagi ada brahmana menjadi tukang sapu, kalau tidak anda ini brahmana hina”.

Sedikit marah Sang Bang berkata: “lh Bapak, jangan berbicara sembarangan! Ayah saya memang bekung, namun karena kesaktian beliau, berhasil beliau mengadakan putera. Saya ini memang benar putra seorang Mpu, bukan brahmana hina.

Serta saya berhak diperintah oleh Ida Bhatara, walaupun pekerjaan yang diperintahkan itu menyapu, itu juga pekerjaan utama, kalau sudah Ida Bhatara yang memerintahkan. Sekarang saya balik bertanya. Kakek ini siapa, serta dari golongan apa ?”

Ki Dukuh kemudian berkata: “Saya ini bernama Ki Dukuh Belatung, sebagai penua di desa Bukcabe, namun saya membuat tempat tinggal di sini”.

Berkata lagi Sang Bang, masih perasaannya jengkel: “lh Bapak Dukuh, saya bertanya lagi Itu ada sampah bertimbun akan Bapak bagaimanakan ? Tidak akan Bapak bersihkan ? “

“Akan saya bersihkan !”.

“Bagaimana cara Bapak membersihkan ?”

“Akan saya bakar !”

“Apa yang akan Bapak pakai membakar ?”

“Wah, ini benar-benar brahmana aneh”. Ki Dukuh menjawab agak marah, apa lagi dipakai membakar, kalau bukan api. Lalu kalau Ida Bagus apa yang dipakai membakar ?”.

(16)

sebenarnya. Kalau saya, melalui air kencing saya saja sampah ini akan terbakar tidak bersisa”

Tatkala didengarnya kata Ida Sang Bang demikian itu, menjadi terhenyak Dukuh, berdiam diri, seraya lama termenung, kemudian menghaturkan sembah “Singgih, Ratu Sang Bang, kalau benar seperti perkataan l Ratu, bisa membakar sampah ini dengan air kencing l Ratu, hamba akan menghaturkan diri, serta semua milik hamba beserta rakyat, serta pula anak hamba akan hamba serahkan semuanya kepada Cokor I Ratu”

Usai Sang Bang mendengar hatur Ki Dukuh, menjadi pulih kembali perasaan beliau. Lalu beliau berkata perlahan: “Nah, kalau benar seperti perkataan Bapak saya akan memperlihatkan bukti. Namun agar semuanya sanggup datang dan hadir serta disaksikan oleh Ida Sanghyang Triyodasa Saksi”.

“Jangan sekali-kali l Ratu ragu. Memang dari lubuk hati hamba yang ikhlas tidak akan ingkar dengan janji”. Demikian hatur Ki Dukuh.

“Nah, kalau begitu, ke sana Bapak pulang, beritahu sanak keluarga serta rakyat Bapak agar datang manakala saya memberikan bukti di hadapan Bapak”. Demikian perjanjian Ida Sang Bang Manik Angkeran.

Setelah selesai janji itu, Ki Dukuh lalu memberitahukan kepada anak, isteri serta keluarganya, perihal janjinya kepada Ida Bang Manik Angkeran, serta imbalan yang dimasukkan ke dalam janji itu sebagai taruhan. Yang mendengar semuanya sama-sama paham di dalam hatinya menjadi taruhan.

Tersebutlah pada hari yang telah disepakati, pagi – pagi hari Ida Sang Bang sudah membersihkan diri dengan mandi di Tirtha Mas, serta kemudian melakukan yoga samadhi memuja Sanghyang Agni agar memberikan anugrah. Setelah melakukan yoga dan samadhi, lalu beliau berjalan menuju tempat tinggal Ki Dukuh.

(17)

cipta-mamusti, menyatukan pikirannya, menegakkan keteguhan batin Iaksana Gunung Mahameru. Tidak berapa lama, matang sudah yoga beliau, seraya mengeluarkan air kencing di sampah itu. Dan sekejap air kencing itu menjadi api yang menyala-nyala, berkobar. Terbakar semua sampah kebun di tempat itu, hampir-hampir terbakar seluruh hutan di sana.

