• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Hukum Waris di Indonesia

Berbicara tentang warisan, Indonesia memiliki tiga aturan hukum kewarisan yang telah diketahui oleh masyarakat yaitu Hukum Kewarisan Adat, Hukum Kewarisan Islam, dan Hukum Kewarisan Perdata Barat (BW).

Hukum waris ketiganya memiliki ciri-ciri dan tata aturan yang berlainan, adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:

a. Hukum Kewarisan Adat

1) Pengertian dan Dasar Hukum Kewarisan Adat

Soerojo Wignjodipoero (1990: 161) mendefinisikan bahwa hukum adat waris mencakup semua norma hukum yang menentukan harta kekayaan baik yang bersifat materiel maupun yang bersifat imateriel yang dapat diserahkan kepada anak keturunannya dan juga mengatur kapan waktunya, dan bagaimana cara serta proses peralihannya. Ter Haar (1994: 47) menerangkan bahwa hukum waris adat adalah segala aturan hukum yang menyusun bagaimana cara meneruskan dan mengalihkan harta kekayaan dari harta yang berwujud maupun harta yang tidak berwujud, dari suatu generasi pada generasi selanjutnya yang telah terjadi selama berabad-abad.

Pendapat dari Salman (2007: 32) tentang hukum waris adat ialah seperangkat peraturan yang menata proses penerusan dan pengoperan barang-barang baik yang wujudnya harta benda maupun yang wujudnya bukan harta benda dari suatu kelompok manusia kepada kelompok turunannya. Meninggalnya pewaris memang adalah suatu kejadian yang penting dalam proses kepengurusan pewarisan, namnu hal tersebut tidak berpengaruh secara signifikan terhadap proses meneruskan dan mengoperkan harta benda maupun hak atas harta benda yang dimaksud. Selanjutnya Hilman Hadikusuma (2003: 7) memperjelas bahwa hukum waris adat adalah

(2)

2

hukum yang memuat batas-batas peraturan mengenai sistem teori dan semua asas dalam hukum waris, seperti tentang pewaris, ahli waris, harta yang menjadi obyek warisan, serta bagaimana cara harta warisan itu dapat dialihkan penguasaannya dan kepemilikannya dari pewaris kepada ahli warisnya. Berdasar pada pemaparan tersebut di atas, dapat ditarik simpulan bahwa hukum kewarisan adat merupakan seperangkat peraturan yang disusun untuk mengurus segala proses pengalihan harta kekayaan baik yang sifatnya kebendaan maupun yang sifatnya non kebendaan dari seorang pewaris kepada ahli warisnya.

Susunan masyarakat adat di Indonesia terdiri dari 3 jenis sistem kekerabatan di antaranya yaitu :

a) Sistem Kekerabatan Parental

Sistem kekerabatan parental menganut paham bahwa kedua orangtua ataupun keluarga dari pihak ayah dan ibu sama- sama memberlakukan semua peraturan baik yang berhubungan dengan masalah perkahwinan, siapa yang berkewajiban memberi nafkah, penghormatan kepada orangtua, maupun dalam masalah pewarisan. Dalam susunan parental, seorang anak hanya mendapatkan hubungan semenda melalui jalan perkahwinan, baik yang didapatkan langsung oleh perkahwinannya sendiri, maupun secara tak langsung oleh perkahwinan sanak kandungnya. Struktur masyarakat yang menganut sistem kekerabatan ini banyak dijumpai di daerah Kalimantan, Sulawesi (Makassar), Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura, dan lain sebagainya.

b) Sistem Kekerabatan Patrilineal

Sistem kekerabatan patrilineal menganut paham bahwa anak memiliki pertalian diri dengan kerabat dari pihak bapak dan bersandar pada garis keturunan laki-laki secara satu pihak saja (unilateral). Susunan masyarakat hukum adat ini menarik garis keturunan dari pihak bapak (laki-laki). Paham ini

(3)

3

berpedoman bahwa keturunan dari pihak bapak (laki-laki) dinilai memiliki kedudukan yang lebih tinggi serta akan mendapatkan lebih banyak dalam perolehan hak-haknya.

Struktur masyarakat yang menganut sistem kekerabatan ini terdapat pada masyarakat Suku Batak, Suku Bali, Suku Ambon, Suku Dani, Suku Asmat, Suku Rejang, dan lain sebagainya c) Sistem Kekerabatan Matrilineal

Sistem kekerabatan matrilineal menganut paham bahwa anak memiliki pertalian diri dengan kerabat dari pihak ibu dan bersandar pada garis keturunan perempuan secara satu pihak saja (unilateral). Keturunan yang ditarik dari garis ibu menimbulkan hubungan kekeluargaan yang jauh lebih kental dan rapat di antara para anggota keluarganya, misalnya dalam masalah kewarisanan. Paham ini berpedoman bahwa keturunan dari pihak ibu (perempuan) dinilai memiliki kedudukan yang lebih tinggi serta akan mendapatkan lebih banyak dalam perolehan hak-haknya. Struktur masyarakat yang menganut sistem kekerabatan ini terdapat pada masyarakat Suku Minangkabau di Sumatera Barat, Suku Mosuo, Suku Akan, Suku Garo, Suku Navajo, Suku Ovambo, dan lain sebagainya 2) Proses Turun Waris dalam Hukum Kewarisan Adat

Proses turun waris yang dikenal dan berlaku sesuai dengan hukum adat dalam kehidupan masyarakat di Indonesia hanya terdapat dua jenis. Pertama, proses turun waris yang dilaksanakan pada waktu pewaris masih ada. Kedua, proses turun waris yang dilaksanakan pada waktu pewaris sudah meninggal dunia. Apabila proses turun waris dilaksanakan pada waktu pewaris masih ada, maka proses turun waris dapat dilakukan dengan cara-cara berupa wasiat, hibah, pengalihan, penerusan, berpesan dan beramanat kepada ahli waris. Di sisi yang lain, apabila proses turun waris dilakukan setelah pewaris meninggal dunia, maka akan berlaku cara- cara penguasaan harta warisan yang dilakukan oleh ahli waris

(4)

4

tertentu, anggota keluarga tertentu atau kepada kerabat yang dekat.

Sedangkan dalam pembagian warisannya dapat dibagi dengan sistem pembagian yang ditangguhkan, sistem pembagian yang berimbang, sistem pembagian yang berbanding ataupun sistem pembagian menurut hukum agama masing-masing.

Pada masyarakat parental, hibah adalah bagian dari proses turun waris yang dilakukan saat orang tua masih ada atau sebelum pewaris wafat. Hibah pada masyarakat patrilineal memiliki makna sebagai pemberian kecil dari harta waris kepada anak perempuan yang bukan termasuk dari bagian ahli waris. Sedangkan pada masyarakat matrilineal pada dasarnya tidak mengenal adanya proses turun waris berupa hibah. Hibah sendiri terdiri dari 2 bentuk, yang pertama merupakan hibah biasa yakni hibah yang diberikan pewaris kepada ahli warisnya semasa hidupnya, yang kedua merupakan hibah wasiat yakni hibah yang dilakukan setelah pewaris wafat.

Iman Sudiyat (1981: 152) menerangkan bahwa terkait dengan tata cara pembagian harta warisan setelah pewaris meninggal dunia dapat langsung dibagikan pada ahli warisnya dan ada pula yang menangguhkan pembagiannya. Beberapa alasan untuk menangguhkan pembagian harta waris yaitu antara lain sebagai berikut:

a) Harta pusaka yang terbatas jumlahnya b) Harta pusaka yang tertentu jenisnya c) Ahli waris belum cukup umur d) Ahli waris pengganti belum ada e) Ahli waris belum hadir

f) Utang piutang pewaris belum diketahui secara pasti 3) Harta Waris dalam Hukum Kewarisan Adat

Menurut hukum waris adat, harta waris bukan hanya semata- mata yang memiliki nilai ekonomis tetapi juga termasuk yang tidak memiliki nilai ekonomis, yaitu harta waris yang bersifat religius magis dan mengandung nilai-nilai kehormatan masyarkat adat.

(5)

5

Hilman Hadikusuma (1993: 96) menyebutkan bahwa apabila nanti pewaris telah meinggal dunia maka tidak hanya harta waris yang berwujud kebendaan saja tetapi juga harta waris yang tidak berwujud kebendaan yang nantinya akan diturunkan atau dialihkan kepada para ahli waris.

Beberapa jenis harta warisan menurut hukum adat (Hilman Hadikusuma, 1993: 36-42) adalah sebagai berikut:

a) Jabatan atau Kedudukan Adat

Jabatan atau kedudukan adat yang sifatnya turun temurun adalah bagian dari harta waris yang tidak berwujud kebendaan.

Misalnya saja kedudukan sebagai pemimpin suku/adat maupun sebagai petugas - petugas suku/adat. Adapun berbagai hak dan kewajiban yang harus diemban sebagai prowatin adat atau dewan tetua adat yang melindungi tata tertib adat, mengatur segala proses acara dan upacara adat, menggunakan berbagai alat perlengkapan dan bangunan adat serta berlaku sebagai pengantara dalam penyelesaian masalah kekerabatan adat adalah termasuk dari harta waris berupa jabatan atau kedudukan adat.

b) Harta Pusaka

Harta pusaka terdiri atas dua macam yaitu harta pusaka atas dan harta pusaka bawah. Harta pustaka atas mencakup semua harta benda yng berwujud benda-benda tetap seperti tanah, bangunan, dan benda-benda bergerak seperti alat-alat senjata, alat-alat pertanian, alat-alat peternakan, alat-alat perikanan, perlengkapan pakaian adat, perhiasan adat, maupun jimat-jimat, dan benda yang tidak berwujud kebendaan seperti pengamalan ilmu ghaib dan amanat pesan yang ditulis.

