BABAD MANIK ANGKERAN
Sebagai pendahuluan ceritera, tersebutlah di kawasan Jawa, ada pendeta maha sakti bernama Danghyang Bajrasatwa. Ada putranya Iakilaki seorang bernama Danghyang Tanuhun atau Mpu Lampita, beliau memang pendeta Budha, memiliki kepandaian luar biasa serta bijaksana dan mahasakti seperti ayahnya Danghyang Bajrasatwa. Ida Danghyang Tanuhun berputra lima orang, dikenal dengan sebutan Panca Tirtha. Beliau Sang Panca Tirtha sangat terkenal keutamaan beliau semuanya.
Beliau yang sulung bernama Mpu Gnijaya. Beliau membuat pasraman di Gunung Lempuyang Madya, Bali Timur, datang di Bali pada tahun Isaka 971 atau tahun Masehi 1049. Beliaulah yang menurunkan Sang Sapta Resi – tujuh pendeta yang kemudian menurunkan keluarga besar Pasek di Bali. Adik beliau bernama Mpu Semeru, membangun pasraman di Besakih, turun ke Bali tahun Isaka 921, tahun Masehi 999. Beliau mengangkat putra yakni Mpu Kamareka atau Mpu Dryakah yang kemudian menurunkan keluarga Pasek Kayuselem. Yang nomor tiga bernama Mpu Ghana, membangun pasraman di Dasar Gelgel, Klungkung datang di Bali pada tahun Isaka 922 atau tahun Masehi 1000. Yang nomor empat, bernama Ida Empu Kuturan atau Mpu Rajakretha, datang di Bali tahun Isaka 923 atau tahun Masehi 1001, membangun pasraman di Silayukti, Teluk Padang atau Padangbai, Karangasem. Nomor lima bernama Ida Mpu Bharadah atau Mpu Pradah, menjadi pendeta kerajaan Prabu Airlangga di Kediri, Daha, Jawa Timur, berdiam di Lemah Tulis, Pajarakan, sekitar tahun Masehi 1000.
kawasan Bali ini. Nama beliau tercantum di dalam berbagai prasasti dan lontar yang memuat tentang pura, upacara dan upakara atau sesajen serta Asta Kosala – kosali yang memuat tata cara membangun bangunan di Bali. Tercantum dalam lempengan prasasti seperti ini.
“Ida sane ngawentenang pawarah – warah silakramaning bwana rwa nista madhya utama. lwirnya ngawangun kahyangan, mahayu palinggih Bhatara – Bhatari ring Bali lwirnya Puseh desa Walyagung Ulunswi Dalem sopana hana tata krama maring Bali, ayun sapara Bhatara lumingga maring Sad Kahyangan, neher sira umike sila krama” yang artinya: Beliau Mpu Kuturan yang mengadakan aturan tentang tatacara di dunia ini yang berhubungan dengan mikro dan makrokosmos dalam tingkat nista madya utama (sederhana, menengah dan utama), seperti membangun pura kahyangan, menyelenggarakan upacara sthana Bhatarabhatari di Bali. Seperti Pura Puseh Desa, Baleagung, Ulunswi, Dalem, dan karena ada tata cara di Bali seperti itu berkenanlah para Bhatara bersthana di Sad Kahyangan, karena beliau yang mengadakan tata aturan tersebut.
Adiknya bernama Danghyang Mpu Bharadah mempunyai putra Iakilaki dan keutamaan yoga beliau bernama Mpu Bahula. Bahula berarti utama. Kepandaian dan kesaktian beliau di dunia sama dengan ayahandanya Mpu Bharadah. Beliau memperistri putri dari Rangdeng Jirah – janda di Jirah atau Girah yang bernama Ni Dyah Ratna Manggali. Kisah ini terkenal dalam ceritera Calonarang. Beliau Empu Bahula berputra Iaki bernama Mpu Tantular, yang sangat pandai di dalam berbagai ilmu filsafat. Tidak ada menyamai dalam soal kependetaan, sama keutamaannya dengan Mpu Bahula, ayahandanya. Mpu Tantular adalah yang dikenal sebagai penyusun Kakawin Sutasoma di mana di dalamnya tercantum “Bhinneka Tunggal lka” yang menjadi semboyan negara Indonesia. Beliau juga bergelar Danghyang Angsokanata. Keberadaan beliau di Bali diperkirakan sejaman dengan pemerintahan raja Bali, Sri Haji Wungsu pada tahun Masehi 1049.
Bekung atau Danghyang Siddhimantra. Yang nomor tiga bernama Mpu Danghyang Smaranatha. Yang terkecil bernama Mpu Danghyang Soma Kapakisan.
Ida Danghyang Panawasikan, bagaikan Sanghyang Jagatpathi wibawa beliau, Ida Danghyang Siddhimantra bagaikan Dewa Brahma wibawa serta kesaktian beliau. Ida Danghyang Asmaranatha bagaikan Dewa Manobawa yang menjelma, terkenal kebijaksanaan dan kesaktian beliau, serta Danghyang Soma Kapakisan, yang menjadi guru dari Mahapatih Gajahmada di Majapahit, bagaikan Dewa Wisnu menjelma, pendeta yang pandai dan bijaksana. Ida Danghyang Panawasikan memiliki putri seorang, demikian cantiknya, diperistri oleh Danghyang Nirartha.
Ida Danghyang Smaranatha, memiliki dua orang putra, yang sulung bernama Danghyang Angsoka, berdiam di Jawa melaksanakan paham Budha. Adik beliau bernama Danghyang Nirartha, atau Danghyang Dwijendra, Peranda Sakti Wawu Rawuh dan dikenal juga dengan sebutan Tuan Semeru. Beliau melaksanakan paham Siwa, serta menurunkan keluarga besar Brahmana Siwa di Bali yakni, Ida Kemenuh, Ida Manuaba, Ida Keniten, Ida Mas serta Ida Patapan. Danghyang Angsoka sendiri berputra Danghyang Astapaka, yang membangun pasraman di Taman Sari, yang kemudian menurunkan Brahmana Budha di Pulau Bali.
Si Tan Kober, Si Tan Kawur, Si Tan Mundur. Ida Dalem beristana di Samprangan, didampingi oleh l Gusti Nyuh Aya di Nyuh Aya sebagai mahapatih Dalem. Tatkala itu Ida Dalem memerintahkan para menterinya untuk mengambil tempat masingmasing. Ida Arya Demung Wang Bang asal Kediri di Kertalangu, Arya Kanuruhan di Tangkas, Arya Temenggung di Patemon, Arya Kenceng di Tabanan, Arya Dalancang di Kapal, Arya Belog di KabaKaba, Arya Kutawaringin di Klungkung, Arya Gajah Para dan adiknya Arya Getas di Toya Anyar, Arya Belentong di Pacung, Arya Sentong di Carangsari, Kriyan Punta di Mambal, Arya Jerudeh di Tamukti , Arya Sura Wang Bang asal Lasem di Sukahet, Arya Wang Bang asal Mataram tidak berdiam di manamana. Arya Melel Cengkrong di Jembrana, Arya Pamacekan di Bondalem, Sang Tri Wesya: Si Tan Kober di Pacung, Si Tan Kawur di Abiansemal dan Si Tan Mundur di Cegahan Demikian dikatakan di Babad Dalem.
IDA DANGHYANG SIDDHIMANTRA BERPUTRA IDA BANG MANIK ANGKERAN
Diceriterakan kembali putra Ida Danghyang Angsokanata atau Danghyang Mpu Tantular yang nomor dua yakni Ida Mpu Bekung atau Danghyang Siddhimantra Beliau bernama Mpu Bekung karena beliau tidak bisa mempunyai putra. Kemudian beliau bergelar Danghyang Siddhimantra disebabkan memang beliau pendeta atau Bhujangga yang sakti serta bijaksana. Beliau menjadi sesuhunan sakti Bhujangga luwih (Junjungan sakti, pendeta yang bijaksana) di kawasan Bali ini tatkala itu. Perihal gelar Ida Mpu Bekung menjadi Danghyang Siddhimantra, akan diceriterakan di bawah ini
Diceriterakan, Ida Mpu Bekung berkeinginan untuk memiliki putra yang akan menjadi penerusnya kelak. Karena itu beliau melaksanakan upacara homa, memuja Sanghyang Brahmakunda Wijaya.
keangkeran pemujaan sang pendeta yang demikian makbulnya. Demikian asal mulanya Ida Mpu Bekung memiliki putera.
