• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Affirmatif Action (Tindakan Khusus Sementara) dalam Pemberian Kuota 30% Kepada Perempuan di Partai Politik dan Parlemen T1 312009043 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Affirmatif Action (Tindakan Khusus Sementara) dalam Pemberian Kuota 30% Kepada Perempuan di Partai Politik dan Parlemen T1 312009043 BAB II"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

12

BAB II

LANDASAN TEORI

A.

Pengertian Hak Politik Perempuan

Secara yuridis formal hak politik perempuan merupakan hak azasi sebagaimana dimuat dalam Deklarasi Universal Hak-Hak Azasi Manusia Tahun 1948. Pasal 1 intinya adalah bahwa semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang tidak berbeda. Pasal 7 menegaskan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan hukum yang sama dan Pasal 21 menentukan bahwa setiap orang berhak turut serta dalam pemerintahan negerinya sendiri, baik dengan langsung maupun melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas. Setiap orang berhak atas kesempatan yang sama, untuk diangkat dalam jabatan pemerintahan di negerinya.

(2)

13

Memperhatikan tentang ruang politik yang sudah terbuka bagi kaum perempuan, maka dapatlah dikatakan perempuan dapat mengimplementasikan hak politiknya secara terbuka pula. Adanya jaminan mengenai hak politik, memberikan dampak yang sangat positif bagi pergerakan politik kaum

perempuan. Dalam upaya merepresentasikan hak politik dalam

keterwakilannya, dalam pengambilan keputusan politik, maka yang perlu untuk dilihat ialah konteks perempuan dan perwakilan politik. Hal ini sangat perlu untuk dicermati guna memperhatikan lebih jauh tentang aktualisasi

perempuan dalam perwakilan politik yang mereka jalani.1

B.

Pengaturan Hak Politik Perempuan

1. Menurut Undang-Undang Dasar 1945

Jaminan bagi hak berpartisipasi dalam jaringan pemerintah dan politik di Negara Republik Indonesia, pertama-tama ditetapkan dalam

Pasal 1 ayat (2) UUD 19452. Undang-Undang Dasar merupakan

ketentuan-ketentuan fundamental tentang organisasi dan kebijaksanaan Pemerintah, sedangkan GBHN merupakan Garis Besar Kebijaksanaan Pemerintah dan Pembangunan dalam menjalankan ketatalaksanaan pembangunan untuk

1 Utami Santi Wijaya Hesti dkk, Perempuan dalam Pusaran Demokrasi, dari Pintu

Otonomi ke Pemerdayaan, Penerbit IP4 Lappera Indonesia, Bantul, 2001, h.. 40-41.

2Pasal 1 ayat (2) UUD 1945: “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan

(3)

14

mencapai tujuan seperti yang tertuang dalam UUD. Jaminan lainnya

tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945:3

“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Hukum yang di

maksud dalam hal ini meliputi hukum tertulis dan tidak tertulis,

hukum nasional dan hukum internasional, hukum publik dan hukum

privat yang memberi jaminan hukum bagi berbagai aspek kehidupan

rakyat. Pemerintahan yang dimaksud meliputi bidang pemerintahan

legislatif, eksekutif dan yudikatif, dan lain-lainnya pada tingkat

pemerintahan baik di pusat maupun daerah yang memberi jaminan

hak partisipasi untuk turut menjalankan pemerintahan sepanjang

memenuhi prasaratan sebagai diatur dalam perundang-undangan.”

Sedangkan dalam pasal 28 D ayat (3) UUD 19454 telah

dikemukakan bahwa adanya persamaan hak bagi setiap warga negara dalam pemerintahan. Dengan adanya ketentuan tersebut mengisyaratkan bahwa adanya jaminan hak yang sama antar laki-laki dan perempuan untuk berkiprah dalam dunia politik.

2. Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun tentang HAM

Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak azasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus

3 Sastriani Siti Hariti, Gender and Politics,Penerbit Pusat Studi Wanita Universitas

Gajah Mada dengan Tiara Wacana, Yogyakarta, 2009, h. 202

4 Pasal 28D ayat (3): “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama

(4)

15

dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat

kemanusiaan, kesejahteraan, dan kecerdasan serta keadilan.5 Hak tersebut

meliputi juga hak politik bagi kaum perempuan yang tercantum pada pasal 46 Undang-undang HAM, yang berbunyi sebagai berikut:

“Siatem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif, dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif, yudikatif, harus menjamin keterwakilan wanita sesuai persyaratan yang

ditentukan”

Di dalam pasal tersebut dicantumkan secara tegas adanya jaminan keterwakilan perempuan dalam siatem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif, dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif, yudikatif. Hal tersebut mencerminkan adanya perlindungan hak politik bagi kaum perempuan yang bertujuan untuk mencegah terjadinya diskriminasi.

3. Menurut Undang-Undang Partai Politik dan Undang-Undang Pemilu

Kedua undang-undang ini bersifat diskriminatif karena memberikan perlakuan khusus kepada perempuan dengan mencantumkan kuota 30% keterwakilan perempuan dalam Partai Politik dan Parlemen.

Pengaturan Hak Politik perempuan di dalam Undang-Undang Partai Politik dan Undang-Undang PEMILU terdapat pada Pasal 2 ayat (2) dan ayat (5) sedangkan dalam Undang-Undang PEMILU terdapat pada Pasal 8 ayat (2E) dan Pasal 55.

Isi dari Pasal-pasal tersebut sebagai berikut:

(5)

16

Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Partai Politik berbunyi:

Pendirian dan pembentukan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.

Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Partai Politik berbunyi:

Kepengurusan Partai Politik tingkat pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun dengan menyertakan paling rendah 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.

Pasal 8 ayat (2E) Undang-Undang PEMILU:

“Partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara

pada Pemilu sebelumnya atau partai politik baru dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat”

Sedangkan Pasal 55 berbunyi:

“Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal

536memuat paling sedikit 30% (tiga puluh persen) keterwakilan

perempuan”

4. Menurut CEDAW

CEDAW sebagai salah satu konvensi keperempuanan internasional yang bertujuan meminimalisir diskriminasi terhadap perempuan, mengakomodir hak-hak terhadap perempuan. Hak-hak tersebut adalah hak Persamaan dalam Kehidupan Politik dan Kemasyarakatan pada Tingkat Nasional, hak Persamaan dalam Kehidupan Politik dan Kemasyarakatan pada Tingkat Internasional, hak Persamaan dalam Hukum Nasional, Hak Persamaan dalam Pendidikan, Persamaan dalam Hak Pekerja dan Buruh,

6Daftar bakal calon yang dimaksud dalam Pasal 53 adalah daftar bakal calon anggota

(6)

17

Hak atas Persamaan Kesempatan atas Pelayanan Fasilitas Kesehatan dan hak atas Jaminan Keuangan dan Sosial.

Hak politik sebagai salah satu hak perempuan yang dilindungi dalam CEDAW adalah hak Persamaan dalam Kehidupan Politik dan Kemasyarakatan pada Tingkat Nasional dan pada tingkat internasional. Pengaturan mengenai hak politik perempuan dalam CEDAW diatur dalam Pasal tujuh (7) dan Pasal delapan (8).

Dalam Pasal 7 disebutkan bahwa:

“Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah perlu untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam kehidupan politik, kehidupan kemasyarakatan negaranya, dan khususnya menjamin bagi perempuan, atas dasar persamaan dengan laki-laki, hak sebagai berikut:

a. Untuk memberikan suara dalam semua pemilihan dan referendum publik, dan untuk dipilih pada semua badan badan yang secara umum dipilih;

b. Untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijakan pemerintah dan pelaksanaannya, serta memegang jabatan publik dan melaksanakan segala fungsi publik di semua tingkat pemerintahan;

c. Untuk berpartisipasi dalam organisasi-organisasi dan perkumpulan-perkumpulan Non-Pemerintah yang berhubungan

dengan kehidupan masyarakat dan politik negara.”

(7)

18

memberikan suara secara rahasia. Perempuan yang tidak diijinkan memberikan suara secara rahasia sering dipaksa untuk memberikan suara yang sama dengan suami mereka, dan karenanya menghalangi mereka untuk mengungkapkan pendapatnya sendiri.