Sedangkan harta pusaka rendah adalah seluruh harta waris yang tidak dapat dibagi-bagi, yang berasal dari nenek moyang.

c) Harta Bawaan

Harta bawaan meliputi seluruh harta waris yang dibawa suami dan atau dibawa istri ketika melaksanakan perkahwinan.

(6)

6

Harta bawaan dapat berjenis barang yang bergerak maupun barang yang tidak bergerak.

d) Harta Pencarian

Harta pencarian mencakup seluruh harta waris yang berasal dari hasil mata pencaharian bersama suami dan istri ketika masih hidup dalam satu ikatan perkahwinan.

4) Ahli Waris dalam Hukum Adat

Terdapat perbedaan aturan mengenai ahli waris antara wilayah yang satu dengan wilayah lainnya di Indonesia, baik ketentuan mengenai siapa saja ahli waris yang berhak untuk mendapatkan waris ataupun yang bukan termasuk ahli waris namun tetap berpeluang mendapatan harta warisan. Sistem kekerabatan dan agama yang dianut oleh para ahli waris sangat menentukan berhak tidaknya mereka sebagai penerima warisan. Adapun pengelompokan pembagian ahli waris terdiri dari:

a) Garis pokok keutamaan

Garis pokok keutamaan adalah garis hukum yang menetapkan semua urutan keutamaan di antara kelompok dalam keluarga pewaris yang memiliki pengertian bahwa kelompok yang satu lebih utama daripada kelompok yang lain. Adapun golongan kelompok tersebut yaitu:

1. Golongan keutamaan 1 adalah keturunan dari pewaris;

2. Golongan keutamaan 2 adalah orang tua dari pewaris;

3. Golongan keutamaan 3 adalah saudara saudari dari pewaris beserta anak-anak keturunannya; dan

4. Golongan keutamaan 4 adalah kakek dan nenek dari pewaris.

b) Garis pokok penggantian

Garis pokok penggantian adalah garis hukum yang memiliki tujuan untuk menetapkan siapa saja orang-orang yang berhak sebagai ahli waris dalam suatu kelompok keutamaan tertentu, golongan kelompok tersebut adalah:

(7)

7

(1) Orang yang tidak memiliki hubungan langsung dengan pewaris

(2) Orang yang tidak memiliki hubungan lagi dengan pewaris Perbedaan prinsip dalam penarikan garis keturunan yang berlaku pada setiap daerah berpengaruh pada penentuan siapa yang berhak atau tidak berhak menjadi ahli waris. Bagi masyarakat adat yang menganut sistem patrilineal seperti Suku Batak, mka yang berhak menjadi ahli waris hanyalah anak laki- laki. Di sisi lain, masyarakat adat yang menganut sistem matrilineal seperti suku Minangkabau, maka ahli warisnya adalah anak perempuan. Sedangkan masyarakat adat yang menganut sistem parental seperti Suku Jawa, maka ahli warisnya adalah anak laki-laki dan atau anak perempuan yang keduanya memiliki hak yang sama atas harta peninggalan pewaris.

Djaren Saragih (1980: 170) menyebutkan bahwa asas

“legitieme portie” yang diatur dalam pasal 913 KUHPerdata tidak dikenal dalam hukum kewarisan adat. Hukum waris adat juga tidak mempunyai aturan bagi ahli waris untuk menuntut hak bagiannya sebagaimana tercantum dalam pasal 1066 KUHPerdata. Apabila ahli waris mempunyai kepentingan yang mendesak, sedangkan ia adalah seorang penerima harta waris, maka ia diperbolekan untuk mengajukan permohonan untuk memakai harta warisannya dengan cara musyawarah mufakat dengan para ahli waris lainnya terlebih dahulu.

b. Hukum Kewarisan Islam

1) Pengertian dan Dasar Hukum Kewarisan Islam

Kehidupan manusia adalah sebuah rangkaian proses yang akan berakhir dengan adanya peristiwa hukum kematian. Kematian bagi manusia merupakan suatu peristiwa hukum sehingga dapat menimbulkan konsekuensi hukum tertentu. Makna yang terkandung dari peristiwa hukum kematian adalah bahwa semua hak dan

(8)

8

kewajiban hukum yang dimiliki selama hidup akan ditinggalkan dan dialihkan kepada ahli warisnya.

Abdul Djamali (1997: 112-115) menerangkan akar kata waris yang berasal dari bahasa Arab yakni waritsa-yaritsu-irtsan- miiraatsan yang memiliki arti sebagai perpindahan hak milik dari seseorang yang telah meninggal kepada orang lain. Aturan dalam Kompilasi Hukum Islam yang termaktub di dalam Bab 1 tentang Ketentuan Umum pada Pasal 171 huruf a menerangkan bahwa hukum kewarisan adalah hukum yang menyusun aturan tentang perpindahan hak milik dari harta yang ditinggalkan oleh pewaris (tirkah), kemudian menentukan siapa saja yang berhak menerima harta waris serta berapa besarnya bagian pada masing-masing ahli waris.

Dasar Hukum Kewarisan Islam termaktub di dalam Al- Qur’an dan Hadist Rasulullah SAW, peraturan perundang-undangan, dan Kompilasi Hukum Islam. Adapun dasar hukum yang dimaksud adalah sebagai berikut di bawah ini:

a) Adanya kewarisan dalam islam karena hubungan darah.

Dasar ini ditentukan secara tegas dalam Q.S. An-Nisa’ ayat ke 7, ayat ke 11, ayat ke 12, ayat ke 33, dan ayat ke 176.

b) Adanya kewarisan dalam islam karena hubungan semenda atau pernikahan

Dasar ini ditentukan secara tegas dalam Q.S. An-Nisa’ ayat ke 12.

c) Adanya kewarisan dalam islam karena hubungan persaudaraan Dasar ini ditentukan secara tegas dalam Q.S. Al-Ahzab ayat ke 6. Adapun besar bagiannya tidak boleh melebihi (1/3) harta peninggalan dari pewaris

d) Adanya kewarisan dalam islam karena hubungan kerabat pada awal mula perkembangan Islam

Dasar ini ditentukan secara tegas dalam Q.S. Al-Anfaal ayat ke 75

(9)

9 2) Rukun Waris Islam

Rukum dalam kewarisan Islam digunakan sebagai salah satu pedoman dan syarat pelaksanaan dalam pembagian waris Menurut istilah, rukun memilki arti sebagai sesuatu yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan. Dengan kata lain, rukun dalam kewarisan ialah sesuatu yang wajib ada untuk melaksanakan pembagian harta waris. Dibawah ini adalah beberapa rukun-rukun waris yang harus ada, diantaranya adalah:

a) Al-Muwarits (pewaris), ialah orang yang telah mangkat atau wafat, baik secara hakiki maupun secara hukum dan kematiannya harus dinyatakan dengan putusan hakim atas dasar beberapa alasan, walaupun sebenarnya si pewaris belum meninggal namun ia meninggalkan suatu hak atau harta;

b) Al-Warits (ahli waris), ialah orang yang masih hidup atau anak yang masih berada dalam rahim ibunya yang mempunyai hak untuk mewaris, walaupun pada masalah tertentu ia akan terhalang untuk mnjadi ahli waris;

c) Al-Mauruts (harta warisan), ialah harta pusaka yang nantinya akan dibagi-bagi dalam bentuk warisan, termasuk di dalam klasifikasi harta waris ialah semua harta atau semua hak yang memiliki kemungkinan untuk dapat di turunkan waris, seperti halnya hak-hak keperdataan dan hak untuk menangguhkan barang yang tergadai.

Komite Fakultas Syariah Universitas-Azhar (2004: 27) menerangkan apabila satu di antara rukun-rukun waris tersebut di atas tidak terpenuhi, maka proses pewarisan pun juga tidak dapat dilaksanakan. Apabila yang meninggal dunia juga tidak meninggalkan harta warisan, maka proses pewarisan pun juga tidak dapat dilaksanakan karena tidak lengkapnya rukun-rukun dari kewarisan. Terdapatnya unsur subyek hukum dan obyek hukum dalam suatu peristiwa kewarisan adalah suatu konsekuensi absolut yang timbul karena terjadi peristiwa hukum berupa kematian.

(10)

10

Ali (2008: 33), berpendapat bahwa Hukum Waris Islam ialah seperangkat aturan yang disusun sebagai pedoman dalam mengalihkan harta dari seorang pewaris yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya. Hukum Waris Islam juga mencakup penentuan tentang siapa saja yang dapat menempati kedudukan sebagai ahli waris, berapa besar bagian setiap individu ahli waris, serta menentukan harta apa saja yang tergolong harta peninggalan atau harta warisan yang ditinggalkan oleh seorang pewaris.

3) Pewaris dalam Hukum Kewarisan Islam

Pewaris adalah seseorang yang telah meninggal dunia dalam keadaan Islam yang meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan untuk diwariskan. Keberadaan pewaris adalah sesuatu yang harus ada sebagai syarat untuk melaksanakan kewarisan. Demikian pula apabila hak untuk mewarisi akan hilang jika tidak terpenuhi sebab- sebabnya.

