• Tidak ada hasil yang ditemukan

RISMA MELATI Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Siliwangi ABSTRACT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "RISMA MELATI Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Siliwangi ABSTRACT"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS SURPLUS/DEFISIT APBD, DERAJAT DESENTRALISASI FISKAL, DERAJAT OTONOMI FISKAL, INDEKS KINERJA PAJAK DAN RETRIBUSI DAERAH, DAN RASIO KEMANDIRIAN DAERAH DALAM MENGUKUR TINGKAT KEBERHASILAN OTONOMI

DAERAH DI KABUPATEN TASIKMALAYA

(Studi Kasus Pada Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kabupaten Tasikmalaya)

RISMA MELATI

E-mail : rismaqueens@gmail.com

Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Siliwangi

ABSTRACT

SURPLUS/DEFICIT APBD, FISCAL DECENTRALIZATION DEGREE, FISCAL AUTONOMY DEGREE, INDEX OF TAXES AND LEVIES PERFORMANCES AND INDEPEENDENC’S RATIO TO MEASURES THE LEVEL OF THE SUCCESS AUTONOMY IN TASIKMALAYA

DISTRICT

(A Case Study In Department of Revenue, Finance and Asset Management in Tasikmalaya District Government)

The objective of this research is to know the role and the the influence of surplus/deficit APBD, Fiscal Decentralization Degree, Fiscal Autonomy Degree, Index of Taxes and Levies Performance and also the Independence’s Ratio to measure the level of the success autonomy in Tasikmalaya District. The data was collected by field research. And this research used descriptive analys with a case of study approach, while the technique analys used the factor analys then double linear regression analys.

Research result: Based on the results of the Surplus/Deficit APBD, FDD, FAD, ITLP and Independence’s Ratio indicators, the success rate of regional autonomy in Tasikmalaya District is relatively low.

Surplus/Deficit APBD, FDD, FAD and ITLP which has a role as Primary Indicator has a significant influence to measure the level of the success autonomy. While the Independence’s Ratio which has a role as Supporter Indicator has not a significant influence to measure the level of the success autonomy. Both Primary Indicator and Supporter Indicator simultanly has a significant influence to measure the level of the success autonomy in Tasikmalaya district.

Keywords: Surplus/deficit APBD, Fiscal Decentralization Degree, Fiscal Autonomy Degree, Index of Taxes and Levies Performance, Independence’s Ratio, Level of the Success Autonomy

(2)

ABSTRAK

ANALISIS SURPLUS/DEFISIT APBD, DERAJAT DESENTRALISASI FISKAL, DERAJAT OTONOMI FISKAL, INDEKS KINERJA PAJAK DAN RETRIBUSI DAERAH, DAN RASIO KEMANDIRIAN DAERAH DALAM MENGUKUR TINGKAT KEBERHASILAN OTONOMI

DAERAH DI KABUPATEN TASIKMALAYA

(Studi Kasus Pada Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kabupaten Tasikmalaya)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peranan serta pengaruh surplus/defisit APBD, Derajat Desentralisasi Fiskal, Derajat Otonomi Fiskal, Indeks Kinerja Pajak dan Retribusi Daerah serta Rasio Kemandirian untuk mengukur tingkat keberhasilan otonomi daerah Kabupaten Tasikmalaya.

Pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian lapangan. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif analis dengan pendekatan studi kasus, sedangkan teknik analisis datanya menggunakan analisis faktor untuk kemudian dilanjutkan dengan analisis regresi berganda. Hasil penelitian: Berdasarkan hasil dari indikator surplus/defisit APBD, DDF, DOF, IKPRD dan Rasio Kemandirian, tingkat keberhasilan otonomi daerah Kabupaten Tasikmalaya masih tergolong rendah. Surplus/defisit APBD, DDF, DOF dan IKPRD berperan sebagai Indikator Utama yang berpengaruh signifikan untuk mengukur tingkat keberhasilan otonomi daerah. Sedangkan Rasio Kemandirian berperan sebagai Indikator Pendukung yang tidak berpengaruh signifikan untuk mengukur tingkat keberhasilan otonomi daerah. Indikator Utama dan Indikator Pendukung secara simultan berpengaruh signifikan untuk mengukur tingkat keberhasilan otonomi daerah di Kabupaten Tasikmalaya.

