SKRIPSI
Oleh :
AGUNG DWI PRASETYO
0743010170
YAYASAN KESEJ AHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” J AWA TIMUR
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
Disusun Oleh :
AGUNG DWI PRASETYO NPM : 0743010170
Telah dipertahankan di hadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi Program Studi Ilmu Komunikasi
Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Jawa Timur Pada Tanggal 14 Juni 2012
Menyetujui
Tim Penguji :
Pembimbing Utama : 1. Ketua
Dr a. Sumar djijati, M.Si Ir . H. Didiek Tr enggono, M.Si NIP. 1962 0323 199309 2001 NIP. 1958 1225 199001 1001
2. Sekretaris
Dr a. Sumar djijati M.Si NIP. 1962 0323 199309 2001
3. Anggota
Dr a. Her linaSuksmawati, M.Si NIP. 1963 0907 199103 2001 Mengetahui
D E K A N
Disusun Oleh :
AGUNG DWI PRASETYO
NPM : 0743010170
Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Skripsi
Menyetujui,
Pembimbing
Dra. Sumardjijati, Msi
NIP. 196203231993092001
Mengetahui,
D E K A N
“Belanja Terus Sampai Mati” karya band Efek Rumah Kaca)
Musik dapat diartikan sebagai suatu ungkapan yang berasal dari perasaan yang
dituangkan dalam bentuk bunyi – bunyian atau suara. Musik merupakan hasil karya
manusia yang menarik karena musik memegang peranan yang sangat banyak di berbagai
bidang. Salah satu hal yan terpenting dalam sebuah musik adalah lirik lagunya, karena
lirik lagu dalam musik yang sebagaimana dapat menjadi media komunikasi untuk
mencerminkan realitas sosial yang beredar dalam masyarakat. Lirik lagu dapat pula
sebagai sarana untuk sosialisasi karena mengandung informasi dan pesan, dan dapat pula
sebagai pelestarian terhadap suatu sikap atau nilai.
Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah pemaknaan
lirik lagu “Belanja Terus Sampai Mati” pada album Efek Rumah Kaca yang dipopulerkan
oleh Efek Rumah Kaca band
..
Teori yang digunakan adalah semiotica Ferdinand de Saussure. Saussure
mendefinisikan tanda linguistik sebagai entitas dua sisi, yaitu penanda (signifier), yaitu
aspek material dari sebuah tanda, sebagaimana kita menangkap bunyi saat orang
berbicara, dan petanda (signified), merupakan aspek mental dari bahasa. Kerangka
berfikir yang digunakan pada penelitian ini berdasarkan Frame of Reference (berdasarkan
pengalaman) serta Field of Experience (latar belakang pengalaman).
Metode semiotic dalam penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, yaitu sebuah
metode yang lebih mudah menyesuaikan bila dalam penelitian ini kenyataan ganda,
menyajikan secara langsung hubungan antara peneliti dengan objek penelitian, serta
dapat menyesuaikan posisi peneliti terhadap pengaruh pola nilai yang di interpretasikan.
Dalam hal ini, penekanan analisis lebih mengarah pada lirik lagu Belanja Terus Sampai
Mati yang mengandung makna kritikan dan sindirian tentang perilaku konsumtif.
Hasil yang diperoleh dari interpretasi lirik lagu Belanja Terus Sampai Mati adalah
motivasi dan penggugah untuk tidak berperilaku konsumtif dan bergaya hidup boros,
karena secara tidak sadar perilaku konsumtif memiliki efek jangka panjang dan akan
membuat proses hidup menjadi sebuah tuntutan akan kesenangan dan kepuasan diri.
Dengan mengucap puji dan syukur kehadirat ALLAH SWT atas segala rahmat
dan hidayah-Nya sehingga skripsi dengan judul PEMAKNAAN LIRIK LAGU
“BELANJ A TERUS SAMPAI MATI” (studi semiotik Lirik Lagu Efek Rumah
Kaca Band Yang Berjudul “Belanja Terus Sampai Mati”).
Penulis juga ingin mengucapkan rasa terima kasih sebanyak-banyaknya kepada Ibu
Drs. Sumardjijati MS.i selaku dosen pembimbing utama yang telah meluangkan waktu
memberikan bimbingan, nasehat serta motivasi kepada penulis sehingga penulis. Dan
penulis juga banyak menerima bantuan dari berbagai pihak, baik berupa moril, spiritual
maupun materiil. Pada kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima
kasih kepada :
1.
Ibu Dra. Ec. Hj. Suparwati, Msi Dekan FISIP UPN “Veteran” Jatim.
2.
Bapak Juwito, S.Sos, Msi , Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UPN
“Veteran” Jawa Timur.
3.
Orang tua tercinta yang terus memberi motivasi dan semangat.
4.
Terima kasih untuk Nizwan Amin, Ryan Alan dan Maulana Yudhistira yang
selalu setia membantu dalam proses pelaksanaan penulisan skripsi
10.
Terima Kasih untuk Mas Jeki yang setia membimbing penulisan dalam
pengetikan.
.11.
Terima Kasih untuk orang yang ada disekitarku saat mengerjakan penulisan
skripsi Dedy tereng, Wowok, Adi pelos, Hamid, Ayik, Angga sakek, Nadir,
Zuhdi, bang Inong yang selalu mengingatkan penulis
Penulis menyadari bahwa dalam proposal ini akan banyak ditemukan kekurangan
sih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu kritik dan saran yang membangun dari semua
pihak sangat diharapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya dengan segala
keterbatasan yang penulis miliki semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak
umumnya dan penulis pada khususnya
Surabaya, Juni 2012
Halaman
LEMBAR PERSETUJ UAN
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iii
BAB I PENDAHULUAN... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 10
1.3 Tujuan Penelitian ... 10
1.4 Manfaat Penelitian ... 10
1.4.1. Manfaat Teoritis ... 10
1.4.2. Manfaat Praktis ... 11
BAB II KAJ IAN PUSTAKA ... 12
2.1 Landasan Teori ... 12
2.2.1. Lagu dan Lirik Lagu ... 12
2.2.2. Semiotika dalam Ilmu Komunikasi ... 17
2.2.3. Teori Semiotik Saussure ... 19
2.2.4. Signifier dan Signified ... 25
2.2.5. Langue dan Parole ... 26
2.2.6. Makna dan Pemaknaan ... 28
2.4. Perilaku Konsumtif ... 36
2.5 Kerangka Berfikir ... 40
BAB III METODE PENELITIAN ... 42
3.1 Jenis Penelitian ... 42
3.1.1. Pemaknaan Lirik Lagu “Belanja Terus Sampai Mati” ... 42
3.2 Unit Analisis ... 43
3.3 Corpus ... 43
3.4 Teknik Pengumpulan Data... 45
3.4.1. Sumber Data ... 45
3.5 Metode Analisis Data ... 46
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 48
4.1 Gambaran Umum Obyek ... 48
4.1.1. Efek Rumah Kaca ... 48
4.2 Lirik Lagu “Belanja Terus Sampa Mati” Menurut Teori Semiotik Saussure ... 50
4.3 Penyajian dan Pemaknaan Data ... 52
4.3.1 Penyajian Data ... 52
5.2 Saran ... 76
1.1 Latar Belaka ng Masalah
Musik memiliki tata bahasa, ilmu kalimat dan retorik. Namun musik
tidak sama dengan bahasa. Elemen “kata” pada bahasa adalah materi yang
mempunyai makna tetap atau konkret, sedangkan “nada” pada musik
bersifat absurd dan hanya bermakna ketika dia berda diantara nada – nada
yang lainya. Fungsi yang dimiliki musik sangat besar dalam kehidupan
manusia, musik bisa menjadi hiburan, pendidikan dan kesehatan, serta juga
bagian dari kegiatan ritual keagamaan
Musik sendiri menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia memiliki
makna bunyi – bunyian yang ditata secara enak dan rapi. Dari definisi diatas
dapat diketahui bahwa musik dapat menciptakan sebuah lagu. Sebuah lagu
yang dinyanyikan biasanya terdiri dari tiga komponen yang saling
melengkapi dan salin bergantung. Komponen tersebut antara lain paduan
suara atau vokal, instrumen atau alat musik , serta yang terakhir adalah lirik
lagunya. Vokal penyanyi adalah sebagai tubuh lirik lagu adalah jiwa atau
nyawa sedangkan instrumen adalah penggambaran musik sendiri
Musik merupakan hasil dari budaya manusia diantara banyak budaya
manusia yang lain yang menarik, karena musik memegang peranan yang
sangat banyak di berbagai bidang. Musik menjadi sarana pemenuhan
dari sudut pandang sosial, musik hingga menjadi sebuah lagu bisa disebut
sebagai cermin tatanan sosial yang ada dalam masyarakat saat lagu itu
diciptakan. Selain itu, musik yang dibuat menjadi sebuah lagu bisa
mempangaruhi pendengarnya dalam melakukan sesuatu. Hal ini disebabkan
karena saat ini musik dalam bentuk lagu disampaikan melalui beragam
media komunikasi elektronik, seperti televisi, radio, maupun video dan
audio streaming internet sehingga bisa dinikmati kapan saja oleh
penikmatnya. Selain itu, musik juga bisa dinikmati secara langsung melalui
sarana konser musik.(http://id.wikipedia.org/wiki/Musik)
Musik saat ini bisa menjadi suatu pesan melalui lirik lagu yang
disampaikan penciptanya untuk mempengaruhi masyarakat. Karena lirik
lagu seperti bahasa dapat menjadi media komunikasi untuk mencerminkan
realitas sosial yang beredar di masyarakat. Bisa juga lirik lagu
mencerminkan isu – isu sosial yang terjadi saat ini.