Setelah beliau memiliki putera, sangat sukacita beliau Mpu Bekung, diperhatikan dan dimanjakan betul putera beliau. Setiap yang diinginkan putranya dipenuhi.
Setelah Ida Bang Manik Angkeran menginjak remaja, mungkin diakibatkan oleh kehendak Yang Maha Kuasa, agar supaya Ida Mpu Bekung menemui ganjalan pikiran atau kesusahan, ternyata kemudian putra beliau seharihari pekerjaannya hanya berjudi melulu, tidak pernah tinggal diam di rumah, selalu berada di tempat perjudian semata. Di mana saja ada perjudian, di sana Ida Bang Manik Angkeran bermalam. Diceriterakan perjalanan beliau berjudi tidak pernah menang. Selalu kalah saja.
Hingga habis milik ayahnya dipergunakan untuk berjudi. Yang membuat Mpu Bekung duka cita tiada lain karena putranya tidak pernah pulang ke Griya. itu menyebabkan resah gelisah perasaan beliau, seraya pergi mencari putra beliau Ida Bang Manik Angkeran ke desadesa. Setiap ada orang yang dijumpai di tengah jalan, ditanyai oleh beliau apakah ada menemui putra beliau yang bernama Ida Bang Manik Angkeran. Namun semuanya mengatakan tidak pernah mengetahui dan menemuinya.
Diceriterakan, konon, sudah lama beliau mengembara mencari putra beliau itu tidak juga dijumpai, sampai akhirnya tiba di kawasan Tohlangkir pengembaraan beliau Setibanya di Tohlangkir – Gunung Agung, di sana beliau baru merasa lesu lelah kemudian duduk seraya bersamadi menyatukan pikiran beliau, memuja Dewa seraya membunyikan genta beliau yang bernama Ki Brahmara .
Berkatalah Ida Mpu Bekung: “Singgih paduka Sanghyang, hamba memiliki anak seorang tidak pernah sama sekali pulang, sejak lama hamba mencarinya, namun belum juga ketemu. Maksud hamba agar dengan senang hati pukulun Sanghyang memberitahu keadaan sebenarnya, apakah dia masih hidup, atau apakah dia sudah .mati. Kalau misalnya dia masih hidup agar supaya pukulun Sanghyang sudi memberi tahu, di mana dia berada”.
Dengan sukacita Ida Bhatara Basukih berkata: “Ah Mpu, hendaknya Mpu jangan bersedih hati, sebenarnya putra Mpu masih hidup berada di desadesa, bermalam di sana. Sekarang saya yang akan mengarad (menarik) Jiwa – putra Mpu, agar segera pulang kembali. Namun, Mpu saya minta sarinya susu lembu, sebagai imbalan saya mengarad putra sang Mpu”. Demikian wacana Ida Bhatara Nagaraja, seraya meminta Ida Mpu Bekung agar pulang ke rumahnya .
Singkat ceritera. pulanglah Ida Mpu memohon diri dari Tohlangkir. Tidak diceriterakan perjalanan beliau, maka sampailah beliau kembali di rumahnya di Griya Daha, dan dilihatnya sang putera telah berada di rumah. ltu sebabnya sangat sukacita beliau Mpu Bekung, seraya berkata: “Duh, putraku Sang Bang, dengarkanlah apa yang ayah katakan sekarang. Jangan lagi ananda mengulangi perbuatan yang sudah – sudah. Ayah tidak sama sekali melarang ananda untuk bermain judi, namun agar ananda ingat juga dengan rumah Ananda. Payah Ayah mencari ananda keluar masuk desadesa”.
Kemudian berkatalah putranya: “Singgih palungguh Mpu, ayahandaku, janganlah sekalikali palungguh Mpu marah serta duka ananda sudah menginjak dewasa sejak dahulu, ananda tidak pernah sama sekali berani ingkar, karena ananda ingin sekali dengan keberadaan diri sebagai seorang putra Brahmana”. Demikian kata putranya Sang Bang Manik Angkeran.
Pada hari yang baik. lengkap dengan gentanya, beliau melakukan perjalanan menuju Tohlangkir. Sesampainya di Tohlangkir, kemudian beliau mempersiapkan diri dan melakukan yoga semadi memuja Ida Sanghyang Nagaraja seraya membunyikan genta beliau. Karena kemakbulan weda mantra beliau memuja Ida Sanghyang Naga raja, segera Ida Bhatara keluar seraya bersabda: “Ah, Mpu Bekung yang datang.
Apa keinginan sang Mpu datang lagi?”.
Kemudian berkatalah Ida Mpu Bekung: “Singgih pukulun Sanghyang, hamba menghadap pada paduka Bhatara, bermaksud menghaturkan sarinya susu, sesuai dengan keinginan Sanghyang. Anak hamba sudah ketemu, ada di rumah”. Tatkala didengarnya katakata Mpu Bekung seperti itu, sangat sukacita perasaan Ida Bhatara Basukih seraya berganti rupa menjadi Nagaraja Agung, kemudian meminum sarinya susu, sampai beliau kenyang.
Setelah beliau kenyang meminum susu lembu itu, seraya berbalik, beliau mengeluarkan emas, saat itu diminta Ida Mpu Bekung agar mengambil emas itu.
Singkat ceritera, setelah beliau mengambil emas itu yang kemudian dibungkus sebesar kelapa besarnya, lalu beliau memohon diri kepada Ida Sanghyang Basukih Tidak diceriterakan perjalanan Ida Mpu Bekung, akhirnya tiba jugalah beliau di Griya Daha seraya membawa emas. Diketahui emas itu oleh putranya. Ida Bang Manik Angkeran yang gencar bertanya, meminta kepada ayahandanya agar diberi tahu di mana memperoleh emas itu
sayang yang amat sangat, lalu Ida Mpu memberitahukan perihal beliau mendapatkan harta itu.
Karena sekarang sudah memiliki emas, maka pergilah Ida Bang Manik Angkeran bermain judi. Mungkin memang sudah menjadi kehendak Yang Maha Kuasa, sehariharinya beliau selalu kalah berjudi. Akhirnya tidak sampai satu bulan habislah sudah emas yang diberikan ayahandanya dijual, dipakai modal di tempat perjudian.
Karena keadaannya demikian, lalu beliau berpikir keras, dan kemudian Ingat beliau pada perjalanan ayahandanya mendapatkan emas itu, yang merupakan anugerah dari Bhatara di Tohlangkir. Segera beliau pulang, tetapi secara sembunyi – sembunyi agar tidak diketahui ayahandanya, beliau bertolak menuju Tohlangkir seraya membawa susu lembu, serta genta milik ayahandanya, Ki Brahmara.
Tidak diceriterakan perjalanannya, sampailah beliau di Tohlangkir, di depan gua. Lalu beliau duduk mengheningkan cipta, memuja Dewa, seraya membunyikan genta.
Rupanya pemujaan beliau yang khusuk, serta diiringi dengan bunyi genta yang Utama itu, membuat geger, keluar Bhatara Naga Basukih dari gua itu seraya berkata “Ah siapa anda ini datang, segera katakan !”.
