• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI PENGEMBANGAN PEMBANGKIT LISTRIK PANAS BUMI BERDASARKAN UU NO. 21 TAHUN 2014 TENTANG PANAS BUMI SEBAGAI PILIHAN TEKNOKRATIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IMPLEMENTASI PENGEMBANGAN PEMBANGKIT LISTRIK PANAS BUMI BERDASARKAN UU NO. 21 TAHUN 2014 TENTANG PANAS BUMI SEBAGAI PILIHAN TEKNOKRATIK"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

1

IMPLEMENTASI PENGEMBANGAN PEMBANGKIT LISTRIK PANAS BUMI BERDASARKAN UU NO. 21 TAHUN 2014 TENTANG PANAS BUMI

SEBAGAI PILIHAN TEKNOKRATIK (Laporan Penelitian Individu 2016)

Oleh Hariyadi

BIDANG EKONOMI DAN KEBIJAKAN PUBLIK PUSAT PENELITIAN

BADAN KEAHLIAN DPR RI 2016

(2)

2

RINGKASAN EKSEKUTIF

Lahirnya UU No. 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi, menggantikan UU No. 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi merefleksikan kemauan politik pemerintah dalam pengembangan sumber pembangkit listrik energi terbarukan (EBT). Kerangka hukum ini memiliki arti strategis dalam pembangunan ketenagalistrikan nasional seiring dengan besarnya potensi panas bumi di Indonesia. Pengembangan panas bumi baru mencapai 1.341 MW (4,6%). Hal ini menyiratkan bahwa kontribusi panas bumi belum optimal. Hal ini tentu kurang sejalan dengan mandat kebijakan energi nasional yang ditargetkan mencapai 23% pada tahun 2025.

Sejumlah isu krusial merentang secara lintas-sektoral dari isu perijinan khususnya di kawasan hutan, insentif baik fiskal maupun non-fiskal bagi pengembang, pemanfaatan langsung, peran Pemda, isu penetapan harga jual uap, pendanaan eksplorasi sampai pada isu kelembagaan. Tidak kalah pentingnya, mengingat lebih dari 80% lokasi cadangan panas bumi masuk dalam kawasan hutan, persoalan pengembangan panas bumi di kawasan hutan khususnya di hutan konservasi misalnya, juga menjadi salah satu persoalan yang belum terselesaikan.

Berdasarkan kerangka hukum yang baru, sejumlah pengaturan yang bersifat terobosan antara lain sebagai berikut. Pertama, sentralisme pengelolaan panas bumi untuk tujuan. Kedua, pengelolaan panas bumi sebagai bagian dari rezim non-pertambangan. Ketiga, penetapan harga panas bumi sesuai harga keekonomian. Karena itu, sebagai satu mata rantai sumber EBT yang besar potensinya, optimalisasi peran panas bumi melalui kerangka UU yang baru memiliki nilai yang cukup strategis dalam jangka menengah dan panjang. Sementara itu, pada saat yang sama pemerintah juga telah menegaskan komitmen secara nasional dan global untuk berkontribusi secara signifikan dalam penurunan emisi dari sektor kehutanan dan lahan.

(3)

3

Dalam kerangka pemahaman seperti ini, implementasi pengembangan panas bumi dipetaruhkan.

Dalam kerangka rumusan permasalahan tersebut, penelitian ini akan diarahkan untuk melihat sejauh mana pengaruh politik penurunan emisi nasional dalam implementasi kerangka hukum baru tentang panas bumi dalam jangka menengah dan panjang sebagai sebuah pilihan teknokratis; dan bagaimana dampak pilihan tersebut terhadap implementasi pengembangan panas bumi dalam jangka menengah dan panjang. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terkait dengan persoalan implementasi pengembangan pemanfaatan panas bumi berdasarkan kerangka hukum baru panas bumi dalam konteks pengaruh politik penurunan emisi nasional. Sementara itu, hasil penelitian ini juga sekaligus dapat membantu pemikiran bagi DPR RI dalam melaksanakan tugas konstitusional khususnya fungsi pengawasan.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan sumber data primer dan sekunder. Data primer yang dipakai adalah hasil wawancara mendalam dan serangkaian dokumen resmi yang terkait agenda pembangunan PLTP selama ini dan isu tantangan pasokan listrik secara nasional dan daerah. Sementara itu, data sekunder didasarkan pada studi linteratur. Penggalian data sekunder dilakukan di DKI Jakarta, mulai Maret 2016 s.d. Juni 20016. Sementara itu, kegiatan penelitian lapangan akan dilakukan Provinsi Bengkulu dan Provinsi Lampung. Alasan dipilihnya kedua lokasi penelitian tersebut dilakukan berdasarkan beberapa kriteria sebagai berikut: (1) pilihan pengembang antara pemerintah dan swasta; (2) waktu perencanaan pembangunan PLTP dari 2016-2019; dan (3) kapasitas pembangkit yang dibangun. PLTP Hululais 1 dan 2 (2x55 MW) di Kab.

