• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisa Media Edisi Mei 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Analisa Media Edisi Mei 2013"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

EdEEEEEE

Analisa Media

Edisi Mei 2013

Jl. SMA 14 No. 17 RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713

Email: ykm@indo.net.id Website: www.kalyanamitra.or.id

Korupsi, Poligami, dan Gratifikasi Seks

Pemberantasan korupsi merupakan salah satu tujuan yang ingin dicapai Reformasi 1998. Cita-cita tersebut patut diperjuangkan mengingat pada era Orde Baru korupsi, kolusi, dan nepotisme tumbuh subur di negeri ini. Walaupun waktu itu Indonesia telah memiliki Undang-Undang No. 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, namun belum mampu membendung kejahatan tersebut.

KKN yang tumbuh subur pada masa Orde Baru dapat dilihat dari banyaknya jabatan publik yang dikuasai elit politik yang memiliki hubungan persaudaraan. Dampaknya, kepentingan rakyat tidak diperhatikan. Kebijakan yang dilahirkan justru jauh dari kepentingan rakyat. Para penguasa hanya berpikir bagaimana mengeruk keuntungan sebesar-besarnya untuk kepentingan dirinya dan keluarganya.

Maraknya korupsi yang terjadi pada era itu memperlihatkan bahwa UU No. 3 Tahun 1971 gagal berfungsi dan tidak sesuai dengan rasa keadilan hukum di masyarakat.

Maka pasca Reformasi 1998, UU tersebut diganti dengan UU No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebelum UU ini ada, telah lahir UU No. 28 tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Seiring berjalannya waktu dan dengan didasari beberapa pertimbangan, salah satunya untuk menjamin kepastian hukum, menghindari keragaman tafsir hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, serta perlakuan secara adil dalam memberantas tindak pidana korupsi, maka UU No. 31 tahun 1999 diperbaharui melalui UU No. 20 tahun 2001. Selain itu, berdasarkan ketentuan pasal 43 Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 tahun 1999, maka perlu dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang independen dengan tugas dan wewenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Untuk itu dilahirkan UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).

Kelahiran KPK menjadi harapan baru dalam pemberantasan korupsi yang kian menggurita dan mencengkeram semua sisi kehidupan. KPK memiliki kewenangan untuk menangani pemberantasan korupsi. KPK memiliki kewenangan khusus karena kejahatan yang akan diberantas bukanlah kejahatan biasa, melainkan extra ordinary crime (kejahatan luar biasa).

Lahirnya berbagai perundangan yang bertujuan menghapuskan korupsi memperlihatkan bahwa korupsi merupakan momok yang sangat serius bagi perjalanan bangsa ini. Walaupun sudah banyak perundangan yang dilahirkan untuk

(2)

EdEEEEEE

Analisa Media

Edisi Mei 2013

Jl. SMA 14 No. 17 RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713

Email: ykm@indo.net.id Website: www.kalyanamitra.or.id

menghapuskan tindak pidana korupsi, namun hal itu belum serta merta hilang dari negeri ini. Kelahiran berbagai perundangan dan Komisi Penghapusan Korupsi belum dapat membendung tindak korupsi yang terjadi. Bahkan menginjak usia yang ke-15 tahun Reformasi, kejahatan korupsi makin menggila.

Pelaku korupsi pun kian beragam, tidak hanya terjadi di pemerintahan pusat, tetapi juga dilakukan oleh para pejabat di tingkatan daerah, politisi DPR/DPRD, kejaksaan, kehakiman, kepolisian, TNI. Demikian juga kalangan pengusaha swasta berkantong tebal yang punya kepentingan memuluskan usahanya, bersekongkol dengan penguasa yang punya kewenangan untuk meloloskan perijinan.

Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri, sejak tahun 2004 hingga Februari 2013, ada sekitar 291 (sekitar 70%) kepala daerah baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota terlibat dalam korupsi. Dari data tersebut, keterlibatan gubernur sebanyak 21 orang, wakil gubernur 7 orang, bupati 156 orang, wakil bupati 46 orang, wali kota 41 orang dan wakil wali kota 20 orang. Juga tercatat 1.221 nama pegawai pemerintahan yang yang terlibat dalam tindak korupsi. Dari jumlah itu, sebanyak 877 sudah terpidana, sementara 185 orang lainnya berstatus tersangka. Sebanyak 112 orang lainnya sudah terdakwa dan 44 nama tersisa masih dimintai keterangan sebagai saksi.

