Q
_KORANeTEMPO
\,
o
Setasa
0
Rabu0
Kamis0
Jumat
0
Sabtu
..
Minggu1 2 3 4 5 6 8 9 10 11 12 13 14 15 16
17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
o
Jan0
Peb0
Mar0
Apr0
Mei.
Jun0
Jut
0
Ags0
Sep OOkt
0 Nav 0 Des
' c
ANGGAl~~
KOORDINATOR PERHIMPUNAN BANTUAN
HUKUM INDONESIA:
..
II
_ ..J
- .
I I
,.
---
.---.--- ---.---
---
-
-
-P
rita Mulyasari mendadak kondang. Wajah
de-ngan air mata berlinang-linangnya muncu1di
hampir semua stasiun televisi.Prita bukan
se-dang bermain sinetron. Ia beken lantaran
dita-han akibat disangka menghina Rumah Sakit
Omni International Tangerang melalui surat elektronik
kepada keluarga temannya yangberisi keluhan atas
pela-yanan rumah sakit itu. Ibu dua anak ini orang pertama
yang digelandang ke pengadilan dengan dakwaan
mela-kukan penghinaan dengan menggunakan Pasal27 ayat 3
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik
(ITE).
Kritik terns mengaliI kepada kejaksaan yang menahan
Prita meski pada akhiInya Prita dilepaskan dari tahanan
setelah muncul tekanan banyak pihak-termasuk para
calon presiden yang sedang berkampanye.
Kritik lain tertuju pada Pasal 27 ayat 3
Undang-Undang ITE, yang dinilai sangat represif oleh banyak
kalangan. Bahkan Aliansi Nasional Reformasi Hukum
ThlematikaIndonesia-yang dibentuk beberapa lembaga
nonpemerintah-meminta Presiden merevisipasal itu.
Sementara itU,tiga blogger-Edy Cahyono,Nenda
Ina-sa Fadhilah, Amri Hakim-serta Iwan Piliang
mengaju-kan judicial review ke Mahkamah Konstitusi agar
bebe-rapa pasal, salah satunya tentang penghinaan dalam
Un-dang-Undang ITE, dicabut. Tapi, semuanya kandas. MK
menilai pasal penghinaan dalam Undang-Undang ITE
diperlukan meski te1ahada pasal penghinaan dalam
Ki-tab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Pertim-bangan MK tentu saja dianggap tidak berdasar.
"Tidak cukup kuat," kata Anggara, Koordinator
Per-himpunan Bantuan Hukum Indonesia-salah satu
lem-baga yang berhimpun dalam Aliansi dan kuasa hukum
para bloggeryang memohonkanjudicial review.Bebera~
pa upaya akan dilakukan agar pasal penghinaan itu
dica-but dari Undang-Undang ITEsupaya negara tidak Makin
represif terhadap hak-hak kebebasan dasar. 'Ibh, pasal
penghinaan dalam KUHP telah sangat memadai.
Rabu pekan lalu, Anggara memaparkan beberapa
ren-cana itu kepada wartawan Tempo Endri Kurniawati.
Berikut ini kutipannya.
Apa dasar Anda mengajukan judicial review?
Dasarnya banyak. Selain bertentangan dengan
prin-sip...prinsip negara hukum, prinsip kedaulatan rakyat,
(pasal ini) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar.
Ada lebih dari 10 alasan.
Apa pertimbangan MK dalam putusannya terdahulu
sehingga Anda akan mengajukan judicial review lagi? Pertimbangan MK tidak cukup kuat. Mereka mengata-kan Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang ITE hams "dican-tolkan" ke Pasal 310 KUHP. Padahal tanpa "dicantol-kan" pun tidak ada masalah. Dengan Pasal 310 KUHP saja, hak semua warga negara tetap terlindungi. Jika me-reka menafsirkan tidak bisa (menjangkau) ranah Inter-net, dasarnya apa?