Kata kunci: Surplus/defisit APBD, Derajat Desentralisasi Fiskal, Derajat Otonomi Fiskal, Indeks Kinerja Pajak dan Retribusi Daerah, Rasio Kemandirian, Tingkat Keberhasilan Otonomi Daerah.

LATAR BELAKANG MASALAH

Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997 telah menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat ekonomi lemah berupa ketimpangan ekonomi. Adanya ketimpangan ekonomi tersebut membawa Indonesia untuk melakukan reformasi di segala bidang. Pergantian pemerintah orde baru ke orde reformasi tersebut dimulai pada Mei tahun 1998 dan aspek pemerintahan merupakan salah satu askpek reformasi yang dominan. Aspek pemerintahan tersebut adalah aspek hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Isu yang muncul dari aspek ini adalah adanya tuntutan ekonomi yang lebih luas, nyata dan bertanggung jawab yang harus diberikan kepada pemerintah daerah. Reformasi pada pemerintahan semakin membuat masalah otonomi daerah menjadi komoditas yang laku di masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah memutuskan bahwa otonomi daerah yang diinginkan tersebut akan dilaksanakan dalam waktu dekat (Abdul Halim, 2004:15). Disamping dampak negatif dari krisis ekonomi pertengahan tahun 1997 juga terdapat dampak yang berkonotasi positif seperti

(3)

meningkatnya nilai ekspor komoditi karena naiknya nilai dollar Amerika Serikat terhadap nilai rupiah.

Namun, dampak krisis lebih banyak berkonotasi negatif seperti naiknya pengangguran dan kemiskinan.

Tujuan utama dari kebijakan desentralisasi tahun 1999 itu adalah, di satu pihak, membebaskan pemerintah pusat dari beban-beban ynag tidak perlu dalam menangani urusan domestik, sehingga ia berkesempatan mempelajari, memahami dan merespon berbagai kecenderungan global dan mengambil manfaat daripadanya. Pada saat yang sama, pemerintah pusat diharapkan lebih mampu berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro nasional yang bersifat strategis. Di lain pihak, dengan desentralisasi kewenangan pemerintahan ke daerah, maka daerah akan mengalami proses pemberdayaan yang signifikan. Kemampuan prakarsa dan kreativitas mereka akan terpacu, sehingga kapabilitas dalam mengatasi masalah domestik akan semakin kuat. Desentralisasi merupakan simbol adanya trust (kepercayaan) dari pemerintah pusat kepada daerah. Ini akan dengan sendirinya mengembalikan harga diri pemerintah dan masyarakat daerah. Kalau dalam sistem sentralistik mereka tidak bisa berbuat banyak dalam mengatasi berbagai masalah, dalam sistem otonomi ini mereka ditantang untuk secara kreatif menemukan solusi-solusi dari berbagai masalah yang dihadapi.

Di masa lalu banyak masalah yang terjadi di daerah yang tidak tertangani secara baik karena keterbatasan kewenangan pemerintah daerah dibidang itu. Ini berkenaan antara lain dengan konflik pertahanan, kebakaran hutan, pengelolaan pertambangan, perizinan investasi, kerusakan lingkungan, alokasi anggaran dari dana subsidi pemerintah pusat, penerapan prioritas pembangunan, penyusunan organisasi pemerintahan yang sesuai kebutuhan daerah, pengangkatan dalam jabatan struktural, perubahan batas wilayah administrasi, pembentukan kecamatan, kelurahan dan desa, serta pemilihan kepala daerah. Sekarang, dengan berlakunya UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999, kewenangan itu di desentralisasikan ke daerah. Artinya, pemerintah dan masyarakat daerah dipersilahkan mengurus rumah tangganya sendiri secara bertanggung jawab. Pemerintah pusat tidak lagi mempatronasi, apalagi mendominasi mereka. Peran pemerintah pusat dalam konteks desentralisasi ini adalah melakukan supervisi, memantau, mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan otonomi daerah.

Lebih jauh, dampak krisis ekonomi terjadi pula pada sektor APBN yakni menjadi labilnya sektor pendapatan pemerintah pusat yang pada gilirannya akan mempengaruhi APBD. Hal ini terjadi karena alokasi dana APBN untuk APBD menjadi labil pula. Dengan kata lain faktor ketidakpastian penerimaan pendapatan daerah dari pemerintah pusat sebagai bagian dari hubungan keuangan pusat dan daerah menjadi lebih tinggi. Kondisi ini lebih parah lagi untuk pemerintah daerah yang tingkat PAD nya rendah.

