A. Pengertian dan Syarat Sahnya Perjanjian Bangun Bagi
Bahwa bisnis perumahan yang dilakukan dengan cara pembangunan dan pembagian rumah sangat banyak ditemui saat ini, tetapi masih banyak juga masyarakat yang belum mengetahui tentang pembangunan dan pembagian rumah.
Konsep bisnis pembangunan dan pembagian rumah yang selanjutnya yang disebut juga dengan istilah perjanjian bangun bagi dalam bidang perumahan dianggap menguntungkan bagi kedua belah pihak yang melakukan perjanjian.
Djaren Saragih memberikan pengertian dan fungsi dari perjanjian bagi hasil atau disebut juga dengan deelbouw overeenkomst yaitu hubungan hukum antara seorang yang berhak atas tanah dengan pihak lain (kedua), dimana pihak kedua ini di perkenankan mengolah tanah yang bersangkutan dengan ketentuan hasil dari pengolahan tanah dibagi dua antara orang yang berhak atas tanah dan yang mengolah tanah itu.
35Setiap perjanjian menganut azas kebebasan berkontrak, yang memberikan kebebasan untuk mengadakan dan menentukan perjanjian yang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Pasal 1338 ayat 3 KUH
35
perdata yang mengatakan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik.
36Kontrak atau perjanjian ini merupakan suatu peristiwa hukum di mana seorang berjanji kepada orang lain atau dua orang saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Apabila seorang berjanji kepada orang lain, kontrak Perjanjian bangun bagi seperti perjanjian lainnya memiliki kendala dalam proses pelaksanaannya, problematika yang sering terjadi dalam pelaksanaan perjanjian bangun bagi adalah hasil pembangunan yang dilakukan developer tidak sesuai dengan yang diperjanjikan sebelumnya.
Adapun dalam hal ini akan dilakukan pembahasan mengenai akta perjanjian bangun bagi yang dibuat oleh Nyonya Salembal selaku pihak pertama yang merupakan pemilik tanah dengan pihak kedua Tuan Santo Wijaya yang merupakan developer perorangan. Wanprestasi yang dilakukan pihak kedua tersebut dikarenakan tidak menyelesaikan pembangunan tepat pada waktunya, dan juga dikarenakan pihak pertama tidak kunjung dapat menyelesaikan surat-surat tanah menjadi sertifikat, oleh karena itu wanprestasi atau kelalaian mempunyai akibat yang begitu penting, maka harus ditentukan terlebih dahulu apakah pihak pertama atau pihak kedua benar telah melakukan wanprestasi, untuk mengetahui itu harus dilihat isi dari suatu perjanjian yang telah disepakati baru dapat diketahui siapa yang telah melakukan wanprestasi apabila ia tidak melaksanakan kewajibannya .
36Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung Citra Aditia Bakti, 2001, hal. 83
tersebut merupakan kontrak yang biasa diistilahkan dengan kontrak sepihak di mana hanya seorang yang wajib menyerahkan sesuatu kepada orang lain, sedangkan orang yang menerima penyerahan itu tidak memberikan sesuatu sebagai balasan (kontra prestasi) atas sesuatu yang diterimanya.
Sementara itu, apabila dua orang saling berjanji, ini berarti masing-masing pihak berhak untuk menerima apa yang dijanjikan oleh pihak lain. Hal ini berarti bahwa masing-masing pihak dibebani kewajiban dan diberi hak sebagaimana yang dijanjikan.
Di dalam kontrak pada umumnya janji-janji para pihak itu saling
“berlawanan”, misalnya dalam perjanjian jual beli, tentu saja satu pihak menginginkan barang, sedangkan “pihak lainnya menginginkan uang karena tidak mungkin terjadi jual beli kalau kedua belah pihak menginginkan hal yang sama”.
3737
Dengan demikian kontrak merupakan suatu peristiwa yang konkret dan
dapat diamati, baik itu kontrak yang dilakukan secara tertulis maupun tidak
tertulis. Hal ini berbeda dari perikatan yang tidak konkret, tetapi abstrak atau tidak
dapat diamati karena perikatan itu hanya merupakan akibat dari adanya kontrak
tersebut yang menyebabkan orang atau para pihak terikat untuk memenuhi apa
yang dijanjikan.
Selanjutnya sebelum membahas lebih jauh tentang perjanjian bagi hasil atau dalam penulisan ini disebut perjanjian bangun bagi dikemukakan pula pengertian perjanjian yang menjadi dasar dilakukannya kontrak atau perjanjian bangun bagi.
Perjanjian diatur dalam Bab II Buku III KUH Perdata, sedangkan mengenai perjanjian-perjanjian secara khusus diatur dalam Bab V sampai dengan Bab VIII.
Menurut Pasal 1313 KUH Perdata, suatu perjanjian adalah: “suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
J. Satrio mendefinisikan perjanjian sebagai berikut :
Dalam arti yang lebih luas suatu perjanjian berarti setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagai yang dikehendaki (atau dianggap dikehendaki) oleh para pihak, sedang dalam arti sempit perjanjian disini hanya ditujukan pada hubungan-hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan saja seperti yang termaksud dalam Buku III KUH Perdata.
