II - 1 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Umum
Evaluasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti penilaian atau memberi penilaian. Pengertian evaluasi berdasarkan Ensiklopedi Nasional Indonesia adalah penilaian, pengukuran, penentuan nilai, pertimbangan dan kritik mengenai bobot atau kualitas dari suatu pekerjaan.
Sedangkan pengertian evaluasi pekerjaan adalah proses yang bersistem dan objektif yang menganalisis sifat dari ciri pekerjaan serta menentukan nilainya dalam kerangka keseluruhan pekerjaan di dalam perusahaan atau organisasi.
Evaluasi suatu proyek pada dasarnya adalah suatu pemeriksaan yang sistematis terhadap masa lampau yang akan digunakan untuk meramalkan, memperhitungkan, dan mangendalikan hari depan secara lebih baik. Dengan demikian evaluasi lebih bersifat melihat kedepan dari pada mencari kesalahan-kesalahan dimasa lalu, dan diarahkan pada upaya peningkatan kesempatan demi keberhasilan proyek. Atau dengan kata lain, tujuan evaluasi adalah untuk menyempurnakan proyek dimasa mendatang dan lingkupnya lebih luas daripada monitoring dan pelaporan.
Berdasarkan pada waktu pelaksanaanya terdapat dua macam evaluasi, evaluasi summatif dilakukan setelah proyek berakhir dan evaluasi formatif yang dilaksanakan pada saat proyek sedang berjalan. Evaluasi
II - 2 summatif bermanfaat untuk digunakan merumuskan kebijaksanaan dan perencanaan proyek-proyek serupa lainnya dimasa mendatang, sedangkan evaluasi formatif digunakan untuk keperluan penyesuaian dan perencanaan ulang atas proyek yang sedang berjalan. Dalam penelitian ini dilakukan adalah evaluasi formatif.
2.2. Kecelakaan Kerja
Setiap tahun ribuan kecelakaan kerja terjadi di tempat kerja yang menimbulkan korban jiwa, kerusakan materi dan gangguan produksi.
Berdasarkan data dari metrotvnews.com, jumlah angka kecelakaan kerja pada tahun 2011 tercatat 96.314 kasus dengan korban meninggal 2.144 orang dan mengalami cacat sebanyak 42 orang. Diperkirakan, kerugian akibat kecelakaan mencapai Rp 280 triliun per tahun. Kecelakaan kerja didominasi oleh sektor jasa konstruksi
Kecelakaan kerja sebetulnya bisa dicegah bila setiap orang awas terhadap faktor-faktor unsafe condition maupun unsafe action disekitar lingkungan tempat bekerja. Logikanya, pekerja yang tidak dilengkapi alat pengaman diri dan tempat kerja yang tidak aman bagi keselamatan kerja cenderung mengakibatkan terjadinya kecelakaan kerja. Terlebih lagi bila dalam unsafe condition tersebut, pekerja melakukan tindakan yang tidak aman (unsafe atc) bagi dirinya maupun rekan sekerjanya.
Kecelakaan kerja yang terjadi pada proyek konstruksi dapat menimbulkan kerugian terhadap pekerja dan kontraktor. Secara umum, kecelakaan kerja itu dapat disebabkan oleh empat elemen yakni manusia,
II - 3 peralatan, manajemen, dan lingkungan kerja. Beberapa hasil riset mengatakan bahwa faktor manusia adalah faktor kecelakaan yang paling sering terjadi. Hal ini terutama disebabkan oleh kurangnya kesadaran pekerja akan pentingnya keselamatan kerja.
Dalam proses terjadinya kecelakaan terkait empat unsur produksi yaitu People, Equipment, Material, Environment (PEME) yang saling berinteraksi dan bersama-sama menghasilkan suatu produk atau jasa.
Kecelakaan terjadi dalam proses tersebut yaitu ketika terjadi kontak antara manusia dengan alat, material dan lingkungan dimana dia berada.