Lagu memiliki berbagai makna dan arti, salah satunya adalah proses
kegiatan berkomunikasi, penyampaian jujur suatu rasa atau ide, pikiran
(komunikator) dalam hal ini pencipta lagu kepada khalayak pendengar.
Konsep pesan dalam sebuah lagu biasanya bermacam – macam , ada yang
berupa ungkapan sedih, rasa bahagia, rasa kecewa, rasa kagum terhadap
sesuatu hal atau orang, serta banyak juga yang merupakan penyampaian
dorongan semangat atau motivasi.
Lagu juga dapat dikatakan sebagai sebuah proses komunikasi yang
komunikator kepada komunikan dengan menggunakan bahasa verbal. Selain
itu lagu adalah sajak dan puisi yang didalamnya terkandung aturan bahasa,
makna kiasan dan simbol – simbol.
Lagu merupakan salah satu media untuk mengungkapkan,
menyampaikan berbagai pengalaman atau pandangan sesuai pola pikir
pencipta lagu, pola pikir tentang perasaan, isu – isu sosial yang sedang
menjadi perdebatan umum. Sudut pandang pencipta lagu terhadap suatu
permasalahan juga dapat mempengaruhi hasil lagu.
Dalam sebuah lagu terdapat lirik dan instrumen yang membentuk
sebuah struktur penyampaian pesan secara mudah diterima oleh khalayak,
mayoritas seniman musik atau musisi menggunakan sebuah lagu sebagai
sarana untuk menyampaikan pesan – pesan yang bertujuan mengubah
pandangan dan pola pikir khalayak terhadap suatu fenomena – fenomena
yang terjadi disekitar lingkungan atau didalam ruang lingkup.
Jika ditelusuri lebih lanjut, dapat dilihat dari pola pikir sang pencipta
lagu. Melalui lirik lagu itu pencipta bisa menyampaikan apa yang ingin
diungkapkannya. Isi pesan yang disampaikan oleh pencipta lagu bersumber
dari pola pikir serta kerangka acuan dan pengalaman sebagai hasil interaksi
sosial lingkungan sekitarnya.
Lirik dalam sebuah lagu merupakan isi pesan yang sebenarnya
dalam sebuah proses penyampaian pesan secara seni, pada dasarnya lirik
merupakan sebuah pandangan, pola pikir terhadap suatau hal yang
Mayoritas pencipta lagu dalam proses pembuatan sebuah lirik
mrnggunakan tatanan bahasa atau kalimat yang sesuai dengan apa yang
ingin mereka sampaikan, penggunaan kalimat atau pemilihan kata dalam
sebuah lirik memiliki aturan – aturan tertentu, beberapa pencipta lagu
menggunakan kode-kode bahasa atau menggunakan tatanan bahasa
Indonesia yang baik dan benar.
Lirik lagu sebagaimana bahasa, dapat menjadi media komunikasi
untuk mencerminkan realitas sosial yang beredar dalam masyarakat. Lirik
lagu dapat pula sebagai sarana sosialisasi dan pelestarian terhadapat suatu
sikap atau nilai. Oleh karena itu, sebuah lirik lagu mulai diperdengarkan
kepada khlayak, juga mempunyai tanggung jawab yang besar atas tersebar
luasnya sebuah pola pikir, nilai – nilai bahkan prasangka tertentu.
Isu – isu sosial dan faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap
penciptaan sebuah lagu, tak banyak juga pencipta lagu yang berinisiatif
untuk mengusung pesan – pesan moral yang sengaja di sampaikan melalui
lagu. Kritikan dan sindiran terhadap fenomena – fenomena yang melanda
masyarakat pun bisa di usung dalam sebuah lagu, fenomena perilaku
konsumtif contohnya.
Dewasa ini masyarakat Indonesia sangat terlihat begitu kentalnya
sebagai masyarakat konsumen yang sempurna. Bukan saja masyarakat
menengah ke atas saja, akan tetapi telah sampai pada masyarakat yang
paling bawah dalam tingkatan sosial dan ekonominya. Seiring dengan
terjadinya perubahan perekonomian dan globalisasi, terjadi dalam perilaku
kebutuhan yang sebenarnya. Perilaku membeli yang tidak sesuai kebutuhan
dilakukan semata – mata demi kesenangan, sehingga menyebabkan
seseorang menjadi boros, yang dikenal dengan istilah perilaku konsumtif.
Konsumtivisme merupakan paham untuk hidup secara konsumtif,
sehingga orang yang konsumtif dapat dikatakan tidak lagi
mempertimbangkan fungsi atau kegunaan ketika membeli barang melainkan
mempertimbangkan prestise yang melekat pada barang tersebut. Oleh
karena itu, arti kata konsumtif (consumtive) adalah boros atau perilaku yang
boros, yang mengonsumsi barang atau jasa secara berlebihan. Dalam artian
luas konsumtif adalah perilaku berkonsumsi yang boros dan berlebihan,
yang lebih mendahulukan keinginan daripada kebutuhan, serta tidak ada
skala prioritas atau juga dapat diartikan sebagai gaya hidup yang
bermewah-mewah.
Hal ini bisa kita lihat dari ekspresinya yang paling primitif hingga
yang paling mutakhir di jaman modern ini. Tendensi yang ada dalam diri
manusia untuk selalu tak pernah puas (never-ending-discontentment) ”mau
ini-mau itu” dengan hal-hal yang telah mereka miliki ditambah dengan
dorongan kuat ambisi pribadi dan semangat kompetisi untuk mencapai
sesuatu yang lebih.
Pola hidup konsumtif sudah mengakar di budaya bangsa Indonesia,
sehingga tak mengenal tua-muda, tak mengenal kaya-miskin, keinginan
untuk hidup “wah” secara merata hinggap di pikiran kita. Tentu ada
pengecualian bagi segelintir orang, namun pada umumnya ya begitulah.
bertambahnya kebutuhan energi, kian meningkat seiring dengan
peningkatan pendapatan per-kapita. Pendapatan mestinya tidak dihabiskan
untuk keperluan konsumtif, tetapi disisihkan sebahagian untuk tabungan.
Tabungan akan bermanfaat untuk keperluan investasi, dan kemudian akan
bisa digunakan untuk usaha-usaha produktif.
Perilaku konsumtif masyarakat pada dasarnya terbentuk ketika
remaja yang kemudian terbawa hingga dewasa. Perilaku konsumtif pada
remaja sebenarnya dapat dimengerti bila melihat usia remaja sebagai usia
peralihan dalam mencari identitas diri. Remaja ingin diakui eksistensinya
oleh lingkungan dengan berusaha menjadi bagian dari lingkungan itu.
Kebutuhan untuk diterima dan menjadi sama dengan orang lain yang sebaya
itu menyebabkan remaja berusaha untuk mengikuti berbagai atribut yang
sedang “tren”. Perubahan sosial yang dialami remaja menyebabkan remaja
harus menyesuaikan diri dengan teman sebayanya dan orang lain. Akibat
tidak percaya diri menyebabkan remaja mencari cara untuk dapat
meningkatkan percaya dirinya. Salah satu cara adalah dengan penggunaan
barang-barang yang dianggap mampu meningkatkan rasa percaya dirinya.
Adanya kebutuhan yang kuat dalam berteman menjadikan remaja ingin
diterima menjadi bagian dari kelompok. Agar bisa diterima oleh
kelompoknya, remaja sedapat mungkin untuk bisa sejalan dengan kelompok
salah satunya dengan penggunaan barang-barang yang sama dengan
kelompoknya. Adanya keinginan untuk meningkatkan percaya diri dan
berlebihan. Selain itu, karakteristik remaja yang labil, spesifik, dan mudah
dipengaruhi membuat mereka sering dijadikan target pemasaran produksi
industri sehingga akhirnya mendorong munculnya berbagai gejala dalam
membeli yang tidak wajar.