Putusan-putusan Mahkamah Agung tentang delik
penghinaan tidak ada satu pun yang membuat analogi di-perluas ke ranah Internet. Contohnya kasus (wartawan) Ahmad Taufik, yang menulis kronologi penyerangan kan-tor majalah Tempo yang dimuat detik.com, itu kan juga di Internet. Itu (dijerat dengan) menggunakan Pasal310-311 KUHP. Lalu kasus Teguh Santosa, Redaktur Ekseku-tif Merdeka Online, yang memuat kartun Nabi
Muham-BIODATA
Nama: Anggara
Lablr:Surabaya.23Oktober1979
Pendldlkan: Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. Bandung, 2002
Pekerjaan: Koordinator Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia
PengaJaman Kerja:
. pengacara Lembaga Bantuan Hukum Bandung hingga 2005 . Divisi Advokasi Aliansi Jurnalis Independen Indonesia,
2006-2008
. Koordinator Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia-sekarang
Istrl: Me Ulfah R. Ningsih, dengan dua anak
--__n __h._. ._____
mad dari Denmark, itu dijerat dengan Pasal 156 KUHP (penghinaan terhadap golongan). Jika jaksa mengatakan tidak bisa menjerat (pelaku), lalu (kasus-kasus) kemarin itu (dijerat) pakai apa? Kan jelas menggunakan Pasal 310 dan pasal-pasal delik penghinaan lain di KUHP.
Pasal itu bisa digunakan untuk
(ma-cam-macam) penghinaan; untuk penghi-naan kepada bendera, lagu kebangsaan,
presiden negara sahabat. KUHP sudah
sangat memadai.
Apakah menghina lewat II:ttemet lebih istimewa sehingga MK mempertahankan Pasal 27 ayat 3?
Alasannya, daya destruktifnya kuat
dan bisa dilakukan selama-lamanya.
Ta-pi kami tahu ada ketidaksinkronan
(da-lam pertimbangan putusan MK). Apa
yang tidak sinkron? Misalnya de1ik perju-dian. Dalam KUHP ancaman hukuman-nya 10 tahun penjara. Di Undang-Un-dang ITE hanya enam tahun. Jadi, kalau mau usaha judi, buka saja judi Internet
karena ancaman hukumannya lebih
ri-ngan, ha-ha-ha Kita bisa melihat motif
pembuat undang-undang ini apa. Delik
pemerasan diatur dua kali. Artinya, tidak ada harmonisasi, bahkan pada bab yang sarna.
Secara horizontal, apalagi. Hukuman maksimal judi online hanya enam tahun.
Juw off-line hukuman maksimalnya
10-12 tahun berdasarkan Pasal 303 KUJ:IP.
Berarti kan tidak ada (dasar) filosofis mengapa (hukuman maksimal dari Pasal 27 ayat 3) hams enam tahun. Kecuali su-paya bisa ditahan. Sebab, menurut hu-kum acara pidana, yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih, pe-laku tindak pidana bisa ditahan.
Menurut minuta rapat dengar penda-pat yang dibuat Menkominfo di DPR,
me-mang kejaksaan dan kepolisian yang
menginginkan itu, agar bisa langsung di-tahan. Kalau memang gara-gara
media-nya berbeda lalu harns diperberat
hu-kumannya, kita mesti buat undang-dang penghinaan melalui kentongan,
un-dang-undang penghinaan melalui sandi.
(padahal) sarna kan? Hanya alatnya yang berbeda.
Menurut Anda, apa sebenamya motif
pembuat undang-undang ini?
Negara kita memang dirancang menja-di semakin represif terhadap kebebasan-kebebasan dasar. Kita bisa lihat delik ke-susilaan diatur dalam tujuh undang-un-dang. (Di antaranya) di KUHP, UU Por-nografi, ITE, Perlindungan Anak, Perda-gangan Tindak Pidana Orang, Penyiaran,
Undang-Undang Pokok Pers, meskipUliI
tidak tegas mengatur. Tapi ada tujuh un'" dang-undang yang mengatur kesusilaafi.! Ini nggak umum di seluruh negara hu'-t kum di dunia. Menghina, ya, men~
aja. Mau pakai alat apa, ya, tetap saffi
menghina.
