• Tidak ada hasil yang ditemukan

Adhisty June Ertyastuti G 0106019

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Adhisty June Ertyastuti G 0106019"

Copied!
173
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

PENGARUH PELATIHAN BERPIKIR POSITIF TERHADAP ASERTIVITAS REMAJA PANTI ASUHAN

Skripsi

Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Pendidikan Strata I Psikologi

Oleh :

Adhisty June Ertyastuti G 0106019

Pembimbing :

1. Tri Rejeki Andayani, S.Psi., M. Si. 2. Aditya Nanda Priyatama, S. Psi., M. Si.

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN

(2)

commit to user

ii

PERNYATAAN KEASLIAN

Dengan ini saya menyatakan dengan sesunggguhnya bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Jika terdapat hal- hal yang tidak sesuai dengan isi pernyataan ini, maka saya bersedia derajat kesarjanaan saya dicabut.

Surakarta, Juli 2011

(3)

commit to user

iii

HALAMAN PERSETUJUAN

Proposal dengan judul : Pengaruh Pelatihan Berpikir Positif terhadap Asertivitas Remaja Panti Asuhan

Nama Peneliti : Adhisty June Ertyastuti

NIM : G0106019

Tahun : 2011

Telah disetujui untuk dipertahankan dihadapan Pembimbing dan Penguji Skripsi Prodi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret pada:

Hari : ... Tanggal : ...

Pembimbing I Pembimbing II

Tri Rejeki Andayani, S.Psi.,M.Si. Aditya Nanda Priyatama, S.Psi.,M.Si. NIP. 197401091998022001 NIP.197810222005011002

Koordinator Skripsi

(4)

commit to user

iv

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi dengan judul:

Pengaruh Pelatihan Berpikir Positif terhadap Asertivitas Remaja Panti Asuhan

Adhisty June Ertyastuti, G0106019, Tahun 2011

Telah diuji dan disahkan oleh Pembimbing dan Penguji Skripsi Prodi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta

(5)

commit to user

v MOTTO

Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, maka apabila telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan yang lain), dan hanya

kepada ALLAH SWT hendaknya kamu berharap. (Q.S. Asy-Syarh: 6-8)

Mulailah dengan melakukan apa yang perlu, Lalu diikuti dengan apa yang mungkin,

dan tanpa kau sadari, dirimu telah melakukan hal yang mustahil. (St. Fransiskus Assisi)

Anda mungkin tidak dapat mengendalikan keadaan, tapi Anda dapat mengendalikan pikiran Anda.

(6)

commit to user

vi

HALAMAN PERSEMBAHAN

Kupersembahkan karya ini untuk

orang-orang yang mencintaiku dan aku cintai.

Berbagai rintangan dan keputusasaan mencair

karena limpahan perhatian , dukungan, dan doa mereka.

Berkat dorongan, dukungan, dan doa merekalah karya ini terselesaikan

sebagai suatu bentuk karya terindah

dari limpahan anugerah Illahi

Karya ini kupersembahkan untuk :

1. Bapak-Ibu, adik, Mediyanto dan segenap keluarga besarku untuk doa,

kasih sayang & perhatiannya yang tak akan pernah berhenti

memberiku semangat untuk menyelesaikan karya ini.

2. The Positive Thinking Crew (Mas Burhan, Mas Redy,

Mas Yasir, Mas Agung, Mifta Chu, Arfi NH, Masrika, Ribka, Taurina dan

Aminah) yang telah bersedia meluangkan waktu dan tenaga

untuk suksesnya penelitian ini.

(7)

commit to user

vii

KATA PENGANTAR

Bissmillahirrahmanirrahim,

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya serta menganugerahkan tetesan ilmu, kesehatan, dan kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Setelah melalui sebuah perjalanan panjang dan menghadapi berbagai rintangan yang menghadang, akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Penyusunan skripsi dengan judul ”Pengaruh Pelatihan

Berpikir Positif terhadap Asertivitas Remaja Panti Asuhan” dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana pada Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan, bantuan, dorongan dan doa dari berbagai pihak, oleh karena itu Penulis mengucapkan terimaksih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Drs. Hardjono, M.Si., selaku Ketua Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret dan pembimbing akademik yang telah memberikan perhatian dan arahan selama Penulis menempuh studi.

2. Tri Rejeki Andayani, S.Psi.,M.Si., selaku dosen pembimbing utama, dan Aditya Nanda Priyatama, S.Psi.,M.Si., selaku dosen pembimbing pendamping yang telah meluangkan waktu disela-sela kesibukannya untuk memberikan arahan, motivasi, masukan, dan ilmu yang bermanfaat bagi penyelesaian skripsi ini.

(8)

commit to user

viii

4. Bapak, Ibu dosen dan seluruh staf tata usaha dan staf perpustakaan (Mbak Ana, Mas Dhimas, Mas Ryan, dan Pak Warno) Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan motivasi dan bantuan kepada Penulis dalam penyelesaian studi.

5. Ibu Siti Parini, S.Ag. selaku Pimpinan Panti Asuhan Yatim Putri Aisyiah Sukoharjo, Bapak Kalimin, S.Pd., S.Ag. selaku Pimpinan Panti Asuhan Yatim Muhammadiyah Sukoharjo, dan Ibu Siti Taurat Aly selaku Pimpinan Panti Asuhan Yatim Mardhatilah Sukoharjo, beserta seluruh staf pengasuh yang bersedia memberikan izin serta membantu Penulis dalam melakukan penelitian dan seluruh remaja panti asuhan di kedua panti tersebut yang telah bersedia meluangkan waktu untuk menjadi subjek penelitian dan membantu dalam proses pengumpulan data. 6. Bapak-Ibu, adik, Mediyanto dan segenap keluarga besarku untuk doa, kasih sayang

& perhatiannya yang tak akan pernah berhenti memberiku semangat untuk menyelesaikan skripsi ini di Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

7. The Positive Thinking Crew (Mas Agung, Mas Redy, Mas Burhan, Mas Yasir, Mifta Chu, Arfi NH, Masrika, Ribka, Taurina dan Aminah) yang telah bersedia meluangkan waktu dan tenaga untuk suksesnya penelitian ini.

8. Terima kasih untuk Ddika I.R., Rini, Dika S., Marliana, Noviana, Maria, Sheila, Febi, Tanty dan Indri yang telah memberikan dorongan, kekuatan, waktu, dan ilmu serta kesediaannya dalam mendengarkan keluh kesahku.

(9)

commit to user

ix

kekuatan selama menempuh studi. Perjuangan belum berakhir, masih ada kesuksesan lagi yang menunggu kita esok.

10.Kakak-kakakku angkatan 2004 dan 2005 yang banyak memberikan ilmu dan kebersamaannya selama menempuh studi dan menyelesaikan skripsi, serta adik-adikku angkatan 2007, 2008, 2009 dan 2010 terima kasih atas kerja samanya. Lanjutkan perjuangan kita.

Semoga Allah SWT berkenan memberikan pahala yang sepadan dengan jerih payah Bapak Ibu dan teman-teman lakukan, dan semoga skripsi yang sederhana ini bermanfaat bagi semua pihak.

Surakarta, Juli 2011

(10)

commit to user

x

PENGARUH PELATIHAN BERPIKIR POSITIF TERHADAP ASERTIVITAS REMAJA PANTI ASUHAN

Adhisty June Ertyastuti

Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta

ABSTRAK

Remaja sebagai salah satu tahap dalam perkembangan manusia, memiliki tugas perkembangan yang berfokus pada upaya untuk mencapai kemampuan bersikap dan berperilaku sebagai orang dewasa yang bertanggung jawab dalam lingkungannya. Remaja memerlukan dukungan dan pengarahan dari keluarga untuk menyelesaikan tugas perkembangannya. Kenyataan menunjukkan bahwa tidak setiap remaja dilindungi dalam satu keutuhan keluarga sehingga menyebabkan remaja harus berada di panti asuhan. Keberadaan panti asuhan berperan penting sebagai lembaga yang menangani anak-anak terlantar untuk memenuhi kebutuhan anak asuhnya baik dari segi fisik maupun psikis tetapi panti asuhan tidak selalu bisa memenuhi kebutuhan anak asuhnya terutama kebutuhan psikis. Masalah psikologis yang sering dialami oleh remaja panti asuhan, diantaranya mengalami kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain (kompetensi interpersonal), salah satunya dalam asertivitas yang menjadi fokus penelitian ini. Asertivitas merupakan suatu perilaku yang dapat dipelajari sehingga perilaku asertif dapat ditingkatkan melalui serangkaian latihan. Latihan untuk meningkatkan asertivitas dapat dilakukan dengan menekankan pada proses kognitif. Salah satu pengembangan latihan dengan proses kognitif adalah berpikir positif. Pelatihan berpikir positif ini dimaksudkan untuk meningkatkan asertivitas remaja panti asuhan. Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pelatihan berpikir positif terhadap asertivitas remaja panti asuhan di Panti Asuhan Yatim (PAY) Mardhatilah Sukoharjo.