Segera Ida Bang Manik Angkeran menyembah: “Singgih paduka Sanghyang, hamba bernama Sang Bang Manik Angkeran. Hamba mengikuti jalan Ayahanda hamba, menghaturkan sarinya susu lembu ke hadapan paduka Sanghyang. “Demikian hatur beliau. Karena demikian, sangat sukacitalah perasaan Ida Bhatara Basukih. Lalu diminumlah susu itu, setelah berganti rupa menjadi ular naga besar berwibawa, seraya meminum susu itu. Seusai meminum susu itu, bersabdalah beliau kepada Ida Bang Manik Angkeran: “lh, Sang Bang, sekarang apa yang kamu inginkan, apapun yang ananda minta akan kuberikan .”
Saat itu Ida Bhatara Basukih mengambil emas, bagaikan sebutir kelapa besarnya. diberikan kepada Ida Bang Manik Angkeran, seraya bersabda: “Ambillah emas ini, segera ananda pulang, poma, poma”. Lalu diambil emas itu, disertai sembah bakti sekaligus memohon pamit ke hadapan Ida Bhatara Nagaraja.
Singkat ceritera. tibalah Ida Bang Manik Angkeran kembali di rumah di Griya Daha, menyimpan genta saja, lalu beliau pergi lagi untuk bermain judi. Atas kehendak Hyang Widhi, tidak sampai satu bulan, habis juga modalnya, itu sebabnya kembali beliau mengelana, berhutang di perjudian tidak dapat, meminjam tidak diberi. Karena itu, lalu beliau mengambil lagi genta milik ayahandanya, seraya mencari sarinya Susu lembu, dan menyengkelit pedang yang bernama Ki Gepang, lalu segera menuju Tohlangkir.
Setibanya beliau di Tohlangkir, lalu beliau duduk seperti yang dilakukan sebelumnya, mengheningkan cipta, memuja Dewa, serta membunyikan gentanya. Karena genta itu betulbetul genta utama, gegerlah Ida Sanghyang Basukih ke luar guanya seraya bersabda: “Ah Sang Bang Manik Angkeran kiranya yang datang. Datang lagi ananda membawa susu. Apa lagi permintaanmu, katakan, semaumu akan kuberikan”.
Karena kewibawaan Ida Bhatara Basukih demikian mempesona dan menggetarkan perasaan, menjadi tak enak perasaan Ida Sang Bang, lalu mengatakan tidak memohon apaapa. Karena demikian kata Ida Sang Bang, lalu Ida Bhatara berganti rupa kembali menjadi ular naga yang besar, seraya meminum susu lembu tersebut Setelah menyantap susu lembu itu, Ida Bhatara kembali ke gua . Karena beliau berbadan panjang, ketika bagian kepala beliau sudah tiba di tempat peraduan, maka bagian ekor beliau masih berada di luar gua. Dilihat oleh Ida Bang Manik Angkeran ekor Ida Bhatara menyala karena di tempat itu terdapat intan besar bagai ratna mutu manikam beralaskan emas dan mirah yang menyala gemerlapan.
terputus mata intan yang ada di bagian ekor yang segera diambil dan dilarikan oleh Ida Manik Angkeran.
Karena demikian tingkah Sang Bang Manik Angkeran, tak terkira murka Ida Bhatara Nagaraja, sebab merasa ekor beliau terluka, lalu beliau kembali bergerak ke luar gua. Dilihat oleh beliau busana beliau dilarikan oleh Ida Bang Manik Angkeran.
Segera beliau menyemburkan api, yang mengikuti arah perjalanan Ida Bang Manik Angkeran yang kemudian terbakar habis menjadi abu. Tempat itu belakangan bernama Cemara Geseng dan menjadi lokasi Pura Manik Mas Besakih. Sementara itu permata milik Ida Bang Manik Angkeran ditempatkan sebagai pusaka junjungan di Pura Dalem Lagaan, Bebalang, Bangli.
Diceriterakan Ida Mpu Bekung gundah perasaan beliau, karena putranya tidak pernah pulang ke rumah. Desadesa diselusuri mencari putranya, namun tiada juga ditemukan. Segera beliau mengheningkan cipta. Karena kesaktian beliau, terlihat oleh beliau putranya sudah menjadi abu. Segera beliau pergi menuju Bali, Besakih yang ditujunya, berkehendak mengikuti
perjalanan putranya. Tidak diceriterakan di jalan tibalah beliau di Besakih. Di sana beliau melihat onggokan abu, sementara buah genta berada di sebelah abu itu. Segera diketahui dengan jelas, bahwa genta itu adalah milik beliau yang bernama Ki Brahmara. Jelas sudah abu itu merupakan jasad putranya. Di sana beliau kemudian menumpahkan rasa dukacitanya, seraya berpikirpikir, jelas meninggalnya Ida Bang Manik Angkeran disebabkan perbuatannya yang tak terpuji, disembur api oleh Ida Sanghyang Nagaraja. Kemudian diambilnya genta Ki
Brahmara yang sakti itu.
Karena sudah jelas diketahui, maka beliau kemudian melanjutkan perjalanan berkehendak untuk menghadap Ida Sanghyang Basukih. Setibanya di depan gua, seperti sebelumnya, beliau kemudian duduk melakukan pemujaan utama memohon ke hadapan Ida Sanghyang Basukih.
disebabkan demikian besar amarahnya, ingat diperdaya oleh suara genta.
ltu sebabnya beliau Mpu Bekung melanjutkan lagi pujastutinya dengan mengujarkan Asta Puja, Basukih Stawa dan Utpeti, Stiti Mantra diiringi dengan suara genta beliau. Karenanya, barulah Ida Bhatara keluar dan dilihatnya Ida Mpu ada di sana yang kemudian merangkul, seraya menghaturkan sembah panganjali agar Ida Bhatara memberikan anugrah dan berkata: “Om paduka Bhatara, ampunilah anak hamba. Tahu betul hamba akan perbuatan anakku yang demikian tak berbudi dan tak terpuji. Bila mana berkenan, sudilah Bhatara menceriterakan perbuatan anak hamba itu . Lama Ida Bhatara berdiam diri. Mukanya cemberut, menunjukkan kekesalan perasaannya yang tak terhingga. Namun, karena Ida Sang Mpu sudah memohon maaf dengan tulus dan suci, maka Ida Bhatara berkata perlahan. Menceriterakan segala perbuatan yang dilakukan Ida Sang Bang Manik Angkeran yang mengatakan diutus oleh Sang Mpu untuk menghaturkan susu lembu, sampai akhirnya dihanguskan menjadi abu oleh beliau.
Mana kala Ida Mpu mendengar ceritera Ida Bhatara, meleleh air mata Ida Sang Mpu Bekung, dan sesudah Ida Bhatara selesai bersabda, beliau kemudian kembali menghaturkan sembah seraya berkata: “Singgih pukulun paduka Bhatara, demikian memang dosa anakku itu, namun rupanya dia sudah menjalani kematian, habis sudah dosanya. Inggih, hamba sekarang memohon anugerah pukulun Bhatara, sudilah kiranya paduka Bhatara menghidupkan kembali Manik Angkeran, karena dialah anak hamba satusatunya, sebagai pewaris keturunan yang akan melanjutkan keberadaan hamba kelak. Bila mana dia nanti hidup kembali, hamba akan menyerahkan dirinya kepada paduka Bhatara, agar menghamba di sini sampai kelak kemudian hari”.
Lalu menyembah Mpu Bekung: “Singgih paduka Sanghyang, bila demikian keinginan paduka hamba bersedia untuk menyambung kembali ekor paduka Bhatara: Namun, sebelumnya, maafkanlah hamba berani berhatur sembah bila mana paduka Bhatara berkenan, permata intan yang sebelumnya berada di ekor paduka, sebaiknya ditempatkan saja di bagian mahkota paduka Bhatara, karena akan nampak sangat maha utama, dan pula mereka yang jahat tidak akan tergoda untuk ingin memilikinya Dan juga bila mana masih di bagian ekor, di samping terlihat nista, juga membuat paduka Bhatara tidak bisa terbang karena keberatan di bagian ekor”.