Fenomena perilaku konsumtif yang sedang mengakar kuat dalam
sebagian besar masyarakat Indonesia, hal ini bisa kita lihat dari beberapa
episode yang ditanyangkan sebuah televisi swasta dengan tema acara “Uang
Kaget” atau Mr.EM (Mr.Easy Money). Dalam acara itu seorang “Mr.EM”
menemui seseorang yang dinyatakan sebagai orang yang kesulitan
keuangan atau dengan kata lain orang yang tidak mampu secara
ekonomi-keuangan. Setelah melakukan wawancara seperlunya lalu Mr EM
memberikan uang yang bagi mereka (orang yang ditemui) merupakan
jumlah uang yang “sangat banyak”. Jumlah uang diberikan kepada mereka
memang jumlah besar yaitu Rp. 10.000.000,00.(sepuluh juta rupiah).
Mr.EM memberikan tugas kepada mereka yang menerima uang tersebut
untuk membelanjakan secara langsung dengan batas waktu untuk
“menghabiskan” jumlah uang tersebut selama 30 menit. Kemudian acara
selanjutnya mereka yang menerima uang Rp. 10.000.000,00 “dadakan”
tersebut lalu lari-lari ke toko atau super market atau ke mall dan sebagainya
untuk membelanjakan dan menghabiskan jumlah uang tersebut. Bisa kita
lihat yang mereka beli adalah barang-barang yang menurut pandangan
mereka adalah barang-barang yang “mewah” misalnya kulkas, televisi,
makanan-makanan (supermi dan sejenisnya, snack dan sebagainya). Pembelian–
pembelian tersebut begitu meriahnya, tanpa disadari pentingnya setelah
mereka membeli. Saat melakukan pembelian barang-barang tersebut
memang tidak akan menjadi beban yang bersangkutan manakala yang dibeli
adalah bahan-bahan makanan/ minuman atau alat-alat masak yang tidak
elektromik. Akan tetapi ternyata mereka sekarang membeli peralatan dan
barang-barang yang tidak primer dan yang elektronik (Kulkas, TV
misalnya), tidak terpikirkan bahwa setelah membeli dan memiliki akan
mengandung biaya. Biaya yang ditanggung secara harian atau bulanan
adalah biaya listrik, sementara barang-barang tersebut kurang produktif
untuk bisa menghasilkan uang secara harian atau bulanan. Pembelian
tersebut sekedar menghabiskan uang “dadakan” yang tidak diperhitungkan
beban selanjutnya setelah memiliki barang-barang tersebut. Inilah yang
dikatakan sebagai bukti bahwa masyarakat kita sangat konsumerisme.
Perkembangan zaman yang semakin modern masyarakat
mempunyai pandangan hidup yang menganggap bahwa kesenangan dan
kenikmatan materi adalah tujuan utama hidup. Mereka beranggapan hidup
ini hanya satu kali, sehingga mereka merasa ingin menikmati hidup
senikmat-nikmatnya. di dalam lingkungan penganut paham ini, hidup
dijalanani dengan sebebas-bebasnya demi memenuhi hawa nafsu yang tanpa
batas. Pandangan mereka terangkum dalam pandangan Epicurus yang
menyatakan, “Bergembiralah engkau hari ini, puaskanlah nafsumu, karena
Pandangan hidup seperti penjelasan diatas merupakan pandangan
hidup secara “hedonisme”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
hedonisme diartikan sebagai pandangan yang menganggap kesenangan dan
kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup (KBBI, edisi ketiga,
2001). Secara general, hedonisme bermakna, kesenangan merupakan
satu-satunya manfaat atau kebaikan. Dengan demikian hedonisme bisa
didefinisikan sebagai sebuah doktrin (filsafat etika) yang berpegangan
bahwa tingkah laku itu digerakkan oleh keinginan atau hasrat terhadap
kesenangan dan menghindar dari segala penderitaan.
Paradigma hedonistis memfokuskan pandangannya pada pencarian
kesenangan dan penghindaran terhadap segala penderitaan. Namun dewasa
ini substansi secara harfiah sudah tidak lagi menemukan relevansinya.
Nampaknya tidak ada persamaan persepsi mengenai apa-apa saja yang
sebenarnya bisa mendatangkan kesenangan dan apa-apa saja aktivitas yang
bisa mendatangkan penderitaan.
Sebagaimana lagu menjadi media dalam proses komunikasi sebuah
band Indonesia yang bernama Efek Rumah Kaca berinisiatif mengusung
sebuah fenomena perilaku konsumtif dalam sebuah lagu yang berjudul
“Belanja Terus Sampai Mati”, lirik – lirik yang digunakan sengaja untuk
menyinggung, mengkritik perilaku konsumtif yang sekarang menjadi
fenomena baru di Negara Indonesia
Berdasarkan uraian diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan
suatu studi semiotic yaitu mengenai pemaknaan lirik lagu dari Efek Rumah
menggunakan metode semioktik Saussurre. Dalam metode saussurre,
dikembangkan sebuah model relasi yang disebut signified, yaitu cara
pengkombinasian tanda berdasarkan aturan main tertentu sehingga
menghasilkan ungkapan bermakna sebagai hasil dari interpretasi data
mengenai lirik lagu tersebut.
1.2 Per umusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijelaskan
sebelumnya maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah
bagaimanakah pemaknaan lirik lagu Efek Rumah Kaca band yang berjudul “
BELANJA TERUS SAMPAI MATI ”.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah
pemaknaan lirik lagu “BELANJA TERUS SAMPAI MATI” pada album
Efek Rumah Kaca yang dipopulerkan oleh Efek Rumah Kaca band.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teor itis
Penilitan ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah
literature penelitian ilmu komunikasi khususnya pada kajian analisis
system tanda komunikasi berupa lirik lagu dengan menggunakan
1.4.2 Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
khalayak pendengar lirik lagu serta dapat membantu dalam memahami
makna yang terkandung dalam lagu yang berjudul “ BELANJA TERUS
2.1 Landasan Teor i
2.2.1
Lagu dan Lirik Lagu
Peranan dan kedudukan lagu adalah penting dalam rangka
sosialisasi ide dan gagasan dalam tradisi dalam kebudayaan. Sehubungan
dengan hal tersebut, seorang ahli psikologi Indonesia, menyatakan bahwa
musik, lagu dan senandung adalah bagian yang tidak terpisahkan dari
seluruh hidup manusia , sejak dari buaian sampai akhir hayat, secara
universal di hampir semua lapisan sosial di berbagai kebudayaan. Manusia
mengenal musik dan lagu menurut caranya masing-masing. Sementara Perry
dalam Savitri (1991 :3) juga menyebutkan bahwa sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari kemanusiaan sendiri, musik dan lagu hadir dan disukai
manusia secara kodrati. Para ahli menyebutkan inherent merit yang
memprakarya khasanah dan memperindah kebudayaan manusia.
Di Indonesia sendiri lirik berkembang pada paruhan pertama
dasawarsa 1950-an setelah merebut kemerdekaan. Waktu itu masih di
berlakukan yang dinamakan “musikalisasi syair” yaitu menggarap
komposisi-komposisi lagu terhadap puisi-puisi yang terlebih dahulu
diciptakan oleh penyair terpandang
Usaha dilakukan kembali pada paruh pertama dasawarsa 1970-an.
musikalisasi itu telah terjadi kembali. Salah satu contoh adalah Bimbo yang
sering melakukan kerja sama dengan penyair terkenal diantaranya Taufik
Ismail, Ramadhan K.H dan Wing Kardjo. Upaya yang dilakukan Bimbo ini
disambut oleh beberapa kelompok musik, terutama dari Bandung yang
kemudian mencoba untuk memusikalisasi puisi- puisi karya Gunawan
Mohammad, Abdul Hadi W.M, Sapardi Joko Darmono, dan bahkan puisi
karya pelukis Jeihan.
Musikalisasi syair yang dilakukan oleh para komponis lagu tahun
1950-an itu salah satunya disebabkan oleh keadaan niaga musik yang tidak
bisa menunggu lama. Pada saat itu para komponis diharapkan mampu
menciptakan sebuah lagu yang diibaratkan seperti kue, dapat dibeli dengan
harga sangat murah dan dapat dinikmati selagi hangat, ini menyebabkan
pemusik terpaksa tergesa – gesa sehinggamenyebabkan pula keterbatsan ide
kreatif para komponis atau pencipta lagu.