Padahal, sumbangan PAD cukup tinggi bagi pemerintah daerah dalam mendukung dan memelihara hasil-

(4)

hasil pembangunan yang telah dilaksanakan dan yang akan dilaksanakan di masa yang akan datang (Mamesah, 1995:93).

IDENTIFIKASI MASALAH

1. Bagaimana kondisi/keadaan surplus/defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Derajat Desentralisasi Fiskal, Derajat Otonomi Fiskal, Indeks Kinerja Pajak dan Retribusi Daerah serta Rasio Kemandirian Daerah Kabupaten Tasikmalaya.

2. Bagaimana Tingkat Keberhasilan Otonomi Daerah Kabupaten Tasikmalaya diukur dari surplus/defisit APBD, Derajat Desentralisasi Fiskal, Derajat Otonomi Fiskal, Indeks Kinerja Pajak dan Retribusi Daerah, dan Rasio Kemnadirian.

3. Bagaimana peranan Surplus/Defisit APBD, Derajat Desentralisasi Fiskal, Derajat Otonomi Fiskal, Indeks Kinerja Pajak dan Retribusi Daerah sebagai indikator kinerja keuangan daerah untuk mengukur tingkat keberhasilan otonomi daerah Kabupaten Tasikmalaya.

4. Bagaimana pengaruh Indikator Utama secara parsial dalam mengukur tingkat keberhasilan otonomi daerah.

5. Bagaimana pengaruh Indikator Pendukung secara parsial dalam mengukur tingkat keberhasilan otonomi daerah.

6. Bagaimana pengaruh indikator utama dan indikator pendukung secara simultan dalam mengukur tingkat keberhasilan otonomi daerah Kabupaten Tasikmalaya.

TINJAUAN PUSTAKA

Di dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tepatnya pasal 1, dijelaskan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Otonomi memiliki makna sebagai pemberian kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

Surplus/Defisit APBD adalah selisih lebih atau kurang dari rencana keuangan tahunan peemerintah daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD dan ditetapkan dengan peraturan daerah. Rumus:

Surplus/defisit = pendapatan daerah – belanja daerah

(5)

Derajat Desentralisasi Fiskal menurut Elmi (2002:26) adalah pelimpahan kewenangan dibidang penerimaan keuangan yang sebelumnya tersentralisasi baik secara administrasi maupun pemanfaatannya.

Oleh karena itu desentralisasi fiskal merupakan salah satu mekanisme transfer dana dari APBN untuk mewujudkan ketahanan fiskal yang berkelanjutan (fiscal sustainability) dan memberikan stimulus terhadap aktifitas perekonomian masyarakat. Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF) antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (Abdul Halim; 329-337, 2004):

PAD X

100%...2.1 TPD

Derajat Otonomi Fiskal menunjukan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan daerah dan pelayanan kepada masyarakat (Mulyanto, 2004:7). Pengukuran DOF menggunakan rumus (Adrianus Dwi S, 2008 dalam Ana Prihatiningsih 2010):

DOF = Pajak+RetribusiDaerah x100%...2.2

Indeks Kinerja Pajak dan Retribusi Daerah adalah indeks yang digunakan untuk mengetahui jenis pajak dan retribusi daerah apakah termasuk dalam kategori prima, potensial, berkembang atau terbelakang. Menurut UU No. 32 Tahun 2000, pajak daerah merupakan iuran wajib pajak yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah. Retribusi daerah merupakan pungutan daerah sebagai pembiayaan atas jasa atau pembebanan ijin tertentu yang khusus disediakan oleh pemerintah daerah. dan retribusi daerah adalah sebagai berikut (Mulyanto, 2004:8-14):

RPXi = RealisasiXi

x100%...2.3 TargetXi

Rasio ini digunakan untuk mengukur pola hubungan dan tingkat kemampuan daerah. Rasio kemandirian daerah dicerminkan oleh rasio pendapatan asli daerah terhadap total pendapatan, serta rasio transfer terhadap total pendapatan (Abdul Halim, 2004:121). Untuk mengujinya digunakan rumus:

Rasio Kemandirian =

PAD

x100%...2.4 Bant+Sumb+Pinj

(6)