Lebong, Provinsi Bengkulu mewakili PLTP yang dibangun oleh pemerintah (PT PLN) direncanakan akan dibangun pada tahun 2015-2019. Sementara itu, PLTP Ulubelu 3 dan 4 (2x55 MW), Kab. Tanggamus, Provinsi Lampung

(4)

4

mewakili PLTP yang dibangun swasta (IPP), direncanakan akan dibangun pada tahun 2016-2017.

Politik penurunan emisi nasional telah mendorong pemerintah untuk melakukan serangkaian kebijakan yang diarahkan dalam memperkokoh kebijakan penurunan emisi nasional. Serangkaian kebijakan ini tidak hanya menyasar target-target penurunan emisi nasional tetapi juga dalam upaya pemenuhan komitmen penurunan emisi secara global pasca-COP di Paris.

Dalam konteks ini, diasumsikan terdapat pengaruh positif politik penurunan emisi nasional bagi penguatan implementasi kerangka hukum baru tentang panas bumi.

Meskipun demikian, indikasi pengaruh positif tersebut belum begitu terlihat secara signifikan. Pendek kata, kerangka hukum baru ini baru sebatas keberhasilan penentuan pilihan politik pemerintah di tingkat pusat. Di daerah, hal ini bahkan masih belum banyak tersosialisasikan. Selain itu, penyelesaian penyiapan serangkaian regulasi turunan sebagaimana diamanatkan dalam kerangka hukum baru tersebut menjadi bagian penting dalam menganalisis tingkat pengaruh politik penurunan emisi nasional dalam implementasi pengembangan panas bumi. Kasus yang sama terhadap kebutuhan penyelarasan sejumlah peraturan terkait.

Hal lain terkait dengan masalah koordinasi dan sinergi antara pusat dan daerah. Lemahnya koordinasi dan sinergi tersebut tentu berimplikasi pada lemahnya kemauan politik daerah dalam mendukung implementasi pengembangan panas bumi di daerah. Konteks pengembangan di Lampung dan Bengkulu, hal ini semakin kuat seiring dengan relatif terpenuhinya kebutuhan listrik mereka. Dalam konteks implementasi kebijakan, situasi ini menyiratkan dua hal penting. Pertama, masih lemahnya kemauan politik pemerintah dalam melaksanakan apa yang telah digarikan dalam kerangka hukum baru panas bumi. Hal ini dimungkinkan terjadi karena tujuan yang kurang jelas dan konsisten, serta kurang siapnya lembaga pelaksana. Selain itu, belum kuatnya dukungan elit baik di legislatif maupun eksekutif dan

(5)

5

masih lemahnya koordinasi antar-lembaga pelaksana. Kedua, lemahnya implementasi politik penurunan emisi nasional dalam konteks pengembangan panas bumi secara umum. Serangkaian kebijakan penurunan emisi sektor energi yang kurang menyasar pada pengarusutamaan pada penggunaan panas bumi menguatkan pandangan bahwa EBT belum menjadi agenda utama sasaran penurunan emisi nasional.

Hal ini dimungkinkan terjadi karena persoalan pembiayaan, lemahnya dukungan dunia masyarakat dan usaha, serta konteks konstelasi kekiniaan, yakni lemahnya harga minyak dunia sehingga EBT kurang mendapat dukungan politik pemerintah. Mentahnya inisiasi kebijakan pemerintah untuk membentuk dana ketahanan energi yang secara langsung untuk mengembangkan sumber dan infrastruktur EBT menguatkan pandangan ini.

Kasus yang salam pembatalan pengakuisisian PLTP dari Cevron oleh PT PLN.