Persoalan teknis seperti, persewaan studio yang mahal membuat para
musisi membuat musik hanya asal jadi. Sering kali mereka hanya
mengadaptasi kata – kata dari lagu pop Amerika mengenai cinta yang
dicerna oleh komponis Indonesia. Padahal lirik Amerika sendiri mendapat
kecaman antara lain dikatakan bahwa lirik lagu Amerika tidak jelas, dumb,
vulgar, degrading, uninspired. (Rosidi,1995;8)
Lirik lagu pada perkembangannya akhirnya mulai meninggalkan
kebiasaan mengadaptasi lirik lagu luar negri, walaupun tidak benar – benar
meninggalkannya. Para pencipta lirik Indonesia sudah mulai menciptakan
disekitarnya, walaupun sebagian besar masih bertemakan cintai dan
detailnya
Pada dasarnya music dapat dibagi menjadi tiga macam yaitu :
a. Vokal, yaitu musik yang dibunyikan dengan suara manusia
b. Instrument, artinya alat musik antara lain gitar, keyboard, piano, drum
dan sebagainya
c. Campuran vokal dan instrument yaitu menyanyi diiringi alat music
(Kartono, 2004 :88)
Pada masa ini oleh masyarakat, musik popular diberi arti musik yang
mudah diterima oleh kebanyakan orang dan untuk karenanya masyarakat
banyak yang menyukainya ( Sumaryo dalam Setianingsih, 2002 :26 ).
Beberapa jenis musik yang di dasarkan pada manfaat agar diketahui lebih
dalam adalah :
1. Musik klasik : ada sedikit pergeseran makna, seperti terjadi pula pada
nama ataupun istilah lain. Ada tiga taksiran mengenai musik klasik
yang sering digunakan.
a. Pertama : musik klasik adalah jenis music terkenal yang dibuat atau
diciptakan jauh di masa lalu, tetapi disukai, dimainkan dan diminati
orang sepanjang masa sampai sekarang.
b. Kedua : musik klasik adalah jenis musik yang lahir atau diciptakan
oleh komponis – komponis pada masa klasik, yaitu berkisar pada
c. Ketiga : musik klasik adalah jenis musik yang lahir atau diciptakan
pada masa sekarang, tetapi mengambil corak, gaya, ataupun teknik
yang terdapat pada musik klasik dari pengertian pertama.
2. Musik Jazz : Jenis musik yang lahir di New Orleans, Amerika Serikat,
pada awal abad 21-an. Merupakan perpaduan antara teknik dan
peralatan musik Eropa, khususnya Perancis, dengan irama bangsa negro
dari Afrika Barat, di perkebunan – perkebunan kapas di New Orleans.
Contoh : Michael Buble, Iga Mawarni
3. Musik Keroncong : Jenis musik dimana dalam musik dipergunakan dan
pernadaan musik Barat, yang dimainkan dan dinyanyikan dengan gaya
music tradisi kita yang sudah ada sebelumnya , misalnya : angklung,
kentongan, dan lain – lain. Contoh : Waljinah
4. Musik Popular : Jenis musik yang selalu memasukkan unsur – unsur
ataupun cara – cara baru yang sedang disukai , atau di harapkan akan
disukai oleh pendengar. Tujuannya adalah memperoleh ledakan
popularitas sebesar mungkin dan secepat mungkin. Walaupun dua atau
tiga tahun kemudian tidak ada lagi yang bisa mendengarkanya. Musik
popular merupakan suatu bidang yang mempunyai perkembangan
tersendiri. Sifat – sifat perkembangannya itu kadang – kadang menuju
kearah perkembangan artistik musical, tapi yang masih mendapat
simpati dari masyarakat banyak. Musik popular atau pop merupakan
jenis musik yang “entertaining” seperti diungkapkan Frank Sinarta.
b. Frase – frase melodis yang mudah dipahami
c. Instrument yang bombastis dengan alat gesek, paduan suara sebagai
latar belakang. (Mach,1995:18)
Meski disebut musik popular, dari pemain–pemainnya tetap diminta
syarat musikalitas. Makin tinggi nilai musikalnya, maka semakin baik.
Pemain Musik popular tidak begitu merasa “tegang” seperti penyanyi choir
atau seriosa. Yang dimaksud “tegang” adalah suatu rasa tekanan atau
ketegangan mental, yang disebabkan antara lain adanya konsentrasi penuh
agar dapat memainkan alat musiknya sebaik – baiknya. Band musik
populer, disingkat musik pop, bentuknya berganti – ganti terus menurut
jamannya. Kalau dalam tahun 1930-an yang dinamakan band popular itu
berbentuk jazz atau orkes hawaian, pada waktu sekarang band yang paling
popular sebagian besar alat – alatnya terdiri dari gitar elektris, lengkap
dengan pengeras suaranya.
Meskipun bentuk band popular berganti – ganti, prinsip
permainannya tidak banyak berubah. Pemain yang penting dalam band –
band popular harus kuat dalam improvisasi. Dalam artti, mengidangkan
sebuah improvisasi bebas dalam batas – batas pola tertentu. Pola – polanya
tetap sama, yaitu perkembangan melodi dan chord asli dalam lagu tersebut.
Pemain band popular sekarang bisa terdiri dari tiga atau lebih yang
mempunyai peran masing – masing, missal pemain gitar, keyboard, bass,
drum dan sebagainya. Band – band sekarang juga tak jarang memakai alat
musil baru seperti turntable, sampling dan sebagainya, tergantung
Dari uraian diatas tetntang musik popular, maka band “Efek Rumah
Kaca” termasuk dalam kategori band music populer lagunya yangb berjudul
“Belanja Terus Sampai Mati” mudah diterima dan banyak disukai oleh
masyarakat.
2.2.2 Semiotika dalam Ilmu Komunikasi
Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji
tanda. Tanda – tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya
berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah – tengah manusia dan
bersama – sama manusia. Semiotika pada dasarnya hendak mempelajari
bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal – hal (things). Memaknai
berarti bahwa obyek – obyek tidak hanya membawa informasi, dalam hal
mana obyek – obyek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga
mengkanstitusikan system terstruktur dari tanda.
Kata “semiotika” sendiri berasal dari bahasa Yunani, yang bearti
“tanda” atau berarti “penaksir tanda”. “Tanda” pada masa itu masih
bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain. Contohnya, asap
menandai api. Semiotika modern mempunyai tokoh yakni Ferdinand de
Saussurre dimana melalui tokoh tersebut muncullah cikal bakal linguistik
umum. Ferdinand de Saussurre memberikan tekanan pada teori tanda dan
pemahamannya dalm konteks tertentu. Suatu tanda menandakan sesuatu
selain dirinya sendiri dan makna (meaning) adalah hubungan antara suatu
Tanda – tanda (signs) adalah basis dari seluruh komunikasi. Manusia
dengan tanda – tanda dapat melakukan komunikasi denagn sesamanya.
Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda.
Tanda – tanda adalah perangkat yang dipakai dalam upaya berusaha mencari
jalan di dunia ini, di tengah – tengah manusia dan bersama – sama manusia.
(Litle John 1996 : 64)
Semiotika seperti kata Leche ( 2001 : 191) adalah teori tentang tanda
dan penandaan. Lebih jelasnya lagi, semiotika adalah suatu disiplin yang
menyelidiki semua bentuk komunikasi yang terjadi dengan sarana (signs)
tanda – tanda dan berdasarkan pada sign system (code) (Segers,2004 : 4 ).
(Hjelmslev dalam Chistomy,2001 : 7 ) medefinisikan tanda sebagai suatu
keterhubungan antara wahana ekspresi (expression plan) dan wahan isi
(content plan). Charles Morris menyebut semiosis sebagai suatu proses
tanda, yaitu proses ketika sesuatu merupakan tanda bagi beberapa
organisme. Dari beberapa contoh definisi diatas maka semiotika atau
semiosis adalah ilmu atau proses hubungan yang berhubungan dengan
tanda.
Pada dasarnya semiosis dapat dipandang sebagai suatu proses tanda
yang dapat diberikan dalam istilah semiotika sebagai suatu hubungan antara
lima istilah :
S adalah semiotic relection (hubungan semiotik); s untuk sign
(tanda); i untuk interpreter (penafsir); e untuk effect pengaruh ( misalnya
suatu tanda diposisi dalam i akan bereaksi dengan cara tertentu terhadap
kondisi r pada kondisi – kondisi tertentu c karena s ); r untuk reference
(rujukan); dan c untuk context (konteks) atau conditions (kondisi).
Saat ini dikenal dua jenis semiotika komunikasi dan semiotika
signifikasi
1. Semiotika komunikasi yang dikembangkan oleh Charles Sanders Pierce
lebih menekankan pada teori tentang produksi tanda yang salah satu
diantaranya mengasumsikan adanya enam factor dalam komunikasi
yaitu pengirim, penerima kode (system tanda), pesan, saluran
komunikasi dan acuan.
2. Semiotika signifikasi yang dikembangkan oleh Ferdinand de Saussurre
memberikan tekanan pada teori tanda dan pemahamannya dalam suatu
konteks tertentu. Suatu tanda menandakan sesuatu selain dirinya
sendiri dan makna (meaning) adalah hubungan antara objek atau ide
dan suatu tanda.