Di mana ada contohnya? Kalau ruj~f
annya negara-negara komunis, ya. Di
~
na, Burma, Vietnam, misalnya, mungkW.
mereka menerapkan hal yang sam1f,
membuat delik penghinaan di bany:;ik
tempat. Tapi masak kita merujuk ke I\~-gara-negara yang seperti itu. Kalau betyl ada. Harusnya rujukannya ke negara-l1e-gara modem. Di Singapura, yang begifu represifnya, aja nggak
ada kok.
Singap"fl-ra tidak mengatur de1ik penghinaan di
banyak tempat. Lalu kita dapat rujukan
Indikasi lain yang menunjukkan makin represif?
Kalau dari pernyataan saksi dari
Ke-jaksaan Agung (Arief Muliawan, Kepala
Bagian Penyusunan Program Laporan
dan Penilaian, Sekretaris Jaksa Agung
Muda Tindak Pidana Umum) pada saat (sidang judicial review) di Mahkamah Konstitusi, mereka menyatakan (pidana) 7 tahun, (bahkan) 20 tabun, pun tidak cu-kup untuk menghukum pelaku tindak pi-dana penghinaan me1alui Internet. Motif dari perumus dan pembuat Undang-Un-dang ITE ini mesti dipertanyakan.
Layaknya hukuman itu herapa lama? Dua puluh tahun saja nggak cukup, yang pantas hukuman mati, kali.
Ha-ha-ha Saya kaget mendengar pernyataan
Pak Arief Muliawan. Buat kami, itu me-ngecewakan.
Apa yang dipersiapkan untuk
meng-ajukan judicial review?
Kami sedang menginventarisasi
kor-ban-korban (Undang-Undang ITE) yang
sedang diproses (hukum), karena tidak mungkin jika hanya berdasar pada lapor-an ke kepolisilapor-an. Sete1ah proses pengadil-an dpengadil-an kalau mereka berminat, akpengadil-an ka-mi respons.
Stiategi apa lagi yang akan dipakai? Ada peluru bam?
Harus kami kaji lagi. Kalau putusan MK modelnya konservatif seperti ini, ka-mi harus carl sisi yang lain. Bagaimana.:. pun, ada peran MK yang menyebabkan Prita ditahan, dengan pUtusannya yang tidak bijak sarna sekali. Tidak ada argu-mentasi yang cukup kuat mengapa Pasal 27 ayat 3 itu harus dipertahankan karena tidak ada contohnya.
Dulu, ketika saya menjadi kuasa untuk pengujian Pasal 310 dan 311 KUHP, MK
mengatakan, di Jerman saja ada.
Seka-rang Pasal 27 ayat 3 ini sarna sekali tidak ada contohnya. Yang paling aneh, mereka
memberikan dua definisi yang berbeda
mengenai Pasal27 ayat 3.
Definisi yang ada pada perkara nomor 50 yang dimohonkan oleh Iwan Piliang berbeda dengan perkara nomor 2 yang di-ajukan Edy Cahyono dan kawan-kawan, mengenai (unsur) dilakukan secara tanpa hak. Yang satu mencegah orang yang se-kadar turut serta itu bisa dipidana, yang lainnya dimaksudkan memang untuk
me-larang orang menyebarluaskan kembali,
yang berarti bisa dipidana. (Unsur itu) di-definisikan begitu berbeda, sangat signifi-kan untuk dua kasus yang sarna.
Ada rencana mengeksaminasi putusan MK?
Barn kami rencanakan.
Hasil eksaminasi akan diberikan kepa-da MK?