Menurut Soehatman Ramli (2010) kecelakaan dapat terjadi karena kondisi alat atau material yang kurang baik atau berbahaya. Kecelakaan juga dapat dipicu oleh kondisi lingkungan kerja yang tidak aman seperti ventilasi, penerangan, kebisingan atau suhu yang tidak aman melampaui batas. Disamping itu, kecelakaan juga dapat bersumber dari manusia yang melakukan kegiatan di tempat kerja dan menangani alat atau material.
Dewasa ini banyak dikembangkan konsep kecelakaan oleh para ahli K3 seperti Heinrich, Frank Birds, James Reason, Petersen dan lainnya.
Mereka mengemukakan berbagai teori kecelakaan mulai dari faktor manusia, manajemen, sistem, dan perilaku. Menurut Frank Bird yang dikutip dari Soehatman Ramli (2010), kecelakaan terjadi karena adanya kontak dengan suatu sumber energi seperti mekanis, kimia, kinetik, fisis yang dapat mengakibatkan cedera pada manusia, alat, atau lingkungan.
II - 4 Faktor penyebab kecelakaan dikemukakan oleh H.W. Heinrich (1930) yang dikutip dari Soehatman Ramli (2010) dengan teori dominonya yang menggolongkan atas :
 Tindakan tidak aman dari manusia (unsafe act), misalnya tidak mau menggunakan alat keselamatan dalam bekerja, melepas alat pengaman atau bekerja sambil bergurau. Tindakan ini dapat membahayakan dirinya atau orang lain yang dapat berakhir dengan kecelakaan.
 Kondisi tidak aman (unsafe condition) yaitu kondisi di lingkungan kerja baik alat, material atau lingkungan yang tidak aman dan membahayakan. Sebagai contoh lantai yang licin, tangga yang rusak dan patah, penerangan yang kurang baik atau kebisingan yang melampaui batas aman yang diperkenankan.
2.3. Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Keselamatan kerja merupakan bagian yang penting dalam pelaksanaan proyek konstruksi, dimana keselamatan kerja perlu mendapat perhatian yang sama dengan kualitas, jadwal, dan biaya. Keterlibatan secara aktif dari manajemen perusahaan sangat penting artinya bagi terciptanya perbuatan dan kondisi lingkungan yang aman. Manajemen perusahaan perlu membuat program keselamatan kerja (safety program) dan mempunyai komitmen untuk menjalankan program tersebut demi terciptanya keamanan di lokasi proyek.
Berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor. PER.
05/MEN/1996 tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan
II - 5 Kerja Bab I, pengertian dari Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah bagian dari sistem manajemen secara keseluruhan yang meliputi struktur organisasi, perencanaan, tanggung jawab, pelaksanaan, prosedur, proses, dan sumber daya yang dibutuhkan bagi pengembangan, penerapan, pencapaian, pengkajian, dan pemeliharaan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dalam rangka pengendalian risiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien, dan produktif.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1970 Tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja yaitu:
1. Secara filosofi didefenisikan sebagai suatu bentuk upaya dan pemikiran dalam menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik jasmani maupun rohani manusia pada umumnya dan tenaga kerja pada khususnya serta hasil karya dan budayanya dalam rangka menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan pancasila.
2. Secara keilmuan keselamatan dan kesehatan kerja didefenisikan sebagai ilmu pengetahuan dan penerapan teknologi dalam usahanya sebagai pencegah kecelakaan kerja, dan penyakit akibat kerja.
3. Dalam OHSAS 18001, keselamatan dan kesehatan kerja didefenisikan sebagai kondisi dan faktor-faktor yang berdampak pada kesehatan karyawan, pekerja kontrak, personel kontraktor, tamu, dan orang lain di tempat kerja.