2.2.3 Teor i Semiotik Saussur e
Semiotik adalah ilmu tanda, istilah tersebut berasal dari bahasa
Yunani semeion yang bearti “tanda”. Tanda terdapat dimana – mana, kata
tanda adalah tanda, demikian pula gerak isyarat, lampu lalu lintas, bendera
dan sebagainya. Bidang kajian semiotik adalah mempelajari fungsi tanda
teks yang berperan membimbing pembacanya agar bisa menangkap pesan
yang terkandung di dalamnya (Komaruddin Hidayat dalam Sobur,
2001;106)
Pokok kajian Saussure. Tentang bahasa berbeda jauh dengan
pendekatan para fololog abad 19, bukannya mengkaji linguistik secara
historis, berdasarkan garis diakronik, yaitu kajian yang melihat perubahan
pada bahasa dalam kurun waktu tertentu. Saussure justru mengembangkan
linguistik sinkronik. Dia mempresentasikan analisis bahasa secara umum,
sebuah kajian tentang prasyarat keberadaan dari sembarang bahasa.
Saussure mendefinisikan tanda linguistik sebagain entitas dua sisi (dyad).
Sisi pertama disebutnya dengan penanda (signifier). Penanda adalah aspek
material dari sebuah tanda, sebagaimana kita menangkap bunyi saat orang
berbicara. Bunyi ini muncul dari getaran pita suara (yang tentu saja bersifat
material). Wilayah perhatian Saussure hanya meliputi tanda linguistik .
Dalam hal ini dai mengikuti tradisi teorisasi tanda – tanda “konvensional”.
Sisi kedua dari tanda yaitu sisi yang diwakili secara material oleh penanda
adalah apa yang disebut Saussure sebagai penanda (signified). Penanda
merupakan konsep dari penanda tersebut.
Saussurre menggambarkan tanda yang terdiri dari atau signifier
dan signified itu sebagai berikut :
Sign
Composed of
Signification
Signifier Signified External
(physical (mental concept) reality of meaning Existence
of the sign)
Sumber : McQuail, Teknik Riset Komunikasi, 2006 halaman 266
Gambar 2.1. Diagram Semiotik Saussure (1990:44)
Saussure menyebut signifier sebagai bunyi atau coretan bermakna,
sedangkan signified adalah gambaran mental atau konsep sesuatu dari
signifier. Hubungan antara keberadaan fisisk tanda dan konsep mental
tersebut dinamakan signification dengan kata lain, signification adalah
upaya dalam member makna terhadap dunia. (Fiske,1990 dalam Sobur,
2006 :125)
Pada dasarnya apa yang disebut signifier dan signified tersebut
adalah produk cultural. Hubungan diantara keduanya bersifat arbiter
(manasuka) dan hanya berdasarkan konvensi, kesepakatan atau peraturan
tidak bias dijelaskan dengan nalar apapun, pilihan bunyi – bunyinya maupun
pilihan untuk mengkaitkan rangkaian bunyi tersebut dengan benda atau
konsep yang dimaksud, karena hubungan yang terjadi antara signifier dan
signified bersifat arbitrer, maka makna signifier harus dipelajari yang bearti
ada struktur pasti atau kode yang membantu menafsirkan makna.
Sifat arbitrer antara signifier dan signified serta kaitan antara kedua
komponen ini menarik bila dikaitkan dengan kekuasaan. Maksudnya,
bagaimana kekuasaan atau pihak yang memegang kekuasaan dapat
menentukan signified man yang boleh dikaitkan dengan signifier. Hal ini
bisa terjadi dalam sebuah kekuasaan yang bersifat otoriter dimana signified
tertentu hanya bisa diberi makna oleh pihak penguasa dan signified
alternative atau “tandingan” tidak diberi tempat.
Ketika bahasa berupaya mendefinisikan realitas, ada bahaya bahwa
sendiri tereduksi menjadi suatu rangkaian signifier belaka tanpa referensi
langsung terhadap yang ditandakan (signified). Suatu pengertian atau
definisi tentang sesuatu tinggal sebagai definisi belaka. Akibatnya bahasa
menjadi “kosong” sebab bahasa tampak sebagai rangkaian perumusan yang
tersimpan dalam kamus atau memori saja.
Hubungan antara signifier dan signified ini yaitu
(kurniawan,2001:03)
1. Signifier atau penanda adalah bunyi yang bermakna (aspek material),
yakni apa yang dikatakan dan apa yang ditulis atau dibaca.
2. Signified atau petanda adalah gambaran mental, yakni pikiran atau
Bahasa dimata Saussure seperti kerja musik, baginya bahasa adalah
keutuhan yang berdiri sendiri. Pendekatan inilah yang disebut – sebut
sebagai, “Ilmu Linguistik Struktural,” pada perkembangan selanjutnya,
pemahaman structural demikian menjadi dasar pemikiran postmodernisme
yang diwariskan Saussure. (Sobur,2004:44)
Dua hal yang menjadi strukturalisme sebagai gerakan otonomi
adalah pandangan, dimana cara berfikir tentang dunia dikaitkan dengan
persepsi dan deskripsi struktur, pada hakikatnya dunia lebih tersusun dari
hubungan – hubungan daripada benda itu sendiri ( Hawks dalam
Kusumaningrum, 2005 :33 ).
Strukturalisme memasukkan gejala, kegiatan atau hasil kehidupan
(termasuk lirik lagu) ke dalam suatau kemasyarakatan atau sistem makna
yang terdiri dari struktur yang mandiri dan tertentu dalam antar hubungan.
Pengkajian kerja bahasa berdasarkan strukturalisme dinamik merupakan
pengkajian semiotic. Artinya kerja bahasa dipertimbangkan sebagai system
tanda dan mempunyai dua fungsi, yang pertama adalah otonom, yaitu tidak
menunjuk diluar dirinya. Yang kedua bersifat informasi yaitu
menyampaikan pikiran, gagasan, perasaan, sehingga sebagai sebuah struktur
kerja dalam bahasa dalam semiotik selalu dinamis (Sayuti dalam
Kusumaningrum, 2003 : 651). Adapun lima pandangan Saussure yang
menjadi peletak dasar dari strukturalisme yaitu :
1. Signifier (penanda) dan Signified (petanda)
3. Language (bahasa) dan Parole (tuturan atau ujaran )
4. Synchronic (sinkronik) dan Diachronic (diakronik)
5. Syntagmatic (sintagmatig) dan Associative (paradigmatig)
Saussure juga meletakkan dasar perbedaan antara langue dan
parole sebagai dua pendekatan linguistic. Dalam pengertian umum langue
adalah abstraksi dan artikulasi bahasa pada tingkat individu (Hidayat dalam
Sobur, 2004:50). Langue sebagai totalitas dari kumpulan fakta dan bahasa .
Dalam konsep Saussure, langue dimaksudkan bahasa sejauh merupakan titik
milik bersama dari suatau golongan tertentu. Akibatnya, langue melebihi
semua individu yang berbicara bahasa itu, seperti juga sebuah simfoni tidak
sama dibawakan dalam sebuah konser oleh orkes tertentu. Sedangkan parole
adalah living speech, yaitu bahasa yang hidup atau bahasa yang
sebagaimana terlihat penggunanya. Parole lebih memperhatikan faktor
pribadi pengguna bahasa. Sedangkan unit dasar langue adalah kata, maka
unit parole adalah kalimat.
Synchronic dan Diachronic, studi sinkronik sebuah bahasa adalah
deskripsi tentang keadaan tertentu bahasa tersebut. Sedangkan diakronik
adalah menelusuri waktu, jadi studi diakronik atas bahasa tertentu adalah
deskripsi tentang perkembangan sejarah. Syntagmatic dan Associative,
antara sintagmatik dan paragmatik berhubung – hubungan ini terdapat pada
kata – kata sebagai rangkaian bunyi – bunyi maupun kata sebagai konsep.
Hubungan paragmatik menurut Cobley dan jansz dalam Sobur (2004 :
55), harus selalu sesuai dengan aturan sintagmatiknya, bagaimana garis x dan
garis y dalam sebuah koordinat.
Teks lagu disebut juga partitur, yaitu dalam bentuk kalimat. Penulisan
teks dalam bentuk syair lirik lagu memerlukan keterampilan sastra bahasa
sehingga kalimat yang berupa ungkapan isi hati dapat mudah dimengerti
maksudnya, enak dirasakan dan dapat menyentuh rasa serta menimbulkan rasa
haru. (Kartono, 2004 : 90 – 92)
2.2.4 Signifier dan Signified
Pemikiran Saussurre yang paling penting dalam konteks semiotik
adalah pandangannya mengenai tanda. Saussure meletakakkan tanda dalam
konteks komunikasi manusia dalam melakukan pemilihan antara apa yang
disebut signifier (penanda) dan signified (petanda). Signifier adalah bunyi
yang bermakna (aspek material) yakni apa yang dikatakan dan apa yang
ditulis atau dibaca. Signified adalah gambaran mental yakni pikiran atau
konsep aspek mental dari bahasa. Kedua unsure ini seperti dua sisi dan
sekeping mata uang atau selelmbar kertas. Tanda bahsa dengan demikian
dapat menyatukan, bukan hal dengan nama, melainkan konsep dan
gambaran akustis.