Rencananya akan kami sebar luaskan
ke kalangan internasional. Supaya ada
tekanan juga ke MK. Kami tidak bisa
membiarkan MK bergerak tanpa
peng-awasan sarna sekali.
Dan akan dimanfaatkan jika mengaju-kan judicial review lagi?
Ya.
Prita akan dimasukkan dalam daftar
pemohon?
Sangat terbuka kemungkinan. Ada pa-sal dalam Undang-Undang Pemilu, diuji.~'
---
-- "---.sampai tiga kali dan ketiganya diputus
berbeda-beda untuk pasal yang sarna.
Kalau pasal itu saja bisa (diuji berkali-kali), kan berarti ada kemungkinan (un-tuk diajukan kembali). Tapi, tanpa tekan-an dtekan-an pengawastekan-an, saya nggak yakin MK akan mengeluarkan putusan dengan cukup bijak.
Awal Mei Ialu Perserikatan
Bangsa-Bangsa mengimbau negara anggotanya
menghapus pidana pencemaran nama
baik daIam sistem hukum masing-ma-sing. Anda akan menggunakannya untuk mengajukan judicial review itu?
Kalau ada pemohonnya, je1as akan ka-mi pakai. Sebenarnya (imbauan itu sudah disampaikan) berkali-kali. Pelapor Khu-sus PEB untuk kebebasan berekspresi ju-ga berkali-kali menyerukan aju-gar neju-gara- negara-negara mencabut delik-de1ik penghinaan itu.
Prinsipnya beginj, Pasal 19 Kovenan
Internasional Hak-hak Sipil dan Politik menyatakan kebebasan memang bisa di-batasi, tapi pembatasan itu tidak boleh membahayakan esensi kebebasan itu sen-diri. Nah, yang kedua ini biasanya terlu-pakan, tennasuk MK. Kalau dua undang-undang mengatur hal yang sarna,
tidak-kah membahayakan esensi
kebebasan-nya?
Ada empat kebebasan dasar yang tidak
bisa dibatasi kebebasannya. Kebebasan
berekspresi itu bisa dibatasi, tapi
pemba-tasannya tidak boleh membahayakan
esensi kebebasan itu sendiri. Pertanyaan-nya, apakah pembatasan itu hanya bisa
dilakukan melalui hukum pidana? Kan
tidak. Di Hukum Perdata ada, Pasal1372. !tu salah satu bentuk mekanisme yang
di-lakukan oleh negara untuk m~mbatasi
kebebasan berpendapat. Agar orang
ti-dak bisa menghina orang semau-maunya.
Tidak ada batasan antara menghina,
mengelub, komplain, mengkritik, atau
protes? Banyak orang yang merasa terbi-na ketika dikritik.
Ngeri, karena nggak ada batasan.
Umumnya memang begitu. Akhirnya jadi
death article, tidak pernah digunakan.
Kalau digunakan, bisa (diajukan) ke
Mahkamah Hak Asasi.
Penerapannya bisa digunakan
seram-pangan. Persoalannya bukan hanya pada
penerapannya, perumusan nonnanya
sendiri juga sudah bennasalah.
Sayang-nya, MK menganggap pembatasan pen-ting sekali. Hak atas kehonnatan (reputa-si) itu penting. Padahal, dalam conflict in
rights ini (hak kehonnatan dan
kebebas-an berpendapat), kalau ditimbkebebas-ang, akkebebas-an
lebih penting kebebasan berpendapat.
MK berpendapat (lebih penting) reputasi. Pokoknya reputasi nomor satu aja.
Ada diskusi mengenai bal ini di IUaf si-dang?
Nggak, kan bisa disalahgunakan.
Rancangan undang-undang apa lagi
yang bisa diselusupi pasal pengbinaan
. .')
lDl.
Akan ada lagi. Pemerintah sedang
membuat RUU Cyber Crime, sepertinya akan memuat lagi pasal penghinaan.
Aliansi mengawal prosesnya?
Nggak, karena Menkominfo tertutup.