Keadaan itu dilihat oleh Ki Dukuh serta semua iringannya, sangat kagum mereka pada kesaktian Ida Sang Bang. Ki Dukuh merasa kalah, namun sekaligus merasa untung, karena merasa mendapatkan jalan baik untuk pulang ke Sorga Loka. Tatkala api itu berkobar. saat itu pula Ida Sang Bang Manik Angkeran membelokkan ujung api itu ke arah timur laut. Lalu beliau berkata kepada Ki Dukuh: “Bapak Dukuh, saya memberi bekal Bapak dengan ganten. Turuti asap itu ke arah timur laut”

Saat itu Ki Dukuh menemukan jalan baik seraya melihat ada Meru bertingkat 11 (sebelas). Ki Dukuh menuju api itu serta mengheningkan cipta dengan sikap angeranasika mengheningkan cipta dengan melihat hidung, lalu beliau melompat ke tengah-tengah api yang sedang memuncak kobarannya itu. Ki Dukuh naik moksa seiring dengan asap yang mengepul tinggi itu serta kemudian tidak nampak lagi. Keadaan itu diikuti oleh isteri Ki Dukuh yang memakai kerudung dan berkain putih, kemudian mamusti, selanjutnya melompat juga ke api, sebagai tanda setia bhakti kepada suami serta berkeinginan juga menemui jalan terbaik menuju Sorga. Beliau berdua pulang ke Nirwana, melalui Jalan ke Sorga Loka yang utama, serta Juga berdasarkan sasupatan – penyucian oleh Ida Bang Manik Angkeran, yang telah menjadi pendeta yang bijak. Sejak saat itu Ki Dukuh Sakti dikenal dengan gelar Dukuh Lepas atau Dukuh Sorga. Lama kelamaan tempat Ida Sang Bang Manik Angkeran bersengketa dengan Ki Dukuh Sakti itu dinamai Gumawang,

(18)

Setelah upacara selesai, lalu keduanya kembali ke Pasraman di Besakih. Sesampai di Tegehing Munduk-tempat ketinggian, Ni Luh Warsiki menoleh ke tempat bekas sampah dibakar, terhenyak beliau, lalu menangis, teringat akan ayah ibunya yang sudah berpulang. Beliau tidak mau melanjutkan perjalanan sebelum pulih perasaan beliau. Rakyat beliau kemudian membuatkan tempat beristirahat di sana. Lama kelamaan tempat itu dikenal dengan nama Munduk Jengis.

Diceriterakan kemudian rakyat semuanya sangat gembira pada perasaan mereka, disebabkan sekarang mereka memiliki pujaan yang tampan serta sakti, pintar, bijaksana serta dibya caksu, memiliki kesaktian bisa melihat kejadian tanpa hadir langsung.

Setelah lama beliau berdua bersuami isteri saling mencintai, saling mengasihi maka lahirlah seorang putra Iaki-laki, rupanya tampan serta memiliki prabawa yang agung dinamai Ida Wang Bang Banyak Wide.

IDA BANG MANIK ANGKERAN BERJUMPA DENGAN BIDADARI

Tidak terasa berapa tahun lamanya beliau bersuami-isteri, tatkala hari Purnama bulan ke sepuluh, Ida Sang Pendeta keluar dari pasraman, membawa tempat air serta seperangkat alat untuk mandi. Memang sudah menjadi kebiasaan beliau setiap hari baik atau pada hari Purnama-Tilem, selalu beliau bepergian ke Tirtha Pingit untuk mandi. Beliau berjalan naik perlahan sebab merasa senang beliau melihat segala bunga yang tumbuh di tepi jurang, serta pula di berbagai tempat di daerah Besakih. Banyak jenis bunganya serta beraneka rupa warnanya. Demikian senang perasaan Ida Sang Pendeta melihat keadaan seperti itu, sampai beliau menggumam bagaikan berbincang dengan bunga itu semua.

Setelah beliau memasuki hutan, terdengar oleh beliau suara burung semakin ramai saling bersahutan, Iaksana menyambut kedatangan Sang Pendeta. Beraneka macam memang suara burung itu. Semua itu menambah gembira hati sang pendeta. Tahu-tahu beliau sudah berada dekat dengan tempat Tirtha Pingit yang akan dituju.

(19)

wanita itu. Kemudian beliau merasa-rasa. Sepertinya beliau sudah pernah bertemu dengan wanita itu, namun tidak ingat lagi beliau, di mana, siapa gerangan wanita itu. Ingat lagi, kemudian lupa kembali. Tatkala itu, wanita itu juga diam menunduk, sepertinya acuh.

Setelah agak lama mengingat-ingat, juga tidak bisa beliau mengingat, maka didekatinya wanita itu, seraya menyampaikan pertanyaan: “Inggih, tuan puteri yang bijak, siapakah gerangan tuan puteri ini, Kok sendiri di tengah hutan begini. Dari mana tuan puteri, apakah tuan puteri benar manusia, apa Wong samar orang maya, ataukah Dewa ?”