Demikian sukacita perasaan Ida Sanghyang Nagaraja tatkala mendengar hatur Ida Mpu Bekung. Setelah usai bertemu wirasa, lalu Sang Mpu melaksanakan yoga samadhi menghaturkan puja mantra, menyatukan batin beliau memuja Ida Bhagawan Wiswakarma sebagai Dewanya sangging dan undagi (pekerja khusus bangunan tradisional) di Surga.
Seusai sempurna pujastuti serta permohonan beliau, segera beliau membuat gelung mahkota, dengan hiasan candi kurung, garuda mungkur, dengan anting anting, bergundala dan memakai sekar taji. Demikian indahnya memang kalau dilihat.
Singkat ceritera, selesai sudah gelung agung itu, kemudian dipakai oleh Ida Bhatara. Memang, demikian menakjubkan. Nampak semakin mempesona prabawa Ida Bhatara, dan juga beliau sekarang bisa terbang. Demikian sukacita hati Ida Bhatara Nagaraja.
Karena itu, segera pula Ida Bhatara menghidupkan jasad Sang Bang Manik Angkeran, didahului dengan pujastuti weda mantra. Perlahan, Ida Sang Bang Manik Angkeran bangun, seperti baru habis tidur layaknya, hidup seperti semula, dan ketika sadar, beliau cepat lari. Tempat itu kemudian bernama Pura Bangun Sakti.
Demikian suka citanya beliau berdua, karena semuanya sudah berhasil, disebabkan kesaktian beliau masingmasing. Ida Sang Nagaraja sudah menghidupkan kembali Ida Sang Bang Manik Angkeran. Juga Ida Mpu Bekung demikian saktinya bisa menyambung kembali ekor Ida Bhatara Nagaraja. Ida Mpu Bekung kemudian menghaturkan sembah terimakasih kepada Ida Sanghyang Basukih. Ida Sanghyang Basukih kemudian bersabda: “Duh, Mpu Bekung, memang demikian saktinya anda ini. Pantas anda bergelar Siddhimantra. demikian sakti dan makbulnya japa – mantra anda. Sejak sekarang, tidak lagi Mpu Bekung nama anda, namun Danghyang Siddhimantra nama anda sang pandita. Silakan, pulanglah sahabat karibku, semoga Dirgahayu, panjang usia anda !” lalu Ida Sanghyang Nagaraja terbang menuju Surga Loka. Sejak saat itu Ida Mpu Bekung bergelar Danghyang Siddhimantra.
sangat nista disebut orang. Kemudian ada lagi nasehat ayahanda, sebab ananda sudah pernah pralina atau wafat menjadi abu kemudian disucikan menjadi hidup kembali, hidup untuk keduakalinya, berdwijati namanya, sekarang ananda berwenang menjadi pendeta, agar ananda senantiasa menyelenggarakan, mengatur dan memimpin penyelenggaraan segenap upakara dan upacara di sini di Besakih. Juga agar ananda mengatur semua masyarakat umat di seluruh Bali, agar semakin meningkat bhakti dan sradha imannya, kepada Ida Bhatara serta kepada sthana Ida Bhatara semuanya”.
Ida Sang Bang Manik Angkeran mengiakan semua yang disampaikan oleh ayahandanya. Di samping petuah tersebut, Ida Sang Bang juga diberikan pengetahuan suci yang memberikan wewenang Ida Sang Bang untuk mengucapkan weda mantra, menyelesaikan upacara, di samping diberikan pengetahuan kerohanian daya kebathinan yang tinggi.
Seusai Ida Sang Bang Manik Angkeran mendapat pengetahuan suci dan kerohanian, beliau ditinggalkan oleh ayahandanya yang kemudian melakukan perjalanan pulang kembali ke Jawa.
bisa kembali lagi ke Jawa. Lalu beliau kembali pulang ke Griya Daha di Jawa.
IDA BANG MANIK ANGKERAN BERJUMPA DUKUH SAKTI BELATUNG
Kembali diceriterakan keberadaan Ida Bang Manik Angkeran di Besakih. Beliau membuat pasraman di sebelah Utara gua, sekitar 300 depa jaraknya dari Gua itu. pekerjaan beliau sehari hari melaksanakan tapa brata yoga samadhi, serta menjaga kebersihan dan kesucian kawasan Pura Besakih. Tak sekalipun beliau lalai. Perilaku beliau berbeda benar jika dibandingkan dengan sebelum beliau wafat dibakar oleh Ida Bhatara Nagaraja. Beliau melaksanakan Kadharmaan, mengikuti ajaran dan perilaku seorang pendeta pura yang suci. Setiap hari beliau menggelar Surya Sewana, memuja Sanghyang Parama Wisesa.
Suatu ketika tatkala hari sukla paksa pananggalan menjelang purnama, beliau bermaksud untuk membersihkan diri dengan mandi di Toya Sah, Besakih. Setelah membersihkan diri, berkeinginan beliau berjalanjalan meninjau kawasan Besakih. Lalu terlihat oleh beliau seorang Iakilaki tua sedang bekerja di ladang, membersihkan padi gaga, membersihkan rumput dan menyiangi. Orang tua itu bernama Ki Dukuh Belatung yang demikian saktinya, namun tindaktanduknya bagaikan anak kecil senang dipuji serta senang pamer. Baru dilihat seseorang datang ke tempat beliau dan menyaksikan beliau bekerja, keluarlah keisengannya untuk pamer, sengaja berhenti bekerja kemudian menaruh alat siangnya dan melompat duduk di atas alat itu seraya mengambil sirih dan melumatkan sirih itu di atas alat siang tadi.
Pikir Ki Dukuh ingin supaya yang baru datang menjadi kagum. Namun Sang Bang Manik Angkeran malahan menjadi sangat jengkel melihat aksi pamer Ki Dukuh, karena jelas maksudnya untuk mencoba diri beliau. Lalu, dihampirinya Ki Dukuh seraya berkata: “lh Bapak, kalau begini cara Bapak bekerja, sepertinya bermainmain, sebanyak apa yang bisa Bapak hasilkan?”.
Berkata Ida Bang Manik Angkeran: “Ah saya ini Sang Bang Manik Angkeran, putra beliau Mpu Bekung dari tanah Jawa. Namun saya ini sekarang menghamba kepada Ida Bhatara di Besakih, menjadi tukang sapu”.
Berkata lagi Ki Dukuh: “Tidak mengerti saya, kalau demikian halnya. Sebab janggal keberadaan sang brahmana seperti itu. Baru sekarang saya mendengar orang bekung (tak punya anak) memiliki putera. Dan lagi ada brahmana menjadi tukang sapu, kalau tidak anda ini brahmana hina”.
Sedikit marah Sang Bang berkata: “lh Bapak, jangan berbicara sembarangan! Ayah saya memang bekung, namun karena kesaktian beliau, berhasil beliau mengadakan putera. Saya ini memang benar putra seorang Mpu, bukan brahmana hina.
Serta saya berhak diperintah oleh Ida Bhatara, walaupun pekerjaan yang diperintahkan itu menyapu, itu juga pekerjaan utama, kalau sudah Ida Bhatara yang memerintahkan. Sekarang saya balik bertanya. Kakek ini siapa, serta dari golongan apa ?”
Ki Dukuh kemudian berkata: “Saya ini bernama Ki Dukuh Belatung, sebagai penua di desa Bukcabe, namun saya membuat tempat tinggal di sini”.
Berkata lagi Sang Bang, masih perasaannya jengkel: “lh Bapak Dukuh, saya bertanya lagi Itu ada sampah bertimbun akan Bapak bagaimanakan ? Tidak akan Bapak bersihkan ? “
“Akan saya bersihkan !”. “Bagaimana cara Bapak membersihkan ?”
“Akan saya bakar !”
“Apa yang akan Bapak pakai membakar ?”