Isu lain terkait lambatnya pengelolaan konflik sosial dalam pengembangan PLTP di Hululais di Bengkulu.

Situasi ini dikarenakan sejumlah hal. Pertama, penyelesaian penggunaan lahan dan perizinan belum menunjukkan perbaikan yang berarti. Kedua, resistensi sosial. Sejumlah faktor yang mendorong fenomena ini menyangkut kesenjangan dan kurang menetesnya program-program CSR kepada masyarakat secara langsung, konflik lahan, kompensasi kerugian dan akses terhadap pekerjaan. Hal lain terkait lemahnya pengawasan Hal ini diperburuk dengan lemahnya sosialisasi, kerja sama, koordinasi dan sinergi antar-pemerintah dengan pengembang. Ketiga, persoalan sinergitas.

Lambatnya penuntasan resistensi sosial sebenarnya berakar pada kurang kuatnya sinergi dan koordinasi antar-pemerintah dan pengembang. Sejumlah unsur pemerintah daerah memandang persoalan ini sebagai urusan pemerintah pusat, sementara kehadiran PLTP sebenarnya relatif signifikan.

Dengan demikian, pengembangan panas bumi ini setidak-tidaknya dapat membantu penguatan kebutuhan listrik dari wilayah sendiri.

(6)

6

Kerangka hukum baru dinilai memberikan penguatan bagi pengembangan panas bumi, seperti Inpres 8 Tahun 2015 tentang kebijakan moratorium ijin penggunaan konsesi kawasan hutan. Dari sisi sosial pengembangannya juga memberikan manfaat dalam bentuk komitmen pembangunan infrastruktur di wilayah sekitar PLTP, sejumlah CSR dan membuka tingkat ‘keterisolasian’ wilayah. Hal lain dampaknya terhadap lingkungan pun relatif kecil. Namun demikian, implementasi pengembangan panas bumi belum menunjukkan adanya terobosan.

Berdasarkan gambaran ini, sebagai kesimpulan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pilihan teknokratis pemerintah bagi pengembangan panas bumi dalam kerangka hukum yang baru yang bersifat terobosan dalam dua tahun terakhir belum memberikan arah dampak yang signifkan. Dengan demikian, dalam konteks kekiniaan dan jangka menengah, implementasi pengembangan panas bumi untuk tujuan tidak langsung masih bersifat inkremental (muddle-through). Penguatan kemauan politik pemerintah dalam mendukung program pembangkitan 35.000 MW dan penguatan peran dalam upaya penurunan emisi global sebagaimana tercermin dalam serangkaian kebijakan penurunan emisi nasional dari semua sektor akan mendorong implementasi kerangka hukum nasional tentang panas bumi dalam jangka panjang menjadi tantangan yang harus dikelola. Dalam konteks ini, dua rekomendasi dapat disajikan sebagai berikut: (1) pemerintah perlu memberikan kemauan politik dan penguatan sinergi dengan Pemda dan dunia usaha dalam upaya mendorong peran panas bumi dalam jangka panjang; dan (2) Perlunya penguatan dan percepatan regulasi turunan untuk memperkokoh implementasi pengembangan panas bumi.

(7)

7

(8)

8

Referensi

Dokumen terkait

Hasil uji bivariat terhadap 11 variabel, berhubungan dengan Partus Abnormal adalah variabel Kondisi Kehamilan, Jarak Kelahiran, Kadar Hb, Tekanan Darah, Kondisi

Perdagangan orang sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan,

Pekerjaan shift dipagi hari terkadang lebih terasa berat dari pada malam hari karena kuantitas pekerjaan terkadang lebih banyak pada saat pagi hari,

Hasil surveinya membuktikan bahwa orang yang menguasai produk (melingkupi kelebihan dan keuntungan dari produk), akan LEBIH CEPAT dan LEBIH BANYAK

Dimensi empathy (empati) dapat dilihat dari keramahan pegawai dalam proses layanan kesehatan dan kemudahan untuk dihubungi oleh masyarakat dalam

buku secara khusus mengulas tentang pemikiran pendidikan Al Washliyah, baik pemikiran pendidikan Al Washliyah sebagai sebuah organisasi maupun pemikiran pendidikan

Persoalan lain yang sering muncul adalah ketidak mampuan aparat penegak hukum untuk mengendalikan emosinya pada saat bertugas sehingga menyebabkan kerugian baik fisik