Penelitian ini menggunakan Non-Randomized Pretest-Posttest Control-Group Design dengan subjek penelitian sebanyak 10 remaja panti asuhan di PAY Mardhatilah Sukoharjo dengan tingkat asertivitas sedang yaitu lima remaja Kelompok Eksperimen dan lima remaja Kelompok Kontrol. Pelatihan ini menggunakan pendekatan experiential learning dengan metode communication activities, games, role play, sharing, relaksasi, dan pemutaran film serta materi pelatihan yang telah disusun dalam modul. Pengambilan data dilakukan menggunakan Skala Asertivitas dengan daya beda item 0,302 - 0,642 dan koefisien reliabilitas (α) 0,883.

Berdasarkan hasil uji Mann-Whitney U, diketahui besarnya nilai Zhitung = -2,627

(Ztabel = -2,409; Zhitung<Ztabel) dan p 0,008 (p<0,05). Hal ini berarti ada pengaruh

pelatihan berpikir positif terhadap asertivitas remaja panti asuhan. Selanjutnya, hasil uji menggunakan Wilcoxon T, diketahui besarnya nilai Zhitung = -2,032 (Ztabel = -1,728;

Zhitung<Ztabel) dan p 0,042 (p< 0,05). Hal ini berarti bahwa pelatihan berpikir positif

efektif dalam meningkatkan asertivitas remaja panti asuhan.

(11)

commit to user

xi

EFFECT OF POSITIVE THINKING TRAINING ON ASSERTIVENESS OF ADOLESCENTS IN ORPHANAGE

Adhisty June Ertyastuti

Psychology Department, Medical Faculty Sebelas Maret University Surakarta

ABSTRACT

Adolescents as one stage in human development, has a developmental task that focuses on efforts to achieve the ability to act and behave as responsible adults in their environment. Adolescents need support and guidance from family to complete their development tasks. The reality shows that not every adolescents is protected in a family unit, causing adolescents to be in an orphanage. The existence of an orphanage as an institution has an important role in charge of abandoned children to fulfil the needs of foster children in terms of both physical and psychological but the orphanage can not always fulfil the needs of foster children in particular psychological needs. Psychological problems often experienced by adolescents in orphanage, including difficulties in related with others (interpersonal competence), one of them is the assertiveness that became the focus of this research. Assertiveness is a behavior that can be learned, therefore, assertive behavior can be improved through a series of exercises. The exercise of assertiveness improving can be used by focusing on cognitive process. One of the development of training with cognitive process is positive thinking training. Positive thinking training is intended to enhance assertiveness of adolescents in orphanage. The purpose of this study was to determine the effect of positive thinking training on assertiveness of adolescents in orphanage in the Orphanage Orphans (PAY) Mardhatilah Sukoharjo.

This study used a Non-Randomized Pretest-Posttest Control-Group Design with 10 adolescents in orphanage of Mardhatilah’s Orphanage with medium level of assertiveness that was five adolescents in Experimental Group and five adolescents in Control Group. This training used experiential learning approaches with communication activities through presentations, games, role play, sharing, relaxation, and film screenings then training materials that have been compiled in the module. Data was collected by using Assertiveness Scale with a correlations coeffisient was at 0.302 up to 0.642 and reliability coeffisient was (α) 0.883.

Based on the results of the Mann-Whitney U test, known that the value Zhitung =

-2.627 (Ztabel = -2.409; Zhitung<Ztabel) and p 0.008 (p <0.05). This means there is an effect

of positive thinking training on assertiveness of adolescents in orphanage. Furthermore, the results of The Wilcoxon T test, it wass known that the value Zhitung = -2.032 (Ztabel =

-1.728; Zhitung<Ztabel) and p 0.042 (p <0.05). This means that positive thinking training is

effective on improving assertiveness of adolescents in orphanage.

(12)

commit to user

xii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...i

PERNYATAAN KEASLIAN...ii

HALAMAN PERSETUJUAN...iii

HALAMAN PENGESAHAN...iv

MOTTO...v

HALAMAN PERSEMBAHAN...vi

KATA PENGANTAR...vii

ABSTRAK...x

ABSTRACT...xi

DAFTAR ISI...xii

DAFTAR TABEL...xiv

DAFTAR GAMBAR...xv

DAFTAR LAMPIRAN...xvi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...1

B.Rumusan Masalah...14

C.Tujuan Penelitian...15

(13)

commit to user

xiii BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A.Asertivitas

1. Pengertian Asertivitas...16

2. Proses Asertivitas...17

3. Aspek Asertivitas...21

4. Manfaat Asertivitas...24

5. Faktor yang Mempengaruhi Asertivitas...27

B. Pelatihan Berpikir Positif 1. Pengertian Pelatihan...29

a. Konsep Pendekatan dalam Pelatihan...31

b. Experiential Learning...35

c. Komponen Pelatihan...38

d. Penyusunan Program Pelatihan...39

2. Berpikir Positif a. Pengertian Berpikir Positif...44

b. Manfaat Berpikir Positif...46

c. Langkah Efektif Berpikir Positif...50

3. Pelatihan Berpikir Positif...73

C.Pengaruh Pelatihan Berpikir Positif Terhadap Asertivitas Remaja Panti Asuhan...79

D.Kerangka Berpikir...84

(14)

commit to user

xiv BAB III METODE PENELITIAN

A.Identifikasi Variabel Penelitian...86

B. Definisi Operasional...86

C.Populasi dan Sampel...90

D.Metode Pengumpulan Data...90

E. Validitas dan Reliabilitas...92

F. Rancangan Penelitian...93

G.Prosedur Penelitian...94

H.Teknik Analisis Data...96

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Persiapan Penelitian ...97

1. Orientasi Tempat Penelitian ...97

2. Persiapan Administrasi...100

3. Persiapan Alat Ukur...100

a. Alat Ukur Sebelum Uji Coba...100

b. Uji Coba Alat Ukur...102

c. Hasil Perhitungan Validitas dan Reliabilitas...104

d. Penyusunan Alat Ukur...108

4. Persiapan Eksperimen...109

a. Persiapan Alat dan Bahan...109

b. Uji Coba Modul Pelatihan...110

(15)

commit to user

xv

B. Pelaksanaan Penelitian ...113

1. Pelaksanaan Pengambilan Data Pretest...113

2. Penentuan Sampel Penelitian ...115

3. Pelaksanaan Eksperimen...116

4. Pelaksanaan Pengambilan Data Posttest...124

C. Hasil Penelitian...125

1. Hasil Analisis Kuantitatif...125

a. Uji Hipotesis...126

b. Hasil Analisis Evaluasi Proses dan Hasil Pelatihan...129

2. Hasil Analisis Deskriptif ...132

D. Pembahasan ...144

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan...153

B. Saran ...154

(16)

commit to user

xvi

DARTAR TABEL

Tabel 1 Perbedaan antara Training dan Education...30

Tabel 2 Rangkaian Pelatihan Berpikir Positif...88

Tabel 3 Blue Print Skala Asertivitas Sebelum Uji Coba...92

Tabel 4 Misi Panti Asuhan Yatim Mardhatilah Sukoharjo...99

Tabel 5 Distribusi Skala Asertivitas Sebelum Uji Coba...102

Tabel 6 Distribusi Skala Asertivitas Setelah Uji Coba...106

Tabel 7 Hasil Uji Reliabilitas Cronbach’s Alpha...107

Tabel 8 Distribusi Skala Asertivitas Untuk Penelitian...108

Tabel 9 Nilai Tes Evaluasi Materi (Uji Coba Modul)...111

Tabel 10 Nilai Pemahaman Materi (Uji Coba Modul)...112

Tabel 11 Hasil Screening...114

Tabel 12 Sampel Penelitian yang Menjadi Kelompok Kontrol...116

Tabel 13 Sampel Penelitian yang Menjadi Kelompok Eksperimen...116

Tabel 14 Hasil Uji Mann-Whitney U-Test...126

Tabel 15 Hasil Uji Wilcoxon Signed Ranks Test...128

Tabel 16 Distribusi Hasil Analisis Evaluasi Proses Pelatihan...129

Tabel 17 Distribusi Hasil Evaluasi Worksheet...132

(17)

commit to user

xvii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Integrasi Empat Kecerdasan dalam Asertivitas...20

Gambar 2 Siklus Experiential Learning...36

Gambar 3 Bagan Kerangka Berpikir...84

Gambar 4 Desain Penelitian...94

Gambar 5 Skor Asertivitas pada Peserta 1...133

Gambar 6 Skor Asertivitas pada Peserta 2...135

Gambar 7 Skor Asertivitas pada Peserta 3...138

Gambar 8 Skor Asertivitas pada Peserta 4...140

Gambar 9 Skor Asertivitas pada Peserta 5...142

Gambar 10 Grafik Skor Asertivitas Kelompok Eksperimen...146

(18)

commit to user

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A Detail Rancangan Pelatihan...159

Lampiran B Skala Untuk Try Out dan Penelitian...163

Lampiran C Penjelasan Pelatihan...173

Lampiran D Lembar Evaluasi Proses...176

Lampiran E Modul Pelatihan Berpikir Positif...179

Lampiran F Tabulasi Try Out, Tabulasi Pretest, Tabulasi Posttest, Kategorisasi Tingkat Asertivitas...200

Lampiran G Uji Reliabilitas, Uji Hipotesis...208

Lampiran H Dokumentasi...212

(19)

commit to user BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Di zaman globalisasi sekarang ini, semua kebudayaan asing dapat masuk ke dalam negara kita, yang secara otomatis akan membawa pengaruh signifikan dalam berbagai bidang kehidupan. Lingkungan menjadi semakin selektif, hal ini diikuti dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menuntut adanya usaha untuk menjadikan kualitas hidup selalu lebih baik dari sebelumnya. Hidup ini memberi tantangan berupa permasalahan dan kesulitan. Kesulitan hidup ini bisa dialami oleh siapa saja, termasuk remaja sebagai salah satu tahap dalam perkembangan manusia. Remaja yang dihadapkan pada kesulitan akan mudah menjadi putus asa apabila dia tidak memiliki tujuan hidup, harapan, dan hal-hal berharga yang ingin dicapai. Bagi remaja yang mampu beradaptasi dan menunjukkan kemampuannya dengan baik akan tetap eksis di lingkungannya, sedangkan remaja yang tidak mampu untuk beradaptasi dan menunjukkan kemampuannya maka remaja tersebut bisa jadi akan merasa rendah diri atau merasa tidak berarti.