4) Ahli Waris dalam Hukum Kewarisan Islam

Oemarsalim (1987: 34) mengemukakan bahwa ahli waris ialah seseorang yang memiliki hak untuk menerima porsi bagian dari harta waris yang ditinggalkan oleh Pewaris. Seseorang yang memilki hak untuk menerima porsi bagian dari harta warisan tersebut adalah anak keturunan yang paling dekat dengan Pewaris atau ia yang telah ditetapkan oleh hukum dan tidak tergolong seseorang yang tidak medapatkan hak untuk mewaris. Adapun hak-hak untuk mendapatkan warisan dan atau hak yang dapat mengalihkan harta waris kepada orang lain adalah sebagai berikut:

a) Hak karena adanya hubungan darah

Hak karena adanya hubungan darah adalah hak yang diberikan kepada seseorang yang memiliki hubungan keluarga paling dekat serta masih memiliki garis keturunan darah secara turun menurun baik itu perempuan ataupun laki-laki dengan pewaris. Adanya hubungan darah secara garis besar diistilahkan dengan hubungan nasab terhadap Pewaris. Janin yng masih

(11)

11

berada dalam rahim ibunya akan mendapatkan hak bagian dari harta warisan keluarganya yang telah meninggal dunia. Dengan syarat anak tersebut harus lahir dalam keadaan hidup, apabila anak tersebut lahir dalam keadaan tidak bernyawa, maka pewarisan akan dibatalkan. Adanya hubungan nasab yang dinyatakan dengan kesatuan dalam pertalian darah secara turun- menurun, maka bagi anak angkat yang tidak memiliki hubungan sedarah dengan pewaris tidak dapat memperoleh harta warisan.

Selain kesatuan dalam pertalian darah, adalah hak mewaris karena hubungan nasab juga mencakup diantaranya orang tua dan saudara saudari dari Pewaris beserta anak keturunannya.

b) Hak karena adanya perkawinan yang sah menurut Islam

Perkawinan yang dinilai sah menurut pandangan Islam ialah apabila segala rukun dan semua syaratnya terpenuhi. Hal ini mencakup perkawinan poligami yang memiliki paling banyak 4 orang istri. Ditinjau dari sah tidaknya suatu perkawinan, maka akan menimbulkan akibat hukum bahwa apabila terjadi suatu peristiwa kematian, maka akan menjadi sebab kewarisan pada suami atau istri.

c) Hak karena adanya pembebasan budak

Perbudakan ialah sesuatu yang memeras tenaga, pikiran, bahkan hak orang lain secara tidak manusiawi. Seorang budak hanya bisa menggunakan hak-haknya dalam bertindak secara bebas atas izin dan kuasa majikannya. Sebagai majikan yang memiliki iman, ia akan dapat merasakan bagaimana perasaan dan pikiran seorang budak seolah seperti merasakan dirinya sendiri yang diperlakukan seperti budak. Oleh sebab itulah, apabila seorang majikan dapat memahami posisi sebagai seorang budak, besar kemungkinan untuk merelakan hati untuk membebaskan budaknya. Jika hal tersebut terjadi, maka majikan sebagai seorang pemberi kebebasan akan memiliki kesamaan ikatan dengan bekas mantan budaknya. Adanya hubungan

(12)

12

sederajat yang memiliki kesamaan dalam kedudukan itu seperti kesatuan keturunan di antara keduannya. Maka dalam hal kewarisan pun penerima kebebasan (bekas budak) dapat menjadi pewaris bagi pemberi kebebasan (bekas majikan).

d) Hak karena adanya hubungan kesamaan Agama Islam

Hak waris karena adanya hubungan Agama Islam ialah, apabila pewaris meninggal dunia namun ia tidak memiliki anak turun dalam ikatan nasab, yang artinya harta waris yang telah ditinggalkan oleh pewaris tidak dapat dialihkan kepemilikanya kepada ahli waris yang berhak. Oemarsalim (1987: 112-115) menyatakan bahwa dalam kondisi seperti ini, maka harta warisan tersebut dapat diberikan kepada baitul maal untuk kepentingan umat Islam guna menghindari ketidakmanfaatan dari harta waris yang telah Pewaris tinggalkan. Rasulullah SAW bersabda bahwa beliau adalah ahli waris bagi pewaris yang tidak memiliki keturunan. Maksudnya ialah bahwa Rasulullah SAW akan menggunakan harta waris tersebut untuk kebutuhan umat Islam bukan untuk dirinya sendiri. Keterlibatan Rasulullah SAW sebagai seseorang yang dapat memperoleh harta waris dari seorang Pewaris yang tidak memiliki ahli waris nasab meskipun hanya untuk kebutuhan umat Islam menunjukan bahwa hubungan kesamaan agama Islam dapat saling berkaitan.

5) Penggolongan ahli waris dalam Hukum Kewarisan Islam

Penggolongan Ahli Waris dalam Islam dapat dimasukkan ke dalam 3 (tiga) kategori, diantaranya adalah:

a) Dzul Faraidh

Dzul Faraidh menurut Hazairin (1968: 38) adalah ahli waris berdasarkan Al-Quran atau yang telah ditetapkan dalam Al- Quran, yaitu ahli waris yang seccara langsung akan selalu memperoleh hak bagian tertentu yang besarannya tidak akan berubah. Adapun perincian dari setiap ahli waris dalam Al-

(13)

13

Quran ini tercantum pada surat Q.S. An-Nisa’ ayat 11, ayat 12 dan ayat 176. Ahli waris tersebut adalah sebagai berikut:

(1) Kakek dari garis ayah;

(2) Nenek dari garis ayah ataupun dari garis ibu ; (3) Ayah;

(4) Ibu;

(5) Anak perempuan;

(6) Anak perempuan dari anak laki-laki;

(7) Saudara perempuan yang seayah dan seibu dari garis ayah;

(8) Saudara laki-laki tiri dari garis ibu;

(9) Saudara perempuan tiri dari garis ayah;

(10) Saudara perempuan tiri dari garis ibu;

(11) Duda;

(12) Janda.

Kompilasi Hukum Islam mengatur hal tersebut dalam Buku II Bab II Pasal 174 mengenai penggolongan ahli waris.

b) Ashabah

M. Ali Hasan (1973: 26) menerangkan bahwa Ashabah memiliki arti sebagai anak laki-laki dan kerabat dekat dari garis bapak. Imam Syafi’i menggolongan Ashabah sebagai ahli waris yang akan memperoleh bagian yang tidak tertutup atau bagian sisa, dengan artian bahwa sesudah porsi harta waris di berikan kepada Ahli Waris yang termasuk dalam Dzul faraidh, maka bagian sisanya baru diserahkan kepada Ashabah. Hazairin (1968: 15) dalam bukunya membagi Ashabah menjadi tiga kelompok yakni: Ashabah bi nafsihi, Ashabah bil ghairi, dan Ashabah ma‟al ghair. M. Ali Hasan (1973: 27) mengelompokkan Ashabah-ashabah tersebut di bawah ini yaitu:

(1) Ashabah bi nafsihi adalah kelompok ashabah yang memiliki hak untuk mendapatkan semua sisa harta. Adapun deretannya adalah sebagai berikut:

a. Anak laki-laki;

(14)

14

b. Cucu laki-laki dari anak laki-laki;

c. Ayah;

d. Kakek dari garis ayah;

e. Sanak saudara kandung laki-laki;

f. Sanak saudara laki-laki seayah;

g. Anak dari saudara laki-laki sekandung;

h. Anak dari saudara laki-laki seayah;

i. Paman kandung dari garis ayah;

j. Paman seayah dari garis ayah;

k. Anak laki-laki paman kandung dari garis ayah;

l. Anak laki-laki paman yang seayah dengan ayah.

(2) Ashabah bil ghairi adalah kelompok ashabah yang menjadi sebab orang lain untuk menrima waris, yaitu ahli waris perempuan yang menjadi ashabah karena ditarik oleh ahli waris laki-laki. Ashabah yang tergolong ke dalam ashabah bil ghairi di antaranya adalah:

(a) Anak perempuan yang berdampingan dengan anak laki- laki; dan

(b) Saudara perempuan yang berdampingan dengan saudara laki-laki.

(3) Ashabah ma‟al ghairi adalah kelompok ashabah dimana terdapat saudara perempuan yang menjadi ahli waris bersama dengan anak turun dari Pewaris. Ashabah ma‟al ghairi terdiri dari:

(a) Saudara perempuan sekandung;

(b) Saudara perempuan seayah; dan (c) Dzul arham (ahli waris dari garis ibu)

Thalib (1984: 68) menerangkan selain dari tiga golongan ahli waris diatas, terdapat pula golongan ahli waris yang diutamakan, yakni adanya golongan ahli waris yang lebih didulukan untuk menerima harta waris dari golongan ahli waris yang lain, menurut Al-Quran terdapat empat jenis golongan ahli waris yang termasuk

(15)

15

dalam golongan yang lebih diutamakan untuk menerima harta waris, mereka adalah:

(1) Golongan keutamaan 1

(a) Anak, dari laki-laki ataupun perempuan atau ahli waris yang menggantikan kedudukan dari anak (cucu) yang telah wafat;

dan

(b) Bapak, ibu, janda, ataupun duda apabila tidak memiliki anak (2) Golongan keutamaan 2

(a) Saudara/Saudari, dari laki-laki ataupun perempuan atau ahli waris yang menggantikan kedudukan saudara (keponakan);

dan

(b) Bapak, ibu, janda, ataupun duda apabila tidak memiliki saudara/saudari

(3) Golongan keutamaan 3

(a) Bapak dan ibu, apabila masih ada keluarga, bapak atau ibu apabila hanya tinggal salah satu, hal ini apabila tidak memiliki anak dan saudara/saudari sama sekali; dan

(b) Janda ataupun duda (4) Golongan keutamaan 4

(a) Janda ataupun duda; dan

(b) Ahli waris yang menggantikan kedudukan bapak dan ahli waris yang menggantikan kedudukan ibu

c. Hukum Waris Perdata Barat (BW)

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, aturan tentang hukum waris terdapat dalam bagian Buku II. Sejumlah 300 pasal dalam KUHPerdata ini mengatur tentang hukum kewarisan, mulai Pasal 830 sampai dengan Pasal 1130.