“Wah, ini benarbenar brahmana aneh”. Ki Dukuh menjawab agak marah, apa lagi dipakai membakar, kalau bukan api. Lalu kalau Ida Bagus apa yang dipakai membakar ?”.
prakpak daun kelapa kering jelas tidak benar Bapak Dukuh tahu dengan falsafah Tri Agni, yang berada di dalam diri sebenarnya. Kalau saya, melalui air kencing saya saja sampah ini akan terbakar tidak bersisa”
Tatkala didengarnya kata Ida Sang Bang demikian itu, menjadi terhenyak Dukuh, berdiam diri, seraya lama termenung, kemudian menghaturkan sembah “Singgih, Ratu Sang Bang, kalau benar seperti perkataan l Ratu, bisa membakar sampah ini dengan air kencing l Ratu, hamba akan menghaturkan diri, serta semua milik hamba beserta rakyat, serta pula anak hamba akan hamba serahkan semuanya kepada Cokor I Ratu”
Usai Sang Bang mendengar hatur Ki Dukuh, menjadi pulih kembali perasaan beliau. Lalu beliau berkata perlahan: “Nah, kalau benar seperti perkataan Bapak saya akan memperlihatkan bukti. Namun agar semuanya sanggup datang dan hadir serta disaksikan oleh Ida Sanghyang Triyodasa Saksi”.
“Jangan sekalikali l Ratu ragu. Memang dari lubuk hati hamba yang ikhlas tidak akan ingkar dengan janji”. Demikian hatur Ki Dukuh.
“Nah, kalau begitu, ke sana Bapak pulang, beritahu sanak keluarga serta rakyat Bapak agar datang manakala saya memberikan bukti di hadapan Bapak”. Demikian perjanjian Ida Sang Bang Manik Angkeran.
Setelah selesai janji itu, Ki Dukuh lalu memberitahukan kepada anak, isteri serta keluarganya, perihal janjinya kepada Ida Bang Manik Angkeran, serta imbalan yang dimasukkan ke dalam janji itu sebagai taruhan. Yang mendengar semuanya samasama paham di dalam hatinya menjadi taruhan.
Setelah dekat dengan tempat Ki Dukuh, nampaknya semuanya lengkap hadir, Ki Dukuh dengan isterinya, keduanya memakai pakaian putihputih, ditemani dengan anak dan kerabatnya, hanya tinggal menunggu kedatangan Ida Sang Bang. Setelah tepat benar matahari di atas kepala, lalu beliau menuju tempat sampah yang bertimbun, di sana beliau mengheningkan cipta mamusti, menyatukan pikirannya, menegakkan keteguhan batin Iaksana Gunung Mahameru. Tidak berapa lama, matang sudah yoga beliau, seraya mengeluarkan air kencing di sampah itu. Dan sekejap air kencing itu menjadi api yang menyala nyala, berkobar. Terbakar semua sampah kebun di tempat itu, hampirhampir terbakar seluruh hutan di sana.
Keadaan itu dilihat oleh Ki Dukuh serta semua iringannya, sangat kagum mereka pada kesaktian Ida Sang Bang. Ki Dukuh merasa kalah, namun sekaligus merasa untung, karena merasa mendapatkan jalan baik untuk pulang ke Sorga Loka. Tatkala api itu berkobar. saat itu pula Ida Sang Bang Manik Angkeran membelokkan ujung api itu ke arah timur laut. Lalu beliau berkata kepada Ki Dukuh: “Bapak Dukuh, saya memberi bekal Bapak dengan ganten. Turuti asap itu ke arah timur laut”
Sekarang diceriterakan yang masih hidup. Sesudah Ki Dukuh Sakti meninggal semua milik Ki Dukuh serta rakyat se kawasan Desa Bukcabe, diserahkan kepada lda Sang Bang, termasuk putri beliau yang merupakan seorang dara yang bijak, cantik tiada bandingnya, bernama Ni Luh Warsiki. Kedua beliau itu samasama saling mencintai, disebabkan yang satunya merupakan seorang jejaka yang tampan bersanding dengan seorang dara yang jelita. Kemudian diselenggarakan Upacara Perkawinan.
Setelah upacara selesai, lalu keduanya kembali ke Pasraman di Besakih. Sesampai di Tegehing Munduktempat ketinggian, Ni Luh Warsiki menoleh ke tempat bekas sampah dibakar, terhenyak beliau, lalu menangis, teringat akan ayah ibunya yang sudah berpulang. Beliau tidak mau melanjutkan perjalanan sebelum pulih perasaan beliau. Rakyat beliau kemudian membuatkan tempat beristirahat di sana. Lama kelamaan tempat itu dikenal dengan nama Munduk Jengis.
Diceriterakan kemudian rakyat semuanya sangat gembira pada perasaan mereka, disebabkan sekarang mereka memiliki pujaan yang tampan serta sakti, pintar, bijaksana serta dibya caksu, memiliki kesaktian bisa melihat kejadian tanpa hadir langsung.
Setelah lama beliau berdua bersuami isteri saling mencintai, saling mengasihi maka lahirlah seorang putra Iakilaki, rupanya tampan serta memiliki prabawa yang agung dinamai Ida Wang Bang Banyak Wide.
IDA BANG MANIK ANGKERAN BERJUMPA DENGAN BIDADARI
keadaan seperti itu, sampai beliau menggumam bagaikan berbincang dengan bunga itu semua.
Setelah beliau memasuki hutan, terdengar oleh beliau suara burung semakin ramai saling bersahutan, Iaksana menyambut kedatangan Sang Pendeta. Beraneka macam memang suara burung itu. Semua itu menambah gembira hati sang pendeta. Tahutahu beliau sudah berada dekat dengan tempat Tirtha Pingit yang akan dituju.
Tibatiba beliau berhenti. Karena terlihat oleh beliau seorang wanita sudah ada lebih dahulu di tempat air suci itu, kemungkinan juga akan mandi. Beliau Sang Pendeta lalu memperhatikan wanita itu. Demikian cantiknya serta berwibawa wanita itu. Kemudian beliau merasarasa. Sepertinya beliau sudah pernah bertemu dengan wanita itu, namun tidak ingat lagi beliau, di mana, siapa gerangan wanita itu. Ingat lagi, kemudian lupa kembali. Tatkala itu, wanita itu juga diam menunduk, sepertinya acuh.
Setelah agak lama mengingatingat, juga tidak bisa beliau mengingat, maka didekatinya wanita itu, seraya menyampaikan pertanyaan: “Inggih, tuan puteri yang bijak, siapakah gerangan tuan puteri ini, Kok sendiri di tengah hutan begini. Dari mana tuan puteri, apakah tuan puteri benar manusia, apa Wong samar orang maya, ataukah Dewa ?”
Menjawab wanita itu: “Inggih Sang Pendeta, yang sangat bijaksana, hamba ini bukanlah manusia maya, dan juga bukan manusia”.
“Kalau demikian, sebenarnya tuan puteri Bidadari ?”. “Ya, benar sekali seperti yang Sang Pendeta katakan, hamba memang bidadari dari Sorga”. “Aduh, sudah hamba sangka, tentu tuan puteri adalah Bidadari, karena kagum benar hamba melihat kecantikan paras tuan puteri”.
orang kagum serta bertekuk lutut di kakinya”. Demikian kata Sang Bidadari.
Ketika mendengar perkataan Sang Bidadari sedemikian itu, seperti terkena sindiran Sang Pendeta. Seraya menyembunyikan rasa gugupnya, lalu beliau berkata: “Apa yang mungkin tuan puteri cari, datang ke sini di tengah hutan seorang diri ?” Menjawab Sang Bidadari: “Tidak ada yang hamba cari. Kedatangan hamba ke sini, hanya bersenangsenang”.