Kedua, Pasal 7 mengakui bahwa walaupun hal ini penting, hak untuk memilih saja tidaklah cukup untuk menjamin partisipasi yang nyata dan efektif bagi perempuan dalam proses politik. Oleh sebab itu Pasal ini menghendaki Negara untuk memastikan bahwa perempuan mempunyai hak untuk dipilih dalam badan-badan publik dan untuk memegang jabatan publik lainnya dan kedudukan dalam organisasi non-pemerintah. Kewajiban-kewajiban ini dapat dilaksanakan dengan memasukkan

perempuan dalam daftar calon pemerintah, affirmative action dan kuota,

dengan menghapus pembatasan berdasarkan gender pada posisi tertentu,

meningkatkan tingkat kenaikan jabatan bagi perempuan, dan

mengembangkan program pemerintah untuk menarik lebih banyak perempuan ke dalam peran kepemimpinan politik yang punya arti penting (tidak sekedar nominal).

Dalam Pasal 8 disebutkan bahwa:

“Negara-negara Pihak harus mengambil semua upaya-upaya yang tepat untuk memastikan agar perempuan memiliki kesempatan mewakili Pemerintah mereka pada tingkat internasional dan untuk berpartisipasi dalam pekerjaan organisasi-organisasi internasional, atas dasar persamaan dengan laki-laki dan tanpa diskriminasi

(8)

19

Walaupun banyak keputusan-keputusan yang berpengaruh langsung terhadap kehidupan perempuan dibuat di dalam negaranya sendiri, kecenderungan politik, hukum dan gejala sosial didorong dan diperkuat pada tingkat internasional. Untuk alasan ini maka pentinglah bahwa perempuan terwakili secara memadai dalam forum internasional sebagai anggota delegasi pemerintah dan sebagai pekerja pada organisasi internasional. Tujuan perwakilan yang setara bagi perempuan dalam tingkat internasional masih jauh dari kenyataan. Dalam rekomendasi umum No 8 yang ditetapkan pada sidang ketujuh tahun 1988, Komite

Mengenai Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan

merekomendasikan agar dalam pelaksanaan Pasal 8 Konvensi, Negara-negara Pihak memberlakukan tindakan khusus yang sementara misalnya

affirmative action dan diskriminasi yang positif sebagaimana dituangkan dalam pasal 4. Negara-negara juga harus menggunakan pengaruhnya dalam organisasi internasional untuk memastikan agar perempuan terwakili secara setara dan memadai.

(9)

20

C. Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

yang Baik

1. Pengertian Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik7

Asas-asas pembentukan perundang-undangan adalah suatu pedoman atau suatu rambu-rambu dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.

Dalam bidang hukum yang menyangkut pembentukan peraturan perundang-undangan negara, Burkhardt Krems menyebukannya dengan

istilah staatsliche Rechtssetzung, sehingga pembentukan peraturan itu

menyangkut:

1. Isi peraturan (Inhalt der Regelung)

2. Bentuk dan susunan peraturan (Form der Regelung)

3. Metode pembentukan peraturan(Metodhe der Ausarbeitung der

Regelung); dan

4. Prosedur dan proses pembentukan peraturan (Verfahren der

Ausarbeitung der Regelung).

7 Indrati Maria Farida, Ilmu PerUndang-Undangan, Cet. 13, Penerbit Kanisius (Anggota

(10)

21

Berdasarkan hal-hal tersebut, maka asas bagi pembentukan peraturan perundang-undangan negara akan meliputi asas-asas hukum yang berkaitan dengan itu.

Selain itu Paul Scholten mengemukakan bahwa, sebuah asas hukum

(rechtsbeginsel) bukanlah sebuah aturan hukum (Rechtsregel). Untuk dapat dikatakan sebagai aturan hukum, sebuah asas hukum adalah terlalu

umum sehingga ia atau bukan apa-apa atau berbicara terlalu banyak (of

niets of veel te vell zeide). Penerapan asas hukum secara langsung melalui jalan subsumsi atau pengelompokan sebagai aturan tidaklah mungkin, karena itu lebih dulu perlu dibentuk isi yang lebih kongkrit. Dengan perkataan lain, asas hukum bukankah hukum, namun hukum tidak akan dapat dimengerti tanpa asas-asas tersebut. Scholten mengemukakan lebih lanjut, adalah menjadi tugas ilmu pengetahan hukum untuk menelusuri dan mencari asas hukum itu dalam hukum positif.