KERANGKA PEMIKIRAN

Salah satu aspek yang dapat menentukan keberhasilan otonomi daerah adalah kemandirian kinerja keuangan daerah pemerintah daerah. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Agus Setiawan (2010) mengemukakan indikator kinerja keuangan secara kuantitatif dapat menunjukkan bagaimana keadaan kinerja keuangan suatu daerah sehingga dapat digunakan untuk melihat apakah daerah tersebut telah mampu secara finansial untuk mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri tanpa banyak campur tangan dari pemerintah pusat. Dengan surplus/defisit APBD (X1), Derajat Desntralisasi Fiskal (X2), Derajat Otonomi Fiskal (X3), Indeks Kinerja Pajak dan Retribusi Daerah (X4), Rasio Kemandirian (X5) dan Tingkat Keberhasilan Otonomi Daerah (Y).

HIPOTESIS

H1: Surplus/defisit APBD (X1), Derajat Desntralisasi Fiskal (X2), Derajat Otonomi Fiskal (X3), Indeks Kinerja Pajak dan Retribusi Daerah (X4), Rasio Kemandirian (X5) berpengaruh untuk mengukur Tingkat Keberhasilan Otonomi Daerah (Y)

H2: Surplus/defisit APBD (X1), Derajat Desntralisasi Fiskal (X2), Derajat Otonomi Fiskal (X3), Indeks Kinerja Pajak dan Retribusi Daerah (X4), Rasio Kemandirian (X5) berpengaruh untuk mengukur Tingkat Keberhasilan Otonomi Daerah (Y) secara parsial

H3: Surplus/defisit APBD (X1), Derajat Desntralisasi Fiskal (X2), Derajat Otonomi Fiskal (X3), Indeks Kinerja Pajak dan Retribusi Daerah (X4), Rasio Kemandirian (X5) berpengaruh untuk mengukur Tingkat Keberhasilan Otonomi Daerah (Y) secara simultan

METODE PENELITIAN

Untuk menganalisis data yang diperoleh dalam rangka pengujian hipotesis, data tersebut diolah terlebih dahulu kemudian dianalisis dengan menggunakan metode kuantitatif dengan menggunakan analisis regresi komponen utama untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh surplus/defisit APBD, derajat desentralisasi fiskal, derajat otonomi fiskal, indeks kinerja pajak dan retribusi daerah serta rasio kemandirian daerah terhadap tingkat keberhasilan otonomi daerah.

(7)

PEMBAHASAN

Tabel 4.1

Surplus/Defisit APBD Kabupaten Tasikmalaya

Tahun Pendapatan Belanja Surplus Defisit

2010 1.309.530.714.959 1.363.885.339.996 54.354.625.037

2011 1.505.485.957.229 1.508.879.721.149 3.393.763.920

2012 1.813.389.750.992 1.829.410.194.201 16.020.443.209 2013 2.213.623.318.967 2.165.004.333.289 48.618.985.678 2014 2.566.519.525.451 2.416.942.284.557 149.577.240.894 Sumber: Data Sekunder Diolah

Pemda Kabupaten Tasikmalaya bisa dikatakan pada tahun 2013 dan 2014 sudah memenuhi kriteria APBD karena jumlah APBD mengalami surplus. Sedangkan pada tahun 2010, 2011 dan 2012 meskipun mengalami defisit akan tetapi pada tahun tersebut juga bias dikatakan telah memenuhi kriteria APBD karena jumlah defisit tersebut tidak melebihi 5% dari total pendapatan.

Pada tahun 2014, Pemda Kabupaten Tasikmalaya mengalami surplus sebesar Rp.

149.577.240.894,00.-, hal itu terjadi karena pada tahun tersebut pemasukan pendapatan daerah dari PAD, dana perimbangan dan lain-lain PAD yang sah mengalami kenaikan yang tinggi dari pendapatan tahun-tahun sebelumnya terutama dari penghasilan pajak dan retritbusi daerahnya.

Tabel 4.2

Derajat Desentralisasi Fiskal Kab. Tasikmalaya Tahun 2010-2014

Sumber; LRA Kabupaten Tasikmalaya

Tahun PAD TPD DDF (%)

2010 48.340.536.521 1.309.530.714.959 3,70 2011 51.160.921.192 1.505.485.957.229 3,40 2012 60.970.810.517 1.813.389.750.992 3,36 2013 70.474.192.115 2.213.623.318.967 3,18 2014 154.255.170.573 2.566.519.525.451 6,00

Rata-rata 3,93

(8)

Rasio PAD terhadap TPD terus mengalami penurunan dari tahun 2010 hingga tahun 2013.

