• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN ANTARA PEMILIK TANAH DAN PEMILIK MODAL (DENGAN SISTEM BANGUN BAGI)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN ANTARA PEMILIK TANAH DAN PEMILIK MODAL (DENGAN SISTEM BANGUN BAGI)"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

A. Pengertian dan Syarat Sahnya Perjanjian Bangun Bagi

Bahwa bisnis perumahan yang dilakukan dengan cara pembangunan dan pembagian rumah sangat banyak ditemui saat ini, tetapi masih banyak juga masyarakat yang belum mengetahui tentang pembangunan dan pembagian rumah.

Konsep bisnis pembangunan dan pembagian rumah yang selanjutnya yang disebut juga dengan istilah perjanjian bangun bagi dalam bidang perumahan dianggap menguntungkan bagi kedua belah pihak yang melakukan perjanjian.

Djaren Saragih memberikan pengertian dan fungsi dari perjanjian bagi hasil atau disebut juga dengan deelbouw overeenkomst yaitu hubungan hukum antara seorang yang berhak atas tanah dengan pihak lain (kedua), dimana pihak kedua ini di perkenankan mengolah tanah yang bersangkutan dengan ketentuan hasil dari pengolahan tanah dibagi dua antara orang yang berhak atas tanah dan yang mengolah tanah itu.

35

Setiap perjanjian menganut azas kebebasan berkontrak, yang memberikan kebebasan untuk mengadakan dan menentukan perjanjian yang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Pasal 1338 ayat 3 KUH

35

(2)

perdata yang mengatakan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik.

36

Kontrak atau perjanjian ini merupakan suatu peristiwa hukum di mana seorang berjanji kepada orang lain atau dua orang saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Apabila seorang berjanji kepada orang lain, kontrak Perjanjian bangun bagi seperti perjanjian lainnya memiliki kendala dalam proses pelaksanaannya, problematika yang sering terjadi dalam pelaksanaan perjanjian bangun bagi adalah hasil pembangunan yang dilakukan developer tidak sesuai dengan yang diperjanjikan sebelumnya.

Adapun dalam hal ini akan dilakukan pembahasan mengenai akta perjanjian bangun bagi yang dibuat oleh Nyonya Salembal selaku pihak pertama yang merupakan pemilik tanah dengan pihak kedua Tuan Santo Wijaya yang merupakan developer perorangan. Wanprestasi yang dilakukan pihak kedua tersebut dikarenakan tidak menyelesaikan pembangunan tepat pada waktunya, dan juga dikarenakan pihak pertama tidak kunjung dapat menyelesaikan surat-surat tanah menjadi sertifikat, oleh karena itu wanprestasi atau kelalaian mempunyai akibat yang begitu penting, maka harus ditentukan terlebih dahulu apakah pihak pertama atau pihak kedua benar telah melakukan wanprestasi, untuk mengetahui itu harus dilihat isi dari suatu perjanjian yang telah disepakati baru dapat diketahui siapa yang telah melakukan wanprestasi apabila ia tidak melaksanakan kewajibannya .

36Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung Citra Aditia Bakti, 2001, hal. 83

(3)

tersebut merupakan kontrak yang biasa diistilahkan dengan kontrak sepihak di mana hanya seorang yang wajib menyerahkan sesuatu kepada orang lain, sedangkan orang yang menerima penyerahan itu tidak memberikan sesuatu sebagai balasan (kontra prestasi) atas sesuatu yang diterimanya.

Sementara itu, apabila dua orang saling berjanji, ini berarti masing-masing pihak berhak untuk menerima apa yang dijanjikan oleh pihak lain. Hal ini berarti bahwa masing-masing pihak dibebani kewajiban dan diberi hak sebagaimana yang dijanjikan.

Di dalam kontrak pada umumnya janji-janji para pihak itu saling

“berlawanan”, misalnya dalam perjanjian jual beli, tentu saja satu pihak menginginkan barang, sedangkan “pihak lainnya menginginkan uang karena tidak mungkin terjadi jual beli kalau kedua belah pihak menginginkan hal yang sama”.

37

37

Dengan demikian kontrak merupakan suatu peristiwa yang konkret dan

dapat diamati, baik itu kontrak yang dilakukan secara tertulis maupun tidak

tertulis. Hal ini berbeda dari perikatan yang tidak konkret, tetapi abstrak atau tidak

dapat diamati karena perikatan itu hanya merupakan akibat dari adanya kontrak

tersebut yang menyebabkan orang atau para pihak terikat untuk memenuhi apa

yang dijanjikan.

(4)

Selanjutnya sebelum membahas lebih jauh tentang perjanjian bagi hasil atau dalam penulisan ini disebut perjanjian bangun bagi dikemukakan pula pengertian perjanjian yang menjadi dasar dilakukannya kontrak atau perjanjian bangun bagi.

Perjanjian diatur dalam Bab II Buku III KUH Perdata, sedangkan mengenai perjanjian-perjanjian secara khusus diatur dalam Bab V sampai dengan Bab VIII.

Menurut Pasal 1313 KUH Perdata, suatu perjanjian adalah: “suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

J. Satrio mendefinisikan perjanjian sebagai berikut :

Dalam arti yang lebih luas suatu perjanjian berarti setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagai yang dikehendaki (atau dianggap dikehendaki) oleh para pihak, sedang dalam arti sempit perjanjian disini hanya ditujukan pada hubungan-hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan saja seperti yang termaksud dalam Buku III KUH Perdata.

38

Untuk mengetahui yang dimaksud dengan perjanjian, berikut dikemukakan pendapat para sarjana. Dalam mendefinisikan perjanjian, para Sarjana Hukum belum mempunyai pendapat yang sama. Perbedaan dalam memberikan definisi perjanjian disebabkan karena penerjemahan kata Verbintenis dan overeenkomst.

Sebagian sarjana menterjemahkan perjanjian untuk verbintenis dan persetujuan untuk kata overeenkomst.

39

Sedangkan Utrecht menterjemahkan “perhutangan untuk verbintenis dan perjanjian overeenkomst”.

40

38J. Satrio, Hukum Perikatan, Alumni Bandung, 1992, hal 23.

39Ahmad Ichsan, Hukum Perdata I B, Pembimbing Masa, Jakarta, 1999, hal 14.

40Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Balai Bulan, Jakarta, 1995. hal 320.

(5)

Berdasarkan ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata di atas, juga dapat dipahami, perjanjian hanya mengenai perjanjian sepihak termasuk juga pada perbuatan dan tindakan, seperti zaakwaarneming, onrechtmatige daad.

Abdulkadir Muhammad mengatakan Pasal 1313 KUH Perdata kurang memuaskan karena ada kelemahannya yaitu :

1. Hanya menyangkut sepihak saja. Dari rumusan ini diketahui, satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lainnya atau lebih.

Kata kerja “mengingat” sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya rumusan itu saling “mengikat diri”

terlihat adanya konsensus dari kedua belah pihak.

2. Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus maksudnya dalam pengertian “perbuatan” termasuk tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa (zaakwaarneming) dan tindakan melawan hukum yang tidak mengandung adanya konsensus. Seharusnya dipakai kata “persetujuan”

saja.

3. Pengertian perjanjian terlalu luas. Dikatakan terlalu luas karena terdapat juga di dalam lapangan hukum keluarga yang terdapat dalam buku I seperti janji kawin, pelangsungan perkawinan. Sedangkan perjanjian yang dikehendaki oleh Buku III KUH Perdata sebenarnya hanyalah perjanjian yang bersifat kebendaan bukan bersifat personal.

4. Dalam rumusan pasal tersebut tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak mengikat dirinya tidak jelas untuk apa.

41

Berdasarkan alasan di atas, Abdulkadir Muhammad memberikan pengertian perjanjian sebagai “suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan”.

42

Subekti mengemukakan bahwa “perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada orang lain atau lebih, di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal”.

43

41Abdul kadir Muhammad, Op.Cit.,hal. 78

42Ibid.

43

(6)

Perjanjian ini merupakan suatu peristiwa hukum di mana seorang berjanji kepada orang lain atau dua orang saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Apabila seseorang berjanji kepada orang lain, kontrak tersebut merupakan kontrak yang biasa diistilahkan dengan kontrak sepihak, di mana hanya seorang saja yang wajib menyerahkan sesuatu kepada orang lain, sedangkan orang yang mennerima penyerahan itu tidak memberikan sesuatu sebagai balasan (kontra prestasi) atas sesuatu yang diterimanya. Sementara itu, apabila dua orang saling berjanji, ini berarti masing-masing pihak berhak untuk menerima apa yang diperjanjikan oleh pihak lain. Hal ini berarti bahwa masing- masing pihak dibebani kewajiban dan diberi hak sebagaimana yang dijanjikan.