1) Pengertian Hukum Kewarisan BW

Sudarsono (1994:11) dalam bukunya menyatakan bahwa KUHPerdata tidak memberikan definisi dalam pasal-pasal tertentu tentang hukum kewarisan. Ringkasnya, pewarisan adalah suatu kegitaan yang hanya dapat dilangsungkan karena adanya peristiwa

(16)

16

hukum kematian. Pengertian tentang hukum kewarisan yang bisa didapatkan dari KUHPerdata adalah pewarisan hanya dapat dilangsungkan manakala terdapat seseorang yang meninggal dunia dan menyisakan harta warisan. Pasal 830 KUHPerdata menyebutkan bahwa proses pengalihan harta waris hanya dapat berlangsung karena sebab adanya kematian. Dari definisi tersebut, hal yang dapat diketahui adalah jika seseorang mati, maka semua hak dan kewajibannya akan dialihkan dan dipindahkan kepemilikannya kepada orang yang mewarisinya.

Wirjono Prodjodikoro (1995:8) memberi pengertian bahwa waris adalah persoalan tentang apa dan bagaimana beragam hak dan kewajiban yang berkenaan dengan harta kekayaan seseorang yang mati akan dialihkan kepada orang yang masih hidup (ahli warisnya).

Sedangkan menurut R. Santoso Pudjosubroto, hukum waris adalah segala ketentuan yang mengatur apa dan bagaimana semua hak dan semua kewajiban dari pewaris dapat diukur dengan uang dalam bidang hukum harta kekayaan (Suparman, 2007: 3). Adapun menurut Effendi Perangin (2008: 3), hukum warisan adalah segala ketetapan yang memberi aturan tentang pengoperan harta peninggalan seseorang yang meninggal dunia dan akibatnya terhadap ahli warisnya.

Berdasar pada pengertian tentang hukum waris yang telah disampaikan oleh beberapa ahli diatas, secara garis besar pengertian hukum kewarisan adalah seperangkat hukum yang mengatur tentang bagaimana pemindahan harta peninggalan seorang pewaris, termasuk didalamnya tentang segala akibatnya untuk para ahli warisnya. Hukum waris juga dapat diartikan sebagai seperangkat norma yang membuat aturan tentang harta kekayaan seseorang yang meninggaldunia, yakni mengenai peralihannya untuk ahli warisnya, baik yang berhubungan antara para ahli warisnya, ataupun yang berhubungan dengan pihak ketiga di luar ahli warisnya.

(17)

17 2) Syarat-Syarat Kewarisan

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk mendapat harta waris dalam KUHPerdata adalah sebagai berikut :

a) Syarat dan ketentuan yang berkaitan dengan pewaris. Proses peralihan waris hanya dapat terjadi apabila pewaris telah wafat/tiada, sebagai halnya yang ditentukan dalam Pasal 830 KUHPerdata. Wafatnya si pewaris bisa dibedakan menjadi 2 macam, yaitu:

(1) Wafatnya si pewaris diketahui secara benar dan pasti, yakni kematian pewaris yang terbukti secara panca indra bahwa ia telah benar-benar meningal dunia.

(2) Meningal dunia demi hukum yang ditentukan oleh putusan Pengadilan, yakni kematian pewaris tidak diketahui secara benar dan pasti sehingga tidak dapat dibuktikan bahwa pewaris sudah wafat.

b) Syarat dan ketentuan yang berkaitan dengan ahli waris. Semua orang yang memiliki hak atas harta kekayaan yang ditinggalkan oleh pewaris harus ada ataupun masih hidup saat pewaris mati.

Hidupnya ahli waris dibuktikan dengan :

(1) Hidup secara hakiki, yaitu ahli waris berdasarkan kenyataan memang benar dan pasti masih hidup, dan dapat dibuktikan secara panca indra.

(2) Hidup secara hukum, yaitu ahli waris berdasarkan kenyataan tidak diketahui secara benar dan pasti masih hidup.

Termasuk di dalamnya janin yang berada dalam rahim ibunya.

3) Unsur-Unsur Kewarisan

Terdapat 3 unsur utama dalam hukum waris KUHPerdata, diantaranya adalah:

a) Pewaris (efflater);

Menurut Amanat (2001: 6), Pasal 830 dalam KUHPerdata menyebutkan jika pewaris adalah seseorang yang

(18)

18

telah wafat. Hukum waris tidak menjadikan persoalan apabila seseorang yang telah wafat tersebut tidak meninggalkan harta kekayaan, oleh karena itu unsur yang mutlak harus terpenuhi untuk patut disebut sebagai seorang pewaris adalah ia telah wafat dan meninggalkan harta warisan.

Berdasarkan KUHPerdata, prinsip-prinsip dari proses pewarisan yaitu di antaranya:

(1) Terbukanya harta waris atau dapat diartikan bahwa harta peninggalan dapat diwariskan kepada ahli warisnya apabila si pewaris meniggal dunia (Pasal 830 KUHPerdata).

(2) Terdapat pertalian darah antara si pewaris dan si ahli waris, terkecuali bagi suami atau istri pewaris (Pasal 832 KUHPerdata) dengan ketentuan bahwa mereka masih berada dalam ikatan perkawinan ketika pewaris mati.

Apabila mereka telah berpisah pada saat pewaris mati, maka suami ataupun istri tersebut bukan lagi berkedudukan sebagai ahli waris.

b) Ahli Waris (erfgenaam);

Ahli waris ialah orang-orang yang memiliki hak untuk mendapatkan harta waris dari seorang pewaris. Pasal 832 KUHPerdata menyatakan ahli waris sebagai semua anggota keluarga satu darah yang sah secara hukum ataupun di luar perkahwinan, suami dan istri yang hidup bersama diluar perkahwinan, serta suami dan istri yang hidup paling lama.

Selanjutnya Pasal 833 KUHPerdata menyebutkan bahwa para ahli waris otomatis mendapatkan hak milik atas semua harta peninggalan, semua hak dan piutang dari Pewaris karena alasan hukum. Terdapat 2 syarat agar patut untuk menempati kedudukan ahli waris, diantaranya adalah:

(1) Ahli waris yang telah diatur dalam perundang-undangan.

Ahli waris diatur dalam Pasal 832 KUHPerdata. Ahli waris adalah seseorang yang memiliki hak untuk

(19)

19

mendapatkan harta waris sebagai halnya yang telah ditetapkan dalam aturan undang-undang yang masih berlaku. Orang yang memiliki hak untuk menjadi ahli waris adalah para anggota keluarga satu darah, baik sah secara hukum ataupun di luar perkawinan, beserta suami atau isteri yang hidup terlama.

(2) Ahli waris yang telah diatur dalam wasiat

Pasal 875 KUHPerdata menerangkan bahwa surat wasiat (testamen) adalah suatu akta yang berisikan pernyataan seseorang tentang segala apa yang menjadi kehendaknya setelah ia wafat, dan hanya ia yang dapat mencabutnya lagi. Ahli waris berdasarkan wasiat ialah seseorang yang mendapatkan harta warisan karena adanya wasiat (testamen) dari pewaris yang kemudian dituangkan ke dalam surat wasiat (Salim, 2002: 142).

Untuk memperoleh atau mendapatkan harta waris, syarat-syarat bagi para ahli waris wajib terpenuhi yakni:

(a) Pewaris telah wafat/tiada.

(b) Ahli waris harus ada atau masih hidup pada saat pewaris wafat/tiada.

(c) Ahli waris harus cakap dan memiliki hak untuk mewaris, artinya ia bukanlah seseorang yang ditentukan oleh perundang-undangan sebagai orang yang tidak layak untuk menjadi ahli waris.

c) Harta Warisan (Nalatenschap)

Menurut KUHPerdata harta warisan merupakan harta peninggalan yang berupa aktiva maupun pasiva atau segala hak beserta kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang akan dialihkan oleh pewaris yang telah meninggal dunia kepada para ahli warisnya baik itu ahli waris laki-laki ataupun perempuan (Hadikusuma, 1991: 10).

(20)

20

Itulah 3 unsur utama dari pewarisan, bila salah satu dari unsur-unsur tersebut tidak terpenuhi, maka proses peralihan harta waris pun tidak dapat dilaksanakan dan dioperkan.

4) Pengelompokan Ahli Waris beserta Bagian Masing-Masing

KUHPerdata menyebutkan bahwa terdapat 4 kelompok ahli waris yang secara berurutan memiliki hak atas harta yang diwarisan.