Jadi, meskipun antara penanda dan petanda tampak sebagai entitas
yang terpisah – pisah namun keduanya hanya ada sebagai komponen tanda.
Tandalah yang merupakan fakta dasar bahasa. Maka itu setiap upaya untuk
membicarakan pandangan Saussurre mengenai hakikat tanda tersebut.
Setiap tanda kebahasaan, menurut Saussurre pada dasarnya menyatukan
sebuah konsep dan suatu citra (sound image), bukan menyatakan sesuatu
sebagai nama. Dua konsep signifier dan signified tidak dapat dipisahkan,
memisahkan bearti hanya menghancurkan “kata” tersebut.
Tanda terdapat dimana – mana. Kata adalah tanda, demikian pula
gerak isyarat, lampu lalu lintas, bendera dan sebagainya. Struktur karya
sastra, struktur film, bangunan atau nyanyian burung dapat dianggap sebagai
tanda. Karya sastra yang besar, misalnya merupakan produk strukturisasi
dari subjek kolektif.
Subjek kolektif itu dapat berupa kelompok, kekerabatan, kelompok
sekerja, kelompok territorial dan sebagainya. Karena itu jelas bahwa segala
sesuatu dapat menjadi tanda. Charles Sanders Pierce seorang ahli filsafat
dari amerika menegaskan bahwa kita hanya dapat berfikir dengan sarana
tanda. Sudah pasti bahwa tanpa tanda kita tidak dapat berkomunikasi
(Sudjiman dan Van Zoest, 1996 dalam Sobur, 2006 :124 )
2.2.5 Langue dan Par ole
Saussure membedakan tiga istilah dalam bahasa perancis: langange,
langue (sistem bahasa) dan parole (kegiatan juaran). Langange adalah suatu
kemampuan berbahasa yang ada pada setiap manusia yang sifatnya
pembawaan ini mesti dikembangkan dengan lingkungan dan stimulus yang
menunjang. Singkatnya, langange adalah bahasa pada umumnya. Orang
fisiologis pada bagian tertentu maka dia tidak bias berbicara secara normal.
Dalam pengertian umum, langue adalah abstraksi dan artikulasi bahasa pada
tingkat sosial budaya, sedangkan parole merupakan bahasa pada tingkat
individu. Dalam konsep Saussure, langue dimaksudkan bahasa sejauh
merupakan milik bersama dari suatu golongan bahasa tertentu.
Apa yang dinamakan langue itu menurut Saussure, harus dianggap
sebagai sistem. Jika langue mempunyai objek studi sistem atau tanda atau
kode, maka parole adalah “living speech” yaitu bahasa yang hidup atau
bahasa sebagaimana terlihat dalam penggunaannya. Kalau langue bersifat
kolektif dan pemakaiannya “tidak disadari” oleh pengguna bahasa yang
bersangkutan, maka parole lebih memperhatikan faktor pribadi pengguna
bahasa. Kalau unit dasar langue adalah kata, maka unit dasar parole adalah
kalimat.
Pada saat yang sama, Saussure menyatakan bahwa tinjauan terhadap
langue (sebagai bahasa sistem) harus didahulukan daripada parole (bahasa
sebagai penuturan ujaran). Artinya, posisi sistem bahasa secara umum
mendahului dan lebih penting daripada seluruh ujaran nyata yang pernah
benar – benar dituturkan. Ini merupakan argument paling mengejutkan yang
lahir dari sudut pandang ilmu – ilmu alam, ilmu dimana bukti fisik positif
menjadi satu – satunya bukti yang dapat diterima. Namun demikian,
menurut Saussure, bukti fiksi positif tidaklah cukup untuk menjelaskan
bahasa yang menandakan sebagai bahasa yang sekaligus memuat informasi.
Dengan mendefinisikan langue dan parole. Saussure membedakan
kedua hal yang sangat berbeda untuk dipelajari sebagai entitas yang
terpisah. Sebagai seorang strukturalisasi, Saussure lebih tertarik pada langue
dan parole. Itu adalah sistem yang dapat diciptakan makna yang menarik
daripada kejadian individual penggunaannya. (Sobur,2003:50-51)
2.2.6 Makna dan Pemaknaan
Makna sebagai kecenderungan (disposisi) total untuk
menggunakan atau bereaksi terhadap suatu bentuk bahasa. Terdapat banyak
komponene dalam makna yang bangkitkan suatu kata atau kalimat. Namun
kita terlebih dahulu harus membedakan pemaknaan secara lebih tajam
tentang istilah – istilah yang nyaris berimpit antara apa yang disebut (1)
terjemah (translation), (2) tafsir atau interpretasi, (3) ekstrapolasi dan makna
atau meaning.
Membuat terjemah adalah upaya menggemukkan materi atau
substansi yang sama dengan media yang berbeda, media tersebut mungkin
berupa bahasa satu ke bahasa yang lain, dari verbal ke gambar sebagainya.
Pada penafsiran, kita tetap berpegang pada materi yang ada, dicari latar
belakangnya, konteksnya agar dapat dikemukakan konsep atau gagasannya
lebih jelas. Ekstrapolasi lebih menekankan pada kemampuan daya pikir
manusia untuk menangkap hal dibalik yang tersajikan. Materi yang
tersajikan dilihat tidak lebih dari tanda – tanda atau indikator pada sesuatu
yang lebih jauh lagi. Memberikan makna merupakan upaya lebih jauh dari
penafsiran dan mempunyai kesejajaran dengan ekstrapolasi. Pemaknaan
dan akal budinya. Materi yang disajikan seperti juga ekstrapolasi, dilihat
tidak lebih dari tanda – tanda atau indicator bagi sesuatu yang lebih jauh.
Dibalik yang tersajikan bagi ekstrapolasi terbatas dalam artian empiric logic,
sedangkan pada pemaknaan dapat pula menjangkau yang etik maupun
transendental. (Brown dalam Sobur 2001;255-256)
Semiotik adalah ilmu mengenai makna kata – kata, suatu definisi
yang menurut S.I Hayakawa dalam Mulyana (2001:257) tidaklah buruk bila
orang – orang tidak menganggap bahwa pencarian makna kata mulai dan
berakhir dengan melihatnya dalam kamus. Makna dalam kamus tentu saja
lebih bersifat kebahasaan (linguistik), yang punya banyak dimensi, simbol
merujuk pada objek di dunia nyata, pemahaman adalah perasaan subjektif
kita mengenai simbol itu dan referen adalah objek yang sebenarnya eksis di
dunia nyata.
Makna dapat pula digolongkan ke dalam makna denotatif dan makna
yang sebenarnya (faktual) seperti yang kita temukan dalam kamus. Karena
itu makna denotatif lebih bersifat publik. Sejumlah makna bermakna
denotatif, namun banyak kata juga bermakna konotatif , lebih bersifat
pribadi, yakni makna diluar rujukan objektifnya. Dengan kata lain, Makna
konotatif lebih bersifat subjektif daripada makna denotatif.
2.2.7 Teor i – teor i makna
Beberapa teori tentang makna dikembangkan oleh Alison (1964 :
11 – 26 dalam Sobur 2001:259) diantaranya adalah :
Teori acuan merupakan salah satu jenis teori makna yang mengenali
atau mengidentifikasikan makna suatu ungkapan dengan apa yang
diacunya atau dengan hubungan acuan itu
2. Teori Ideasional (The Ideational Theory)
Teori Ideasional adalah suatu jenis makna yang mengenali atau
mengidentifikasi makna ungkapan dengan gagasan – gagasan yang
berhubungan dengan ungkapan tersebut. Dalam hal ini, teori
ideasional menghubungkan makna atau ungkapan dengan suatu idea
atau representasi psikis yang ditimbulkan kata atau ungkapan
tersebut kepada kesadaran. Atau dengan kata lain, teori ideasional
mngidentifikasi makna E (expression atau ungkapan) dengan gagsan
– gagasan atau ide yang ditimbulkan E (expression). Jadi pada
dasarnya teori ini meletakkan gagasan (ide) sebagai titik sentral yang
menentukan makna suatu ungkapan.
3. Teori Tingkah Laku (Behavioral Theory)
Teori tingkah laku merupakan salah satu jenis teori makna mengenai
makna suatu kata atau ungkapan bahasa dengan rangsangan –
rangsangan (stimuli) yang menimbulkan ucapan tersebut. Teori ini
menaggapi bahsa sebagai semacam kelakuan yang mengembalikan
kepada teori stimulus dan respons. Makna menurut teori ini,
merupakan rangsangan untuk menimbulkan perilaku tertentu sebagai
respons kepada rangsangan itu tadi.