II - 6 K3 adalah singkatan dari Keselamatan dan Kesehatan Kerja, yang mempunyai pengertian memberikan perlindungan kepada setiap tenaga kerja atas keselamatan, kesehatan, kesusilaan, pemeliharaan moril kerja serta mendapat perlakuan yang sesuai dengan martabat manusia dan moral agama (pasal 9 dalam Undang-undang No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja). Dengan demikian pengertian keselamatan dan kesehatan kerja dapat diuraikan sebagaimana penjelasan di bawah ini. Konstruksi adalah pekerjaan yang relatif sangat kompleks, memerlukan pengetahuan, pemahaman, perencanaan, persiapan, dan terlebih lagi harus ada koordinasi kerja yang terintegrasi dengan baik selama masa pelaksanaan konstruksi.
2.3.1. Tujuan Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Adapun tujuan pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja diuraikan sebagai berikut :
1. Memberikan perlindungan dan rasa aman kepada tenaga kerja ketika melakukan pekerjaannya sehingga tercapai tingkat produktifitas yang tinggi.
2. Memeberikan perlindungan dan rasa aman kepada setiap orang lain yang berada di tempat kerja dan lingkungannya dari proses pekerjaan atau kegiatan proyek.
3. Memberikan perlindungan terhadap sumber produksi, peralatan, serta bahan kerja sehingga dapat digunakan secara efisien dan terhindar dari kerusakan.
II - 7 Di bidang jasa konstruksi, pelaksanaan K3 bertujuan :
1. Mengetahui dan memahami dengan benar apa yang dimaksudkan dengan penerapan K3, khususnya dalam setiap kegiatan jasa konstruksi.
2. Menghindarkan setiap kemungkinan terjadinya kecelakaan kerja dengan melakukan tindakan pencegahan dan perbaikan, pengawasan, dan inspeksi untuk memenuhi keselamatan kerja.
3. Bekerja dan melaksanakan pekerjaan dengan benar, mengikuti ketentuan, batasan, dan tahapan yang disyaratkan sesuai dengan pedoman keselamatan dan kesehatan kerja di tempat kegiatan konstruksi.
Keselamatan dan kesehatan kerja bertujuan agar para pekerja di lingkungan kerjanya masing-masing selalu dalam keadaan sehat, nyaman, selamat, dan terutama bekerja secara produktif dalam meningkatkan kinerja perusahaan serta meningkatkan kesejahteraan karyawan perusahaan.
Demikian pula untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan kemauan serta kerja sama para karyawan agar menjunjung tinggi peraturan-peraturan keselamatan dan kesehatan kerja demi kesejahteraan perusahaan yang berarti kesejahteraam keluarga karyawan.
2.3.2. Perlengkapan dan Peralatan Standar Keselamatan dan Kesehatan
Kerja (K3)
Peralatan standar keselamatan dan kesehatan kerja pada proyek konstruksi sangatlah penting dan wajib digunakan untuk melindungi seseorang dari kecelakaan ataupun bahaya yang mungkin terjadi dalam proses konstruksi. Mengingat pentingnya kesehatan dan keselamatan kerja
II - 8 maka semua perusahaan kontraktor berkewajiban menyediakan semua keperluan peralatan/perlengkapan perlindungan diri atau Personal Protective Equipment (PPE) untuk semua karyawan yang bekerja.
Perlengkapan dan peralatan penunjang program K3, meliputi:
1. Promosi program K3, yang terdiri dari:
b. Pemasangan bendera K3, bendera RI, bendera perusahaan.
c. Pemasangan sign-board K3 yang berisi antara lain slogan-slogan yang mengingatkan perlunya bekerja dengan selamat.
2. Sarana peralatan yang melekat pada orang atau disebut perlengkapan perlindungan diri (personal protective equipment), diantaranya:
a. Pakaian Kerja
Pemakaian pakaian kerja berfungsi untuk melindungi badan manusia terhadap pengaruh-pengaruh dari luar yang kurang sehat atau yang bisa melukai badan.
b. Sepatu Kerja
Sepatu kerja (safety shoes) harus memiliki bagian muka yang cukup keras, supaya dapat memberikan perlindungan terhadap kaki agar bisa bebas bergerak tanpa terluka oleh benda-benda tajam dan keras.