Mengenai adanya suatu perjanjian yang terdapat di luar ketentuan Buku III KUH Perdata tersebut didasarkan pada asas kebebasan berkontrak, yang ditentukan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menentukan bahwa

“semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi

mereka yang membuatnya”. Para pihak bebas menentukan objek perjanjian,

sesuai dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Pasal 1338 ayat

(3) KUHPerdata, ditegaskan bahwa setiap perjanjian harus dilaksanakan dengan

iktikad baik. Sedangkan wujud dari suatu perjanjian menurut Pasal 1234

KUHPerdata dapat berupa pemberian sesuatu, perbuatan atau tidak berbuat

sesuatu. Perjanjian bangun bagi pembangunan ruko antara pemilik tanah dengan

pelaksana pembangunan dalam praktek secara umum berpedoman pada ketentuan

pada asas kebebasan berkontrak Pasal 1338 ayat (1) jo Pasal 1320 KUHPerdata.

(7)

Bahwa perbedaan antara bangun bagi dan bagi hasil kedua istilah tersebut satu sama lain tidak terpisahkan karena adanya pembangunan tujuannya hasil dari pembangunan bangunan-bangunan hasilnya akan dibagi antara pemilik tanah dan pemilik modal ( developer ) jadi merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

Lebih lanjut menurut Hilman Hadikusuma yang menjadi latar belakang terjadinya bagi hasil adalah :

1. Bagi pemilik :

a. Tidak berkesempatan mengerjakannya hartanya sendiri.

b. Keinginan mendapatkan hasil tanpa susah payah dengan memberi kesempatan kepada orang lain untuk mengerjakannya.

2. Bagi penggarap :

a. Tidak atau belum mempunyai pekerjaan tetap.

b. Kelebihan waktu bekerja.

c. Keinginan mendapatkan tambahan hasil garapan.

Dasar timbulnya perjanjian bangun bagi ini adalah sama halnya dengan

perjanjian bagi hasil atau dalam perjanjian pembangunan disebut perjanjian

bangun bagi karena orang yang mempunyai hak atas tanah tidak mempunyai

kesempatan ataupun kemampuan untuk membangun atau mendirikan bangunan

sesuai yang diinginkannya. Oleh karena itu, dengan membuat kesepakatan atau

perjanjian bangun bagi tersebut pemilik tanah mengizinkan orang lain untuk

membangunnya dengan ketentuan agar hasilnya dalam hal ini dibagi dua atau

sesuai dengan kesepakatan.

(8)

Di dalam Buku III KUH Perdata mengatur tentang perikatan, di mana perikatan tersebut ada yang bersumber dari persetujuan dan yang ada yang bersumber dari undang-undang. Sehubungan dengan hal itu, perjanjian bangun bagi pembangunan toko termasuk salah satu jenis perikatan yang bersumber dari perjanjian atau persetujuan. Dengan demikian, untuk sahnya perjanjian bangun bagi pembangunan toko harus mengikuti pula syarat-syarat sahnya perjanjian menurut ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri;

2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian;

3. Mengenai suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang halal.

Keempat syarat sahnya perjanjian yang disebut di atas harus ada pada setiap perjanjian bangun bagi pembangunan toko yang diadakan oleh para pihak. “Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat subjektif, karena mengenai orang- orangnya atau subjeknya yang mengadakan perjanjian. Sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat objektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau objek perbuatan dilakukan itu”.

44

1. Sepakat Mereka yang Mengikatkan Diri

Dalam kesepakatan tersebut menunjukkan bahwa di antara para pihak harus ada kemauan yang bebas untuk saling mengadakan kesepakatan. Kemauan yang bebas untuk mengadakan suatu perjanjian yang sah dianggap tidak ada, “apabila kata sepakat itu diberikan atau terjadi karena adanya kekhilafan, penipuan atau

44R. Subekti, Op.Cit.,hal. 17.

(9)

paksaan. Kekhilafan dapat terjadi mengenai orang atau mengenai barang yang menjadi pokok atau tujuan dari pihak-pihak yang mengadakan perjanjian”.

45

Hal tersebut adalah sejalan dengan ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menentukan bahwa semua perjanjian dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Penipuan dapat terjadi apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang tidak benar disertai dengan akal-akal cerdik, sehingga pihak lainnya terbujuk untuk memberikan perizinannya. Dengan kata lain, kata sepakat tidak mungkin terjadi apabila dilandasi dengan penipuan atau keterangan yang tidak benar.

46

2. Kecakapan Untuk Membuat Suatu Perjanjian

Pada umumnya orang itu dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum, apabila ia sudah dewasa artinya sudah mencapai umur 21 tahun atau sudah kawin walaupun belum berumur 21 tahun. Untuk melaksanakan suatu perjanjian bangun bagi diharuskan orang yang cakap bertindak dalam lalu lintas hukum, karena dalam perjanjian itu seseorang terikat untuk melaksanakan suatu prestasi dan mereka harus dapat mempertanggungjawabkannya. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1329 KUH Perdata yang menyatakan ”bahwa setiap orang adalah cakap untuk mengadakan suatu persetujuan, kecuali orang yang oleh undang- undang dinyatakan tidak cakap, seperti orang yang belum dewasa, orang gila atau orang yang berada di bawah pengampuan.

45Hartono Hadi Soerapto, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, Liberty, Yogjakarta, 1984, hal. 33.

46

(10)

3. Suatu Hal Tertentu

Suatu perjanjian termasuk perjanjian bangun bagi harus mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu perselisihan”.

47

4. Suatu Sebab yang Halal

Barang yang dimaksudkan di sini adalah paling sedikit harus ditentukan jenisnya. Bahwa barang yang sudah ada ditangannya si berutang pada waktu perjanjian dibuat, tidak diharuskan oleh undang-undang. Juga jumlahnya tidak perlu disebutkan, asal saja kemudian dapat dihitung atau ditetapkan. Demikian pula halnya dalam perjanjian bangun bagi juga harus ditentukan objeknya seperti halnya perumahan yang menjadi objek penelitian ini.

Persyaratan yang demikian itu sejalan dengan ketentuan Pasal 1333 KUH Perdata yang menyatakan bahwa ”Suatu persetujuan harus mempunyai pokok berupa suatu barang yang sekurang-kurangnya ditentukan jenisnya”. Dengan demikian hal-hal yang diperjanjikan dalam perjanjian haruslah tertentu barangnya atau sekurang-kurangnya ditentukan jenisnya.

Untuk sahnya suatu perjanjian juga harus memenuhi suatu syarat yang dinamakan dengan sebab atau alasan yang diperbolehkan. Tetapi yang dimaksudkan dengan sebab (causa) yang halal dalam Pasal 1320 KUH Perdata itu bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan atau yang mendorong orang membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti ”isi perjanjian itu sendiri, yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh pihak-pihak”.

47R. Subekti, Op. Cit, hal. 19

(11)

Undang-undang tidak memperdulikan apa yang menjadi sebab orang mengadakan perjanjian, yang diperhatikan atau diawasi oleh undang-undang ialah”isi perjanjian itu” yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai, apakah dilarang oleh undang-undang atau tidak, apakah bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan atau tidak.

Jika perjanjian yang berisi sebab (causa) yang tidak halal ialah bahwa perjanjian itu batal demi hukum. Dengan demikian tidak ada dasar untuk menuntut pemenuhan perjanjian di muka hakim, karena sejak semula dianggap tidak pernah ada perjanjian. Demikianlah juga apabila perjanjian yang dibuat itu tanpa sebab (causa), ia dianggap tidak pernah ada. Oleh karena itu, perjanjian bangun bagi juga bukanlah suatu perjanjian yang dilarang oleh ketentuan undang- undang.

Dengan demikian, apabila dalam membuat suatu perjanjian tidak terdapat suatu hal tertentu, maka dapat dikatakan bahwa objek perjanjian tidak ada. Oleh karena itu, perjanjian tersebut tidak dapat dilaksanakan karena tidak terang apa yang diperjanjikan. Sedangkan suatu perjanjian yang isinya tidak ada sebab yang diperbolehkan atau isinya melanggar ketentuan, maka perjanjian itu juga tidak dapat dilaksanakan karena melanggar undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.

B. Hak dan Kewajiban Serta Akibat Hukum Perjanjian Bangun Bagi Menurut KUH Perdata suatu perjanjian merupakan perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

Berdasarkan pengertian tersebut suatu perjanjian baru dapat dibuat apabila

(12)

terdapat dua orang atau lebih yang sepakat untuk saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu prestasi yang merupakan tujuan dari pada perjanjian yang mereka buat tersebut.