Menjawab wanita itu: “Inggih Sang Pendeta, yang sangat bijaksana, hamba ini bukanlah manusia maya, dan juga bukan manusia”.

“Kalau demikian, sebenarnya tuan puteri Bidadari ?”. “Ya, benar sekali seperti yang Sang Pendeta katakan, hamba

memang bidadari dari Sorga”.

“Aduh, sudah hamba sangka, tentu tuan puteri adalah Bidadari, karena kagum benar hamba melihat kecantikan paras tuan puteri”.

“Inggih, memang demikian Sang Pendeta. Kalau wanita, kecantikannya yang menyebabkan orang itu kagum. Kalau Iaki-laki jelas kebijaksanaan dan keperwiraannya yang membuat orang kagum serta bertekuk lutut di kakinya”. Demikian kata Sang Bidadari.

Ketika mendengar perkataan Sang Bidadari sedemikian itu, seperti terkena sindiran Sang Pendeta. Seraya menyembunyikan rasa gugupnya, lalu beliau berkata: “Apa yang mungkin tuan puteri cari, datang ke sini di tengah hutan seorang diri ?” Menjawab Sang Bidadari: “Tidak ada yang hamba cari. Kedatangan hamba ke sini, hanya bersenang-senang”.

(20)

yang paling indah, yang bisa memberikan kesenangan pada perasaan hamba. Sebenarnya Sang Pendeta, bagaikan ditarik hati hamba, jadi berkeinginan hamba untuk datang ke mari, mungkin ada sesuatu hal yang sangat indah di sini”.

Lagi seperti dikenai sindiran, sampai Sang Pendeta menjadi makin gugup, lalu kemudian beliau berkata lagi: “Memang betul tuan puteri datang dari Sorga, sangat pintar dan bijak tuan puteri berkata, semakin menjadi kagum hamba kepada tuan puteri”.

“Janganlah berkata demikian Ratu Sang Pendeta. Terlalu banyak l Ratu memuji diri hamba. Sebenarnya sekali, hamba masih terlalu muda”. Demikian Sang Bidadari segera menjawab.

Setelah lama berbincang-bincang serta keduanya merasa di hati masing -masing sudah akrab serta bersemi lagi rasa cinta, lalu beliau Sang Pendeta memaksakan dirinya untuk berkata: “Duh Dewa Sang Bidadari, perkenankanlah hamba memohon maaf, kalau-kalau perkataan hamba tidak berkenan di hati, karena tidak bisa sama sekali hamba akan menghentikan perasaan hamba yang mungkin bisa dikatakan kurang baik, namun bisa juga disebut baik sekali”.

Lalu menjawab Sang Bidadari: “Silakan Sang Pendeta, apa yang akan tuan sampaikan. Hamba bersedia untuk mendengarnya. Jangan lagi Sang Pendeta merasa ragu dan khawatir”.

Berkata Sang Pendeta: “Duh, Dewa, terlebih dahulu hamba menghaturkan terimakasih yang sebesar-besarnya atas anugerah Tuan Puteri. Pendek kata hamba ingin mengatakan, jangan sekali Tuan Puteri marah, mudah-mudahan Tuan Putri berkenan. Ya, begini …. diri hamba akan hamba serahkan ke hadapan Tuan Putri Namun karena hamba belum bisa ikut ke Sorga Loka mengikuti Tuan Puteri, kalau berkenan, Tuan Puteri akan hamba ajak di sini di dunia, di kawasan Besakih ini, menghamba dan mengabdi kepada Ida Bhatara di sini”.

(21)

Sorga Loka. Lama dinda menunggu kedatangan kanda, tidak juga ada datang-datang. ltu sebabnya dinda sekarang turun ke dunia mengikuti jejak kakanda, agar bisa segera bertemu dengan kakanda, menyatukan tali asih yang sudah bersemi di Sorga Loka. Karena itu, kalau memang benar ada maksud kakanda akan bersatu dengan dinda, dinda tidak lagi berpanjang kata, dinda bersedia mendampingi kanda, walaupun di sini di dunia, semasih kakanda berada di sini”.

