• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Teori Hukum

Dalam dokumen BAB II TINJAUAN PUSTAKA (Halaman 31-39)

Teori berguna untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi, dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.

Menurut Soerjono Soekanto (1986: 6) bahwa “kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktivitas, penelitian, dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori”.

1. Teori Pluralisme Hukum

Secara terminologi, pluralisme berasal dari bahasa Inggris pluralism, terdiri dari dua kata plural (beragam) dan isme (paham) yang berarti beragam pemahaman, atau bermacam-macam paham. Untuk itu kata ini termasuk kata yang ambigu (bermakna lebih dari satu). Pluralisme hukum secara umum didefinisikan sebagai situasi dimana terdapat dua atau lebih sistem hukum yang berada dalam suatu kehidupan sosial. Dipraktikkannya lebih dari satu hukum oleh masyarakat Indonesia (hukum Adat, Agama, dan Barat) inilah yang oleh para ahli hukum disebut sebagai Pluralisme Hukum (Nurtcahyo, 2010: 15).

Pluralisme hukum adalah sesuatu yang ada di segala situasi, sesuatu yang berlaku umum dalam kehidupan masyarakat, dimana setiap hukum dan institusi hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat, tidak tergabung dalam atau bersumber pada satu sistem tetapi bersumber pada tiap aktivitas pengaturan diri sendiri yang ada pada berbagai wilayah sosial yang beragam.

Aktivitas tersebut dapat saling mendukung, melengkapi, mengabaikan atau

32

mengacaukan satu dengan yang lain, sehingga “hukum” yang efektif secara nyata dalam masyarakat adalah hasil dari proses kompetisi, interaksi, negosiasi dan isolasi yang bersifat kompleks dan tidak dapat diprediksi (Nasution, 2005: 21). Jika keanekaragaman sistem hukum yang dianut oleh masyarakat di berbagai belahan penjuru dunia pada pertengahan abad ke-19 ditanggapi sebagai gejala evolusi hukum, maka keanekaragaman tersebut ditanggapi sebagai gejala pluralisme hukum pada abad ke-20. Kebutuhan untuk menjelaskan adanya gejala ini muncul pertama kali ketika banyak negara memerdekakan diri dari penjajahan dimana sistem hukum Eropa ditinggalkan di negara-negara tersebut. Para legal pluralist pada masa permulaan (1960-1970an) mengajukan konsep pluralisme hukum yang meskipun agak bervarisi, namun pada dasarnya mengacu pada adanya ko-eksistensi di antara beberapa sistem hukum yang berada dalam lapangan sosial yang sama. Hal ini adalah konsep yang dikemukakan oleh Sally Engle Merry (1988: 870), ia menyebutkan pluralisme hukum adalah “generally defined as a situation in which two or more legal systems coexist in the same social field”. Contoh lain adalah konsep klasik dari John Griffiths (1986:1), yang mengacu pada adanya lebih dari satu tatanan hukum dalam suatu arena sosial. “By „legal pluralism‟ I mean the presence in a social field of more than one legal order”.

Irianto (2003: 491) mengemukakan bahwa pengertian pluralisme hukum dicirikan sebagai adanya hukum negara di satu sisi, dan hukum rakyat di sisi yang lain. Hukum rakyat dalam hal ini adalah hukum yang pada prinsipnya tidak berasal dari negara, yaitu hukum adat, hukum agama, kebiasaan-kebiasaan atau kesepakatan dan konvensi sosial lain yang dipandang mengikat sebagai hukum. Pandangan pluralisme hukum dapat menjelaskan bagaimanakah hukum yang beranekaragam secara bersama-sama mengatur suatu bidang atau perkara kehidupan. Melalui pandangan pluralisme hukum, dapat diamati bagaimanakah semua sistem hukum tersebut beroperasi bersama-sama dalam kehidupan sehari-hari. Artinya, dalam konteks apakah orang memilih aturan hukum tertentu, dan dalam

33

konteks apa ia memilih aturan hukum lain atau kombinasi dari beberapa aturan hukum, dalam kehidupan sehari-hari atau penyelesaian sengketa.

Selanjutnya John Griffiths membedakan adanya dua macam pluralisme hukum yaitu: weak legal pluralism dan strong legal pluralism. Anne Griffiths (2005) menyebutnya dengan istilah “juristic” atau

“classic”. Menurut Griffiths (1986: 12) weak legal pluralism (pluralisme hukum yang lemah) dalam konteks ini adalah:

The ideology of legal centralism, law is and should be the law of the state, uniform for all persons, exclusive of all other law, and administered by a single set of state institutions. To the extent that other, lesser normative ordering, such as the church, the family, the voluntary association and the economic organization exist, they ought to be and in fact are hierarchically subordinate to the law and institutions of the state.”