Dari data itu menunjukkan bahwa tindak korupsi menjadi satu hal yang sangat memprihatinkan di negara ini. Padahal data tersebut baru menunjukkan kasus korupsi yang dilakukan pegawai pemerintahan dan kepala daerah, belum menyangkut kasus korupsi yang dilakukan para elit politik yang duduk di DPR maupun DPRD Provinsi dan Kabupaten/kota, yang jumlahnya sangat tinggi.

Korupsi dan poligami

Salah satu kasus korupsi yang marak diberitakan sebulan terakhir ialah korupsi yang dilakukan Ahmad Fatanah, tersangka korupsi impor daging sapi di Kementerian Pertanian. Kasus ini tidak hanya menyeret Ahmad Fathanah, tetapi juga Luthfi Hasan Ishaaq, mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera.

Satu hal yang menarik perhatian dari korupsi yang dilakukan oleh Ahmad Fathanah adalah banyaknya perempuan yang menerima aliran dana darinya. Ahmad Fathanah walaupun sudah memiliki 5 istri, dia tetap menggaet perempuan-perempuan lain dengan menggunakan uang yang dimilikinya. Bahkan berdasarkan data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), ada 45 perempuan yang menerima aliran dana Ahmad Fathanah.

Sekelakuan dengan Ahmad Fathanah, Luthfi Hasan, tersangka korupsi dari PKS juga memiliki istri lebih dari satu. Luthfi Hasan, yang merupakan mantan presiden PKS ini, memiliki 3 istri. Dengan kondisi demikian, tentu baik Ahmad Fathanah maupun Luthfi Hasan membutuhkan dana yang lebih besar untuk dapat mencukupi kebutuhan istri- istri dan anak-anaknya.

(3)

EdEEEEEE

Analisa Media

Edisi Mei 2013

Jl. SMA 14 No. 17 RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713

Email: ykm@indo.net.id Website: www.kalyanamitra.or.id

Budaya memiliki istri lebih dari satu yang dilakukan para tersangka koruptor tak hanya dilakukan oleh Ahmad Fathanah dan Luthfi Hasan. Sebelumnya, media juga ramai memberitakan poligami yang dilakukan oleh Djoko Soesilo, petinggi polisi, tersangka korupsi simulator SIM. Djoko Soesilo disinyalir memiliki 3 istri. Ia menikah pertama tahun 1985 dengan menggunakan identitas dan nama sebenarnya.

Kemudian menikah lagi pada Mei 2001 di KUA Pasar Minggu, menggunakan identitas berbeda, dengan status belum menikah. Selanjutnya menikah untuk ketiga kalinya di KUA Grogol, Sukoharjo, Jawa Tengah, Desember 2008 dengan identitas yang berbeda lagi, dengan status belum menikah dan wiraswastawan.

Kesamaan dari tiga kasus korupsi yang dilakukan oleh Irjen Djoko soesilo, Ahmad Fathanah dan Luthfi Hasan, yakni menggunakan perempuan sebagai bagian dari skenario penyelamatan aset korupsinya. Hal itu menjadi modus umum yang dilakukan oleh koruptor. Sang koruptor biasanya mengatasnamakan aset-aset hasil korupsinya kepada orang-orang terdekatnya, termasuk istri-istrinya. Selain itu, memiliki istri lebih dari satu merupakan praktik untuk menikmati hasil korupsi sehingga mempunyai kesempatan membeayai lebih dari satu istri dan anak.

Jika mengacu pada UU No. 8 Tahun 2010 tentang TPPU, apa yang dilakukan oleh ketiga koruptor tersebut dikenal dengan istilah layering atau tahap pelapisan. Ada pun tujuan layering tersebu ialah untuk menyamarkan asal-usul harta kekayaan yang diduga berasal dari tindak pindana korupsi. Dalam hal ini, pelaku sering memanfaatkan perempuan untuk dijadikan istri kesekian.