Setelah mendengar perkataan Sang Bidadari demikian itu, merasa gugup dan terhenyak perasaan Ida Sang Pendeta. Namun di lain pihak merasa gembira perasaan beliau, seraya berkata: “Duh, permata hati kanda, l Dewa, dindaku, barangkali memang betul sekali apa yang dinda katakan baru saja, kanda juga merasa-rasa dengan perihal itu. Namun terasa sangat samar hal itu. Sekali lagi kanda ingin menyampaikan terimakasih sebesar-besarnya, karena demikian besar kesetiaan dinda kepada kanda, sampai-sampai dinda mau turun ke dunia ini, meninggalkan semua keindahan yang ada di Sorgaloka. Ya, kalau demikian, kanda sanggup, agar kanda bisa bersama dengan dinda sampai kelak di kemudian hari, ke mana pergi dinda, kanda akan ikut. Namun demikian ada yang kanda ragukan dalam hati kanda, perihal keadaan dinda akan menetap di dunia ini bersama kanda, apakah tidak akan membuat ribut di Sorgaloka, ke sana kemari para Dewa mencari dinda. Itu yang sangat kanda khawatirkan di hati, agar tidak karena kanda yang menyebabkan dinda menemui kesulitan, apalagi dinda sudah demikian berkenan memberikan anugerah kepada kanda”.

Menjawab Sang Bidadari dengan senyum manis: “Ya kanda, memang sepantasnya kanda memikirkan keadaan dinda. Namun jangan kanda merasa khawatir. Sebab dinda sudah memohon pamit kepada Ida Bhatara serta keluarga dinda semuanya di Sorga, serta dinda sudah mendapatkan ijin dari Ida Bhatara. Memang benar dinda sedikit bersikeras memohon diri kepada Ida Bhatara, karena janji Ida Bhatara dahulu, konon kanda hanya sebentar saja diutus turun ke sini ke dunia.

(22)

sini, jadi hambalah yang dikalahkan. Kanda dikembalikan lagi ke dunia. Karena dinda tidak mau ditinggalkan oleh kanda sedemikian lama, jadi dinda menghadap Ida Bhatara, memohon agar dinda diperkenankan turun ke dunia ini, mengikuti perjalanan kanda. Mungkin permohonan dinda dianggap pantas, itu sebabnya dinda diberi ijin untuk mohon pamit serta diberikan wara nugraha untuk bisa turun seperti ini ke dunia, tidak lagi menjalani hal yang sudah lazim, yakni menjelma sejak bayi seperti kelahiran kanda dahulu. Sebab bila demikian perihalnya, jelas tidak bisa dinda bertemu dengan palungguh kanda, seperti sekarang”.

Memang demikian kagumnya beliau Sang Pendeta pada kadibyacaksuana wawasan Sang Bidadari, kemudian beliau bertanya kembali: “Jadi, kalau demikian halnya, semua perbuatan Kanda di dunia ini sudah dinda ketahui ?”

“Ya, semua dinda ketahui”.

Baru demikian Sang Bidadari berkata, menjadi merah muka Ida Pendeta akibat malunya. Hal itu diketahui oleh Sang Bidadari. Lalu, seraya tersenyum, Sang Bidadari melanjutkan: “Namun semua itu merupakan titah atau kehendak dari Ida Bhatara di Sorgaloka. Kanda hanya melaksanakan. Kalau kanda tidak dijadikan anak yang durhaka, tidak bisa kanda akan nyupat- meruwat Ida Sang Nagaraja, sebab tidak lama kanda memenggal ekor beliau yang menjadi tempat berkumpulnya angkara. Namun Beliau Sang Nagaraja tidak berhutang supata kepada kanda, karena beliau sudah pula nyupat-menyucikan diri kanda, beliau melebur badan jasmani – stula sarira kanda yang banyak berisikan dosa, kemudian diganti oleh beliau dengan badan jasmani baik seperti sekarang “.

Sang Bidadari berhenti sebentar, kemudian melanjutkan lagi: “Dinda lanjutkan sedikit lagi. Begini, perihal beliau Ki Dukuh Belatung. Memang beliau sangat sakti matang sekali dalam hal yoga samadhi. Namun ada kekurangan beliau sedikit. Yaitu beliau sedikit tinggi hati dan senang pujian. ltu sebabnya beliau bersedia diruwat pada api yang keluar dari air kencing kanda. Namun sebenarnya, hal itu merupakan kehendak Ida Bhatara, sebab kalau Ki Dukuh tidak tinggi hati, dan senang pujian,

(23)

dan berlaku kurang senonoh. Kesaktian yang kemudian memunculkan hal yang tidak baik jelas akan hilang keutamaannya”. Demikian kata-kata Sang Bidadari.