c. Kacamata Kerja
Kacamata kerja merupakan kacamata pengaman yang digunakan untuk melindungi mata dari partikel-partikel debu yang
II - 9 berukuran sangat kecil yang terkadang tidak terlhat/kasat oleh mata.
d. Penutup Telinga
Penutup telinga digunakan untuk melindungi telinga dari bunyi- bunyi yang dikeluarkan oleh mesin yang memiliki volume suara yang cukup keras dan bising.
e. Sarung Tangan
Penggunaan sarung tangan bertujuan untuk melindungi tangan dari benda-benda keras dan tajam selama menjalankan pekerjaan.
f. Helm
Helm (helmet) sangat penting digunakan untuk melindungi kepala dari bahaya yang berasal dari atas. Helm ini harus digunakan dengan benar sesuai peraturan pemakaian yang dikeluarkan dari pabrik pembuatnya.
g. Masker
Masker digunakan sebagai pelindung bagi pernafasan.
h. Jas Hujan
Fungsi utama jas hujan adalah melindungi pekerja dari gangguan cuaca terutama hujan, sehingga para pekerja dapat melaksanakan pekerjaannya.
i. Sabuk Pengaman
II - 10 Fungsi utama tali/sabuk pengaman (safety belt) adalah menjaga seorang pekerja dari kecelakaan kerja pada saat bekerja pada ketinggian tertentu atau pada posisi yang membahayakan.
j. Tangga
Tangga merupakan alat untuk memanjat yang umum digunakan.
Pemilihan dan penempatan tangga untuk mencapai ketinggian tertentu harus disesuaikan dalam posisi aman.
k. P3K
P3K sangat diperlukan untuk memberikan pertolongan pertama apabila terjadi kecelakaan kerja. Adapun jenis dan jumlah obat- obatan disesuaikan dengan aturan yang berlaku.
Alat perlindungan diri dapat berfungsi secara efektif apabila syarat- syarat dasar diperhatikan dengan baik. Syarat-syarat tersebut antara lain:
1. Sesuai dengan bahaya yang dihadapi.
2. Terbuat dari material yang akan tahan terhadap bahaya tersebut.
3. Memiliki konstruksi yang sangat kuat.
4. Tidak meningkatkan risiko terhadap pemakainya.
Perusahaan dalam menyediakan peralatan perlindungan diri harus memperhatikan aspek-aspek berikut ini.
1. Disediakan secara gratis.
2. Diberikan satu orang per orang atau jika tidak, harus dibersihkan.
3. Hanya digunakan sesuai peruntukannya.
4. Dijaga dalam kondisi baik.
II - 11 5. Diperbaiki atau diganti jika mengalami kerusakan.
6. Disimpan di tempat yang sesuai ketika tidak digunakan.
2.3.3. Kerugian Apabila Pelaksanaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja
(K3) Tidak Dikelola dengan Baik
Pelaksanaan program Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) merupakan aspek yang sangat penting dalam menjamin kelancaran proyek dan meminimalisasi kecelakaan kerja. Pengelolan program Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) secara tidak baik akan menimbulkan sejumlah kerugian untuk perusahaan . Adapun kerugian-kerugian tersebut adalah : 1. Rusaknya harta benda baik yang nyata ataupun tidak.
2. Berkurangnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap produk konstruksi yang dihasilkan karena banyak terjadi kecelakaan kerja.
3. Profesionalitas perusahaan diragukan akibat banyaknya kecelakaan kerja yang terjadi.
4. Perusahaan asuransi akan menarik diri dari penjaminnya, jika tidak premi akan dinaikkan.
5. Pengeluaran biaya atas kecelakaan yang terjadi.
6. Orang yang mengalami kecelakaan kerja tersebut akan mengalami trauma.
7. Kehilangan penghasilan.
8. Mengalami cacat tubuh.
9. Kehilangan rasa percaya diri.
II - 12 2.3.4. Pelatihan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) untuk Pekerja
Seluruh pekerja pada proyek konstruksi perlu diberikan pelatihan mengenai program dan pelaksanaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Pelatihan program K3 yang terdiri atas 2 bagian, yaitu :
1. Pelatihan secara umum, dengan materi pelatihan tentang panduan K3 di proyek, misalnya:
a. Pedoman praktis pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja pada proyek bangunan gedung.
b. Penanganan, penyimpanan, dan pemeliharaan material.
c. Keselamatan dan kesehatan kerja dalam pekerjaan sipil.
d. Keselamatan dan kesehatan kerja dalam pekerjaan finishing.
e. Keselamatan dan kesehatan kerja dalam pekerjaan mekanikal dan elektrikal.
f. Keselamatan dan kesehatan kerja dalam pekerjaan sementara.