Apa yang menyebabkan tuan puteri datang ke sini untuk bersenangsenang. Apakah di Sorga kurang tempat yang indah untuk bersenangsenang?” “Ya, memang demikian Sang Pendeta. Di Sorga, memang tidak kurang tempat yang indah. Tetapi sebenarnya sekali, yang membuat hati ini senang, tidak tempat yang indah saja, namun senang atau sedih, suka atau duka, hanya tergantung pada hati perasaan kita masing masing. Kalau seperti hamba, sekarang ini, hanya tempat ini yang paling indah, yang bisa memberikan kesenangan pada perasaan hamba. Sebenarnya Sang Pendeta, bagaikan ditarik hati hamba, jadi berkeinginan hamba untuk datang ke mari, mungkin ada sesuatu hal yang sangat indah di sini”.
Lagi seperti dikenai sindiran, sampai Sang Pendeta menjadi makin gugup, lalu kemudian beliau berkata lagi: “Memang betul tuan puteri datang dari Sorga, sangat pintar dan bijak tuan puteri berkata, semakin menjadi kagum hamba kepada tuan puteri”.
“Janganlah berkata demikian Ratu Sang Pendeta. Terlalu banyak l Ratu memuji diri hamba. Sebenarnya sekali, hamba masih terlalu muda”. Demikian Sang Bidadari segera menjawab.
Lalu menjawab Sang Bidadari: “Silakan Sang Pendeta, apa yang akan tuan sampaikan. Hamba bersedia untuk mendengarnya. Jangan lagi Sang Pendeta merasa ragu dan khawatir”.
Berkata Sang Pendeta: “Duh, Dewa, terlebih dahulu hamba menghaturkan terimakasih yang sebesarbesarnya atas anugerah Tuan Puteri. Pendek kata hamba ingin mengatakan, jangan sekali Tuan Puteri marah, mudahmudahan Tuan Putri berkenan. Ya, begini …. diri hamba akan hamba serahkan ke hadapan Tuan Putri Namun karena hamba belum bisa ikut ke Sorga Loka mengikuti Tuan Puteri, kalau berkenan, Tuan Puteri akan hamba ajak di sini di dunia, di kawasan Besakih ini, menghamba dan mengabdi kepada Ida Bhatara di sini”.
Menjawab Sang Bidadari: “Ya kanda, sebelum hamba menjawab keinginan kanda tersebut, berikan saya menceriterakan terlebih dahulu perihal kita berdua kala berada di Kendran. Sebenarnya, dahulu, sebelum kanda diutus untuk turun ke dunia ini, atas permohonan Ida Danghyang Siddhimantra, dinda sudah memilih hubunganbertunangan dengan kanda. Namun setelah kanda turun ke Marcapada ini dinda masih sendirian berada di Sorga Loka. Lama dinda menunggu kedatangan kanda, tidak juga ada datangdatang. ltu sebabnya dinda sekarang turun ke dunia mengikuti jejak kakanda, agar bisa segera bertemu dengan kakanda, menyatukan tali asih yang sudah bersemi di Sorga Loka. Karena itu, kalau memang benar ada maksud kakanda akan bersatu dengan dinda, dinda tidak lagi berpanjang kata, dinda bersedia mendampingi kanda, walaupun di sini di dunia, semasih kakanda berada di sini”.
dinda, kanda akan ikut. Namun demikian ada yang kanda ragukan dalam hati kanda, perihal keadaan dinda akan menetap di dunia ini bersama kanda, apakah tidak akan membuat ribut di Sorgaloka, ke sana kemari para Dewa mencari dinda. Itu yang sangat kanda khawatirkan di hati, agar tidak karena kanda yang menyebabkan dinda menemui kesulitan, apalagi dinda sudah demikian berkenan memberikan anugerah kepada kanda”.
Menjawab Sang Bidadari dengan senyum manis: “Ya kanda, memang sepantasnya kanda memikirkan keadaan dinda. Namun jangan kanda merasa khawatir. Sebab dinda sudah memohon pamit kepada Ida Bhatara serta keluarga dinda semuanya di Sorga, serta dinda sudah mendapatkan ijin dari Ida Bhatara. Memang benar dinda sedikit bersikeras memohon diri kepada Ida Bhatara, karena janji Ida Bhatara dahulu, konon kanda hanya sebentar saja diutus turun ke sini ke dunia.
Namun, sesudah kanda selesai diruwat Ida Sang Nagaraja, seyogyanya kanda sudah kembali pulang ke Sorga. Memang kanda sudah dapat pulang sekejap, namun karena keras permohonan Ida Sang Nagaraja, yang sudah berjanji kepada Ida Danghyang Siddhimantra, ayah kakanda, lagi pula memang kebetulan ada lain pekerjaan yang harus kanda selesaikan di sini, jadi hambalah yang dikalahkan. Kanda dikembalikan lagi ke dunia. Karena dinda tidak mau ditinggalkan oleh kanda sedemikian lama, jadi dinda menghadap Ida Bhatara, memohon agar dinda diperkenankan turun ke dunia ini, mengikuti perjalanan kanda. Mungkin permohonan dinda dianggap pantas, itu sebabnya dinda diberi ijin untuk mohon pamit serta diberikan wara nugraha untuk bisa turun seperti ini ke dunia, tidak lagi menjalani hal yang sudah lazim, yakni menjelma sejak bayi seperti kelahiran kanda dahulu. Sebab bila demikian perihalnya, jelas tidak bisa dinda bertemu dengan palungguh kanda, seperti sekarang”.
Memang demikian kagumnya beliau Sang Pendeta pada kadibyacaksuana wawasan Sang Bidadari, kemudian beliau bertanya kembali: “Jadi, kalau demikian halnya, semua perbuatan Kanda di dunia ini sudah dinda ketahui ?”
Baru demikian Sang Bidadari berkata, menjadi merah muka Ida Pendeta akibat malunya. Hal itu diketahui oleh Sang Bidadari. Lalu, seraya tersenyum, Sang Bidadari melanjutkan: “Namun semua itu merupakan titah atau kehendak dari Ida Bhatara di Sorgaloka. Kanda hanya melaksanakan. Kalau kanda tidak dijadikan anak yang durhaka, tidak bisa kanda akan nyupat meruwat Ida Sang Nagaraja, sebab tidak lama kanda memenggal ekor beliau yang menjadi tempat berkumpulnya angkara. Namun Beliau Sang Nagaraja tidak berhutang supata kepada kanda, karena beliau sudah pula nyupatmenyucikan diri kanda, beliau melebur badan jasmani – stula sarira kanda yang banyak berisikan dosa, kemudian diganti oleh beliau dengan badan jasmani baik seperti sekarang “.
Sang Bidadari berhenti sebentar, kemudian melanjutkan lagi: “Dinda lanjutkan sedikit lagi. Begini, perihal beliau Ki Dukuh Belatung. Memang beliau sangat sakti matang sekali dalam hal yoga samadhi. Namun ada kekurangan beliau sedikit. Yaitu beliau sedikit tinggi hati dan senang pujian. ltu sebabnya beliau bersedia diruwat pada api yang keluar dari air kencing kanda. Namun sebenarnya, hal itu merupakan kehendak Ida Bhatara, sebab kalau Ki Dukuh tidak tinggi hati, dan senang pujian, tidak berhasil kanda akan memperlihatkan kesaktian membakar sampah di hutan dengan memakai air kencing, yang menjadi jalan Ki Dukuh untuk moksa. Sebab kalau kanda yang langsung bertindak lebih dahulu, jadi kanda akan dianggap mendahului dan berlaku kurang senonoh. Kesaktian yang kemudian
memunculkan hal yang tidak baik jelas akan hilang keutamaannya”. Demikian katakata Sang Bidadari.
Menjadi semakin kagum Sang Pendeta. Merah warna paras muka beliau sudah sirna. Beliau kemudian berkata dengan manis: “Ah, mudamudanya mereka yang ada di Sorgaloka, lebih bijaksana jika dibandingkan dengan yang ada di dunia. Ya, kalau demikian halnya, menjadi tenang dan hening hati kanda tanpa ganjalan lagi sekarang. Sekarang, kanda temani dinda menuju Pasraman. Namun jangan sekali disamakan keadaan di sini dengan di Sorga”.