Menjadi semakin kagum Sang Pendeta. Merah warna paras muka beliau sudah sirna. Beliau kemudian berkata dengan manis: “Ah, muda-mudanya mereka yang ada di Sorgaloka, lebih bijaksana jika dibandingkan dengan yang ada di dunia. Ya, kalau demikian halnya, menjadi tenang dan hening hati kanda tanpa ganjalan lagi sekarang. Sekarang, kanda temani dinda menuju Pasraman. Namun jangan sekali disamakan keadaan di sini dengan di Sorga”.

Cepat berkata Sang Bidadari: “Janganlah itu lagi disinggung. Bisa bertemu dengan kanda seperti ini saja, dinda sudah sangat dan lebih bahagia dibandingkan dengan di Sorgaloka”.

Singkat ceritera, pada akhirnya bersuami-istrilah Ida Sang Pendeta dengan Sang Bidadari, kemudian mengadakan putera Iaki seorang, tampan, berprabawa cerdas, mengagumkan sekali walaupun masih bayi, dinamai Ida Wang Bang Tulusdewa.

Semakin lama, kawasan Bukcabe, Besakih, Tegenan serta Batusesa, semakin subur makmur, tiada kurang makan dan minum. Itu sebabnya semakin bhakti rakyat di sana kepada Sang Pendeta. Diceriterakan di kawasan Besakih, ada pendamping Ida Sang Pendeta, sebagai pemuka warga Pasek di sana yang bernama Ki Pasek Wayabiya. Beliau sangat bhakti kepada Sang Pendeta, Danghyang Bang Manik Angkeran, karena anugerah beliau memberikan pelajaran tatwa, pengetahuan serta kaparamarthan-kebathinan kepada Ki Pasek. Itu sebabnya Ki Pasek menghaturkan puterinya yang bernama Ni Luh Murdani, seorang wanita yang cantik jelita, sebagai tanda pengikat bhakti beliau kepada Ki Pasek sekeluarga sampai kelak di kemudian hari. Beliau Sang Pendeta tidak menolak keinginan Ki Pasek Wayabiya.

(24)

Bagaikan Brahma, Wisnu, Iswara rupa putra beliau bertiga: Ida Bang Banyak Wide, Ida Bang Tulusdewa miwah Ida Bang

Wayabiya. Singkat ceritera, semua putranya itu meningkat dewasa. Karena memang putera orang yang bijak, maka ketiga putranya itu sangat setia dan akrab bersaudara, serta sangat berbakti kepada ayah bundanya. Semuanya pandai, karena segala yang dikatakan oleh ayah-bundanya berisikan

Kadharman serta Kawicaksanaan. Isi dari Sanghyang Kamahayanikan, Sanghyang Sarasamuscaya dan Manawa Dharmasastra, sudah ditekuni dan dilaksanakan. Serta tidak ingkar kepada isi dari Tri Ratna dan Asta Marga Utama. Serta oleh Sang Pandita, putranya diberikan nasehat mengenai Putra Sasana dan Tri Guna serta Tri Rna. Pendeknya segala ilmu filsafat yang baik- baik ditekuni oleh Sang Tiga.

Selain dengan memberikan nasehat kepandaian, kebijaksanaan kepada para putera itu, Sang Pendeta juga sering melakukan perjalanan ke desa-desa memberikan nasehat dan petuah keagamaan serta ilmu kebathinan kepada masyarakat banyak ltu sebabnya, kelak di kemudian hari beliau dibuatkan sthana-pelinggih di pura-pura sebagai bukti sujud bhakti masyarakat kepada beliau.

IDA BANG MANIK ANGKERAN BERJUMPA KI DUKUH MURTHI

(25)

perjalanan memberikan petuah kepada warga desa-desa lainnya.

Ni Luh Canting kemudian hamil, dan lama-kelamaan melahirkan seorang putra yang tampan, diberi nama Sira Agra Manik. Belakangan Sira Agra Manik kembali ke Besakih, sehubungan dengan pesan ayahandanya untuk menghaturkan Lawangan Agung.

Dengan demikian Ida Danghyang Bang Manik Angkeran memiliki putra empat orang, yakni Ida Bang Banyak Wide, Ida Bang Tulusdewa, Ida Bang Wayabiya dan Si Agra Manik, yang keturunannya kemudian bernama Catur Warga.