38Untuk mengetahui yang dimaksud dengan perjanjian, berikut dikemukakan pendapat para sarjana. Dalam mendefinisikan perjanjian, para Sarjana Hukum belum mempunyai pendapat yang sama. Perbedaan dalam memberikan definisi perjanjian disebabkan karena penerjemahan kata Verbintenis dan overeenkomst.
Sebagian sarjana menterjemahkan perjanjian untuk verbintenis dan persetujuan untuk kata overeenkomst.
39Sedangkan Utrecht menterjemahkan “perhutangan untuk verbintenis dan perjanjian overeenkomst”.
4038J. Satrio, Hukum Perikatan, Alumni Bandung, 1992, hal 23.
39Ahmad Ichsan, Hukum Perdata I B, Pembimbing Masa, Jakarta, 1999, hal 14.
40Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Balai Bulan, Jakarta, 1995. hal 320.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata di atas, juga dapat dipahami, perjanjian hanya mengenai perjanjian sepihak termasuk juga pada perbuatan dan tindakan, seperti zaakwaarneming, onrechtmatige daad.
Abdulkadir Muhammad mengatakan Pasal 1313 KUH Perdata kurang memuaskan karena ada kelemahannya yaitu :
1. Hanya menyangkut sepihak saja. Dari rumusan ini diketahui, satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lainnya atau lebih.
Kata kerja “mengingat” sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya rumusan itu saling “mengikat diri”
terlihat adanya konsensus dari kedua belah pihak.
2. Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus maksudnya dalam pengertian “perbuatan” termasuk tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa (zaakwaarneming) dan tindakan melawan hukum yang tidak mengandung adanya konsensus. Seharusnya dipakai kata “persetujuan”
saja.
3. Pengertian perjanjian terlalu luas. Dikatakan terlalu luas karena terdapat juga di dalam lapangan hukum keluarga yang terdapat dalam buku I seperti janji kawin, pelangsungan perkawinan. Sedangkan perjanjian yang dikehendaki oleh Buku III KUH Perdata sebenarnya hanyalah perjanjian yang bersifat kebendaan bukan bersifat personal.
4. Dalam rumusan pasal tersebut tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak mengikat dirinya tidak jelas untuk apa.
41Berdasarkan alasan di atas, Abdulkadir Muhammad memberikan pengertian perjanjian sebagai “suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan”.
42Subekti mengemukakan bahwa “perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada orang lain atau lebih, di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal”.
4341Abdul kadir Muhammad, Op.Cit.,hal. 78
42Ibid.
43
Perjanjian ini merupakan suatu peristiwa hukum di mana seorang berjanji kepada orang lain atau dua orang saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Apabila seseorang berjanji kepada orang lain, kontrak tersebut merupakan kontrak yang biasa diistilahkan dengan kontrak sepihak, di mana hanya seorang saja yang wajib menyerahkan sesuatu kepada orang lain, sedangkan orang yang mennerima penyerahan itu tidak memberikan sesuatu sebagai balasan (kontra prestasi) atas sesuatu yang diterimanya. Sementara itu, apabila dua orang saling berjanji, ini berarti masing-masing pihak berhak untuk menerima apa yang diperjanjikan oleh pihak lain. Hal ini berarti bahwa masing- masing pihak dibebani kewajiban dan diberi hak sebagaimana yang dijanjikan.
Mengenai adanya suatu perjanjian yang terdapat di luar ketentuan Buku III KUH Perdata tersebut didasarkan pada asas kebebasan berkontrak, yang ditentukan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menentukan bahwa
“semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya”. Para pihak bebas menentukan objek perjanjian,
sesuai dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Pasal 1338 ayat
(3) KUHPerdata, ditegaskan bahwa setiap perjanjian harus dilaksanakan dengan
iktikad baik. Sedangkan wujud dari suatu perjanjian menurut Pasal 1234
KUHPerdata dapat berupa pemberian sesuatu, perbuatan atau tidak berbuat
sesuatu. Perjanjian bangun bagi pembangunan ruko antara pemilik tanah dengan
pelaksana pembangunan dalam praktek secara umum berpedoman pada ketentuan
pada asas kebebasan berkontrak Pasal 1338 ayat (1) jo Pasal 1320 KUHPerdata.
Bahwa perbedaan antara bangun bagi dan bagi hasil kedua istilah tersebut satu sama lain tidak terpisahkan karena adanya pembangunan tujuannya hasil dari pembangunan bangunan-bangunan hasilnya akan dibagi antara pemilik tanah dan pemilik modal ( developer ) jadi merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Lebih lanjut menurut Hilman Hadikusuma yang menjadi latar belakang terjadinya bagi hasil adalah :
1. Bagi pemilik :
a. Tidak berkesempatan mengerjakannya hartanya sendiri.
b. Keinginan mendapatkan hasil tanpa susah payah dengan memberi kesempatan kepada orang lain untuk mengerjakannya.
2. Bagi penggarap :
a. Tidak atau belum mempunyai pekerjaan tetap.
b. Kelebihan waktu bekerja.
c. Keinginan mendapatkan tambahan hasil garapan.