Akan tetapi, terjadi peningkatan yang cukup tinggi pada tahun 2014 yaitu sebesar 6%. Dan nilai rasio PAD terhadap TPD terjadi pada tahun 2013 yaitu sebesar 3,18%. Dengan melihat rata-rata rasio DDF diatas, maka dapat menunjukkan bahwa kemampuan keuangan daerah Kabupaten Tasikmalaya dapat diartikan belum bisa mandiri karena rasionya menunjukan angka yang lebih kecil dari 50% yaitu sebesar 3,93%. Semakin tinggi rasio PAD terhadap TPD maka semakin baik pula tingkat keberhasilan otonomi daerah karena dengan demikian pemerintah daerah telah mengelola pendapatan asli daerahnya dengan sangat baik.

Tabel 4.3

Derajat Otonomi Fikal Kabupaten Tasikmalaya

Sumber; Laporan Realisasi Anggaran Kabupaten Tasikmalaya, diolah.

Besarnya DOF Kab. Tasikmalaya yang tertinggi terjadi pada tahun 2014 yaitu sebesar 3,22% dan yang terendah terjadi pada tahun 2010 yaitu sebesar 1,94%. Penurunan terjadi pada tahun 2013, akan tetapi terjadi peningkatan lagi pada tahun 2014. Hal ini disebabkan dengan meningkatnya pendapatan pajak dan retribusi daerah di tahun tersebut. Maka dari tabel diatas dapat dilihat bahwa kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat selama 5 tahun ke belakang cenderung masih sangat rendah karena nilai reratanya sebesar 2,32% kurang dari 50%, yaitu syarat batasan nilai DOF dimana apabila nilai DOF lebih besar dari 50% maka pemerintahan daerah dapat dikatakan sebagai pemerintahan yang mandiri.

Tahun Pajak Retribusi TBD DOF (%)

2010 12.088.798.564 14.314.265.523 1.363.885.339.996 1,94 2011 17.861.130.368 15.312.578.095 1.508.879.721.149 2,20 2012 20.545.416.360 19.820.207.958 1.829.410.194.201 2,21 2013 23.839.779.378 20.321.676.447 2.165.004.333.289 2,04 2014 44.253.007.592 33.530.262.672 2.416.942.284.557 3,22

Rata-rata 2,32

(9)

Tabel 4.4

Rasio Pengumpulan Pajak dan Retribusi Kabupaten Tasikmalaya

Sumber; Laporan Realisasi Anggaran Kabupaten Tasikmalaya

Rasio pengumpulan pajak dan retribusi daerah yang tertinggi terjadi pada tahun 2014 yaitu sebesar 125,4% yang artinya bahwa realisasi pengumpulan pajak dan retribusi daerah Tasikmalaya telah melebihi target sebesar 25,4%. Dan yang terendah terjadi pada tahun 2010 dimana realisasinya tidak dapat memenuhi target sebesar 5,2%.

Peningkatan terjadi dari tahun 2011 hingga tahun 2012 tetapi pada tahun 2013 kembali terjadi penurunan sebesar 1,83%. Hal ini karena pemerintahan kabupaten Tasikmalaya tidak mengelola pajak dan retribusi dengan maksimal.

Tabel 4.5

Rasio Kemandirian Keuangan Kabupaten Tasikmalaya

Sumber; Laporan Realisasi Anggaran Kab. Tasikmalaya, diolah.

Tingkat kemandirian Kabupaten Tasikmalaya rendah sekali, dengan rata-rata rasio sebesar 4,10%

untuk 5 tahun kebelakang. Dengan begitu, rasio kemandirian keuangan berada pada angka kurang dari 25% dimana pola hubungan yang terjadi adalah pola hubungan Instruktif yang artinya bahwa peranan pemerintah pusat lebih dominan daripada kemandirian pemerintahan daerah.