2. Asas-asas Pembentukan Peraturan Negara yang Baik Menurut I.C.van dwr Vlies8

Di dalam bukunya yang berjudul “Het wetsbegrip en beginselen

van behoorlijke regelgeving” I.C van der Vlies membagi asas-asas dalam

pembentukan peraturan negara yang baik (beginselen van behoorlijke

regelgeving) ke dalam asas-asas yang formal dan yang material.

(11)

22 Asas-asas formal meliputi:

1. Asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling);

2. Asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste organ);

3. Asas perlunya pengaturan (het noodzakelijkheids eginsel);

4. Asas dapatnya dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid);

5. Asas kosensus (het beginsel van cosensus).

Asas-asas yang material meliputi:

1. Asas tentang terminologi dan sistematika yang benar (het beginsel

van duidelijke terminologi en duidelijke systematiek);

2. Asas tentang dapat dikenali (het beginsel van de kenbarheid);

3. Asas perlakuan yang sama dalam hukum (het

rechtsgelijkhidsbeginsel);

4. Asas kepastian hukum (het rechtszekerheidsbeginsel);

5. Asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual (het beginsel

van de individuele rechtsbedeling).

3. Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Patut Menurut A. Hamid S. Attamimi9

A. Hamid S. Attamimi berpendapat bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut adalah sebagai berikut:

a. Cita hukum Indonesia

(12)

23

b. Asas negara berdasar atas hukum dan asas pemerintahan berdasar

sisitim konstitusi

c. Asas-asas lainnya

Dengan demikian, asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut akan mengikuti pedoman dan bimbingan yang diberikan oleh:

a. Cita hukum Indonesia yang tidak lain melainkan Pancasila (sila-sila

dalam hal tersebut berlaku sebagai cita (idee), yang berlaku sebagai

bintang pemandu).

b. Norma fundamental negara yang juga tidak melainkan Pancasila

(sila-sila dalam hal tersebut berlaku sebagai norma).

(1) asas-asas negara berdasar atas hukum yang menempatkan

Undang-undang sebagai alat pengaturan yang khas berada

dalam keutamaan hukum (der Primat des Rechts);

(2) Asas-asas pemerintahan berdasar sistem konstitusi yang

menempatkan Undang-undang sebagai dasar dan batas penyelenggaraan kegiatan-kegiatan pemerintahan.

Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut meliputi juga:

1. Asas tujuan yang jelas;

(13)

24

3. Asas organ/lembaga dan materi muatan yang tepat;

4. Asas dapatnya dilaksanakan;

5. Asas dapatnya dikenali;

6. Asas perlakuan yang sama dalam hukum;

7. Asas kepastian hukum;

8. Asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual.

Apabila mengikuti pembagian mengenai adanya asas yang formal dan asas material, maka A. Hamid S. Attamimi cenderung untuk membagi asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut tersebut kedalam:

a. Asas-asas formal, dengan perincian:

1. Asas tujuan yang jelas;

2. Asas perlunya pengaturan;

3. Asas organ/lembaga yang tepat;

4. Asas materi muatan yang tpat;

5. Asas dapatnya dilaksanakan; dan

6. Asas dapat dikenali;

b. Asas-asas material, dengan perincian:

1. Asas sesuai dengan Cita Hukum Indonesia dan Norma

Fundamental Negara;

(14)

25

3. Asas sesuai dengan prinsip-prinsip Pemerintahan Berdasar Sistem

Konstitusi.

Dengan mengacu pada asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut tersebut, dapat diharapkan terciptanya perturan perundang-undangan yang baik dan dapat mencapai tujuan secara optimal dalam pembangunan hukum di Negara Republik Indonesia.

4. Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik Menurut Undang-undang No.10 Th.200410

Asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik seperti di kemukakan di atas dirumuskan juga dalam Undang-undang No.10 Th. 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan khususnya Pasal 5 dan Pasal 6 yang dirumuskan sebagai berikut:

Pasal 5:

Dalam membentuk peraturan Perundang-undangan harus

berdasarkan pada asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik meliputi:

a. Kejelasan tujuan;

b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;

c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan;

d. Dapat dilaksanakan;

10

(15)

26

e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan;

f. Kejelasan rumusan; dan

g. Keterbukaan.