Dasar timbulnya perjanjian bangun bagi ini adalah sama halnya dengan
perjanjian bagi hasil atau dalam perjanjian pembangunan disebut perjanjian
bangun bagi karena orang yang mempunyai hak atas tanah tidak mempunyai
kesempatan ataupun kemampuan untuk membangun atau mendirikan bangunan
sesuai yang diinginkannya. Oleh karena itu, dengan membuat kesepakatan atau
perjanjian bangun bagi tersebut pemilik tanah mengizinkan orang lain untuk
membangunnya dengan ketentuan agar hasilnya dalam hal ini dibagi dua atau
sesuai dengan kesepakatan.
Di dalam Buku III KUH Perdata mengatur tentang perikatan, di mana perikatan tersebut ada yang bersumber dari persetujuan dan yang ada yang bersumber dari undang-undang. Sehubungan dengan hal itu, perjanjian bangun bagi pembangunan toko termasuk salah satu jenis perikatan yang bersumber dari perjanjian atau persetujuan. Dengan demikian, untuk sahnya perjanjian bangun bagi pembangunan toko harus mengikuti pula syarat-syarat sahnya perjanjian menurut ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri;
2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian;
3. Mengenai suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
Keempat syarat sahnya perjanjian yang disebut di atas harus ada pada setiap perjanjian bangun bagi pembangunan toko yang diadakan oleh para pihak. “Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat subjektif, karena mengenai orang- orangnya atau subjeknya yang mengadakan perjanjian. Sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat objektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau objek perbuatan dilakukan itu”.
441. Sepakat Mereka yang Mengikatkan Diri
Dalam kesepakatan tersebut menunjukkan bahwa di antara para pihak harus ada kemauan yang bebas untuk saling mengadakan kesepakatan. Kemauan yang bebas untuk mengadakan suatu perjanjian yang sah dianggap tidak ada, “apabila kata sepakat itu diberikan atau terjadi karena adanya kekhilafan, penipuan atau
44R. Subekti, Op.Cit.,hal. 17.
paksaan. Kekhilafan dapat terjadi mengenai orang atau mengenai barang yang menjadi pokok atau tujuan dari pihak-pihak yang mengadakan perjanjian”.
45Hal tersebut adalah sejalan dengan ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menentukan bahwa semua perjanjian dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Penipuan dapat terjadi apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang tidak benar disertai dengan akal-akal cerdik, sehingga pihak lainnya terbujuk untuk memberikan perizinannya. Dengan kata lain, kata sepakat tidak mungkin terjadi apabila dilandasi dengan penipuan atau keterangan yang tidak benar.
46
2. Kecakapan Untuk Membuat Suatu Perjanjian
Pada umumnya orang itu dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum, apabila ia sudah dewasa artinya sudah mencapai umur 21 tahun atau sudah kawin walaupun belum berumur 21 tahun. Untuk melaksanakan suatu perjanjian bangun bagi diharuskan orang yang cakap bertindak dalam lalu lintas hukum, karena dalam perjanjian itu seseorang terikat untuk melaksanakan suatu prestasi dan mereka harus dapat mempertanggungjawabkannya. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1329 KUH Perdata yang menyatakan ”bahwa setiap orang adalah cakap untuk mengadakan suatu persetujuan, kecuali orang yang oleh undang- undang dinyatakan tidak cakap, seperti orang yang belum dewasa, orang gila atau orang yang berada di bawah pengampuan.
45Hartono Hadi Soerapto, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, Liberty, Yogjakarta, 1984, hal. 33.
46
3. Suatu Hal Tertentu
Suatu perjanjian termasuk perjanjian bangun bagi harus mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu perselisihan”.
474. Suatu Sebab yang Halal
Barang yang dimaksudkan di sini adalah paling sedikit harus ditentukan jenisnya. Bahwa barang yang sudah ada ditangannya si berutang pada waktu perjanjian dibuat, tidak diharuskan oleh undang-undang. Juga jumlahnya tidak perlu disebutkan, asal saja kemudian dapat dihitung atau ditetapkan. Demikian pula halnya dalam perjanjian bangun bagi juga harus ditentukan objeknya seperti halnya perumahan yang menjadi objek penelitian ini.
Persyaratan yang demikian itu sejalan dengan ketentuan Pasal 1333 KUH Perdata yang menyatakan bahwa ”Suatu persetujuan harus mempunyai pokok berupa suatu barang yang sekurang-kurangnya ditentukan jenisnya”. Dengan demikian hal-hal yang diperjanjikan dalam perjanjian haruslah tertentu barangnya atau sekurang-kurangnya ditentukan jenisnya.
Untuk sahnya suatu perjanjian juga harus memenuhi suatu syarat yang dinamakan dengan sebab atau alasan yang diperbolehkan. Tetapi yang dimaksudkan dengan sebab (causa) yang halal dalam Pasal 1320 KUH Perdata itu bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan atau yang mendorong orang membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti ”isi perjanjian itu sendiri, yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh pihak-pihak”.
47R. Subekti, Op. Cit, hal. 19
Undang-undang tidak memperdulikan apa yang menjadi sebab orang mengadakan perjanjian, yang diperhatikan atau diawasi oleh undang-undang ialah”isi perjanjian itu” yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai, apakah dilarang oleh undang-undang atau tidak, apakah bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan atau tidak.