Permasalahan pada remaja bisa muncul sejalan dengan pergantian status dari anak menjadi remaja. Ali & Asrori (2004) mengatakan bahwa remaja sebenarnya tidak mempunyai kedudukan yang jelas. Remaja sudah tidak termasuk dalam golongan anak, tetapi juga belum dapat diterima secara penuh untuk masuk ke dalam golongan orang dewasa. Remaja berada di antara anak dan orang

(20)

commit to user

dewasa. Remaja memiliki beberapa tugas perkembangan yang harus dilalui agar dapat menjalani kehidupannya dengan lebih baik menuju kedewasaan. Menurut Havigrust (dalam Panuju & Umami, 1999) tugas perkembangan masa remaja difokuskan pada upaya untuk mencapai kemampuan bersikap dan berperilaku sebagai orang dewasa yang bertanggung jawab dalam lingkungannya karena hal ini merupakan pondasi supaya remaja dapat hidup bermasyarakat. Oleh karena itu, jika remaja berhasil melalui tugas perkembangan ini akan menimbulkan fase bahagia dan membawa keberhasilan dalam melaksanakan tugas-tugas berikutnya, tetapi jika gagal melalui tugas perkembangan ini maka akan menimbulkan rasa tidak bahagia dan kesulitan dalam menghadapi tugas-tugas berikutnya.

(21)

commit to user

tumbuh menjadi seseorang dengan keyakinan bahwa remaja dapat meraih tujuan hidupnya.

Kenyataan menunjukkan bahwa tidak setiap remaja dilindungi dalam satu keutuhan keluarga yang bisa memenuhi kebutuhan emosional dan fisik secara optimal. Ada kondisi tertentu yang menyebabkan seorang remaja berada di lembaga yang bernama panti asuhan. Panti asuhan diartikan sebagai rumah, tempat atau kediaman yang digunakan untuk memelihara atau mengasuh anak yatim, piatu dan yatim piatu (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005). Panti asuhan sebagai lembaga yang menangani anak-anak terlantar berusaha memenuhi kebutuhan anak asuhnya baik dari segi fisik maupun psikis. Panti asuhan tidak hanya sebagai tempat penitipan, tetapi juga menjadi sarana pematangan mental agar kelak setelah keluar dari panti asuhan, anak-anak yang dulunya tinggal di panti asuhan mampu berdiri sendiri. Panti asuhan berperan sebagai pengganti keluarga dalam memenuhi kebutuhan remaja dalam menjalani proses perkembangannya.

(22)

commit to user

(Pemda) hanya menaungi 35 panti asuhan di seluruh Indonesia. Jumlah panti asuhan yang berada di Provinsi Jawa Tengah mencapai 440 panti asuhan, diantaranya 28 panti asuhan milik Pemerintah dan 412 panti asuhan dikelola oleh pihak swasta, sedangkan jumlah panti asuhan yang berada di Kabupaten Sukoharjo mencapai delapan panti asuhan, satu panti asuhan milik pemerintah dan tujuh panti asuhan yang dikelola oleh pihak swasta.

Pihak swasta yang ikut mengelola panti asuhan di Kabupaten Sukoharjo antara lain Panti Asuhan Yatim Muhammadiyah Grogol, Panti Asuhan Yatim Muhammadiyah Bekonang, Panti Asuhan Yatim Muhammadiyah Polokarto, Panti Asuhan Mardhatilah Putra dan Putri, Yayasan Adh-Dhuha yaitu Panti Asuhan Adh-Dhuha, dan Yayasan Danar Hadi yaitu Panti Asuhan Al Muttaqin. Penulis memilih untuk mengadakan penelitian di Panti Asuhan Mardhatilah Kartasura karena sesuai dengan tujuan pendirian panti asuhan ini yaitu memberikan pelayanan kesejahteraan sosial kepada anak-anak terlantar agar dapat memenuhi kebutuhan baik fisik, mental maupun sosial (dalam buku profil pendirian Panti Asuhan Mardhatilah Kartasura, Sukoharjo).

(23)

commit to user

banyak faktor lain yang dimungkinkan lebih berpengaruh terhadap perkembangan tingkat kompetensi interpersonal anak, antara lain kondisi pengasuh, kesempatan berinteraksi dengan teman sebaya dan orang dewasa lain selain pengasuh dan karakteristik individual anak.

Selanjutnya, penelitian yang pernah dilakukan pada remaja panti asuhan Islam yang ada di daerah Yogyakarta (Lukman, 2000) didapatkan hasil penelitian bahwa 97,6% remaja panti asuhan cenderung kurang mampu menunjukkan sikap mandiri, 95,2% remaja panti asuhan mengalami kesulitan dalam menunjukkan kompetensi interpersonal, dan 98,8% remaja panti asuhan menunjukkan konsep diri yang kurang.

(24)

commit to user

menunjukkan bahwa kehidupan panti asuhan tersebut terlalu kaku dan kurang memperhatikan pemenuhan kebutuhan psikologis dan sosial para penghuninya.

Selanjutnya, penelitian yang telah dilakukan di Panti Asuhan Yatim Piatu Darul Hadlonah Kudus menyebutkan hasil bahwa sebanyak 12,5% anak panti asuhan memiliki tingkat asertivitas yang sangat baik, sebanyak 12,5% anak panti asuhan memiliki tingkat asertivitas yang baik, sebanyak 25% anak panti asuhan memiliki tingkat asertivitas yang cukup, sebanyak 32,5% anak panti asuhan memiliki tingkat asertivitas yang kurang, dan sebanyak 17,5% anak panti asuhan memiliki tingkat asertivitas yang sangat kurang (Masriah, 2006).

(25)

commit to user

Menurut Kamus Webster Third International (dalam Fensterheim & Baer, 1980), kata kerja assert berarti menyatakan atau bersikap positif, yakni berterus terang atau tegas. Lalu menurut Lange & Jakubowski (dalam Calhoun & Acocella, 1990) asertif atau bersikap tegas artinya menuntut hak pribadi dan menyatakan pikiran, perasaan, dan keyakinan dengan cara langsung, jujur dan tepat. Alberti & Emmons (dalam Rakos, 1991) secara detail menyebutkan bahwa perilaku asertif merupakan perilaku yang memungkinkan seseorang untuk bertindak sesuai dengan keinginan, mempertahankan diri tanpa merasa cemas, mengekspresikan perasaan secara jujur dan nyaman, ataupun menggunakan hak-hak pribadi tanpa melanggar hak-hak-hak-hak orang lain.

(26)

commit to user

Remaja panti asuhan yang memiliki tingkat asertivitas rendah maka remaja panti asuhan tersebut akan mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dan berkomunikasi dengan orang lain, baik yang berada di dalam maupun di luar lingkungan panti asuhan. Sebaliknya, apabila remaja panti asuhan memiliki tingkat asertivitas yang tinggi maka remaja panti asuhan dapat melakukan penyesuaian diri dan berkomunikasi secara efektif dengan orang lain sehingga membantu dalam kehidupannya nanti setelah keluar dari panti asuhan. Remaja panti asuhan dengan asertivitas tinggi diharapkan mampu membela dirinya sendiri maupun orang lain ketika diperlakukan tidak adil, mampu memberikan tanggapan terhadap masalah yang dihadapi yang dapat mempengaruhi hidupnya, serta mampu menyatakan keinginannya secara tegas terhadap orang lain.

Selanjutnya, menurut Covey (dalam Gunarsa, 2004), latihan untuk bersikap asertif bermanfaat untuk digunakan dalam menghadapi orang yang tidak dapat mengekspresikan kemarahan atau perasaan yang tersinggung, mengalami kesulitan untuk mengatakan ”tidak”, terlalu sopan berlebihan dan membiarkan

orang lain mengambil keuntungan dari keadaannya, mengalami kesulitan untuk mengekspresikan perasaan dan respon-respon positif lainnya, dan merasa tidak memiliki hak untuk mengekspresikan pikiran, kepercayaan, dan perasaannya.