Pajak Retribusi Pajak Retribusi

2010 12.088.798.564 14.314.265.523 12.619.413.496 15.212.464.494 94,86 2011 17.861.130.368 15.312.578.095 15.019.233.875 19.214.330.224 96,90 2012 20.545.416.360 19.820.207.958 17.382.839.000 21.065.969.836 104,98 2013 23.839.779.378 20.321.676.447 21.913.071.772 20.898.354.400 103,15 2014 44.253.007.592 33.530.262.672 41.595.013.937 20.434.553.250 125,40

Tahun Realisasi Target

RPXi (%)

Tahun PAD Pend. Transfer & Bantuan RK (%) 2010 48.340.536.521 1.261.190.178.438 3,83 2011 51.160.921.192 1.454.325.036.037 3,52 2012 60.970.810.517 1.752.418.940.475 3,48 2013 70.474.192.115 2.143.149.126.852 3,29 2014 154.255.170.573 2.412.264.354.878 6,40

Rata-rata 4,10

(10)

Rasio Kemandirian merupakan perbandingan antara PAD terhadap Total pendapatan transfer dan bantuan. Yang artinya, semakin besar presentase PAD terhadap pendapatan transfer, maka daerah tersebut akan dapat dinyatakan sebagai daerah yang mandiri. Pernyataan ini apabila menunjukan presentase angka rasio kemandirian lebih besar dari 50%.

Tabel 4.6

Rasio Kinerja Keuangan Kabupaten Tasikmalaya

Sumber; Data Sekunder Diolah.

Dalam penelitian ini, tingkat keberhasilan otonomi daerah diukur dengan menggunakan melalui faktor keuangan pemerintahannya dengan mengukur kinerja keuangan yang diantaranya dengan meninjau surplus/defisit APBD, Derajat Desentralisasi Fiskal, Derajat Otonomi Fiskal, Indeks Kinerja Pajak dan Retribusi Daerah, serta Rasio Kemandirian Daerah. Walaupun dari tahun ke tahun rasio keuangan daerah terus mengalami peningkatan, akan tetapi tingkat keberhasiln otonomi daerah di Kabupaten Tasikmalaya masih tergolong rendah atau belum dapat mewujudkan pemerintahan yang mandiri.

Dilihat dari tabel 4.6 nilai kinerja keuangan terendah terjadi pada tahun 2010 dengan rata-rata indikatornya sebesar 0,09 dan tertinggi pada tahun 2014 sebesar 9,40. Yang artinya bahwa keberhasilan otonomi daerah pada Kabupaten Tasikmalaya masih tergolong rendah.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dikemukakan, yaitu tentang analisis surplus/defisit APBD, Derajat Desentralisasi Fiskal, Derajat Otonomi Fiskal, Indeks Kinerja Pajak dan Retribusi serta Rasio Kemandirian Kabupaten Tasikmalaya, maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Kondisi/keadaan surplus/defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Derajat Desentralisasi Fiskal, Derajat Otonomi Fiskal, Indeks Kinerja Pajak dan Retribusi Daerah serta Rasio Kemandirian

Tahun Surplus/Defisit APBD DDF DOF RPXi RK Total Rata-rata

2010 (3,98) 3,70 1,94 (5,14) 3,83 0,43 0,09

2011 (0,22) 3,40 2,20 (3,10) 3,52 5,80 1,16

2012 (0,87) 3,36 2,21 4,98 3,48 13,18 2,64

2013 2,24 3,18 2,04 3,15 3,29 13,87 2,77

2014 6,19 6,00 3,22 25,40 6,40 47,02 9,40

(11)

Daerah Kabupaten Tasikmalaya masih tergolong rendah, hal ini dapat dibuktikan dengan presentase rasio yang masih rendah yang dihitung sesuai dengan indikator-indikatornya. Rata-rata presentase dari ke lima indikator dengan kurun waktu lima tahun ke belakang yaitu tidak lebih dari 5%.

2. Tingkat Keberhasilan Otonomi Daerah di Kabupaten Tasikmalaya menggunakan peninjauan dari pengukuran indikator kinerja keuangan pemerintahannya seperti surplus/defisit APBD, DDF, DOF, IKPRD dan Rasio Kemandirian masih terdolong rendah. Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya masih belum bisa membiayai urusan rumah tangga atau penyelenggaraan pemerintahannya sendiri dan peranan pemerintah pusat masih tergolong dominan dalam urusan keuangannya. Salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya tingkat keberhasilan otonomi daerah Kabupaten Tasikmalaya yaitu kurang maksimalnya pemerintahan dalam mengelola pendapatan asli daerahnya seperti pendapatan pajak dan retribusi daerah.