Jika perjanjian yang berisi sebab (causa) yang tidak halal ialah bahwa perjanjian itu batal demi hukum. Dengan demikian tidak ada dasar untuk menuntut pemenuhan perjanjian di muka hakim, karena sejak semula dianggap tidak pernah ada perjanjian. Demikianlah juga apabila perjanjian yang dibuat itu tanpa sebab (causa), ia dianggap tidak pernah ada. Oleh karena itu, perjanjian bangun bagi juga bukanlah suatu perjanjian yang dilarang oleh ketentuan undang- undang.
Dengan demikian, apabila dalam membuat suatu perjanjian tidak terdapat suatu hal tertentu, maka dapat dikatakan bahwa objek perjanjian tidak ada. Oleh karena itu, perjanjian tersebut tidak dapat dilaksanakan karena tidak terang apa yang diperjanjikan. Sedangkan suatu perjanjian yang isinya tidak ada sebab yang diperbolehkan atau isinya melanggar ketentuan, maka perjanjian itu juga tidak dapat dilaksanakan karena melanggar undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.
B. Hak dan Kewajiban Serta Akibat Hukum Perjanjian Bangun Bagi Menurut KUH Perdata suatu perjanjian merupakan perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Berdasarkan pengertian tersebut suatu perjanjian baru dapat dibuat apabila
terdapat dua orang atau lebih yang sepakat untuk saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu prestasi yang merupakan tujuan dari pada perjanjian yang mereka buat tersebut.
Para pihak dapat melakukan perjanjian yang merupakan salah satu bentuk perikatan. Para pihak ataupun subjek hukum yang merupakan peserta dalam suatu perjanjian hanya terbatas pada orang-orang dan badan hukum. Menurut teori hukum, yang disebut subjek hukum adalah manusia yang berkepribadian hukum dan segala sesuatu yang berdasarkan tuntutan dan kebutuhan masyarakat, yang oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban.
Setiap individu merupakan subjek sejak mulai dia lahir sampai ia meninggal, kecuali apabila undang-undang menentukan lain, maka bayi dalam kandunganpun sudah merupakan subjek hukum apabila menyangkut kepentingannya. Namun individu atau subjek hukum yang dapat membuat perjanjian adalah individu yang mempunyai kecakapan untuk suatu perbuatan hukum.
Hal ini penting untuk kelancaran dari pelaksanaan perjanjian karena kecakapan subjek hukum syarat subjektif dari syarat sahnya suatu perjanjian, apabila syarat tersebut tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan.
Dalam suatu perjanjian, para pihak merupakan pendukung hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian tersebut.
Setiap perjanjian melahirkan perikatan sebagai hubungan hukum yang
menyebabkan para pihak mempunyai hak dan kewajiban. Pada perbuatan hukum
bersegi dua, yaitu perjanjian yang terdapat hak dan kewajiban di antara para pihak yang terlibat dalam perjanjian.
Berdasarkan hasil-hasil penelitian di lapangan diketahui bahwa dalam pelaksanaan perjanjian bangun bagi yang menjadi hak dari pemilik tanah adalah mendapatkan atau memperoleh hasil berupa sejumlah unit bangunan sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang diperjanjikan dan jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian. Sedangkan hak lainnya dari pemilik tanah adalah :
1. Berhak mengawasi hasil pelaksanaan pekerjaan usaha pembangunan toko khususnya dalam penggunaan material sesuai dengan perjanjian.
2. Berhak memberi teguran (mengambil tindakan yang tegas) apabila terjadi penyalahgunaan bahan material dan apabila tidak menerima bagian sebagaimana yang diperjanjikan.
3. Berhak mengalihkan objek perjanjian kepada pihak lain apabila pelaksana pembangunan tidak melaksanakan kewajibannya.
Sedangkan kewajiban pemilik tanah adalah :
1. Menyerahkan tanah miliknya untuk dipergunakan oleh pelaksana pekerjaan usaha pembangunan toko dan memberi jaminan terhadap lancarnya proses pembangunan dilaksanakan.
2. Pemilik tanah wajib menyerahkan dan mengakui bagian dari hasil pembangunan yang menjadi hak pelaksanaan pekerjaan usaha pembangunan toko sesuai dengan perjanjian.
Sedangkan yang menjadi kewajiban pelaksana pembangunan sebagai pelaksana pembangunan adalah merupakan hak dari pemilik tanah, antara lain :
1. Melaksanakan pekerjaan pembangunan toko yang menjadi objek perjanjian sesuai dengan rencana dan persyaratan serta menggunakan material sesuai dengan yang diperjanjikan.
2. Wajib menyerahkan bagian bangunan toko yang menjadi bagian hak pemilik tanah.
3. Wajib melaksanakan pembangunan toko sesuai dengan perjanjian dan
menjaga agar tanah tidak dipergunakan untuk usaha lain yang tidak sesuai
dengan perjanjian dan kegiatan lain yang dapat merugikan lingkungan di
sekitarnya.
Menurut Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menjadi akibat hukum dari suatu perjanjian bangun bagi adalah:
1. Perjanjian tersebut mengikat para pihak.
Maksudnya, perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak akan mengikat para pihak yang membuatnya danberlaku sebagai Undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.