2. Pelatihan khusus proyek, yang diberikan pada saat awal proyek dan di tengah periode pelaksanaan proyek sebagai penyegaran, dengan peserta seluruh petugas yang terkait dalam pengawasan proyek, dengan materi tentang pengetahuan umum tentang K3 atau Safety plan proyek yang bersangkutan.
Tujuan dari pelatihan tersebut adalah : 1. Menegaskan kembali aturan keselamatan kerja.
2. Menyampaikan kemungkinan bahaya yang dapat ditemui di tempat kerja dan cara menghindarinya.
II - 13 3. Memberitahukan alat-alat perlindungan diri dan cara penggunaannya.
4. Mengetahui cara memakai dan memelihara alat perlindungan diri.
5. Memberitahukan tindakan-tindakan yang harus dilakukan pada saat terjadi kecelakaan.
2.4. HIRARC
Organisasi harus menetapkan prosedur mengenai Identifikasi Bahaya (Hazard Identification), Penilaian Risiko (Risk Assesment) dan menentukan Pengendaliannya (Risk Control) atau disingkat HIRARC.
Keseluruhan proses ini disebut juga manajemen risiko (risk management).
HIRARC merupakan elemen pokok dalam sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang berkaitan langsung dengan upaya pencegahan dan pengendalian bahaya. Di samping itu, HIRARC juga merupakan bagian dari sistem manajemen risiko (risk management).
Menurut OHSAS 18001, HIRARC harus dilakukan di seluruh aktifitas organisasi untuk menentukan kegiatan organisasi yang mengandung potensi bahaya dan menimbulkan dampak serius terhadap keselamatan dan kesehatan kerja.
Selanjutnya hasil HIRARC menjadi masukan untuk penyusunan objektif dan target K3 yang akan dicapai, yang dituangkan dalam program kerja. Dari alur di bawah terlihat bahwa HIRARC merupakan titik pangkal dari pengelolaan K3. Jika HIRARC tidak dilakukan dengan baik maka penerapan K3 akan salah arah (misguided), acak atau virtual karena tidak mampu menangani isu pokok yang ada dalam organisasi.
II - 14 Gambar 2.1. Proses Sistem Manajemen K3 (Sumber : Soehatman Ramli, 2010)
Elemen-elemen lainnya seperti pelatihan, dokumentasi, komunikasi, pengukuran, pengendalian rekaman, dan lainnya adalah untuk menopang atau mengacu kepada program pengendalian risiko. Jangan terjadi sebaliknya, dimana organisasi hanya berfokus kepada elemen-elemen pendukung, lengkap dengan prosedur dan dokumentasinya, namun mengabaikan proses HIRARC, sehingga kecelakaan masih dapat terjadi.
2.4.1. Identifikasi Bahaya
Identifikasi bahaya adalah upaya sistematis untuk mengetahui potensi bahaya yang ada di lingkungan kerja. Dengan mengetahui sifat dan karakteristik bahaya, kita dapat lebih berhati-hati, waspada, dan melakukan
II - 15 langkah-langkah pengamanan agar tidak terjadi kecelakaan. Namun demikian, tidak semua bahaya dapat dikenali dengan mudah.
Prosedur identifikasi bahaya dan penilaian resiko harus mempertimbangkan :
 Aktivitas rutin dan non rutin
 Aktivitas dari semua individu yang memiliki akses ke tampat kerja termasuk kontraktor.