Para pihak dapat melakukan perjanjian yang merupakan salah satu bentuk perikatan. Para pihak ataupun subjek hukum yang merupakan peserta dalam suatu perjanjian hanya terbatas pada orang-orang dan badan hukum. Menurut teori hukum, yang disebut subjek hukum adalah manusia yang berkepribadian hukum dan segala sesuatu yang berdasarkan tuntutan dan kebutuhan masyarakat, yang oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban.

Setiap individu merupakan subjek sejak mulai dia lahir sampai ia meninggal, kecuali apabila undang-undang menentukan lain, maka bayi dalam kandunganpun sudah merupakan subjek hukum apabila menyangkut kepentingannya. Namun individu atau subjek hukum yang dapat membuat perjanjian adalah individu yang mempunyai kecakapan untuk suatu perbuatan hukum.

Hal ini penting untuk kelancaran dari pelaksanaan perjanjian karena kecakapan subjek hukum syarat subjektif dari syarat sahnya suatu perjanjian, apabila syarat tersebut tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan.

Dalam suatu perjanjian, para pihak merupakan pendukung hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian tersebut.

Setiap perjanjian melahirkan perikatan sebagai hubungan hukum yang

menyebabkan para pihak mempunyai hak dan kewajiban. Pada perbuatan hukum

(13)

bersegi dua, yaitu perjanjian yang terdapat hak dan kewajiban di antara para pihak yang terlibat dalam perjanjian.

Berdasarkan hasil-hasil penelitian di lapangan diketahui bahwa dalam pelaksanaan perjanjian bangun bagi yang menjadi hak dari pemilik tanah adalah mendapatkan atau memperoleh hasil berupa sejumlah unit bangunan sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang diperjanjikan dan jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian. Sedangkan hak lainnya dari pemilik tanah adalah :

1. Berhak mengawasi hasil pelaksanaan pekerjaan usaha pembangunan toko khususnya dalam penggunaan material sesuai dengan perjanjian.

2. Berhak memberi teguran (mengambil tindakan yang tegas) apabila terjadi penyalahgunaan bahan material dan apabila tidak menerima bagian sebagaimana yang diperjanjikan.

3. Berhak mengalihkan objek perjanjian kepada pihak lain apabila pelaksana pembangunan tidak melaksanakan kewajibannya.

Sedangkan kewajiban pemilik tanah adalah :

1. Menyerahkan tanah miliknya untuk dipergunakan oleh pelaksana pekerjaan usaha pembangunan toko dan memberi jaminan terhadap lancarnya proses pembangunan dilaksanakan.

2. Pemilik tanah wajib menyerahkan dan mengakui bagian dari hasil pembangunan yang menjadi hak pelaksanaan pekerjaan usaha pembangunan toko sesuai dengan perjanjian.

Sedangkan yang menjadi kewajiban pelaksana pembangunan sebagai pelaksana pembangunan adalah merupakan hak dari pemilik tanah, antara lain :

1. Melaksanakan pekerjaan pembangunan toko yang menjadi objek perjanjian sesuai dengan rencana dan persyaratan serta menggunakan material sesuai dengan yang diperjanjikan.

2. Wajib menyerahkan bagian bangunan toko yang menjadi bagian hak pemilik tanah.

3. Wajib melaksanakan pembangunan toko sesuai dengan perjanjian dan

menjaga agar tanah tidak dipergunakan untuk usaha lain yang tidak sesuai

dengan perjanjian dan kegiatan lain yang dapat merugikan lingkungan di

sekitarnya.

(14)

Menurut Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menjadi akibat hukum dari suatu perjanjian bangun bagi adalah:

1. Perjanjian tersebut mengikat para pihak.

Maksudnya, perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak akan mengikat para pihak yang membuatnya danberlaku sebagai Undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.

2. Perjanjian tidak dapat ditarik kembali secara sepihak karena merupakan kesepakatan di antara kedua belah pihak dan alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.

Maksudnya, perjanjian yang sudah dibuat, tidak bisa dibatalkan secara sepihak tanpa persetujuan dari pihak lain. Hal ini sangat wajar, agar kepentingan pihak lain terlindungi sebab perjanjian itu dibuat atas kesepakatan kedua belah pihak, maka pembatalannya pun harus atas kesepakatan kedua belah pihak.

Selain itu, pembatalan secara sepihak hanya dimungkinkan jika ada alasan yang cukup oleh undang-undang.

3. Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik

Menurut Subekti, itikad baik berarti kejujuran atau bersih. Dengan kata lain, setiap perjanjian harus dilaksanakan dengan penuh kejujuran.

48

Demikian pula dalam perjanjian bangun bagi apabila hak dan kewajiban tersebut tidak terlaksana tentunya akan menyebabkan kerugian bagi salah satu

48Subekti, Hukum Pembuktian, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2001

.

(15)

pihak, oleh karena itu para pihak dapat menuntut pihak yang menyebabkan kerugian tersebut. Tuntutan dapat dilakukan melalui tuntutan pemenuhan perjanjian ganti rugi sampai pada pembatalan perjanjian. Tuntutan pembatalan perjanjian itu sendiri kemudian menyebabkan timbulnya perselisihan atau sengketa.

Didalam masyarakat Indonesia sendiri penyelesaian terhadap sengketa akibat suatu perjanian akibat suatu perjanjian seperti halnya dalam perjanjian bagi hasil atau perjanjian bangun bagi juga memerlukan upaya untuk menyelesaikannya, baik upaya penyelesaian melalui pengadilan ( legitasi ) dengan menggunakan ketentuan hukum formal maupun melalui upaya diluar pengadilan ( non-legitasi ).

Peranan notaris dalam penyelesaian tuntutan pembatalan bangun bagi ini adalah karena notaris merupakan pejabat umum yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan dengan kewenangan untuk membuat segala perjanjian dan akta serta yang dikehendaki oleh yang berkepentingan.

49

Dalam hal ini Notaris dapat menjadi mediator dalam menyelesaikan perselisihan atau sengketa antara para pihak yang terlibat dalam akta perjanjian yang dibuatnya termasuk dalam hal ini untuk menyelesaikan perselisihan atau tuntutan pembatalan terhadap akte perjanjian bangun bagi.

C. Berakhirnya Perjanjian Bangun Bagi

1. Pasal 1381 KUHperdata Perikatan-perikatan hapus :

49

(16)

a. Karena pembayaran;

b. Karena penawaran pembayaran tunai, dikuti dengan penyimpangan atau penitipan;

c. Karena pembaharuan utang;

d. Karena perjumpaan utang atau kompensasi;

e. Karena percampuran utang;

f. Karena pembebasan utang;

g. Karena musnahnya barang yang terutang;

h. Karena kebatalan atau pembatalan;

i. Karena berlakunya suatu syarat batal;

j. Karena lewatnya waktu.

Pada dasarnya Pasal 1381 KUHPerdata mengatur berbagai cara hapusnya perikatan-perikatan untuk perjanjian dan perikatan lahir dari undang-undang dan cara-cara yang ditunjukkan oleh pembentuk undang-undang itu tidaklah bersifat membatasi pihak-pihak untuk menciptakan cara yang lain untuk menghapuskan suatu perikatan. Juga cara-cara tersebut dalam pasal 1381 KUHPerdata itu tidaklah lengkap, karena tidak mengatur misalnya hapusnya perikatan, karena meninggalnya seorang dalam suatu perjanjian yang prestasinya hanya dapat dilaksanakan oleh salah satu pihak.

Di dalam perjanjian bangun bagi bangunan adanya pembayaran atau penyerahan berupa tanah suatu prestasi yang utama harus dilaksanakan. Sehingga dengan dilakukannya penyerahan tanah ini tercapailah tujuan perjanjian yang diadakan.

Yang dimaksud dengan “pembayaran” dalam hukum perikatan bukanlah

sebagaimana ditafsirkan dalam bahasa pergaulan sehari-hari, yaitu pembayaran

sejumlah uang, tetapi setiap tindakan, pemenuhan prestasi, walau bagaimanapun

sifat dari prestasi itu. Penyerahan barang oleh penjual, berbuat sesuatu atau tidak

berbuat sesuatu adalah merupakan pemenuhan dari prestasi atau tegasnya adalah

(17)

“pembayaran”. Dengan terjadinya pembayaran, maka terlaksanalah perjanjian kedua belah pihak.