6. IDA DANGHYANG BANG MANIK ANGKERAN BERPULANG KE SUNYALOKA

Patut diketahui perihal kesaktian Sang Bidadari sehari-hari, menanak nasi dengan sebulir padi. Sehelai bulu ayam, jika dimasak, menjadi ikan ayam. Keadaan demikian itu jelas tidak boleh dilihat oleh orang lain. Hal itu sudah dipermaklumkan kepada Sang Pendeta, agar beliau jangan mencoba kesaktian Sang Bidadari, agar kesaktian Sang Bidadari tidak hilang. Itu sebabnya keberadaan sehari-hari Sang Pendeta dengan isteri dan putranya di Besakih, tiada kurang suatu apapun.

(26)

Sang Pandita kemudian berkata halus: “Nah, kalau begitu Silakan adinda pulang lebih dahulu, kanda akan mengikuti perjalanan dinda”. Sang Bidadari lalu kembali ke Indraloka.

Sejak saat itu Ida Sang Pendeta Danghyang Bang Manik Angkeran selalu melaksanakan Yoga Panglepasan untuk pulang ke alam baka. Dan lagi, beliau menyadari akan segera kembali pulang ke Sunyaloka, lalu beliau memanggil putranya bertiga, memberitahukan bahwa putranya bertiga memiliki kakek di Jawa, yang bernama Ida Danghyang Siddhimantra. Bersama isterinya yang dua orang itu, beliau memberikan petuah yang sangat bermakna: ” l Dewa, Bang Banyak Wide, l Dewa, Bang Tulusdewa, l Dewa Bang Wayabiya, anakku bertiga yang sangat ayahanda cintai dan kasihi, ayahanda sekarang bersama ibu-ibumu berdua, akan meninggalkan ananda. Ayahanda akan pulang ke Sorgaloka. Satukan diri ananda dalam bersaudara. Ala Ayu tunggal ! Duka maupun suka hendaknya tetap satu! Kemudian juga agar selalu ingat kepada Bhatara Kawitan, serta senantiasa bhakti menyembah Ida Bhatara semua di sini di Besakih serta Ida Bhatara Basukih. Tidak boleh ananda lalai serta ingkar dengan petuah ayahandamu ini”. Demikian nasehat Ida Sang Pendeta, dicamkan betul oleh para putranya bertiga.

Pada hari yang baik, beliau kemudian berpulang ke Nirwana, moksa dengan Adhi Moksa-moksa yang utama, diiringkan oleh isterinya berdua, karena keduanya memang setia dan bhakti kepada beliau.

Diceriterakan, beliau-beliau itu sudah menyatu dengan Tuhan. Tinggallah para putranya bertiga, ditinggal oleh ayah serta bundanya. Namun demikian masyarakat se wilayah desa Bukcabe, masih tulus bhaktinya, karena ingat kepada petuah Ki Dukuh Sakti Belatung dahulu. Pada saat itu, putera Ida Bang Manik Angkeran yang nomor empat dari Ni Luh Canting yakni Sira Agra Manik, belum ada dan belum berdiam di Besakih.

(27)

bersembah sujud menghadap kepada Ida l Kakiyang- kakek kita, agar kita mengetahui keberadaan beliau, agar jangan seperti ungkapan yang mengatakan , tahu akan nama namun tidak tahu akibat rupa. Lagi pula kalau Kanda pikir, mungkin sekali Ida l Kakiyang – kakek kita tidak tahu sama sekali akan keberadaan kanda dinda, karena tidak ada yang menceriterakan perihal keberadaan ayahanda kita serta kita bertiga”.

Baru didengar perkataan kakaknya demikian, maka menjawablah Ida Sang Bang Tulusdewa dengan sangat sopan: “Inggih palungguh kanda, mengenai perihal itu, perkenankanlah dinda menyampaikan pendapat, namun mohon dimaklumi, bila mana ada yang tidak berkenan di hati kanda. Perihal keinginan kanda , disebabkan niat bhakti kehadapan Ida l Kakiyang, memang wajar sekali. Dinda sangat berbesar hati. Namun bila mana kanda akan pergi ke Jawa, untuk menghadap kepada Ida Kakiyang kakek kita, apalagi berkeinginan untuk bertempat tinggal di sana, mohon maaf dan mohon perkenan kakanda, bahwa dinda tidak bisa mengikuti kehendak kanda itu. Biarkanlah hamba di sini di Bali, agar ada yang melanjutkan yadnya dari ayahanda Ida Sang Pendeta, sebagai tukang sapu di sini di Besakih, seperti menjadi petuah dari ayahanda”.!