Pengertian ini berarti kelompok ahli waris yang lain tidak memiliki hak untuk memperoleh harta warisan apabila kelompok ahli waris sebelumnya masih ada. Ringkasnya apabila kelompok ahli waris kesatu ada, maka kelompok ahli waris kedua tidak memilliki hak untuk memperoleh harta waris begitu selanjutnya (Perangin, 2008:

29). Kelompok tersebut diperinci sebagai berikut:

(a) Kelompok Kesatu

Kelompok ahli waris kesatu mencakup di dalamnya suami, istri beserta anak-anak dan keturunannya. Hal ini diatur dalam Pasal 852 KUHPerdata. Berikut ini adalah gambar penjelasannya:

Gambar 2.1.

Bagan Pembagian Waris Kelompok Kesatu

Keterangan:

A = orang yang wafat

B = istri dari orang yang wafat

C, D, E = anak dari orang dan istri dari orang yang wafat F dan G = anak dari E, cucu dari orang dan istri dari orang yang

wafat

Istri dari orang yang wafat, anak dari orang yang wafat dan cucu dari orang yang wafat beserta keturunannya (jika ada) adalah ahli waris yang termasuk pada kelompok kesatu ini.

(21)

21

Termasuk juga kelompok ini semua anak turun dari C, D, E, F dan G. Berdasarkan aturan dalam Pasal 852 KUHPerdata, semua anak beserta keturunan dari seorang Pewaris memiliki kesamaan kedudukan untuk menerima warisan baik itu ahli waris laki-laki ataupun ahli waris perempuan, baik itu ahli waris paling tua ataupun ahli waris paling muda.

(b) Kelompok Kedua

Kelompok ahli waris kedua ini mencakup di dalamnya orangtua (bapak dan ibu) beserta saudara-saudari dan keturunannya. Berikut ini adalah bagan penjelasannya:

Gambar 2.2.

Bagan Pembagian Waris Kelompok Kedua

Keterangan:

A = orang yang wafat

B = bapak dari orang yang wafat C = ibu dari orang yang wafat

D dan E = saudara-saudari dari orang yang wafat

F dan G = anak dari E (keponakan dari orang yang wafat) Bapak, ibu, saudara-saudari beserta keturunannya dari orang yang wafat termasuk ke dalam ahli waris kelompok kedua ini. Aturan tentang pembagian ahli waris kelompok kedua ini berada dalam Pasal 854, 855, 856, 857 dan 859 KUHPerdata.

(c) Kelompok Ketiga

Kelompok ahli waris ketiga ini mencakup di dalamnya keluarga satu darah dalam garis vertikal ke atas setelah kedua orang tua baik dari kalangan keluarga bapak ataupun dari kalangan keluarga ibu. Hal tersebut termaktub di dalam Pasal 853 KUHPerdata. Berikut ini adalah bagan penjelasannya:

(22)

22

Gambar 2.3.

Bagan Pembagian Waris Kelompok Ketiga

Keterangan:

B = kakek dari orang yang wafat C = nenek dari orang yang wafat

D = nenek dari orang yang wafat dari garis ibu

Pasal 853 KUHPerdata mengatur bahwa pembagian harta warisnya harus melalui upaya kloving terlebih dulu (dibagi ke dalam 2 bagian), satu bagian diperuntukan bagi keluarga satu darah dalam garis satu ibu tegak lurus ke atas dan satu bagian lainnya diperuntukan bagi keluarga satu darah dalam garis satu bapak tegak lurus ke atas. Seluruh anggota keluarga satu darah dalam garis vertikal dengan derajat yang sama akan memperoleh bagian masing-masing yang sama besar.

(d) Kelompok Keempat

Kelompok ahli waris keempat ini mencakup anggota keluarga dari garis ke samping sampai dengan derajat ke-6.

Pasal 858 KUHPerdata mengatur bahwa apabila tidak mempunyai saudara laki-laki atau perempuan, dan tidak memiliki juga anggota keluarga satu darah dalam hubungan vertikal, oleh karenanya diberikan bagian setengah dari harta waris kepada keluarga satu darah yang masih hidup dalam hubungan vertikal. Kemudian bagian setengah yang lain menjadi bagian saudara dalam hubungan keluarga lainnya.

Berikut ini adalah bagan penjelasannya:

(23)

23

Gambar 2.4.

Bagan Pembagian Waris Kelompok Keempat

Keterangan:

A = orang yang wafat

B = paman orang yang wafat, dari garis ibu C = paman orang yang wafat, dari pihak ayah

Sebagaimana Kelompok Ketiga, pada Kelompok Keempat harta peninggalan pun wajib dibagi menjadi 2 bagian (kloving). Oleh karena itu untuk ahli waris Kelompok Ketiga dan Kelompok Keempat memungkinkan terjadinya mewaris bersama dengan syarat berbeda derajatnya. Bila dalam hubungan vertikal keluarga dari garis ibu sama sekali tidak memiliki orang yang berhak menerima warisan sampai derajat ke-6, maka separuh bagian dari harta waris akan diberikan kepada orang yang berhak menerima warisan sampai derajat keenam dari keluarga bapak, begitu pula sebaliknya.

5) Cara Pembagian Harta Warisan Berdasarkan BW

Seseorang yang bertindak selalu pewaris memiliki hak penuh atas pengaturan segala kegiatan yang berhubungan dalam pengurusan hartanya (Amanat, 2001: 66). Istilah bagian mutlak atau legitieme portie dalam hukum kewarisan berarti bagian dari harta kekayaan yang harus diterima oleh ahli waris yang berada dalam hubungan vertikal berdasarkan peraturan perundang-undangan (Perangin, 2008: 83). Pada Pasal 913 KUHPerdata si pewaris tidak diperkenankan untuk menentukan sesuatu, baik berupa hibah maupun wasiat kepada orang yang masih hidup. Beberapa pasal yang memiliki aturan perihal legitieme portie dituangkan ke dalam

(24)

24

Pasal 913, Pasal 914, Pasal 915, Pasal 916 dan seterusnya (Ramulyo, 2004: 65).

Untuk menetapkan besar ukuran bagian mutlak para ahli waris, pertama-tama hendaknya dijumlahkan semua harta yang ada pada waktu si pemberi atau pewaris meninggal dunia, kemudian ditambahkan jumlah barang-barang yang telah dihibahkan semasa ia masih hidup, dinilai menurut keadaan pada waktu meninggalnya si penghibah akhirnya, setelah dikurangkan utang-utang dan seluruh harta peninggalan itu, dihitunglah dan seluruh harta itu berapa bagian warisan yang dapat mereka tuntut, sebanding dengan derajat para legitimaris, dan dari bagian-bagian itu dipotong apa yang telah mereka terima dan yang meninggal, pun sekiranya mereka dibebaskan dan perhitungan kembali (Pasal 921 KUHPerdata).

6) Penghalang Terlaksananya Hak Waris

Menurut KUHPerdata terdapat beberapa hal yang dapat menggugurkan hak seseorang untuk mewarisi peninggalan si meninggal. Orang-orang yang tidak berhak mendapat warisan dari pewaris diatur dalam Pasal 838 adalah sebagai berikut:

(a) Mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat si yang meninggal.

(b) Mereka dengan putusan hakim pernah dipersalahakan karena memfitnah telah mengajukan pengaduan terhadap si yang meninggal, ialah suatu pengaduan telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.

(c) Mereka yang dengan kekerasan atau perbuatan tidak mencegah si yang meninggal untuk membuat atau mencabut surat wasiatnya.

(d) Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat si yang meninggal.

(25)

25

Akibat dari perbuatan ahli waris tersebut yang tidak pantas mengenai barang warisan adalah batal, dan bahwa seorang hakim dapat menyatakan tidak pantas itu dalam jabatannya dengan tidak perlu menunggu penuntunan dari pihak apapun juga. Pasal 839 KUHPerdata menyatakan bahwa ahli waris yang tidak mungkin untuk mendapat warisan karena tidak pantas, wajib mengembalikan segala hasil dan pendapatan yang telah dinikmatinya sejak terbukanya warisan itu. Akibat dari tidak patut mewarisi, maka warisan jatuh kepada ahli waris lainnya.

2. Upaya Penyelesaian Sengketa

Sengketa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat, pertengkaran, perbantahan, pertikaian, perselisihan, dan perkara (dalam pengadilan). Winardi (2007: 1) dalam bukunya menerangkan bahwa sengketa atau konflik ini berarti terdapat pertentangan antara subjek hukum yang satu terhadap subjek hukum yang lain, yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu dibutuhkan upaya-upaya untuk menyelesaikan sengketa baik yang dilakukan melalui jalur pengadilan (ligitasi) maupun melalui jalur di luar pengadilan (non ligitasi).

a. Upaya Penyelesaian Sengketa Secara Litigasi

Litigasi merupakan proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Litigasi atau litigation, seperti yang dijelaskan dalam Black’s Law Dictionary diartikan sebagai gugatan, tindakan hukum, termasuk semua proses hukum di dalamnya, menggugat di pengadilan untuk tujuan menegakkan hak atau mencari pemulihan, gugatan yudisial, sebuah kontroversi peradilan yang sesuai dengan hukum (Black, 1979, hlm 841). Selanjutnnya Suyud Margono (2004: 23) berpendapat bahwa Litigasi adalah proses gugatan atas suatu konflik yang diritualisasikan untuk menggantikan konflik sesungguhnya, dimana para pihak memberikan kepada seorang pengambil keputusan dua kesadaran yang

(26)

26

bertentangan. Litigasi menurut (Amriani 2012: 16) merupakan proses penyelesaian sengketa di pengadilan, di mana semua pihak yang bersengketa saling berhadapan satu sama lain untuk mempertahankan hak-haknya di muka pengadilan. Hasil akhir dari suatu penyelesaian sengketa melalui litigasi adalah putusan yang menyatakan menang-kalah (win-lose solution).