2. Perjanjian tidak dapat ditarik kembali secara sepihak karena merupakan kesepakatan di antara kedua belah pihak dan alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
Maksudnya, perjanjian yang sudah dibuat, tidak bisa dibatalkan secara sepihak tanpa persetujuan dari pihak lain. Hal ini sangat wajar, agar kepentingan pihak lain terlindungi sebab perjanjian itu dibuat atas kesepakatan kedua belah pihak, maka pembatalannya pun harus atas kesepakatan kedua belah pihak.
Selain itu, pembatalan secara sepihak hanya dimungkinkan jika ada alasan yang cukup oleh undang-undang.
3. Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik
Menurut Subekti, itikad baik berarti kejujuran atau bersih. Dengan kata lain, setiap perjanjian harus dilaksanakan dengan penuh kejujuran.
48Demikian pula dalam perjanjian bangun bagi apabila hak dan kewajiban tersebut tidak terlaksana tentunya akan menyebabkan kerugian bagi salah satu
48Subekti, Hukum Pembuktian, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2001
.
pihak, oleh karena itu para pihak dapat menuntut pihak yang menyebabkan kerugian tersebut. Tuntutan dapat dilakukan melalui tuntutan pemenuhan perjanjian ganti rugi sampai pada pembatalan perjanjian. Tuntutan pembatalan perjanjian itu sendiri kemudian menyebabkan timbulnya perselisihan atau sengketa.
Didalam masyarakat Indonesia sendiri penyelesaian terhadap sengketa akibat suatu perjanian akibat suatu perjanjian seperti halnya dalam perjanjian bagi hasil atau perjanjian bangun bagi juga memerlukan upaya untuk menyelesaikannya, baik upaya penyelesaian melalui pengadilan ( legitasi ) dengan menggunakan ketentuan hukum formal maupun melalui upaya diluar pengadilan ( non-legitasi ).
Peranan notaris dalam penyelesaian tuntutan pembatalan bangun bagi ini adalah karena notaris merupakan pejabat umum yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan dengan kewenangan untuk membuat segala perjanjian dan akta serta yang dikehendaki oleh yang berkepentingan.
49Dalam hal ini Notaris dapat menjadi mediator dalam menyelesaikan perselisihan atau sengketa antara para pihak yang terlibat dalam akta perjanjian yang dibuatnya termasuk dalam hal ini untuk menyelesaikan perselisihan atau tuntutan pembatalan terhadap akte perjanjian bangun bagi.
C. Berakhirnya Perjanjian Bangun Bagi
1. Pasal 1381 KUHperdata Perikatan-perikatan hapus :
49
a. Karena pembayaran;
b. Karena penawaran pembayaran tunai, dikuti dengan penyimpangan atau penitipan;
c. Karena pembaharuan utang;
d. Karena perjumpaan utang atau kompensasi;
e. Karena percampuran utang;
f. Karena pembebasan utang;
g. Karena musnahnya barang yang terutang;
h. Karena kebatalan atau pembatalan;
i. Karena berlakunya suatu syarat batal;
j. Karena lewatnya waktu.
Pada dasarnya Pasal 1381 KUHPerdata mengatur berbagai cara hapusnya perikatan-perikatan untuk perjanjian dan perikatan lahir dari undang-undang dan cara-cara yang ditunjukkan oleh pembentuk undang-undang itu tidaklah bersifat membatasi pihak-pihak untuk menciptakan cara yang lain untuk menghapuskan suatu perikatan. Juga cara-cara tersebut dalam pasal 1381 KUHPerdata itu tidaklah lengkap, karena tidak mengatur misalnya hapusnya perikatan, karena meninggalnya seorang dalam suatu perjanjian yang prestasinya hanya dapat dilaksanakan oleh salah satu pihak.
Di dalam perjanjian bangun bagi bangunan adanya pembayaran atau penyerahan berupa tanah suatu prestasi yang utama harus dilaksanakan. Sehingga dengan dilakukannya penyerahan tanah ini tercapailah tujuan perjanjian yang diadakan.
Yang dimaksud dengan “pembayaran” dalam hukum perikatan bukanlah
sebagaimana ditafsirkan dalam bahasa pergaulan sehari-hari, yaitu pembayaran
sejumlah uang, tetapi setiap tindakan, pemenuhan prestasi, walau bagaimanapun
sifat dari prestasi itu. Penyerahan barang oleh penjual, berbuat sesuatu atau tidak
berbuat sesuatu adalah merupakan pemenuhan dari prestasi atau tegasnya adalah
“pembayaran”. Dengan terjadinya pembayaran, maka terlaksanalah perjanjian kedua belah pihak.
Disamping itu berakhirnya perjanjian bangun bagi bangunan ini adalah
“pembayaran”. Dengan terjadinya pembayaran, maka terlaksanalah perjanjian kedua belah pihak. Disamping itu berakhirnya perjanjian bangun bagi bangunan ini adalah karena pihak pengembang telah menyelesaikan atau memenuhi kewajibannya sesuai dengan isi perjanjian yang telah disepakati.