Menurut Rich dan Schroeder (dalam Rakos, 1991), perilaku asertif merupakan suatu bentuk perilaku atau keterampilan yang dapat dipelajari (learned skill) yang dipengaruhi oleh lingkungan dan interaksi seseorang dengan

(27)

commit to user

yang dapat dipelajari dari lingkungan sebagai reaksi terhadap situasi sosial dalam kehidupannya. Selanjutya, berkembangnya perilaku asertif ini dipengaruhi oleh faktor-faktor yang dialami individu dalam lingkungan dan sepanjang hidupnya. Tingkah laku ini diduga berkembang sejak anak melakukan interaksi dengan orang tua dan orang-orang dewasa lain di sekitarnya.

Sesuai dengan pendapat Rich dan Schroeder (dalam Rakos, 1991) bahwa perilaku asertif merupakan suatu bentuk perilaku yang dapat dipelajari dan dipengaruhi oleh lingkungan serta interaksi antara orang dengan lingkungannya, maka untuk membentuk suatu perilaku asertif diperlukan suatu latihan. Latihan untuk meningkatkan perilaku asertif ini terdiri dari beberapa langkah, yaitu pengkondisian dan pemilihan perilaku yang tepat, mempersiapkan diri untuk bersikap asertif, berpikir positif, dan pemahaman seseorang tentang hak-hak dasar yang dimiliki (Bishop, 2007).

(28)

commit to user

kedua belah pihak (win win solution), menghormati pendapat orang lain secara positif sehingga membuat seseorang menjadi lebih asertif dalam mengemukakan pendapat, pikiran, dan perasaan secara jujur, langsung, dan terbuka. Pada tahap terakhir yaitu pemahaman seseorang tentang hak-hak dasar yang dimiliki, di sini yang harus disadari bahwa apa yang menjadi hak pribadi sendiri juga dimiliki oleh pribadi orang lain maka perlu ditekankan untuk saling menghormati kebutuhan, pendapat dan perasaan masing-masing.

Latihan untuk meningkatkan perilaku asertif di atas merupakan suatu langkah yang dapat dilakukan secara bertahap tetapi disebutkan pula bahwa tahap berpikir positif merupakan inti dalam latihan tersebut maka Penulis mencoba untuk memfokuskan pada tahap berpikir positif karena berpikir positif merupakan suatu proses kognitif yang dapat dipelajari oleh semua orang, langkah yang mudah dilakukan dan menghasilkan manfaat yang luar biasa. Berpikir positif dapat membuat seseorang selalu dalam keadaan positif karena selalu positif dalam memandang kehidupan yang dijalani selama ini.

(29)

commit to user

Suharnan, 2005). Proses kognitif yang menjadi inti dalam latihan bersikap asertif ini adalah cara berpikir positif. Di sini, Penulis mencoba untuk menanamkan cara berpikir yang positif pada remaja panti asuhan agar dapat mengelola pemikiran dan pandangannya ke arah yang positif sehingga lebih mampu mengungkapkan pikiran dan perasaannya karena pikiran ikut menentukan sikap yang akan diambil dalam menghadapi setiap peristiwa yang terjadi dalam kehidupan.

Menurut Peale (2006) dalam bukunya Berpikir Positif Untuk Remaja mendefinisikan berpikir positif sebagai cara berpikir dinamis yang menyeluruh. Pemikiran-pemikiran dinamis ini mengubah seseorang dengan perasaan yang dikelilingi ketidakberdayaan menjadi manusia yang penuh kekuatan. Perubahan yang terjadi dari kondisi yang hampir mutlak kalah menjadi pribadi yang penuh percaya diri dan bisa memberi inspirasi hanya dengan proses sederhana yakni dengan pengkondisian pemikiran. Selanjutnya, Seligman (2008) melaporkan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa penelitian berpikir positif efektif untuk mengubah sikap pesimis menjadi optimis dan dapat mengurangi simtom depresi. Menurutnya, sikap pesimis disebabkan karena adanya keyakinan negatif terhadap dirinya yang berdasar pada cara berpikir yang salah. Dengan jalan mengubah cara berpikir yang negatif menjadi positif maka individu yang semula mempunyai sikap pesimis akan menjadi optimis dan menjadi lebih yakin pada dirinya sendiri sehingga lebih mampu dan berani dalam mengekspresikan apa yang dimilikinya, dengan kata lain menjadi lebih asertif.

(30)

commit to user

perubahan menuju taraf hidup yang lebih baik. Berpikir positif telah menjadi sebuah sistem berpikir yang mengarahkan dan membimbing seseorang untuk meninggalkan hal-hal negatif yang dapat melemahkan semangat perubahan dalam jiwanya. Sementara menurut Elfiky (2009), berpikir positif adalah sumber kekuatan dan sumber kebebasan, disebut sebagai sumber kekuatan karena berpikir positif dapat membantu manusia memikirkan solusi sampai mendapatkannya dengan begitu manusia akan bertambah mahir, percaya, dan kuat dan disebut sebagai sumber kebebasan karena dengan berpikir positif manusia dapat terbebas dari penderitaan dan kungkungan pikiran negatif serta pengaruhnya pada fisik. Kekuatan berpikir positif inilah yang diharapkan dapat meningkatkan perilaku asertif seseorang sehingga lebih mampu dan berani dalam mengemukakan pendapat, pemikiran, dan perasaan yang dimiliki.

(31)

commit to user

Dengan mengikuti pelatihan berpikir positif ini, remaja panti asuhan diharapkan mampu menggunakan cara berpikir positif dalam kehidupannya sehari-hari karena melalui berpikir positif, remaja panti asuhan akan dapat menjadi pribadi yang percaya diri, tidak mudah putus asa, berani dalam bertindak, dan dapat mencapai kebahagiaan dalam hidup. Saat remaja panti asuhan tidak dapat mengkomunikasikan apa yang dipikirkan dan dirasakannya karena kurang mampu berpikir positif, maka tantangan kehidupan yang diterima akan disikapi secara negatif. Tentu saja semua ini akan membuat remaja panti asuhan berada dalam kondisi gelisah, marah, dan stres. Kondisi ini akan merugikan perkembangan diri remaja panti asuhan dalam melalui tugas perkembangan dan tidak dapat mengekspresikan potensi yang dimilikinya.

(32)

commit to user

Berdasarkan uraian di atas, melihat pentingnya cara berpikir positif untuk membantu masalah psikologis yang dialami oleh remaja panti asuhan yakni kemampuan remaja panti asuhan untuk bersikap asertif, maka Penulis akan memberikan pelatihan berpikir positif kepada remaja yang tinggal di salah satu panti asuhan Islam di daerah Sukoharjo yaitu di Panti Asuhan Mardhotilah Kartasura, Sukoharjo. Penulis akan mengadakan penelitian untuk penulisan skripsi dengan judul Pengaruh Pelatihan Berpikir Positif terhadap Tingkat Asertivitas Remaja Panti Asuhan. Penulis berharap remaja panti asuhan tidak membuat langkah mundur, melupakan harapan-harapan, dan pada akhirnya menyebabkan remaja panti asuhan tidak dapat mencapai tujuan hidupnya. Peningkatan berpikir positif diharapkan dapat membantu remaja panti asuhan menjadi lebih asertif dalam mengekspresikan dan mengkomunikasikan apa yang diinginkannya sehingga remaja panti asuhan pun dapat berkomunikasi secara efektif dengan orang lain dan tercipta hubungan yang harmonis dengan lingkungan sekitarnya. Dengan menyatakan apa adanya perasaan atau emosinya, remaja panti asuhan tidak akan dikendalikan oleh orang lain, efektif dalam berinteraksi, lebih dihargai orang lain, menjadi lebih percaya diri dan memiliki rasa puas dalam hidupnya.

B.Rumusan Masalah

(33)

commit to user C.Tujuan Penelitian

Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pelatihan berpikir positif terhadap peningkatan asertivitas remaja panti asuhan.

D.Manfaat Penelitian

Manfaat teoretis yang dapat diperoleh apabila penelitian yang dilakukan oleh Penulis ini terbukti adalah melanjutkan dan mengembangkan penelitian sebelumnya mengenai modul pelatihan berpikir positif.

(34)

commit to user BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.Asertivitas

1. Pengertian Asertivitas

Asertivitas merupakan salah satu kompetensi interpersonal yang dibutuhkan seseorang dalam berhubungan dengan orang lain. Beberapa pengertian asertivitas telah diuraikan oleh para ahli. Menurut Kamus Webster Third International (dalam Fensterheim & Baer, 1980), asertivitas berasal dari

kata kerja assert yang berarti menyatakan secara sadar atau bersikap positif yakni berterus terang atau tegas. Selanjutnya, Fensterheim & Baer (1980) menyatakan bahwa apabila seseorang mampu bersikap asertif maka akan timbul suatu perasaan yang menggairahkan karena adanya hubungan pribadi yang lebih dekat dan mendalam. Menurut Calhoun & Acocella (1990), asertivitas adalah kemampuan untuk meminta orang lain melakukan sesuatu yang diinginkan atau menolak melakukan hal yang tidak diinginkan.