Adi Sulistiyono (2005: 5) berpendapat bahwa model penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi merupakan suatu pendekatan untuk mendapatkan keadilan melalui system perlawanan (the adversary system) dan menggunakan paksaan (coercion) untuk mengelola sengketa yang timbul dalam masyarakat serta menghasilkan suatu keputusan win- lose solution bagi pihak-pihak yang bersengketa. Suyud Margono (2004:25) menyebutkan bahwa tujuan utama dari upaya litigasi adalah memaksa pihak yang tidak memiliki sumber daya yang sama untuk menyerah dan menyelesaikan masalah menurut syarat-syarat yang menguntungkan pihak lain. Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa penyelesaian sengketa perdata di dalam pengadilan atau sering disebut juga dengan litigasi merupakan penyelesaian dengan menggunakan lembaga peradilan umum serta mengikuti prosedur/ tata cara pengadilan yang menangani sengketa perdata tersebut, dimana pada putusan akhir, akan terdapat pihak yang menang dan pihak yang kalah.

b. Upaya Penyelesaian Sengketa Secara Non Litigasi

Penyelesaian sengketa selain melalui jalur pengadilan atau litigasi, juga ada yang melalui jalur di luar pengadilan atau sering disebut dengan penyelesaian sengketa non-litigasi. Penyelesaian sengketa non-litigasi ini, secara hukum telah diatur tersendiri dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (selanjutnya disebut UU 30/1999). Pasal 1 ayat (10) UU 30/1999, merumuskan bahwa Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang dilakukan di luar pengadilan, melalui prosedur yang

(27)

27

disepakati para pihak, yakni dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Lebih lanjut pada Pasal 6 ayat (1) UU 30/1999 ini menjelaskan bahwa, sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak dengan didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri. Undang-Undang ini tidak seluruhnya memberikan pengertian atau batasan-batasan secara rinci dan jelas mengenai beberapa alternatif penyelesaian sengketa ini.

1) Konsultasi

Tidak ada suatu rumusan ataupun penjelasan yang diberikan dalam UU 30/1999 mengenai makna maupun arti dari konsultasi.

Black’s Law Dictionary sebagaimana dikutip oleh A. Rahmad Rosyadi memberi pengertian Konsultasi adalah aktivitas konsultasi atau perundingan seperti klien dengan penasehat hukumnya (Hak, 2011, hlm 156). Selain itu konsultasi juga dipahami sebagai pertimbangan para pihak terhadap suatu masalah. Konsultasi dalam prakteknya dapat berbentuk menyewa konsultan untuk dimintai pendapatnya dalam upaya menyelesaikan suatu masalah. Dalam hal ini konsultan tidak bersifat dominan, melainkan hanya memberikan pendapat hukum yang nantinya dapat dijadikan rujukan para pihak untuk menyelesaikan sengketanya (Hasan, 2007: 98). Konsultan akan memberikan pendapat hukumnya kepada klien sesuai dengan keperluan dan kebutuhan kliennya tersebut. Tidak ada suatu rumusan yang menyatakan sifat keterikatan atau kewajiban untuk memenuhi dan mengikuti pendapat yang disampaikan oleh pihak konsultan. Klien bebas untuk menentukan sendiri keputusan yang akan ia ambil untuk kepentingannya sendiri. Walau demikian tidak menutup kemungkinan klien akan dapat mempergunakan pendapat yang disampaikan oleh pihak konsultan tersebut (Hasan, 2009: 70).

2) Negosiasi (Perundingan)

Dalam Business Law, Principles, Cases and Policy yang disusun oleh Mark E. Roszkowski mendefinisikan negosiasi sebagai

(28)

28

proses yang dilakukan oleh dua belah pihak dengan kepentingan yang berbeda dengan mewakilkan negosiator yang telah ditunjuk untuk membuat suatu persetujuan secara kompromistis dan saling memberi kelonggaran demi tercapainya penyelesaian secara damai (Komarudin, 2014: 98). Menurut Joni Emerson (2001: 44), negosiasi adalah suatu upaya penyelesaian sengketa para pihak tanpa melalui proses pengadilan dengan tujuan mencapai kesepakatan bersama atas dasar kerja sama yang lebih harmonis dan kreatif. Menurutnya para pihak berhadapan langsung secara seksama dalam mendiskusikan permasalahan yang dihadapi secara kooperatif dan saling terbuka. Agar mempunyai kekuatan mengikat, kesepakatan damai melalui negosiasi ini wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam jangka waktu 30 hari terhitung sejak pendaftarannya sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (7) dan (8) Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

3) Mediasi (Penengahan)

Pengaturan mengenai mediasi dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 6 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) UU 30/1991.

Ketentuan mengenai mediasi yang diatur dalam Pasal 6 ayat (3) UU ini menjelaskan bahwa mediasi adalah suatu proses kegiatan sebagai kelanjutan dari gagalnya negosiasi yang dilakukan oleh para pihak.

Mediasi muncul sebagai jawaban atas ketidakpuasan yang berkembang pada sistem peradilan yang bermuara pada persoalan waktu, biaya, dan kemampuannya dalam menangani kasus yang kompleks. Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Pasal 1 ayat (7) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 mendefinisikan pengertian mediasi sebagai cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.

(29)

29

Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa ada unsur-unsur mendasar dari definisi mediasi, antara lain:

a) Adanya sengketa yang harus diselesaikan;

b) Penyelesaian dilaksanakan melalui perundingan;

c) Perundingan ditujukan untuk mencapai kesepakatan;

d) Adanya peranan mediator dalam membantu penyelesaian.

Sebagai suatu pihak di luar perkara, yang tidak memiliki kewenangan memaksa, mediator berkewajiban untuk bertemu atau mempertemukan para pihak yang bersengketa guna mencari masukan mengenai pokok persoalan yang dipersengketakan oleh para pihak. Berdasarkan pada informasi yang diperoleh tersebut, baru kemudian mediator dapat menentukan duduk perkara, kekurangan dan kelebihan dari masing-masing pihak yang bersengketa. Selanjutnya mediator mencoba menyusun proposal penyelesaian, yang kemudian dikomunikasikan kepada para pihak secara langsung. Mediator menurut Ahmadi Hasan (2007: 102) harus mampu menciptakan suasana dan kondisi yang kondusif bagi terciptanya kompromi di antara kedua belah pihak yang bersengketa untuk memperoleh hasil yang saling menguntungkan (win-win solution).

Mediasi akan berhasil apabila para pihak bertemu dan menyampaikan kepentingan masing-masing, yang kemudian bersepakat untuk menyelesaikan sengketa dengan cepat tanpa melalui jalur ligitasi yang akan memakan waktu dan biaya yang relatif cukup banyak. Sebaliknya mediasi tidak akan berhasil bila salah satu pihak mengajukan gugatan atau klaim yang sembrono, bila pihak lainnya merasa ia akan menang melalui ligitasi, bila salah satu menunda-nunda penyelesaian sengketa selama mungkin, dan bila salah satu pihak atau kedua belah pihak memang tidak beritikad baik (Komarudin, 2014, hlm 101-102).

(30)

30 4) Konsiliasi (Pemufakatan)

Di dalam kamus hukum, konsiliasi diartikan sebagai upaya untuk mempertemukan keinginan para pihak yang bersengketa agar mencapai kesepakatan untuk menyelesaikan sengketa secara kekeluargaan (M. Marwan dan Jimmy P., 2009: 376). Dalam konsiliasi, penengah akan bertindak menjadi konsiliator atas kesepakatan para pihak untuk mengusahakan solusi yang dapat diterima keduanya. Munir Fuady (2005: 315) menjelaskan konsiliasi mirip dengan mediasi, yaitu suatu proses penyelesaian sengketa untuk memecahkan masalah yang dibantu oleh pihak luar yang netral dan tidak memihak untuk menemukan solusi dalam menyelesaikan sengketa tersebut.

Pada dasarnya konsiliasi memiliki karakteristik yang hampir sama dengan mediasi, hanya saja konsiliator lebih aktif daripada mediator. Tujuan konsiliasi adalah untuk mewujudkan kesepakatan yang dapat diterima oleh para pihak yang bersengketa guna mengakhiri sengketa. Proses penyelesaian sengketanya dilakukan di luar pengadilan secara kooperatif. Konsiliator sebagai pihak ketiga yang netral bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk mencari penyelesaian. Konsiliator terlibat aktif dan mempunyai kewenangan untuk mengusulkan pendapat dan merancang syarat- syarat kesepakatan di antara para pihak. Selama perundingan berlangsung, konsiliator tidak mempunyai kewenangan dalam membuat keputusan (Sutiyoso, 2006: 93).

5) Penilaian Ahli

Bentuk lain dari upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang tersurat di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1990 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah penilaian ahli. Dalam Pasal 52 Undang-Undang ini dinyatakan bahwa “Para pihak dalam suatu perjanjian berhak untuk memohon pendapat yang mengikat dari lembaga arbitrase atas hubungan hukum tertentu dari suatu perjanjian”. Ketentuan ini pada dasarnya

(31)

31

merupakan pelaksanaan dari tugas lembaga arbitrase sebagaimana tersebut dalam pasal 1 ayat (8) UU a quo yang berbunyi:

Lembaga arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.