Singkat ceritera, pada akhirnya bersuamiistrilah Ida Sang Pendeta dengan Sang Bidadari, kemudian mengadakan putera Iaki seorang, tampan, berprabawa cerdas, mengagumkan sekali walaupun masih bayi, dinamai Ida Wang Bang Tulusdewa.
Semakin lama, kawasan Bukcabe, Besakih, Tegenan serta Batusesa, semakin subur makmur, tiada kurang makan dan minum. Itu sebabnya semakin bhakti rakyat di sana kepada Sang Pendeta. Diceriterakan di kawasan Besakih, ada pendamping Ida Sang Pendeta, sebagai pemuka warga Pasek di sana yang bernama Ki Pasek Wayabiya. Beliau sangat bhakti kepada Sang Pendeta, Danghyang Bang Manik Angkeran, karena anugerah beliau memberikan pelajaran tatwa, pengetahuan serta kaparamarthankebathinan kepada Ki Pasek. Itu sebabnya Ki Pasek menghaturkan puterinya yang bernama Ni Luh Murdani, seorang wanita yang cantik jelita, sebagai tanda pengikat bhakti beliau kepada Ki Pasek sekeluarga sampai kelak di kemudian hari. Beliau Sang Pendeta tidak menolak keinginan Ki Pasek Wayabiya.
Dengan demikian sudah tiga orang Sang Pendeta memiliki isteri, semuanya menjadi wikuni – pendeta wanita yang sangat fasih dengan weda mantra serta pula melaksanakan tapa brata yoga samadhi. Dari isterinya – Ni Luh Murdani, lahir seorang putera Iakilaki, yang juga berprabawa agung, tampan, dinamai Ida Wang Bang Wayabiya atau Ida Wang Bang Kajakauh.
Bagaikan Brahma, Wisnu, Iswara rupa putra beliau bertiga: Ida Bang Banyak Wide, Ida Bang Tulusdewa miwah Ida Bang
Wayabiya. Singkat ceritera, semua putranya itu meningkat dewasa. Karena memang putera orang yang bijak, maka ketiga putranya itu sangat setia dan akrab bersaudara, serta sangat berbakti kepada ayah bundanya. Semuanya pandai, karena segala yang dikatakan oleh ayahbundanya berisikan
Selain dengan memberikan nasehat kepandaian, kebijaksanaan kepada para putera itu, Sang Pendeta juga sering melakukan perjalanan ke desadesa memberikan nasehat dan petuah keagamaan serta ilmu kebathinan kepada masyarakat banyak ltu sebabnya, kelak di kemudian hari beliau dibuatkan sthana pelinggih di purapura sebagai bukti sujud bhakti masyarakat kepada beliau.
IDA BANG MANIK ANGKERAN BERJUMPA KI DUKUH MURTHI
Diceriterakan sekarang, pada suatu hari. Ida Sang Pendeta Danghyang Bang Manik Angkeran berjalan menuju ke arah Barat Laut, ke arah tempat kediaman Ki Dukuh Murthi. Tidak diceriterakan di jalan, sampailah beliau di hutan Jehem, kemudian, menuju Padukuhan, dan berjumpa dengan Ki Dukuh Murthi. Keduanya kemudian berbincangbincang mengenai mertua Sang Pendeta yakni Ki Dukuh Belatung yang sudah moksa. Ki Dukuh Murthi memang bersaudara dengan Ki Dukuh Belatung. Pada saat itu Ki Dukuh Murthi memiliki seorang anak wanita yang sangat cantik bernama Ni Luh Canting. Putrinya itu dipersembahkan oleh Ki Dukuh kepada Sang Pendeta, sebagai haturan utama yang tulus ikhlas, bukti besar bhaktinya Sang Dukuh kepada Sang Pendeta, sebagai pengikat hingga kelak di kemudian hari. Beliau Sang Pendeta sangat mencintai dan mengasihi Ni Luh Canting, serta bertemu cinta didasari rasa kasih sayang yang suci. Namun karena ada pekerjaan yang sangat mendesak serta didatangi oleh warga desadesa lain untuk memberikan pelajaran pengetahuan keagamaan, tergesa gesa beliau meninggalkan Ni Luh Canting untuk melanjutkan perjalanan memberikan petuah kepada warga desadesa lainnya.
Ni Luh Canting kemudian hamil, dan lamakelamaan melahirkan seorang putra yang tampan, diberi nama Sira Agra Manik. Belakangan Sira Agra Manik kembali ke Besakih, sehubungan dengan pesan ayahandanya untuk menghaturkan Lawangan Agung.
6. IDA DANGHYANG BANG MANIK ANGKERAN BERPULANG KE SUNYALOKA
Patut diketahui perihal kesaktian Sang Bidadari seharihari, menanak nasi dengan sebulir padi. Sehelai bulu ayam, jika dimasak, menjadi ikan ayam. Keadaan demikian itu jelas tidak boleh dilihat oleh orang lain. Hal itu sudah dipermaklumkan kepada Sang Pendeta, agar beliau jangan mencoba kesaktian Sang Bidadari, agar kesaktian Sang Bidadari tidak hilang. Itu sebabnya keberadaan seharihari Sang Pendeta dengan isteri dan putranya di Besakih, tiada kurang suatu apapun.
Setelah berapa tahun lamanya, Ida Danghyang Bang Manik Angkeran melaksanakan swadharma berkeluarga dengan istri beliau bertiga beserta putranya tiga orang di Besakih, maka tibalah waktunya perjanjian Sang Bidadari harus kembali ke Sorgaloka. Keluar pikiran Ida Sang Pendeta mencoba kesaktian sang istri. Beliau mengintip isterinya Sang Bidadari sedang memasak, manakala isterinya menaruh sebulir padi. Setelah lama nian memasak, dibukanya kekeb – penutup alat masak itu oleh Sang Bidadari. Dilihat padinya sebulir itu masih seperti sediakala. Saat itu, berpikir Sang Bidadari, kemungkinan memang sampai saat itu Sang Bidadari bersuamikan Sang Pendeta. Kemudian beliau menghadap dan menghaturkan sembah: “Inggih kakandaku, Sang Pandita, rupanya sampai di sini dinda mengabdikan diri – bersuamikan kanda. Sudah usai rupanya perjanjian kita. Dinda sekarang, akan memohon diri ke hadapan palungguh kanda, untuk pulang kembali ke Sorgaloka”.
Sang Pandita kemudian berkata halus: “Nah, kalau begitu Silakan adinda pulang lebih dahulu, kanda akan mengikuti perjalanan dinda”. Sang Bidadari lalu kembali ke Indraloka.
Tulusdewa, l Dewa Bang Wayabiya, anakku bertiga yang sangat ayahanda cintai dan kasihi, ayahanda sekarang bersama ibu ibumu berdua, akan meninggalkan ananda. Ayahanda akan pulang ke Sorgaloka. Satukan diri ananda dalam bersaudara. Ala Ayu tunggal ! Duka maupun suka hendaknya tetap satu! Kemudian juga agar selalu ingat kepada Bhatara Kawitan, serta senantiasa bhakti menyembah Ida Bhatara semua di sini di Besakih serta Ida Bhatara Basukih. Tidak boleh ananda lalai serta ingkar dengan petuah ayahandamu ini”. Demikian nasehat Ida Sang Pendeta, dicamkan betul oleh para putranya bertiga.
Pada hari yang baik, beliau kemudian berpulang ke Nirwana, moksa dengan Adhi Moksamoksa yang utama, diiringkan oleh isterinya berdua, karena keduanya memang setia dan bhakti kepada beliau.
Diceriterakan, beliaubeliau itu sudah menyatu dengan Tuhan. Tinggallah para putranya bertiga, ditinggal oleh ayah serta bundanya. Namun demikian masyarakat se wilayah desa Bukcabe, masih tulus bhaktinya, karena ingat kepada petuah Ki Dukuh Sakti Belatung dahulu. Pada saat itu, putera Ida Bang Manik Angkeran yang nomor empat dari Ni Luh Canting yakni Sira Agra Manik, belum ada dan belum berdiam di Besakih.