Menurut Johnson (1993), perilaku asertif merupakan perilaku yang berupa menguraikan perasaan, pemikiran, pendapat dan pilihan secara langsung kepada orang lain dengan cara yang sesuai dan jujur dengan tetap menghormati diri sendiri dan orang lain. Perilaku yang asertif adalah langsung, jujur, menghargai diri, pernyataan diri yang tidak merugikan orang lain dan sesuai dengan penerima dan situasi. Selanjutnya, Breakwell (1998) mendefinisikan sikap asertif adalah menandaskan hak-hak atau opini-opini diri

(35)

commit to user

sendiri. Ini melibatkan usaha menuntut pengakuan dari orang lain sehingga dalam batas hukum, seseorang mempunyai hak untuk memutuskan bagaimana dirinya berpikir, merasa dan bertindak. Hal senada diungkapkan oleh Eggert (1999), asertivitas adalah menegakkan integritas dan martabat diri sendiri sementara pada saat yang sama tetap mendorong dan mengakui perilaku ini pada orang lain.

Dari berbagai pengertian mengenai asertivitas, maka dapat diketahui bahwa asertivitas adalah kemampuan mengekspresikan perasaan, pemikiran, pendapat, dan pilihan secara langsung kepada orang lain dengan cara yang sesuai dan jujur dengan tetap menghormati diri sendiri dan orang lain sehingga dapat tercipta hubungan interpersonal yang harmonis dan efektif. Pengertian ini sesuai dengan pengertian yang diungkapkan oleh Johnson (1993) karena menurut Penulis, pengertian ini telah mencakup dari keseluruhan pengertian asertivitas yang dikemukakan oleh para ahli lain.

2. Proses Asertivitas

Asertivitas merupakan suatu keterampilan yang dapat dipelajari, oleh karena itu terjadi suatu proses dalam diri seseorang untuk menjadi asertif. Proses yang terjadi dalam seseorang yang asertif menurut Covey & Laurence (dalam Townend, 2007) adalah integrasi dari keempat energi atau kecerdasan yaitu fisik, intelektual, emosional, dan kesadaran spiritual.

(36)

commit to user

terjadi dalam diri seseorang yang asertif. Pada kecerdasan fisik (physical quotient) dalam diri seseorang terdiri dari tubuh, alat indera, fungsi tubuh,

memori masa lalu, perilaku dan aktivitas. Pada kecerdasan intelektual (intellectual quotient) terdiri dari pikiran, kepercayaan atau keyakinan diri, memori masa lalu atau ingatan, self-talk, suara, imajinasi, dan cara berpikir. Pada kecerdasan emosional (emotional quotient) terdiri dari hati, kesadaran diri, kesadaran akan orang lain, kerentanan, kekuatan, rasa iba atau belas kasihan, pengampunan, dan perasaan. Pada kecerdasan spiritual (spiritual quotient) terdiri dari semangat, hubungan, nilai, makna dan tujuan, kontribusi,

integritas, intuisi, warisan, refleksi, meditasi, dan being. Keempat energi atau kecerdasan ini berintegrasi atau saling menyatu dalam diri seseorang yang asertif.

Ketika keempat kecerdasan ini saling menyatu atau berintegrasi maka muncullah asertivitas dalam diri seseorang karena sesuai dengan pengertian menurut Covey & Laurence (dalam Townend, 2007) bahwa asertivitas adalah integrasi dari keempat kecerdasan yaitu kecerdasan fisik, intektual, emosional, dan kesadaran spiritual. Integrasi keempat kecerdasan tersebut dapat dilihat ketika seseorang memiliki kecerdasan intelektual (intellectual quotient) yang efektif yaitu ketika semua hal yang meliputi kecerdasan intelektual seperti pikiran, kepercayaan atau keyakinan diri, memori masa lalu atau ingatan, self-talk, suara, imajinasi, dan cara berpikir dapat bekerja secara optimal sehingga

(37)

commit to user

(38)

commit to user Gambar 1

Integrasi Empat Kecerdasan dalam Asertivitas (Sumber : Townend, 2007) Gambar di atas digunakan untuk membantu mengembangkan kesadaran diri seseorang, mengetahui bahwa di dalam dirinya penuh dengan energi dan vitalitas. Ini berarti memperhatikan dan melihat bagaimana perasaan seseorang secara fisik, intelektual, emosional, dan kesadaran spiritual, dan pada saat yang sama menyadari bahwa orang lain juga terdiri dari fisik, intelektual, emosional, dan kesadaran spiritual. Seseorang secara sadar atau tidak, potensi kecerdasan intelektual, emosional, spiritual dan fisik itu ada dalam keseluruhan diri seseorang sebagai manusia. Kecerdasan intelektual mencakup unsur logis dan

(39)

commit to user

linguistik. Kecerdasan emotional mencakup unsur interpersonal dan intrapersonal. Kecerdasan spiritual lebih banyak terkait dengan masalah makna hidup, nilai-nilai dan keutuhan diri. Kecerdasan fisik mencakup keseluruhan yang ada pada tubuh manusia. Keempat tipe kecerdasan tersebut akan berfungsi maksimal jika saling berkaitan erat satu sama lain. Keempat kecerdasan intelektual, emosional, spiritual, dan fisik adalah perangkat yang bekerja dalam satu kesatuan sistem yang saling terkait di dalam diri manusia sehingga tidak mungkin dipisahkan fungsinya.

3. Aspek Asertivitas

Mengenai aspek perilaku asertif, para ahli banyak memberikan penjelasan. Lazarus (dalam Rakos, 1991) pertama kali mendefinisikan perilaku asertif secara spesifik yaitu :

a. Kemampuan untuk berkata “tidak”.

b. Kemampuan untuk meminta apa yang diinginkan atau mampu mengajukan permintaan.

c. Kemampuan untuk mengekspresikan perasaan yang positif maupun negatif.

d. Kemampuan untuk berinisiatif, melanjutkan dan mengakhiri suatu pembicaraan dengan baik.

(40)

commit to user

hak atau kebenaran, menolak permintaan, menyatakan pendapat pribadi, mampu menyatakan kejengkelan, mampu menyatakan kemarahan, dan merasakan hal yang positif.

Fensterheim dan Baer (1980) memberikan definisi aspek perilaku asertif sebagai berikut :

a. Merasa bebas untuk mengemukakan dirinya sendiri. Seseorang dapat mengemukakan dirinya melalui kata-kata dan tindakan. Hal ini senada dengan kriteria orang asertif menurut Eggert (1999) yaitu mampu mengungkapkan keinginan dan perasaan kepada orang lain. Misalnya, mengeluarkan pernyataan melalui kata-kata dan tindakan yang dilakukan, “Inilah diri saya. Inilah yang saya rasakan, saya pikirkan dan saya

inginkan.”

b. Dapat berkomunikasi secara terbuka, langsung, dan jujur dengan orang lain dari semua tingkatan, baik dengan orang-orang yang tidak dikenal, sahabat-sahabat, dan keluarga. Hal ini senada dengan kriteria seseorang yang asertif menurut Eggert (1999) yaitu mampu berkomunikasi dan bekerja dengan baik dengan orang-orang di semua tingkatan. Misalnya, memulai suatu percakapan dengan orang tidak dikenal yang baru saja ditemuinya, “Hai, perkenalkan nama saya Adhisty.”

(41)

commit to user

d. Bertindak dengan cara yang dihormatinya sendiri karena pribadi ini menyadari bahwa tidak dapat selalu menang maka pribadi ini dapat menerima keterbatasannya. Misalnya, terus berusaha keras dalam perlombaan karena kalah ataupun menang tidaklah penting, yang terpenting adalah terus berusaha dan tetap memiliki harga diri.

Selanjutnya, menurut Johnson (1993) mengemukakan perilaku asertif meliputi beberapa aspek yaitu :

a. Perilaku seseorang untuk bertindak sesuai dengan minat terbaik yang dimiliki. Misalnya, meraih cita-cita yang diinginkan seperti menjadi dokter, psikolog, dan profesi lain yang menjadi minat terbaiknya.

b. Berpihak kepada diri sendiri tanpa ketertarikan yang tidak pantas. Misalnya, tetap berpegang teguh pada pendapat dimiliki apabila pendapatnya memang rasional atau masuk akal.

c. Menyatakan perasaan yang jujur dengan nyaman. Misalnya, mengatakan “tidak” terhadap sesuatu yang tidak diinginkan.

d. Berlatih meminta hak diri sendiri tanpa menyangkal hak orang lain. Misalnya, membuat permintaan kepada orang lain.