Disamping itu berakhirnya perjanjian bangun bagi bangunan ini adalah

“pembayaran”. Dengan terjadinya pembayaran, maka terlaksanalah perjanjian kedua belah pihak. Disamping itu berakhirnya perjanjian bangun bagi bangunan ini adalah karena pihak pengembang telah menyelesaikan atau memenuhi kewajibannya sesuai dengan isi perjanjian yang telah disepakati.

Mengenai permbayaran uang harga pembelian dalam perjanjian jual beli Pasal 1514 KUHperdata menentukan bahwa pembayaran itu tempatnya digantungkan pada tempat dimana barang yang dibeli harus diserahkan, kecuali diperjanjikan ditempat lain. Sebagai kontraprestasi dari pembayaran yang dilakukan pembeli maka bagi penjual diwajibkan untuk mengadakan penyerahan.

Yang harus diserahkan penjual kepada pembeli bukan sekedar kepuasan atas barangnya melainkan harus ia serahkan adalah hak milik atas barang, jadi yang harus dilakukannya adalah penyerahan atau “levering” secara yuridis.

2. Ditentukan oleh Putusan Hakim

Didalam perjanjian bangun bagi bangunan suatu perjanjian bisa berakhir

karena adanya suatu putusan hakim. Hal ini dapat terjadi karena adanya tuntutan

salah satu pihak yang merasa bahwa perjanjian itu terdapat adanya kekurangan-

kekurangan yang merugikan bagi dirinya sehingga mengajukan tuntutan ke

pengadilan. Contohnya dalam suatu perjanjian bangun bagi bangunan yang terjadi

dengan adanya penipuan, maka dalam hal ini pihak yang merasa dirugikan ini

(18)

mengajukan tuntutan ke pengadilan dan selanjutnya oleh hakim akan dijatuhkan suatu keputusan untuk menghentikan perjanjian yang mereka buat.

3. Ditentukan dalam Perjanjian Oleh Kedua Belah Pihak

Suatu perjanjian bangun bagi bangunan dapat berakhir karena adanya suatu ketentuan yang dibuat oleh pihak. Dalam hal ini kedua pihak telah sepakat bahwa perjanjian jual beli yang mereka buat itu akan berakhir dengan adanya suatu peristiwa yang telah mereka sepakati bersama dalam perjanjian yang dibuat.

Pembatalan dalam suatu kesepakatan jual beli tidak dapat dilaksanakan jika hanya berpedoman kepada keinginan dari salah satu pihak saja, baik pihak pemilik tanah maupun pihak pembangun. Jika jual beli tanah dibuat dengan syarat batal, Pasal 1266 KUHperdata menyatakan bahwa :

“Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan yang timbale balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.

Dalam hal yang demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan

harus dimintakan kepada hakim. Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun

syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan di dalam

persetujuan. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan, hakim adalah

leluasa untuk, menurut keadaan atas permintaan tergugat, memberikan suatu

jangka waktu untuk masih juga memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana

namun tidak boleh lebih dari satu bulan”.

(19)

PEMILIK MODAL DALAM MEWUJUDKAN KEPASTIAN HUKUM ( Study Putusan No. 704/Pdt.G/2015/PN.Mdn )

A. Proses Pembuatan Akta Perjanjian Antara Pemilik Tanah dan Pemilik Modal

Dalam bab 4 ini saya mencoba mengemukakan proses pembuatan akta perjanjian sampai timbulnya perkara. Notaris sesuai dengan Undang-undang No.30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris dalam pasal 1 jelas diterangkan bahwa “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini.”

Proses permbuatan akta dimulai dengan adanya kehendak dari pihak-pihak yang datang menghadap notaris untuk dicatatkan/dibuatkan kesepakatan pihak- pihak agar mempunyai kekuatan dan kepastian hukum. Bahwa Notaris dalam pembuatan perjanjian antara pemilik tanah dan pemilik modal harus berhati-hati jangan sampai ada pihak yang dirugikan yang mengakibatkan timbulnya perselisihan.

Bahwa kewenangan, kewajiban dan larangan notaris telah diatur dengan

jelas dalam Pasal 15 dan 16 UUJN No.30 Tahun 2004 yang telah dirubah dengan

UU No. 2 Tahun 2014. Sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang tersebut diatas

(20)

notaris berupaya semaksimal mungkin agar tidak terjadi sengketa/ perselisihan.

Namun dalam kegiatan dimasyarakat masalah bangun bagi ini banyak terjadi perselisihan yang berujung kepengadilan ( Study Putusan No.

704/Pdt.G/2015/PN.Mdn ) hal ini disebabkan lewatnya waktu dalam perjanjian yang disebabkan terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh para pihak.

Bahwa tidak terlaksananya perjanjian antara pemilik modal dengan pemilik lahan bias saja dan sering terjadi karena adanya unsur kelalaian atau disengaja untuk melaksanakan prestasi yang tidak diperjanjikan. Namun demikian, sebelumnya jika timbul perselisihan mengenai apa yang diperjanjikan tersebut akan diselesaikan oleh kedua belah pihak secara musyawarah dan mufakat berdasarkan kekeluargaan, jika tidak bias diselesaikan dengan cara tersebut, maka kedua belah pihak sepakat untuk diselesaikan melalui pengadilan negeri medan.

Bahwa notaris dalam membuat perjanjian yang dikehendaki antara pemilik modal dan pemilik tanah haruslah sesuai dengan ketentuan Undang-undang seperti yang diatas Pasal 1338 ayat (3) KUHperdata “setiap perjanjian menganut azas kebebasan berkontrak, yang melakukan kebebasan untuk mengadakan dan menentukan perjanjian yang tidak bertentangan Undang-undang kesusilaan dan ketentuan umum.”

Bahwa perjanjian tersebut harus dilaksanakan dengan iktikat baik

pelaksanaan perjanjian bangun bagi antara pemilik modal dan pemilik tanah yang

berisi hak dan kewajiban para pihak merupakan akta yang dibuat dihadapan

notaris yang bersifat autentik. Notaris merupakan pejabat umum yang diberikan

oleh peraturan Perundang-undangan dengan kewenangan untuk membuat segala

(21)

perjanjian dan akta serta yang dikehendaki oleh yang berkepentingan hubungan hukum antara pihak yang satu dengan pihak yang lain tidak bias timbul dengan sendirinya, hubungan itu tercipta oleh adanya “tindakan hukum”. Begitu juga dengan perjanjian antara pemilik modal dan pemilik tanah, perjanjian seperti ini memiliki kendala dalam proses pelaksanaannya, problematika yang sering terjadi dalam pelaksanaan perjanjian ini adalah hasil pembangunan yang dilakukan oleh developer ( pemilik modal ) tidak sesuai dengan yang diperjanjikan sebelumnya dan pemilik tanah tidak kunjung selesai dalam proses pensertifikan tanah, yang menghambat proses pengurusan izin mendirikan bangunan dan hal ini berdampak pada pelaksanaan isi perjanjian yang sudah disepakati yang dibuat dihadapan notaris.

Adapun dalam hal ini akan dilakukan pembahasan mengenai akta perjanjian

kerja sama dan bagi hasil yang dibuat oleh nyonya X selaku pihak pertama yang

merupakan pemilik tanah dengan pihak kedua tuan Y yang merupakan pemilik

modal ( developer perorangan ). Wanprestasi yang dilakukan pihak pertama

dikarenakan tidak menyelesaikan surat-surat tanah menjadi sertifikat tepat pada

waktunya, sehingga pihak kedua merasa sangat dirugikan akan hal tersebut karena

tidak dapat mengurus kelanjutan yaitu untuk membangun bangunan diatas tanah

tersebut, dan pihak pertama juga tidak mendapat bagi hasil. Oleh karena pihak

kedua tidak bias membangun diatas tanah milik pihak pertama maka pihak

pertama juga merasa keberatan dan belum mendapat bahagian yang seharusnya

diterima, oleh karena hal tersebut pihak pertama mengajukan gugatannya ke

Pengadilan Negeri Medan untuk menuntut ganti kerugian dan pembatalan atas

(22)

perjanjian bangun bagi tersebut gugatan yang diajukan oleh pihak pertama tersebut ( Study Putusan No. 704/Pdt.G/2015/PN.Mdn ).

Bahwa proses pembuatan akta perjanjian antara pemilik tanah dan pemilik modal sesuai ketentuan UU adalah dihadapan notaris. Notaris mempunyai kedudukan dan peran yang penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, karena mempunyai kewenangan atau authority yang ada ditentukan dalam Peraturan Perundang-undangan, kewenangan notaris telah ditentukan dalam Pasal 15 UU No.2 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas UU No.30 Tahun 2004, Tentang Jabatan Notaris ( telah dibahas di awal tulisan ini ).