Asas-asas yang dimaksutkan dalam pasal 5 diberikan penjelasannya dalam penjelasan sebagai berikut:

a. Asas kejelasan tujuan adalah bahwa setiap pembentukan peraturan

perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.

b. Asas kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat adalah bahwa

setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan demi hukum, bila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang.

c. Asas kesesuaian antara jenis dan materi muatan adalah bahwa dalam

pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan perundang-undangannya.

d. Asas dapat dilaksanakan adalah bahwa setiap pembentukan

(16)

27

e. Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan adalah bahwa setiap

peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar

dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

f. Asas kejelasan rumusan adalah bahwa setiap peraturan

perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interprestasi dalam pelaksanaannya.

g. Asas keterbukaan adalah bahwa dalam proses pembentukan

peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan.

Sementara itu, asas-asas yang harus dikandung dalam materi muatan Peraturan Perundang-undangan di Negara Republik Indonesia dirumuskan dalam Pasal sebagai berikut

Pasal 6

1. Materi muatan Peraturan Perundang-undangan mengandung asas:

a. Pengayoman;

(17)

28

c. Kebangsaan;

d. Kekeluargaan;

e. Kenusantaraan;

f. Bhineka Tunggal Ika;

g. Keadilan;

h. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;

i. Ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau

j. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

2. Selain asas yang dimasud ayat (1), Peraturan Perundang-undangan

tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan.

Apa yang dimaksutkan dengan asas-asas yang berlaku dalam materi muatan Peraturan Perundang-undangan tersebut dijelaskan dalam penjelasan Pasal 6 ayat (1) sebagai berikut:

Penjelasan Pasal 6 ayat (1):

a. Asas pengayoman adalah bahwa setiap peraturan

perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat.

b. Asas kemanusiaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan

(18)

29

pengayoman hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proposional.

c. Asas kebangsaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan

perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralisik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

d. Asas kekeluargaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan

perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.

e. Asas kenusantaraan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan

perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan peraturan perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila.

f. Asas Bhineka Tunggal Ika adalah materi muatan peraturan

perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

g. Asas keadilan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan

perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara

(19)

30

h. Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan adalah

bahwa materi muatan peraturan perudang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.

i. Asas ketertiban dan kepastian hukum adalah bahwa setiap materi

muatan peraturan perundang-undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.

j. Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan adalah bahwa

materi muatan setiap peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.

Penjelasan Pasal 6 ayat (2) menjelaskan bahwa:

Yang dimaksud dengan “asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan

Perundang-undangan yang bersangkutan” antara lain:

a. Dalam Hukum Pidana, misalnya asas legalitas, asas tidak hukuman

tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah;

b. Dalam Hukum Perdata, misalnya dalam hukum perjanjian antara lain

(20)

31

Dari beberapa asas hukum yang dikemukakan oleh I.C.van dwr Vlies, A. Hamid S. Attamimi, dan yang terdapat dalam Undang-undang No.10 Tahun 2004 penulis hanya akan menggunakan tiga asas guna menjawab permasalahan yang sedang penulis teliti yaitu asas kejelasan tujuan, asas kedaya gunaan dan kehasil gunaan dan asas perlakuan yang sama di depan hukum.

D. Pengertian Affirmatif Action (Tindakan Khusus Sementara)

Pengertian awal affirmative action adalah hukum dan kebijakan yang

mensyaratkan dikenakannya kepada kelompok tertentu pemberian

kompensasi dan keistimewaan dalam kasus-kasus tertentu guna mencapai representasi yang lebih proporsional dalam beragam institusi dan okupasi. Ia merupakan diskriminasi positif (positive discrimination) yang dilakukan untuk mempercepat tercapainya keadilan dan kesetaraan. Salah satu sarana terpenting untuk menerapkannya adalah hukum, dimana jaminan

pelaksanaannya harus ada dalam Konstitusi dan UU.11

Affirmative action dapat diartikan sebagai “A policy or a program

that seeks to redress past discrimination through active measures to ensure

equal opportunity, as in education and employment.12 (Kebijakan atau

program yang berusaha untuk memperbaiki tindakan diskriminasi yang

(21)

32

terjadi pada masa lalu melalui tindakan aktif untuk menjamin kesempatan yang sama, seperti dalam pendidikan dan pekerjaan).