Banyaknya pelaku korupsi yang melakukan poligami memunculkan perdebatan di masyarakat tentang poligami yang mendorong para suami melakukan korupsi. Para tokoh agama pun berlomba-lomba membantah adanya anggapan tersebut. Menurut Ketua Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU), KH. Said Aqil, poligami bukan menjadi faktor penyebab orang korupsi. Menurutnya, kejahatan luar biasa itu terjadi karena kerakusan si pelakunya.

Demikian juga dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyampaikan pernyataan melalui Asrorun Niam, Sekretaris Komisi Fatwa MUI. Menurut Asrorun Niam, tidak ada korelasi langsung antara urusan korupsi dengan sudah menikah, berpoligami atau tidak. Karena menurutnya, tak sedikit pelaku korupsi yang juga tidak berpoligami. Senada dengan MUI, wakil Menteri Agama, Nazaruddin Umar mengatakan bahwa persoalan poligami dan korupsi merupakan dua hal yang terpisah. Menurutnya, ada orang yang berpoligami, tetapi tidak korupsi. Ada pula orang yang korupsi, tetapi tidak berpoligami.

Namun, korupsi dan poligami menjadi dua mata uang yang saling melengkapi.

Korupsi memicu seseorang untuk melakukan poligami. Sebaliknya, dengan poligami seorang pejabat negara bisa memicu tindakan korupsi. Jadi, wajar jika poligami bagi PNS merupakan hal yang dilarang untuk dilakukan. Hal tersebut terjadi karena gaji seorang PNS atau pejabat negara yang tidak berlebih (selain seorang pejabat tidak

(4)

EdEEEEEE

Analisa Media

Edisi Mei 2013

Jl. SMA 14 No. 17 RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713

Email: ykm@indo.net.id Website: www.kalyanamitra.or.id

diperkenankan berbisnis) dan sangat terukur, dan jika ada kelebihan, maka nilainya tentu sesuai dengan aturan hukum.

Poligami di Indonesia

Secara etimologis, istilah poligami berasal dari bahasa Yunani yakni apolus yang artinya banyak, dan gamos yang berarti perkawinan. Kata lain, yang mirip dengan itu ialah poligini, juga berasal dari bahasa Yunani yakni polus yang berarti banyak, dan gene yang artinya perempuan. Dari pengertian ini dapat dipahami, bahwa yang dimaksud dengan poligami dan poligini adalah sistem perkawinan di mana seorang laki-laki mengawini lebih dari seorang perempuan dalam waktu yang bersamaan.

Sebagai bangsa yang memiliki penduduk mayoritas beragama Islam, Indonesia masih menganut perkawinan poligami. Hal tersebut terjadi karena menurut para ulama besar, Islam memang mengijinkan laki-laki untuk berpoligami dengan mengacu pada surat an-Nisa ayat 3 dengan tafsir Al-Quran sebagai berikut:

“Dan jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap (hak) anak-anak yatim, maka kawinilah perempuan-perempuan yang kamu sukai; dua tiga atau empat, tapi jika kamu (masih) khawatir tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah satu orang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk tidak berbuat aniaya”.

Ayat ketiga inilah yang menjadi pembenaran atas dihalalkannya poligami. Jika dilihat sepintas, memang ayat ini mengandung unsur yang memperbolehkan poligami.

Namun, petunjuk tersebut tidak dapat dipahami secara parsial dengan hanya merujuk pada bagian tertentu dari satu ayat, tetapi mengabaikan bagian ayat yang lainnya yakni an-Nisa ayat 129 yang tafsir al-Qurannya berbunyi:

“Dan sekali-kali kamu tidak akan dapat berbuat adit di antara istri-istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung….”

Kebijakan poligami di Indonesia diatur dalam pasal 3 ayat 2, UU No. 1 tahun 1984 tentang Perkawinan yang berbunyi “Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”. Sementara pasal 4 UU ini mengatur syarat-syarat yang harus dipenuhi seorang laki-laki yang ingin memiliki istri lebih dari satu, yakni:

1) Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan ke Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.

2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:

a. istri tidak dapat memnjalankan kewajibannya sebagai isteri;

b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;

(5)

EdEEEEEE

Analisa Media

Edisi Mei 2013

Jl. SMA 14 No. 17 RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713

Email: ykm@indo.net.id Website: www.kalyanamitra.or.id c. istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Meskipun mengizinkan poligami bagi seorang laki-laki, sebenarnya bila diamati lebih dalam lagi Undang-Undang Perkawinan di Indonesia menganut sistem monogami.