 Perilaku manusia, kemampuan, dan faktor manusia lainnya.
 Identifikasi semua bahaya yang berasal dari luar tempat kerja yang dapat menimbulkan efek terhadap kesehatan dan keselamatan manusia yang berada di bawah perlindungan organisasi di dalam tempat kerja.
 Bahaya yang ditimbulkan di sekitar tempat kerja dan aktivitas yang berkaitan dengan pekerjaan yang berada di bawah kendali organisasi.
 Infrstruktur, peralatan, dan material di tempat kerja, apakah yang disediakan organisasi atau pihak lain.
 Perubahan atau rencana perubahan dalam organisasi, kegiatannnya, atau material.
 Modifikasi pada sistem manajemen K3, termasuk perubahan sementara dan dampaknya terhadap operasi, proses, dan aktivitas.
 Setiap persyaratan legal yang berlaku berkaitan dengan pengendalian risiko dan implementasi pengendalian yang diperlukan.
II - 16
 Rancangan lingkungan kerja, proses, instalasi, mesin, peralatan, prosedur operasi dan organisasi kerja, termasuk adaptasinya terhadap kemampuan manusia.
Tujuan persyaratan ini adalah untuk memastikan bahwa identifikasi bahaya dilakukan secara komprehensif dan rinci sehingga semua peluang bahaya dapat diidentifikasi. Hal ini banyak dilupakan dalam pengembangan sistem manajemen K3. Identifikasi bahaya hanya dilakukan seadanya atau hanya bersifat visual belaka sehingga tidak mampu menjangkau bahaya yang yang lebih rinci misalnya berkaitan dengan proses, peralatan, prosedur, dan lainnya. Untuk membantu upaya identifikasi bahaya, dikembangkan berbagai metoda mulai dari yang sederhana sampai yang kompleks.
Organisasi harus menetapkan metoda identifikasi bahaya yang akan dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa aspek antara lain:
a. Lingkup identifikasi bahaya yang dilakukan, misalnya meliputi seluruh bagian, proses atau peralatan kerja atau aspek K3 seperti bahaya kebakaran, penyakit akibat kerja, kesehatan, dan lainnya.
b. Bentuk identifikasi bahaya, misalnya bersifat kualitatif atau kuantitatif.
c. Waktu pelaksanaan identifikasi bahaya, misalnya di awal proyek, pada saat operasi, pemeliharaan atau modifikasi sesuai dengan siklus atau daur hidup organisasi.
Metoda identifikasi bahaya harus bersifat proaktif atau prediktif sehingga diharapkan dapat menjangkau seluruh bahaya baik yang nyata maupun yang bersifat potensial.
II - 17 Teknik identifikasi bahaya ada berbagai macam yang dapat diklasifikasikan atas:
 Teknik/metoda pasif
 Teknik/metoda semiproaktif
 Teknik/metoda proaktif 2.4.1.1 Teknik Pasif
Bahaya dapat dikenal dengan mudah jika kita mengalaminya sendiri secara langsung. Seseorang akan mengetahui adanya bahaya lobang di jalan setelah tersandung atau terperosok ke dalamnya. Kita tahu adanya bahaya listrik setelah tersengat aliran listrik. Cara ini bersifat primitif dan terlambat karena kecelakaan telah terjadi, baru kita mengenal dan mengambil langkah pencegahan.
Metoda ini sangat rawan, karena tidak semua bahaya dapat menunjukkan eksistensinya sehingga dapat terlihat dengan mudah.
Melakukan identifikasi pasif ibarat menyimpan bom waktu yang dapat meledak setiap saat.
2.4.1.2 Teknik Semi Proaktif
Teknik ini disebut juga belajar dari pengalaman orang lain karena kita tidak perlu mngalaminya sendiri. Teknik ini lebih baik karena tidak perlu mengalami sendiri setelah itu baru mengetahui adanya bahaya. Namun teknik ini juga kurang efektif karena :
 Tidak semua bahaya telah diketahui atau pernah menimbulkan dampak kejadian kecelakaan.