Affirmative action merupakan kebijakan khusus yang bersifat sementara dari sekian banyak kebijakan untuk meningkatkan peran serta perempuan dalam dunia sosial, ekonomi dan politik. Sebenarnya masih ada banyak hal yang bisa dilakukan terkait kebijakan affirmative action bidang politik, antara lain seperti yang diterangkan Pippa Norris, bahwa kebijakan affirmative selain menempatkan perempuan dalam daftar calon anggota legislatif sebagai calon potensial, bisa juga dilakukan dengan memberikan pelatihan khusus, dukungan pendanaan dan publikasi berimbang terhadap

calon perempuan tersebut.13 Tentu saja terminal akhir dari affirmative action

itu adalah meningkatkan keterwakilan politik perempuan dan tercapainya kesetaraan gender.

E. Tujuan Affirmatif Action

Tujuan tindakan afirmatif yang merupakan tindakan sementara adalah mendorong jumlah perempuan lebih banyak di DPR, DPRD provinsi, dan

DPRD kabupaten/kota.14 Menurut Ani Widyani,15 bahwa pada awalnya

affirmative action dirancang untuk menanggapi kondisi ekonomi

13

Jurnal Konstitusi PSHK-FH UII, Volume II Nomor 1, Pippa Norris dalam Masnur Marzuki, Affirmative Action dan Paradoks Demokrasi, Juni 2009 hlm. 10.

14

Pendapat berbeda (dissenting opinion) Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati dapat dilihat di bab 3 halaman 112

15 Widyani Ani, Politik Perempuan Bukan Gerhana: Esai-Esai Pilihan, Penerbit Buku

(22)

33

kelompok tertentu dalam masyarakat. Tujuannya saat itu adalah untuk memperbaiki posisi dan kedudukan ekonomi perempuan atau kelompok kulit berwarna di Amerika sebagai dampak dari kebijakan segresasi dan diskriminasi yang menimpa mereka.

Implikasi atas berbagai macam diskriminasi terhadap kelompok minoritas yang terjadi selama kurun waktu yang relatif lama itu telah menyebabkan mereka tertinggal dalam segala aspek baik di bidang ekonomi maupun partisipasi di bidang politik. Untuk mengakselerasi dan menciptakan kesetaraan kelompok marjinal tersebut akibat ketidakadilan yang dialaminya, maka berbagai macam hal dilakukan. Termasuk di antaranya adalah dengan

mengeluarkan kebijakan affirmative action yaitu memberikan hak istimewa

kepada kelompok minoritas agar mampu sejajar kedudukannya dengan kelompok-kelompok lain dalam jangka waktu tertentu sampai kesetaraan itu tejadi.

Kebijakan diskriminatif positif yang bersifat sementara ini dibolehkan oleh hukum sebagaimana bunyi Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 menetapkan, “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan

khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan” dan Pasal 4 Konvensi Penghapusan

Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) yang menegaskan bahwa:

(23)

34

karena sama dengan memelihara ketidaksetaraan dan standar yang berbeda. Langkah itu harus segera dihentikan ketika tujuan dari

kesetaraan, kesempatan dan tindakan telah tercapai”.

Secara teoritik, kebijakan afirmasi ini tidak ada yang menentangnya. Namun dalam praktek sering muncul perdebatan terutama bila kebijakan

affirmative action itu diterjemahkan menjadi penentuan kuota tertentu.

Memang ketika berbicara affirmative action, maka persoalan yang terkait di

dalamnya adalah persoalan kuota yang di banyak negara banyak dipakai sebagai salah satu cara untuk mengejewantahkan adanya kebijakan

affirmative action ini. Para pejuang dan pembela hak-hak perempuan menganggap bahwa kebijakan kuota bisa menjadi salah satu alternatif yang efektif bagi terciptanya kesetaraan kaum minoritas (perempuan) di parlemen.