(42)

commit to user

Menurut Penulis, aspek perilaku asertif yang dikemukakan oleh Fensterheim & Baer (1980) telah mencakup aspek perilaku asertif yang dikemukakan oleh ahli lain yaitu Johnson (1993) dan Lazarus (dalam Rakos, 1991). Misalnya, pada aspek merasa bebas mengemukakan diri sendiri yang dikemukakan oleh Fensterheim & Baer (1980) dapat mencakup aspek kemampuan untuk berkata “tidak”, kemampuan untuk mengungkapkan perasaan baik yang positif maupun

negatif, kemampuan mengajukan permintaan oleh Lazarus (dalam Rakos, 1991) dan aspek menyatakan perasaan yang jujur dengan nyaman oleh Johnson (1993), lalu kemampuan untuk memulai, melanjutkan dan mengakhiri suatu percakapan dengan baik oleh Lazarus (dalam Rakos, 1991) dapat dimasukkan dalam aspek dapat berkomunikasi secara terbuka, langsung, dan jujur dengan orang lain yang dikemukakan oleh Fensterheim & Baer (1980), lalu aspek bertindak sesuai dengan minat terbaik yang dimiliki oleh Johnson (1993) dapat dimasukkan dalam aspek mempunyai pandangan hidup yang aktif yang dikemukakan oleh Fensterheim & Baer (1980), lalu aspek berpihak kepada diri sendiri tanpa ketertarikan yang tidak pantas dan berlatih meminta hak diri sendiri tanpa menyangkal hak orang lain oleh Johnson (1993) dapat diwakili oleh aspek bertindak dengan cara yang dihormatinya sendiri yang dikemukakan oleh Fensterheim & Baer (1980).

4. Manfaat Asertivitas

(43)

commit to user

yang diperoleh ketika seseorang mampu bersikap asertif. Sebelum mempelajari manfaat dari perilaku asertif, perlu diketahui bahwa perilaku asertif ini terbagi dalam tiga kategori menurut Christoff & Kelly (dalam Gunarsa, 2004), yaitu :

a. Asertif penolakan, perilaku asertif penolakan ini ditandai oleh ucapan untuk memperhalus seperti menggunakan kata maaf.

b. Asertif pujian, perilaku asertif pujian ini ditandai oleh kemampuan untuk mengekspresikan perasaan positif seperti menghargai, menyukai, mencintai, mengagumi, memuji dan bersyukur.

c. Asertif permintaan, perilaku asertif permintaan ini terjadi kalau seseorang meminta orang lain untuk melakukan suatu kebutuhan atau tujuan seseorang yang memungkinkan untuk dicapai tanpa tekanan atau paksaan. Dari uraian ini terlihat bahwa perilaku asertif adalah perilaku yang menunjukkan adanya keterampilan untuk dapat menyesuaikan diri dalam hubungan interpersonal dengan lingkungan sekitarnya. Seseorang yang bersikap asertif akan mampu mengungkapkan penolakan, pujian, serta permintaan kepada orang lain.

(44)

commit to user

jawab atas tindakannya dan dari perasaan bebas dan bertanggung jawab inilah akan muncul penghargaan diri, bersikap asertif akan menghasilkan peningkatan harga diri dan kepercayaan diri. Perilaku asertif juga meningkatkan pengertian tentang martabat sebagai makhluk manusia.

Eggert (1999) menguraikan beberapa manfaat yang dapat diperoleh ketika seseorang dapat berperilaku asertif, yaitu :

a. Ketika seseorang berperilaku asertif maka akan meningkatkan integritas yang dimilikinya karena jujur dengan dirinya sendiri dan dengan orang lain sehingga dengan kejujuran tersebut, seseorang dapat memperoleh apa yang diinginkan tanpa kompromi.

b. Menjadi seseorang yang mudah berkomunikasi dengan orang lain. c. Tidak mudah merasa bersalah ataupun marah karena mengetahui apa

yang menjadi haknya.

d. Memiliki harga diri yang tinggi.

e. Mendapat apa yang diinginkan dan mampu mengungkapkan apa yang perlu sehingga orang lain tidak mudah mengambil keuntungan dari dirinya.

f. Dapat memberikan batas pada perilaku diri sendiri dan orang lain. g. Dapat menikmati pandangan yang realistis tentang apa yang mungkin

dan apa nyang tidak mungkin bagi dirinya.

(45)

commit to user

i. Selalu dapat mengendalikan perilaku diri sendiri dan tidak terdorong untuk menjadi agresif ataupun dipaksa untuk menjadi tunduk (pasif). Berdasarkan beberapa uraian manfaat perilaku asertif dari beberapa ahli di atas, maka dapat diketahui bahwa perilaku asertif memiliki banyak manfaat, antara lain seseorang akan merasa bebas serta akan mendapatkan kepuasan diri karena dapat berkomunikasi dengan terbuka sehingga memudahkan orang tersebut untuk menentukan sesuatu yang dirasa benar, seseorang dapat membatasi perilaku diri sendiri dan orang lain sehingga dapat memperoleh apa yang diinginkan dan orang lain tidak mudah mengambil keuntungan dari dirinya, serta harga diri sesorang akan meningkat dengan bersikap asertif.

5. Faktor yang Mempengaruhi Asertivitas

Asertivitas sebagai perilaku yang dapat dipelajari tentu dipengaruhi oleh faktor tertentu. Berikut ini merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi asertivitas, antara lain :

a. Kebudayaan (Furnham dalam Rakos, 1991)

Konsep asertivitas dipengaruhi oleh kebudayaan karena bersifat culture bound (Furnham dalam Rakos, 1991). Di beberapa kebudayaan, asertivitas

(46)

commit to user b. Pola asuh orang tua (Marini & Andriani, 2005)

Perilaku asertif dapat dipelajari secara alami dari lingkungan. Perilaku asertif merupakan pola-pola yang dipelajari dari lingkungan sebagai reaksi terhadap situasi sosial dalam kehidupannya.Lingkungan yang dimaksud disini adalah keluarga sebagai lingkungan sosial pertama bagi anak. Keluarga memberikan banyak pengalaman bagi anak. Pengalaman tersebut berupa interaksi dengan orang tua melalui pola asuh yang ada dalam keluarga yang menentukan pola respons seseorang dalam menghadapi berbagai masalah setelah ia menjadi dewasa kelak. Pola asuh orang tua merupakan segala bentuk dan proses interaksi yang terjadi antara orang tua dan anak yang merupakan pola pengasuhan tertentu dalam keluarga yang akan memberi pengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak.

c. Proses kognitif (Bishop, 2007)

(47)

commit to user

Berdasarkan penjelasan di atas bahwa faktor yang mempengaruhi asertivitas diantaraya adalah kebudayaan, pola asuh orang tua, dan proses kognitif. Asertivitas merupakan perilaku yang dapat dipelajari karena manusia sebenarnya tidak dilahirkan dengan asertivitas sehingga faktor dari luar sangat mendukung terbentuknya asertivitas dalam diri manusia. Faktor lain yang juga mempengaruhi asertivitas adalah usia dan jenis kelamin namun belum banyak penelitian yang dilakukan (Marini & Andriani, 2005). Sesuai dengan pendapat Bishop (2007) bahwa perilaku asertif membutuhkan suatu proses kognitif maka selanjutnya proses kognitif yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah latihan berpikir positif untuk meningkatkan perilaku asertif.

B.Pelatihan Berpikir positif

1. Pengertian Pelatihan

(48)

commit to user

proses belajar. Berikut ini merupakan tabel yang berisi perbedaan antara pelatihan (training) dengan pendidikan (education) menurut Beebe, Mottet, & Roach (dalam Yuwono dkk, 2005), yaitu :

Tabel 1 Perbedaan antara Training dan Education Menurut Beebe, Mottet, & Roach (dalam Yuwono dkk, 2005)

No Training Education

1 Pelatihan adalah suatu proses pengembangan keterampilan dan perubahan perilaku

Pendidikan adalah suatu proses penanaman pengetahuan atau informasi

2 Mengutamakan proses “doing” atau

melakukan

Megutamakan proses “knowing” atau

mengetahui

4 Mengutamakan closed system

perspective,, suatu sistem yang tertutup dimana ada kepastian tentang cara yang benar dan salah yang telah ditentukan dalam kondisi internal pelatihan

5 Materi pelatihan terkait dengan tugas atau pekerjaan

Materi pendidikan lebih luas dan tidak terkait langsung dengan pekerjaan 6 Mengutamakan comprehensive listing

atau langkah-langkah yang diatur secara jelas untuk mencapai tujuan pelatihan

Mengutamakan open-ended approach

atau langkah-langkahnya tidak diatur secara jelas untuk mencapai tujuan

(49)

commit to user

dalam program pelatihan. Pelatihan dan pendidikan keduanya menyangkut proses belajar, hanya saja ada yang membedakan antara pelatihan dengan pendidikan diantaranya, pelatihan lebih menekankan pada pengembangan keterampilan dan perubahan tingkah laku sedangkan pendidikan penanaman pengetahuan, materi keterampilan terkait dengan tugas atau pekerjaan sedangkan materi pendidikan lebih luas dan tidak terkait langsung dengan pekerjaan, pelatihan mengutamakan proses melakukan dan pencapaian tingkat keterampilan tertentu sedangkan pendidikan mengutmakan proses mengetahui dan penguasaan materi, pelatihan mengutamakan sistem yang tertutup di mana ada kepastian tentang cara yang benar dan salah sedangkan pendidikan mengutamakan sistem terbuka sehingga memungkinkan adanya pengaruh luar yang menentukan salah dan benar, langakah-langkah dalam pelatihan diatur dengan jelas sedangkan langkah-langkah dalam pendidikan tidak diatur secara jelas untuk mencapai tujuan.