Baru didengar perkataan kakaknya demikian, maka menjawablah Ida Sang Bang Tulusdewa dengan sangat sopan: “Inggih palungguh kanda, mengenai perihal itu, perkenankanlah dinda menyampaikan pendapat, namun mohon dimaklumi, bila mana ada yang tidak berkenan di hati kanda. Perihal keinginan kanda , disebabkan niat bhakti kehadapan Ida l Kakiyang, memang wajar sekali. Dinda sangat berbesar hati. Namun bila mana kanda akan pergi ke Jawa, untuk menghadap kepada Ida Kakiyang kakek kita, apalagi berkeinginan untuk bertempat tinggal di sana, mohon maaf dan mohon perkenan kakanda, bahwa dinda tidak bisa mengikuti kehendak kanda itu. Biarkanlah hamba di sini di Bali, agar ada yang melanjutkan yadnya dari ayahanda Ida Sang Pendeta, sebagai tukang sapu di sini di Besakih, seperti menjadi petuah dari ayahanda”.!
Kemudian Ida Bang Wayabiya menghaturkan sembah: “Inggih palungguh kanda Sang Bang Banyak Wide yang sangat dinda hormati, dinda juga, bukan karena kurang bhakti dinda kepada Ida l Kakiyang, walaupun belum dinda ketahui. Yang nomor dua, tidak kurang bhakti serta kasih dinda bersaudara dengan kakanda. Namun kalau berpindah tempat meninggalkan Bali ini, berat rasanya bagi dinda, karenanya, mohon maaf pula, dinda juga tidak ikut mendampingi kanda, seperti pula pada yang dikatakan kanda Tulusdewa baru. Dinda tidak sekali akan menghalangi niat luhur kakanda untuk pergi ke Jawa, menghadap kepada Ida l Kakiyang. Itu juga sangat pantas. Kalau kakanda berkehendak akan pergi, silakan kakanda pergi sendiri, agar ada yang memberitakan keberadaan di Bali ke hadapan Ida l Kakiyang. Biarkan dinda berdua di sini di Bali “.
kebaikan atau keburukan, agar supaya tidak kita lupa bersaudara sampai nanti kepada keturunan kita di kelak kemudian hari. Ingat betul nasehat suci dari Ayahanda kita: Ala Ayu Tunggal! Ayu tunggal, Ayu kabeh. Ala tunggal, ala kabeh! Duka dan suka tunggal! Kalau satu orang mendapatkan kegembiraan, agar semuanya bisa ikut menikmatinya.
Demikian juga kalau salah satu mengalami kedukaan agar semuanya merasakannya. Mudahmudahan kita semuanya bisa bertemu kembali. Kalau tidak kanda yang bisa bertemu dengan dinda, semoga anak cucu kita bisa bertemu serta mengingatkan persaudaraan kita di kelak kemudian hari”.
Inggih, silakan palungguh kanda pergi, dinda menuruti semua apa yang kanda katakan, Semoga kanda selamat, serta bisa bertemu dengan Ida l Kakiyang”. Demikian hatur adiknya berdua.
Pada hari yang baik, Ida Bang Banyak Wide mohon diri kepada saudaranya berdua, seraya berangkat. Diceriterakan perjalanan Ida Bang Banyak Wide, demikian banyaknya desa, perumahan serta hutan dilewatinya, lembah dan jurang yang dituruninya, jarang sekali berjumpa dengan manusia. Banyak sekali kesulitan yang ditemuinya di jalan tak usah diceriterakan, namun Ida Bang Banyak Wide, walau masih jejaka mudabelia, demikian teguhnya kepada tekadnya, tidak pernah takut dan khawatir menghadapi kesulitan dan hambatan di jalan.
Pada siang hari beliau berjalan, di mana beliau merasa lesu, di sana berharap untuk beristirahat. Kalau hari sudah menjelang malam, beliau bermalam di mana beliau mendapatkan tempat. Kalau kemalaman di desa, berupaya beliau menumpang di tempat orang, namun seringkali beliau berada di tengah hutan, dan paksa tidur di pohonpohon kayu. Setiap kali beliau berjumpa dengan orang, tidak lupa beliau menanyakan di mana negeri Daha itu.
Orang di sana semuanya memakai pakaian yang bagus – bagus. Jalannya juga lebar, setiap beberapa meter ada lampu yang berderet di sisi jalan.
Setelah tenggelam sang mentari, kala itu nampak oleh beliau ada sebuah bangunan seperti Jero, bertembok bata dengan memakai pintu gerbang kori agung Di bagian luar dari bangunan yang serupa jero itu, ada balaibalai kecil: bale panjang layaknya seperti tempat orang berteduh dan beristirahat. Di sana lalu beliau berteduh dan beristirahat. Demikian gembiranya beliau, sebab mendapatkan tempat beristirahat yang nyaman.
Tidak lama, karena demikian lesunya, sekejap beliau sudah terlelap. Ternyata itu ternyata sebuah Griya – tempat seorang pendeta yang bernama Ida Mpu Sedah Di sana, di bagian luar dari Griya Ida Pandita terdapat sebuah batu ceper yang berukuran besar, sebagai tempat Pendeta Mpu Sedah duduk duduk tatkala beliau beranjangsana. Konon, dahulunya, di tempat batu itu, tak seorangpun berani bermain atau lewat di sana, apalagi untuk mendudukinya. Walau hanya seekor capungpun, kalau hinggap di tempat itu,. langsung akan hangus terbakar.
Singkat ceritera, ketika hari itu Ida Pandita keluar untuk berjalanjalan, tibatiba beliau berhenti sejenak ketika melihat ada seorang jejaka duduk di batu ceper itu. Lalu didekatinya seraya berkata: ” Uduh kaki, ndi sang kayeng tuan, agia tunggaltunggal, emaneman warnanta masmasku. Mwang siapa puspatanira ? Was dugaduga kawongane sira, dadine sira Kaki pasti maweruha. Nah, anakku, dari megerangan sebenarnya ananda ini datang sendirian ke mari. Kagum kakek menyatakan prabawamu . Siapa namamu, serta apa keluarga dan kelahiran ananda? Ayuh jelaskan agar kakek mengetahuinya !”
Baru didengar hatur Ida Sang Banyak Wide demikian, menjadi sangat terharu perasaan Ida Pandita, seraya berkata: “Aum cucuku tercinta, kalau demikian maksud tujuan cucunda, ketahuilah bahwa kakek cucunda ini memiliki hubungan saudara dengan kakekmu itu yang kini sudah tiada. Karena itu sekarang yang paling baik, dengarkan kakekmu ini, jangan dilanjutkan keinginan cucunda pulang ke Griya kakekmu. Di sini saja cucunda berdiam, mendampingi kakekmu ini yang sudah tua renta. Cucuku menjadi pewaris keturunanku, sebab kakekmu ini tidak memiliki keturunan atau anak. Dulu putera kakek ada Iakilaki seorang, bernama Sira Bang Guwi. Sudah dibunuh oleh sang raja, dosanya karena membangkang kepada raja. Sebab itu sekarang putung – tidak berketurunan kakekmu ini, semoga berkenan cucunda menjadi sentanaketurunan pewarisku, yang akan memelihara tempat kediaman ini kelak di kemudian hari. Sekarang cucunda yang memerintah di kawasan ini. Di samping itu ada petuah Kakek, sebab cucunda memakai pegangan KeBudhaan, sementara kakekmu ini melaksanakan Kesiwaan, karena itu sekarang cucunda janganlah lagi menggelar Kebudhaan, gelaran Siwa yang cucunda jadikan pegangan “.Demikian wacana Ida Mpu Sedah kepada Ida Bang Banyak Wide yang memahami dan menyetujui kehendak Ida Pandita, sehingga akhirnya Ida Bang Banyak Wide diresmikan sebagai putera angkat – kadharma putera.