Proses pembuatan akta perjanjian antara pemilik modal dan pemilik tanah yang dibuat oleh notaris tersebut unsur-unsurnya meliputi :

1. Adanya akta atau bukti tertulis;

2. Dibuat dihadapan notaris;

3. Adanya subjek hukum;

4. Adanya objek; dan

5. Adanya hak dan kewajiban yang timbal balik.

Hak dan kewajiban para pihak dalam akte perjanjian kerja sama dan bagi hasil antara Nyonya X ( pemilik tanah ) dan Tuan Y ( pemilik modal/pengembang perorangan ) adalah :

• Hak dan kewajiban Nyonya X sebagai pihak pertama dan sebagai pemilik tanah dalam perjanjian tersebut yaitu

1. Harus menyelesaikan pensertifikatan tanah sampai selesai.

(23)

2. Menyelesaikan persoalan hukum yang timbul jika terdapat persoalan hukum atas tanah tersebut.

3. Menerima bagian rumah atau bagi hasil jika ketentuan-ketentuan nomor 1 dan 2 telah selesai yang dapat dikonpensasi dengan nilai rupiah.

4. Jika dalam waktu 2 tahun setelah penanda tanganan akta tersebut sertifikat belum selesai maka perjanjian ditinjau kembali.

• Hak dan kewajiban Tuan Y sebagai developer ( pengembang perorangan ) yaitu

1. Mengurus IMB ( ijin mendirikan bangunan ) jika sertifikat telah selesai.

2. Membangun rumah sebanyak 78 kafling bangunan.

3. Menyerahkan beberapa unit bangunan yang menjadi milik pihak pertama ( sesuai yang disepakati dalam akte tersebut )

Persoalan atau problematika timbul atas pelaksanaan akte perjanjian kerja sama tersebut antara lain

1. Pengurusan pensertifikatan tanah yang tidak kunjung selesai padahal

pengembang baru dapat membangun setelah izin mendirikan bangunan

diterbitkan oleh instansi tata kota setempat. Izin mendirikan bangunan baru

bisa diterbitkan jika sertifikat telah selesai Pasal 20 ayat 1 UUPA

menjelaskan bahwa sertifikat hak milik merupakan surat tanda bukti hak

atas tanah bagi pemegangnya untuk memiliki, menggunakan, mengambil

(24)

manfaat lahan tanahnya secara turun temurun terkuat dan terpenuh.

50

a. Izin lokasi, yang melibatkan kelurahan untuk merekomendasikan perihal pembangunan perumahan di lokasi tanah milik pihak pertama.

Dasar untuk mendirikan bangunan mempunyai langkah-langkah yang harus ditempuh dari segi aspek legal seperti :

b. Izin pemanfaatan ruang, badan pelayanan perizinan terpadu dinas tata kota setempat akan mengirim orang untuk mengecek ke lokasi lahan dan melihat batasan lahan yang dikuasai.

c. Penurunan hak, jika sertifikat hak milik akan diturunkan jadi hak guna bangunan.

d. Pengesahan Site Plan, dimana lokasi tanah 60% untuk pembangunan, sedangkan 40% untuk fasum (fasilitas umum)

2. Akibat keterlambatan ini timbul iktikat tidak baik dari pihak pertama yang mengakibatkan isi dari perjanjian tidak dapat terlaksana sebagai mana mestinya.

3. Permasalahan tersebut diatas mengakibatkan timbul persoalan hukum berupa perselisihan yang berujung pada perkara di Pengadilan Negeri.

B. Peran Notaris dalam Pembuatan Akta Perjanjian Bangun Bagi Dalam Mewujudkan Kepastian Hukum di Masyarakat

Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Pasal 1 angka 1 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris bahwa notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta

50Syarifuddin Chandra, Sertifikat Kepemilikan Hak Atas Tanah Persyaratan Permohonan di Kantor Pertanahan, Jakarta Grasindo Tahun 2005, Hal. 22

(25)

autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya.

Peran notaris di tengah-tengah masyarakat semakin dibutuhkan tentu hal ini sejalan dengan kemajuan yang dicapai oleh masyarakat itu sendiri hal itulah yang membuat kemajuan masyarakat, pesatnya pertumbuhan kemajuan di bidang produksi barang, jasa terutama dalam bidang perekonomian dimana peran serta notaris sangat diperlukan dalam pembuatan akta dan perjanjian-perjanjian .

Dengan demikian bahwa peranan notaris dalam pembuatan akta perjanjian antara pemilik tanah dan pemilik modal adalah agar perjanjian yang dibuat tersebut mempunyai kekuatan dan kepastian hukum. Bahwa dalam kenyataan di dalam masyarakat sering terjadi perselisihan bahkan pertengkaran yang menjurus kepada gugatan/ perkara di pengadilan, yang hal ini terjadi jika para pihak memang benar-benar tidak memenuhi isi perjanjian sebagaimana yang disepakati bersama yang berujung pada pemutusan hubungan bahkan pembatalan perjanjian.

Peran notaris dalam pemmbuatan perjanjian akta bangun bagi adalah sangat diperlukan sebab kesepakatan antara pihak pertama dan pihak kedua mengenai perjanjian bangun bagi isinya mengikat kepada para pihak sehingga dengan dibuatnya dihadapan notaris maka perjanjian bangun bagi itu mempunyai kekuatan dan kepastian hukum. Bahwa peranan notaris harus menjelaskan isi dari perjanjian bangun bagi sampai dimengerti pihak-pihak yang membuat perjanjian.

Akte perjanjian yang dibuat dengan sistem bangun bagi jelas mempunyai kekuatan hukum karena dibuat dihadapan pejabat yang berwenang yaitu notaris.

Hukum tentang perjanjian mempunyai sifat system terbuka maksudnya dalam

(26)

hukum perikatan/perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada subjek hukum untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar perundang-undangan, ketertiban umum dan kesusilaan.

51

Berlakunya manusia sebagai pendukung hak dan kewajiban dimulai saat dilahirkan dan berakhir pada saat ia meninggal dunia.

52

Subjek yang berupa manusia, harus memenuhi syarat umum untuk dapat melakukan suatu perbuatan hukum secara sah yakni harus sudah dewasa, sehat pikiran dan tidak dilarang atau dibatasi dalam melakukan suatu perbuatan hukum.

53

• Penghadap yang disebut juga pihak yang akan menjadi subjek hukum dalam akta, disini subjek hukum harus memenuhi 3 syarat yang meliputi :

Notaris selaku pejabat yang berwenang harus berhati-hati agar kekuatan hukum dari akte perjanjian tersebut nantinya dapat mewujudkan kepastian hukum di masyarakat yang harus dipatuhi oleh para pihak. Untuk mewujudkan kepastian hukum dari suatu akta maka notaris harus meneliti terlebih dahulu antara lain :

1. Umur paling sedikit 18 tahun atau telah menikah.

2. Cakap melakukan perbuatan hukum.

3. Harus dikenal oleh notaris dengan menunjukkan identitas dari subjek hukum atau diperkenalkan oleh notaris.

4. Mengerti bahasa Indonesia.

5. Ada 2 orang saksi.

51R.Subekti, Aneka Perjanjian Cetakan Kesepuluh, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hal. 2

52Komariah, Hukum Perdata UMM, Press, Malang, 2008, hal. 22

53Djoko Prakoso dan Bambang Riyaldi Lany, Dasar Hukum Persetujuan Tertentu di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hal. 6

(27)

• Saksi, saksi disini adalah orang yang menjadi saksi pengenal, seperti yang diatur dalam Pasal 39 ayat 2 dari UUJN, ditentukan syarat yang akan menjadi saksi dalam akta yaitu :

1. Umur 18 tahun.

2. Cakap melakukan perbuatan hukum.

3. Mengerti bahasa Indonesia.

4. Harus menandatangani akte.

C. Analisis Kasus Perkara Perdata ( Study Putusan No.

704/Pdt.G/2015/PN.Mdn ) Kasus Posisi :

Kasus Putusan Pengadilan Negeri No. 704/Pdt.G/2015/PN.Mdn :

Salembal perempuan, Kewarganegaraan Indonesia, lahir di Medan, tanggal 12

September 1965, pekerjaan Ibu Rumah Tangga, beralamat Jl. Antariksa Gang

Palem No. 16 Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia, Kota Medan yang

disebut sebagai Penggugat yang mengajukan gugatan kepada Shanto Wijaya

laki-laki, Kewarganegaraan Indonesia, lahir di Medan, tanggal 09 Mei 1970,

pekerjaan Wiraswasta, beralamat di Jl. Brigadier Jenderal Katamso No. 142,

Kelurahan Sukaraja, Kecamatan Medan Maimun, Kota Medan yang disebut

sebagai Tergugat dan NotarisMariama, SH perempuan, warga negara

Indonesia, pekerjaan Notaris, beralamat di Jalan Sikambing Nomor 1-E Kelurahan

Silalas, Kecamatan Medan Barat, Kota Medan selanjutnya disebut Turut

Tergugat.