Hal tersebut dapat dilihat dalam pasal 3 yang menyebutkan bahwa pada dasarnya dalam suatu perkawinan seorang suami hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang perempuan hanya boleh mempunyai seorang suami.

Dengan diizinkannya laki-laki memiliki lebih dari satu istri dengan harus menenuhi beberapa persyaratan, memperlihatkan bahwa terjadi ketidak-konsistenan dalam undang-undang ini. Undang-undang tidak tegas bicara soal boleh tidaknya laki-laki memiliki lebih dari satu orang istri. Padahal sebuah kebijakan seharusnya dapat memberikan kepastian hukum pada masyarakat agar tidak terjadi salah tafsir.

Hukum di Indonesia sebenarnya telah melindungi perempuan atau istri apabila suaminya menikah lagi tanpa seizinnya. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 279, praktik poligami tanpa seizin istri dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana dan dapat diancam hukuman maksimal 5 tahun penjara. Dan apabila menikah lagi dengan menyembunyikan status pernikahan sebelumnya, seperti yang dilakukan oleh Djoko Susilo, bisa diancam hukum penjara maksimal 7 tahun, seperti yang diatur dalam KUHP pasal 279 ayat 2.

Sebagai negara yang telah meratifikasi CEDAW atau Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan melalui UU No. 7 tahun 1984, seharusnya Indonesia melarang secara tegas adanya praktik poligami. Hal tersebut karena fakta diseputar poligami menunjukkan banyaknya penderitaan yang ditimbulkan.

Penderitaan tersebut dialami baik terhadap istri pertama, juga istri lainnya serta anak- anak mereka. Sementara jika mengacu pada pasal 1 CEDAW telah dengan tegas menyebutkan diskriminasi terhadap perempuan berarti setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan.

Karenanya, sebagai negara yang telah meratifikasi CEDAW, Indonesia seharusnya wajib memberikan perlindungan bagi perempuan dari berbagai bentuk diskriminasi, baik di lingkungan keluarga, masyarakat maupun negara. Dalam kasus poligami sebagai bentuk diskriminasi dan suatu bentuk kekerasan terhadap perempuan, negara tidak saja mendorong menghapuskannya, tapi justru mengukuhkan institusi poligami itu lewat aturan perundang-undangan.

(6)

EdEEEEEE

Analisa Media

Edisi Mei 2013

Jl. SMA 14 No. 17 RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713

Email: ykm@indo.net.id Website: www.kalyanamitra.or.id Harta, tahta dan wanita

Kekuasaan atau jabatan menjadi salah satu hal yang paling dicari di dunia ini.

Dengan memiliki kekuasaan atau jabatan, seseorang dapat mengeruk harta sebanyak-banyaknya. Jadi harta dan tahta menjadi satu kesatuan yang saling mengikat. Karena, dua hal ini menentukan posisi sosial seseorang di masyarakat.

Dengan mempunyai harta dan tahta, seseorang dapat menguasai orang lain.

Rangkaian yang kemudian muncul setelah memiliki harta dan tahta ialah perempuan.

Ketiganya merupakan mata rantai dalam siklus kuasa pemerintahan sejak zaman purba. Di mana ada kekuasaan, di situ pula gelimangan harta dan perempuan di sekelilingnya.

Penguasaan atas diri perempuan itulah yang akhirnya muncul ketika seorang laki-laki telah bergelimang harta dan tahta. Maka melakukan poligami menjadi satu hal yang dianggap wajar, karena mereka beranggapan bisa membeayai kebutuhan hidup istri- istri dan anak-anaknya. Bisa dikatakan, bahwa poligami merupakan bentuk penampakan konstruksi kuasa laki-laki yang superior dengan nafsu menguasai perempuan. Di sisi lain, faktor biologis atau seksual juga mempengaruhi bahkan demi prestise tertentu. Namun yang nampak dari semua itu sebenarnya, bahwa poligami telah menambah beban sengsara perempuan atas sekian banyak beban yang sudah ada. Jika itu kenyataannya, maka poligami adalah konsep penindasan terhadap perempuan yang tidak berperikemanusiaan

Poligami juga bentuk subordinasi dan diskriminasi terhadap perempuan. Hal mana didasarkan pada keunggulan atau superioritas jenis kelamin tertentu atas jenis kelamin lainnya. Pengakuan yang absah terhadap hirarki jenis kelamin dan pengutamaan privilese seksual mereka atas lainnya.