Di sisi lain tidak sedikit pula kelompok-kelompok yang menentang kebijakan kuota ini dengan alasan melanggar asas persamaan di depan hukum (equality before the law) dan cenderung diskriminatif. Padahal, kalau

mengingat semangat awal adanya affirmative action itu adalah untuk

menciptakan kesetaraan. Sehingga, dengan adanya kuota ini justru bertolak

belakang dengan cita-cita awal affirmative action tersebut. Arbi Sanit secara

tegas mengatakan “jangan memperjuangkan demokrasi dengan semangat anti

demokrasi”.16

Bahkan Amich Alhumami menegaskan bahwa: “kebijakan afirmatif tidak paralel dengan kuota bagi kaum

perempuan atau kelompok minoritas. Ada perbedaan

16

(24)

35

fundamental antara tujuan kebijakan afirmatif dan kuota. Tujuan utama kebijakan afirmatif adalah pelibatan sekelompok orang, yang semula tereksklusi dan kurang terwakili di arena publik, tanpa pembatasan dan hanya didasarkan kualifikasi individual. Sistem kuota adalah court assigned to redress a pattern of discriminatory hearing. Karena itu, kebijakan afirmatif tak bisa dijadikan dasar untuk mengangkat seseorang yang tak memenuhi standar kualifikasi dan tak layak menduduki posisi di lembaga publik. Kebijakan afirmatif tidak menoleransi seseorang dengan kemampuan minimal dan berkapasitas rendahdengan pertimbangan jender atau keragaman sosial budayaguna menempati

jabatan publik”.17

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bangsa Indonesia telah berkomitmen untuk terus mendukung terhadap upaya-upaya dalam rangka memajukan kesetaraan jender dalam berbagai bidang. Salah satunya dalam

ranah politik upaya yang dilakukan adalah memasukkan ketentuan affirmative

action dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pasal 55 ayat (2) UU Pemilu berbunyi “Di

dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon”. Bahkan UU ini telah memberikan keistimewaan

kepada kaum hawa sejak proses pengajuan daftar bakal calon legislatif (caleg) oleh partai politik peserta pemilu yang menganjurkan bagi setiap Parpol untuk memenuhi 30% calegnya harus berasal dari perempuan.

Selengkapnya Pasal 53 -nya menyebutkan “Daftar bakal calon sebagaimana

17

(25)

36

dimaksud dalam Pasal 52 memuat paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan”. Kebijakan ini dimaksudkan untuk mendorong

kesetaraan keterwakilan perempuan dan laki-laki di parlemen.

F. Perlakuan Khusus Sementara adalah Hak Konstitusional yang Dijamin UUD 1945

Perlakuan khusus sementara merupakan amanat dan mandat konstitusional yang tercantum dalam UUD 1945 Pasal 28H ayat (2). Pasal 28H ayat (2) menyebutkan:

"Setiap orang berhak mendapat, kemudahan dan perlakuan khusus

untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan".

Perlakuan khusus yang dijamin konstitusi yaitu untuk mendapatkan kemudahan dan untuk memperoleh kesempatan sama adalah dalam rangka mencapai persamaan dan keadilan berlaku bagi setiap warga negara yang

telah mengalami diskriminasi sehingga hal tersebut dapat mempercepat

kesetaraan “de facto” antara laki-laki dan perempuan.

Atas dasar itulah para pembentuk Undang-undang membuat peraturan khusus karena perlakuan khusus tersebut tidak melanggar Undang-Undang 1945.

(26)

37

Perlakuan khusus atau tindakan khusus sementara dalam rangka mewujudkan kesetaraan jender adalah mandat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk

Diskriminasi terhadap Wanita [Convention the Ellimination of All Forms

Discrimination Against Women) (CEDAW)] . Ratifikasi sebuah konvensi

internasional menuntut negara pihak (state parties) untuk mengintegrasikan

seluruh prinsip-prinsip yang tercantum dalam konvensi ke dalam hukum nasionalnya.

Pasal 3 Konvensi CEDAW mewajibkan Negara untuk menjamin perkembangan dan kemajuan perempuan dengan tujuan untuk menjamin agar perempuan melaksanakan dan menikmati HAM dan kebebasan-kebebasan

pokok atas dasar persamaan antar pria dan perempuan. 18

Negara mengakui adanya ketimpangan dalam hubungan antar pria dan perempuan, karena ketertinggalan, kekurangan, atau ketidakberdayaan perempuan sehingga perlu dilakukan upaya dan peraturan khusus agar

persamaan “de facto” lebih cepat tercapai.19

Pasal 4 (1) dan Pasal 7 merupakan dasar kewajiban negara untuk

melakukan tindakan affirmatif action dan pemberian jamian kepada

perempuan dalam kehidupan politik dan kehidupan Negara, sebagai instrumen untuk mengatasi masalah ketidakadilan jender yang dialami perempuan.