(28)

Penggugat merupakan rekan kerja sama dari Tergugat dimana Penggugat bersama-sama dengan Tergugat membuat suatu perjanjian kerja sama dan bagi hasil dihadapan Mariama SH Notaris di Medan, yang sebagai Turut Tergugat, Penggugat bersama dengan Tergugat telah membuat dan menandatangani akte kerja sama dan bagi hasil tertanggal 11 April 2008 No.37 di hadapan Mariama SH Notaris di Medan sebagai Turut Tergugat.

Bahwa pada tanggal 18 Maret 2008 Penggugat ada menerima Persetujuan dan Kuasa dari sdr. Arifin untuk mengurus tanah miliknya seluas 10.267 M2 ( sepuluh ribu dua ratus enam puluh tujuh ribu ) meter persegi yang terletak di Jalan Stasiun Desa Lalang, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang Propinsi Sumatera Utara, yaitu sesuai dengan AKTA PERNYATAAN PERSETUJUAN DAN KUASA Nomor 17 Tanggal 18 Maret 2008 yang diperbuat dihadapan Notaris Mariama SH di Medan.

Kemudian atas dasar itu pada tanggal 11 April 2008 Penggugat ada membuat Perjanjian Kerja Sama dan Bagi Hasil dengan tergugat yaitu menyangkut masalah tanah milik sdr. Arifin, yang seluas 10.267 M2 ( sepuluh ribu dua ratus enam puluh tujuh ribu ) meter persegi yang terletak di Jalan Stasiun Desa Lalang, Kecamatan Deli Serdang Propinsi Sumatera Utara. Hal ini dikuatkan dengan adanya Surat Pernyataan/Pengakuan dari sdr. Arifin tanggal 21 Desember 2015 yang telah dilegalisasi dibawah nomor 339/L/NOT/DB/XII/2015 oleh Notaris Dana Barus SH.

Berdasarkan perjanjian Akta Perjanjian Kerja Sama dan Bagi Hasil Nomor

37 tanggal 11 April 2008 yang dibuat dihadapan Notaris Mariama SH. Dimana

(29)

Tergugat dalam perjanjian kerja sama dan bagi hasil tersebut Tergugat menyanggupi Kepada Penggugat akan menyediakan modal kerja sama sebesar Rp. 3.500.000.000,- ( tiga miliar lima ratus juta rupiah ).

Bahwa dalam akte perjanjian kerja sama dan bagi hasil Nomor 37 tanggal 11 April 2008 tersebut Tergugat juga menyanggupi kepada Penggugat pembayarannya dilakukan secara bertahap dalam bentuk uang tunai.

Bahwa dalam perkara gugatan yang diajukan penggugat adalah bahwa dari hasil kerja sama tersebut Penggugat merasa Tergugat telah melakukan Wanprestasi yaitu Tergugat tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud didalam pasal 3 akta Perjanjian Kerja Sama dan Bagi Hasil Nomor 37 tanggal 11 April 2008 khususnya pada saat pembayaran tahap pertama dan tahap kedua hanya diberikan oleh Tergugat kepada Penggugat sebesar Rp. 140.000.000 ( seratus empat puluh juta rupiah ),. Yang seharusnya adalah sebesar Rp. 375.000.000 ( tiga ratus tujuh puluh lima juta rupiah ) dari tenggang waktu pembayaran Tergugat yang diperjanjikan dari tanggal 11 April 2008 s/d 11 April 2010 ( selama 2 tahun ) atau 24 bulan.

Sejak Tahun 2011 penggugat telah berulang kali menegur kepada Tergugat

untuk membayar lagi kekurangannya sesuai perjanjian tetapi Tergugat tidak

menghiraukannya. Bahwa dalam gugatan Penggugat dinyatakan Tergugat telah

Wanprestasi yaitu tidak memenuhi di dalam syarat-syarat perjanjian dan tidak

melakukan kewajibannya yang telah disepakati bersama maka konsekuensinya

Penggugat hanya berkewajiban untuk mengembalikan uang milik Tergugat

sebesar yang diterimanya dan akte perjanjian kerja sama dan bagi hasil batal.

(30)

Sebagaimana yang dikemukakan diatas sejalan dengan Pasal 1265 menghentikan perikatan dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula seolah-olah tidak pernah ada suatu perikatan. Syarat ini tidak menangguhkan pemenuhan perikatan, hanya lah ia mewajibkan si berpiutang mengembalikan apa yang telah diterimanya apabila peristiwa yang dimaksudkan terjadi.” Juga sejalan dengan Pasal 1266 KUHPerdata yang berbunyi “syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan yang bertimbal balik mana kala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dan 1249 KUHPerdata yaitu “jika suatu dalam perikatan ditentukannya bahwa si yang lalai memenuhinya sebagai ganti rugi harus membayar jumlah uang tertentu maka kepada pihak yang lain tidak boleh diberikan suatu jumlah yang lebih maupun yang kurang dari pada jumlah itu”.

Analisis Putusan Perkara Perdata ( Study Putusan No.

704/Pdt.G/2015/PN.Mdn )

Gugatan Penggugat adalah kabur atau Obscuur Libel bahwa penggugat telah

melakukan penggabungan gugatan yang bertentangan dengan ketentuan hukum

acara yang berlaku pada peradilan. Dalam surat gugatan Penggugat diuraikan pada

pokoknya Penggugat mendalilkan Tergugat telah melakukan perbuatan

Wanprestasi dan Penggugat juga jelas-jelas menyebutkan “menyatakan Tergugat

telah melakukan perbuatan ingkar janji atau Wanprestasi namun dilain hal secara

bersamaan dalam suatu surat gugatan, Penggugat juga meminta menyatakan batal

dan tidak berkekuatan hukum akte perjanjian kerja sama dan bagi hasil Nomor 37

Tanggal 11 April 2008 yang dibuat dihadapan Notaris Mariama SH.

(31)

Penggugat telah melanggar ketentuan yang berlaku pada peradilan yaitu dengan menggabungkan gugatan wanprestasi dan gugatan pembatalan perjanjian dalam satu surat gugatan. Bahwa dalam ketentuan hukum acara yang berlaku pada peradilan salah satu syarat harus terpenuhi adanya dalam suatu penggabungan gugatan adalah adanya hubungan yang erat/keterkaitan antara gugatan yang satu dengan gugatan yang lainnya dan terdapat hubungan koneksitas yang erat.

Bahwa Penggugat telah menggabungkan 2 jenis gugatan yang berbeda sama sekali yang tidak mempunyai hubungan yang erat ( innerlijke samen hang ) yakni ternyata dalam surat gugatan Penggugat dalam uraiannya yang pada pokoknya penggugat mendalilkan Tergugat telah melakukan perbuatan Wanprestasi demikian juga pada petitum gugatan Penggugat jelas menyebutkan “menyatakan Tergugat telah melakukan perbuatan ingkar janji atau Wanprestasi namun dilain hal secara bersamaan dalam 1 surat gugatan Penggugat juga meminta dalam petitum “menyatakan batal dan tidak berkekuatan hukum akte perjanjian kerja sama dan bagi hasil Nomor 37 Tanggal 11 April 2008 yang dibuat dihadapan Notaris Mariama SH.

Sehingga menurut Tergugat, Penggugat telah melanggar ketentuan lazimnya yang berlaku pada peradilan dengan menngabungkan gugatan Wanprestasi dan gugatan pembatalan perjanjian dalam satu surat gugatan. Bahwa suatu perbuatan wanprestasi sangat berbeda alasan maupun sebab hukumnya dengan alasan hukum dalam pembatalan suatu perjanjian atau perikatan timbal balik atau 2 arah.

Bahwa alasan lain lagi gugatan Penggugat adalah kabur adalah sebagai

berikut bahwa dalam surat gugatannya penggugat mendalilkan bahwa berdasarkan

(32)

perjanjian akta perjanjian kerja sama dan bagi hasil nomor 37 Tanggal 11 April 2008 yang dibuat dihadapan Notaris Mariama SH dimana Shanto Wijaya dalam perjanjian kerja sama dan bagi hasil tersebut Tergugat menyanggupi kepada penggugat akan menyediakan modal kerja sama sebesar Rp. 3.500.000.000 ( tiga miliar lima ratus juta rupiah ).