Dari kasus tersangka korupsi Djoko Susilo, Ahmad Fathanah dan Luthfi Hasan yang sama-sama memiliki istri lebih dari satu memperlihatkan ketika seseorang mempunyai kuasa yang lebih, entah itu karena harta ataupun jabatan, dia akan mengambil perempuan sebagai istri-istrinya. Hal tersebut terjadi karena perkawinan dalam masyarakat patriarkis, secara sosial lebih dimaknai sebagai penguasaan manusia atas manusia yang mempunyai legitimasi kultural dan struktur dalam masyarakat. Perkawinan merupakan peristiwa puncak supremasi superioritas laki-laki atas inferioritas perempuan yang mendapatkan kedudukan dalam masyarakat.

Sejumlah kisah perempuan dalam perkawinan setidaknya didominasi oleh ilustrasi yang menunjukan superioritas laki-laki atau inferioritas perempuan. Posisi perempuan dalam perkawinan sebagian besar berada dalam kungkungan hegemoni laki-laki.

Banyak perempuan yang menjadi tidak berdaya dalam menghadapi perkawinan baik secara fisik maupun psikologis. Posisi perempuan yang lemah dalam perkawinan dapat dilihat dalam berbagai latar belakang.

(7)

EdEEEEEE

Analisa Media

Edisi Mei 2013

Jl. SMA 14 No. 17 RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713

Email: ykm@indo.net.id Website: www.kalyanamitra.or.id

Djoko Susilo, Ahmad Fathanah, dan Luthfi Hasan ingin menunjukan kepada masyarakat bahwa mereka memiliki kuasa atas perempuan-perempuan. Segala usaha dilakukan untuk melakukan penguasaan atas diri orang lain, seperti mengaku belum pernah menikah atau menikah dengan status palsu. Di sisi lain, para perempuan tidak memiliki kesadaran kalau dirinya telah diperalat dan dijadikan objek seksual laki-laki. Hal itu karena memang selama ini pola asuh di masyarakat selalu menekankan laki-laki sebagai mahkluk kelas satu. Apa pun yang dikatakan oleh laki- laki harus dipatuhi. Perempuan lupa bahwa segala tipu daya bisa dilakukan oleh laki- laki untuk terus mempunyai kuasa atas harta, jabatan dan perempuan itu sendiri.

*****

Referensi

Dokumen terkait

Jika keyakinan individu keliru terhadap risiko yang akan dihadapinya, maka akan terbentuk unrealistic optimism ( optimisme yang tidak realistik) terhadap sesuatu

Memang kemajuan teknologi informasi ini bisa menciptakan munculnya kejahatan baru yang dapat merugikan orang lain, bahkan sebagian mahasiswa pernah mengalaminya

1) Seseorang yang memiliki riwayat perjalanan ke Timur Tengah (negara terjangkit) dalam waktu 14 hari sebelum sakit kecuali ditemukan etiologi/penyebab penyakit lain. 2)

strategi pemasaran yang maksimal,maka diharapkan akan menarik minat masyarakat atau nasabah sehingga mereka bisa mengambil keputusan untuk menabung atau menggunakan

Warna dasar yang digunakan untuk motif ini adalah eggplant, reddish purple, magenta dengan warna motif sky blue, pink, cream, dan camel yang dibuat dari pewarna alami

Penilaian dari wisatawan terhadap fasilitas wisata dapat menjadi tolak ukur dari keberhasilan berkembangnya sebuah kawasan wisata, karena wisatawan adalah penerima dari

Model pengambilan keputusan untuk pemilihan presiden-wakil presiden merupakan model keputusan banyak kriteria dimana setiap kriteria yang digunakan kabur atau tidak

Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup penderita DM dan hipertensi salah satunya adalah kegiatan Komunikasi Informasi dan Edukasi secara rutin