18 Lapan, L. M. Gandhi, Disiplin Hukum yang Mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan

Gender, Penerbit Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2012, h.153.

(27)

38

Pasal 4 ayat (1) mengatur sebagai berikut:

”Pembentukan peraturan peraturan dan melakukan tindakan khusus

sementara oleh negara-negara pihak yang ditujukan untuk mempercepat kesetaraan de facto antara laki-laki dan perempuan, tidak dianggap sebagai diskriminasi seperti ditegaskan dalam konvensi ini, dan sama sekali tidak harus membawa konsekuensi pemeliharaan standar-standar yang tidak sama atau terpisah, maka peraturan-peraturan dan tindakan tersebut wajib dihentikan jika tujuan, persamaan kesempatan dan

perlakuan telah tercapai”

Sedangkan dalam Pasal 7 CEDAW mengatur sebagai berikut:

”Negara-negara pihak wajib mengambil langkah-langkah yang sesuai untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam kehidupan politik dan kehidupan bermasyarakat di negaranya,khususnya menjamin bagi perempuan atas dasar persamaan dengan laki-laki,hak”:

a. Untuk memilih dalam semua pemilihan dan agenda publik dan berkemampuan untuk dipilih dalam lembaga-lembaga yang dipilih masyarakat;

b. Untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijakan pemerintah dan implementasinya, serta memegang jabatan dalam pemerintahan dan melaksanakan segala fungsi pemerintahan di semua tingkatan;

c. Untuk berpartisipasi dalam organisasi-organisasi dan perkumpulan-perkumpulan non pemerintah yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat dan politik negara;

Dari ketentuan di atas terdapat beberapa esensi yang merupakan prinsip

dasar kewajiban negara, antara lain:20

1. Menjamin hak perempuan melalui hukum dan kebijakan, serta

menjamin hasilnya.

2. Menjamin pelaksanaan praktis dari hak itu melalui langkah dan tindak

atau aturan khusus sementara, menciptakan kondisi yang kondusif

20 Irianto Sulistyowati, Perempuan & Hukum, Menuju Hukum yang Berperspektif

(28)

39

untuk meningkatkan kesempatan dan akses perempuan pada peluang yang ada, dan menikmati manfaat yang sama/adil dari hasil menggunakan peluang itu.

3. Negara tidak saja menjamin tetapi juga merealisasi hak perempuan.

4. Tidak saja menjamin secara de-jure tetapi juga secara de-facto.

5. Negara tidak saja harus bertanggung jawab dan mengaturnya di sektor

Referensi

Dokumen terkait

1) Sebelum diberikan layanan bimbingan kelompok terhadap tingkat disiplin belajar siswa berada dalam kategori kurang. 2) Pada proses pelaksanaan layanan bimbingan

Hal ini sesuai dengan karakteristik semakin besar semakin baik yang digunakan sebagai target untuk mengukur karakteristik multirespon kualitas yang dihasilkan dari

Kamus data adalah kumpulan daftar elemen data yang mengalir pada sistem perangkat lunak sehingga masukan (input) dan keluaran (output) dapat dipahami secara

Kegiatan perekaman data ke dalam sofware microsoft access telah direkam sebanyak 3.035 data (table 2), yang diperoleh dari data yang terekam di buku induk

Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa konsumsi pakan berbeda nyata (P<0,05), sedangkan untuk pertambahan bobot badan, pertambahan bobot badan harian dan

Dalam penerapan full day school yang paling ditekankan ialah praktek”.10 Anas Abdul Nasir, MT Waka Kurikulum juga menambahkan terkait pelaksanaan full day school untuk

aktifnya sebanyak 50% adalah berbeda-beda. Pada tablet Metronidazol generik.. Winda : Perbandingan Mutu Tablet Metronidazol Generik Dengan Merek Dagang Secara In Vitro, 2010.

The objectives of the study are to investigate the errors committed by these EFL students in order to find out; (1) the types of interlingual errors and