Mengenai permbayaran uang harga pembelian dalam perjanjian jual beli Pasal 1514 KUHperdata menentukan bahwa pembayaran itu tempatnya digantungkan pada tempat dimana barang yang dibeli harus diserahkan, kecuali diperjanjikan ditempat lain. Sebagai kontraprestasi dari pembayaran yang dilakukan pembeli maka bagi penjual diwajibkan untuk mengadakan penyerahan.
Yang harus diserahkan penjual kepada pembeli bukan sekedar kepuasan atas barangnya melainkan harus ia serahkan adalah hak milik atas barang, jadi yang harus dilakukannya adalah penyerahan atau “levering” secara yuridis.
2. Ditentukan oleh Putusan Hakim
Didalam perjanjian bangun bagi bangunan suatu perjanjian bisa berakhir
karena adanya suatu putusan hakim. Hal ini dapat terjadi karena adanya tuntutan
salah satu pihak yang merasa bahwa perjanjian itu terdapat adanya kekurangan-
kekurangan yang merugikan bagi dirinya sehingga mengajukan tuntutan ke
pengadilan. Contohnya dalam suatu perjanjian bangun bagi bangunan yang terjadi
dengan adanya penipuan, maka dalam hal ini pihak yang merasa dirugikan ini
mengajukan tuntutan ke pengadilan dan selanjutnya oleh hakim akan dijatuhkan suatu keputusan untuk menghentikan perjanjian yang mereka buat.
3. Ditentukan dalam Perjanjian Oleh Kedua Belah Pihak
Suatu perjanjian bangun bagi bangunan dapat berakhir karena adanya suatu ketentuan yang dibuat oleh pihak. Dalam hal ini kedua pihak telah sepakat bahwa perjanjian jual beli yang mereka buat itu akan berakhir dengan adanya suatu peristiwa yang telah mereka sepakati bersama dalam perjanjian yang dibuat.
Pembatalan dalam suatu kesepakatan jual beli tidak dapat dilaksanakan jika hanya berpedoman kepada keinginan dari salah satu pihak saja, baik pihak pemilik tanah maupun pihak pembangun. Jika jual beli tanah dibuat dengan syarat batal, Pasal 1266 KUHperdata menyatakan bahwa :
“Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan yang timbale balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.
Dalam hal yang demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan
harus dimintakan kepada hakim. Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun
syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan di dalam
persetujuan. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan, hakim adalah
leluasa untuk, menurut keadaan atas permintaan tergugat, memberikan suatu
jangka waktu untuk masih juga memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana
namun tidak boleh lebih dari satu bulan”.
PEMILIK MODAL DALAM MEWUJUDKAN KEPASTIAN HUKUM ( Study Putusan No. 704/Pdt.G/2015/PN.Mdn )
A. Proses Pembuatan Akta Perjanjian Antara Pemilik Tanah dan Pemilik Modal
Dalam bab 4 ini saya mencoba mengemukakan proses pembuatan akta perjanjian sampai timbulnya perkara. Notaris sesuai dengan Undang-undang No.30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris dalam pasal 1 jelas diterangkan bahwa “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini.”
Proses permbuatan akta dimulai dengan adanya kehendak dari pihak-pihak yang datang menghadap notaris untuk dicatatkan/dibuatkan kesepakatan pihak- pihak agar mempunyai kekuatan dan kepastian hukum. Bahwa Notaris dalam pembuatan perjanjian antara pemilik tanah dan pemilik modal harus berhati-hati jangan sampai ada pihak yang dirugikan yang mengakibatkan timbulnya perselisihan.
Bahwa kewenangan, kewajiban dan larangan notaris telah diatur dengan
jelas dalam Pasal 15 dan 16 UUJN No.30 Tahun 2004 yang telah dirubah dengan
UU No. 2 Tahun 2014. Sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang tersebut diatas
notaris berupaya semaksimal mungkin agar tidak terjadi sengketa/ perselisihan.
Namun dalam kegiatan dimasyarakat masalah bangun bagi ini banyak terjadi perselisihan yang berujung kepengadilan ( Study Putusan No.
704/Pdt.G/2015/PN.Mdn ) hal ini disebabkan lewatnya waktu dalam perjanjian yang disebabkan terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh para pihak.
Bahwa tidak terlaksananya perjanjian antara pemilik modal dengan pemilik lahan bias saja dan sering terjadi karena adanya unsur kelalaian atau disengaja untuk melaksanakan prestasi yang tidak diperjanjikan. Namun demikian, sebelumnya jika timbul perselisihan mengenai apa yang diperjanjikan tersebut akan diselesaikan oleh kedua belah pihak secara musyawarah dan mufakat berdasarkan kekeluargaan, jika tidak bias diselesaikan dengan cara tersebut, maka kedua belah pihak sepakat untuk diselesaikan melalui pengadilan negeri medan.
Bahwa notaris dalam membuat perjanjian yang dikehendaki antara pemilik modal dan pemilik tanah haruslah sesuai dengan ketentuan Undang-undang seperti yang diatas Pasal 1338 ayat (3) KUHperdata “setiap perjanjian menganut azas kebebasan berkontrak, yang melakukan kebebasan untuk mengadakan dan menentukan perjanjian yang tidak bertentangan Undang-undang kesusilaan dan ketentuan umum.”