Bahwa dalam posita surat gugatan, penggugat lebih lanjut mendalilkan bahwa tergugat juga menyanggupi kepada penggugat dengan cara pembayarannya dilakukan secara bertahap dalam bentuk uang tunai dengan rincian sebagaimana yang dimaksud dalam akte perjanjian kerja sama dan bagi hasil nomor 37 tanggal 11 April tahun 2008 dalam pasal 3 yang berbunyi sebagai berikut :

Tahap I dalam bentuk uang tunai sebesar Rp. 500.000.000 ( lima ratus juta rupiah ) dengan sistem pembayaran ;

a. Tanda jadi sebesar Rp. 125.000.000 ( seratus dua puluh lima juta rupiah ) dan telah dibayar penuh sebelum penanda tanganan akta ini.

b. Sebesar Rp. 375.000.000 ( tiga ratus tujuh puluh lima juta rupiah ) akan dibayarkan tergugat setelah selesai sertifikat.

Tahap II dalam bentuk uang tunai sebesar Rp. 250.000.000 ( dua ratus lima puluh juta rupiah ) yang dipergunakan masing-masing untuk :

a. Sebesar Rp. 150.000.000 ( seratus lima puluh juta rupiah ) yang dibayar pengurusan sertifikat dan diserahkan sesuai kebutuhan.

b. Sebesar Rp. 100.000.000 ( seratus juta rupiah ) dipergunakan untuk

pengurusan penyelesaian dan pencabutan sertifikat hak milik nomor 126

tersebut diatas dan diserahkan sesuai kebutuhan, untuk keperluan ini telah

(33)

dipergunakan sebesar Rp. 25.000.000 ( dua puluh lima juta rupiah ) maka tersisa sebesar Rp. 75.000.000 ( tujuh puluh lima juta rupiah ).

Tahap III dalam bentuk bangunan sebesar Rp. 2.750.000.000 ( dua miliar tujuh ratus lima puluh juta rupiah ) dimana penentuan bahagian yang diterima oleh masing-masing pihak akan dibuat tersendiri dalam suatu gambar yang ditanda tangani oleh kedua belah pihak dan merupakan bahagian dari perjanjian ini.

Bahwa berdasarkan uraian diatas, jelaslah gugatan penggugat kabur atau ( obscuur libel ) adanya dan oleh karenanya patut dan beralasan kiranya menurut hukum jika gugatan penggugat ditolah seluruhnya atau setidaknya dinyatakan tidak dapat diterima ( niet onvanklijke verklaard ).

Bahwa gugatan penggugat tidak mempunyai dasar ( rechtsgrond ) sebab ternyata penggugat tidak punya suatu hak yang didasarkan pada hak mendapatkan modal kerja dari tergugat yang disebut penggugat sebesar Rp. 3.500.000.000 ( tiga miliar lima ratus juta rupiah ) karena memang tidak ada hubungan hukum antara penggugat dengan tergugat dalam hal pemberian modal kerja karena hubungan hukum yang terjadi antara penggugat dengan tergugat adalah dalam hal konpensasi jumlah uang sebesar Rp. 3.500.000.000 ( tiga miliar lima ratus juta rupiah ) yang harus diserahkan oleh tergugat kepada penggugat dalam bentuk atau cara tiga tahap sebagaimana tahap I, tahap II, dan tahap III yang telah diuraikan diatas.

Bahwa dengan tidak adanya dasar ( rechtsgrond ) dalam posita gugatan

penggugat maka jelaslah tidak ada suatu feitelijkegrond antara penggugat dan

tergugat karena ternyata tidak ada sesuatu perbuatan apapun yang dilakukan

(34)

tergugat yang bersifat melanggar hak penggugat. Sehingga dengan tidak adanya hubungan hukum mengenai kewajiban tergugat menyediakan modal kerja sama kepada penggugat sebesar Rp. 3.500.000.000 ( tiga miliar lima ratus juta rupiah ) maka jelaslah secara hukum tidak dapat dikatakan telah melakukan wanprestasi terhadap penggugat.

Bahwa pada kenyataannya dalam perjanjian antara penggugat dengan tergugat sebagaimana dalam akta perjanjian kerja sama dan bagi hasil nomor 37 tanggal 11 April tahun 2008 yang dibuat dihadapan Notaris Mariama SH tidaklah pernah ada mengatur tentang ketentuan waktu pembayaran maupun waktu berlangsungnya perjanjian diperjanjikan dari tanggal 11 April 2008 s/d 11 April 2010, karena yang ada di perjanjikan adalah “jangka waktu perjanjian kerja sama dan bagi hasil ini adalah selama kurang lebih 2 tahun atau 24 bulan lamanya terhitung mulai pada saat izin mendirikan bangunan dan sertifikat diterbitkan oleh instansi yang berwenang”.

Bahwa oleh karena akte perjanjian kerja sama dan bagi hasil tanggal 11 April tahun 2008, yang dibuat oleh dan dihadapan Notaris Mariama SH selaku notaris di Medan tersebut dibuat sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, maka patut dan beralasan kiranya menurut hukum jika akter perjanjian dan kerja sama ini dinyatakan sah dan berkekuatan hukum adanya serta mengikat bagi penggugat dan tergugat.

Selanjutnya dalam pasal 8 dalam akte perjanjian kerja sama dan bagi hasil

ini disepakatin pula suatu klausula yang berbunyi “setelah perjanjian ini

ditandatangani oleh kedua belah pihak, maka salah satu pihak tidak bias mencabut

(35)

atau membatalkannya, dan jika ternyata salah satu pihak melakukannya juga maka segala kerugian yang diderita oleh pihak lainnya menjadi tanggungan dan pembayaran oleh yang melakukan pencabutan atau pembatalan tersebut berapapun jumlah kerugian tersebut.

Bahwa ternyata penggugat telah melakukan pembatalan sepihak atas perjanjian kerja sama dan bagi hasil tanpa seizing atau tanpa persetujuan dari tergugat. Oleh karena pembatalan sepihak yang dilakukan oleh penggugat tidak atas persetujuan atau tidak atas seizin dari tergugat maka penggugat telah melakukan wanprestasi terhadap tergugat, oleh karenanya patut dan beralasan kiranya menurut hukum jika penggugat dinyatakan telah melakukan perbuatan wanprestasi.

Bahwa atas gugatan penggugat tersebut, turut tergugat juga telah mengkualifikasikan penggugat melakukan perbuatan melawan hukum :

1. Bahwa pertama-tama keberatan dimasukkan sebagai turut tergugat dalam permasalahan Nyonya Salembal dengan Shanto Wijaya oleh karena selaku Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah membuat akte berdasarkan permintaan atau kesepakatan dari pihak-pihak yang datang menghadap.

2. Dalam akte tersebut jelas disebutkan pihak Penggugat memberi izin kepada

pihak tergugat untuk memanfaatkan lahan milik Penggugat untuk

mengkavling dan membuat bangunan diatas tanag tersebut dan kesepakatan

mana penggugat dan tergugat datang untuk memperkuat perjanjian tersebut

dihadapan Notaris.

(36)

3. Bahwa dalam akte perjanjian kerja sama dan bagi hasil sudah terang dan jelas tentang hal-hal yang diperjanjiakn oleh penggugat dan tergugat sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 akte tersebut yang berbunyi “jangka waktu perjanjian sampai dua tahun terhitung izin mendirikan bangunan diterbitkan oleh instansi terkait, sedangkan pengurusan izin mendirikan bangunan baru terlaksana jika sertifikat telah selesai”.

4. Bahwa pada Pasal 4 ayat terakhir dari perjanjian kerja dan bagi hasil ini dikatakan jika sertifikat atas tanah tersebut benar-benar tidak bias diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional Deli Serdang baru semua biaya- biaya yang diterima oleh pihak pertama dari pihak kedua dikembalikan seluruhnya.

5. Bahwa sudah terang dan jelas semua di atas dalam perjanjian kerja sama dan bagi hasil tersebut, maka secara hukum tidak ada celah Penggugat mengajukan gugatan terhadap Tergugat, apalagi secara hukum dalam hal ini perlu dipertanyakan apakah sertifikat sudah diterbitkan oleh Badan Pertanahan Deli Serdang atas nama sdr Arifin dan apabila belum terbit juga maka Penggugat harus memberi penjelasan terhadap Tergugat agar perjanjian diperpanjang sebagaimana diatur dalam perjanjian kerja sama dan bagi hasil sesuai dengan Pasal 5 ayat 3.

6. Bahwa belum pernah Penggugat dan Tergugat membuat akte lagi setelah pembuatan akte perjanjian kerja sama dan bagi hasil.