Kemudian Ida Bang Wayabiya menghaturkan sembah: “Inggih palungguh kanda Sang Bang Banyak Wide yang sangat dinda hormati, dinda juga, bukan karena kurang bhakti dinda kepada Ida l Kakiyang, walaupun belum dinda ketahui. Yang nomor dua, tidak kurang bhakti serta kasih dinda bersaudara dengan kakanda. Namun kalau berpindah tempat meninggalkan Bali ini, berat rasanya bagi dinda, karenanya, mohon maaf pula, dinda juga tidak ikut mendampingi kanda, seperti pula pada yang dikatakan kanda Tulusdewa baru. Dinda tidak sekali akan menghalangi niat luhur kakanda untuk pergi ke Jawa, menghadap kepada Ida l Kakiyang. Itu juga sangat pantas. Kalau kakanda berkehendak akan pergi, silakan kakanda pergi sendiri, agar ada yang memberitakan keberadaan di Bali ke hadapan Ida l Kakiyang. Biarkan dinda berdua di sini di Bali “.

(28)

baru. ltu sebabnya perkenankan kanda akan sendirian pergi ke Jawa, untuk menghadap kepada Ida l Kakiyang. Namun ada petuah kanda kepada dinda berdua. Walaupun kanda tidak lagi berada di sini bersama dinda berdua, di mana saja mungkin kanda – dinda berdiam, kalaupun kanda – dinda menemui kebaikan atau keburukan, agar supaya tidak kita lupa bersaudara sampai nanti kepada keturunan kita di kelak kemudian hari. Ingat betul nasehat suci dari Ayahanda kita: Ala Ayu Tunggal! Ayu tunggal, Ayu kabeh. Ala tunggal, ala kabeh! Duka dan suka tunggal! Kalau satu orang mendapatkan kegembiraan, agar semuanya bisa ikut menikmatinya.

Demikian juga kalau salah satu mengalami kedukaan agar semuanya merasakannya. Mudah-mudahan kita semuanya bisa bertemu kembali. Kalau tidak kanda yang bisa bertemu dengan dinda, semoga anak cucu kita bisa bertemu serta mengingatkan persaudaraan kita di kelak kemudian hari”.

Inggih, silakan palungguh kanda pergi, dinda menuruti semua apa yang kanda katakan, Semoga kanda selamat, serta bisa bertemu dengan Ida l Kakiyang”. Demikian hatur adiknya berdua.

Pada hari yang baik, Ida Bang Banyak Wide mohon diri kepada saudaranya berdua, seraya berangkat. Diceriterakan perjalanan Ida Bang Banyak Wide, demikian banyaknya desa, perumahan serta hutan dilewatinya, lembah dan jurang yang dituruninya, jarang sekali berjumpa dengan manusia. Banyak sekali kesulitan yang ditemuinya di jalan tak usah diceriterakan, namun Ida Bang Banyak Wide, walau masih jejaka muda-belia, demikian teguhnya kepada tekadnya, tidak pernah takut dan khawatir menghadapi kesulitan dan hambatan di jalan.

Pada siang hari beliau berjalan, di mana beliau merasa lesu, di sana berharap untuk beristirahat. Kalau hari sudah menjelang malam, beliau bermalam di mana beliau mendapatkan tempat. Kalau kemalaman di desa, berupaya beliau menumpang di tempat orang, namun seringkali beliau berada di tengah hutan, dan paksa tidur di pohon-pohon kayu. Setiap kali beliau berjumpa dengan orang, tidak lupa beliau menanyakan di mana negeri Daha itu.

(29)

Besakih, yang sedikit bangunannya. Bangunan di sana semua besar-megah serta memakai tembok yang tinggi dari batu bata. Orang di sana semuanya memakai pakaian yang bagus – bagus. Jalannya juga lebar, setiap beberapa meter ada lampu yang berderet di sisi jalan.

Setelah tenggelam sang mentari, kala itu nampak oleh beliau ada sebuah bangunan seperti Jero, bertembok bata dengan memakai pintu gerbang kori agung Di bagian luar dari bangunan yang serupa jero itu, ada balai-balai kecil: bale panjang layaknya seperti tempat orang berteduh dan beristirahat. Di sana lalu beliau berteduh dan beristirahat. Demikian gembiranya beliau, sebab mendapatkan tempat beristirahat yang nyaman.