Jadi, yang membedakan antara pelatihan dan pendidikan adalah di dalam pelatihan sangat difokuskan pada suatu materi dan dengan cara tertentu dengan menggunakan sistem yang tertutup sedangkan dalam pendidikan materinya lebih luas lagi dan tidak hanya terfokus pada keterampilan saja serta cara yang digunakan tidak ditentukan secara jelas dengan menggunakan sistem terbuka.

a. Konsep Pendekatan dalam Pelatihan

(50)

commit to user 1) Motivasi

Pelatihan pada umumnya terjadi jika seseorang memiliki motivasi untuk belajar atau mengikuti pelatihan. Seseorang mengikuti pelatihan karena mengharapkan bahwa setelah pelatihan selesai maka orang tersebut akan memiliki kemampuan seperti yang dilatihkan atau memberi dampak positif dalam dirinya, Setiap peserta pelatihan yang mengikuti suatu pelatihan memiliki harapan yang ingin diperoleh setelah mengikuti pelatihan tersebut. Motivasi adalah suatu usaha menimbulkan dorongan untuk melakukan suatu tindakan, sehingga suatu pelatihan perlu dirancang sedemikian rupa agar dapat menimbulkan motivasi bagi peserta pelatihan untuk mengikuti atau bertahan untuk mengikuti sebuah pelatihan.

2) Pengukuhan Kembali (Positive Reinforcement )

(51)

commit to user

misalnya atau memberi kesempatan untuk memecahkan masalah yang lain.

3) Pengetahuan Tentang Hasil

Dengan memberikan umpan balik kepada peserta pelatihan agar mereka mengatahui hal-hal apa saja yang telah dikuasainya, yang telah dapat dilakukan dengan baik, dan yang belum dikuasai. Dengan mengetahui hasil, peserta pelatihan dapat mengkonsentrasikan pada hal-hal yang masih harus perlu dipelajari.

4) Praktek Aktif dan Pembelajaran Melalui Pengalaman (Experiental Learning)

Pembelajaran memerlukan praktek dan pengalaman dengan tugas. Konsep sentral dari pembelajaran melalui pengalaman adalah bahwa harus ada praktek yang aktif agar seseorang mengulang-ulang apa yang harus dipelajari dan dihayati sehingga akhirnya menguasai pengetahuannya atau keterampilannya.

5) Pemindahan dari Pelatihan (Transfer of Training)

(52)

commit to user

tentang apa saja yang akan dialami jika pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dipelajari dalam pelatihan diterapkan dalam situasi nyata.

Lima konsep pendekatan dalam pelatihan tersebut memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing. Kekuatan dari pendekatan motivasi adalah peserta akan mengikuti pelatihan hingga akhir pelatihan jika memiliki motivasi tinggi dan terjaga namun jika peserta tidak memiliki motivasi maka peserta akan sulit untuk bertahan dan menerima pelatihan. Kekuatan dari pendekatan pengukuhan kembali perilaku yang telah diubah akan muncul dalam keseharian jika terdapat reinforcement dan perilaku sulit untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari jika tidak ada reinforcement. Kekuatan dari pendekatan pengetahuan tentang hasil adalah

peserta akan terus melatih hal-hal yang belum dikuasainya dan kelemahannya adalah peserta cenderung mengabaikan hal-hal yang telah dikuasainya. Kekuatan pendekatan pemindahan dari pelatihan adalah peserta dihadapkan pada situasi yang telah dimanipulasi sehingga mendekati kondisi nyata sehingga mudah untuk diterapkan dalam kehidupan nyata dan kelemahannya adalah tidak semua program pelatihan berhasil dibawa dan diterapkan dalam kehidupan nyata. Kekuatan pendekatan praktek aktif melalui pengalaman (experiental learning) adalah peserta praktek langsung tentang materi pengalaman sehingga peserta mengalaminya langsung dan mendapatkan pengalaman yang menginternalisasi.

(53)

commit to user

pendekatan yang digunakan dalam pelatihan ini adalah experiential learning karena menurut teori kognitif yang menggambarkan cara seseorang belajar untuk mengenali dan mendefinisikan masalah serta bereksperimen untuk menemukan solusinya. Menurut teori ini, jika mereka berhasil menemukan sendiri solusinya maka hal itu akan lebih lama disimpan dalam memorinya. Teori kognitif memiliki dasar pemikiran discovery atau do it yourself. Teori belajar melalui pengalaman (experiential learning) seperti yang digambarkan Kolb, Rubin, dan Mc Intyre (dalam Yuwono dkk, 2005) terdiri dari empat siklus tahapan, yaitu pengalaman nyata, observasi dan refleksi terhadap pengalaman, pembentukan konsep abstrak dan generalisasi yang menjelaskan tentang pengalaman dan menentukan bagaimana hal itu dapat diterapkan, dan menguji implikasi konsep data pada situasi yang baru.

b. Experiential learning

(54)

commit to user

Gambar 2 Siklus Experiential Learning Pfeiffer & Ballew (UA Training, 1988)

Belajar melalui pengalaman (experiential learning) menurut Pfeiffer & Ballew (1988) terdiri dari lima tahapan sesuai dengan gambar siklus di atas, yaitu :

a) Experiencing, tahap awal dalam pelatihan yaitu menghasilkan

(55)

commit to user

verbal atau nonverbal, menganalisis materi kasus, negosiasi atau tawar-menawar, perencanaan, bersaing atau bekerja sama, dan menghadapi. b) Publishing, tahap kedua dari siklus ini kira-kira analog dengan

penginputan data, istilah-istilah dalam pengolahan data. Peserta pelatihan telah mengalami dan mengikuti suatu kegiatan dan sekarang mereka mungkin siap untuk berbagi tentang apa yang mereka lihat dan atau apa yang mereka rasakan selama acara tersebut. Langkah ini melibatkan mencari tahu apa yang terjadi di dalam dan pada individu-individu, pada kognitif, afektif, dan tingkat perilaku, sementara kegiatan ini terus berlanjut.

c) Processing, tahap ini dapat dianggap sebagai titik tumpu atau langkah penting dalam pengalaman belajar. Ini adalah pemeriksaan sistematis pengalaman umum dimiliki oleh orang yang terlibat yaitu peserta pelatihan. Ini adalah dinamika kelompok yaitu tahap siklus di mana para peserta pada dasarnya merekonstruksi pola dan interaksi aktivitas dari pengumuman laporan individu (individual report). Tahap ini merupakan bagian dari siklus yang kritis, fasilitator perlu merencanakan dengan hati-hati bagaimana pengolahan akan dilakukan dan terfokus ke langkah berikutnya yaitu generalisasi.

(56)

commit to user

dilakukan pada saat ini dalam pengalaman terstruktur, dari kenyataan di dalam kegiatan dengan realitas kehidupan sehari-hari.

e) Applying, tahap akhir dari siklus experiential learning adalah tujuan yang terstruktur dari seluruh pengalaman yang telah dirancang. Pertanyaan penting di sini adalah "Sekarang apa?" Fasilitator membantu peserta pelatihan untuk menerapkan generalisasi dengan situasi aktual di mana diri mereka terlibat.

Berdasarkan uraian mengenai pelatihan di atas, dapat diketahui bahwa pelatihan melalui beberapa tahapan sesuai Siklus Experiential Learning menurut Pfeiffer & Ballew (UA Training, 1988) yaitu tahap

experiencing, publishing, processing, generalization, serta applying.

c. Komponen Pelatihan

Komponen-komponen dalam pelatihan dan pengembangan menurut Mangkunegara (2009) adalah :

1) Tujuan dan sasaran pelatihan dan pengembangan harus jelas dan dapat diukur, yang menjadi tujuan dan sasaran dalam pelatihan ini adalah untuk meningkatkan asertivitas remaja panti asuhan.

(57)

commit to user

3) Materi pelatihan dan pengembangan harus disesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai, materi pelatihan berpikir positif telah disesuaikan dengan tujuan untuk meningkatkan asertivitas remaja panti asuhan. 4) Metode pelatihan dan pengembangan harus disesuaikan dengan tingkat

kemampuan peserta pelatihan, metode dalam pelatihan ini menggunakan konsep pendekatan experiential learning dengan metode presentasi, games, role play, diskusi, sharing dan evaluasi, pemutaran video serta

relaksasi.

5) Peserta pelatihan dan pengembangan (trainee) harus memenuhi persyaratan yang ditentukan, yang menjadi peserta pelatihan adalah remaja panti asuhan yang memiliki tingkat asertivitas sedang atau rendah berdasar hasil screening.