Dengan kata lain, bentuk dari sentralisme hukum meskipun mengakui adanya pluralisme hukum, tetapi tetap berpegang pada kedaulatan hukum Negara, hukum-hukum yang lain diposisikan dalam hierarki di bawah hukum negara (Irianto, 2007:2). Contoh dari pandangan pluralisme hukum yang lemah adalah konsep yang diajukan oleh Hooker (1975: 3): “The term legal pluralism refers to the situation in which two or more laws interact”.

Meskipun mengakui adanya keanekaragaman sistem hukum, tetapi ia masih menekankan adanya pertentangan antara apa yang disebut sebagai municipal law sebagai sistem yang dominan (hukum negara), dengan servient law yang menurutnya inferior seperti adat kebiasaan dan hukum agama (Irianto, 2007:2).

Sementara itu konsep pluralisme hukum yang kuat (strong legal pluralism), yang menurut Griffiths (1986: 12) merupakan produk dari para ilmuwan sosial, adalah pengamatan ilmiah mengenai fakta adanya kemajemukan tatanan hukum yang terdapat di semua kelompok masyarakat.

Semua sistem hukum yang ada dipandang sama kedudukannya dalam masyarakat, tidak terdapat hierarkhi yang menunjukkan sistem hukum yang satu lebih tinggi dari yang lain. Anne Griffiths (2005) menyebutnya

“strong”, “deep”, atau “new” legal pluralism, yang mengatakan bahwa semua hukum yang hidup dalam arena sosial masyarakat itu, sama

34

keberlakuannya, tidak ada jaminan bahwa kedudukan hukum yang satu dipandang lebih tinggi daripada hukum yang lain. John Griffiths memasukkan pandangan beberapa ahli ke dalam pluralisme hukum yang kuat antara lain adalah teori dari Sally Falk Moore mengenai pembentukan aturan dengan disertai kekuatan pemaksa di dalam kelompok-kelompok sosial yang diberi label the semi autonomous social field. Dalam hal ini Griffiths mengadopsi pengertian pluralisme hukum dari Moore: “Legal pluralism refers to the normative heterogeneity attendant upon the fact that social action always takes place in a context of multiple, overlapping „semi-autonomous social field”. Sementara itu pengertian hukum dari Moore yang juga dikutipnya adalah: “ Law is the self-regulation of a „semi-autonomous social field” (Tamanaha, 1993, hlm 24-25).

Meskipun masih sering menjadi acuan, pandangan legal pluralist permulaan itu kemudian mendapat kritik terutama dari sarjana hukum konvensional (Kleinhans dan Macdonald, 1997, hal 25-46). Menurut Tamanaha (1993: 31) sebenarnya konsep pluralisme hukum bukanlah hal yang baru, karena Eugene Ehrlich telah membicarakan hal yang sama sejak lama, ketika ia berbicara mengenai konsep living law itu. Dalam salah satu kritiknya terhadap pandangan pluralisme hukum, Tamanaha yang lebih suka menggunakan istilah “rule system pluralism” untuk menggantikan istilah

“legal pluralism”. Ia mengatakan bahwa pandangan kaum legal pluralist cenderung menonjolkan adanya kontras antara hukum negara dan hukum rakyat. Sebaliknya, menurut kaum legal pluralist, justru sebagian kalangan sarjana hukum sendiri yang mengatakan bahwa karakteristik yang paling utama dari folk law adalah bahwa ia tidak diturunkan dari negara (Woodman, 1993: 2).

Kemudian berkembang konsep pluralisme hukum yang tidak lagi menonjolkan dikotomi antara sistem hukum negara di satu sisi dan sistem hukum rakyat di sisi yang lain. Franz von Benda Beckmann (1990: 2) mengatakan tidak cukup untuk sekedar menunjukkan bahwa di lapangan sosial tertentu terdapat keanekaragaman hukum, namun yang lebih penting adalah apakah yang terkandung dalam keanekaragaman hukum tersebut,

35

bagaimanakah sistem-sistem hukum tersebut saling berinteraksi (mempengaruhi) satu sama lain, dan bagaimanakah keberadaan dari sistem-sistem hukum yang beragam itu secara bersama-sama mengatur dalam suatu lapangan kajian tertentu. Pemikiran di atas sekaligus juga menunjukkan segi-segi metodologis, yaitu cara bagaimana melakukan kajian terhadap keberagaman sistem hukum dalam suatu lapangan kajian tertentu.