Tidak lama, karena demikian lesunya, sekejap beliau sudah terlelap. Ternyata itu ternyata sebuah Griya – tempat seorang pendeta yang bernama Ida Mpu Sedah Di sana, di bagian luar dari Griya Ida Pandita terdapat sebuah batu ceper yang berukuran besar, sebagai tempat Pendeta Mpu Sedah duduk-duduk tatkala beliau beranjangsana. Konon, dahulunya, di tempat batu itu, tak seorangpun berani bermain atau lewat di sana, apalagi untuk mendudukinya. Walau hanya seekor capungpun, kalau hinggap di tempat itu,. langsung akan hangus terbakar.

Singkat ceritera, ketika hari itu Ida Pandita keluar untuk berjalan-jalan, tiba-tiba beliau berhenti sejenak ketika melihat ada seorang jejaka duduk di batu ceper itu. Lalu didekatinya seraya berkata: ” Uduh kaki, ndi sang kayeng tuan, agia tunggal-tunggal, eman-eman warnanta masmasku. Mwang siapa puspatanira ? Was duga-duga kawongane sira, dadine sira Kaki pasti maweruha. Nah, anakku, dari megerangan sebenarnya ananda ini datang sendirian ke mari. Kagum kakek menyatakan prabawamu . Siapa namamu, serta apa keluarga dan kelahiran ananda? Ayuh jelaskan agar kakek mengetahuinya !”

(30)

Baru didengar hatur Ida Sang Banyak Wide demikian, menjadi sangat terharu perasaan Ida Pandita, seraya berkata: “Aum cucuku tercinta, kalau demikian maksud tujuan cucunda, ketahuilah bahwa kakek cucunda ini memiliki hubungan saudara dengan kakekmu itu yang kini sudah tiada. Karena itu sekarang yang paling baik, dengarkan kakekmu ini, jangan dilanjutkan keinginan cucunda pulang ke Griya kakekmu. Di sini saja cucunda berdiam, mendampingi kakekmu ini yang sudah tua renta. Cucuku menjadi pewaris keturunanku, sebab kakekmu ini tidak memiliki keturunan atau anak. Dulu putera kakek ada Iaki-laki seorang, bernama Sira Bang Guwi. Sudah dibunuh oleh sang raja, dosanya karena membangkang kepada raja. Sebab itu sekarang putung – tidak berketurunan kakekmu ini, semoga berkenan cucunda menjadi sentana-keturunan pewarisku, yang akan memelihara tempat kediaman ini kelak di kemudian hari. Sekarang cucunda yang memerintah di kawasan ini. Di samping itu ada petuah Kakek, sebab cucunda memakai pegangan Ke-Budhaan, sementara kakekmu ini melaksanakan Kesiwaan, karena itu sekarang cucunda janganlah lagi menggelar Kebudhaan, gelaran Siwa yang cucunda jadikan pegangan “.Demikian wacana Ida Mpu Sedah kepada Ida Bang Banyak Wide yang memahami dan menyetujui kehendak Ida Pandita, sehingga akhirnya Ida Bang Banyak Wide diresmikan sebagai putera angkat – kadharma putera.

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Jika data yang disimpan akan dibuat mirip dengan program pembelian (nomor faktur di tabel detail disimpan berulang tanpa adanya penambahan nomor urut transaksi yang diambil dari

Pemakaian mulsa pada irigasi tetes tidak dapat meningkatkan produksi tembakau secara nyata dibandingkan dengan irigasi tetes tanpa mulsa karena indeks luas daun

Sumber itu asli atau salinan dan sudah dirubah (Ismaun, 2005, hlm. Kritik internal atau kritik dalam, yakni untuk menilai kredibilitas sumber terhadap aspek dari dalam

Dosis konsentrasi insektisida Decis yang akan digunakan untuk perlakuan pada uji toksisitas sangat toksis terhadap ikan nila merah galur Cangkringan, maka dari data

Setelah persoalan didefinisikan, tahapan yang perlu dilakukan adalah decomposition yaitu memecah persoalan yang utuh menjadi unsur-unsurnya. Jika

Dalam rangka memperpendek rentang kendali Pemerintahan dan mempermudah pelayanan terhadap masyarakat dengan mengacu kepada luasnya wilayah Kecamatan serta

Hasil analisis kandungan gamal yang mempunyai kandungan protein kasar yang tinggi dan kandungan serat kasar yang relatif redah, maka tanaman ini bisa digunakan

Dalam setiap sistem politik terdapat enam struktur atau lembaga politik, yaitu kelompok kepentingan, partai politik, badan legislatif, badan eksekutif, birokrasi,