Berdasarkan uraian di atas, maka komponen dalam suatu pelatihan menurut Mangkunegara (2009) terdiri dari tujuan dan sasaran pelatihan, pelatih yang profesional, materi pelatihan yang sesuai dengan tujuan, metode pelatihan yang sesuai dengan keadaan peserta, serta peserta pelatihan yang sesuai dengan syarat yang telah ditentukan.

d. Penyusunan Program Pelatihan

Penyusunan program pelatihan menurut Munandar (2006) terdiri atas bermacam-macam tahap, yaitu :

(58)

commit to user

Miner (dalam Munandar, 2006) mengemukakan bahwa terlibat dalam suatu pembelajaran dapat mengembangkan empat macam keterampilan, yang pada umumnya dilatihkan, yaitu:

a) Knowledge based skills, yaitu keterampilan yang didasarkan pada pengetahuan yang dikuasai, keterampilan ini dikembangkan berdasarkan pengetahuan yang diperlukan, dimiliki untuk dapat melakukan tugas pekerjaannya dengan baik.

b) Singular behavior skills, yaitu keterampilan perilaku sederhana seperti datang tepat waktu, menetapkan sasaran dan tujuan sendiri, dan mencakup perilaku yang dapat dibentuk dan diamati.

c) Limited interpersonal skills, yaitu keterampilan antar pribadi yang terbatas seperti terlibat dalam aktivitas memberi arahan kepada karyawan baru, mendelegasikan tanggung jawab dan memberikan feedback kepada seseorang tentang hasil kerjanya.

d) Social interactive skills, yaitu berlangsung pada taraf manajerial mencakup memanajemen konflik, menggunakan kekuasaan secara efektif, negosiasi suatu kontrak, dan sebagainya. Pelatihan berpikir positif yang akan dilakukan merupakan salah satu bentuk social interactive skills.

2) Penetapan sasaran pelatihan

Menurut Mager (dalam Munandar, 2006) merumuskan tiga aspek untuk merumuskan sasaran peserta pelatihan yang baik, yaitu :

(59)

commit to user

b) Ada uraian tentang apa yang harus dilakukan (does what)

c) Ada uraian tentang bagaimana baiknya peserta pelatihan (trainee) melaksanakannya (how well)

Sasaran peserta pelatihan ini selalu menggambarkan suatu perilaku yang diharapkan ada pada peserta pelatihan (trainee) sesudah mengikuti suatu program pelatihan. Sasaran khusus dibedakan berdasarkan jenis perilaku yang hendak ditimbulkan melalui pelatihan, yaitu :

a) Sasaran kognitif, sasaran yang menggambarkan perilaku kognitif antara lain mampu mengenal, membedakan, menilai, menganalisis, dan sebagainya.

b) Sasaran afektif, meliputi perilaku yang berhubungan dengan perasaan dan sikap, perilaku tentang suatu kesediaan dan kecenderungan. c) Sasaran psikomotor, meliputi perilaku gerak.

Pelatihan berpikir positif yang akan dilakukan merupakan pelatihan yang sasaran utamanya adalah aspek kognitif, tetapi tidak menutup kemungkinan aspek afektif dan psikomotor pun akan ikut terbangun dalam pelatihan ini karena terdapat langkah-langkah efektif yang melibatkan perasaan dan praktek bersama.

3) Penetapan kriteria keberhasilan dengan alat ukurnya

(60)

commit to user

kembali ke pekerjaan mereka masing-masing selama waktu tertentu. Pelatihan berpikir positif ini akan menggunakan alat ukur berupa skala asertivitas yang berisi 64 aitem pernyataan, sesuai dengan tujuan diadakannya pelatihan ini untuk mengetahui pengaruh pelatihan berpikir positif terhadap asertivitas remaja panti asuhan.

4) Penetapan metode pelatihan dan penyajiannya

Bentuk pelatihan dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu : a) Pelatihan pada pekerjaan (on the job trainning)

b) Pelatihan di luar pekerjaan (off the job trainning)

Pelatihan di luar pekerjaan menggunakan pelatihan di kelas. Metode pelatihan di kelas terdiri atas :

(1)Kuliah, pembicaraan yang diorganisasi secara formal tentang hal-hal khusus, merupakan suatu ceramah yang disampaikan secara lisan untuk tujuan pendidikan.

(2)Konperensasi atau diskusi kelompok, pertemuan formal dimana terjadi diskusi atau konsultasi tentang sesuatu hal yang penting serta menekankan adanya diskusi kelompok kecil, bahan yang terorganisasi dan keterlibatan peserta secara aktif.

(3)Study kasus (case study), uraian tertulis atau lisan tentang masalah dalam perusahaan selama kala waktu tertentu yang nyata atau hipotesis (namun didasarkan pada kenyataan).

(61)

commit to user

pemahaman mengenai pengaruh kelakuan mereka sendiri pada orang lain.

(5)Bimbingan berencana atau instruksi bertahap (programmed instruction), terdiri atas urutan langkah yang berfungsi sebagai

pedoman dalam melaksanakan suatu pekerjaan atau suatu kelompok tugas pekerjaan.

(6)Simulasi, suatu jenis alat atau teknik menyalin setepat mungkin kondisi-kondisi nyata yang ditemukan dalam pekerjaan.

Pelatihan berpikir positif ini menggunakan metode presentasi atau yang disebut metode kuliah (presentasi), bermain peran (role play), diskusi kelompok, dan simulasi dengan menggunakan worksheet. 5) Pencobaan dan revisi

(62)

commit to user

uji coba skala dan modul yang digunakan dalam pelatihan dan jika hasilnya masih kurang maka dapat segera dilakukan revisi.

6) Implementasi dan evaluasi

Penilaian pelatihan mengacu pada suatu sistem untuk mengukur apakah peserta pelatihan (trainee) mencapai sasaran pembelajaran dan efektivitas pelatihan berkaitan dengan tercapai tidaknya sasaran yang telah direncanakan yang mencakup pembelajaran dan pengalihan pelatihan (kemampuan mengalihkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dipelajari selama program pelatihan ke dalam kehidupan sehari-hari). Implementasi dan evaluasi dalam pelatihan ini akan dilakukan pada setiap akhir sesi pertemuan untuk mengetahui bagaimana perkembangan peserta pelatihan.

Setelah melihat penjelasan di atas mengenai penyusunan program pelatihan, maka dapat diketahui tahap-tahap penyusunan program pelatihan yang baik menurut Munandar (2006) adalah mengidentifikasi kebutuhan pelatihan, menetapkan sasaran pelatihan, menetapkan kriteria keberhasilan dengan alat ukurnya, menetapkan metode pelatihan dan penyajiannya, melakukan percobaan dan revisi, lalu melakukan implementasi dan evaluasi terhadap pelatihan yang telah dilakukan.

2. Berpikir Positif

a. Pengertian Berpikir Positif

(63)

commit to user

berpikir positif menurut TRE-Ellis (dalam Corey, 1988) menekankan bahwa berpikir positif adalah mengenali pola pikir dan memahaminya, mengubah pola pikir yang negatif menjadi pola pikir yang positif, dan menggunakan pola pikir positif yang terbentuk itu dalam menghadapi masalah kehidupan yang akan datang. Menurut Abraham (2008), berpikir positif adalah cara pemikiran yang mengarahkan seseorang pada perilaku untuk memecahkan masalah. Quilliam (2008) menyebutkan bahwa berpikir positif itu berbuat lebih dari pemikiran yang dimiliki. Berpikir positif adalah suatu pendekatan yang positif terhadap keseluruhan hidup. Ini berarti memusatkan hidup kepada hal-hal yang positif di dalam situasi apapun dan bukan hal yang negatif, menganggap baik diri sendiri dan bukan secara konstan merasa rendah diri, menganggap baik orang lain dan berhadapan dengan orang lain secara positif, dan mengharapkan dunia yang jauh lebih baik dan pemikiran yang positif itu akan menghasilkannya. Pikiran positif adalah pikiran yang dapat membangun dan memperkuat kepribadian atau karakter seseorang (Sakina, 2009). Selanjutnya, Yuri (2010) mengemukakan bahwa berpikir positif adalah cara untuk berpikir lebih luas daripada pikiran kita sendiri, disini berpikir positif meliputi memusatkan perhatian pada hal-hal yang positif baik tentang diri sendiri juga tentang orang lain dan menghadapinya secara positif.

Gambar

Gambar 1  Integrasi Empat Kecerdasan dalam Asertivitas (Sumber : Townend, 2007)
Tabel 1  Perbedaan antara Training dan Education Menurut Beebe, Mottet, &
Gambar 2 Siklus Experiential Learning Pfeiffer & Ballew (UA
gambar pantai cerah pada ruangan. Hal-hal yang dibayangkan dalam
+7

Referensi

Dokumen terkait

(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan yang bertujuan mencari keuntungan, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk diri sendiri atau untuk orang lain

(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan yang bertujuan mencari keuntungan, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk diri sendiri atau untuk orang lain

Penilaian yang positif terhadap keadaan fisik seseorang baik dari diri sendiri maupun dari orang lain sangat membantu perkembangan konsep diri yang positif..

99 Individu dengan harga diri yang tinggi memiliki gaya hidup positif, memahami diri sendiri dan orang lain secara positif, memiliki prestasi. yang tinggi,

(empati, ramah, bersahabat dengan murid, bersikap positif pada diri sendiri dan orang lain, keyakinan

penerimaan oleh pejabat publik atau orang lain, secara langsung atau tidak langsung, atas suatu keuntungan yang tidak semestinya untuk dirinya sendiri atau untuk diri orang

keuntungan, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk diri sendiri atau untuk orang lain dengan membawa seseorang atau kelompok orang, baik secara

(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan yang bertujuan mencari keuntungan, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk diri sendiri atau untuk orang