II - 18
 Tidak semua kejadian dilaporkan atau diformulasikan kepada pihak lain untuk diambil sebagai pelajaran.
 Kecelakaan telah terjadi yang berarti tetap menimbulkan kerugian, walaupun menimpa pihak lain.
2.4.1.3 Metoda Proaktif
Metoda terbaik untuk mengidentifikasi bahaya adalah cara proaktif, atau mencari bahaya sebelum bahaya tersebut menimbulkan akibat atau dampak yang merugikan.
Tindakan proaktif memiliki kelebihan:
 Bersifat preventif karena bahaya dikendalikan sebelum menimbulkan kecelakaan atau cedera.
 Bersifat peningkatan berkelanjutan (continue improvement) karena dengan mengenal bahaya dapat dilakukan upaya perbaikan.
 Meningkatkan “awareness” semua pekerja setelah mengetahui dan mengenal adanya bahaya di sekitar tempat kerjanya.
 Mencegah pemborosan yang tida diinginkan, karena adanya bahaya dapat menimbulkan kerugian. Misalnya ada katup yang bocor tanpa diketahui maka akan terus menerus mengeluarkan bahan/bocoran sehingga menimbulkan kerugian.
2.4.2. Penilaian Risiko
Setelah melakukan identifikasi bahaya dilanjutkan dengan penilaian risiko yang bertujuan untuk mengevaluasi besarnya risiko serta skenario dampak yang akan ditimbulkannya. Penilaian risiko digunakan sebagai
II - 19 langkah saringan untuk menentukan tingkat risiko ditinjau dari kemungkinan kejadian (likelihood) dan keparahan yang dapat ditimbulkan (severity).
2.4.3. Pengendalian Risiko
Pengendalian risiko menurut Soehatman Ramli (2010) dilakukan terhadap seluruh bahaya yang ditemukan dalam proses identifikasi bahaya dan mempertimbangkan peringkat risiko untuk menentukan prioritas dan cara pengendaliannya. Selanjutnya dalam menentukan pengendalian harus mempertimbangkan hirarki pengendalian mulai dari eliminasi, substitusi, pengendalian teknis, administratif, dan terakhir penyediaan alat keselamatan yang disesuaikan dengan kondisi organisasi, ketersediaan biaya, biaya operasional, faktor manusia, dan lingkungan.
Pengendalian risiko merupakan langkah menentukan dalam keseluruhan manajemen risiko. Berdasarkan hasil analisis dan evaluasi risiko dapat ditentukan apakah suatu risiko dapat diterima atau tidak. Jika risiko dapat diterima, tentunya tidak diperlukan langkah pengendalian lebih lanjut.
Berkaitan dengan risiko K3, pengendalian risiko dilakukan dengan mengurangi kemungkinan atau keparahan dengan mengikuti hirarki sebagai berikut.
1. Eliminasi
Eliminasi adalah teknik pengendalian dengan menghilangkan sumber bahaya, misalnya lobang di jalan ditutup, ceceran minyak di
II - 20 lantai dibersihkan, mesin yang bising dimatikan. Cara ini sangat efektif karena sumber bahaya dieliminasi sehingga potensi risiko dapat dihilangkan. Karena itu, teknik ini menjadi pilihan utama dalam hirarki pengendalian risiko.
2. Substitusi
Substitusi adalah teknik pengendalian bahaya dengan mengganti alat, bahan, sistem atau prosedur yang berbahaya dengan lebih aman atau lebih rendah bahayanya. Teknik ini banyak digunakan, misalnya bahan kimia berbahaya dalam proses produksi diganti dengan bahan kimia lain yang lebih aman.
Hirarki Pengendalian Bahaya
Gambar 2.1. Hirarki Pengendalian Bahaya (Sumber : Soehatman Ramli, 2010)
3. Pengendalian Teknis
II - 21 Sumber bahaya biasanya berasal dari peralatan atau sarana teknis yang ada di lingkungan kerja. Karena itu, pengendalian bahaya dapat dilakukan melalui perbaikan pada desain, penambahan peralatan dan pemasangan peralatan pengaman. Sebagai contoh, mesin yang bising dapat diperbaiki secara teknis misalnya dengan memasang peredam suara sehingga tingkat kebisingan dapat ditekan.