7. Bahwa dengan adanya gugatan penggugat terhadap tergugat dan

memasukkan Notaris juga turut tergugat, menimbulkan dugaan terhadap

(37)

penggugat atas ketidakmampuannya untuk mengurus sertifikat di Badan Pertanahan Nasional Deli Serdang atau juga sangkaan seolah-olah penggugat menutupi ketidakmampuannya tersebut dengan jalan mengajukan gugatan sehingga membuat kabur perjanjian kerja sama dan bagi hasil tersebut.

Bahwa perkara yang diajukan oleh penggugat dengan daftar Putusan Nomor 704/Pdt.G/2015/PN.Mdn adalah perkara yang belum selesai diperiksa dan objek yang dipersengketakan tingakat putusan pengadilan negeri maupun tingkat banding adalah sama. Dan objek yang dipersengketakan tinggat Putusan Pengadilan Negeri maupun Tingkat Banding adalah sama yakni masalah tanah yang terletak di Kabupaten Deli Serdang Propinsi Sumatera Utara di Jalan Stasiun Desa Lalang, Kecamatan Sunggal dan belum berkekuatan hukum karena pihak penggugat dan pihak tergugat masih dalam proses banding.

Bahwa dalam Putusan Pengadilan Negeri Medan Majelis Hakim memutuskan dengan mengingat Pasal-pasal dari Undang-undang serta peraturan- peraturan lain yang berhubungan dengan perkara ini mengadili :

1. Menyatakan eksepsi yang diajukan oleh tergugat tidak dapat diterima.

2. Menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya.

3. Menyatakan Akte Perjanjian Kerja Sama dan Bagi Hasil nomor 37 tanggal 11 April 2008, yang dibuat oleh dan dihadapan Notaris Mariama SH Notaris di Medan sah secara hukum.

Dengan hal tersebut diatas maka dapat ditarik garis besar bahwasanya

gugatan dengan perkara Nomor 704/Pdt.G/2015/PN.Mdn yang diajukan oleh

(38)

penggugat terhadap tergugat dan turut tergugat tentang pengembalian uang yang diterima dan pembatalan akte perjanjian kerja sama dan bagi hasi nomor 37 tanggal 11 April 2008 adalah merupakan suatu perbuatan melawan hukum. Hal tersebut merupakan suatu perbuatan melawan hukum dikarenakan menurut ketentuan bahwa perjanjian kerja sama dan bagi hasil sebagai mana diatur dalam KUHPerdata adalah sebuah perjanjian dimana pihak yang satu menyanggupi menyerahkan sejumlah modal dan pihak yang satu menyanggupi untuk menyerahkan pemakaian tanah setelah diterbitkan sertifikat atas tanah tersebut sehingga pelaksanaan pembatalan akte perjanjian kerja sama dan bagi hasil adalah wewenang ketua pengadilan, maka karenanya tuntutan tentang pembatalan dinyatakan ditolak.

Maka dalam hal tersebut penggugat menurut hukum adalah pihak yang

dikalahkan dikarenakan tergugat dan turut tergugat telah berhasil membuktikan

dalil-dalil sangkalannya terhadap gugatan yang diajukan oleh penggugat.

(39)

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penulisan skripsi ini dapat disimpulkan beberapa hal mengenai pembatalan akta perjanjian kerja sama dan bagi hasil sebagai berikut :

1. Proses permbuatan akta dimulai dengan adanya kehendak dari pihak-pihak yang datang menghadap notaris untuk dicatatkan/dibuatkan kesepakatan pihak-pihak agar mempunyai kekuatan dan kepastian hukum. Bahwa Notaris dalam pembuatan perjanjian antara pemilik tanah dan pemilik modal harus berhati-hati jangan sampai ada pihak yang dirugikan yang mengakibatkan timbulnya perselisihan. Proses pembuatan akta perjanjian antara pemilik tanah dan pemilik modal sesuai ketentuan UU adalah dihadapan notaris. Notaris mempunyai kedudukan dan peran yang penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, karena mempunyai kewenangan atau authority yang ada ditentukan dalam Peraturan Perundang-undangan, kewenangan notaris telah ditentukan dalam Pasal 15 UU No.2 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas UU No.30 Tahun 2004, Tentang Jabatan Notaris.

2. Akte perjanjian yang dibuat dengan system bangun bagi jelas mempunyai

kekuatan hukum karena dibuat dihadapan pejabat yang berwenang yaitu

notaris. Hukum tentang perjanjian mempunyai sifat system terbuka

maksudnya dalam hukum perikatan/perjanjian memberikan kebebasan yang

seluas-luasnya kepada subjek hukum untuk mengadakan perjanjian yang

(40)

berisi apa saja, asalkan tidak melanggar perundang-undangan, ketertiban umum dan kesusilaan. Dalam pembuatan akte perjanjian banyak masyarakat yang tidak sabar yang menimbulkan iktikat tidak baik sehingga berakibat timbulnya permasalahan dalam perjanjian bangun bagi ini.

3. Kasus Perkara Perdata Nomor 704/Pdt.G/2015/PN.Mdn yang diajukan oleh penggugat terhadap tergugat dan turut tergugat tentang pengembalian uang yang diterima dan pembatalan akte perjanjian kerja sama dan bagi hasil nomor 37 tanggal 11 April 2008 adalah merupakan suatu perbuatan melawan hukum. Hal tersebut merupakan suatu perbuatan melawan hukum dikarenakan menurut ketentuan bahwa perjanjian kerja sama dan bagi hasil sebagai mana diatur dalam KUHPerdata adalah sebuah perjanjian dimana pihak yang satu menyanggupi menyerahkan sejumlah modal dan pihak yang satu menyanggupi untuk menyerahkan pemakaian tanah setelah diterbitkan sertifikat atas tanah tersebut sehingga pelaksanaan pembatalan akte perjanjian kerja sama dan bagi hasil adalah wewenang ketua pengadilan, maka karenanya tuntutan tentang pembatalan dinyatakan ditolak dan menurut hukum penggugat adalah pihak yang dikalahkan dikarenakan tergugat dan turut tergugat telah berhasil membuktikan dalil-dalil sangkalannya terhadap gugatan yang diajukan oleh penggugat.

B. Saran

1. Sebaiknya notaris sebelum penanda tanganan akte menekankan secara tegas

kepada pihak-pihak untuk tetap beriktikat baik dengan tidak mencari-cari

kesalahan demi untuk kepentingan pribadi. Dalam pembuatan akte

(41)

perjanjian yang berhubungan dengan pensertifikatan tanah sebaiknya notaris memberi pemberitahuan kepada instansi yang terkait dan agar tidak memperlambat proses persertifikatan karena berdampak kepada masyarakat yang telah terikat dengan perjanjian.

2. Kepada instansi yang menerbitkan sertifikat seharusnya bekerja secara profesional dengan tidak memperlambat atau mempersulit penerbitan sertifikat yang hal ini besar dampaknya terhadap masyarakat.

3. Kepada masyarakat dihimbau agar bekerja secara profesional, tidak mudah

terpengaruh dengan bisikan-bisikan yang bertujuan pengingkaran akte.

Referensi

Dokumen terkait

Di desa Murangan, terdapat tanah kas desa yang dikelola oleh Bapak Agus Winarno untuk memproduksi arang dari bahan baku tempurung kelapa. Dalam memproduksi arang tempurung

Majmudin (2008) mengutarakan pengertian dari kompetensi pedagogik guru ialah “Kemampuan pemahaman tentang peserta didik secara mendalam dan penyelengaraan pembelajaran yang

riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit terdahulu, diagnosis masuk, diagnosis utama/ akhir, diagnosis komplikasi, dan diagnosis lain serta tindak lanjut tidak

Total Biaya yang terjadi pada rencana produksi berdasarkan simulasi kebutuhan produksi dengan target. produksi 50% pada perulangan ketiga

Pasal 2 Ayat (1) : Yang dimaksud dengan jasa pelayanan Kemetrologian adalah keseluruhan tindakan yang dilakukan oleh pegawai yang berhak terhadap alat-alat UTTP dalam

Puji dan Syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadapan Allah Swt. atas karunia dan lindungan- Nya sehingga Jurnal Teknik Vol. 1 Bulan Januari 2015 dapat diterbitkan. Menghasilkan

Migrasi data mahasiswa dan sinkronisasi Laporan Akademik dari sistem online ‘Layar Biru (Blue Screen)’ Kemendikbud –Dikti ke Pangkalan Data Perguruan Tinggi (PDPT) ‘Feeder

Penelitian ini mau mencari jawab atas permasalahan yang dirumuskan seperti berikut: “Apakah terdapat perbedaan penerimaan daerah saat PBB dikelola oleh pemerintah pusat dengan