Sudah ada siaran pers (yang
memberita-hukan bahwa Kementerian) membuat
~~~~undang ini. Kenapa
hukuman-nya harus penjara. Ada bahukuman-nyak hukum-an. Ada denda, pencabutan fasjjitas. Di KUHP ada banyak hukuman yang bisa
dijatuhkan. Lalu menciptakan
d~-de-lik barn yang sesungguhnya ~dah ada.
Mending kalau delik barunya menaati
doktrin-doktrin hukum pidana.
Kecende-rungannya nggak.
Doktrin hukum pidana kan bexlaku sa-rna di seluruh dunia. Yang dilarang ada-lah jika perbuatan (penghinaan) itu dila-kukan di muka umum. Kesusilaan, misa1-nya, jika dilakukan di depan uhlum, itu dilarang. Tapi jika itu urusan privat, ti-dak dilarang. !tu berlaku umum di selu-rub dunia.
Tapi (yang diatur dalam) Pasal 27 ayat 3 tidak. Misalnya, poster ca1on1egislator yang ajaib-ajaib itu, kalau saya)irim ke-pada Anda, saya sudah bisa dljerat de-ngan pasal itu. Artinya, itu sudah keluar dari doktrin yang berlaku umum. Di sini
letak bahayanya. Dalam pasalyang
me-larang kebebasan berekspresi itu, me- larang-an bahklarang-an dimulai dari membu'at. Masak dilarang jika dibuat untuk ke}?entingan diri sendiri tanpa disebarluaskan?
Hukuman pidananya memaq,g represif. Mau bagaimana? Harus dilawa~.
Rencana apa lagi untuk mellfi\'an? Banyak. Saya juga berkampanye. Me-lobi pemerintah, apalagi yang plau diba-tasi. Negosiasi.
Sudab melobi siapa saja?
Kalau kemarin, karena prosesnya liti-gasi, kami tidak melakukan lobi dan ne-gosiasi. Pemerintah tidak pernah mau ha-dir kalau diajak diskusi tentang apa
per-lunya undang-undang ini. M$1kominfo
nggak mau hadir kalau kami lUldang
dis-kusi dengan alasan pejabat y~g kompe-ten tidak ada. Sulit kalau ~merintah sendiri sudah menutup diri. Mhu gimana lagi?
Selain dengan pemerintab?
Dengan Komnas HAM agar memantau
juga. Akan ada banyak aturan
perun-dang-undangan yang akanmembatasi
kebebasan berekspresi. !tu tugas mereka
memantau. Undang-Undang WE ini kan
terlepas dari pantauan banjak orang.
Kami akan me1akukan audiqpsi dengan Komisi Hukum Nasional karena mandat-nya merefonnasi hukum. DaQjlagi, siapa yang tabu kalau ini akan diatw di semua tempat. Di DPR kan nggak Mrnah mun-cul isu ini.
Jika mengeluh saja bisa dijerat, apakah
Undang-Undang ITE ini akan sangat
efektif?
Nggak efektif. Kalau yang menulis di
blog itu anonim, bagaimalJ~ mencari-nya? Tetap nggak bisa kan» Kita ban-dingkan kasus Prita dengan')jIartono de-, ngan situsnya sejakdulu.cow, yang me-mampang Sarah dan Rahmaj Azhari de-ngan Luna Maya. !tu oran~Va ada, tapi
nggak diproses sampai sekarfing.
Bagai-mana penanganan kasusn~, orangnya
ditahan nggak, apa sampai
:l{epengadil-an. Nggak tahu kita. Jartgan, karena
menghina diplOses, yang laiil nggak.
Ha-rusnya equal process, tida!} boleh ada
diskriminasi.
Orang bisa aja bikin blog a.,.onim. Yang
bisa dilatrukan paling hanMa menutup.
Ribuan blog juga bisa mUncul (lagi).
Akhirnya orang-orang yang.tak bersalah
yangjadikorban..
·