2. Teori Kesadaran Hukum

a. Pengertian Kesadaran Hukum

Kesadaran hukum adalah kesadaran diri sendiri tanpa tekanan, paksaan, atau perintah dari luar untuk tunduk pada hukum yang berlaku.

Layyin Mahfiana (2017: 11) Kesadaran hukum timbul karena adanya proses penerapan hukum positif tertulis. Kesadaran hukum merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada.

Penekanannya berada pada nilai-nilai tentang fungsi hukum, bukan pada suatu penilaian hukum terhadap kejadian-kejadian yang konkrit dalam masyarakat yang bersangkutan. Dengan berjalannya kesadaran hukum dalam masyarakat, maka hukum tidak perlu untuk menjatuhkan sanksi.

Sanksi hanya dijatuhkan pada warga yang benar-benar terbukti melanggar hukum. Pengertian kesadaran hukum menurut para ahli adalah sebagai berikut:

1) Krabbe menyatakan bahwa kesadaran hukum merupakan kesadaran atau nilai – nilai yang terdapat di dalam diri manusia, tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada (Ali dan Heryani, 2012: 141).

2) Soerjono Soekanto (2002: 215) menyatakan bahwa kesadaran hukum itu merupakan persoalan nilai-nilai yang terdapat pada diri manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapakan ada. Sebenarnya yang di tekankan adalah nilai-nilai tentang fungsi hukum dan bukan suatu penilaian hukum terhadap kejadian-kejadian yang konkrit dalam masyarakat yang bersangkutan.

36

3) Paul Scholten menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kesadaran hukum adalah kesadaran yang ada pada setiap manusia tentang apa hukum itu atau apa seharusya hukum itu, sebagai suatu kategori tertentu dari hidup kejiwaan kita yang mana kita membedakan antara hukum (recht) dan tidak hukum (onrecht), antara yang seyogyanya dilakukan dan tidak seyogyanya dilakukan (Mas, 2014: 88).

4) Sudikno Mertokusumo (1981: 13) menyatakan bahwa kesadaran hukum berarti kesadaran tentang apa yang seyogyannya kita lakukan atau perbuatan atau yang seyogyannya tidak kita lakukan atau perbuat terutama terhadap orang lain. Ini berarti kesadaran akan kewajiban kita masing – masing terhadap orang lain.

Kesadaran hukum merupakan konsepsi abstrak di dalam diri manusia tentang keserasian antara ketertiban dan ketentraman yang dikehendaki. Jadi kesadaran hukum dalam hal ini berarti kesadaran untuk bertindak sesuai dengan ketentuan hukum. Kesadaran hukum dalam masyarakat merupakan jembatan yang menghubungkan antara peraturan-peraturan dengan tingkah laku hukum anggota masyarakat.

Dari definisi para ahli diatas sudah cukup menjelaskan apa yang dimaksud kesadaran hukum. Paul Schotlen menambahkan kesadaran hukum yang dimiliki oleh warga masyarakat belum menjamin bahwa warga masyarakat tersebut akan menaati suatu aturan hukum atau perundang-undangan tersebut. Sudikno Mertokusumo juga menambahkan bahwa kesadaran apa itu hukum berarti kesadaran bahwa hukum merupakan perlindungan kepentingan manusia, karena jumlah manusia banyak, maka kepentinganyapun banyak dan beraenaka ragam pula serta bersifat dinamis. Oleh karena itu tidak mustahil akan terjadianya pertentangan antara kepentingan manusia.

b. Tahapan Kesadaran Hukum

Soerjono Soekanto (2002) mengemukakan empat indikator kesadaran hukum yang secara beruntun (tahap demi tahap) yaitu:

37

1) Pengetahuan tentang hukum merupakan pengetahuan seseorang berkenan dengan perilaku tertentu yang diatur oleh hukum tertulis yakni tentang apa yang dilarang dan apa yang diperbolehkan.

2) Pemahaman tentang hukum adalah sejumlah informasi yang dimiliki oleh seseorang mengenai isi dari aturan (tertulis), yakni mengenai isi, tujuan, dan manfaat dari peraturan tersebut.