Bahwa perjanjian tersebut harus dilaksanakan dengan iktikat baik
pelaksanaan perjanjian bangun bagi antara pemilik modal dan pemilik tanah yang
berisi hak dan kewajiban para pihak merupakan akta yang dibuat dihadapan
notaris yang bersifat autentik. Notaris merupakan pejabat umum yang diberikan
oleh peraturan Perundang-undangan dengan kewenangan untuk membuat segala
perjanjian dan akta serta yang dikehendaki oleh yang berkepentingan hubungan hukum antara pihak yang satu dengan pihak yang lain tidak bias timbul dengan sendirinya, hubungan itu tercipta oleh adanya “tindakan hukum”. Begitu juga dengan perjanjian antara pemilik modal dan pemilik tanah, perjanjian seperti ini memiliki kendala dalam proses pelaksanaannya, problematika yang sering terjadi dalam pelaksanaan perjanjian ini adalah hasil pembangunan yang dilakukan oleh developer ( pemilik modal ) tidak sesuai dengan yang diperjanjikan sebelumnya dan pemilik tanah tidak kunjung selesai dalam proses pensertifikan tanah, yang menghambat proses pengurusan izin mendirikan bangunan dan hal ini berdampak pada pelaksanaan isi perjanjian yang sudah disepakati yang dibuat dihadapan notaris.
Adapun dalam hal ini akan dilakukan pembahasan mengenai akta perjanjian
kerja sama dan bagi hasil yang dibuat oleh nyonya X selaku pihak pertama yang
merupakan pemilik tanah dengan pihak kedua tuan Y yang merupakan pemilik
modal ( developer perorangan ). Wanprestasi yang dilakukan pihak pertama
dikarenakan tidak menyelesaikan surat-surat tanah menjadi sertifikat tepat pada
waktunya, sehingga pihak kedua merasa sangat dirugikan akan hal tersebut karena
tidak dapat mengurus kelanjutan yaitu untuk membangun bangunan diatas tanah
tersebut, dan pihak pertama juga tidak mendapat bagi hasil. Oleh karena pihak
kedua tidak bias membangun diatas tanah milik pihak pertama maka pihak
pertama juga merasa keberatan dan belum mendapat bahagian yang seharusnya
diterima, oleh karena hal tersebut pihak pertama mengajukan gugatannya ke
Pengadilan Negeri Medan untuk menuntut ganti kerugian dan pembatalan atas
perjanjian bangun bagi tersebut gugatan yang diajukan oleh pihak pertama tersebut ( Study Putusan No. 704/Pdt.G/2015/PN.Mdn ).
Bahwa proses pembuatan akta perjanjian antara pemilik tanah dan pemilik modal sesuai ketentuan UU adalah dihadapan notaris. Notaris mempunyai kedudukan dan peran yang penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, karena mempunyai kewenangan atau authority yang ada ditentukan dalam Peraturan Perundang-undangan, kewenangan notaris telah ditentukan dalam Pasal 15 UU No.2 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas UU No.30 Tahun 2004, Tentang Jabatan Notaris ( telah dibahas di awal tulisan ini ).
Proses pembuatan akta perjanjian antara pemilik modal dan pemilik tanah yang dibuat oleh notaris tersebut unsur-unsurnya meliputi :
1. Adanya akta atau bukti tertulis;
2. Dibuat dihadapan notaris;
3. Adanya subjek hukum;
4. Adanya objek; dan
5. Adanya hak dan kewajiban yang timbal balik.
Hak dan kewajiban para pihak dalam akte perjanjian kerja sama dan bagi hasil antara Nyonya X ( pemilik tanah ) dan Tuan Y ( pemilik modal/pengembang perorangan ) adalah :
• Hak dan kewajiban Nyonya X sebagai pihak pertama dan sebagai pemilik tanah dalam perjanjian tersebut yaitu
1. Harus menyelesaikan pensertifikatan tanah sampai selesai.
2. Menyelesaikan persoalan hukum yang timbul jika terdapat persoalan hukum atas tanah tersebut.
3. Menerima bagian rumah atau bagi hasil jika ketentuan-ketentuan nomor 1 dan 2 telah selesai yang dapat dikonpensasi dengan nilai rupiah.
4. Jika dalam waktu 2 tahun setelah penanda tanganan akta tersebut sertifikat belum selesai maka perjanjian ditinjau kembali.
• Hak dan kewajiban Tuan Y sebagai developer ( pengembang perorangan ) yaitu
1. Mengurus IMB ( ijin mendirikan bangunan ) jika sertifikat telah selesai.
2. Membangun rumah sebanyak 78 kafling bangunan.
3. Menyerahkan beberapa unit bangunan yang menjadi milik pihak pertama ( sesuai yang disepakati dalam akte tersebut )
Persoalan atau problematika timbul atas pelaksanaan akte perjanjian kerja sama tersebut antara lain
1. Pengurusan pensertifikatan tanah yang tidak kunjung selesai padahal
pengembang baru dapat membangun setelah izin mendirikan bangunan
diterbitkan oleh instansi tata kota setempat. Izin mendirikan bangunan baru
bisa diterbitkan jika sertifikat telah selesai Pasal 20 ayat 1 UUPA
menjelaskan bahwa sertifikat hak milik merupakan surat tanda bukti hak
atas tanah bagi pemegangnya untuk memiliki, menggunakan, mengambil
manfaat lahan tanahnya secara turun temurun terkuat dan terpenuh.