3. Untuk mengukur tingkat keberhasilan otonomi daerah Kabupaten Tasikmalaya melalui 5 indikator kinerja keuangannya maka dapat disimpulkan untuk ke 5 indikator itu termasuk ke dalam indikator utama dan indikator pendukung. Surplus/defisit APBD, Derajat Desentralisasi Fiskal, Derajat Otonomi Fiskal, Indeks Kinerja Pajak dan Retribusi Daerah mempunyai peranan sebagai Indikator Utama dalam Indikator Kinerja Keuangan. Yang artinya apabila ingin mengukur tingkat keberhasilan otonomi daerah dari segi aspek kinerja keuangan, maka peneliti dapat hanya melakukan penelitian dengan variabel yang termasuk ke dalam Indikator Utama ini. Sedangkan variabel Rasio Kemandirian mempunyai peranan sebagai Indikator Pendukung dimana variabel ini tidak banyak mempengaruhi tingkat keberhasilan otonomi daerah.

4. Pengaruh Indikator Utama secara parsial berpengaruh signifikan untuk mengukur tingkat keberhasilan otonomi daerah.

5. Indikator Pendukung secara parsial berpengaruh tidak signifikan untuk mengukur tingkat keberhasilan otonomi daerah.

6. Pengaruh Indikator Utama dan Indikator Pendukung yang mewakili surplus/defisit APBD, Derajat Desentralisasi Fiskal, Derajat Otonomi Fiskal, Indeks Kinerja Pajak dan Retribusi Daerah dan Rasio Kemandirian secara simultan berpengaruh signifikan untuk mengukur tingkat keberhasilan otonomi daerah. Hal ini membuktikan bahwa penelitian yang penulis lakukan benar karena tingkat keberhasilan otonomi daerah disini fokus pengukurannya melalui ke lima indikator kinerja keuangan tersebut.

(12)

SARAN

Berdasarkan simpulan yang telah diuraikan diatas, maka penulis mencoba memberikan saran- saran yang diharapkan dapat bermanfaat bagi pemerintahan Kabbupaten Tasikmalaya di masa yang akan dating dalam upaya meningkatkan tingkat keberhasilan otonomi daerah daeri aspek kinerja keuangan daerahnya. Dengan dilakukannya penelitian pengukuran otonomi daerah ini, diharapkan pemerintah Kabupaten Tasikmalaya dapat meningkatkan tingkat keberhasilan otonomi daerahnya dan mengurangi ketergantungannya kepada Pemerintah Pusat dengan menggali potensi untuk meningkatkan pendapatan sehingga tidak terjadi defisit anggaran dan tidak bergantung pada pendapatan transfer dari pemerintah pusat sehingga Rasio Kemandirian daerahnya meningkat. Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya perlu meningkatkan Derajat Desntralisasi Fiskal dengan mengembangkan pemberdayaan daerahnya dibidang investasi daerah dan lebih meningkatkan Derajat Otonomi Fiskal dengan mengoptimalkan pendapatan pajak dan retribusi agar dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerahnya sehingga kontribusi PAD menjadi lebih tinggi dalam total pendapatan daerah dalam membiayai kegiatan pemerintahannya.

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Etches (1996) bahwa perkembangan embrio pada unggas dan mamalia pada prinsipnya sangat berbeda, (1) fertilisasi pada unggas melibatkan beberapa

Use the expression of intention (be going to or would like to). Your monolog contains at least 75 words. Next Thursday is going to be my younger sister’s birthday. We are going

Langsung saja disemprotlah istrinya, tapi tutut juga melawan dengan kata-kata. Begitu suami mau memukul, dia lari

Sedangkan resipien universal (golongan AB) adalah golongan darah yang bisa menerima darah dari semua golongan, karena tidak memiliki aglutinin. Jadi O bisa menjadi

Selain di kotak gali, semen purba ini juga sudah ditemukan pada tebing undak antara Teras-1 dan Teras-2, dan juga pada sampel inti bor dari kedalaman 1 sampai 15

bahwa Rencana Detail Tata Ruang Kota Semarang Bagian Wilayah Kota IV (BWK IV) sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Semarang Nomor 5 Tahun 1999

Selain itu, dengan memiliki tingkat likuiditas yang baik maka kualitas laba juga baik sehingga informasi mengenai kinerja keuangan perusahaan tinggi dan stakeholder tidak akan

Tanda positif dalam hipotesis penelitian tentang pengaruh jumlah penduduk dan pengangguran terhadap kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah tahun 2005 – 2010 adalah