Pendapat para ahli ini diwujudkan untuk suatu hal yang bersifat teknis dan sesuai dengan bidang keahliannya.

B. Kajian Teori Hukum

Teori berguna untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi, dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.

Menurut Soerjono Soekanto (1986: 6) bahwa “kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktivitas, penelitian, dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori”.

1. Teori Pluralisme Hukum

Secara terminologi, pluralisme berasal dari bahasa Inggris pluralism, terdiri dari dua kata plural (beragam) dan isme (paham) yang berarti beragam pemahaman, atau bermacam-macam paham. Untuk itu kata ini termasuk kata yang ambigu (bermakna lebih dari satu). Pluralisme hukum secara umum didefinisikan sebagai situasi dimana terdapat dua atau lebih sistem hukum yang berada dalam suatu kehidupan sosial. Dipraktikkannya lebih dari satu hukum oleh masyarakat Indonesia (hukum Adat, Agama, dan Barat) inilah yang oleh para ahli hukum disebut sebagai Pluralisme Hukum (Nurtcahyo, 2010: 15).

Pluralisme hukum adalah sesuatu yang ada di segala situasi, sesuatu yang berlaku umum dalam kehidupan masyarakat, dimana setiap hukum dan institusi hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat, tidak tergabung dalam atau bersumber pada satu sistem tetapi bersumber pada tiap aktivitas pengaturan diri sendiri yang ada pada berbagai wilayah sosial yang beragam.

Aktivitas tersebut dapat saling mendukung, melengkapi, mengabaikan atau

(32)

32

mengacaukan satu dengan yang lain, sehingga “hukum” yang efektif secara nyata dalam masyarakat adalah hasil dari proses kompetisi, interaksi, negosiasi dan isolasi yang bersifat kompleks dan tidak dapat diprediksi (Nasution, 2005: 21). Jika keanekaragaman sistem hukum yang dianut oleh masyarakat di berbagai belahan penjuru dunia pada pertengahan abad ke-19 ditanggapi sebagai gejala evolusi hukum, maka keanekaragaman tersebut ditanggapi sebagai gejala pluralisme hukum pada abad ke-20. Kebutuhan untuk menjelaskan adanya gejala ini muncul pertama kali ketika banyak negara memerdekakan diri dari penjajahan dimana sistem hukum Eropa ditinggalkan di negara-negara tersebut. Para legal pluralist pada masa permulaan (1960-1970an) mengajukan konsep pluralisme hukum yang meskipun agak bervarisi, namun pada dasarnya mengacu pada adanya ko- eksistensi di antara beberapa sistem hukum yang berada dalam lapangan sosial yang sama. Hal ini adalah konsep yang dikemukakan oleh Sally Engle Merry (1988: 870), ia menyebutkan pluralisme hukum adalah “generally defined as a situation in which two or more legal systems coexist in the same social field”. Contoh lain adalah konsep klasik dari John Griffiths (1986:1), yang mengacu pada adanya lebih dari satu tatanan hukum dalam suatu arena sosial. “By „legal pluralism‟ I mean the presence in a social field of more than one legal order”.

Irianto (2003: 491) mengemukakan bahwa pengertian pluralisme hukum dicirikan sebagai adanya hukum negara di satu sisi, dan hukum rakyat di sisi yang lain. Hukum rakyat dalam hal ini adalah hukum yang pada prinsipnya tidak berasal dari negara, yaitu hukum adat, hukum agama, kebiasaan-kebiasaan atau kesepakatan dan konvensi sosial lain yang dipandang mengikat sebagai hukum. Pandangan pluralisme hukum dapat menjelaskan bagaimanakah hukum yang beranekaragam secara bersama- sama mengatur suatu bidang atau perkara kehidupan. Melalui pandangan pluralisme hukum, dapat diamati bagaimanakah semua sistem hukum tersebut beroperasi bersama-sama dalam kehidupan sehari-hari. Artinya, dalam konteks apakah orang memilih aturan hukum tertentu, dan dalam

(33)

33

konteks apa ia memilih aturan hukum lain atau kombinasi dari beberapa aturan hukum, dalam kehidupan sehari-hari atau penyelesaian sengketa.

Selanjutnya John Griffiths membedakan adanya dua macam pluralisme hukum yaitu: weak legal pluralism dan strong legal pluralism. Anne Griffiths (2005) menyebutnya dengan istilah “juristic” atau

“classic”. Menurut Griffiths (1986: 12) weak legal pluralism (pluralisme hukum yang lemah) dalam konteks ini adalah:

The ideology of legal centralism, law is and should be the law of the state, uniform for all persons, exclusive of all other law, and administered by a single set of state institutions. To the extent that other, lesser normative ordering, such as the church, the family, the voluntary association and the economic organization exist, they ought to be and in fact are hierarchically subordinate to the law and institutions of the state.”

Dengan kata lain, bentuk dari sentralisme hukum meskipun mengakui adanya pluralisme hukum, tetapi tetap berpegang pada kedaulatan hukum Negara, hukum-hukum yang lain diposisikan dalam hierarki di bawah hukum negara (Irianto, 2007:2). Contoh dari pandangan pluralisme hukum yang lemah adalah konsep yang diajukan oleh Hooker (1975: 3): “The term legal pluralism refers to the situation in which two or more laws interact”.

Meskipun mengakui adanya keanekaragaman sistem hukum, tetapi ia masih menekankan adanya pertentangan antara apa yang disebut sebagai municipal law sebagai sistem yang dominan (hukum negara), dengan servient law yang menurutnya inferior seperti adat kebiasaan dan hukum agama (Irianto, 2007:2).

Sementara itu konsep pluralisme hukum yang kuat (strong legal pluralism), yang menurut Griffiths (1986: 12) merupakan produk dari para ilmuwan sosial, adalah pengamatan ilmiah mengenai fakta adanya kemajemukan tatanan hukum yang terdapat di semua kelompok masyarakat.

Semua sistem hukum yang ada dipandang sama kedudukannya dalam masyarakat, tidak terdapat hierarkhi yang menunjukkan sistem hukum yang satu lebih tinggi dari yang lain. Anne Griffiths (2005) menyebutnya

“strong”, “deep”, atau “new” legal pluralism, yang mengatakan bahwa semua hukum yang hidup dalam arena sosial masyarakat itu, sama

(34)

34

keberlakuannya, tidak ada jaminan bahwa kedudukan hukum yang satu dipandang lebih tinggi daripada hukum yang lain. John Griffiths memasukkan pandangan beberapa ahli ke dalam pluralisme hukum yang kuat antara lain adalah teori dari Sally Falk Moore mengenai pembentukan aturan dengan disertai kekuatan pemaksa di dalam kelompok-kelompok sosial yang diberi label the semi autonomous social field. Dalam hal ini Griffiths mengadopsi pengertian pluralisme hukum dari Moore: “Legal pluralism refers to the normative heterogeneity attendant upon the fact that social action always takes place in a context of multiple, overlapping „semi- autonomous social field”. Sementara itu pengertian hukum dari Moore yang juga dikutipnya adalah: “ Law is the self-regulation of a „semi-autonomous social field” (Tamanaha, 1993, hlm 24-25).

Meskipun masih sering menjadi acuan, pandangan legal pluralist permulaan itu kemudian mendapat kritik terutama dari sarjana hukum konvensional (Kleinhans dan Macdonald, 1997, hal 25-46). Menurut Tamanaha (1993: 31) sebenarnya konsep pluralisme hukum bukanlah hal yang baru, karena Eugene Ehrlich telah membicarakan hal yang sama sejak lama, ketika ia berbicara mengenai konsep living law itu. Dalam salah satu kritiknya terhadap pandangan pluralisme hukum, Tamanaha yang lebih suka menggunakan istilah “rule system pluralism” untuk menggantikan istilah

“legal pluralism”. Ia mengatakan bahwa pandangan kaum legal pluralist cenderung menonjolkan adanya kontras antara hukum negara dan hukum rakyat. Sebaliknya, menurut kaum legal pluralist, justru sebagian kalangan sarjana hukum sendiri yang mengatakan bahwa karakteristik yang paling utama dari folk law adalah bahwa ia tidak diturunkan dari negara (Woodman, 1993: 2).

Kemudian berkembang konsep pluralisme hukum yang tidak lagi menonjolkan dikotomi antara sistem hukum negara di satu sisi dan sistem hukum rakyat di sisi yang lain. Franz von Benda Beckmann (1990: 2) mengatakan tidak cukup untuk sekedar menunjukkan bahwa di lapangan sosial tertentu terdapat keanekaragaman hukum, namun yang lebih penting adalah apakah yang terkandung dalam keanekaragaman hukum tersebut,

(35)

35

bagaimanakah sistem-sistem hukum tersebut saling berinteraksi (mempengaruhi) satu sama lain, dan bagaimanakah keberadaan dari sistem- sistem hukum yang beragam itu secara bersama-sama mengatur dalam suatu lapangan kajian tertentu. Pemikiran di atas sekaligus juga menunjukkan segi- segi metodologis, yaitu cara bagaimana melakukan kajian terhadap keberagaman sistem hukum dalam suatu lapangan kajian tertentu.