Penelitian ini dapat dikatakan berlandaskan pada teori ideasional.
pencipta lagu berdasarkan fenomena – fenomena yang terjadi di Negara
Indonesia menjadi inspirasi dalam menciptakan sebuah karya lagu. Melalui
fenomena – fenomena tersebut, pencipta lagu berusaha mengungkapkan ide
atau gagasan tersebut ke dalam sebuah ungkapan (expression) yang
dituangkan ke dalam lirik – lirik lagu yang penuh makna. Berlandaskan
teori ideasional, peneliti berusaha untuk melakukan pemaknaan terhadap
setiap lirik yang ada pada lagu Efek Rumah Kaca band yang berjudul
“Belanja Terus Sampai Mati”.
2.2 Belanja
Belanja merupakan pemerolehan barang atau jasa dari penjual
dengan tujuan membeli pada waktu itu. Belanja adalah aktivitas pemilihan
dan/atau membeli, dalam beberapa hal dianggap sebagai sebuah aktivitas
kesenggangan juga ekonomi. Perbelanjaan telah dimulai sejak dahulu, pada
Romawi kuno, terdapat Trajan's Market dengan tabernas yang berperan
sebagai penjual. Daftar belanja telah digunakan oleh orang Romawi setelah
ditemukan di Tembok Hadrian tahun 75-125 M yang ditulis untuk seorang
tentara (http://id.wikipedia.org/wiki/Belanja)
Pada mulanya belanja hanya merupakan suatu konsep untuk
menunjukkan suatu sikap untuk mendapatkan barang yang menjadi
keperluan untuk sehari-harinya dengan jalan menukarkan sejumlah uang
sebagai pengganti barang tersebut. Pada saat ini kata belanja itu sendiri telah
berkembang artinya sebagai suatu cerminan gaya hidup dan rekreasi di
tersendiri. Belanja, adalah kata yang sering digunakan sehari-hari dalam
konteks perekonomian, baik di dunia usaha maupun di dalam rumah tangga.
Belanja menjadi alat pemuas keinginan mereka akan barang-barang yang
sebenarnya tidak mereka butuhkan, akan tetapi karena pengaruh trend atau
mode yang tengah berlaku, maka mereka merasa akan suatu keharusan
untuk membeli barang-barang tersebut.
Belanja adalah mengeluarkan uang untuk mendapatkan barang yang
diharapkan mempunyai nilai yang seimbang. Tetapi terkadang uang yang
dikeluarkan tidak setara dengan nilai barang yang yang dibeli. Kegiatan
belanja pada awalnya dilakukan hanya untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan dasar seperti makanan dan pakaian, namun banyak individu yang
melakukan kegiatan belanja ini untuk alasan lain melepaskan diri dari rasa
depresi, mengekspresikan identitas diri atau untuk sekedar kesenangan
belaka. Perilaku-perilaku belanja yang kurang perencanaan dan melibatkan
faktor emosi, terutama perasaan yang menyenangkan dan penuh gairah,
tersebut dinamakan belanja impulsif (Verplanken & Herabadi, 2001).
Salah satu indikator membaiknya kondisi perekonomian di Indonesia
adalah meningkatnya daya beli masyarakat. Kondisi ini dapat dicermati
dengan semakin banyaknya tempat-tempat perbelanjaan yang disebut
dengan supermarket atau mal. Banyaknya supermarket di satu sisi memberi
manfaat seperti memberi kesempatan kerja pada sekian banyak orang,
tidak perlu pergi jauh-jauh ke pusat kota untuk membeli produk.
Supermarket atau mal juga dapat digunakan sebagai tempat refresing,
sehingga tidak mengherankan kalau semakin banyak orang yang memilih
mal sebagai tempat rekreasi mereka. Suasana indah dan menarik akan selalu
menjadi perhatian para pengelola supermarket atau para pemasar dalam
rangka mempersuasi konsumen supaya melakukan pembelian atas produk
ataupun jasa yang ditawarkan. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa
keindahan dan kecantikan yang ditawarkan seringkali mendorong orang
untuk melakukan pembelian (Indarjati, 2003: 1-2)
Membeli tidak lagi dilakukan karena produk tersebut memang
dibutuhkan, tetapi membeli dilakukan karena alasan-alasan lain seperti
sekedar mengikuti arus mode, hanya ingin mencoba produk baru, dan ingin
memperoleh fungsi yang sesungguhnya dan menjadi suatu ajang
pemborosan biaya karena belum memiliki penghasilan sendiri (Zebua &
Nurdjayadi, 2001, 73)
.
2.3 Mati
Mati menurut pengertian secara umum adalah keluarnya Ruh dari
jasad, kalau menurut ilmu kedokteran orang baru dikatakan mati jika
jantungnya sudah berhenti berdenyut. Mati menurut Al-Qur’an adalah
terpisahnya Ruh dari jasad dan hidup adalah bertemunya Ruh dengan Jasad.
Kita mengalami saat terpisahnya Ruh dari jasad sebanyak dua kali dan
Terpisahnya Ruh dari jasad untuk pertama kali adalah ketika kita masih
berada dialam Ruh, ini adalah saat mati yang pertama. Seluruh Ruh manusia
ketika itu belum memiliki jasad. Allah mengumpulkan mereka dialam Ruh
dan berfirman sebagai disebutkan dalam surat Al A’raaf 172 : S
Mati klinis adalah henti nafas (tidak ada gerak nafas spontan)
ditambah henti sirkulasi (jantung) total dengan semua aktivitas otak terhenti,
tetapi tidak ireversibel. Pada masa dini kematian inilah, pemulaian resusitasi
dapat diikuti dengan pemulihan semua fungsi sistem organ vital termasuk
fungsi otak normal, asalkan diberi terapi optimal.
Kematian manusia berdasarkan dua dimensi yaitu kematian
seluler (seluler death) akibat ketiadaan oksigen dan kematian manusia
sebagai individu (somatic death). Kematian individu dapat didefinisikan
secara sederhana sebagai terhentinya kehidupan secara permanen
(permanent cessation of life) atau dapat diperjelas lagi menjadi berhentinya
secara permanen fungsi berbagai organ vital yaitu paru-paru, jantung dan
otak sebagai kesatuan yang utuh yang ditandai oleh berhentinya konsumsi
oksigen.Sebagai akibat berhentinya konsumsi oksigen ke seluruh jaringan
tubuh makasel-sel sebagai elemen terkecil pembentuk manusia akan
mengalami kematian,dimulai dari sel-sel paling rendah daya tahannya
terhadap ketiadaan oksigen
Mati suri adalah penurunan fungsi organ vital sampai taraf
minimaluntuk mempertahankan kehidupan, sehingga tanda-tanda kliniknya
keadaandimana ketika fungsi ketiga organ vital sistem saraf pusat,
sistemkardiovaskuler, dan sistem pernafasan berhenti secara menetap. Mati
serebral adalah kerusakan kedua hemisfer otak yang irreversible kecuali
batang otak dan serebelum, kedua sistem lain masih berfungsi
dengan bantuan alat. Sedangkan mati batang otak adalah kerusakan seluruh
isineuronal intrakranial yang ireversibel, termasuk batang otak dan sebelum.
Kriteria diagnostik penentuan kematian:
1. Hilangnya semua respon terhadap sekitarnya (respon terhadap
komandoatau perintah, dan sebagainya)
2. Tidak ada gerakan otot serta postur, dengan catatan pasien tidak
sedang berada dibawah pengaruh obat-obatan curare
3. Tidak ada reflek pupil
4. Tidak ada reflek kornea
5. Tidak ada respon motorik dari saraf kranial terhadap rangsangan
6. Tidak ada reflek menelan atau batuk ketika tuba endotracheal didorong
kedalam
7. Tidak ada reflek vestibulo-okularis terhadap rangsangan air es
yangdimasukkan ke dalam lubang telinga
8. Tidak ada napas spontan ketika respirator dilepas untuk waktu yang
cukup lama walaupun pCO2 sudah melampaui wilayah ambang
rangsangan napas (50 torr). Tes klinik ini baru boleh dilakukan paling
cepat 6 jam setelah onsetkoma serta apneu dan harus diulangi lagi
konfirmasi dengan EEG dan angiografi hanyadilakukan jika tes klinik
memberikan hasil yang meragukan atau jika ada kekhawatiran akan
adanya tuntutan di kemudian hari
2.4 Per ilak u Konsumtif
Perilaku konsumtif merupakan kecenderungan manusia untuk
melakukan konsumsi tiada batas menurut Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia. Perilaku konsumtif adalah sebagai kecenderungan seseorang
yang berperilaku secara berlebihan dalam membeli sesuatu atau membeli
secara tidak terencana. Penyebab perilaku konsumtif adalah semakin
membaiknya keadaan sosial ekonomi sebagai masyarakat, membanjirnya
barang – barang produksi, efektifnya sarana periklanan termasuk
didalamnya media massa berkembangnya gaya hidup, mode,masih tebalnya
sikap gengsi, status sosial.