50a. Izin lokasi, yang melibatkan kelurahan untuk merekomendasikan perihal pembangunan perumahan di lokasi tanah milik pihak pertama.
Dasar untuk mendirikan bangunan mempunyai langkah-langkah yang harus ditempuh dari segi aspek legal seperti :
b. Izin pemanfaatan ruang, badan pelayanan perizinan terpadu dinas tata kota setempat akan mengirim orang untuk mengecek ke lokasi lahan dan melihat batasan lahan yang dikuasai.
c. Penurunan hak, jika sertifikat hak milik akan diturunkan jadi hak guna bangunan.
d. Pengesahan Site Plan, dimana lokasi tanah 60% untuk pembangunan, sedangkan 40% untuk fasum (fasilitas umum)
2. Akibat keterlambatan ini timbul iktikat tidak baik dari pihak pertama yang mengakibatkan isi dari perjanjian tidak dapat terlaksana sebagai mana mestinya.
3. Permasalahan tersebut diatas mengakibatkan timbul persoalan hukum berupa perselisihan yang berujung pada perkara di Pengadilan Negeri.
B. Peran Notaris dalam Pembuatan Akta Perjanjian Bangun Bagi Dalam Mewujudkan Kepastian Hukum di Masyarakat
Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Pasal 1 angka 1 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris bahwa notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta
50Syarifuddin Chandra, Sertifikat Kepemilikan Hak Atas Tanah Persyaratan Permohonan di Kantor Pertanahan, Jakarta Grasindo Tahun 2005, Hal. 22
autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya.
Peran notaris di tengah-tengah masyarakat semakin dibutuhkan tentu hal ini sejalan dengan kemajuan yang dicapai oleh masyarakat itu sendiri hal itulah yang membuat kemajuan masyarakat, pesatnya pertumbuhan kemajuan di bidang produksi barang, jasa terutama dalam bidang perekonomian dimana peran serta notaris sangat diperlukan dalam pembuatan akta dan perjanjian-perjanjian .
Dengan demikian bahwa peranan notaris dalam pembuatan akta perjanjian antara pemilik tanah dan pemilik modal adalah agar perjanjian yang dibuat tersebut mempunyai kekuatan dan kepastian hukum. Bahwa dalam kenyataan di dalam masyarakat sering terjadi perselisihan bahkan pertengkaran yang menjurus kepada gugatan/ perkara di pengadilan, yang hal ini terjadi jika para pihak memang benar-benar tidak memenuhi isi perjanjian sebagaimana yang disepakati bersama yang berujung pada pemutusan hubungan bahkan pembatalan perjanjian.
Peran notaris dalam pemmbuatan perjanjian akta bangun bagi adalah sangat diperlukan sebab kesepakatan antara pihak pertama dan pihak kedua mengenai perjanjian bangun bagi isinya mengikat kepada para pihak sehingga dengan dibuatnya dihadapan notaris maka perjanjian bangun bagi itu mempunyai kekuatan dan kepastian hukum. Bahwa peranan notaris harus menjelaskan isi dari perjanjian bangun bagi sampai dimengerti pihak-pihak yang membuat perjanjian.
Akte perjanjian yang dibuat dengan sistem bangun bagi jelas mempunyai kekuatan hukum karena dibuat dihadapan pejabat yang berwenang yaitu notaris.
Hukum tentang perjanjian mempunyai sifat system terbuka maksudnya dalam
hukum perikatan/perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada subjek hukum untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar perundang-undangan, ketertiban umum dan kesusilaan.
51Berlakunya manusia sebagai pendukung hak dan kewajiban dimulai saat dilahirkan dan berakhir pada saat ia meninggal dunia.
52Subjek yang berupa manusia, harus memenuhi syarat umum untuk dapat melakukan suatu perbuatan hukum secara sah yakni harus sudah dewasa, sehat pikiran dan tidak dilarang atau dibatasi dalam melakukan suatu perbuatan hukum.
53• Penghadap yang disebut juga pihak yang akan menjadi subjek hukum dalam akta, disini subjek hukum harus memenuhi 3 syarat yang meliputi :
Notaris selaku pejabat yang berwenang harus berhati-hati agar kekuatan hukum dari akte perjanjian tersebut nantinya dapat mewujudkan kepastian hukum di masyarakat yang harus dipatuhi oleh para pihak. Untuk mewujudkan kepastian hukum dari suatu akta maka notaris harus meneliti terlebih dahulu antara lain :
1. Umur paling sedikit 18 tahun atau telah menikah.
2. Cakap melakukan perbuatan hukum.
3. Harus dikenal oleh notaris dengan menunjukkan identitas dari subjek hukum atau diperkenalkan oleh notaris.
4. Mengerti bahasa Indonesia.
5. Ada 2 orang saksi.
51R.Subekti, Aneka Perjanjian Cetakan Kesepuluh, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hal. 2
52Komariah, Hukum Perdata UMM, Press, Malang, 2008, hal. 22
53Djoko Prakoso dan Bambang Riyaldi Lany, Dasar Hukum Persetujuan Tertentu di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hal. 6