Pencemaran di ruang kerja dapat diatasi dengan memasang sistem ventilasi yang baik. Bahaya pada mesin dapat dikurangi dengan memasang pagar pengaman.
4. Pengendalian Administratif
Pengendalian bahaya juga dapat dilakukan secara administratif misalnya dengan mengatur jadwal kerja, istirahat, cara kerja atau prosedur kerja yang lebih aman, rotasi, atau pemeriksaan kesehatan.
5. Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)
Pilihan terakhir untuk mengendalikan bahaya adalah dengan memakai alat pelindung diri misalnya pelindung kepala, sarung tangan, pelindung pernafasan (respirator atau masker), pelindung jatuh, dan pelindung kaki.
Dalam konsep K3, penggunaan APD merupakan pilihan terakhir atau last resort dalam pencegahan kecelakaan. Hal ini disebabkan karena alat pelindung diri bukan untuk mencegah kecelakaan (reduce likelihood) namun hanya sekedar mengurangi efek atau keparahan kecelakaan (reduce concequences). Sebagai contoh, seseorang yang menggunakan topi keselamatan bukan berarti bebas dari bahaya tertimpa
II - 22 benda. Namun jika ada benda yang jatuh, kepalanya akan terlindung sehingga keparahan dapat dikurangi. Akan tetapi, jika benda yang jatuh sangat berat atau dari tempat yang tinggi, topi tersebut mungkin akan pecah karena tidak mampu menahan beban.
a. Alat pelindung kepala, untuk melindungi bagian kepala dari benda yang jatuh atau benturan misalnya topi keselamatan baik dari plastic, aluminium, atau fiber.
b. Alat pelindung muka untuk melindungi percikan benda cair, benda padat atau radiasi sinar dan panas misalnya pelindung muka (face shield) , dan topeng las.
c. Alat pelindung mata untuk melindungi dari percikan benda, bahan cair dan radiasi panas, misalnya kaca mata keselamatan dan kaca mata las.
d. Alat pelindung pernafasan untuk melindungi dari bahan kimia, debu uap dan asap yang berbahaya dan beracun. Alat pelindung pernafasan sangat beragam seperti masker debu, masker kimia, respirator, breathing apparatus (BA).
e. Alat pelindung pendengaran untuk melindungi organ pendengaran dari suara bising misalnya sumbat telinga (ear plug), dan katup telinga (ear muff).
f. Alat pelindung badan untuk melindungi bagian tubuh khususnya dari percikan benda cair, padat, radiasi sinar dan panas misalnya apron dari kulit, plastik, dan asbes.
II - 23 g. Alat pelindung tangan untuk melindungi bagian jari dan lengan dari bahan kimia, panas atau benda tajam misalnya sarung tangan kulit, PVC, asbes, dan metal.
h. Alat pelindung jatuh untuk melindungi ketika terjatuh dari ketinggian misalnya ikat pinggang keselamatan (safety belt), harness, dan jarring.
i. Alat pencegah tenggelam melindungi jika jatuh ke dalam air misalnya baju pelampung, pelampung, dan jaring pengaman.
j. Alat pelindung kaki untuk melindungi bagian telapak kaki, tumit atau betis dari benda panas, cair, kejatuhan benda, tertusuk benda tajam dan lainnya, misalnya sepatu karet, sepatu kulit, sepatu asbes, pelindung kaki dan betis.
Sesuai dengan ketentuan pasal 14C Undang-undang Keselamatan Kerja No. 1 tahun 1970, pengusaha wajib menyediakan alat keselamatan secara cuma-cuma sesuai dengan sifat bahayanya. Oleh karena itu, pemilihan keselamatan harus dilakukan secara hati-hati dengan mempertimbangkan jenis bahaya serta diperlakukan sebagai pilihan terakhir.