Konsumtivisme merupakan paham untuk hidup secara konsumtif,
sehingga orang yang konsumtif dapat dikatakan tidak lagi
mempertimbangkan fungsi atau kegunaan ketika membeli barang melainkan
mempertimbangkan prestise yang melekat pada barang tersebut. Oleh
karena itu, arti kata konsumtif (consumtive) adalah boros atau perilaku yang
boros, yang mengonsumsi barang atau jasa secara berlebihan. Dalam artian
luas konsumtif adalah perilaku berkonsumsi yang boros dan berlebihan,
skala prioritas atau juga dapat diartikan sebagai gaya hidup yang
bermewah-mewah, (Peter Salim, 1996).
Hal ini bisa kita lihat dari ekspresinya yang paling primitif hingga
yang paling mutakhir di jaman modern ini. Tendensi yang ada dalam diri
manusia untuk selalu tak pernah puas (never-ending-discontentment) ”mau
ini-mau itu” dengan hal-hal yang telah mereka miliki ditambah dengan
dorongan kuat ambisi pribadi dan semangat kompetisi untuk mencapai
sesuatu yang lebih.
Pola hidup konsumtif sudah mengakar di budaya bangsa Indonesia,
sehingga tak mengenal tua-muda, tak mengenal kaya-miskin, keinginan
untuk hidup “wah” secara merata hinggap di pikiran kita. Tentu ada
pengecualian bagi segelintir orang, namun pada umumnya ya begitulah.
Keinginan memiliki benda-benda pemuas panca indra yang berdampak pada
bertambahnya kebutuhan energi, kian meningkat seiring dengan
peningkatan pendapatan per-kapita. Pendapatan mestinya tidak dihabiskan
untuk keperluan konsumtif, tetapi disisihkan sebahagian untuk tabungan.
Tabungan akan bermanfaat untuk keperluan investasi, dan kemudian akan
bisa digunakan untuk usaha-usaha produktif.
Perilaku konsumtif masyarakat pada dasarnya terbentuk ketika
remaja yang kemudian terbawa hingga dewasa. Perilaku konsumtif pada
remaja sebenarnya dapat dimengerti bila melihat usia remaja sebagai usia
peralihan dalam mencari identitas diri. Remaja ingin diakui eksistensinya
Kebutuhan untuk diterima dan menjadi sama dengan orang lain yang sebaya
itu menyebabkan remaja berusaha untuk mengikuti berbagai atribut yang
sedang “tren”. Perubahan sosial yang dialami remaja menyebabkan remaja
harus menyesuaikan diri dengan teman sebayanya dan orang lain. Akibat
tidak percaya diri menyebabkan remaja mencari cara untuk dapat
meningkatkan percaya dirinya. Salah satu cara adalah dengan penggunaan
barang-barang yang dianggap mampu meningkatkan rasa percaya dirinya.
Adanya kebutuhan yang kuat dalam berteman menjadikan remaja ingin
diterima menjadi bagian dari kelompok. Agar bisa diterima oleh
kelompoknya, remaja sedapat mungkin untuk bisa sejalan dengan kelompok
salah satunya dengan penggunaan barang-barang yang sama dengan
kelompoknya. Adanya keinginan untuk meningkatkan percaya diri dan
kebutuhan dalam berteman dapat mendorong remaja membeli barang secara
berlebihan. Selain itu, karakteristik remaja yang labil, spesifik, dan mudah
dipengaruhi membuat mereka sering dijadikan target pemasaran produksi
industri sehingga akhirnya mendorong munculnya berbagai gejala dalam
membeli yang tidak wajar (Zebua dan Nurdjayadi, 2001).
Fenomena perilaku konsumtif yang sedang mengakar kuat dalam
sebagian besar masyarakat Indonesia berpengaruh terhadap gaya hidup
mereka, dengan perkembangan zaman yang semakin modern. Sehingga
masyarakat mempunyai pandangan hidup yang menganggap bahwa
kesenangan dan kenikmatan materi adalah tujuan utama hidup. Mereka
menikmati hidup senikmat-nikmatnya. di dalam lingkungan penganut
paham ini, hidup dijalanani dengan sebebas-bebasnya demi memenuhi hawa
nafsu yang tanpa batas. Pandangan mereka terangkum dalam pandangan
Epicurus yang menyatakan, “Bergembiralah engkau hari ini, puaskanlah
nafsumu, karena besok engkau akan mati.”
Pandangan hidup seperti penjelasan diatas merupakan pandangan
hidup secara “hedonisme”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
hedonisme diartikan sebagai pandangan yang menganggap kesenangan dan
kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup (KBBI, edisi ketiga,
2001). Secara general, hedonisme bermakna, kesenangan merupakan
satu-satunya manfaat atau kebaikan. Dengan demikian hedonisme bisa
didefinisikan sebagai sebuah doktrin (filsafat etika) yang berpegangan
bahwa tingkah laku itu digerakkan oleh keinginan atau hasrat terhadap
kesenangan dan menghindar dari segala penderitaan.
Paradigma hedonistis memfokuskan pandangannya pada pencarian
kesenangan dan penghindaran terhadap segala penderitaan. Namun dewasa
ini substansi secara harfiah sudah tidak lagi menemukan relevansinya.
Nampaknya tidak ada persamaan persepsi mengenai apa-apa saja yang
sebenarnya bisa mendatangkan kesenangan dan apa-apa saja aktivitas yang
2.5 Ker angka Ber fikir
Dalam memaknai tanda dan lambing yang ada dalam objek, juga
berdasarkan pengalaman dan pengetahuan peneliti. Dalam penelitian ini
peneliti melakukan pemaknaan terhadap tanda dan lambing berabentuk
tulisan pada lirik lagu “Belanja Terus Sampai Mati” dengan menggunakan
metode semiotik Saussure, sehingga akhirnya dapat diperoleh hasil dari
interpretasi data mengenai lirik lagu tersebut.
Pada penelitian ini peneliti tidak menggunakan metode semiotic
Pierce karena dalam lirik lagu “Belanja Terus Sampai Mati” kata – kata
yang digunakan adalah kata – kata yang lugas atau kalimat langsung
sehingga peneliti tidak banyak menemukan adanya simbol – simbol yang
bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan analisis. Oleh karena itu peneliti
menggunakan semiotik Saussure dengan menitikberatkan pada hubungan
penanda dan petanda yang ada pada lirik lagu tersebut.
Dari data – data berupa lirik lagu “Belanja Terus Sampai Mati”
karya Efek Rumah Kaca, kata – kata dan rangkaian kata dalam kalimat lirik
lagu tersebut kemudian dianalisis dengan menggunakan metode semiotik
Saussure dengan (menitikberatkan pada aspek material (penanda) dan aspek
mental (petanda) yang pada akhirnya diperoleh signifikasi) sehingga
menghasilkan suatu interpretasi bagaimana lirik lagu “Belanja Terus Sampai
Berikut gambar kerangka berpikir dari penelitian ini adalah :
Lirik Lagu “Belanja Terus
Sampai Mati” Oleh Efek Rumah Kaca
Semiotik Saussure : 1. Signifier atau penanda
adalah kata, frase, kalimat dalam lirik lagu “Belanja Terus Sampai Mati” oleh Efek Rumah Kaca. 2. Signified atau petanda
adalah makna yang terkandung dalam kata, frase, kalimat dalam lirik lagu “Belanja Terus Sampai Mati” oleh Efek Rumah Kaca.
Pemaknaan lirik lagu “Belanja Terus Sampai Mati” oleh Efek
3.1
J enis Penelitian3.1.1. Pemak naan lir ik lagu “Belanja Ter us Sampai Mati”
Jenis pendekatan yang digunakan dalam hal ini adalah pendekatan
deskriptif kualitatif, dimana dalam pendekatan deskriptif kualitatif akan
dapat menginterpretasikan secara rinci pemaknaan lirik dalam lagu “
Belanja Terus Sampai Mati” karya Efek Rumah Kaca. Dimana dalam
penelitian ini akan mengungkapkan secara terperinci fenomena kehidupan
sosial masyarakat tanpa harus melakukan hipotesa yang telah dirumuskan
secara ketat (Singarimbun, 1985 : 4 ). Metodologi kualitatif juga akan lebih
mudah menyesuaikan apabla ditemukan kenyataan ganda dalam penelitian.
Selain itu metode ini juga jauh lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan
dengan pengaruh bersama terhadap pola – pola nilai yang dihadapi.