2. Teori Kesadaran Hukum

a. Pengertian Kesadaran Hukum

Kesadaran hukum adalah kesadaran diri sendiri tanpa tekanan, paksaan, atau perintah dari luar untuk tunduk pada hukum yang berlaku.

Layyin Mahfiana (2017: 11) Kesadaran hukum timbul karena adanya proses penerapan hukum positif tertulis. Kesadaran hukum merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada.

Penekanannya berada pada nilai-nilai tentang fungsi hukum, bukan pada suatu penilaian hukum terhadap kejadian-kejadian yang konkrit dalam masyarakat yang bersangkutan. Dengan berjalannya kesadaran hukum dalam masyarakat, maka hukum tidak perlu untuk menjatuhkan sanksi.

Sanksi hanya dijatuhkan pada warga yang benar-benar terbukti melanggar hukum. Pengertian kesadaran hukum menurut para ahli adalah sebagai berikut:

1) Krabbe menyatakan bahwa kesadaran hukum merupakan kesadaran atau nilai – nilai yang terdapat di dalam diri manusia, tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada (Ali dan Heryani, 2012: 141).

2) Soerjono Soekanto (2002: 215) menyatakan bahwa kesadaran hukum itu merupakan persoalan nilai-nilai yang terdapat pada diri manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapakan ada. Sebenarnya yang di tekankan adalah nilai-nilai tentang fungsi hukum dan bukan suatu penilaian hukum terhadap kejadian-kejadian yang konkrit dalam masyarakat yang bersangkutan.

(36)

36

3) Paul Scholten menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kesadaran hukum adalah kesadaran yang ada pada setiap manusia tentang apa hukum itu atau apa seharusya hukum itu, sebagai suatu kategori tertentu dari hidup kejiwaan kita yang mana kita membedakan antara hukum (recht) dan tidak hukum (onrecht), antara yang seyogyanya dilakukan dan tidak seyogyanya dilakukan (Mas, 2014: 88).

4) Sudikno Mertokusumo (1981: 13) menyatakan bahwa kesadaran hukum berarti kesadaran tentang apa yang seyogyannya kita lakukan atau perbuatan atau yang seyogyannya tidak kita lakukan atau perbuat terutama terhadap orang lain. Ini berarti kesadaran akan kewajiban kita masing – masing terhadap orang lain.

Kesadaran hukum merupakan konsepsi abstrak di dalam diri manusia tentang keserasian antara ketertiban dan ketentraman yang dikehendaki. Jadi kesadaran hukum dalam hal ini berarti kesadaran untuk bertindak sesuai dengan ketentuan hukum. Kesadaran hukum dalam masyarakat merupakan jembatan yang menghubungkan antara peraturan-peraturan dengan tingkah laku hukum anggota masyarakat.

Dari definisi para ahli diatas sudah cukup menjelaskan apa yang dimaksud kesadaran hukum. Paul Schotlen menambahkan kesadaran hukum yang dimiliki oleh warga masyarakat belum menjamin bahwa warga masyarakat tersebut akan menaati suatu aturan hukum atau perundang-undangan tersebut. Sudikno Mertokusumo juga menambahkan bahwa kesadaran apa itu hukum berarti kesadaran bahwa hukum merupakan perlindungan kepentingan manusia, karena jumlah manusia banyak, maka kepentinganyapun banyak dan beraenaka ragam pula serta bersifat dinamis. Oleh karena itu tidak mustahil akan terjadianya pertentangan antara kepentingan manusia.

b. Tahapan Kesadaran Hukum

Soerjono Soekanto (2002) mengemukakan empat indikator kesadaran hukum yang secara beruntun (tahap demi tahap) yaitu:

(37)

37

1) Pengetahuan tentang hukum merupakan pengetahuan seseorang berkenan dengan perilaku tertentu yang diatur oleh hukum tertulis yakni tentang apa yang dilarang dan apa yang diperbolehkan.

2) Pemahaman tentang hukum adalah sejumlah informasi yang dimiliki oleh seseorang mengenai isi dari aturan (tertulis), yakni mengenai isi, tujuan, dan manfaat dari peraturan tersebut.

3) Sikap terhadap hukum adalah suatu kecenderungan untuk menerima atau menolak hukum karena adanya penghargaan atau keinsyafan bahwa hukum tersebut bermanfaat bagi kehidupan manusia dalam hal ini sudah ada elemen apresiasi terhadap aturan hukum.

4) Perilaku hukum adalah tentang berlaku atau tidaknya suatu aturan hukum dalam masyarakat, jika berlaku suatu aturan hukum, sejauh mana berlakunya itu dan sejauh mana masyarakat mematuhinya.

Berkaitan dengan indikator diatas, Otje Salman (2007: 40-42) menjelaskan indikator seperti dibawah ini, antara lain:

1) Indikator yang pertama adalah pemahaman tentang hukum.

Seseorang mengetahui bahwa perilaku-perilaku tertentu telah diatur oleh hukum. Peraturan hukum yang dimaksud disini adalah hukum tertulis maupun hukum yang tidak tertulis, perilaku tersebut menyangkut perilaku yang dilarang oleh hukum maupun perilaku yang diperbolehkan oleh hukum.

2) Indikator yang kedua adalah pemahaman hukum. Sejumlah informasi yang dimiliki seseorang mengenai isi peraturan dari suatu hukum tertentu. Pemahaman hukum disini adalah suatu pengertian terhadap isi dan tujuan suatu peraturan dalam hukum tertentu serta manfaatnya bagi pihak-pihak yang kehidupannya diatur oleh peraturan tersebut. Seorang warga masyarakat mempunyai pengetahuan dan pemahamnnya masing-masing mengenai aturan- aturan tertentu.

3) Indikator yang ketiga adalah sikap hukum. Suatu kecenderungan untuk menerima hukum karena adanya penghargaan terhadap hukum sebagai sesuatu yang bermanfaat atau mengguntungkan jika hukum

(38)

38

tersebut ditaati. Seseorang disini yang nantinya akan mempunyai kecenderungan untuk mengadakan penilaian tertentu terhadap hukum.

4) Indikator yang keempat adalah pola perilaku hukum. Seseorang atau warga masyarakat mematuhi peraturan yang berlaku. Indikator ini merupakan indikator yang paling utama karena dalam indikator tersebut dapat dilihat apakah suatu peraturan berlaku atau tidak dalam masyarakat, sehingga seberapa jauh kesadaran hukum dalam masyarakat dapat dilihat dari pola perilaku hukum.

c. Syarat dan Prosedur Hukum

Untuk mengupayakan masyarakat paham dengan adanya hukum yang mengatur tentang berbagai macam peraturan, maka perlu adanya syarat-syarat dan prosedur hukum agar kesadaran hukum bisa berjalan sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Prof. Soerjono Soekanto.

Syarat-syarat dan prosedur hukum tersebut adalah sebagai berikut:

1) Kesadaran hukum harus didasari pengetahuan apa itu hukum.

Apabila seseorang tidak mengetahui apa itu hukum, tentu tidak bisa menjalankan hukum sebagaimana mestinya. Masyarakat mengerti bahwa hukum adalah hal yang penting karena hukum dapat melindungi masyarakat dari berbagai macam hal yang berpotensi menyalahi hukum.

2) Kesadaran tentang pemahaman apa itu hukum, menjadi penting ketika seseorang hanya tahu saja tanpa memahami sepenuhnya. Di khawatirkan nantinya akan terjadi salah paham yang mengakibatkan hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya. Pemahaman hukum itu menjadi satu hal yang harus dimiliki oleh setiap individu yang menjalankan hukum.

3) Kesadaran tentang kewajiban hukum kita terhadap orang lain, adalah ketika seseorang tahu apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan kepada orang lain, sadar bahwa akan ada ganjaran dari setiap hal yang ia lakukan, baik ataupun tidak baik, maka ia akan secara otomatis memiliki kesadaran hukum.

Referensi

Dokumen terkait

1) Membuat perencanaan yang matang, kemudian menetapkan kebijakan pembangunan instalasi komputer yang sesuai dengan visi dan misi perusahaan. 2) Mensosialisasikan

Memberi kuasa dan kewenangan penuh kepada Dewan Komisaris Perseroan untuk menetapkan jumlah total gaji dan tunjangan yang akan dibayar oleh Perseroan kepada para

Edukasi Kreatif yang ditawarkan dari komik kesatria bela negara merancang pembaca webtoon untuk lebih dekat dengan cerita dan karakter karena lebih manusiawi,

Subjek dalam penelitian ini adalah guru dan siswa kelas IV Sekolah Dasar Muhammadiyah 036 Kecamatan Tambang Kabupaten Kampar tahun ajaran 2014-2015 dengan jumlah siswa

Pemerintahan Saibatin Marga Belunguh dalam hal ini Suntan sebagai Kepala Pemerintahan Adat mempunyai peranan yang sangat besar dalam Pemerintahan Desa Bedudu yaitu

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi keuntungan industri rumah tangga ikan asin di Desa Sedinginan Kecamatan Tanah Putih Kabupaten Rokan Hilir ini yaitu, baik

Hal yang harus dilakukan dalam kegiatan penilaian proses pada pembelajaran seni adalah guru dapat menentukan kondisi siswa yang memiliki prestasi menurut

Laporan laba rugi konsolidasi untuk sembilan bulan yang berakhir pada tanggal 30 September 2010 mencakup akun dari PT Matahari Department Store Tbk (Anak Perusahaan) dari tanggal