3) Sikap terhadap hukum adalah suatu kecenderungan untuk menerima atau menolak hukum karena adanya penghargaan atau keinsyafan bahwa hukum tersebut bermanfaat bagi kehidupan manusia dalam hal ini sudah ada elemen apresiasi terhadap aturan hukum.

4) Perilaku hukum adalah tentang berlaku atau tidaknya suatu aturan hukum dalam masyarakat, jika berlaku suatu aturan hukum, sejauh mana berlakunya itu dan sejauh mana masyarakat mematuhinya.

Berkaitan dengan indikator diatas, Otje Salman (2007: 40-42) menjelaskan indikator seperti dibawah ini, antara lain:

1) Indikator yang pertama adalah pemahaman tentang hukum.

Seseorang mengetahui bahwa perilaku-perilaku tertentu telah diatur oleh hukum. Peraturan hukum yang dimaksud disini adalah hukum tertulis maupun hukum yang tidak tertulis, perilaku tersebut menyangkut perilaku yang dilarang oleh hukum maupun perilaku yang diperbolehkan oleh hukum.

2) Indikator yang kedua adalah pemahaman hukum. Sejumlah informasi yang dimiliki seseorang mengenai isi peraturan dari suatu hukum tertentu. Pemahaman hukum disini adalah suatu pengertian terhadap isi dan tujuan suatu peraturan dalam hukum tertentu serta manfaatnya bagi pihak-pihak yang kehidupannya diatur oleh peraturan tersebut. Seorang warga masyarakat mempunyai pengetahuan dan pemahamnnya masing-masing mengenai aturan-aturan tertentu.

3) Indikator yang ketiga adalah sikap hukum. Suatu kecenderungan untuk menerima hukum karena adanya penghargaan terhadap hukum sebagai sesuatu yang bermanfaat atau mengguntungkan jika hukum

38

tersebut ditaati. Seseorang disini yang nantinya akan mempunyai kecenderungan untuk mengadakan penilaian tertentu terhadap hukum.

4) Indikator yang keempat adalah pola perilaku hukum. Seseorang atau warga masyarakat mematuhi peraturan yang berlaku. Indikator ini merupakan indikator yang paling utama karena dalam indikator tersebut dapat dilihat apakah suatu peraturan berlaku atau tidak dalam masyarakat, sehingga seberapa jauh kesadaran hukum dalam masyarakat dapat dilihat dari pola perilaku hukum.

c. Syarat dan Prosedur Hukum

Untuk mengupayakan masyarakat paham dengan adanya hukum yang mengatur tentang berbagai macam peraturan, maka perlu adanya syarat-syarat dan prosedur hukum agar kesadaran hukum bisa berjalan sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Prof. Soerjono Soekanto.

Syarat-syarat dan prosedur hukum tersebut adalah sebagai berikut:

1) Kesadaran hukum harus didasari pengetahuan apa itu hukum.

Apabila seseorang tidak mengetahui apa itu hukum, tentu tidak bisa menjalankan hukum sebagaimana mestinya. Masyarakat mengerti bahwa hukum adalah hal yang penting karena hukum dapat melindungi masyarakat dari berbagai macam hal yang berpotensi menyalahi hukum.

2) Kesadaran tentang pemahaman apa itu hukum, menjadi penting ketika seseorang hanya tahu saja tanpa memahami sepenuhnya. Di khawatirkan nantinya akan terjadi salah paham yang mengakibatkan hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya. Pemahaman hukum itu menjadi satu hal yang harus dimiliki oleh setiap individu yang menjalankan hukum.

3) Kesadaran tentang kewajiban hukum kita terhadap orang lain, adalah ketika seseorang tahu apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan kepada orang lain, sadar bahwa akan ada ganjaran dari setiap hal yang ia lakukan, baik ataupun tidak baik, maka ia akan secara otomatis memiliki kesadaran hukum.

39

4) Kesadaran dalam menerima hukum. Meskipun seseorang tahu dan paham akan hukum serta mengerti kewajiban hukum terhadap orang lain, apabila ia tidak mau menerima hukum tersebut, maka kesadaran hukum tidak akan terwujud dan hukum tidak akan bisa berjalan sebagaimana mestinya. Menerima hukum adalah suatu aturan yang pasti yang harus ditaati jika hukum ingin berjalan.

Membuat masyarakat bisa menerima hukum memang tidak mudah, akan tetapi pengajaran-pengajaran secara berkala memberikan efek peneriman hukum dalam masyarakat itu sendiri.

Dalam dokumen BAB II TINJAUAN PUSTAKA (Halaman 31-39)

Dokumen terkait